Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat (MSG) Pada Pembentukan Mikronukleus Sel Darah Merah Mencit The Effect of Monosodium Glutamate (MSG) In Mice Red Blood Cell Micronucleus Formation Riska Handayani Rangkuti, Edy Suwarso* dan Poppy Anjelisa Z. Hsb Departemen Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
ABSTRAK
Latar Belakang: Monosodium glutamat (MSG) merupakan garam natrium dari asam glutamat (asam amino non-esensial). Monosodium glutamat banyak digunakan sebagai penyedap rasa pada makanan. Tujuan: untuk mengetahui efek MSG membentuk mikronukleus pada sel darah merah sumsum tulang femur mencit. Metode Penelitian: Makanan yang diberikan terhadap mencit adalah MSG yang dicampurkan ke dalam pelet. MSG yang dicampurkan ke dalam pelet diberikan terhadap mencit dengan dosis 3, 6 dan 9 g/hari, selama 14 hari berturut-turut. Setelah itu mencit dibunuh untuk diambil sumsum tulang femur dan dibuat preparat apusan. Aktivitas mutagenik ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah mikronukleus dalam setiap 200 sel eritrosit polikromatik pada preparat apusan sumsum tulang femur mencit. Hasil: Hasil analisis variansi (ANAVA) secara signifikan menunjukkan bahwa pemberian MSG meningkatkan jumlah mikronukleus pada 200 sel eritrosit polikromatik yang terdapat pada apusan sumsum tulang femur mencit dibandingkan terhadap kelompok kontrol (p < 0,05). Kesimpulan: Pemberian MSG dosis 9 g/hari menunjukkan jumlah mikronukleus yang lebih banyak dibandingkan dosis 3 dan 6 g/hari. Kata Kunci: monosodium glutamat (MSG), mutagenik, mikronukleus
ABSTRACT Background: Monosodium glutamate (MSG) is a sodium salt of glutamic acid (non-essential amino acids). Monosodium glutamate is used in many food seasonings. Objective: The purpose of this study was to determine the effect of MSG on the mice femur bone marrow red blood cells micronucleus formation. Methods: The food given to the mice was MSG added in pellets. MSG added in pellets were given to the mice at dose of 3, 6 and 9 g/day for 14 consecutive days. Then the mice were killed for their femur bone marrow and the smear preparations. Mutagenic activity was shown by the increasing number of micronucleus in every 200 polychromatic erythrocytes cells in the femur bone marrow smear preparation of mice. Results: The analysis of variance (ANOVA) significantly showed that the administration of MSG increased the number of micronucleus in every 200 polychromatic erythrocytes cell found in the femur bone marrow smear of mice compared to the control group (p < 0.05). Conclusion: The administration of MSG with dose of 9 g/day showed that the number of micronucleus is more than the administration with dose of 3 and 6 g/day. Keywords: monosodium glutamate (MSG), mutagenic, micronucleus
*Korespondensi penulis:
[email protected]
29
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
Dari berbagai macam penelitian yang umumnya dilakukan pada hewan percobaan dalam periode neonatal atau infant dengan pemberian MSG dosis tinggi melalui penyuntikan, telah ditemukan beberapa bukti bahwa MSG dapat menyebabkan nekrosis pada neuron hipotalamus, nukleus arkuata hipotalamus, kemandulan pada jantan dan betina, berkurangnya berat hipofisis, anterior, adrenal, tiroid, uterus, ovarium, dan testis, kerusakan fungsi reproduksi, dan berkurangnya jumlah anak (Wakidi, 2012). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2005, terhadap tikus yang pada makanannya ditambah MSG 10 g/kg BB/hari, setelah 45 hari memperlihatkan adanya disfungsi metabolik berupa peningkatan kadar glukosa darah, triasilgliserol, insulin dan leptin (Farombi dan Onyema, 2006). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa pada tikus neonatus yang dipajankan MSG terjadi gangguan perkembangan testis, sel sertoli dan sel leydig pada masa prapubertasnya. Ternyata selain menyebabkan gangguan pada aksis neuroendokrin sistem reproduksi MSG juga mengakibatkan stres oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi (Franca, dkk., 2006). Penelitian lain yang dilakukan Pizzi, dkk., (1977) pada anak mencit jantan dan betina yang baru dilahirkan dengan melakukan penyuntikan MSG secara subkutan dari hari ke-2 sampai hari ke-11, dengan dosis berangsur-angsur meningkat, dari 2,2 sampai 4,2 mg/kg BB, diperoleh hasil tanda-tanda infertilitas, misalnya berkurangnya berat testis. Kadar asam glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah konsumsi MSG 30 mg/kg BB/hari, yang berarti sudah mulai melampaui kemampuan metabolisme tubuh. Bila masih dalam batas terkendali, peningkatan kadar ini akan menurun kembali ke kadar normal atau seperti kadar semula dalam 3 jam, berarti rata-rata dalam sehari dibatasi
PENDAHULUAN MSG adalah garam natrium dari asam glutamat (glutamic acid). MSG telah dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai penambah rasa makanan dalam bentuk L-glutamic acid, karena penambahan MSG akan membuat rasa makanan menjadi lebih lezat. Masyarakat Indonesia rata-rata mengkonsumsi MSG sekitar 0,6 g/kg BB (Prawirohardjono, dkk., 2000). MSG ditemukan pertama kali oleh dr. Kikunae Ikeda seorang ahli kimia Jepang pada tahun 1909, mengisolasi asam glutamat tersebut dari rumput laut ‘kombu’ yang biasa digunakan dalam masakan Jepang, kemudian dia menemukan rasa lezat dan gurih dari MSG yang berbeda dengan rasa yang pernah dikenalnya, oleh karena itu, dia menyebut rasa itu dengan sebutan ‘umami’ yang berasal dari bahasa Jepang ’umai’ yang berarti enak dan lezat, rasa umami ini dapat bertahan lama, di dalamnya terdapat suatu komponen L-glutamat dan 5ribonukleotida. Rangsangan selera dari makanan yang diberi MSG disebabkan oleh kombinasi rasa yang khas dari efek sinergis MSG dengan komponen 5ribonukleotida yang terdapat di dalam makanan, yang bekerja pada membran sel reseptor kecap atau lidah (Wakidi, 2012). Kemajuan teknologi informasi membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup masyarakat, termasuk perubahan pola konsumsi makanan yang lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat saji, makanan kemasan dan awetan yang belakangan ini semakin banyak dijual di pasar tradisional dan swalayan. Penggunaan bahan tambahan makan banyak sekali digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti senyawa Lasam glutamat yang digunakan dalam bentuk garamnya yaitu MSG. Berbagai merk dagang MSG telah dikenal di masyarakat secara luas seperti ajinomoto, vetsin, micin, sasa, miwon dan sebagainya (Maidawilis, 2010).
30
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
penambahan maksimal 2,5-3,5 g MSG (berat badan 50-70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi sekaligus. Sementara, satu sendok teh rata-rata berisi 4-6 g MSG (Maidawilis, 2010). Beberapa kali muncul kekhawatiran di media, terutama diwakili oleh Lembaga Konsumen, soal di pasaran ada berbagai produk makanan ringan dalam kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak, tidak mencantumkan kandungan MSG (vetsin). Kritik tersebut menyatakan, konsumsi MSG dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak-anak. Menteri Kesehatan pun sudah memberi pernyataan yang meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menarik produk makanan kemasan yang tidak mencantumkan kandungan MSG atau seberapa jauhkah sebenarnya MSG membahayakan kesehatan manusia (Ardyanto, 2004). Menurut Blaycock (1997), penulis buku Excitotoxins “The Taste That Kills”, MSG adalah excitotoxin yaitu zat kimia yang merangsang dan dapat mematikan sel-sel otak. Blaycock menyatakan bahwa MSG dapat memperburuk gangguan saraf degeneratif seperti alzheimer, penyakit parkinson, autisme serta ADD (attention deficit disorder). MSG juga meningkatkan resiko dan kecepatan pertumbuhan sel-sel kanker. Ketika konsumsi glutamat ditingkatkan, kanker tumbuh dengan cepat, dan kemudian ketika glutamat diblokir, secara dramatis pertumbuhan kanker melambat. Para peneliti telah melakukan beberapa eksperimen di mana mereka menggunakan pemblokir glutamat yang dikombinasi dengan pengobatan konvensional, seperti kemoterapi, dan hasilnya sangat baik. Pemblokiran glutamat secara signifikan meningkatkan efektivitas obat-obat anti kanker. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan pengujian efek mutagenik MSG secara in vivo pada mencit dengan terbentuknya mikronukleus. Sebagai mutagen digunakan
siklofosfamid. Metode ini dilakukan karena prosesnya mudah dan tidak memerlukan alat dan biaya yang terlalu mahal dan metode ini paling umum digunakan oleh peneliti untuk melihat efek mutagenik suatu senyawa tertentu (Sitorus, 2012). METODE PENELITIAN Alat-Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, neraca digital (vibra), stopwatch, mortir dan stamfer, neraca hewan (presica), spuit ukuran 1 ml, alat bedah (wells spencer), mikroskop (boeco, BM-180, halogen lamp), sentrifugator (dynamica, velocity 18R), politube, microtube, kamera digital MDCE-5A. Bahan-Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah MSG, makanan hewan berupa pelet, metanol, larutan giemsa, minyak emersi, NaCl 0,9%, serum darah sapi (SDS) dan siklofosfamid (Cyclovid®, Novell). Pengujian efek mutagenik pada mencit penelitian Pengujian efek mutagenik dilakukan dengan cara uji mikronukleus dengan modifikasi. Hewan penelitian dikelompokkan menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor hewan percobaan. Kelompok tersebut adalah: -
-
-
-
31
Kelompok I: Kontrol normal, diberikan pelet secara per oral l0 g/hari, selama 14 hari. Kelompok II: Perlakuan, diberikan pelet 7 g/hari yang dicampurkan dengan MSG 3 g/hari selama 14 hari. Kelompok III: Perlakuan, diberikan pelet 4 g/hari yang dicampurkan dengan MSG 6 g/hari selama 14 hari. Kelompok IV: Perlakuan, diberikan pelet 1 g/hari yang dicampurkan dengan MSG 9 g/hari selama 14 hari.
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
-
Kelompok V: Pembanding, diberikan pelet 10 g/hari selama 14 hari, dan pada hari ke-15 di induksi dengan LS 50 mg/kgBB secara i.p. Setelah 30 jam pemberian siklofosfamid, semua mencit penelitian dibunuh dengan cara dislokasi leher dan diambil sumsum tulang femurnya dengan cara diaspirasi menggunakan spuit yang berisi SDS sebanyak 0,3 ml dan ditampung di dalam mikrotube (Khrisna dan Hayashi, 2000; Purwadiwarsa, dkk., 2000; Khumphant, dkk., 2002).
selama 10 menit. Kemudian diberikan pewarna giemsa dibiarkan 30 menit, dibuang zat warna dengan dibilas dengan air yang mengalir kemudian apusan dikeringkan (Khrisna dan Hayashi, 2000; Sofyan, 2005). Pengamatan apusan Data pengamatan masing-masing hewan dipresentasikan dalam bentuk tabel. Jumlah eritrosit polikromatik bermikronukleus maupun tidak bermikronukleus dihitung paling tidak sebanyak 200 sel (EPA, 1998). Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10×100 dengan bantuan minyak immersi (Khrisna dan Hayashi, 2000).
Pembuatan preparat apusan sumsum tulang femur Campuran sumsum tulang dan SDS dalam microtube diputar (disentrifuge) dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit, kemudian dipisahkan endapan dan supernatannya. Endapannya disuspensikan kembali dengan dua tetes SDS, satu tetes suspensi sel diambil dan diletakkan ke atas objek glass, dengan menggunakan objek glass yang lain, sel dihapuskan menjadi preparat apusan. Kemudian slide dikeringkan, difiksasi dengan metanol
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian efek mutagenik Gambar pengamatan sel pada apusan sumsum tulang femur mencit pada mikroskop cahaya dengan pewarna giemsa dan perbesaran 400x dapat dilihat pada Gambar 1.
