TINJAUAN PUSTAKA Kebun Campur Kebun Campur di Pulau Jawa disebut kebun perkarangan. Foresta et.al (2000) menyebutkan kebun perkarangan di Pulau Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Kehadiran dan campur tangan manusia secara terus menerus membuat kebun itu menjadi sistem yang benar-benar buatan (artifisial) meskipun tetap bisa ditemukan sifat khas vegetasi hutan. Lebih lanjut Taufik (2002) menyatakan bahwa kebun campur yang ditanam dengan pola agroforestry pada umumnya terdiri dari berbagai macam tanaman setahun (sayuran dan pangan) yang di sekelilingnya oleh bambu atau pohonpohon. Lokasi kebun campur biasanya agak jauh dari rumah. Singkong, jagung, kacang tanah dan jenis kacang-kacangan lainnya merupakan jenis yang banyak ditanam. Selain tanaman kehutanan yang dapat dimanfaatkan kayunya seperti sengon, jenis pepohonan yang banyak ditanam adalah buah-buahan. Sistem kebun campur yang kompleks (Complex Agroforestry System) merupakan persekutuan dari banyak komponen diantaranya; pohon, liana, semak, ”trelet ” (pisang, coklat, kopi) yang semuanya memiliki nilai ekonomi tinggi. Sistem kebun campur merupakan perpaduan dari berbagai jenis tanaman dalam satu areal. Sistem ini hanya ditemui didalam tropik. Di Brazil misalnya, berupa hutan yang dikelola, berkembang dan mengalami transformasi terpadu dari ekosistem yang asli. Sistem kebun di Indonesia terbentuk setelah vegetasi asli punah atau dipunahkan, kemudian ditanami kembali jenis pohon yang lebih beragam (Michon 1991). Potensi kebun campur berguna untuk memecahkan permasalahan yang ada dalam penggunaan lahan yang semakin terbatas dengan mempertahankan lingkungan. Namun pada kenyataannya sistem kebun campur belum diakui oleh banyak instansi khususnya yang bergerak di bidang penelitian dan penyuluhan (Garrity 1994). Struktur dan Komposisi vegetasi Muller dan Ellenberg (1974) membagi struktur vegetasi menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, dan struktur tegakan. Struktur suatu
vegetasi terdiri dari individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya. Struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1.
Struktur vegetasi berupa gambaran vegetasi vertikal, merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.
2.
Sebaran horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.
3.
Kelimpahan (abundance) setiap jenis dalam suatu komunitas. Kelimpahan jenis ditentukan, frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap
jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), voloume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar individu, dan kerapatan. Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi besar, sebaliknya jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Dominansi suatu nilai menunjukkan penguasaan suatu jenis terhadap komunitas. Model Arsitektur Pohon Arsitektur pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu yang merupakan suatu fase pada saat tertentu dari suatu rangkaian seri pertumbuhan pohon, nyata dan dapat diamati setiap waktu. Bentuk pertumbuhan yang menentukan rangkaian fase arsitektur pohon disebut model arsitektur. Elemenelemen dari suatu arsitektur pohon terdiri dari pola pertumbuhan batang, percabangan dan pembentukan pucuk terminal. Pola pertumbuhan pohon dapat berupa ritmik dan kontinu. Pertumbuhan ritmik memiliki suatu periodisitas dalam proses pemanjangannya yang secara morfologi di tandai dengan adanya segmentasi pada batang atau cabang. Pertumbuhan kontinu berbeda dengan
pertumbuhan ritmik karena tidak meliki periodisitas dan tidak ada segmentasi pada batang atau cabangnya (Halle et al. 1978). Halle & Oldeman (1975) model arsitektur pohon dibedakan 4 karakterestik utama, yaitu : 1. Pohon tidak bercabang (monoaxial) yaitu bagian vegetatif pohon terdiri satu aksis dan dibangun oleh meristem soliter, contohnya model Holttum dan model Corner. 2. Pohon bercabang dengan axis vegetatif ekuivalen dan orthotropik, contohnya model Tomlinson, dan model Chamberlain. 3. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif non ekuivalen, contohnya model Prevost, model Rauh, model Cook. 4. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran ada yang ekuivalen dan non ekuivalen, contohnya model Troll, model Champagnat, dan model Mangenot. Vegetasi berperan dalam mengintersepsi curah hujan. Curah hujan yang turun akan dicegat oleh tajuk vegetasi, sebagian diuapkan ke atmosfer dan sebagian lagi jatuh ke lantai hutan sebagai curahan tajuk (throughfall) (Manokaran 1979). Sedangkan bagian yang dicegat oleh permukaan daun akan mengalir melalui batang menuju tanah
sebagai aliran batang (stemflow).
