4
TINJAUAN PUSTAKA Monosodium Glutamat Mutu gizi pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan (acceptability) dan penggunaan (utilisation) makanan oleh tubuh yang pada gilirannya mempengaruhi status gizi dan kesehatan individu dan masyarakat. Mutu gizi pangan merupakan salah satu komponen dari totalitas mutu pangan. Menurut UU Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, gizi pangan dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman (Hardinsyah 2000). Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan mutu gizi pangan adalah dengan menggunakan bahan tambahan pangan atau makanan. Menurut Anwar (2004) bahan tambahan makanan (BTM) digunakan untuk mendapatkan pengaruh tertentu misalnya untuk memperbaiki tekstur, rasa, penampilan, dan memperpanjang daya simpan. Berbeda dengan racun, Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan (Yuliarti 2007). Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan pada bab I pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan atau produk makanan (Saparinto & Hidayati 2009). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.325/MEN.KES/VI/1979 mengelompokan bahan tambahan makanan (BTM) berdasarkan fungsinya, yaitu 1)antioksidan dan antioksidan sinergis, 2) antikempal, 3)pengasam, penetral dan pendapar, 4) enzim, 5) pemanis buatan 6)pemutih dan pematang, 7)penambah gizi 8)pengawet, 9) pengemulsi, pemantap dan pengental, 10) pengeras, 11)pewarna alami dan sintetik, 12) penyedap rasa dan aroma, 13)sekuestran dan 14) bahan tambahan lain (Puspitasari 2000). Pemakaian BTM yang aman merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah BTM yang diizinkan untuk digunakan dalam bahan pangan harus merupakan
kebutuhan
minimum
untuk
mendapatkan
pengaruh
yang
dikehendaki. Batasannya harus ditetapkan dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu 1) perkiraan jumlah pangan yang dikonsumsi atau bahan pangan yang diusulkan ditambahkan. 2) ukuran minimal yang pada pengujian terhadap
5
binatang percobaan menghasilkan penyimpangan yang normal pada kelakuan fisiologisnya. 3) batasan terendah yang cukup aman bagi kesehatan semua golongan konsumen (Anwar 2004). Pemakaian bahan tambahan pangan di Indonesia diatur oleh Kementerian Kesehatan. Sementara, pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM). Di Amerika keduanya dilakukan oleh Food and Drug Administration (Saparinto & Hidayati 2009). Penyedap rasa atau bumbu masak saat ini sudah biasa digunakan masyarakat. Sebagian besar masyarakat merasa masakan akan hambar tanpa diberi penyedap. Menurut Saparinto dan Hidayati (2009) penyedap rasa ditambahkan untuk menambah kelezatan pada masakan selain itu juga berfungsi untuk menghilangkan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Zat penyedap rasa buatan merupakan hasil dari sintesis zat-zat kimia, salah satunya adalah vetsin atau MSG (Monosodium Glutamat). Monosodium Glutamate atau Mononatrium Glutamate adalah garam asam glutamat yang berperan pada rasa umami (gurih) (Pramadi 2006). Menurut Basri (2005) MSG merupakan senyawa dengan formula HOO-CCH(NH2)CH2CH2COONa yang dihasilkan dari hidrolisa protein nabati atau larutan dari limbah penggilingan gula tebu atau bit. Asam glutamat terdiri dari 5 atom karbon dengan 2 gugus karboksil yang pada salah satu karbonnya berkaitan dengan NH2 yang menjadi ciri asam amino (Sukawan 2008). MSG berbentuk kristal putih dengan rasa seperti daging (Mulyono 2008). Sabri et al. (2006) menyebutkan vetsin biasanya berbentuk kristal halus dan berwarna putih dibuat melalui proses fermentasi dari bahan dasar pati (gandum) dan gula molasses (tetes tebu) yang diberi