TINJAUAN PUSTAKA
Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi hewan mangsa (Woodroffe dan Ginsberg, 1998). Taksonomi Harimau Sumatera Harimau Sumatera secara taksonomi dalam biologi termasuk dalam: Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Subphylum
:
Vertebrata
Kelas
:
Mammalia
Ordo
:
Carnivora
Famili
:
Felidae
Genus
:
Panthera
Spesies
:
Panthera tigris
Subspesies
:
Panthera tigris sumatrae
(IUCN, 2010). Perilaku Harimau Sumatera Biasanya harimau hidup soliter, kecuali pada betina dan anak, mereka tidak anti sosial. Jantan bergabung dengan betina untuk kawin dan pernah teramati
Universitas Sumatera Utara
jantan dengan betina dan anak saat makan atau istirahat. Tidak seperti kebanyakan jenis kucing lain, harimau dengan mudah memasuki air. Selama musim panas mereka akan berendam di danau atau kolam sepanjang hari yang panas. Umumnya harimau berburu antara sore dan pagi hari, tetapi dalam beberapa kondisi harimau berburu siang hari. Hewan mangsa harimau adalah seluruh satwa yang ada di habitat mereka, yang terdiri dari berbagai jenis rusa, babi, kerbau dan banteng. Harimau juga memangsa anak gajah dan badak, serta jenis lainnya yang lebih kecil, termasuk monyet, burung, reptil dan ikan. Harimau sewaktu-waktu membunuh leopard dan jenis mereka sendiri, serta karnivora lainnya, termasuk beruang yang beratnya mencapai 170 kg. Sifat khas harimau adalah mencengkeram leher mangsanya setelah berhasil dirubuhkannya. Harimau mencengkeram leher mangsanya ini untuk melindungi diri dari tanduk dan kaki mangsanya serta mencegah hewan mangsa tersebut tegak kembali. Harimau lebih suka menggigit bagian belakang leher dan membunuh mangsanya dengan cara mematahkan tulang belakang, kemudian akan menyeret mangsanya tersebut ke daerah yang ternaungi oleh vegetasi pohon. Harimau dapat memakan 18 - 40 kg daging mangsanya dalam sekali makan. Jika masih bersisa, biasanya ia kembali ke tempat tersebut untuk makan sisa-sisa perburuan. Mangsa yang besar ditangkap satu kali seminggu. Walaupun mempunyai keahlian berburu yang tinggi, harimau sering tidak berhasil memperoleh mangsa. Berburu mangsa biasanya dilakukan secara individu tetapi sesekali harimau juga berburu secara berkelompok. Harimau pada dasarnya tidak memangsa manusia kecuali habitatnya terganggu. Terdapat beberapa korban dari reaksi harimau dalam mempertahankan
Universitas Sumatera Utara
diri dan melihat manusia sebagai makanan sehingga manusia menjadi target karena dianggap hewan mangsa yang mudah ditangkap. Harimau yang memangsa manusia mungkin mengajarkan kepada anaknya bahwa manusia adalah mangsa. Tetapi kematian atau luka disebabkan oleh harimau ataupun harimau yang melindungi anaknya, tidak selamanya menjadi petunjuk bahwa harimau pemakan manusia (Taman Nasional Bukit Tigapuluh, 2009). Biologi Harimau Sumatera Harimau Sumatera melahirkan sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh letak geografi (Semiadi dan Taufiq, 2006). Pendapat yang sama disampaikan oleh Taman Nasional Bukit Tigapuluh (2009), yang menyatakan bahwa musim kawin harimau sepanjang tahun, tetapi sebagian besar terjadi di akhir bulan November sampai awal April. Harimau mengalami estrus selama rata-rata tujuh hari, dengan siklus 15-20 hari. Satu kelompok harimau rata-rata berjumlah 2,98 ekor. Satu ekor betina biasanya diikuti oleh 2-3 ekor anaknya, sampai anak tersebut berumur 1824 bulan, baik jantan maupun betina. Interval antar kelahiran 20 - 24 bulan, tetapi dalam kasus di mana anak hilang pada dua minggu pertama, interval antar kelahiran hanya 8 bulan. Sedangkan terakhir bereproduksi pada umur 14 tahun. Harimau dapat hidup sampai berumur 26 tahun. Kematian anak Harimau dapat disebabkan oleh kehilangan kelompok, kebakaran, banjir atau pembunuh anak. Harimau Sumatera jantan beratnya berkisar 100 - 140 kg, panjang diukur dari kaki belakang dan depan 2,20 - 2,55 m, panjang tengkorak 295 - 335 mm., sedangkan betina beratnya 75 - 100 kg, panjangnya 2,15 - 2,30 m, dan panjang tengkorak 263 - 294 mm (Taman Nasional Bukit Tigapuluh, 2009). Harimau Sumatera jantan beratnya 100 – 140 kg dan betina beratnya 75 – 110 kg
