TINJAUAN PUSTAKA Kebiasaan Makan Kebiasaan makan menurut Suhardjo (1986) adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan konsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebiasaan makan bukanlah bawaan dari lahir, melainkan merupakan hasil belajar. Sebagai contoh kebiasaan makan keluarga, menjadi panutan bagi generasi muda dalam keluarga tersebut. Wirakusumah dalam Novitasari (1994:1) menjelaskan kebiasaan keluarga makan berlebihan, frekuensi makan yang sering, kebiasaan makan snack, makan di luar waktu makan akan ditiru oleh anak. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur, jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan kecenderungan untuk makan lebih banyak dan melebihi kebutuhan. Den Hartog dalam Novitasari (1995: 16) mengatakan bahwa kebiasaan makan
dipengaruhi
oleh
beberapa faktor lingkungan, seperti lingkungan
budaya (Cultural Environment), lingkungan alam (Natural Environment), dan populasi. Pernyataan tersebut
diperkuat oleh Swasono, (1987: 9,11) yang
mengatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan masyarakat yaitu: 1. Pada tingkat kebudayaan, yaitu sebagai tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh anggota masyarakat pada umumnya, baik yang terwujud sebagai yang ideal maupun aktual. 2. Pada tingkat masyarakat, yaitu melihat sebagai pola-pola yang umum berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. 3. Pada tingkat keluarga, yaitu melihat sebagai pola-pola umum yang berlaku pada kehidupan keluarga yang ada dalam satu masyarakat, yang merupakan gambaran mengenai berbagai kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan para anggota keluarga, sebagai satu satuan kehidupan. 4. Pada tingkat individual, melihat sebagai pola-pola umum yang mendasar dari perangkat – perangakat pengetahuan mengenai kebiasaan makan oyek dicampur dengan nasi.
Sinaga dalam Susanto dan Suparlan (1989: 391) dalam hal pola konsumsi makanan pokok, menyebutkan bahwa tidak benar jika beranggapan bahwa hanya beras saja yang merupakan makanan utama dan satu-satunya bahan makanan yang patut di beri perhatian khusus. Masyarakat Indonesia tidak hanya mengandalkan beras sebagai bahan makanan pokok. Berbagai hasil pertanian telah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok sehari-hari, misalnya sagu, jagung, ubi kayu, ketela dan jenis umbi yang lain. Pola konsumsi tersebut berkaitan dengan aspek sosial budaya masyarakat dan ketersediaan sumberdaya alam yang ada. Pemanfaatan bahan pangan non beras sebagai bahan makanan pokok tersebut sudah berlangsung secara turun-temurun dan merupakan salah satu bentuk kreasi budaya masyarakat. Sanjur (1982) mengemukakan bahwa konsep mengenai makanan dan pemilihan makan pada diri seseorang dipengaruhi oleh tiga jenis kebutuhan, yakni: 1) Kebutuhan biogenik, yaitu jika seseorang perutnya kosong dalam waktu relatif lama 5-10 jam maka secara biologis ia mendambakan untuk memenuhi kebutuhan biologik tersebut, 2) Kebutuhan psikogenik, yakni seseorang dalam keadaan lapar berat , umumnya cenderung mencari dan memilih makanan yang ia sukai, yakni sewaktu ia dihadapkan kepada banyak pilihan makanan yang tersedia, 3) Kebutuhan sosiogenik, yaitu seseorang yang merasa lapar, umumnya mencarti dan memilih makanan yang menurutnya tidak bertentangan dengan sistem sosial budaya dan agama, di mana ia hidup dan dibesarkan.
(http://Sanjur.wordpress.com. Artikel/ pangan/08/07/2008).
Faktor Sosial Budaya Secara terminologis, kata kebudayaan atau culture berasal dari bahasa Latin yaitu colere yang bermakna mengolah atau mengerjakan. Kata culture diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi kultur
yang memiliki kemiripan makna dengan budaya atau
kebudayaan. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat karena kebudayaan mencerminkan pola pikir dan pola tindak suatu masyarakat menyangkut tata nilai, norma, dan perilaku masyarakat.