nama sebagai garam natrium dari asam glutamat atau lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat. Menurut Yuliarti (2007) MSG adalah garam sodium dari asam glutamat yang ada secara alami dalam tubuh kita. Asam glutamat merupakan bagian dari kerangka utama berbagai jenis molekul protein yang terdapat dalam makanan secara alami dan dalam jaringan tubuh manusia (Winarno 2004). Asam glutamat merupakan salah satu dari 20 asam amino yang ditemukan pada protein, sementara MSG merupakan monomer dari asam glutamat. Menurut Persatuan Monosodium Glutamat dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) dalam Tobing (2009) asam glutamat terdiri dari dua bentuk yaitu bentuk terikat (in bound) dan bentuk bebas (in free form). Bentuk terikat merupakan asam glutamat yang terikat pada
6
asam amino lain membentuk protein, selanjutnya bentuk bebas merupakan asam glutamat yang tidak berikatan dengan protein. Glutamat bebas tersebut dapat bereaksi dengan ion sodium (natrium) membentuk garam MSG. Jenis garam lain seperti garam kalium glutamat dan kalsium glutamat ternyata juga memiliki daya pembangkit citarasa (Winarno 2004). Sukawan (2008) menyatakan bahwa perbedaan struktur kimia MSG dengan asam glutamat hanya terletak pada salah satu gugus karboksil asam glutamate yang mengandung hidrogen diganti dengan natrium sehingga membentuk monosodium glutamate. Penggunaan dari asam glutamat hanya efektif pada daging, ayam, sup, masakan dari ikan dan lain-lain tetapi tidak efektif untuk penyedap buah, sari buah, atau pangan berbumbu manis (Cahyadi 2006). Orang Jepang biasanya menggunakan kata umami untuk menggambarkan rasa MSG yang seperti rasa daging ikan tertentu atau kaldu (Schiffman 2000). Rasa ini dalam budaya Asia berbeda dengan empat rasa dasar (manis, asam, asin, dan pahit) (Yamaguchi dan Ninomiya 2000).
Sejarah Sejak abad ke-8 rumput laut kering telah lama digunakan sebagai bahan dalam pemasakan sup di Jepang (Sugita 2002). Penyelidikan kimiawi memperlihatkan bahwa ganggang laut (Laminaria sp) yang digunakan secara luas sebagai bumbu penyedap masakan di Jepang, merupakan substansi yang dapat mengaktifkan rasa (Sukawan 2008). Sejak tahun 1866, Ritthausen, seorang ahli kimia Jerman, berhasil mengisolasi asam glutamat. Kemudian para ilmuwan lain berhasil mengubah asam tersebut menjadi garam sodium (natrium) dan lahirlah nama Monosodium Glutamat (Belitz dan Grosch 2009). Pada tahun 1908 seorang ahli kimia Jepang dari Universitas Tokyo, Dr. Kikunae Ikeda menemukan sifat-sifat pembangkit citarasa dari MSG. Hasil penelitiannya tersebut mengungkap pula mengapa dan bagaimana rumput laut kombu (Laminaria japonica) yang sejak 1200 tahun lalu telah digunakan orang-orang sebagai penyedap sup atau pembangkit citarasa (Winarno 2004). Komersialisasi glutamat dimulai sejak tahun 1909 dengan menggunakan isolasi dari gluten gandum. Saat ini sekitar 640 000 ton MSG diproduksi setiap tahunnya di sekita 14 negara di seluruh dunia (Sugita 2002). Menurut Belitz dan Grosch (2009) pada tahun 1978 konsumsi MSG mencapai 200.000 ton di seluruh
7
dunia. Menurut data 1989, di Indonesia terdapat 9 pabrik MSG dengan estimasi produksi 16.375 ton per tahun (Winarno 2004). Di Indonesia, MSG dibuat menggunakan bahan baku dari tetes tebu (molasses) melalui proses peragian atau fermentasi, seperti pada proses pembuatan tape, kecap, bir, dan sebagainya. Tetes tebu atau molasses ini adalah hasil sampingan dari penggilingan tebu di pabrik-pabrik gula putih, yang banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, MSG juga dapat dibuat dari bahan baku lain seperti tapioka (singkong) dan sejenisnya (Tobing 2009).
