TINJAUAN PUSTAKA Faktor Kuantitas dan Intensitas Kalium dalam Tanah Faktor kuantitas kalium menggambarkan jumlah K yang dijerap koloid dalam tanah, sedangkan faktor intensitas K menunjukkan jumlah K dalam larutan tanah.
Beckett (1964) menyatakan bahwa ketersediaan K untuk tanaman
setidaknya ditentukan oleh 3 (tiga) faktor yaitu faktor intensitas (I), faktor kuantitas (Q) dan faktor kapasitas (C). Hubungan antara perubahan K-dapat dipertukarkan sebagai faktor kuantitas dengan rasio aktivitas K / aktivitas √ Ca + Mg sebagai faktor intensitas dapat menduga status K tanah. Jiminez dan Parra (1991) menyatakan bahwa hubungan Q-I kalium dapat menduga perilaku dan dinamika hara K dalam suatu jenis tanah. Hubungan Q-I ini memiliki beberapa parameter yaitu K mudah tersedia (K-labil atau ∆Ko), K yang dijerap spesifik (Kx), daya sangga K tanah (PBCK) dan rasio aktivitas K dalam keseimbangan (ARKe). Le Roux dan Sumner (1968) menunjukkan bahwa ∆Ko
dapat menduga ketersediaan K lebih baik
dibandingkan dengan K-dd normal (NH4OAc, pH7).
Mereka mendapatkan
bahwa nilai ∆Ko yang tinggi menunjukkan pelepasan K yang besar ke larutan tanah sehingga menghasilkan lebih banyak pool K-labil. Daya sangga K (PBCK) adalah kemampuan tanah untuk menyangga konsentrasi K mendekati konstan dalam larutan tanah (intensitas) bila K ditambahkan atau hilang dari larutan tanah. spesifik untuk jenis tanah tertentu.
Daya sangga K bervariasi dan
Parameter ini antara lain ditentukan oleh
persen liat, jenis liat, kandungan bahan organik dan lain-lain yang nilainya proporsional dengan KTK tanah (Uribe dan Cox, 1998; Sulaeman, Eviati dan Sri Adiningsih, 2000). Shaviv et al. (1985) menggunakan koefisien selektivitas (KG)
yang diperoleh dari persamaan Gapon untuk merumuskan hubungan komposisi kation dapat dipertukarkan dengan aktivitasnya dalam larutan tanah. Daya erap K tanah (disebut juga konstanta Gapon, KG) adalah kemiringan dari hubungan antara rasio K/Ca+Mg yang dapat ditukar dengan yang ada dalam larutan (rasio aktivitas K). KG merupakan faktor afinitas yang dapat digunakan sebagai ukuran daya erap (sorption power) tanah terhadap K.
Sedangkan
kapasitas erap (sorption capacity) adalah faktor kuantitas yang menunjukkan jumlah maksimum K yang dapat disimpan oleh tanah tertentu. Evangelou dan Karathanasis (1986) menyatakan bahwa daya sangga K (PBCK) berkorelasi sangan baik dengan KG dan KTK. Hubungan daya sangga K dengan KG dapat dijabarkan dengan persamaan : PBCK = KG (Cadd + Mgdd). Kalau Kdd<
ARKe merupakan ukuran ketersediaan atau K-siap tersedia Beckett (1964) dan Le Roux dan Sumner (1968) menyatakan
bahwa pemupukan K akan meningkatkan nilai ARKe, tapi menurun dengan penambahan kapur. Bentuk umum kurva Q/I diperlihatkan pada Gambar 1 dengan parameterparameter (Sparks dan Liebhardt, 1981): Faktor intensitas K (ARK) dihitung dari kepekatan ion-ion Ca, Mg, K dan Na yang telah dikoreksi menjadi aktivitas dengan menggunakan teori DebyeHucle yang diperluas sebagai berikut (Beckett, 1965; Sparks dan Liebhardt, 1981) : Log fi = -a Zi2 I0.5/ (1 + αβ I0.5) Dimana :
fi
=
aktivitas ion i
a
=
0.509 pada 25 0C
Zi
=
valensi ion i
I
=
kekuatan ion dari larutan
αβ
=
dianggap 1
∆K
=
penambahan atau kehilangan K tanah dalam mencapai keseimbangan atau faktor kuantitas (Q)
K
AR
=
rasio aktivitas K atau faktor intensitas (I)
Ko
=
K labil ( K pada jerapan non-spesifik / pada permukaan luar mineral)
ARKe
=
rasio aktivitas K tanah dalam keseimbangan
Kx
=
K terjerap secara spesifik ( pada permukaan dalam mineral)
PBCK =
kapasitas sangga potensial K
Q
∆ K+ ARKe
_(∆ K)_ = PBCK ARK I
∆Ko
∆ K−
______aK_____ = ARK (mol/l)0.5 a (Ca + Mg) 0.5
Kx