Selanjutnya curahan tajuk dan aliran batang mengalir di permukaan tanah membentuk aliran permukaan (surface run off) dan mengangkut partikel-partikel tanah (Tajang 1980).
Gambar 1 Model arsitektur Rauh Keterangan : aliran batang
aliran curahan tajuk
Model Rauh merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda. Aksis vegetatif yang tidak ekuivalen dengan bentuk homogen, semuanya orthotropik, percabangan monopodial dengan perbungaan lateral dan mempunyai batang pokok yang mengalami pertumbuhan secara ritmik (Gambar 1). Jenis
yang
memiliki model arsitektur dari famili Lauraceae, Elaeocarpaceae, Theaceae, dan Hamamelidaceae.
Gambar 2 Model arsitektur Roux Keterangan : aliran batang
aliran curahan tajuk
Model Roux merupakan salah satu model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis berbeda yaitu (1) aksis vegetatif tidak ekuivalen dengan homogen, heterogen atau campuran tetapi selalu mempunyai perbedaan yang jelas antara batang dan cabang, (2) aksis vegetatif homogen (terdiferensiasi dalam bentuk aksis orthotropic dan plagiotropik atau aksis majemuk). Percabangan akrotonik dalam membentuk batang bukan konstruksi modular, seringkali pembungaan lateral, batang monopodium dengan pertumbuhan batang percabangan secara kontinyu. Percabangan flagiotropik bukan karena aposisi, monopodial atau simpodial karena subsitusi, cabang dapat bertahan lama dan tidak menyerupai daun majemuk (Gambar 2). Jenis pohon yang memiliki model arsitektur dari famili Ulmaceae dan Melastomataceae.
Model Massart merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial, aksis vegetatif tidak ekuivalen, homogen (terdiferensiasi dalam bentuk aksis orthotropik). Percabangan seluruhnya akrotonik dalam membentuk batang, bukan konstruksi modular, perbungaan lateral, pola percabangan monopodium, pertumbuhan batang dan cabang ritmik. Percabangan flagiotropik bukan karena aposisi, monopodial atau simpodial karena substitusi (Gambar 3).
Jenis yang memiliki model arsitektur pohon ini dari famili
Loganiaceae dan Staphyliaceae.
Gambar 3 Model arsitektur Massart Keterangan : aliran batang
aliran curahan tajuk
Model Attims merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda. Aksis vegetatif tidak ekuivalen dengan homogen, semuanya orthotropik. Percabangan monopodial dengan perbungaan lateral dan mempunyai batang pokok yang mengalami pertumbuhan secara kontinyu (Gambar 4). Jenis pohon yang memiliki model arsitektur ini dari famili Moraceae, Rutaceae, dan Sapindaceae.
Gambar 4 Model arsitektur Attims Keterangan : aliran batang
aliran curahan tajuk
Model Scarrone merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak ekuivalen dengan bentuk homogen, semuanya orthotropik, percabangan monopodial dengan perbungaan terminal, terletak pada bagian peri-peri tajuk, cabang simpodial nampak seperti konstruksi modular, batang dengan pertumbuhan tinggi ritmik. Jenis yang memiliki model arsitektur pohon seperti ini adalah dari famili Lauraceae dan Saurauiaceae. Setiadi (1998) mengemukakan bahwa model arsitektur pohon yang tidak bercabang terdiri dari model Holtum dan model Corner.