Metabolisme MSG Asam glutamat digolongkan pada asam amino non esensial karena dapat dihasilkan dalam tubuh manusia. Metabolisme asam amino non esensial termasuk glutamat tersebar luas di dalam jaringan tubuh (Sukawan 2008). Glutamat dari semua sumber tersebut sebagian besar digunakan sebagai bahan bakar energi di eritrosit (Beyreuther et al. 2006). Sedangkan glutamat yang berasal dari makanan merupakan sumber energi utama dan substrat yang penting untuk sintesis glutathione dan asam amino lainnya dalam usus (Reeds et al. 2000). Asam amino dikarboksilat, aspartat dan glutamat memiliki peranan penting dalam produksi energi, sintesis urea, sintesis glutathione dan sebagai neurotransmitter. Asam-asam amino ini merupakan asam amino utama yang terdapat dalam mitokondria sel dan merupakan 50-70% dari total asam amino bebas. Dalam jumlah besar, secara normal glutamat terdapat di otak dan hati manusia (Sukawan 2008). Lidah manusia merasakan glutamat bebas dalam makanannya melalui reseptor rasa sebagai rasa umami (Brand 2000), hal ini terjadi karena makanan tersebut mengandung bentuk lain dari glutamat sebagai bagian dari protein. Hampir semua bentuk glutamat makanan baik dalam bentuk bebas maupun yang terkandung dalam protein, dimetabolisme dalam mukosa usus (Reeds et al. 2000). Glutamat dan aspartat akan dimetabolisme secara cepat oleh usus dan hati. Kemudian glutamat yang diserap ditransaminasikan dengan piruvat ke bentuk alanin. Alanin tersebut bersama asam amino dikarboksilat menghasilkan aketoglutarat atau oksaloasetat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya asam
8
amino dikarboksilat yang dilepas ke darah portal. Glutamat dan asam aspartat yang lolos dari mukosa dibawa melalui vena porta ke hati. Sebagian glutamat dan aspartat dikonversikan oleh usus dan hati ke bentuk mukosa dan laktat, kemudian dialirkan ke dalam darah perifer (Sukawan 2008). Menurut Sukawan (2008) 57% dari asam amino yang diabsorbsi tubuh akan dikonversikan menjadi urea di hati, 6% dirubah menjadi plasma protein, 23% asam amino diserap melalui sirkulasi darah sebagai asam amino bebas, dan sisanya sebanyak 14% masih belum diketahui dan diduga disimpan sementara di dalam hati sebagai protein hati atau enzim. Pemberian MSG secara parenteral akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian per oral karena pada pemberian secara parenteral, MSG tidak melalui usus dan vena portal. Sedangkan pada pemberian per oral, MSG akan melalui usus ke sirkulasi portal dan hati. Hati mempunyai kesanggupan untuk metabolismee asam glutamate ke metabolit lain. Oleh karena itu, apabila pemberian glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati, maka akan menyebabkan peningkatan glutamate plasma (Sukawan 2008). Menurut Stegink et al. diacu dalam Sukawan (2008) kapasitas Metabolisme glutamat oleh hati meningkat sejalan dengan meningkatnya umur. Sukawan (2008) menyebutkan pemberian MSG dosis besar baik pada manusia maupun hewan percobaan hanya meningkatkan sedikit kadar glutamat plasma. Tetapi pemberian MSG yang dilarutkan dalam air menghasilkan kadar glutamat plasma yang lebih tinggi. Menurut Tsai dan Huang (2000) glutamat yang berasal dari penambahan MSG pada makanan berkuah dimetabolisme oleh tubuh dengan sangat cepat.