Gambar 1. Hubungan Faktor Kuantitas (Q) dan Intensitas (I) Untuk mengetahui hubungan kuantitas dan intensitas (Q/I) K digunakan 2 cara, yaitu : (1) menghubungkan antara penurunan dan peningkatan kadar K (∆ K) dalam tanah dengan rasio kadar (aktivitas) K/(Ca + Mg)0.5 dalam larutan
(intensitas K) dan (2) menghubungkan nisbah Kdd/(Cadd + Mgdd) dengan intensitas K. Kedua macam hubungan ini membentuk persamaan regresi linier y = ax + b. Pada hubungan pertama y adalah ∆ K, x = intensitas K, a = daya sangga K tanah, -b = K-labil (K dapat ditukar) dan –b/a = ARKe ( Activity Ratio K equilibrium/ rasio aktivitas K tanah dalam keseimbangan = intensitas K dalam keseimbangan yaitu ketika y = 0), sedangkan pada hubungan
kedua y =
Kdd/(Cadd + Mgdd), x = intensitas K dan a = konstanta Gapon (KG) yang merupakan koefisien selektivitas atau daya erap K tanah (Beckett, 1965; Sparks and Liebhardt, 1981). Kapasitas erap K (sorption capacity) tanah dihitung dari daya sangga dibagi daya erapnya.
Fiksasi Kalium dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Tanah di daerah tropik basah yang miskin mineral mudah lapuk serta fraksi liatnya didominasi oleh muatan variabel menyebabkan K mudah tercuci sehingga tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan tanaman.
Namun pada
tanah dengan mineral 2:1 cukup tinggi, akan terjadi fiksasi yang cukup besar dalam ruang antar lapisan, sehingga K dalam larutan tanah menjadi rendah (Bohn et al., 1979).
Hara dalam tanah berada dalam keseimbangan
yang
dinamis antara bentuk yang ada dalam larutan tanah (intensitas) dengan bentukbentuk tererap (dapat ditukar dan terfiksasi atau kuantitas). Sehingga kalau K dalam larutan hilang melalui pencucian atau diserap tanaman, maka K dalam kompleks jerapan dan struktur mineral akan dilepaskan. Kalium dalam tanah terdapat dalam jumlah yang cukup bervariasi, yaitu antara 0.3 – 2.5 % (Mutscher, 1995; Havlin et al., 1999). Pada tanah yang banyak mengandung liat mempunyai kadar kalium dapat dipertukarkan yang tinggi yaitu sekitar 4% dari total K yang terdapat dalam tanah (Mengel dan
Kirkby, 1982). Tanah organik mempunyai kandungan K yang paling rendah biasanya kurang dari 0.03% K (Tisdale et al., 1985). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fiksasi kalium antara lain : 1.
Jenis mineral liat.
Mineral liat tipe 2:1 yang berkemampuan tinggi memfiksasi kalium ini adalah montmorilonit, vermikulit dan illit. Di samping memfiksasi K, mineral liat ini juga dapat memfiksasi NH4+ karena mempunyai radius atom yang berukuran sama dengan lubang oktahedral dari liat yaitu sebesar 1.4 Å. Kemampuan mineral liat tipe 2:1 ini untuk memfiksasi NH4+ sama dengan K+ (Tan, 1998).
Kation K
umumnya terfiksasi pada mineral liat tipe 2:1 antara lembar silikat pada interlayer dan terfiksasi sangat kuat pada kondisi kekurangan air (Tisdale et al, 1985; Liu et al., 1997). 2.
Reaksi tanah.
Fiksasi kalium dapat menurun dengan adanya kation Al3+ dan Al-hidroksida pada kondisi masam. Dengan terbentuknya Al-Fe hidroksil dibawah kondisi masam ini akan menghalangi masuknya kalium ke dalam interlayer (ruang antar lapisan). 3.
Penambahan Kalium
Peningkatan konsentrasi K+ dalam tanah pada kapasitas fiksasi tinggi akan menyebabkan fiksasi yang lebih tinggi lagi. 4.
Pembasahan dan pengeringan
Pengeringan pada tanah dengan K dapat dipertukarkan cukup tinggi akan menyebabkan fiksasi dan dapat menurunkan K dapat dipertukarkan. Sedangkan dengan pengeringan sampai kapasitas lapang pada tanah dengan K dapat dipertukarkan
rendah
sampai
sedang,
khususnya
pada
subsoil,
akan
meningkatkan K dapat dipertukarkan. Bahan organik diduga dapat mempengaruhi ketersediaan K dan fiksasi K tetapi mekanisme pengaruh tersebut belum diketahui dengan jelas. Menurut Olk
dan Cassman (1995) terdapat kaitan antara penurunan fiksasi K dengan peningkatan kadar bahan organik pada tanah yang mengandung mineral liat vermikulit.
Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh bahan
organik terhadap ketersediaan K dan fiksasi K diantaranya penggantian K dapat dipertukarkan dan K pada ruang antar lapisan oleh molekul N organik (Walker dan Garret (1961) dalam Olk dan Cassman, 1995). Interaksi antara substansi humik bahan organik dengan mineral tanah seperti dikemukakan oleh Orlov (1995) kemungkinan melalui ikatan gugus karboksil dari bahan organik dengan grup OH mineral atau melalui jembatan mineral (Gambar 2)
Gambar 2. Interaksi antara Substansi Humik Bahan Organik dengan Mineral Tanah.
Tahoun dan Mortland (1966) dalam Orlov (1995) menyebutkan bahwa dengan infra merah menunjukkan kombinasi amida dengan proton pada medium masam mengalami modifikasi ke dalam bentuk kation dan terikat pada permukaan montmorilonit oleh kekuatan elektrovalensi (Gambar 3).
Gambar 3. Kombinasi Amida dengan Proton menjadi Kation yang Terikat pada Montmorilonit
Kalium yang tidak dapat dipertukarkan (terfiksasi) pada mineral sekunder merupakan kalium yang lambat tersedia. Jenis Kalium dalam bentuk terfiksasi ini akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi K dalam larutan, pengeringan atau pembasahan yang tinggi, lamanya konsentrasi K yang tinggi dalam larutan dan fiksasi akan menurun dengan meningkatnya konsentrasi NH4+ (Mutscher, 1995). Kalium yang dapat dipertukarkan terdapat pada permukaan liat, dan akan tersedia ke dalam larutan melalui proses pertukaran kation.
Kalium dalam
bentuk ini berkorelasi dengan penyerapan dan produksi tanaman, tetapi tidak semua K yang terdapat dalam larutan dapat diambil oleh tanaman tergantung kepada daya jerap permukaan tanah (Blake et al., 1999). Kadar K dalam larutan tanah merupakan hasil bersih dari ke-3 bentuk keseimbangan tersebut. Keberadaan K dapat dipertukarkan, kecepatan fiksasi dan difusi K serta transfer K akan mempengaruhi kemampuan tanah dalam mempertahankan konsentrasi K dalam larutan dan kapasitas sangga tanah. Apabila kapasitas sangga tanah rendah, maka proses pencucian
dan
penyerapan K oleh tanaman akan mempercepat habisnya K dalam larutan tanah. Kalium dalam larutan tanah berkeseimbangan dengan K dapat dipertukarkan.
Menurut Tisdale et al. (1985), kalium yang terjerap pada permukaan liat tidak dilepaskan dengan kecepatan yang sama karena terdapat tiga tapak pertukaran yang berbeda-beda yaitu : K yang terikat pada permukaan luar tapak jerapan (posisi-p, planar) lebih cepat dilepaskan ke dalam larutan tanah daripada yang terikat pada tepi (posisi-e, edge) dan pada bagian dalam (posisi-i, inner) seperti terlihat pada Gambar 4.
Keterangan : p : planar e : edge i : inner
Gambar 4. Tapak Jerapan K pada Mineral Liat Tipe 2:1 seperti Illit, Vermikulit dan Khlorit (Mengel dan Haeder, 1973 dalam Tisdale, et al., 1985)
Konsentrasi K dalam larutan tanah yang merupakan bentuk yang banyak diserap oleh tanaman, tidak hanya berhubungan dengan tingkat K dapat dipertukarkan tetapi juga dengan jumlah dan tipe mineral liat yang ada. Tanah berliat menunjukkan kenaikan yang agak kecil dalam konsentrasi K larutan dengan kenaikan jumlah K yang dapat dipertukarkan, sedangkan tanah berpasir menunjukkan kenaikan yang cukup besar dengan adanya kenaikan jumlah K yang dapat dipertukarkan (Tisdale et al., 1985). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan K bagi tanaman adalah jenis mineral liat, kapasitas tukar kation, jumlah K dapat dipertukarkan, kapasitas fiksasi K, K dalam sub soil dan kedalaman akar, kelembaban tanah, aerasi, temperatur tanah, pH tanah, Ca dan Mg, jumlah relatif unsur lain baik dari tanah
maupun pemupukan, serta pengolahan tanah. Sedangkan faktor tanaman yang berpengaruh terhadap ketersediaan K adalah KTK akar, sistem perakaran dan tanaman, varietas, populasi dan jarak tanam, faktor waktu dan luxury consumption ( Tisdale et al., 1985).