Model Holtum
merupakan jenis pohon dengan ciri-ciri batng lurus, tidak bercabang, monoaksial (pohon yang mempunyai aksis tunggal yang berasal dari satu meristem apikal), dan dengan perbungaan terminal. Contoh tumbuhan yang memiliki model arsitektur Holtum adalah Corypha umbracelifolia (Arecaceae, monokotil) dan Sohuregia exelsa (Rutaceae, dikotil). Model Corner merupakan jenis pohon dengan ciri-ciri batang lurus, tidak bercabang, monoaksial (pohon yang mempunyai aksis tunggal yang berasal dari satu meristem apikal dan perbungaan lateral/axiler). Model Corner ini dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok tumbuhan dengan pertumbuhan kontinu yaitu pertumbuhan tidak memperlihatkan pertambahan tunas baru secara bertahap pada selang waktu tertentu (tanpa perbedaan episode pertumbuhan tunas
baru),contohnya Cocos nucifera (Aceraceae, monokotil) dan Carica papaya (Caricaceae, dikotil). Kelompok kedua dari model Corner adalah kelompok tumbuhan dengan pertumbuhan ritmik yaitu pertumbuhan pohon yang ditentukan oleh ritme timbulnya tunas baru yang diselingi oleh periode dormansi. Karena adanya ritme pertumbuhan tersebut, maka pada batang pohon nampak adanya ruas-ruas yang nyata sebagai tanda adanya pertumbuhan ritmik. Contoh tumbuhan yang tergolong model Corner untuk untuk pertumbuhan ritmik adalah Cycas circinales (Cycadaceae) dan Trichoscypha ferreginea (Anacardiaceae). Model arsitektur pohon yang bercabang dengan aksis vegetatif yang ekivalen, homogen (tidak ada pembagian batang dan cabang) dan orthotropik (seringkali berupa aksis vertikal serta akrotoni yaitu percabangan terjadi pada bagian distal dari permukaan tanah dengan bentuk percabangan tidak menggarpu). Setiap module terdapat dua atau lebih cabang, simpodium berdimensi tiga, tidak linier, percabangan jelas, perbungaan terminal disebut model Leewenberg. Contohnya Dracaena draco (Agavaceae, monokotil), Ricinus communis dan Manihot esculenta (Euphorbiaceae, dikotil). Pada jenis tumbuhan tertentu, pola percabangannya menunjukkan adanya aksis yang kelihatan seperti campuran antara ortthotropik dan plagiotropik yang disebabkan karena adanya pertumbuhan sekunder. Sebagai contoh pada pertumbuhan pohon yang memiliki pola dasar semua aksisnya orthotropik, tetapi karena dalam pertumbuhan selanjutnya terjadi proses pembekokan pada cabangcabang lateralnya maka membentuk model arsitektur tertentu yang berbeda. Model pertumbuhan pohon yang seperti ini selanjutnya disebut sebagai model Champagant. Contoh tumbuhan yang mengalami pertumbuhan seperti itu adalah Bougianvllae glabra (Nyctaginaceae). Bentuk lain ditemukan pada jenis tumbuhan dengan pola percabangannya menunjukkan adanya aksis seperti campuran antara orthotropik dan plagiotropik yang disebabkan karena adanya pertumbuhan sekunder. Sebagai contoh pada pertumbuhan pohon tertentu memiliki pola dasar dimana semua aksisnya sesungguhnya plagiotropik, tetapi setelah daun luruh sering kali menjadi tegak karena adanya pertumbuhan sekunder atau karena dalam pertumbuhan selanjutnya terjadi proses pembekokan pada cabang-cabang lateralnya maka membentuk
model arsitektur tertentu yang berbeda dengan model sebelumnya. Model pertumbuhan pohon yang seperti ini selanjutnya disebut sebagai model Troll. Model arsitektur pertumbuhan dengan model dasar Troll terbagi lagi menjadi dua bagian berdasarkan pola percabangan pokoknya yaitu : (1) model Troll yang mengalami pertumbuhan sekunder dengan pola percabangan pokoknya monopodium.