Batasan Penggunaan Sebelum tahun 1960-an MSG biasanya digunakan oleh
golongan
masyarakat tertentu saja seperti di Cina, Jepang, Korea, Thailand, Vietnam dan Myanmar. Takarannya sangat kecil yakni 1-2 korek kuping (setara dengan 30-60 mg) untuk setiap porsi masakan ala Cina. Makanan tradisional dan lokal asli Indonesia tidak menggunakan sama sekali, karena sudah terasa lezat dan gurih oleh ramuan bumbu rempah. Namun pada pertengahan tahun 1960-an, produk MSG diimpor dari Jepang dan Korea, serta gencar diiklankan melalui berbagai media baik di kota maupun di desa. Sekarang hampir semua golongan penduduk di Indonesia sudah mengenalnya namun takaran penggunaannya sangat
9
berlebihan dan tidak wajar. Hal ini disebabkan karena kemasan produk MSG tidak disertai alat takar dan pedoman takaran pemakaian, maka bubuk ini dipakai hingga melampaui batas kewajaran (Budiarso 2003). Tahun 1987 WHO menghapus batasan penggunaan zat penyedap rasa, khususnya asam glutamat yang semula dibatasi 120 mg/kg berat badan/hari. Dengan kata lain, WHO menyatakan bahwa MSG aman untuk dikonsumsi. Dengan dihapusnya batasan penggunaan MSG, banyak orang lupa dengan daya toleransi tubuh terhadap MSG, yang bisa berakibat fatal bagi kesehatan. Penggunaan MSG yang berlebihan lebih banyak mengandung risiko dari pada manfaat (Saparinto & Hidayati 2009). Beberapa negara industri dan negara maju menetapkan konsumsi MSG yang masih bisa ditoleransi sebesar 0,3-1 gram per hari (Yuliarti 2007). Konsumsi MSG dalam jumlah besar pada orang-orang hypersensitive dapat menyebabkan gejala reaksi Chinese Restaurant Syndrome (CRS) berupa gangguan sementara dada dan leher panas, sesak nafas dan sakit kepala (Belitz & Grosch 2009). Penelitian Woessner et al. (1999) menyebutkan terdapat peningkatan serangan pada penderita asma setelah mengonsumsi MSG, keluhan muncul pada kelompok yang mengonsumsi 0.5-2.5 gram MSG, sementara untuk penyakit kelainan syaraf seperti Alzheimer dan Hungtinton chorea tidak terbukti berhubungan dengan konsumsi MSG. Selanjutnya hasil penelitian Kobayashi et al. (2006) menyatakan kemampuan identifikasi rasa MSG pada kelompok yang terpapar MSG lebih tinggi daripada kelompok kontrol, namun ketika paparan MSG dihentikan kemampuan identifikasi dapat kembali menurun. Sebagian besar penggunaan MSG dalam masakan di seluruh dunia adalah sebagai penyedap sup, kaldu, saus dan lainnya. MSG juga terkandung dalam berbagai produk makanan kalengan seperti daging beku, sayur-sayuran dan lainnya. Hasil penelitian tentang rasa menyebutkan bahwa penambahan MSG sebanyak 0.1-0.8% dari berat bahan makanan akan memberikan kualitas citarasa terbaik. Pada masakan rumah atau restoran, jumlah ini setara dengan 12 sendok teh per kilogram daging atau per 8-12 porsi sayur ataupun sup (Sugita 2002). Konsumsi MSG rata-rata orang Indonesia adalah 0,12 kg per orang per tahun dan untuk anak-anak sekolah sekitar 0,06 kg/kapita/tahun (Winarno 2004). Menurut data Indochemical diacu dalam Taufiqurohman et al. (2001) selama tahun 1999 Indonesia mengonsumsi 119 ribu ton MSG yang jika dihitung dengan
10