Herskovits dan
Malinowski (1987)
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri (Cultural-Determinism) (http://Herskovis & Melinowski/Sosial/wordpress.com/2008/03/01).
Koentjaraningrat (1988) menyatakan sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia. Sikap mental atau attitude diartikan sebagai suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap
lingkungannya
(baik
lingkungan
manusia
maupun
lingkungan
alamiahnya). Perilaku merupakan bentuk kebudayaan sebagai perwujudan aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dan masyarakatnya.
Pada wujud lainnya
kebudayaan terbentuk sebagai sistem nilai budaya atau orientasi nilai budaya. Kebudayaan pada bentuk ini merupakan kompleksitas ide, gagasan-gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Orientasi nilai budaya (sikap mental) menjadi unsur pengatur, pengendali perbuatan dan berpengaruh pada penciptaan karya-karya fisik. Nilai sosial budaya adalah suatu kesadaran emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang, dan salah satu cirinya bahwa nilai itu merupakan unsur penting yang tidak dapat diremehkan oleh masyarakat penganutnya. Nilai sosial dijunjung tinggi oleh orang banyak karena berdasarkan konsensus masyarakat nilai itu menyangkut kesejahteraan bersama. Nilai itu merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku manusia (Rasyid, 2001). Asy’ari (Dimyati, 2002) menyatakan bahwa, pola sikap dan perilaku seseorang anggota masyarakat banyak dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor antara lain adalah lingkungan alam, faktor keturunan, lingkungan sosial, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan. Susanto (1991) mengatakan bahwa jenis atau macam makanan yang biasa dikonsumsi seseorang/kelompok individu, dapat dijadikan indikator dari budaya mana mereka berasal. Contoh: a) jika ada seseorang atau kelompok individu tidak makan daging sapi sama sekali, maka hampir dipastikan bahwa mereka bergama Hindu, atau b) seseorang atau kelompok individu yang menyukai makanan dengan rasa manis, maka hampir pasti mereka berasal dari lingkungan budaya
Jawa. Herskovits pada Novitasari (1995: 12) memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Tylor dalam Faroji (2008) kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain
yang
didapat
seseorang
sebagai
anggota
masyarakat. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Manik (1986:108) mengatakan sosial budaya terdiri dari kebiasaan, norma dan adat- istiadat masyarakat, keseniaan, peninggalan bersejarah atau purbakala, benda atau tempat yang dikeramatkan, lembaga yang ada di masyarakat (lembaga adat, agama, kerukunan antar umat beragama, dan lain-lain), serta persepsi atau tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha atau kegiatan. Agama bukan saja suatu lembaga yang berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga adalah lembaga sosial. Agama adalah bagian dari kebudayaan karena hidup dalam kehidupan manusia sehari-hari, sama seperti kehidupan lainnya. Sebagai suatu institusi sosial, agama juga merupakan bagian dari satu sistem kebudayaan, karena manusia tidaklah dapat hidup di luar kebudayaannya.Masyarakat kebumen pada dasarnya masyarakat yang religius, taat terhadap aturan-aturan agama adat istiadat, khususnya di Desa Pengempon dan Desa Karangpule. Masyarakat di kedua desa tersebut masih menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma dalam berperilaku secara individual maupun sosial. Norma dan tata kelakuan yang bersumber pada nilai-nilai agama menjadi pola anutan masyarakat dalam bertindak. Hal ini terbukti masayarakat masih sering mengadakan pengajian, bahkan untuk kalangan pemuda
dan
pemudi
terdapat forum pengajian
selapanan, yaitu pengajian yang dilaksanakan satu kali dalam rentang 35 hari. Forum tersebut membahas berbagai hal yang berkaitan dengan keagamaan, adat istiadat dan sebagainya. Acara tersebut dihadiri oleh pemuda dari berbagai desa di sekitarnya, tokoh masyarakat, dan aparat desa
Dilihat dari segi pendidikan formal, masyarakat di dua desa tersebut terutama
golongan tua hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD),
