17
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Karet, Peremajaan dan Penanaman Baru Program pengembangan karet melalui peremajaan atau penanaman baru bila berjalan baik diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan produksi karet Indonesia dengan perkiraan produksi tahun 2020 sebesar 3,5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5,1 juta ton (Anwar 2006). Permasalahan utama perkebunan karet nasional adalah rendahnya produktivitas karet rakyat (± 600 kg/ha/th), di antaranya disebabkan oleh sebagian besar tanaman menggunakan bahan tanam asal biji (seedling), tanpa pemeliharaan yang baik dan tingginya proporsi areal tanaman karet tua, rusak atau tidak produktif (± 13 % dari total areal). Sekitar 400 ribu ha areal karet saat ini dalam kondisi tua dan rusak dan 2-3 % dari areal tanaman menghasilkan yang ada setiap tahun memerlukan peremajaan (Departemen Pertanian 2005a). Program pemerintah tersebut di atas membutuhkan bahan tanam karet dalam jumlah besar yang harus disiapkan dalam waktu relatif singkat, tetapi keunggulannya tetap dapat dipertanggungjawabkan. Cara perbanyakan tanaman karet yang banyak dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah okulasi (Soewitooetomo dan Setiono 1981). Okulasi karet ini dapat menyediakan bahan tanam klonal seefisen mungkin dari sisi waktu dan jumlah (Santoso dan Lubis 1982) serta memperoleh tanaman karet yang homogen terutama dalam ukuran lilit batang, tinggi tanaman, dan bentuk percabangan (Siagian dan Sunarwidi 1987).
Perbanyakan Bahan Tanam melalui Okulasi Pada tanaman karet okulasi, antara batang bawah dan mata entres yang diokulasikan saling mempengaruhi, baik dalam hal fisiologi, morfologi tanaman dan anatomi. Pengaruh timbal balik tampak dalam pertumbuhan dan produksinya (Soewitooetomo dan Setiono 1981). Keberhasilan okulasi terletak pada keserasian pertautan kambium antara batang bawah-batang atas dan kompatibilitas antara
18 keduanya yang dapat didekati dari kedekatan silsilah tetuanya (Karyudi dan Sunarwidi 1988; Karyudi dan Azwar 1990). Kesesuaian batang bawah dan batang atas pada karet dapat meningkatkan produksi 15-40 % (Dijkman 1951), sedangkan ketidaksesuaiannya menurut Setiono (2003) menurunkan produksi 10-20 %. Ada 3 cara okulasi tanaman karet yang biasa digunakan, yaitu okulasi dini, okulasi hijau dan okulasi coklat. Perbedaan masing-masing di antaranya pada umur batang bawah dan batang atas yang digunakan. Pada metode okulasi dini (pre-green budding) merupakan pengembangan okulasi hijau pada saat okulasi umur batang bawah dimulai dari 2 bulan sampai dengan 5 bulan (RRIM 1964; Santoso dan Lubis 1982; Karyudi dan Sunarwidi 1988).