Universitas Sumatera Utara
Guggisberg (1975), 140 kg untuk yang jantan dan 90 kg pada hewan betina (Semiadi dan Taufiq, 2006). Anak harimau mempunyai berat 780 untuk 1600 gram saat lahir, membuka mata mereka setelah 6 sampai 14 hari, dirawat selama 3 sampai 6 bulan, dan memulai perjalanan dengan induknya ketika berusia 5 atau 6 bulan. Mereka diajarkan bagaimana cara berburu mangsa, dan mereka mampu berburu ketika berumur 11 bulan. Biasanya terpisah dari induk ketika berusia 2 tahun, tetapi dapat menunggu tahun lain. Kematangan seksual dicapai pada harimau betina pada umur 3 sampai 4 tahun dan pada harimau jantan pada umur 4 sampai 5 tahun. Sekitar setengah dari seluruh anak harimau tidak bertahan hidup lebih dari 2 tahun (Schaller, 1967). Habitat Harimau Sumatera Harimau Sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Hanya sekitar 400 ekor tinggal di cagar alam dan taman nasional, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor lagi yang dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia. Harimau Sumatera mengalami ancaman akan kehilangan habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dimana seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat
Universitas Sumatera Utara
memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia (Dinata dan Sugardjito, 2008). Adanya aktivitas manusia pada suatu kawasan
menyebabkan
hidupan
liar
cenderung
menghindar
(Griffiths dan Schaick, 1994). Harimau cenderung menghindari suara gergaji mesin (chainsaw) para pembalak dan menghindari area di mana dilakukannya aktivitas perburuan oleh pemburu liar (Hutajulu, 2007). Peta sebaran Harimau Sumatera dapat dilihat pada gambar berikut:
Aceh
North Sumatra
West Sumatra
Jambi
South Sumatra Bengkulu
Lampung
Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera
(Santiapillai dan Ramono, 1985) Harimau Sumatera dijumpai di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0- 2.000 mdpl, tetapi kadang-kadang juga sampai ketinggian lebih dari 2.400 mdpl. Hutan dataran rendah merupakan habitat utama harimau sumatera dengan kepadatan 1-3 ekor per
Universitas Sumatera Utara
100 km2, sedangkan daerah pegunungan 1 ekor per 100 km2. Namun, tingginya kerusakan hutan dataran rendah di Sumatera (65-80%) menyebabkan harimau bergerak
ke
atas
menuju
hutan
perbukitan
dan
pegunungan
(Dinata dan Sugardjito, 2008). Tipe lokasi yang biasanya menjadi pilihan habitat Harimau Sumatera bervariasi, dengan ketinggian antara 0 – 3.000 meter dari permukaan laut, seperti : 1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, hutan pantai, dan hutan bekas tebangan. 2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau, dan pantai air tawar 3. Padang rumput terutama padang alang-alang 4. Daerah datar sepanjang aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi oleh hutan hujan tropis 5. Juga sering terlihat di daerah perkebunan dan tanah pertanian 6. Selain itu juga banyak harimau ditemui di areal hutan gambut. (Sinaga, 2005). Sebagai hewan pemangsa utama (top predator), harimau memerlukan wilayah habitat yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, kepadatan hewan mangsa sebagai sumber pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan populasi harimau. Ketersediaan hewan mangsa ini juga memainkan peran penting dalam menentukan daerah jelajah individu harimau (Dinata dan Sugardjito, 2008). Pada prinsipnya untuk mempertahankan hidup, Harimau Sumatera memerlukan tiga kebutuhan dasar yaitu ketersediaan hewan mangsa yang cukup,
Universitas Sumatera Utara