A
B
C D Gambar 1. Sel-sel yang diamati pada apusan sumsum tulang femur mencit
32
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
Keterangan gambar: A : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (MSG 3 g) B : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (MSG 6 g) C : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (MSG 9 g) D : Sel eritrosit polikromatik tidak bermikronukleus (kontrol normal) (Sumber: Sitorus, 2012) Secara teoritis mikronukleus merupakan kromatin sitoplasmik yang tampak sebagai inti kecil terbentuk dari patahan kromosom yang diasingkan dari inti (nukleus) pada tahap anafase pembelahan sel. Setelah mencapai tahap telofase, elemen sentris menjadi inti sel anak, sedang fragmen kromosom yang tertinggal tetap berada pada sitoplasma membentuk inti kecil yang disebut mironukleus. Zat asing bersifat mutagen seperti MSG, berpengaruh pada proses pembelahan sel. Kanker berawal dari kelainan gen yaitu pada kromosom. Terjadinya kerusakan kromosom yang mengarah ke kanker, dapat termanifestasikan sebagai suatu mikronukleus (patahan kromosom) (Sumpena, dkk., 2009). Terbentuknya mikronukleus setelah pemberian MSG menandakan bahwa MSG mutagenik. Pada penelitian ini sumsum diambil dari tulang femur atas pertimbangan bentuk tulang femur lurus dan ukurannya relatif besar, sehingga pengambilan sumsum lebih mudah. Struktur mikronukleus yang teramati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali tampak sebagai bintik hitam berbentuk bulat atau hampir lonjong, terletak eksentrik atau agak perifer pada sel polychromatic erythrocyte (PCE). Pengamatan mikronukleus pada preparat dilakukan dengan mikroskop dengan
pembesaran 400 kali. Pada sumsum tulang terdapat berbagai variasi tipe sel yang dapat digunakan untuk penghitungan mikronukleus. Untuk mengurangi jumlah variabel pengganggu yang dapat mempengaruhi pengamatan, maka pemeriksaan mikronukleus hanya dilakukan pada satu tipe sel yaitu hanya pada sel PCE. Keuntungannya adalah sel PCE pada preparat mudah dikenali dari warnanya yang relatif kontras dibandingkan sel lain. Sel PCE merupakan sel eritrosit muda yang baru mengalami mitosis dan sintesis deoxyribonucleic acid (DNA), mengandung banyak ribosom serta memiliki inti. Selain warnanya relatif kontras, ukurannya relatif besar dan penyebarannya lebih terbatas dibandingkan dengan sel lain maupun sel eritrosit dewasa atau sel normochromatic erythrocyte (NCE). Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengamati struktur mikronukleus pada sel PCE selanjutnya disebut sebagai micronucleus polychromatic erythrocyte (MNPCE), kemudian menghitungnya untuk tiap 200 sel PCE. Nilai frekuensi MNPCE yang cukup tinggi setelah pemberian MSG menunjukkan bahwa mutagenisitas MSG cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada ketentuan nilai batas ambang frekuensi MNPCE.
33
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
Tabel 1. Jumlah rata-rata ± SD mikronukleus pada masing-masing apusan sumsum tulang femur mencit (n=6). Kelompok I II III IV V
Perlakuan
Jumlah mikronukleus mencit Jantan Betina Pelet 10 g 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 MSG 3 g 176,67 ± 3,51 156,33 ± 7,02 MSG 6 g 190,33 ± 6,81 183 ± 11,14 MSG 9 g 247,67 ± 33,32 221,33 ± 19,73 234,33 ± 4,51 Pelet, diinduksi dengan siklosfosfamid 50263,33 ± 7,51 mg/kg BB (i.p. dosis tunggal)
Untuk lebih jelas, dapat dilihat grafik pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik hasil pengukuran jumlah rata-rata (n=6) mikronukleus pada 200 sel eritrosit polikromatik. tidak berbeda signifikan dengan kelompok pembanding, pada mencit jantan nilai signifikansinya adalah 0,818 pada MSG dosis 9 g dan 0,738 pada kelompok pembanding. Sedangkan pada mencit betina nilai signifikansi nya adalah 0,76 pada MSG dosis 9 g dan 0,599 pada kelompok pembanding. Secara teoritis pencegahan karsinogenesis/mutagenesis dapat terjadi melalui penghambatan pada promosi sampai fase progesi. Proses inisiasi dapat dihambat oleh senyawa yang menurunkan aktivasi metabolism senyawa karsinogen, meningkatkan detoksifikasi senyawa karsinogen, atau mencegah terjadinya ikatan antara karsinogen dengan target seluler (Ruddon, 2007).
Pengujian efek mutagenik pada penelitian ini dilakukan secara in vivo pada mencit jantan dan betina dengan metode uji mikronukleus menggunakan siklofosfamid dengan dosis (50 mg/kgBB) yang diberikan secara intraperitonial sebagai penginduksi mutagenik. Berdasarkan hasil uji analisis Post Hoc Tukey menggunakan SPSS 18 pada mencit jantan dan betina, ditunjukkan bahwa dosis 3 g dan 6 g tidak berbeda signifikan, dimana pada mencit jantan nilai signifikansi nya adalah 0,738 pada MSG 3 g dan 0,818 pada MSG 6 g. Sedangkan pada mencit betina nilai signifikansinya adalah 0,599 pada MSG dosis 3 gram dan 0,760 pada MSG 6 gram. Pada mencit jantan dan betina, MSG dosis 9 g juga
34
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
Berdasarkan penelitian terhadap MSG yang dicampurkan dengan makanan hewan berupa pelet dengan dosis 3, 6, 9 g/hari. Aktivitas mutagenik ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah mikronukleus dalam setiap 200 sel eritrosit polikromatik pada preparat apusan sumsum tulang femur mencit.
