TINJAUAN PUSTAKA
Residu Tanaman Perkembangan dalam bidang pertanian dan industri pertanian di Indonesia, seringkali menimbulkan peningkatan residu tanaman yang sebagian besar merupakan produk samping yang menandung lignoselulosa. Secara kimia produk samping pertanian mengandung lignoselulosa yang tinggi dapat diolah menjadi produk-produk yang bernilai ekonomis. Dari residu tanaman antara lain berupa sisa tanaman (jerami, brangkasan, gulma eceng gondok), sisa hasil pertanian (kulit kopi, kulit kakao, sekam padi, ampas tebu, residu tanaman kelapa sawit dll). Pupuk kandang berupa (kotoran sapi, kerbau, kambing, ayam dan kuda) (Kurnia et al 2001; Atmojo, 2002). Produk samping tanaman seperti jerami padi , serasah kacang tanah, serasah jagung dan sabut kelapa sangat berperan sebagai sumber hara (Alwi dan Nazemi, 2000). Penggunaan residu tanaman sebagai pupuk organik juga dapat memperbaiki struktur tanah terutama pada lahan marjinal sehingga mampu memberikan daya dukung yang lebih bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selanjutnya
Djazuli (2002), mengatakan bahwa pengomposan produk samping nilam
dengan cara menggunakan aktivator EM-4 1% dan pupuk kandang selama 3 minggu menghasilkan kompos produk samping nilam dengan status hara dan tingkat dekomposisi yang baik dan mampu meningkatkan bobot
terna nilam secara nyata pada tiga taraf
pemupukan NPK yang diberikan.
25 Universitas Sumatera Utara
26
Kandungan hara beberapa residu tanaman ternyata cukup tinggi dan bermanfaat sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam tanah. Hara dalam residu tanaman dapat dimanfaatkan setelah mengalami dekomposisi (Robin et al. 2001).
Jerami padi Jerami padi adalah bagian vegetatif dari tanaman padi (batang, daun, tangkai malai), pada waktu tanaman padi dipanen, jerami adalah bagian tanaan yang tidak dipungut. Bobot jerami padi merupakan fungsi dari; rejim air, varietas. Namun apabila jerami padi diberikan perlakuan tertentu akan mempercepat terjadinya perubahan strukturnya. Di Indonesia, jerami padi belum dinilai sebagai produk yang memiliki nilai ekonomis. Pada sistem usaha tani yang intensif jerami sering dianggap sebagai sisa tanaman yang mengganggu pengolahan tanah dan penanaman padi. Oleh karena itu, 7580% petani membakar jerami di tempat, beberapa hari setelah padi dipanen. Sebagian petani memotong jerami dan menimbunnya di pinggir petakan sawah, kemudian membakarnya. Tujuan utama petani membakar jerami adalah untuk menyingkirkan jerami dari petakan sawah dengan cara yang praktis. Perhitungan untung rugi atas tindakan pembakaran jerami belum dipertimbangkan. Menurut Makarim et al. (2007) akibat pembakaran jerami dapat meningkatkan suhu udara dipermukaan tanah mencapai 700oC, sehingga dapat memusnahkan mikroba yang berguna dalam proses biologis, seperti perombak bahan organik, pengikat nitrogen dan
Universitas Sumatera Utara
27
mikroba yang memiliki fungsi biologis lain, disamping beberapa jenis hara juga akan hilang akibat pengaruh suhu tinggi pada saat pembakaran jerami. Jumlah jerami padi memang cukup banyak tergantung pada luas pertanamannya. Perbandingan antara bobot gabah yang dipanen dengan jerami (grain straw ratio) pada saat panen padi umumnya 2 : 3. Dari satu hektar lahan sawah dihasilkan 5-8 ton jerami, tergantung pada varietas yang ditanam dan tingkat kesuburan tanah. Kalau produksi gabah nasional 54 juta ton pada tahun 2007, berarti terdapat 80 juta ton jerami pada tahun tersebut. Pada umumnya petani belum memperlakukan jerami sebagai bagian integral dari usaha tani padi. Hak kepemilikan jerami di sawah tidak jelas, kecuali pada khasus tertentu dan