Okulasi Dini Bila ada program penyediaan bahan tanam dalam jumlah besar, tetapi jumlah tenaga okulasi terbatas, pelaksanaan okulasi dapat dimulai dari okulasi dini (Karyudi dan Sunarwidi 1988), dengan urutan pengokulasian okulasi dini 20 %, okulasi hijau 40 % dan okulasi coklat 40 %, sehingga dapat memperpanjang waktu pengokulasian (Santoso dan Lubis 1982). Okulasi dini merupakan cara okulasi yang sangat berisiko terhadap kegagalan disebabkan oleh sangat mudanya baik batang bawah maupun mata entres (Karyudi dan Sunarwidi 1988). Akan tetapi menurut Santoso dan Lubis (1982) tidak perlu dikawatirkan akan membawa kerugian terhadap pertumbuhan dan produksi dikemudian hari, karena meristem tanaman muda lebih cepat pulih sesudah mengalami luka akibat pengokulasian. Hasil penanaman okulasi dini pertama di Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM) Medan menunjukkan bahwa pertautan antara batang bawah dan batang atas sudah mulus dalam waktu 6 bulan dan pertumbuhannya tidak kalah dibandingkan dengan okulasi coklat pada waktu yang sama (Santoso dan Lubis 1982). Hasil studi anatomi menunjukkan, batang bawah karet umur 12 minggu saat diokulasi, kemudian setelah ditanam memiliki kulit yang lebih tebal, sambungan okulasi lebih halus dan memiliki lebih banyak
19 cincin-cincin pembuluh lateks dibandingkan dengan stum konvensional (batang bawah umur 24 minggu dan 52 minggu saat okulasi) (RRIM 1964). Okulasi dini dapat dilakukan di pembibitan lapangan (ground nursery) atau di pembibitan polybag. Pengokulasian dapat dilakukan pada batang bawah yang telah mencapai umur 12 minggu, tetapi dalam pembibitan lapangan pertumbuhan batang bawah sering kurang jagur, tidak siap untuk diokulasi sebelum mencapai umur 4 bulan. Hal yang perlu diwaspadai dari hasil okulasi dini, yaitu mati pucuk yang diikuti dengan kematian bibit sesudah atau sebelum daun payung pertama terbuka. Hal ini terkait dengan kandungan cadangan total pati dalam batang. Oleh karena itu sangat disarankan
menunda pengokulasian setelah batang bawah
berumur 4½ bulan (RRIM 1964).
Bobot Stum Okulasi Dini Stum okulasi dini umur 5 bulan (mata tunas didormankan 3 bulan di pembibitan lapangan) bobotnya sekitar 70 g, berdiameter 16 mm, panjang akar tunggang antara 25-40 cm dan batang 15 cm (Santoso dan Lubis 1982). Stum okulasi hijau batang bawah berumur 8 bulan dengan panjang kurang lebih 60 cm bobotnya antara 200-225 g (Lubis et al. 1982). Bila diperbandingkan, penggunaan stum okulasi
dini
dimungkinkan
akan
berdampak
pada
pengurangan
waktu
penyediaannya, volume dan bobot total, menambah jumlah total bibit per kotak kemasan serta pengurangan biaya total bila stum okulasi dini yang dikirim untuk pengiriman jarak jauh.
Perlindungan Stum dalam Pengiriman Menurut Lubis et al. (1982) perlindungan terhadap stum karet perlu dilakukan sebelum proses pengiriman bila stum terpaksa disimpan karena tidak langsung dapat ditanam, atau memerlukan waktu pengangkutan ke daerah penanaman. Berbagai media kemasan telah dicoba sebagai bahan perlindungan stum okulasi karet. Akan tetapi untuk kepentingan praktek perlu pengkajian mendalam, dan harus memenuhi syarat: murah, mudah diperoleh, praktis dalam penggunaannya, ringan dan tidak mengakibatkan cendawan.
20 Referensi yang menyarankan media kemasan secara khusus untuk pengiriman stum okulasi dini belum ada. Berdasarkan syarat-syarat yang disampaikan Lubis et al. (1982), beberapa media kemasan diduga dapat digunakan untuk stum okulasi dini, yaitu kantong plastik, kertas koran dan serbuk sabut kelapa. Adapun karakteristik fisik dan kimia kertas koran dan cocopeat dapat dilihat pada Tabel 1 (Murdoch University 2000).