jumlah penduduk sama dengan 550 gram per orang per tahun, atau kurang lebih 1,5 gram sehari. Kuantitas itu adalah lebih tiga kali lipat dari batas keamanan yang dinyatakan oleh FASEB (Federation of American Societies for Experimental Biology) dan FDA di Amerika Serikat. Di negara-negara Eropa, total asupan glutamat dari makanan pada umumnya stabil dan berkisar antara 5-12 g/hari (glutamat bebas 1 g, glutamate terikat pada protein 10 g, dan ditambahkan sebagai penyedap sebanyak 0.4 g). Sedangkan rata-rata asupan glutamat yang ditambahkan dalam bentuk MSG di negara-negara Eropa berkisar antara 0.3 hingga 0.5 gram/hari dan di negaranegara Asia berkisar antara 1.2 hingga 1.7 gram per hari (Beyreuther et al. 2006). Hasil penelitian Astuti (2003) yang dilakukan di Semarang menunjukkan bahwa rata-rata pemakaian MSG per porsi pada pedagang bakso adalah 4,79 gram dengan maksimum pemakaian adalah 10,35 gram per porsi. Total asupan maksimum 16 g/ kg berat badan dianggap aman (Beyreuther et al. 2006). Penelitian pada manusia tidak membuktikan MSG menjadi penyebab Chinese Restaurant Syndrome (CRS) sehingga JEFCA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) menyatakan MSG sebagai bahan yang aman selama masih digunakan dalam jumlah yang wajar (Lupien & Walker 2000).
Kontroversi Percobaan
mengenai
efek
toksik
MSG
menunjukan
hasil
yang
kontroversial. Berdasarkan berbagai penelitian yang umumnya dilakukan pada hewan percobaan dalam periode neonatal atau infant dengan pemberian MSG dosis tinggi melalui penyuntikan, telah ditemukan beberapa bukti bahwa MSG dapat menyebabkan nekrosis pada neuron hipotalamus, nucleus arkuata hipotalamus, kemandulan pada jantan dan betina, berkurangnya berat hipofisis, anterior, adrenal, tiroid, uterus, ovarium, dan testis, kerusakan fungsi reproduksi dan berkurangnya jumlah anak (Sukawan 2008). Adapun penelitian Sabri et al. (2006) menyebutkan bahwa MSG yang diberikan pada induk mencit yang sedang hamil dapat bersifat embriotoksik dan teratogenik. Penelitian Morrison et al. (2007) membuktikan bahwa pemberian MSG pada tikus percobaan meningkatkan perkembangan diabetes tipe II dan menyebabkan perubahan kadar amin pada beberapa jaringan berubah secara signifikan.
11
Sejak tahun 1970 US-FDA telah melaksanakan penelitian terhadap keamanan pangan bagi konsumsi MSG, demikian halnya lembaga-lembaga lain di Amerika Serikat maupun negara lain. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga yang independen seperti misalnya Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB), diumumkan pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa MSG dinyatakan aman pada rata-rata dosis digunakan saat itu. Namun mereka juga bahwa keamanan pada peningkatan jumlah konsumsi MSG yang tinggi masih diperlukan evaluasi tambahan (Winarno 2004). Dr. Rinchard A. Kenney dari Medical Center Universitas George Washington, Washington DC telah melakukan penelitian menggunakan kontrol terhadap manusia percobaan yang terpilih sedemikian rupa, sehingga secara statistik telah mewakili. MSG dimasukkan tubuh melalui oral demikian juga dengan placebo (blanko) yang tidak berisi MSG. Hasilnya menunjukkan bahwa sepertiga dari jumlah manusia percobaan yang diberi dosis tinggi MSG (tetapi masih dalam kisaran jumlah wajar untuk dikonsumsi manusia) tidak menunjukkan gejala-gejala yang aneh. Di antara mereka yang merasa dirinya peka terhadap MSG ternyata bereaksi sama bila mereka mengonsumsi placebo (Winarno 2004). Banyak penelitian menyebutkan MSG bisa menyebabkan Chinese Restaurant Syndrome (CRS) dan gangguan pada penderita asma. Namun penelitian Walker (1999) tidak menemukan keterkaitan MSG dengan CSR demikian juga Stevenson (2000) menyimpulkan bahwa MSG tidak berkaitan