TINJAUAN PUSTAKA
Klon Tanaman Karet PB 260 dan IRR 118 Klon unggul merupakan salah satu komponen teknologi terpenting yang secara langsung berperan dalam meningkatkan potensi hasil tanaman. Sejalan dengan berkembangnya industri kayu karet, sasaran program pemuliaan tidak hanya menghasilkan klon unggul yang memiliki potensi hasil lateks tinggi tetapi juga produksi kayu yang tinggi. Penelitian untuk menghasilkan klon-klon karet unggul baru telah memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam hal peningkatan potensi produksi, pemendekan masa tanaman belum menghasilkan dan peningkatan potensi biomassa kayu (Aidi dan Daslin, 2014). Dalam program pemuliaan karet, kegiatan seleksi dan pengujian klon dilakukan secara bertahap, mulai dari uji keturunan (progeny test) padapopulasi semaian hasil persilangan, uji plot promosi, uji pendahuluan, hingga pengujian lanjutan dan adaptasi. Tahapan pemuliaan tersebut harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Untuk menggali potensi keunggulan suatu klon, maka uji adaptasi merupakan tahapan akhir dari siklus seleksi untuk mengetahui kesesuaian tumbuh klon pada lingkungan dengan ciri-ciri khusus maupun
kemampuan
adaptasi
pada
lingkungan
yang
lebih
luas
(Aidi,et al. 2015). Klon karet anjuran komersial untuk penanaman skala luas tahun 20102014 dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: a) klon penghasil lateks dan b) klon penghasil lateks-kayu seperti disajikan pada tabel 1 berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Klon karet anjuran komersial tahun 2010-2014 Uraian
Jenis klon
1. Klon penghasil lateks
IRR 104, , IRR 112, IRR 118, IRR 220, BPM 24, PB 260, PB 330 dan PB 340. 2. Klon penghasil lateks-kayu RRIC 100, IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107 dan IRR 119 Sumber :Balai Penelitian Sembawa – Pusat Penelitian Karet. 2011 Penelitian untuk menghasilkan klon-klon karet unggul baru telah memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam hal peningkatan potensi produksi, pemendekan masa tanaman belum menghasilkan dan peningkatan potensi biomassa kayu. Kegiatan pemuliaan karet sudah berjalan selama empat generasi (1910-2010) dan pada generasi keempat telah menghasilkan beberapa klon unggul dengan produktivitas yang tinggi sebagai penghasil lateks dan kayu, yang terdiri atas klon
IRR 107, IRR 112, IRR 118 dan IRR 119
(Aidi dan Daslin, 2014). Klon PB 260 merupakan klon anjuran komersial penghasil lateks. Klon PB 260 tergolong tahan terhadap penyakit daun utama yaitu Corynespora, Colletotrichum dan Oidium. Karakteristik klon PB 260 adalah pertumbuhan lilit batang pada saat tanaman belum menghasilkan sedang. Potensi produksi lateks klon PB 260 cukup tinggi yakni berkisar antara 1,5 – 2 ton/ha/tahun. Lateks berwarna putih kekuningan. Lateks pada umumnya diolah dalam bentuk sheet (BPTP Jambi, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Lateks Lateks adalah cairan bewarna putih susu yang merupakan sistem koloid yang kompleks yang terdiri dari partikel – partikel karet dan partikel bukan karet. Sebelum terkontaminasi atau tercampur dengan bahan – bahan lain lateks mempunyai pH normal, yaitu 6,9 – 7,0 cair dan bersifat koloid yang stabil. Lateks merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk pembuatan benang karet, sebelum lateks digunakan dalam proses produksi, lateks tersebut terlebih dahulu dipekatkan dan disebut lateks pekat (Dalimunte, 2009). Komposisi kimia lateks hevea segar secara garis besar adalah 25 – 40 % karet dan 60 – 75 % merupkan bahan bukan karet. Kandungan bukan karet ini selain air adalah protein (globulin dan havein), karbohidrat (sukrosa, glukosa, galaktosa dan fruktosa), lipida (gliserida, sterol dan fosfolipida). Komposisi ini bervariasi tergantung pada jenis tanaman, umur tanaman, musim,sistem deres dan penggunaan stimulan (Harahap, 2008). Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas lateks ialah : 1) Iklim Musim hujan akan mendorong terjadinya prokoagulasi, sedangkan musim kemarau akan mengakibatkan keadaan lateks menjadi tidak stabil. 2) Alat – alat yang digunakan dalam pengumpulan dan pengangkutan (baik yang terbuat dari aluminium maupun yang terbuat dari baja tahan karat). Peralatan yang digunakan harus dijaga kebersihannya agar kualitas lateks tetap terjaga.