bahkan tidak sedikit yang tidak menamatkan sekolah dasar. Pemuda di Desa Pengempon dan Desa Karangpule rata-rata sudah tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedikit sekali yang meneruskan ke jenjang lebih tinggi baik tingkat SLTA maupun perguruan tinggi. Kondisi ini di sebabkan ketidak mampuan orang tua untuk membiayai anak-anaknya bersekolah. Jika dilihat dari segi pendidikan non formal, sebagian besar masyarakat di dua desa tersebut memiliki basis pendidikan nonformal pesantren. Pemuda pemudi dari Desa Pengempon dan Desa Karangpule banyak yang menuntut ilmu di pondok pesantren di berbagai wilayah di Pulau Jawa seperti, pondok pesantren Gontor, Tebu Ireng, Tegal Rejo, dan sebagainya. Faktor Ekonomi Kemajuan ekonomi atau kehidupan ekonomi suatu negara antara lain dilihat pada aktifitas atau kegiatan ekonominya (Depdikbud, 1994: 18-19). Kegiatan ekonomi dapat dilihat dari industri-industri ekstratif dan agraris, bidang manufaktur dan jasa. Pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya diarahkan pada pembangunan ekonomi yang berbasis pada sektor pertanian. Kenyataan yang terjadi justru terlihat banyaknya pengangguran di sektor pertanian dan kesempatan kerja di sektor agraris yang semakin berkurang. Salah satu indikator untuk melihat tingkat perekonomian masyarakat adalah asupan gizi dari pola makan sehari-hari. Seperti yang dikemukakan oleh Sizaret dan Francois dalam Susanto (1991: 55), semakin berada seseorang, maka konsumsi bahan hewani, sumber lemak hewani dan gula semakin tinggi. Di negara-negara industri, roti tawar putih yang di konsumsi seseorang melambangkan status ekonominya yang tinggi, sedangkan roti tawar berwarna, seperti brownish bread umumnya di konsumsi oleh pegawai (buruh) yang status ekonominya sedang atau rendah. Sedangkan orang yang berada (kaya) di Asia tercermin dari jenis nasi yang di konsumsi, semakin kaya seseorang, maka semakin putih dan semakin pulen jenis nasi yang biasa di konsumsi. Sebaliknya, semakin miskin seseorang, semakin rendah kualitas nasi yang di konsumsi.
Sumber daya produksi bagi petani adalah tanah. Petani-petani di Kecamatan Sruweng khususnya di Desa Pengempon dan Desa Karangpule rata-rata memiliki lahan kering cukup luas rata-rata sekitar 1 ha per keluarga. Dilihat dari tingkat pendapatan, rata-rata petani di kedua desa tersebut memiliki tingkat pendapatan yang rendah karena lahan-lahan yang dimiliki berada di lereng-lereng gunung, sehingga masyarakat mengalami kesulitan
dalam pengolahan lahan. Hal ini
berdampak pada rendahnya produktivitas lahan yang berimplikasi pada rendahnya tingkat pendapatan petani. Rendahnya produktivitas lahan di kedua desa tersebut menyebabkan tingkat perkenomian rata-rata penduduknya juga rendah. Kondisi ini tercermin dari pola makan sehari-hari dilihat dari sumber bahan makanan pokok. Masyarakat di kedua desa tersebut sampai saat ini masih mengkonsumsi oyek sebagai campuran nasi. Pola makan ini awalnya merupakan salah satu strategi yang diterapkan masyarakat untuk menghemat konsumsi beras yang nilai ekonominya lebih tinggi daripada oyek. Pola makan tersebut saat ini sudah berubah menjadi kebiasaan masyarakat. Masyarakat di kedua desa tersebut sebagian besar mengkonsumsi oyek sebagai bagian dari tradisi dan pola makan sehari-hari, walaupun akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan yang menurun. Adapun bahan makanan pokok yang dikomsumsi masyarakat pedesaan di ke dua desa tersebut adalah sebagai berikut: 1. Desa Pengempon: beras, ubi kayu (oyek), jagung, jagung beras, ketela rambat, beras dan oyek. 2. Desa Karangpule: beras, ubi kayu (oyek), jagung, jagung beras, ketela rambat, beras dan oyek. Faktor Pola Pertanian Kebiasaan makan makanan pokok masyarakat di wilayah penelitian erat kaitannya dengan pola budaya berladang yang telah ada secara turun temurun. Menurut Biro Pusat Statistik Kabupaten Kebumen (2007) diketahui bahwa produksi pertanian lahan kering seperti jagung, ubi kayu, ubi rambat, kacang tanah, kedelai, kacang panjang dan kacang hijau cukup melimpah dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut memiliki arti