Klon Anjuran Penghasil Lateks dan atau Kayu Nilai ekonomis karet terletak pada kemampuannya dalam menghasilkan lateks, sedangkan produk non-lateks seperti kayu karet pada awalnya dianggap sebagai hasil samping terutama untuk kayu bakar (Boerhendhy et al. 2003). Semakin berkurangnya hutan penghasil kayu (Sumarmadji dan Suhendry 2003), bertambah terbatasnya ketersediaan kayu dari hutan alam, serta ditunjang oleh berkembangnya teknologi pengolahan dan media kemasan kayu karet (Boerhendhy et al. 2003), menimbulkan perubahan orientasi dalam agribisnis karet dari penghasil lateks menjadi karet penghasil lateks dan kayu. Hal tersebut di atas mendorong kegiatan pemuliaan untuk menghasilkan klon-klon karet unggul penghasil lateks dan kayu (Sumarmadji dan Suhendry 2003), yang dilatarbelakangi oleh permintaan kayu karet baik untuk memenuhi pasar domestik maupun ekspor yang terus meningkat setiap tahunnya (Boerhendhy et al. 2003). Sejalan dengan hal tersebut di atas klon-klon karet anjuran penghasil latekskayu tertuang dalam UU No. 12 Tahun 1992. Berdasarkan kajian Suhendry dalam Sumarmadji dan Suhendry (2003) serta Anwar (2006), masa penyadapan 15 tahun penghasil lateks memproduksi 29-32 ton karet kering per hektar dan penghasil lateks-kayu produksi lateks lebih rendah. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1, bahwa tingkatan penyadapan mengurangi pertambahan diameter karet di perkebunan-perkebunan Asia Tenggara lebih dari 50 % selama 5 tahun pertumbuhan (Peters 1994). Selain itu juga kejaguran antar klon karet akan memberikan perbedaan pertumbuhannya (Ang dan Shepherd 1979).
Tabel 1. Karakteristik Fisik dan Kimia Kertas Koran dan Cocopeat Bahan
Unsur Pokok
Daya Kestabilan Pegang Biologis Air
Kertas koran
kertas
rendah
unggul
tinggi
stabil pada kodisi rendah nutrisi dan kelembaban
Cocopeat
serbuk sabut kelapa
Kestabilan Struktur
pH
Salinitas
Tingkat Nutrisi
Rasio C/N
Tekstur
Berat Jenis (kg/m3)
Kualitas Penanganan/ Penampilan
baik
pH 5-8
sangat rendah
rendah semuanya
170:1
berubaubah
sedang
berubah-ubah
tidak ada
tidak ada
daur ulang
rendah
umumnya pH 7, bergantun g asal sumber
rendah, dapat dipadatkan
coklat, ringan bila kering, berat saat basah, mudah basah atau dikeringkan
tidak ada
tidak ada
daur ulang
rendah
rendah semuanya
> 100:1
serabut/ debu
Biji Meracuni Gulma/ Tanaman Patogen
Keamanan Lingkungan
Sumber: Murdoch University (2000)
8
Pertumbuhan Diameter (%)
95 Tidak disadap Sadapan Normal Sadapan berat
Tahun Gambar 1. Pertumbuhan Diameter Karet di Perkebunan yang Tidak Disadap atau Disadap pada 2 Tingkat Intesitas Sadapan (Peters 1994)
Pertumbuhan dan Perkembangan Stum/Bibit Okulasi Pertumbuhan
dan
perkembangan
stum
dimulai
sejak
dilakukan
pengokulasian pada batang bawah selesai. Pertumbuhan dan perkembangan stum karet selanjutnya dipengaruhi oleh kegiatan teknis lainnya seperti penyerongan (pemotongan batang-tajuk tempat okulasi dari batang bawah), pencabutan dari pembibitan lapangan sampai dengan stum ditanam kembali ke dalam polybag atau di lapangan/kebun. Setelah pengokulasian selesai, seluruh bagian kambium mata entres melekat pada batang bawah. Pada sel-sel yang terpotong terjadi pembentukan sel kalus berupa lapisan-lapisan sel nekrosis. Sekitar dua hari kemudian, sel kalus parenkim mulai terbentuk dari lapisan xylem menembus lapisan sel nekrosis. Beberapa sel kalus parenkim dari mata entres dengan cara yang sama menembus lapisan sel nekrosis. Ada kalus tambahan yang terbentuk di sekeliling mata entres untuk menahannya tetap di tempatnya dan pada waktu yang bersamaan (sejak penempelan mata entres pada batang bawah) pembelahan sel yang terus menerus terjadi dengan cepat selama 2-3 minggu sampai ruangan udara yang terbentuk antara mata entres dan batang bawah penuh dengan kalus. Hal tersebut di atas juga terjadi bersamaan dengan pembentukan kambium secara terus menerus antara mata entres dan batang bawah. Kalus-kalus kemudian mengalami lignifikasi dan jaringan xylem muncul. Lignifikasi sempurna sekitar 12 minggu setelah pengokulasian (Hartmann et al. 1997).