dengan asma. Hal tersebut dipertegas juga oleh penelitian Yoneda et al. (2010) yang menunjukkan bahwa MSG tidak terlibat dalam pengembangan penyakit asma akut. Penelitian Xiong et al. (2009) menyebutkan penggunaan vitamin C secara bersamaan dapat mengurangi efek samping dari MSG. Berbagai penelitian yang kemudian dilakukan hasilnya banyak yang bertentangan dan sebaliknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat dan gejala yang ditimbulkan oleh MSG pada manusia belum cukup lengkap untuk dapat diungkapkan secara gamblang dan memuaskan (Cahyadi 2006). Mesti pembuktiannya masih menjadi perdebatan setidaknya kita sebaiknya membatasi penggunaannya seminimal mungkin dan menggantinya dengan bumbu alami yang lebih sehat. Meskipun sudah dibuktikan dan dinyatakan bahwa MSG aman, beberapa negara dalam peraturannya masih mewajibkan pencatuman adanya MSG dalam label sebagai flavor enhancer (Winarno 2004). Hal ini terjadi karena dalam
12
kenyataannya perhatian dan keraguan terhadap konsumsi MSG memang cukup tinggi, tetapi kontroversi terhadap MSG saat ini sudah mereda.
Persepsi Riyanto (2010) menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan sehingga pengalaman akan mempengaruhi kecermatan persepsi. Persepsi yang dibentuk seseorang dipengaruhi pikiran dan lingkungan sekitarnya dan secara substansi bisa sangat berbeda dengan realita, dengan kata lain persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar juga keadaan individu yang bersangkutan. Persepsi memiliki sifat subjektif karena setiap orang akan memandang suatu objek atau situasi dengan cara yang berbeda-beda (Setiadi 2003). Riyanto (2010) menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri atas faktor stimulus, faktor perseptor dan faktor situasi. Faktor stimulus adalah faktor yang bersumber dari objek yang mencakup kekuatan stimulus dan faktor penarik perhatian. Faktor perseptor adalah faktor-faktor yang datang dari orang yang melakukan proses persepsi yang mencakup faktor biologis dan faktor sosio-psikologis seperti motif sosiogenis, sikap, emosi, kepercayaan, kebisaaan dan kemauan. Selanjutnya faktor situasi merupakan konteks dimana proses persepsi tersebut berlangsung baik situasi fisik maupun non-fisik. Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa adanya perbedaan persepsi antara konsumen yang satu dengan yang lain dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan budaya. Kotler (2003) menyatakan persepsi yang berbeda terhadap objek yang sama disebabkan oleh proses pembentukan persepsi yang mengalami tiga tahap yaitu perhatian selektif, distorsi selektif dan ingatan atau retensi selektif. Menurut Simamora (2004), apabila persepsi melekat dalam waktu yang lama maka akan terbentuk citra (image). Riset di bidang persepsi umumnya menyangkut citra produk. Terdapat dua kesulitan dalam mengukur citra, yaitu (1) konseptualisasi citra, citra adalah konsep yang mudah dimengerti, tetapi sulit untuk dijelaskan secara sistematis karena sifatnya yang abstrak dan (2) pengukuran, tidak terdapat alat ukur yang pasti, karena citra bersifat abstrak dan subjektif. Salah satu cara untuk menggambarkan citra produk adalah dengan
13
menggunakan metode sarang laba-laba. Metode ini menggunakan analisis multiatribut.
Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil yang diperoleh setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yakni (Notoatmodjo 2007): 1.