penting dalam pola budaya pertanian masyarakat di Desa Pegempon dan Desa Karangpule yang akan mempengaruhi secara langsung kebiasaan makan masyarakat. Komoditas pertanian sebagai bahan makanan pokok yang dapat disimpan dalam waktu lama umumnya ditanam secara serentak, misalnya padi dan jagung. Bahan makanan pokok non beras yang tidak dapat disimpan lama, antara lain: ubi kayu, ubi rambat, talas, dan lainnya. Penanamannya dilakukan sedidik demi sedikit, pada umumnya tidak secara monokultur malainkan dengan cara tumpang sari. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa tradisi masyarakat dalam pengolahan ladang pertanian membentuk kearifan lokal masyarakat dalam pengolahan sumberdaya ladang secara lestari dan berkelanjutan sebagai model utama untuk memperoleh bahan makanan. Tradisi-tradisi tersebut erat hubungannya dengan berbagai macam pilihan, antara lain: 1. Macam tanaman yang cocok ditanam 2. Masa untuk mulai bercocok tanam dan panen 3. Jenis teknologi yang digunakan 4. Cara-cara pengolahan makanan 5. Kebiasaan mengkonsumsi makanan Ciri-ciri pola pertanian yang dianut oleh masyarakat Desa Pengempon dan Desa Karangpule memberikan implikasi bahwa mengubah sistem budaya berladang menjadi sistem pertanian padi sawah dengan pengairan teknis tidaklah semudah seperti yang dibanyangkan oleh kebanyakan orang. Selain ketersediaan air yang terbatas untuk usaha tani sawah, ladang mempunyai arti khusus dalam budaya masyarakat setempat sebagai “gudang” atau tempat penyimpanan cadangan bahan-bahan makanan, agar bisa memberi rasa aman dalam bidang pangan. Pengolahan tanah di Desa Pengempon dan Desa Karangpule dapat di golongkan menjadi: 1. Pengolahan tanah kering, berupa ladang atau tegalan terutama di daerah pengunungan atau di daerah yang kurang curah hujannya. 2. Pengolahan tanah di dataran rendah, berupa persawahan terutama di daerah aliran sungai atau di daerah di mana di bangun bendungan untuk irigasi. Di
daerah di mana tidak tersedia irigasi, sistem pengolahan sawah adalah tadah hujan. 3. Pengolahan tanah pekarangan, yakni tanah-tanah di sekitar rumah ditanami dengan jenis-jenis tanaman jangka panjang seperti kelapa, buah-buahan, atau jenis tanaman keras lainnya. Faktor Ekologi/Lingkungan Kata ekologi berasal dari bahasa Yunani Oikos, yang berarti “rumah” atau “tempat untuk hidup” (Odum,1993: 3). Secara harfiah, ekologi adalah pengkajian organisme-organisme “di rumah“. Biasanya ekologi didefinisikan sebagai pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya, atau ilmu hubungan timbal balik antara organismeorganisme hidup dan lingkungannya. Senada dengan hal tersebut Soemarwoto dalam Husein (1992) mengatakan ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antra mahluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalahan ekologi. Hal tersebut diperkuat oleh Manik (2003: 4) bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem atau sistem ekologi adalah satu kesatuan tatanan yang terbentuk oleh interaksi (hubungan) timbal balik antara makhluk hidup (hayati) dengan unsur-unsur non hayati (abiotik) dalam suatu wilayah. Suatu ekosistem terdiri dari unsur-unsur hayati (tumbuhan, satwa atau hewan, mikro organisme, dan manusia), serta non hayati (unsur fisik dan kimia), seperti tanah, batuan, air, udara, sianar matahari, curah hujan, suhu atau temperatur dan faktor iklim lainnya. Bahan anorganik (nitrogen, fosfat, karbon, dan sebagainya), serta bahan organik (karbihidrat, protein, lemak, dan lain-lain). Keseluruhan komponen tersebut membentuk mata rantai yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem. Jika ada salah satu komponen dari ekosistem tersebut hilang atau musnah, maka ketidakseimbangan ekosistem merupakan sebuah konsekuensi yang akan terjadi yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup. Hubungan timbal balik antara unsur tersebut terjadi secara dinamis dan seimbang, sehingga tercipta keadaan lingkungan yang mendukung kehidupan mahluk hidup di wilayah bersangkutan