mereka menyatakan bahwa jerami padinya akan digunakan sendiri. Pengangkutan jerami keluar petakan sawah berarti kehilangan hara secara permanen dari lahan yang bersangkutan. Praktek yang demikian menguruskan tanah dan memiskinkan kandungan bahan organik tanah. Dengan dikembangkannya konsep pertanian ramah lingkungan seperti pertanian organik, SRI (System Rice Intensification), PTT (Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu), dan agroekoteknologi, sudah selayaknya jerami didaur ulang di tempat asalnya (in situ), sehingga terjadi sistem pertanian nirproduk samping (zero waste rice production system). Manfaat jerami perlu digali dan dikembangkan menjadi barang berharga mengingat potensinya yang sangat besar dan tidak akan habis-habisnya. Jerami padi merupakan sumber bahan organik yang potensial, relatif murah dan mudah didapat. Tingginya kadar selulosa dan lignin merupakan kendala utama dalam pemanfaatan jerami
Universitas Sumatera Utara
28
padi sebagai pupuk organik, karena lamanya waktu pelapukan secara alamiah. Penggunaan jerami segar secara langsung akan mengganggu terhadap awal pertumbuhan tanaman dan menyulitkan pengolahan tanah (Pagi dan Kartaadmadja, 2003). Jerami segar memiliki nisbah C/N lebih besar dari 30. Menurut Tisdale dan Nelson (1975), bila nisbah C/N lebih besar dari 30 akan terjadi proses immobilisasi N oleh jasad renik untuk memenuhi kebutuhan akan unsur N. Sumbangan hara dari jerami padi ke tanah bergantung pada bobot komposisi hara jerami, pengelolaan dan rejim air tanah (Ponnamperuna, 1985). Bobot biomas juga tergantung pada rejim air,musim, varietas, kesuburan tanah, dan nisbah gabah /jerami. Jerami padi dapat digunakan sebagai sumber hara K, karena sekitar 80% K yang diserap tanaman berada dalam jerami. Oleh karena itu, jerami berpotensi sebagai pengganti pupuk K anorganik
(Odjak, 1992). Jerami selain dapat menggantikan pupuk K pada
tanaman tertentu, juga berperan penting dalam memperbaiki produktivitas tanah sawah yang dapat meningkatkan efesiensi pupuk dan menjamin kemantapan produksi (Rochayati at al. 1990; Wihardjaka et al. 2002). Pemberian jerami dapat meningkatkan kadar C-organik, K-dd, dan KTK tanah berturut-turut sebesar 13,2%, 28,6%, dan 153% (Widati et al, 2000). Menurut Adiningsih (1992), aplikasi jerami 5 ton tiap hektar dapat meningkatkan N,P,dan K tanah. Menurut Ponnamperuna (1985), pengembalian jerami ke tanah dapat meningkatkan hasil gabah, pemberian 5 ton jerami ke tanah memasok 100 kg K, 7 kg P, 20 kg Ca, 5 kg Mg, dan 300 kg Si.
Universitas Sumatera Utara
29
Semakin mahal dan langkanya pupuk anorganik (urea, SP- 36, KCl, ZA) serta perlunya konservasi hara tanah melalui pendauran ulang maka pemanfaatan jerami padi yang berlimpah di lahan sawah perlu diperhitungkan kembali sebagai salah satu alternatif untuk subsitusi penggunaan pupuk kimia. Tanaman padi yang memproduksi 5 ton /ha gabah kering panen mengangkut hara dari tanah sekitar 150 kg N, 20 kg P, 150 kg K, dan 20 kg S. Pada saat panen, jerami mengandung sekitar 1/3 jumlah berat N, P, dan S dari total hara tanaman padi, sedangkan kandungan K rata-rata 89% (berkisar antara 85-92%) (Gunarto dkk. 2002). Oleh karena itu, jerami padi dapat dijadikan sebagai sumber hara makro tanaman. Pada tingkat hasil 5 ton/ha dihasilkan 2 ton C/ha yang secara tidak langsung merupakan sumber hara N. Kandungan hara jerami padi saat panen bergantung pada kesuburan tanah, kualitas dan kuantitas air irigasi, jumlah pupuk yang diberikan, kultivar dan musim/iklim. Ponnamperuna (1985) melaporkan kandungan hara jerami dari berbagai negara berkisar antara 0,38-1,01% N; 0,01-0,12% P; 1,0-3,0% K; dan 2,5-7,0% Si dengan rata-rata 0,57% N; 0,07% P; 1,5% K, dan 3,09 Si. Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0,4% N; 0,02% P; 1,4% K, dan 5,6% Si. Untuk setiap 1 ton gabah (GKG) dari pertanaman padi dihasilkan pula 1,5 ton jerami yang mengandung 9 kg N, 2 kg P, 25 kg K, 2 kg S, 70 kg Si, 5 kg Ca dan 2 kg Mg. Apabila konsentrasi hara tersebut mewakili nilai rata-arata jerami, maka produksi jerami di Indonesia sebesar 29 juta ton/bulan setara dengan 468.000 ton N (setara 1,04 juta ton urea), 78.000 ton P (setara 0,5 juta ton SP-36), 1,17 juta ton K (setara 1,95 juta ton KCl), 78.000
Universitas Sumatera Utara
30
ton S, dan 3,9 juta ton Si. Jumlah hara potensial yang berasal dari jerami sisa panen tersebut sangat besar, namun pemrosesannya sulit, petani belum memiliki metode yang sederhana dan menguntungkan. Widati et al. (2000) mempelajari pengaruh penggunaan mikroba (Trichoderma sp., Aspergillus sp., Beijerinkia sp., Azotobacter sp., dan EM4) dan jerami padi (disebar atau dibenamkan) terhadap sifat tanah vertic tropaquespts dari Cimalaya Karawang, dan typic hapludox dari Bandar Abung Lampung, di rumah kaca. Kesimpulannya, pemberian jerami dengan cara disebar maupun dibenamkan ke tanah vertic tropaquespts Karawang nyata meningkatkan kandungan C, N, dan K-dd, sedangkan pada tanah typic hapludox Lampung meningkatkan kandungan N dan K-dd. Penggunaan 5 ton / bahan organik berupa jerami padi, Sesbania rostrata, atau pupuk kandang pada tanah aluvial Kepanjen Malang dan Banyuangi dengan tipe iklim masing-maisng C3 dan D2 dapat menggantikan pupuk N anorganik sebanyak 45 kg N/ha pada tanaman padi sawah. Dengan kata lain jerami padi di tempat tersebut mengandung 0,9% N (Isgianto dkk. 1992). Juliardi dan Suprihatno (1995) melaporkan bahwa bahan organik berupa Sesbania rostrata, jerami padi, azolla dan pupuk
kandang dari kotoran domba, masing-masing
diberikan sebanyak 5 ton/ha yang dikombinasikan dengan pupuk urea dengan takaran 0,45, dan 90 kg / N/ha meningkatkan kandungan N total C organik, P-tersedia, dan K-dd tanah. Jerami padi mengandung 40-43 % C, senyawa C-N jerami merupakan subtrat bagi metabolisme mikroorganisme, meliputi gula, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin,
Universitas Sumatera Utara
31
lemak, dan protein, Jerami yang dibenamkan ke tanah sawah akan menstimulir fiksasi N secara heterotrofik maupun fototropik (Ponnamperuna, 1985). Kandungan bahan organik tanah sawah bergantung pada volume masukan bahan organik dan koefisien humifikasi. Pemberian jerami padi sebanyak 825 kg/ha dengan kadar C 43 % dan humifikasi koefisien 0,23 akan menghasilkan 141 kg bukan organik per tahun. Mala dan Anas (1995) menguji kecepatan berbagai strain Trichoderma harzianum dalam mengubah jerami menjadi kompos. Tanpa inokulum, proses pemanfaatan jerami menjadi kompos (C/N rasio < 20) berlangsung selama 40 hari. Dengan inokulasi sebanyak 5% dari bobot jerami, perlakuan T. harzianum strain
T. 53.3 dapat mengubah jerami
segera menjadi kompos kurang dari 20 hari, strain K.13.2, T.21.2 dan T. 74. 1 selama 2025 hari. Jerami padi dapat memperbaiki sifat fisik tanah atau disebut sebagai pembenah tanah. Brata (1998) melaporkan bahwa pembenaman jerami padi ke guludan ubi jalar dapat memperbaiki kondisi tanah, mengurangi kekerasan tanah dan penetrasi lebih ringan dibanding tanpa jerami. Menurut Bertham (2002), pemberian komps jeram padi hasil dekomposisi Gliocladium sp. dan pemberian pupuk P secara terpisah maupun secara bersama-sama dapat meningkatkan bobot kering akar, bobot kering bagian aas tanaman , jumlah polong total, bobot biji tanaman kedelai pada ultisol. Penelitian Arafah dan Sirappa (2003), menunjukkan bahwa penggunaan jerami padi dengan takaran 2 ton/ha menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding tanpa jerami pada berbagai perlakuan pemupukan. Sisworo (2006) memperlihatkan bahwa pengembalian jerami yang telah