Farombi, E.O., and Onyema, O.O. (2006). Monosodium Glutamat-Induced Oxidative Damage and Genotoxicity in the Rat: Modulatory Role of Vitamin C, Vitamin E and Quercetin. Human & Experimental Toxicology. 25(5): 251-259. Franca, L.R., Suescun, M.O., Miranda, J.R., Giovambattista, A., Perello, M., Spinedi, E., dan Calandra, R.S. (2006). Testis Structure and Function in a Nongenetic Hyperadipose Rat Model at Prepubertal and Adult Ages. Endocrinology. 147(3): 15561663.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: MSG yang diberikan pada mencit jantan dan betina dengan dosis 3 g/hari, 6 g/hari dan 9 g/hari menyebabkan terbentuknya mikronukleus pada sel darah merah sumsum tulang femur mencit. Pemberian MSG dosis 9 gram pada mencit jantan (jumlahnya 278) dan pada mencit betina (jumlahnya 244) menunjukkan jumlah mikronukleus yang lebih banyak dibandingkan dosis yang lain.
Krishna, G., dan Makoto, H. (2000). In Vivo Rodent Micronucleus Assay: Protocol, Conduct and Data Interpretation. Mutation Res. 455(1-2): 155-166. Maidawilis. (2010). Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat Terhadap Kadar Follicle Stimulating Hormon Dan Luteinizing Hormon Mencit (Mus Musculus) Betina Strain Jepang. Tesis. Padang: Universitas Andalas.
DAFTAR PUSTAKA Ardyanto, T.D. (2004). MSG dan Kesehatan: Sejarah, Efek dan Kontroversinya. Kesehatan. 16(1): 1. Blaylock, R. (1997). Excitotoxins – The Taste That Kills. Albuquerque: NM. Health Press NA. Halaman 12.
Pizzi, W.J., Barnhart, J.E., dan Fanslow, D.J. (1977). Monosodium Glutamat Administration to the Newborn Reduces Reproductive Ability in Female and Male Mice. Science. 196(4288): 452-454.
Durling, L. (2008). The Effect on Chromosomal Stability of Some Dietary Constituents. Dissertation. Uppsala: Uppsala Universited. EPA.
Prawirohardjono, W., Dwiprahasto, I., Indwiani, A., Hadiwandowo, S., Kristin, E., Muhammad, M., dan Michael, F.K. (2000). The Administration to Indonesians of Monosodium L-glutamat in Indonesian Foods: An Assessment of Adverse Reactions in a Randomized. Journal Of Nutrition. 130(4): 1074-1076.
(1998). Health Effects Test Guidelines OPPTS 870.5395 Mammalian Erythrocyte Micronucleus Test. Washington: Government Printing Office. Halaman 6.
35
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 2012 Vol. 1 (1): 29-36
Purwadiwarsa, D.J. (2000). Aktivitas Antimutagenik dan Antioksidan Daun Puspa (Schima wallichii Kort.). Skripsi. Bandung: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran. Ruddon, R.W. (2007). Cancer Biology. Edisi Keempat. New York: Oxford University Press Inc. Halaman 62, 82, 92, 493. Santella, R.M. (2002). Mechanisms and Biological Markers of Carcinogenesis. Dalam: Cancer Precursors. Editor: Eduardo L. Franco dan Thomas E. Rohan. Berlin: Springer-Verlag. Halaman 7. Sitorus, W. (2012). Uji Antimutagenik Ekstrak Etanol Bunga Jantan Tumbuhan Pepaya (Carica Papaya L.) Pada Mencit Jantan Yang di Induksi Siklofosfamid. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Sumpena, Y., Sofyan, R., dan Rusilawati, R. (2009). Uji Mutagenisitas Benzo(α)piren Dengan Metode Mikronukleus Pada Sumsum Tulang Mencit Albino (Mus musculus). CDK. 36(1): 35. Wakidi, R.F. (2012). Efek Protektif Vitamin C dan E Terhadap Mutu Sperma Mencit Jantan Dewasa Yang di Pajan Dengan Monosodium Glutamat. Tesis. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
36