Walgito (2003) mengatakan bahwa lingkungan merupakan segala hal yang ada di sekitar manusia yang dapat dibedakan menjadi benda-benda yang mati dan benda-benda hidup, dengan kata lain ada lingkungan yang bersifat kealaman atau lingkungan fisik, dan ada lingkungan yang mengandung kehidupan atau lingkungan sosial. Kedua jenis lingkungan ini, secara signifikan, akan mempengaruhi perilaku individu., sebagaimana yang dinyatakan oleh Delgado dalam Rakhmat (2001) bahwa respons otak dan perilaku individu dipengaruhi oleh setting atau suasana yang melingkupi individu tersebut. Sampson (1976) mengemukakan beberapa faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi perilaku individu di antaranya adalah: (1) lingkungan ekologis, yang meliputi faktor geografis dan faktor iklim atau meteorologis, dan (2) lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain, yang meliputi kelompok-kelompok sosial yang ada di sekitar individu baik individu tersebut sebagai anggota maupun tidak (sekedar sebagai rujukan), sistem peranan yang berlaku dalam masyarakat, karakteristik populasi. Peranan Makanan Selingan Masih kuatnya kebiasaan makan keluarga-keluarga di pedasaan berkenaan dengan makanan pokok tradisional dipengaruhi pula oleh kebiasaan mereka mengkonsumsi makanan-makanan selingan yang terbuat dari bahan makanan pokok selain beras. Hal tersebut berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan yang dikembangkan oleh penduduk setempat dengan berbagai komoditas tanaman pangan. Jenis makanan selingan atau jajanan yang dikenal dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat di dua desa tersebut antara lain: singkong rebus, singkong goreng, jagung rebus, jagung bakar, getuk singkong, ganyong rebus, ubi jalar rebus atau goreng, angkrik rebus, kerupuk singkong, kelanting, manggleng, kue lapis, kue pipis, lemper, legendar, lanting dan lain sebagainya. Beragamnya jenis makanan selingan yang dikonsumsi oleh masyarakat di pedesaan terkait dengan komoditas yang dikembangkan oleh masyarakat tersebut. Makanan-makanan selingan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan cenderung berupa makanan tradisional yang berbahan dasar hasil-hasil pertanian. Kondisi tersebut merupakan salah satu bentuk pemanfaatan hasil pertanian untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga petani. Kondisi tersebut juga mencerminkan pola pertanian yang masih bersifat subsisten belum mengarah pada skala agribisbis. Makanan-makanan selingan atau jajanan tersebut telah dikenal oleh masyarakat dan umumnya di komsumsi di antara dua waktu makan, yaitu antara makan siang dan makan malam, serta sebagai hidangan jika ada tamu yang berkunjung. Makanan-makanan selingan tersebut dapat ditemukan di warungwarung, pasar setempat, pada saat acara-acara tertentu seperti acara keagamaan, Isra’Mi’raj, Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, khitanan, pesta pengantin, puputan dan lain sebagainya. Walaupun tidak terdapat pola keteraturan dalam hal frekuensi konsumsi pada masing-masing keluarga, peranan makanan selingan tersebut cukup penting ditinjau dari sudut pandang pemeliharaan kebiasaan makan makanan pokok tradisional. Jenis-jenis makanan selingan tersebut memperkaya wawasan/pandangan masyarakat terhadap beragam sumber bahan makanan selain beras, dan mengurangi atau membatasi ketergantungan masyarakat pada beras. Peningkatan mutu dan kualitas makanan-makanan selingan atau jajanan tersebut dapat dilakukan dengan peningkatan cara pengolahannya. Peningkatan cara pengolahan makanan tersebut berpengaruh positif
terhadap peningkatan
mutu makanan selingan atau jajanan dan peningkatan ekonomi masyarakat karena memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Pengolahan makanan selingan tersebut dapat dilakukan dalam skala industri keluarga (home industri) sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Ubi Kayu Lingga dalam Novitasari (1989: 5) mengatakan ubi kayu adalah sejenis tanaman tropis yang dalam pertumbuhannya memerlukan suatu iklim yang panas dan lembab, dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi atau pegunungan, pada ketinggian maksimum 1500 meter di atas permukaan laut. Menurut sejarahnya, ubi kayu ini berasal dari Brazil yang kemudian pada abad ke 18 mulai menyebar ke Hindia Belanda dan kemudian sampai ke Indonesia. Budidaya ubi kayu di Indonesia mulai banyak dilakukan pada tahun 1914 – 1918 ketika Indonesia dilanda kesulitan mendapatkan beras dari luar negeri.