Universitas Sumatera Utara
32
dikomposkan kedalam sawah secara nyata dapat meningkatkan serapan N tanaman padi baik musim hujan ataupun musim kemarau. Kemudaian Las et al (1999) bahwa dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan kelestarian lingkungan produksi ,termasuk mempertahankankan kandungan bahan organik tanah dengan pemanfaatan jerami padi. Basyir et al. (1994) melaporkan hasil percobaan jangka panjang (tujuh musim) pemupukan dan pemberian jerami padi pada tanah regosol beriklim D3 di Mojosari tanah grumosol , iklim C.2 di Ngale, tanah aluvia iklim C3 di Kendalpayak, dan tanah latosal iklim C3 di Jambegede. Penggunaan hara S dan Zn serta penambahan 5 ton/ha bahan organik jerami padi, sesbania, azola atau pupuk kandang tidak meningkatkan hasil padi karena pupuk N dari urea telah diberikan dalam jumlah yang cukup (250 kg/ha) dan hasil gabah pada perlakuan ini 5 ton/ha. Di kabupaten Lebak, Banten, jenis tanah podsolik merah kuning, pemberian bahan organik berupa jerami padi + 50 Sesbania rostrata meningkatkan jumlah anakan, bobot kering tanaman dan serapan N,P,K dan Mg. Namun peningkatan hasil gabah dengan pemberian bahan organik sangat kecil (Suhartatik, et al. 1999). Mala dan Syaruddin (1990), menyatakan bahwa jerami padi diberi bioaktivator Trichoderma sebanyak 10 ton/ha, mampu menekan penggunaan pupuk kimia hingga 60% untuk tanaman padi.
Eceng Gondok Eceng gondok Eichhornia crassipes (Mart) Solm), merupakan gulma air yang laju pertumbuhan yang sangat pesat dan dapat membentuk area penutupan yang luas pada
Universitas Sumatera Utara
33
permukaan perairan. Eceng gondok merupakan
tanaman herba air, perenial,
perbanyakannya sangat cepat dengan bantuan stolon horizontal yang menghasilkan anakan tanaman. Stolon tersebut berkembang dari akar, yang perkembangannya didistribusikan oleh arus air, angin, jala ikan dan kapal kecil. Pertumbuhan optimum tanaman ini pada temperatur 28oC-35oC, tetapi tanaman ini toleran terhadap lingkungan yang ekstrim (Julien et al, 2001 ). Penutupan permukaan perairan oleh eceng gondok selain dapat mengganggu aktivitas masyarakat di sekitar perairan, juga mengurangi keanekaragaman spesies yang tumbuh di perairan. Perkembangan gulma eceng godok sudah sampai pada taraf yang membahayakan sehingga mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan yang harus diwaspadai. Selain memberikan dampak negatif, eceng gondok juga memberikan dampak positif antara lain sebagai bahan baku pupuk. Produksi pupuk eceng gondok skala rumah tangga umumnya masih dilakukan dengan teknik pengomposan manual, yang memerlukan waktu lama (sekitar dua bulan) dan membutuhkan lahan yang luas. Kandungan N,P,K kompos eceng gondok (dalam % berat kering) masing-masing adalah 0,4 N; 0,114 P dan 7,53 K, sedangkan C-organik adalah 47,61 (Wahyu , 2008). Menurut Fryer dan Matsunaka (1988), eceng gondok merupakan bahan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pupuk organik karena berdasarkan hasil analisa di laboratorium mengandung antara lain 1,681% N, 0,275% P, 14,286% K, 37,654% C, dengan nilai C/N 22,339. Kemudian menurut Asrijal et al (2005), tanaman yang diberi 2 ton/ha kompos eceng gondok memberikan produksi tinggi pada tanaman padi
Universitas Sumatera Utara
34
gogo dan kedelai, yang ditanam secara tunggal masing-masing sebesar 5, 267 ton/ha dan 2,056 ton/ha.