Sebagai contoh Annona muricata (Annonaceae), Allbizia
falcataria, dan Leucaena glauca (Mimmosaceae). (2) model Troll yang mengalami pertumbuhan sekunder seperti itu tetapi pola percabangan pokoknya simpodium. Sebagai contoh adalah Parinaria excelsa (Rosaceae) dan Elaeocarpus sphaericus. Pada penelitian lain yang dilakukan di Sumatera, Torquebiau (1985) dalam membuat peta mosaik hutan hujan tropika membagi pohon berdasarkan unit ekologi sebagai berikut : a. Tidak ada pohon atau pohon dengan tinggi kurang dari 2 meter atau pohon yang telah mati dan telah mulai membusuk, disebut Reorganizing eco-unit. b. Pohon masa depan yaitu pohon yang telah mulai menunjukkan model arsitektur
yang mengalami
pengaturan pola pertumbuhan, di sebut
Aggrading eco-unit. c. Pohon masa kini yaitu pohon yang mengalami pertumbuhan stabil dan pola percabangannya telah dapat di kenal dengan baik, disebut Steadystate eco-unit. Jenis ini akan dibagi lagi menjadi c1, c2, c3, dan c4 dalam pembuatan peta mozaiknya sesuai dengan ketinggian masing-masing pohon. d. Pohon masa lampau, yaitu pohon yang telah mati atau mulai mengering atau pohon sudah tua, di sebut Degrading eco-unit. Profil Vegetasi Profil vegetasi merupakan gambaran vertikal dan horisontal serta struktur dan komposisi jenis dari suatu vegetasi meliputi dominasi penutupan tajuk, keanekaragaman jenis, frekuensi jenis, kerapatan jenis dan tumbuhan bawahnya. Profil vertikal dan horizontal ini di bentuk oleh model arsitektur dari jenis-jenis yang ada di dalamnya (Setiadi 1998).
Curah hujan, aliran batang, dan curahan tajuk Curah hujan merupakan butir-butir air di atmosfer yang jatuh ke permukaan bumi setelah massa uap air mengalami pengembunan dan dalam jumlah besar membentuk awan yang mengandung air atau butir-butir es (Chow 1964). Jika ukuran butir-butir air atau es cukup besar maka butir-butir air atau es tersebut akan jatuh sebagai hujan. Satu hari hujan adalah periode 24 jam di mana terkumpul curah hujan setinggi 0,5 mm atau lebih dan curah hujan dengan tinggi kurang dari ketentuan ini, hari hujannya dianggap nol. Usaha dalam konservasi tanah dan air, karakteristik hujan perlu diketahui adalah tebal hujan, intensitas hujan dan distribusinya. Tebal hujan adalah jumlah curah hujan yang dinyatakan dalam milimeter biasanya di ukur setiap hari dan disebut hujan harian, sedang tebal hujan dalam sebulan disebut hujan bulanan dan dalam setahun disebut hujan tahunan. Intensitas hujan adalah tebal hujan persatuan waktu (ml/15mnt/30mnt), dan seterusnya 0 yang diukur dengan menggunakan pencatat hujan otomatis. Aliran batang (stemflow) adalah bagian dari curah hujan yang di cegat oleh tajuk vegetasi, lalu mengalir melalui batang, dan sampai ke permukaan tanah (Fellizar 1976). Menurut Manokaran (1979) aliran batang merupakan bagian hujan yang terintersepsi, berkumpul dan mengalir ke permukaan tanah melalui batang. Air hujan yang mengalir ke batang mempunyai koefisien input batang (Pt). Sebelum mencapai permukaan tanah, aliran batang tersebut akan mengisi celah-celah batang yang di sebut sebagai kapasitas batang untuk menyimpan air (St) (Gash 1979). Penguapan dari batang hanya merupakan bagiann kecil bila di bandingkan dengan penguapan dari tajuk, sehingga sering diabaikan ( Rutter & Morton 1977). Hover (1953) dalam Fellizar (1976) menyatakan bahwa tanpa menyertakan faktor aliran batang dalam studi hidroekologi terutama mengenai ketersediaan air dan keadaan kebasahan tanah bagian atas (sub soil moisture condition) akan terjadi tidak sesuai dengan perkiraan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Voigt (1969) bahwa tanah di sekitar pangkal pohon akan menerima air lebih besar dari pada tanah yang berada di bawah tajuk hutan lainnya maupun tanah terbuka. Kondisi ini disebabkan terjadinya akumulasi air pada pangkal
pohon yang akan memperbesar jumlah air perlokasi ke dalam tanah (Ovington 1954). Air tembus kanopi secara umum merupakan curah hujan yang mengenai pohon tertentu dan diteruskan ke tanah melalui kanopi bukan melalui batang. Besarnya air tembus kanopi dipengaruhi oleh tebalnya lapisan tajuk, jenis-jenis pohon yang membentuk tegakan, bentuk daun dan tata letak daun pada cabang, suhu sekitarnya dan kecepatan angin pada saat itu (Zinke 1967).