Lembaga Informasi Pertanian (LIPTAN) Balai Informasi Pertanian (BIP) Irian Jaya (1995) menyebutkan ubi kayu termasuk tanaman tropis, tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh dengan baik di daerah sub tropis. Secara umum tanaman ini tidak menuntut iklim yang spesifik untuk pertumbuhannya. Namun demikian ubi kayu akan tumbuh dengan baik pada kondisi iklim dan tanah sbb: Tabel. 1. Iklim dan Tanah Ubi Kayu IKLIM Curah Hujan
Tinggi Tempat
TANAH Suhu
750 - 1000 0 - 1500 25o – 28oC mm/thn m dpl
Tekstur
Struktur
pH Tanah
Berpasir hingga liat, Gembur tumbuh baik pada tanah lempung, berpasir yang cukup hara
4,5 - 8 , optimal 5,8
Sumber: LIPTAN BIP Irian Jaya, 1995 Ubi kayu atau singkong adalah bahan makanan sumber karbohidrat dari jenis ubi-ubian . Ditinjau dari segi ilmu gizi, ubi kayu memang kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan beras dilihat dari kandungan proteinnya (Adyana. 1993). Ubi kayu dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk olahan masakan, diantaranya adalah dengan dikukus, rebus, dibakar, goreng dan lain sebagainya (Tjokroadikoesoemo. 1986). Sedangkan dalam skala industri, ubi kayu ini dapat diproduksi untuk menghasilkan berbagai produk seperti pada industry chips dan pellet untuk bahan baku makanan ternak, pabrik sirup glukosa, sirup maltose, atau High Fructosa Syrop (HFS), pabrik alkohol, bumbu masak dan lain-lain. Secara fisiologis, tanamam ubi kayu mempunyai tinggi antara 1,5 – 4 meter, batang tumbuh tegak dan beruas, warna batang hijau muda setelah tua berubah menjadi putih kelabu atau hijau kelabu, daunnya tumbuh di sepanjang batang dengan panjang tangkai kurang lebih 30 – 40 cm, dengan warna hijau dan merah kekuningan. Kulitnya berwarna coklat kelabu, atau kombinasi
kedua warna
tersebut, berdaging dengan warna putih dan kuning, bentuk seperti slinder dengan ukuran bervariasi menurut varietas dan jenisnya dengan kondisi pertumbuhan normal. Tiap pohon dapat menghasilkan 5 - 10 biji, dengan panjang 30 - 45 cm.