sumber air, dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa (Lynam dkk.,2000). Sunquist (1981) berpendapat bahwa harimau menyukai habitat pinggir sungai (riverine habitat). Sungai merupakan tempat berkumpul satwa dan keberadaan harimau dekat dengan sungai kemungkinan berhubungan dengan pemangsaan. Dinata dan Sugardjito (2008) juga menyebutkan bahwa harimau lebih memilih kawasan yang dekat dengan sungai agar lebih mudah melakukan penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-tempat di sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat, sehingga sangat menguntungkan harimau yang memburu mangsanya dengan cara serangan mendadak atau penyergapan. Menurut Karanth (2001), harimau merupakan jenis yang suka air dan perenang yang handal. Suhu harian yang mencapai 330C tergolong tinggi memungkinkan bagi harimau untuk menurunkan suhu tubuh dengan berendam di sungai. Hutan Primer dan Hutan Sekunder Hutan Primer mengacu pada tidak disentuh, hutan murni yang ada dalam kondisi asli nya. Hutan ini belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Hutan hujan primer sering ditandai dengan langit-langit penuh kanopi dan biasanya terdiri dari beberapa lapis. Lantai hutan umumnya dari vegetasi berat karena kanopi yang penuh memungkinkan cahaya masuk yang sangat kecil. Hutan primer adalah jenis yang paling beragam secara hayati hutan (Butler, 1994). Hutan sekunder adalah hutan yang telah terganggu dalam beberapa cara, alami maupun buatan. Hutan sekunder dapat dibuat dalam beberapa cara, dari hutan terdegradasi pulih dari tebang pilih, ke daerah dibersihkan dengan garis miring dan bakar pertanian yang telah direklamasi oleh hutan. Umumnya, hutan
Universitas Sumatera Utara
sekunder ditandai (tergantung tingkat degradasi) oleh struktur kanopi kurang berkembang, pohon-pohon yang lebih kecil, dan keanekaragaman kurang (Butler, 1994). Daerah Jelajah dan Kepadatan Harimau Sumatera Kajian yang dilakukan oleh Franklin dkk. (1999) menunjukkan bahwa daerah jelajah Harimau Sumatera betina dewasa berkisar antara 40 – 70 km2, sedangkan Griffith (1994) dalam Tilson dkk. (1994) memperkirakan bahwa daerah jelajah Harimau Sumatera jantan dewasa sangat bervariasi, yaitu antara 180 km2 pada kisaran ketinggian antara 100 – 600 meter di atas permukaan laut (mdpl.), 274 km2 pada kisaran ketinggian antara 600 – 1.700 mdpl., dan 380 km2 pada ketinggian di atas 1.700 mdpl. Daerah jelajah satu harimau jantan dewasa dapat mencakup daerah jelajah dua betina dewasa (Franklin dkk., 1999). Australian Zoo Organization (2004) menyatakan bahwa Harimau Sumatera jantan mempunyai daerah jelajah sekitar 380 km2 dan untuk betina hanya setengahnya. Seekor harimau betina penetap dapat melakukan pergerakan lebih dari 10 km per hari dan harimau jantan pengembara mencapai ratusan km per minggu (Karanth dan Chundawat, 2002: Sunquist, 1981). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi luas jelajah Harimau Sumatera adalah ketersediaan satwa mangsa. Sebagai contoh, Santiapillai dan Ramono (1985) memperkirakan kepadatan rata-rata Harimau Sumatera dewasa berkisar antara 1 individu/100km2 pada hutan dataran tinggi dan meningkat hingga 1 – 3 individu/100 km2 pada hutan dataran rendah. Kajian lain memperkirakan kepadatan Harimau Sumatera adalah 1,1 individu/100 km2 pada hutan dataran tinggi dan meningkat tajam hingga 2,3 – 3 individu/100 km2 pada
Universitas Sumatera Utara