Tahu (know): diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang sfesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.
2.
Memahami
(comprehension):
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3.
Aplikasi
(application):
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. 4.
Analisis (analysis): suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sam lain.
5.
Sintesis
(synthesis):
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6.
Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penilaian atau responden. Pengetahuan didefenisikan secara sederhana sebagai informasi yang
disimpan dalam ingatan. Pengetahuan yang tersimpan di dalam ingatan merupakan determinan utama dalam pemahaman (Engel 1995). Sumarwan (2004) menyatakan bahwa pengetahuan konsumen adalah semua informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai
macam produk dan jasa, serta
14
pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk jasa tersebut dan informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen. Dalam hal ini pengetahuan ibu mencakup tentang informasi keamanan produk atau bahan MSG buatan yang dapat diperoleh ibu dari berbagai sumber baik lingkungan maupun media massa. Mowen dan Minor (2002) membagi pengetahuan konsumen menjadi tiga kategori yaitu: (1) pengetahuan objektif, (2) pengetahuan subjektif, dan (3) informasi mengenai pengetahuan lainnya. Pengetahuan objektif adalah informasi yang benar mengenai kelas produk yang disimpan di dalam memori jangka panjang konsumen. Pengetahuan subjektif adalah persepsi konsumen mengenai apa dan berapa banyak yang diketahui mengenai kelas produk. Konsumen mungkin juga memiliki informasi mengenai pengetahuan berbagai hal lainnya. Pengetahuan dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Menurut Andarwulan et al. (2009) tingkat pengetahuan dan keamanan pangan siswa berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan pangan yang dibeli. Demikian juga menurut Amelia (2008) pengetahuan merupakan landasan penting untuk terjadi perubahan sikap dan perilaku gizi. Tingkat pengetahuan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Oleh sebab itu pengetahuan ibu mengenai keamanan penggunaan MSG merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan praktik penggunaan MSG pada ibu rumah tangga.
Sikap Menurut Riyanto (2010) sikap merupakan daya pendorong berupa kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasakan sesuatu yang ada dalam diri seseorang dan mengandung aspek evaluatif. Sikap adalah suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau obyek. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap belum merupakan tindakan tetapi merupakan predisposisi terjadinya tindakan atau perilaku. Menurut Engel et al. (1995) sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
15
pembentukkan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu (Suhardjo 2003). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo 2007): 1. Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). 2. Merespon
(responding).
Memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut. 3. Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. 4.
Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Menurut Sumarwan (2004) sikap adalah ungkapan perasaan konsumen
tentang
suatu
objek,
terkait
suka
atau
tidak
suka.
Sikap
juga
bisa
menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap atribut atau manfaat dari objek tersebut. Sikap memiliki tiga unsur, yaitu kognitif (kepercayaan terkait objek), afektif (perasaan terkait objek) dan konatif (kecenderungan untuk bertindak). Sikap seseorang dapat diketahui dari kecenderungan seseorang tersebut dalam bertingkah laku terhadap suatu objek tertentu. Sikap terbentuk karena ada faktor pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor pengaruh emosional (Azwar 2003). Berbagai literatur psikologi dari penelitian-penelitian perilaku juga membuktikan bahwa sikap adalah peramal penting dari perilaku, kecenderungan berperilaku, dan faktor yang menjelaskan variasi perilaku (Kotchen & Reiling 2000 diacu dalam Mostafa 2007). Secara sederhana sikap merupakan ekspresi apakah ibu rumah tangga suka atau tidak
16
suka
terhadap
penggunaan
MSG
berkaitan
dengan
pengetahuan
dan
persepsinya. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo 2007).