Sasrosoedirdjo dalam Fadilah (1978: 6) menggolongkan Ubi kayu menjadi dua golongan besar yaitu: 1) Ubi kayu manis, yaitu ubi kayu yang berkadar HCN rendah, dan 2) Ubi kayu pahit, yaitu ubi kayu yang berkadar HCN tinggi. Jenisjenis varietas ubi kayu disajikan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel. 2. Varitas-varitas Unggul Ubi Kayu Potensi Asal hasil (ton/ha) Klon Manis (Kadar HCN Rendah )
No
Varietas
No silsilah
Umur / bulan
1
Valenca
2
2
Gading
547
3
Ambon
554
4
W – 78
802
1
S.P.P
15
Hasil introduksi dari Brazilia
10-12
20-25
2
Bogor
397
8-11
20-25
3
Muara
528
Seleksi Bogor (Bogor x Bosirao) Seleksi Bogor (Bogor x Bosirao)
Rasa pahit, peka penyakit layu Rasa pahit
7-10
30
Rasa pahit
4
W – 236
Seleksi Bogor (Bogor x Bosirao)
8-12
30
Rasa pahit
Hasil introduksi dari Brazilia Hasil introduksi dari Jawa Barat Hasil introduksi dari Ambon
10-12
15-20
7-10
30
8-10
20-25
Seleksi Bogor 7-10 25-30 (Manggi x Ambon) II. Klon Pahit ( Kadar BCN Tinggi )
Rasa
Rasa enak pulen Rasa enak Rasa enak, daging kuning agak peka penyakit layu Rasa enak, daging kuning
Sumber: LP3 – Bogor. Tabel 2 memperlihatkan bahwa varietas ubi kayu yang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan varietas lainnya adalah varietas W-78 yang berasal dari penyilangan ubi kayu Manggi dan ubi kayu Ambon. Varietas tersebut dapat dipanen pada umur 7-10 bulan dengan potensi hasil rata-rata 25-30 ton/ha.
Keunggulan lainnya adalah rasanya yang enak dan daging berwarna kuning. Berbagai keunggulan yang dimiliki oleh ubi kayu varietas W-78 memungkinkan jenis tersebut untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Table. 3. Komposisi Kimia Ubi Kayu ( per 100 gr basah ) Komponen
Ubi kayu putih/manis
Air (gr) 62.50 Protein (gr) 1.20 Lemak (gr) 0.30 Serat kasar (gr) 0.9 Karbihidrat (gr) 34.70 Abu (gr) 0.5 Kalsium (mg) 33.00 Fosfor (mg) 40.00 Besi (mg) 0.70 Vitamin C (mg) 30.00 Vitamin A (S1) 0.00 Vitamin B1 (mg) 0.06 Kalori (kal) 143 Sumber: Departemen Kesehatan RI, 1996.
Ubi kayu kuning/pahit 60.00 0.80 0.030 0.9 37.90 0.5 33.00 40.00 0.70 30.00 385.00 0.06 157
Tjokroadikoosoemo dalam Fadilah (1986: 6) mengatakan adanya sianida dalam ubi kayu menyebabkan kurang dapat diterima secara menyeluruh dan hanya dimanfaatkan sebagai makanan pokok di daerah pedesaan saja. Sianida dapat menimbulkan keracunan dalam berbagai efek biologi, yaitu penghambatan respirasi jaringan. Sianida dapat direduksi melalui pengeringan, perendaman, perebusan, fermentasi. Pengolahan secara tradisional dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan racun yang ada pada ubi kayu tersebut, misalnya kulit singkong dikupasa terlebih dahulu, direndam selama kurang lebih 3-4 hari, yang kemudian dilanjutkan dengan pengeringan. Perlakuan seperti ini akan membuang HCN sampai 10 – 40 mg/kg (Winarno & Didik, 1997. 6). Oyek (Beras Ubi kayu) Beras ubi kayu ” Oyek” adalah beras simulasi pengganti makanan pokok yang terbuat dari Ubi kayu atau Singkong (Monihot utilissima) melalui suatu