hutan dataran rendah (Borner 1978). Griffith (1994) memperkirakan bahwa kecenderungan tersebut dipengaruhi oleh semakin berkurangnya ketersediaan satwa mangsa dengan semakin meningkatnya ketinggian (Departemen Kehutanan, 2007). Deforestasi yang terjadi akibat penebangan pohon menyebabkan menurunnya biomassa vegetasi yang berarti juga menurunnya kualitas habitat. Penurunan kualitas habitat ini sangat mempengaruhi populasi hewan-hewan mangsa karena berkurangnya sumber pakan dan naungan vegetasi sebagai tempat berlindung (Dinata dan Sugardjito, 2008). Aktivitas Harimau Sumatera Pola aktivitas Harimau Sumatera dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas satwa mangsa, yaitu krepuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi hutan dan pelanduk) dan nokturnal (seperti rusa sambar). Kemungkinan hal tersebut berhubungan dengan pemangsaan. Perubahan pola aktivitas harian harimau sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama (Hutajulu, 2007). Hewan nokturnal adalah binatang yang melakukan aktifitas di malam hari. Sedangkan siang hari bagi binatang nokturnal adalah waktu untuk beristirahat (tidur). Lawan dari hewan nokturnal adalah diurnal. Binatang diurnal melakukan aktifitas pada siang hari dan malam harinya digunakan untuk istirahat. Selain nokturnal dan diurnal juga masih terdapat binatang-binatang yang mempunyai waktu beraktifas tertentu seperti hewan matutinal (fajar menjelang pagi), hewan
Universitas Sumatera Utara
krepuskular (senja menjelang malam), dan hewan metaturnal (aktif di sebagian malam juga sebagian siang) (Alamendah, 2010). Satwa Mangsa Harimau Sumatera Sebagai predator, harimau memangsa berbagai jenis hewan, termasuk burung, reptilia, amfibia, ikan dan bahkan hewan invertebrata, namun kelas mamalia khususnya hewan ungulata merupakan pakan utamanya. Keberadaan hewan
mangsa
merupakan salah
satu
faktor
penting
bagi kehidupan
Harimau Sumatera (Dinata dan Sugardjito, 2008). Pakan utama Harimau Sumatera adalah Rusa dan Babi Hutan. Dalam keadaan tertentu Harimau Sumatera juga memangsa berbagai jenis mangsa alternatif lain, seperti Kijang, Kancil, Beruk, Landak, Trenggiling, Beruang Madu dan Kuau Raja. Keberadaan harimau sangat dipengaruhi oleh keberadaan satwa mangsanya (Departemen Kehutanan, 2007). Pada siang hari, kemungkinan harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas seperti Babi Hutan, Beruk dan Kijang, dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap Rusa dan Kancil (Hutajulu, 2007). Babi sebagian besar aktif pada malam hari, tetapi juga secara periodik pada siang hari, terutama ketika cuaca sejuk. Beruk dan kijang adalah hewan yang aktif pada siang hari. Kancil aktif pada malam dan siang hari. Rusa aktif terutama pada malam hari, juga pada pagi hari dan menjelang petang (Payne dkk.,2000). Keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 mdpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 600- 1.700 mdpl. Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil variasi vegetasinya yang mempengaruhi pula kepadatan satwanya (Griffith, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Pada habitat pegunungan dengan mangsa yang tersedia sangat terbatas dan hutan cukup rapat, luasan area 100 km2 hanya akan mampu menampung seekor harimau. Di habitat aslinya, sebagai akibat dari maraknya pembukaan hutan, secara langsung akan menurunkan ketersediaan sumber pakan bagi harimau, khususnya dari kelompok rusa dan babi (Semiadi dan Taufiq, 2006). Camera Trap Camera trap bukan alat baru dalam satwa liar ilmu pengetahuan. Ini ditemukan di akhir 1890-an, sebelum yang pertama kali digunakan di lapangan pada 1913 (Sanderson dan Trolle, 2005). Dalam dekade belakangan ini, telah banyak digunakan di dunia, dengan kenaikan tahunan sebesar 50%. Hasil ini penelitian
telah
dipublikasikan
di
internasional
diakui
jurnal