Kulit Kopi Kulit kopi sebagai residu tanaman kopi terdiri atas kulit buah kopi (pulpa) dan kulit tanduk kopi. Dengan produksi kopi mencapai 460.000 ton biji kopi, maka pulpa kopi yang berupa produk samping dapat mencapai 121.000 ton, sedangkan produk samping kulit tanduk sebesar 22.000 ton. Produk samping kulit tanduk kopi memiliki kadar air relatif rendah sehingga berpotensi digunakan sebaga bahan bakar untuk pengering kopi. Nilai kalori kulit tanduk kopi adalah sebesar 4600 kkal/kg, sedangkan pulpa kopi dengan kandungan air 5% nilai tersebut 3300 kkal/kg (Adams and Dougan, 1982). Akan tetapi jalan keluar ini agak sulit diterapkan pada pulpa kopi yang diperoleh dari cara pengolohan basah karena tinginya kadar air bahan tersebut sehingga menjadi masalah dalam pembuangannya. Selama musim pengolahan biji kopi, produk samping pulpa kopi menumpuk sehingga menyebabkan bau yang tidak sedap, sementara drainase dari timbunan pulpa dapat mencermati sumber air disekitarnya. Sebagai produk samping padat industri kopi, kulit kopi berpotensi untuk digunakan sebagai sumber bahan organik tanah dengan syarat telah dikomposkan terlebih dahulu. Hal ini mengingat bahwa nisbah C/N pulpa kulit kopi sekitar 40, sedangkan untuk kulit tanduk kopi sekitar 140, yang merupakan angka yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan nisbah (C/N tanah).
Universitas Sumatera Utara
35
Pengomposan produk samping kopi padat mesti dilakukan untuk menghindari pengaruh negatifnya terhadap tanaman akibat nisbah C/N bahan yang tinggi, disamping untuk mengurangi volume bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta menghindarkan terjadinya pencemaran lingkungan. Kandungan hara kompos dari kulit tanduk kopi adalah 0,82 % N, 52,4% C-organik, 0,05% P2O5, 0,84% K2O, 0,58 % CaO, 0,86 MgO, sedangkan kandungan hara kompos kulit buah kopi (pulpa) adalah 2,98 % N, 45,3 % C-organik, 0,018 % P2O5, 2,28% K2O, 1,22% CaO dan 0,21 % MgO (Baon et al. 2005).
Kulit buah Kakao Komponen utama dari suatu kakao adalah kulit buah, plasenta, dan biji. Kulit buah merupakan komponen terbesar dari buah kakao, yaitu lebih dari 70% berat buah masak. Plasenta biji kakao didalam buah hanya sekitar 27-29%, sedangkan sisanya adalah plasenta yang merupakan pengikat dari 30-40 biji (Widyotomo et al, 2007). Pada areal pertanian kakao akan menghasilkan produk samping segar kulit buah sekitar 5,8 ton setara dengan produksi tepung produk samping 912 kg. Berdasarkan data statistik perkebunan 2006, luas areal kakao di Indonesia tercatat 992.448 ha, produksi 560.880 ton dan tingkat produktivitas 657 kg/ha/tahun. Bobot buah kakao yang dipanen per ha akan diperoleh 6.200 kg kulit buah dan 2.178 kg biji basah. Produksi yang tinggi menghasilkan kulit buah kakao sebagai produk samping perkebunan meningkat . Menurut Darmono dan Panji (1999), produk samping kulit kakao
Universitas Sumatera Utara
36
yang dihasilkan dalam jumlah banyak akan menjadi masalah jika tidak ditangani dengan baik. Produksi produk samping padat ini mencapai sekitar 60% dari total produksi buah. Menurut Spillane (1995), bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produk biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik , kulit buah kakao mempunyai komposisi hara senyawa yang sangat potensial sebagai media tumbuh tanaman. Setelah bijinya diambil, kulit buah merupakan sumber potensial sebagai bahan baku pupuk kompos. Potensi produk samping kulit buah kakao dari suatu pabrik pengolahan kakao sebesar 15-22 m3/ha/tahun. Produk samping kulit buah kakao tersebut merupakan sumber bahan baku pupuk organik. Pengomposan produk samping bio massa dalam hal ini kulit buah kakao harus dilakukan untuk menghindari pengaruh negatif produk samping tersebut terhadap tanaman akibat nisbah C/N bahan yang tinggi, disamping untuk mengurangi volume bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta menghindarkan terjadinya pencemaran lingkungan. Laju pengomposan tergantung pada ukuran partikel, kandungan bahan, pengadukan, aerasi dan volume tumpukan (Baon et al, 2005). Selanjutnya menurut Widyotomo et al (2007), produk samping kulit kakao dapat diolah menjadi kompos dan di aplikasikan pada perkebunan kakao atau tanaman keras lainnya. Dengan pengolahan produk samping kulit kakao menjadi kompos, maka akan diperoleh dua keuntungan yaitu hilangnya potensi timbunan produk samping sebanyak 1522 m3/tahun dari satu hektar perkebunan kakao dan dihasilkan pupuk kompos sebagai sumber hara bagi tanaman . Proses pengomposan kulit kakao lazimnya pengomposan bahan
Universitas Sumatera Utara
37
organik/produk samping pertanian lainnya yaitu pencacahan, penumpukan, pembalikan dan penyaringan. Pada dasarnya, kulit buah kakao dimanfaatkan sebagai sumber hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sagat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air dan bahan organik pada produk samping kakao sekitar 86%, pH, 5,4, N- total 1,30 %, C-organik 33,71%, P2O5 0,186 %. K2O 5,5 %, CaO 0,23 %, dan MgO 0,59% (Soedarsono et al, 1997). Namun demikian, kulit buah kakao sampai saat ini belum banyak mendapat perhatian masyarakat atau perusahaan untuk dijadikan pupuk organik. Limbah kulit buah kakao dapat diolah menjadi kompos untuk menambah bahan organik tanah. Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara kalium dan nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari total nutrien buah kakao disimpan di dalam kulit buah. Kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81% N , 26,61% C- organik, 0,31 P2O5 6,08 % K2O , 1,22% CaO, 1,37% MgO dan 44,85 cmol/kg/ KTK (Goenadi dan Away 2004). Menurut Opeke (1984), kulit buak kakao mengandung protein 9,69%, glukosa 1,16%, sukrosa 0,18%, pektin 5,30% dan theobromin 0,20%.
Universitas Sumatera Utara
38
Pengomposan Aerobik Pengomposan merupakan proses dekomposisi terkendali secara biologis terhadap produk samping padat organik dalam kondisi aerobik atau anaerobik. Pengomposan aerobik berlangsung dengan kondisi terbuka. Dalam hal ini, udara bebas bersentuhan langsung dengan bahan kompos. Pengontrolan terhadap kadar air, suhu, pH, kelembaban, ukuran bahan, volume tumpukan bahan, dan pemilihan bahan perlu dilakukan secara intensif untuk mempertahankan proses pengomposan agar stabil sehingga diperoleh proses pengomposan yang optimal, kualitas maupun kecepatannya. Pengomposan aerobik merupakan pengomposan dengan bantuan oksigen bebas dan hasil akhir berupa CO2 H2O, panas, unsur hara dan sebagian humus (Gaur, 1983). Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah. Nilai rasio C/N tanah adalah 10-12 (Djuarnani, dkk, 2008). Laju dan efisiensi proses pengomposan merupakan fungsi dan jumlah dan aktivitas organisme yang terlibat dalam proses pengomposan tersebut. Beberapa mikroba seperti Trichoderma, Aspergillus dan Penicillium mampu merombak selulosa menjadi bahan senyawa-senyawa monosakarida, alkohol, CO2 dan asam-asam organik lainnya dengan menggunakan enzim selulase (Rao, 1994).
Karbon Dioksida dan Aktivitas Mikroba Karbohidarat merupakan kelompok besar dari senyawa bahan organik yang dapat didekomposisi. Hasil utama dari reaksi kimia selama dekomposisi karbihidrat adalah
Universitas Sumatera Utara
39
volume karbon
dioksida sama dengan volume oksigen yang diabsorbsi. Polisakarosa,
selulosa dan hemiselulosa mengandung 44% karbon ( karbon) dan 50% oksigen. Senyawa tersebut didekomposisi menjadi monosakarosa secara hirolisa.
(C6H10O5)n+nH2O
nC6H12O6
Pada reaksi tersebut tidak ada konsumsi oksigen dan tidak ada karbon dioksida yang dihasilkan. Karbon dioksida dalam jumlah besar khususnya dihasilkan pada tahap akhir dekomposisi dari asam asetat menjadi karbon dioksida dan air. Karbon dioksida yang dihasilkan dalam jumlah yang sama dengan oksigen yang dibutuhkan dan membentuk banyak energi. Dari reaksi di atas dapat disusun pernyataan: a. jika karbon dioksida dialirkan melalui pertukaran udara, reaksi akan berlangsung cepat karena monosakarosa mudah larut serta persediaan oksigen yang cukup. b. Jika terjadi akumulasi karbon dioksida, maka aktivitas mikroba terhenti dan asam asetat tidak terurai. c. Jika diberikan air akan mengabsorbsi karbon dioksida dan oksigen menjadi berkurang yang menyebabkan kondisi anaerob (Jakobsen, 1994). Reaksi kimia dekomposisi karbohidrat secara keseluruhan:
C6H10O5 + 6O2
6CO2 + 5 H2O
Universitas Sumatera Utara
40
Berdasarkan reaksi di atas dikemukakan bahwa aktivitas mikroba berkaitan dengan laju difusi dan karbon dioksida, akumulasi karbon dioksida yang dihasilkan sama dengan berkurangnya volume oksigen. Menurut Ljunggren,(1991) dalam Jakobsen, (1994) bahwa jika konsentrasi oksigen pada pengomposan berkurang dari 21% menjadi 18%, maka aktivitas mikroba terhenti. Proses pengomposan berhenti apabila konsentrasi oksigen menurun menjadi 17%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan a. Ukuran Bahan Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi karena luas permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme perombak. Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara berkurang sehingga timbunan menjadi lebih mampat dan pasokan oksigen ke dalam timbunan akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal (Djuarnani et al, 2008). Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm (Yuwono, 2006).
b. Rasio C/N Rasio C/N bahan organik merupakan faktor penting dalam pengomposan. Hal ini karena pengomposan tergantung pada kegiatan mikroba yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi. Jika rasio C/N tinggi, maka aktivitas biologi mikroorganisme untuk
Universitas Sumatera Utara
41
menyelesaikan degradasi bahan kompos sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan akan memiliki mutu yang rendah, jika rasio C/N terlalu rendah (kurang dari 30), kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatilasi sebagai amonia atau terdenitrifikasi (Djuarnani et al. 2008).
c. Komposisi Bahan Untuk
mendapatkan rasio C/N sebesar 30, dilakukan dengan cara mencampur
beberapa jenis bahan. Caranya dengan membuat perbandingan yang sangat bervariasi, misalnya 1 bagian bahan yang mempunyai kandungan unsur karbon yang tinggi dengan 2 bagian bahan yang mengandung kandungan unsur karbon yang tinggi dengan 2 bagian bahan yang mengandung karbon yang rendah (Yuwono, 2006). Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat. Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar (Indiriani, 2007).
d. Kelembaban dan Aerasi Semua organisme memerlukan air untuk hidup. Pada kadar air di bawah 30% berdasarkan pada berat segar bahan, reaksi biokimia dalam tumpukan bahan kompos sangat
Universitas Sumatera Utara
42
lambat. Pada kadar air yang terlalu tinggi ruang antar partikel bahan menjadi terpenuhi oleh air dan mencegah pergerakan udara dalam tumpukan bahan. Laju dekomposisi bahan organik
bergantung
pada
kelembaban
dan
aerasi
yang
mendukung
aktivitas
mikroorganisme. Kelembaban bahan kompos dapat berkisar antara 40% -100%, tetapi kelembaban yang optimum untuk pengomposan aerobik berkisar antara 50 - 60% (Sangatana and Sangatanan,
1987; Mitchel, 1992). Kadar air berbagai bahan yang
direkomendasikan agar proses pembuatan kompos berjalan baik tertera pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kadar air berbagai bahan kompos yang direkomendasikan Bahan Kadar Air (%) Jerami
75-85
Serbuk Gergaji
75-90
Sekam
75-85
Sampah Kota
55-65
Pupuk Kandang
55-65
Sumber : Djuarnani et al. 2008. Kisaran kelembaban kompos yang baik harus dipertahankan karena jika tumpukan terlalu lembab, proses pengomposan menjadi lebih lambat. Kelebihan kandungan air akan menutupi rongga udara dalam tumpukan bahan kompos sehingga kadar oksigen yang ada berkurang. Namun, jika tumpukan terlalu kering, proses pengomposan, akan terganggu karena mikroorganisme perombak sangat membutuhkan air.