Karakteristik Umum Tanah Vertisol Vertisol diklasifikasikan dengan nama padanan Grumusol, yaitu tanah yang setelah 20 cm dari lapisan atas di campur, kadar liat 30% atau lebih sampai sekurang-kurangnya 50 cm dari permukaan mempunyai peluang untuk terjadinya rekahan tanah (crack) sekurang-kurangnya lebar 1 cm pada kedalaman 50 cm jika tidak mendapat pengairan ( Puslittanak, 2000). Vertisol mempunyai warna kelabu tua sampai hitam dengan kandungan bahan organik relatif rendah. Lapisan bawah dari tanah ini berwarna abu-abu, kekuningan
atau
kebiruan,
tergantung
drainase
dan
bahan
induknya
(Soepraptohardjo, 1961 dalam Hardjowigeno, 1993). Vertisol memiliki sifat yang tidak stabil. Biasanya termasuk tanah yang bertekstur liat atau kadang-kadang liat berdebu (Rachim dan Suryaningtyas, 1992). Liat yang menjadi ciri yaitu smektit yang mempunyai sifat mengembang dan mengkerut (Mohr, Van Baren, dan Schuylenborgh, 1972). Kelompok smektit yang mendominasi tanah Vertisol ini adalah montmorilonit (Mongia dan Brandyophadyay, 1994). Montmorilonit adalah mineral liat tipe 2:1 yang terdiri dari 2 lembar Si tetrahedral dan 1 lembar Al oktahedral, dimana masing-masing unit dihubungkan dengan unit lain oleh suatu ikatan yang masih lemah dari oksigen ke oksigen lain sehingga mudah mengembang dan mengkerut (Hardjowigeno, 1993). Berdasarkan identifikasi mineral dengan menggunakan XRD dengan perlakuan Mg, pada montmorilonit ditandai dengan puncak 1.5 nm, dengan
menggunakan gliserol ditandai dengan puncak 1.8 nm, dengan perlakuan K ditandai dengan puncak 1.25 nm. Sedangkan dengan menggunakan analisis DTA, montmorilonit dicirikan oleh suatu kurva endotermik yang kuat pada temperatur 5000C – 7000C dan kurva eksotermik kuat pada temperatur > 8500C. Puncak endotermik tersebut disebabkan oleh dehidroksilasi, sedangkan puncak eksotermik disebabkan oleh pembentukan mineral anhidrous (Borchardt, 1989). Tanah Vertisol dapat ditemui pada daerah dengan iklim tropika basah sampai subtropik dengan rata-rata curah hujan 800 – 2000 mm/tahun dengan bulan kering selama 4 – 8 bulan (Hardjowigeno, 1993).
Penyebaran tanah
Vertisol di Indonesia diantaranya : Jawa (68,81%), Nusa Tenggara (15,19%), Sulawesi (14,48%), Bali (1,87%) dan Maluku (0,09%) dari 2.119.000 ha luasan tanah Vertisol (Puslittanak, 2000).
Faktor-faktor Lingkungan yang Mendukung Pertumbuhan Tanaman Jagung Tanaman jagung dikelompokkan ke dalam divisio Spermatophyta, klas Angiospermae, subklas Monocotyledon, ordo Graminales, famili Graminae, genus Zea dan spesies Zea mays. Jagung akan tumbuh baik pada curah hujan antara 2500 – 5000 mm/tahun. Tanah berkelas tekstur sedang, berdrainase baik dan memiliki kapasitas menahan air yang tinggi merupakan media tumbuh yang baik. Kisaran pH untuk pertumbuhan optimum antara 5.6 sampai 7.5 (Effendi, 1985). Menurut Sanchez (1976) tanaman jagung peka terhadap keracunan Al, Fe, Cu dan Zn. Daya tahan tanaman terhadap keracunan Al mulai menunjukkan gejala bila tanah mempunyai kejenuhan Al antara 40 – 60 %. Tanaman jagung seperti halnya tanaman lain, memerlukan lingkungan tumbuh tertentu agar dapat tumbuh optimal. Iklim yang cukup panas diperlukan untuk pertumbuhan jagung.
Keadaan panas dan lembab sangat baik untuk
pertumbuhan jagung, sejak saat tanam sampai akhir periode pertumbuhan.
Suhu optimum untuk perkecambahan biji antara 30 – 320C, di bawah 12,10C akan mengganggu pertumbuhan perkecambahan (Effendi, 1985). Suhu udara yang tinggi dan kering dapat menimbulkan gangguan terhadap persarian dan pembungaan (Koswara, 1982).