(Rowcliffe dan Carbone, 2008). Camera trap berfungsi untuk mendapatkan gambar satwa liar di alam yang sulit untuk ditemui dengan pertemuan langsung. Camera trapping adalah tehnik yang semakin banyak digunakan untuk memonitor satwa yang sulit ditemui, karena kamera dapat ditinggalkan di lapangan dan akan memicu pengambilan foto saat dilewati oleh satwa. Hasil foto dapat digunakan sebagai perhitungan kasar dari kelimpahan relatif, perkiraan dari jumlah populasi minimum suatu spesies berdasarkan pada pengenalan secara individual atau perkiraan dari kelimpahan berdasarkan cara menangkap tandai dan tangkap kembali (capture mark recapture) (Maddox dkk., 2004). Foto-foto yang dihasilkan camera trap juga menunjukkan adanya tumpang tindih di wilayah hidup untuk kedua jenis kelamin. Compelx polygon yang mempresentasikan wilayah hidup harimau, ditentukan di sekitar lokasi kamera
Universitas Sumatera Utara
dimana
tercatat
kemunculan
beberapa
individu
harimau
tertentu
(Franklin dkk., 1999). Camera trap dipasang secara berpasangan pada setiap lokasi dan titik koordinat serta ketinggian lokasi direkam dengan GPS (Global Positioning System). Jarak antar lokasi camera trap ditentukan dari luas daerah jelajah minimum Harimau Sumatera. Berdasarkan hasil penelitian Franklin dkk. (1999) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, luas jelajah minimum Harimau Sumatera betina adalah 49 km2, sehingga diperoleh jarak maksimal antar stasiun camera
trap
tidak
melebihi
3,95
km
(Hutajulu,
2007).
Menurut
Franklin dkk. (1994) Penghitungan luas daerah jelajah harimau dengan menggunakan data camera trap kurang akurat untuk menggambarkan wilayah jelajah sebenarnya. Ukuran sampel kecil sangat sensitif untuk menggambarkan home range suatu individu jenis (Pete, 2005). Pada kebanyakan studi dengan menggunakan camera trap, jumlah kamera merupakan faktor pembatas, akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan desain sampel yang baik. Apabila jumlah kamera yang digunakan sedikit maka solusinya adalah dengan membagi lokasi studi menjadi beberapa petak area dengan luas yang lebih kecil, kemudian pemasangan kamera dilakukan per bagian area yang lebih kecil tersebut satu demi satu . Lokasi dan lama waktu pemasangan camera trap merupakan dua faktor yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan data yang mencukupi dan mewakili untuk suatu area penelitian (Karanth dan Nicholas, 2002). Seperti manusia, kebanyakan satwa liar menggunakan jalur-jalur yang ada di hutan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga jalur-jalur yang ada di
Universitas Sumatera Utara
dalam
hutan
dapat
digunakan
sebagai
lokasi
pemasangan
camera
trap
(Asriana, 2007).
Keadaan Umum Lokasi Penelitian United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004 sekaligus sebagai cagar biosfer pada tahun 1981. kawasan ini sangat penting bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya (Balai TNGL, 2006). TNGL adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia seluas 1.094.692 ha yang secara administrasi pemerintahan terletak di dua Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Provinsi NAD yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya,Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo dan Langkat. Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut di Nanggroe Aceh Darussalam. Taman nasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu taman nasinal yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi yang terletak di wilayah sumatera bagian utara. Selain itu TNGL merupakan hulu dari sepuluh
Universitas Sumatera Utara
daerah aliran sungai yang mensuplai air untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Namun keadaan terkini TNGL mengalami degradasi dan deforestrasi akibat perambahan hutan dan alih guna lahan di beberapa lokasi (Waruwu, 1984). Dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, Kawasan Taman Nasional dikatagorikan sebagai kawasan lindung merupakan satu komponen yang menyusun suatu pola keruangan berdasarkan fungsi utama kawasan. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan denagn fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan (Lubis, 2009).
Universitas Sumatera Utara