Universitas Sumatera Utara
43
Udara mutlak diperlukan oleh mikroba aerobik. Pada pengomposan aerobik dikondisikan agar setiap bagian kompos mendapatkan suplai udara yang cukup. Aerasi yang tidak seimbang akan menyebabkan timbunan berada dalam keadaan anaerob dan akan menyebabkan bau busuk dari gas yang banyak mengandung belerang (Djuarnani et al. 2008).
e. Temperatur Temperatur ideal untuk pengomposan aerobik adalah 45-650C (Yuwono, 2006). Pada pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur yang cukup kuat selama 3-5 hari pertama
dan temperatur kompos dapat mencapai 55-700C Kisaran
temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pada kisaran temperatur ini, mikroorganisme dapat tumbuh tiga kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 550C. Selain itu, pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan organik. Penurunan rasio C/N juga dapat berjalan dengan sempurna. (Djuarnani, et al. 2008). Pengomposan pada bahan yang memiliki rasio C/N tinggi seperti jerami padi atau jerami gandum, peningkatan temperatur tidak dapat melebihi 520C keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan temperatur juga tergantung dari tipe bahan yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
44
f. Keasaman (pH) Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH pengomposan aerobik yang optimal adalah 6,0-8,0. derajat keasaman bahan pada permukaan pengomposan umumnya asam sampai dengan netral (pH 6,0-7,0). Jika derajat keasaman terlalu tinggi atau terlalu basah konsumsi oksisgen akan naik dan akan memberikan hasil yang buruk bagi lingkungan. Derajat keasamaan ang terlalu tinggi juga akan menyebabkan unsur nitrogen dalam bahan kompos berubah menjadi amonia. Sebaliknya, dalam keadaan asam akan menyebabkan sebagian mikroorganisme mati (Yuwono, 2006).
g. Pengadukan / Pembalikan Pengadukan sangat diperlukan agar cepat tercipta kelembaban yang dibutuhkan saat proses pengomposan berlangsung. Pengadukanpun dapat menyebabkan terciptanya udara di bagian timbunan, terjadinya penguraian bahan organik yang mampat, dan proses penguraian berlangsung merata. Hal ini terjadi karena lapisan pada bagian tengah tumpukan akan terjadi pengomposan cepat. Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan cara pemindahan lapisan atas ke lapisan tengah, lapisan tengah ke lapisan bawah dan lapisan bawah ke lapisan atas (Musnamar dan Ismawati, 2006).
Universitas Sumatera Utara
45
h. Mikroorganisme Dilihat dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperatur rendah (10-450C) berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Sementara itu, bakteri termofilik yang hidup pada temperatur tinggi (45-650C) yang tumbuh dalam waktu terbatas berfungsi untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat (Djuarnani et al. 2008). Kondisi optimal untuk proses pengomposan menurut Rynk, (1992) adalah seperti disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Kondisi optimal proses pengomposan Uraian Kondisi yang bisa diterima
Ideal
20:1 s/d 40:1
25-35:1
Kelembaban
40-65%
45-62% berat
Ukuran partikel
1 inchi
Bervariasi
pH
5,5- 9,0
6,5-8,0
Rasio C/N
0
Suhu Konsentrasi oksigen tersedia Densitas (kg/m3)
43-66 C
54-600C
>5%
>10%
<0,7887
-
Produk dari proses pengomposan Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos, di samping kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak tedekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan pertumbuhan tanaman. Pemberian kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara
Universitas Sumatera Utara
46
tanaman dan mikroorganisme tanah. Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut Djuarnani et al. (2008) secara umum kompos yang sudah matang dapat dicirikan dengan sifat sebagai berikut: 1. Berwarna coklat tua hingga hitam dan remah 2. Tidak larut dalam air, meskipun sebagian dari kompos bisa membentuk suspensi 3. Sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirifosfat atau anonium oksalat dengan menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih lanjut menjadi zat humic, fulfic dan humic. 4. Rasio C/N sebesar 20-40, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasi 5. Memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorpsi terhadap air yang tinggi. 6. Jika digunakan pada tanah, kompos dapat memberikan efek menguntungkan bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh kandungan nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan magnesium. 7. Memiliki temperatur yang hampir sama dengan temperatur udara 8. Tidak mengandung asam lemak yang menguap 9. Tidak berbau
Universitas Sumatera Utara