Universitas Sumatera Utara
3) Pengaruh pH. Perubahan pH dapat terjadi dengan penambahan asam, basa atau karena penambahan elektrolit. Dengan penurunan pH maka akan mengganggu kestabilan atau kemantapan lateks akibatnya lateks akan menggumpal. 4) Pengaruh Jasad Renik Setelah lateks keluar dari pohon, lateks itu akan segera tercemar oleh jasad renik yang berasal dari udara luar atau dari peralatan yang digunakan. Jasad renik tersebut mula – mula akan menyerang karbohidrat terutama gula yang terdapat dalam serum dan menghasilkan asam lemak yang mudah menguap (asam eteris). Terbentuknya asam lemak eteris ini secara perlahan – lahan akan menurunkan pH lateks akibatnya lateks akan menggumpal. Sehingga makin tinggi jumlah asam – asam lemak eteris, semakin buruk kualitas lateks. 5) Pengaruh Mekanis Jika lateks sering tergoncang akan dapat mengganggu gerakan Brown dalam sistem koloid lateks, sehingga partikel mungkin akan bertubrukan satu sama lain. Tubrukan – tubrukan tersebut dapat menyebabkan terpecahnya lapisan pelindung dan akan mengakibatkan penggumpalan. (Purbaya et al, 2008)
Stimulan Etilen Penerapan stimulan bagi tanaman yang lebih muda umumnya lebih berisiko. Berbagai faktor yang diketahui berpengaruh terhadap respons tanaman antara lain adalah kualitas kulit, umur pohon, kultivar (klon), sistem sadap, konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
bahan aktif ethepon dalam campuran, serta cara dan frekuensi aplikasi stimulan (Webster and Baulkwill, 1989; Junaidi, et al. 2014). Stimulan yang umum digunakan di perkebunan seluruh dunia ialah stimulan dengan merek dagang Ethrel 480 SL dengan rumus molekul Ethylene C2H4. Stimulan Ethrel 480 SL berbahan aktif etefon 480 g/l. Stimulan ini juga merupakan zat pengatur tumbuh yang digunakan pada tanaman apel, kedelai, kopi, nenas, padi sawah, pisang, tembakau dan juga sebagai perangsang lateks pada tanaman karet (Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, 2014). Tanaman karet rentan terhadap penyakit kering alur sadap maka pengendalian penyakit ini dilakukan dengan menghindari penyadapan yang terlalu sering dan mengurangi pemakaian Ethepon terutama pada klon yang rentan terhadap kering alur sadap yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR 261 dan RRIC 100. Bila terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada lateks yang dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur sadap sampai 10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya dari 1/2S d/2 menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4 dan penggunaan ethepon dikurangi atau dihentikan untuk mencegah agar pohon ‐pohon lainnya tidak mengalami kering alur sadap. Penyadapan dapat dilanjutkan di bawah kulit yang kering atau di panel lainnya yang sehat dengan intensitas rendah (1/2S d/3 atau 1/2S d/4). Hindari penggunaan ethepon pada pohon yang kena kekeringan alur sadap. Pohon yang mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk mempercepat pemulihan kulit (Anwar, 2001). Pemberian dosis stimulan etefon harus disertai dengan teknik aplikasi yang tepat. Hal ini dilakukan agar pemberian stimulan etefon menjadi lebih
Universitas Sumatera Utara
efektif. Salah satu teknik penggunaan stimulanetefon yang biasanya digunakan adalah teknik bark application. Aplikasi dengan teknik ini memberikan peluang pengaruh stimulan etefon lebih lama karena tidak langsung diberikan di bidang sadap melainkan di bawah bidang sadap (Wulandari et al, 2015).
Hormon Etilen Ekstrak Kulit Pisang Etilen selain berperan dalam pematangan buah, etilen juga mempunyai pengaruh pada sistem tanaman lainnya. Pada sistem cabang, etilen dapat menyebabkan terjadinya pengerutan, menghambat kecepatan pertumbuhan, mempercepat penguningan pada daun dan menyebabkan kelayuan. Pada sistem akar, etilen dapat menyebabkan akar menjadi terpilin (terputar), menghambat kecepatan pertumbuhan akar, memperbanyak tumbuhnya rambut-rambut akar dan dapat menyebabkan kelayuan. Pada sistem bunga, etilen dapat mempercepat proses pemekaran kuncup, akan tetapi kuncup yang telah mekar itu akan cepat menjadi layu, misalnya pada bunga mawar (Kurniawan, 2008). Etilen terbentuk dalam buah yang sedang mengalami pematangan. Produksi etilen pada buah klimakterik bertujuan untuk memajukan tahapan aktivitas respirasi (makin tinggi produksi etilen makin meningkat pula berlangsungnya aktivitas respirasi dan penyerapan oksigen pun bertambah banyak) yang selanjutnya akan mempercepat proses pematangan buah. Selama pemasakan, berbagai buah – buahan mengandung etilen dalam jumlah yang berbeda pula (Kurniawan, 2008).
Universitas Sumatera Utara