6 10 Tindakan penyerongan stum diperlukan untuk memutus dominansi pucuk agar mata tunas entres dapat tumbuh, hal ini dilakukan pada saat stum masih di pembibitan lapangan (ground nursery). Dominansi pucuk yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan mata tunas hanya disebabkan oleh auksin dan tidak oleh hormon pertumbuhan yang lain (Srivastava 2002). Terjadinya penurunan kadar IAA (indole acetyl acid) oleh karena pemotongan pucuk mengakibatkan penurunan ABA (abcisic acid) di sekitar mata tunas yang memungkinkan mata tunas tumbuh, karena ABA berperan dalam dormansi tunas di dalam tanaman. Tingginya kadar IAA di pucuk menjaga kadar ABA tetap tinggi di sekitar mata tunas, sehingga mata tunas tetap dorman (Srivastava 2002; Taiz dan Zeiger 2002). Penurunan IAA tidak selalu diikuti dengan penurunan ABA, pada rizome tanaman yang mempunyai dominansi pucuk kuat seperti Elytrigia repens (Quackgrass) pada saat diukur kadar ABA dan IAA setelah pemotongan pucuk, kadar ABA pada tunas samping (axillary) pertama turun sampai dengan 20 % dalam 24 jam, walaupun kadar IAA konstan (Pearce et al. 1995). Selain itu dalam waktu 12 jam setelah pemotongan bagian pucuk justru terjadi peningkatan kadar auksin di sekitar mata tunas, yang kemudian akan jadi sumber (source) dalam sintesa sitokinin di akar (Taiz dan Zeiger 2002). Sitokinin yang terbentuk terlibat dalam melepaskan mata tunas dari dominansi pucuk (Srivastava 2002; Davies 2004; Sakakibara 2006). Penelitian menggunakan 14C cytokinin benzyladenine (BA) pada akar yang pucuknya dipotong menunjukkan banyaknya [14C]BA dari akar yang ditransportasikan dan terkumpul ke tunas samping, namun bila pucuk tidak dipotong [14C]BA lebih banyak terkumpul di pucuk dibandingkan dengan di tunas samping (Pilate et al. 1989). Menurut Shimizu-Sato dan Mori (2001), kontrol pertumbuhan dan dormansi tunas yang berperan utama secara bersama-sama diatur oleh auksin, ABA dan sitokinin. Pencabutan stum dari tanah di pembibitan lapangan mengakibatkan pelukaan pada sebagian besar bagian akar, terutama pada stum tanpa akar lateral (bare-root stump) (Hartman et al. 1997). Hal ini merupakan salah satu penyebab peningkatan kadar ABA yang disintesa di akar, sebagai bentuk respon terhadap pelukaan jaringan akar (Davies 2004). Peningkatan ABA mencapai 3–5 kali kadar normal setelah pelukaan dan dapat terjadi tidak terbatas pada jaringan yang
7 11 dilukai saja (Pena-Cortes et al. 1995). Pelukaan ini meningkatkan aktivitas sintesis etilen sebagai respon pertahanan, yang juga berguna dalam memecah dormansi tunas, serta menginduksi pembentukan akar dari bagian tanaman bukan berasal dari akar (adventitious root) dan akar rambut (Taiz dan Zeiger 2002; Davies 2004). Penanaman stum di lapangan/kebun akan melanjutkan proses pertumbuhan dan perkembangan stum, seperti inisiasi akar lateral pada stum sangat dipengaruhi kadar auksin yang tinggi. Auksin yang tinggi ini dari adanya peningkatan auksin di sekitar mata tunas setelah dilakukan pemotongan pucuk yang ditranslokasikan ke akar. Keberadaan mata tunas walaupun hanya satu sangat vital kaitannya dengan inisiasi akar lateral, karena tanpa adanya mata tunas inisiasi akar lateral tidak dapat terjadi meskipun dilakukan aplikasi auksin eksogen konsentrasi tinggi (Hartmann et al. 1997; Srivastava
2002; Taiz dan Zeiger
2002). Selanjutnya pembentukan akar rambut selanjutnya didorong oleh peningkatan kadar etilen di akar (Taiz dan Zeiger 2002).