Praktik Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Praktik terjadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, dan selanjutnya ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang sudah diketahuinya. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan nyata diperlukan suatu faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoadmodjo 2007). Praktik terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu 1) persepsi (perception): mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, 2) respon terpimpin (guide respons): dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh, 3) mekanisme (mechanism): Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebisaaan, 4) adaptasi (adaptation) adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi tindakan tersebut (Notoatmodjo 2007). Maulana (2007) menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendorong, dan faktor penguat. Faktor predisposisi (predisposing factor) merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebisaaan, nilai-nilai, norma sosial, budaya dan faktor sosiodemografi. Faktor pendukung (enabling factors) merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku berupa lingkungan fisik yang mendukung terjadinya suatu perilaku. Faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Sedangkan Notoatmodjo (2007) berpendapat bahwa faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam pembentukan perilaku
17
dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal. Persepsi termasuk faktor internal dari pembentukkan perilaku sehingga perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Menurut Maulana (2007) wawancara merupakan cara yang tepat untuk mengukur pengetahuan dan sikap pada penelitian kualitatif. Sementara itu, untuk memperoleh data tindakan atau perilaku dapat diperoleh melalui observasi ataupun wawancara dengan mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan responden sebelumnya.
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Faktor yang melatarbelakangi masalah gizi di negara berkembang diantaranya adalah keadaan sosial ekonomi. Faktor-faktor sosial ekonomi seperti besar keluarga, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap timbulnya masalah gizi (Khumaidi 1989).
Pendidikan Khumaidi (1989) berpendapat bahwa pendidikan orang tua terutama ibu erat kaitannya dengan pemilihan makanan yang bergizi baik untuk keluarganya. Pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap tingkat perawatan kesehatan, higiene, kesadaran terhadap anak dan keluarga. Pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan individu. Pengetahuan dan kesehatan merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pendidikan. Pengetahuan tentang gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Pengetahuan tentang gizi dan kesehatan yang semakin baik dapat mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan mempertahankan kesehatan individu (Suhardjo 1989). Menurut Syarief (1997) tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memilih makanan yang kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebisaaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik.
18
Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga Pekerjaan
merupakan salah satu faktor yang merupakan masukan
(input) bagi terbentuknya suatu gaya hidup keluarga. Keluarga dan masyarkat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan, dan semkai tinggi penghasilan itu, semkain menurun bagian penghasilan yang dipakai untuk membeli makanan (Suhardjo 1989). Penelitian di Banglades oleh Roushan (1996) diacu dalam Yuliansyah (2006) menyebutkan bahwa status gizi anak dipengaruhi oleh pekerjaan orang tua, jarak kelahiran dan jumlah anggota keluarga. Bagi ibu-ibu yang bekerja menunjukkan adanya kecendrungan makanan yang lebih baik (Suhardjo 2003). Semakin tinggi tingkat ekonomi keluarga semakin tinggi pula kualitas gizi konsumsi pangannya (Khumaidi 1989). Keadaan ekonomi akan mempengaruhi daya beli seseorang dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini akan mengakibatkan seseorang yang berpendapatan lebih tinggi akan memiliki kemampuan membeli bahan pangan yang berkualitas dengan jumlah yang cukup dibandingkan dengan orang yang berpendapatan lebih rendah (Sanjur 1982). Faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebisaaan makan masyarakat. Rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam (Rodiah 2010).
Besar Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI 1988). Menurut Suhardjo (1989), secara garis besar keluarga dapat dibagi atas keluarga inti dan keluarga dalam arti luas. Keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri dengan anak-anaknya. Sedangkan keluarga dalam arti luas yaitu keluarga yang tidak terbatas hanya pada keluarga inti, melainkan terdiri dari beberapa generasi, selain orang tua dan anak-anaknya terdapat pula kakek, nenek, paman, bibi, saudara, sepupu, menantu, dan cucu. Menurut Hurlock (1998) besar keluarga menggambarkan keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak-anak. Besar
19
keluarga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang atau sama dengan empat orang. Keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lima sampai tujuh orang, dan keluarga besar adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari delapan orang.