Selain itu
kondisi daun pada saat turun hujan juga mempengaruhi besarnya air tembus, artinya jika pada saat hujan daun yang sudah dalam keadaan basah, maka air tembusnya akan lebih besar jika dibandingkan dengan daun yang dalam keadaan kering. Air curahan tajuk ( throughfall ) adalah bagian dari air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah melalui celah-celah tajuk dan atau berupa limpasan dari daun, ranting atau cabang pohon (Kittredge 1948 dan Lull 1964). Air infiltrasi, kandungan air tanah, dan sifat-sifat fisik tanah Air hujan yang jatuh di permukaan tanah akan diserap masuk ke dalam tanah atau mengalir di atas permukaan tanah Schwab dkk (1982 ) dan Arsyad (1989) menyatakan bahwa infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah dan bergerak secara vertikal. Banyaknya air per satuan waktu yang masuk ke dalam tanah disebut laju infiltrasi. Sedangkan jumlah air yang dapat terinfiltrasi dalam suatu selang waktu tertentu disebut infiltrasi kumulatif, yaitu merupakan integral dari laju infiltrasi pada suatu selang waktu tertentu (Skoggs Khaleel, 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah penutupan tajuk tumbuhan, kondisi permukaan tanah, suhu tanah , intensitas hujan, sifat fisik tanah , dan kualitas air tanah (Viessman Jr.dkk., 1977). Hal ini sejalan dengan pendapat Skaggs dan Khaleel (1982) bahwa faktor yang mempengaruhui infiltrasi adalah kandungan air tanah awal, sifat fisik tanah, intensitas hujan, kondisi permukaan, pelapisan tanah, dan pergerakan udara dalam tanah. Rendahnya laju infiltrasi pada tanah basah berkaitan erat dengan besarnya potensial matriks tanah untuk menahan air (Hillel 1980). Selanjutnya dikatakan
bahwa laju infiltrasi akan terus menurun mendekati nilai konduktivitas hidrolik tanah. Kandungan air tanah setelah terjadinya hujan akan menurun akibat adanya potensial gravitasi air dan evapotranspirasi. Air akan bergerak ke dalam tanah akan menurun dengan menurunnya selisih antara potensial gravitasi dan potensial matriks tanah (Sinukaban 1985). Air dari dalam tanah akan terevapotranspirasi ke atmosfer. Dengan demikian evapotranspirasi akan menyebabkan meningkatnya potensial matriks tanah untuk menahan air. Selanjutnya dengan meningkatnya jumlahnya air yang terevaporasi pada suatu selang waktu tertentu akan meningkatkan laju infiltrasi awal. Hillel (1977), menggambarkan bahwa kandungan air tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk mempertahankan air selama tidak terjadi hujan. Adanya kemampuan tanah untuk menyerap air secara maksimum pada selang waktu tanpa hujan, maka akan dapat diketahui perubahan kandungan air tanah selama selang waktu tersebut. Penurunan kandungan air tanah dari kapasitas maksimum tanah memegang air pada selang waktu tertentu akan dapat digunakan untuk menentukan besarnya perubahan simpanan air tanah, yaitu melalui perubahan kandungan air tanah pada kedalaman tanah tertentu. Laju infiltrasi pada tanah pasir, lempung, dan liat akan berbeda akibat adanya kecenderungan tekstur tanah dalam membentuk struktur dan pori tanah. Dengan semakin kecil partikel tanah akan meningkatkan luas bidang sentuh antar partikel tanah, sehingga kemungkinan untuk terbentuknya pori mikro dengan struktur yang teguh. Selama infiltrasi, distribusi kandungan air tanah pada tanah pasir akan lebih luas daripada tanah lempung. Demikian juga distribusi kandungan air tanah lempung lebih besar daripada tanah liat (Hillel 1977). Hubungan antara sifat fisik tanah, vegetasi, dan infiltrasi terletak pada sumbangan bahan organik dan penetrasi perakaran di dalam tanah. Tingginya kandungan bahan organik tanah akan meningkatkan kekuatan agregat.