proses yang diawali dengan tahap perendaman atau fermentasi (Pembayun, dkk, 1997: 10). Beras ubi kayu banyak dikomsumsi oleh masyarakat di daerah Jawa Tengah, terutama di daerah Kebumen dan Banyumas yang lebih dikenal dengan sebutan ”Oyek”. Sedangkan di beberapa daerah seperti di Sumatra sebagian masyarakat juga mengkomsumsi beras ubi kayu ini terutama pada musim paceklik. Masyarakat di Jawa Timur menyebut ”oyek” dengan nama”leye” yaitu bahan makanan yang terbuat dari ubi kayu melalui proses perendaman selama beberapa hari, kemudian dicuci untuk menghilangkan bau busuk atau bau asam yang dihasilkan selama perendaman. Sealanjutnya ubi kayu tersebut dibuat tepung, kemudian dibuat butiran-butiran dengan cara memercikkan air pada tepung tersebut. Butiran yang sudah terbentuk selanjutnya dikukus hingga masak, kemudian dijemur sampai kering. Oyek dapat disimpan hingga lebih dari satu tahun tanpa mengurangi kualitasnya, jika pengeringannya sempurna (Anonymous, 1968). Alternatif lain untuk membuat oyek ini adalah dengan cara langsung, ubi kayu basah yang telah di rendam dihancurkan tanpa terlebih dahulu dibuat tepung kering, kemudian dilakukan pengukusan sampai masak, dan selanjutnya dilakukan penjemuran sampai kering (Suprapto, 1980 :10). Wargino dan Barret dalam Didik (1987: 9) menyebutkan beras ubi kayu yang dibuat melalui proses fermentasi dilakukan dengan langkah sebagai berikut : ubi kayu yang telah dikupas, selanjutnya direndam dalam air selama tiga sampai lima hari, kemudian di tiriskan, penghancuran, terus dilakukan pembentukan seperti butiran beras, pengukusan dan pengeringan dengan cara dijemur. Pambayun, dkk. (1997) mengatakan fermentasi selama perendaman ubi kayu dari nol sampai lima hari, dilakukan oleh mikroba yang tumbuh secara berurutan. Suksesi ini terjadi karena adanya perubahan lingkungan fermentasi seperti pH, oksigen terlarut, serta terjadinya perubahan komposisi subserat (senyawa kimia). Beras ubi kayu (oyek) dapat disimpan lebih dari satu tahun dengan tanpa mengurangi kualitasnya. Oyek memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, tetapi nilai proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan beras (padi).
Tabel. 4. Daftar Komposisi Ubi kayu dan Beras Nama
Kalori Kal
Protein G
Lemak g
Karb G
Kals mg
Fosfor mg
Besi mg
Vit.A S.1.
Vit.B1 mg
Vit.C mg
Air g
b.d.d %
Singkong manis
146
1.2
0.3
34.7
33
40
0.7
0
0.06
30
60.0
75
Singkong
157
0.8
0.3
37.9
33
40
0.7
385
0.06
30
60.0
75
360
6.8
0.7
78.9
6
140
0.8
0
0.12
0
13.0
100
178
2.1
0.1
40.6
5
22
0.5
0
0.02
0
57.0
100
pahit Beras giling Beras giling masak
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1996 Nasi Nasi adalah beras (atau kadang-kadang serealia lain) yang telah direbus dan ditanak. Proses perebusan beras dikenal juga sebagai 'tim'. Penanakan diperlukan untuk membangkitkan aroma nasi dan membuatnya lebih lunak tetapi tetap terjaga konsistensinya. Pembuatan nasi dengan air berlebih dalam proses perebusannya akan menghasilkan bubur. Warna nasi yang telah masak (tanak) berbeda-beda tergantung jenis beras yang digunakan. Pada umumnya, warna nasi adalah putih bila beras yang digunakan berwarna putih. Beras merah atau beras hitam akan menghasilkan warna nasi yang serupa dengan warna berasnya. Kandungan amilosa yang rendah pada pati beras akan menghasilkan nasi yang cenderung lebih transparan dan lengket. Ketan yang patinya hanya mengandung sedikit amilosa dan hampir semuanya berupa amilopektin, memiliki sifat semacam itu. Pada umumnya, beras dengan kadar amilosa lebih dari 24% akan menghasilkan nasi yang 'pera' (tidak lekat, keras, dan mudah terpisah-pisah). Nasi dimakan oleh sebagian besar penduduk Asia sebagai sumber karbohidrat utama dalam menu sehari-hari. Nasi sebagai makanan pokok biasanya dihidangkan bersama lauk sebagai pelengkap rasa dan juga melengkapi kebutuhan gizi seseorang. Nasi dapat diolah lagi bersama bahan makanan lain menjadi masakan baru, seperti pada nasi goreng, nasi kuning atau nasi kebuli (Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia).