TINJAUAN PUSTAKA
Hutan alam tropika relatif sulit untuk direhabilitasi dengan berbagai alasan ekologis terutama jika lahan tersebut sudah dikolonisasi oleh alang-alang. Hal ini disebabkan oleh rendahnya konsentrasi pada tanah. Proses regenerasi hutan alam yang kompleks turut memperendah keberhasilan reboisasi. Semai-semai jenis klimaks umumnya memiliki toleransi yang rendah terhadap kelembapan dan cahaya
sehingga
tidak
dapat
tumbuh
pada
wilayah
yang
terbuka
(Brown dan Lugo, 1990). Terdapat
beberapa
pendekatan
untuk
mengatasi
degradasi
dan
mempercepat proses pemulian ekosistem yakni rehabilitsi, reklamasi, dan restorasi. Masing-masing pendekatan tersebut berbeda berdasarkan tujuan akhir dari kegiatan pemulihan ekosistem yang dituju. Dalam pelaksanaan rehabilitasi hal yang sangat penting diperhatikan adalah kesesuain jenis tanaman yang akan ditanam dengan kondisi tapak. Jenis tanaman yang tidak sesuai dengan tapak akan mengalami pertumbuhan yang kurang baik. Dalam pemilihan benih ataupun biji misalnya harus diperhatikan mulai dari pengumpulan benih, pemecahan dormansi, perkecambahan, samai pada penanaman di lapangan (Wibowo, 2006).
Sukun (Artocarpus communis Forst) Sukun (Arthocarpus communis Forst) merupakan genus Arthocarpus, yang terdiri atas 40 spesies. Spesies yang terkenal antara lain nangka dan cempedak. Tanaman sukun mampu beradaptasi dengan lingkungan dan dapat tumbuh dengan
subur di daerah yang memiliki ketiggian tempat antara 0 – 100 m dari permukaan laut. Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan, tanaman sukun dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi
: Spermathophyta (tumbuhan berbiji)
Suddivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas
: Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo
: Urticales
Famili
: Moraceae
Genus
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus communis Forst Secara umum, sukun memiliki dua kelompok yaitu sukun lokal dan sukun
introduksi. Berdasarkan pengelompokan menurut Syah dan Nazarudin (1994), sukun lokal termasuk dalam kelompok sukun kecil sedangkan sukun introduksi termasuk dalam kelompok medium. Perbedaan pada kedua kelompok sukun dapat dilihat melalui ukuran dan warna yang berbeda. Daerah asal dan penyebaran sukun Sampai saat ini, terdapat beberapa versi mengenai sejarah penyebaran tanaman sukun di Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa tanaman sukun adalah tanaman asli Indonesia. Dalam buku History of Indian Archipelago, disebut bahwa orang Jepang menemukan tanaman sukun di kepulauan Ambon, kemudian menyebar luas ke pulau Jawa dan Malaysia bagian barat. Beberapa ahli yang lain berpendapat bahwa tanaman sukun diduga berasal dari Amerika Latin, yaitu Peru,
Argentina, dan Chili. Pendapat lain menyebutkan bahwa tanaman sukun berasal dari kepulauan Pasifik, yakni di sekitar Polinesia. Tanaman sukun tersebut masuk ke Indonesia melalui orang –orang
Spanyol dan Portugis yang datang ke
Indonesia pada abad XV. Di Indonesia, tanaman sukun banyak dikembangkan di wilayah Cilacap, yang merupakan pusat produksi bibit sukun di Indonesia. Menurut sejarah, tanaman sukun yang dikembangkan di Cilacap ini berasal dari pulau Bawean (Gunarto, 1990). Tanaman sukun terdapat di berbagai wilayah di Indonesia, dan dikenal dengan berbagai nama seperti, Suune (Ambon), Amo (Maluku Utara), Kamandi, Urknem atau Beitu (Papua), Karara (Bima, Sumba dan Flores), Susu Aek (Rote), Naunu (Timor), Hatopul (Batak), Baka atau Bakara (Sulawesi Selatan). Nama lain sukun di berbagai negara yaitu : breadfruit (English); fruit a pain (French); fruta pao, pao de massa (Portuguese); broodvrucht, broodboom (Holland); dan ulu (Hawai). Tanaman sukun mempunyai beberapa nama ilmiah yang sering digunakan, yaitu Artocarpus communis Forst, Artocarpus incisa Linn, atau Artocarpus altilis. Sukun merupakan tanaman tahunan yang tumbuh baik pada lahan kering (daratan), dengan tinggi pohon dapat mencapai 10 m atau lebih. Buah muda berkulit kasar dan buah tua berkulit halus. Daging buah berwarna putih agak krem, teksturnya kompak dan berserat halus. Rasanya agak manis dan memiliki aroma yang spesifik. Berat buah sukun dapat mencapat 1 kg per buah. Pembentukan buah sukun tidak didahului dengan proses pembuahan bakal biji (parthenocarphy), maka buah sukun tidak memiliki biji. Buah sukun akan menjadi tua setelah tiga bulan sejak munculnya bunga betina. Buah yang muncul awal akan menjadi tua lebih dahulu, kemudian diikuti oleh buah berikutnya.
Keberadaan sukun di Sumatera Barat dan Riau masih bersifat sporadis dan tidak dibudidayakan secara intensif. Sukun tumbuh begitu saja di tepian hutan dan sungai serta ditanam tanpa ada tujuan komersil dalam kebun atau pekarangan rumah padahal kondisi iklim maupun lokasi sangat cocok untuk membudidayakan sukun secara intensif (Hendalastuti dan Rojidin, 2006). Dari segi morfologi terdapat dua jenis tanaman sukun, perbedaan antara dua jenis tersebut adalah sebagai berikut. 1. Sukun Lokal. Sukun lokal daunnya kurang rimbun bila dibandingkan dengan sukun introduksi. Sukun ini memiliki tinggi rata-rata 15 – 18 m sehingga kelihatan lebih tinggi dengan pohon lain disekitarnya. Diameter batang mencapai 50 – 70 cm. Jumlah bunga/buah per tandan 2 – 5 dengan rata-rata bunga/ buah per - tandan adalah 3. Buah kecil berwarna hijau cerah agak kekuningan bila sudah tua, berat rata-rata buah 0,8 – 1 kg. Bentuk buah lonjong dengan proporsi panjang lebar buah adalah 3 : 4. 2. Sukun Introduksi. Sukun introduksi cenderung mempunyai daun yang lebih rimbun. Jumlah bunga/ buah per - tandan 1 – 2 buah, dengan rata-rata jumlah buah yang mampu bertahan sampai masak adalah 1. Buah berbentuk bundar dan berukuran besar berwarna hijau kekuningan bila sudah matang. Berat buah bisa mencapai 1 – 3 kg .proporsi panjang dan diameter hampir sama 1 : 1 (Soeseno, 1997).
Budidaya sukun Dari segi budidaya, sukun tergolong mudah untuk dibudidayakan baik secara tradisional pada lahan sempit seperti pekarangan, ladang atau kebun maupun dibudidayakan secara pada lahan komersil yang relatif luas. Jarak tanam yang digunakan umumnya lebar karena tajuk tanaman sukun cukup lebar. Penanaman pada lahan terbuka tidak ternaungi akan membantu pertumbuhan tanaman sukun baik hingga lebih cepat berbuah. (Syamsuhidayat, 1991). Adaptasi tanamaan sukun terhadap iklim Tanaman sukun dapat tumbuh dan dibudidayakan pada berbagai jenis tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan ketinggian kurang lebih 600 m dari permukaan laut. Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi antara 80 - 100 inchi per - tahun dengan kelembaban 60 - 80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembab panas, dengan temperatur antara 15°- 38° C (Koswara, 2006). Syarat tumbuh Tanaman sukun baik dikembangkan di dataran rendah hingga ketinggian 1200 m dpl yang bertipe iklim basah. Curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun. Tanah aluvial yang mengandung banyak bahan organik disenangi oleh tanaman sukun. Derajat keasaman tanah seldtar 6-7. Tanaman sukun relatif toleran terhadap pH rendah, relatif tahan kekeringan, dan tahan naungan. Di tempat yang mengandung batu karang dan kadar garam agak tinggi serta sering tergenang
air,
tanaman
(Syamsuhidayat, 1991).
sukun
masih
mampu
tumbuh
dan
berbuah
Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bibit Dalam kegiatan pembibitan, penyapihan merupakan salah satu tahapan yang perlu mendapatkan perhatian serius karena kondisi semai yang masih sangat kecil dan lemah. Sehubungan dengan keberhasilan pertumbuhan semai, Daniel dkk., (1994) menyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pertumbuhan semai adalah kemampuan semai dalam memproduksi akar. Selanjutnya dikatakan pula bahwa walaupun kondisi tempat tumbuh seperti suhu tanah dan ketersediaan air dalam tanah atau media cukup memadai namun semai akan hidup secara optimal jika semai mempunyai kemampuan fisiologis yang baik dalam memproduksi akar baru dan iklim sebagai salah satu faktor lingkungan fisik yang sangat penting dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Hal ini memberikan gambaran bahwa ada saat atau periode di mana semai secara fisiologis berada dalam kondisi yang siap untuk disapih serta memproduksi akar baru. Mengingat bahwa setiap jenis tanaman hutan mempunyai ukuran serta waktu (umur semai) yang berbeda dalam penyapihan maka dalam rangka meningkatkan keberhasilan pada tingkat pembibitan perlu dilakukan penelitian yang menyangkut umur semai yang tepat saat penyapihan sehingga diperoleh pertumbuhan bibit yang optimal pada masingmasing jenis yang akan dikembangkan. Kesiapan dan kemampuan fisiologis semai suatu jenis untuk dapat disapih tentunya sangat dipengaruhi oleh umur semai. Semai yang masih terlalu muda biasanya mempunyai akar yang relatif lemah dan mudah rusak selama proses penyapihan yaitu mulai pengangkatan semai sampai dengan penanaman ke dalam media sapih, selain itu karena batangnya masih relatif sukulen (memiliki
kandungan air yang sangat tinggi), semai akan lebih mudah stres oleh adanya proses penguapan (transpirasi) yang berasal dari seluruh bagian semai yang kemudian akan berpengaruh pada pertumbuhan semai pada periode selanjutnya, sebagai akibat dari hilangnya sebagian cairan dari seluruh bagian semai. Semai yang terlalu muda masih sangat rentan terhadap gangguan, baik gangguan internal berupa kehilangan cairan maupun kerusakan yang bersifat mekanis selama proses penyapihan, sedangkan semai yang relatif tua akan terkendala dalam pembuatannya. Semai yang relatif tua atau telat disapih umumnya tidak mempunyai pertumbuhan yang baik. Setelah disapih, semai biasanya mengalami stagnansi sehingga pertumbuhannya menjadi sangat lambat.
Pada fase bibit,
semua jenis tanaman tidak tahan intensitas cahaya penuh, butuh 30-40%, diatasi dengan naungan (Daniel dkk., 1994). Menurut Gardner dkk., (1991) secara garis besar kriteria penyinaran cahaya matahari dibedakan menjadi empat kelompok : 1. Sinar kuat, berarti sinar matahari penuh atau 100 % tidak ada penghalang / peneduh, ini ada di daerah tropis. 2. Agak teduh, intensitas sinar matahari 50 – 100 %. Adanya peneduh, kalau berupa tirai adalah masih ada antara untuk masuknya cahaya yang cukup. Peneduh yang berupa pohon biasanya pohon yang mempunyai daun majemuk yang tipis seperti : flamboyan, sengon, petai, petai cina, asam, pinus dan lain-lain. 3. Setengah teduh, intensitas cahaya yang menjadikan keadaan setengah teduh menggambarkan kondisi cahaya matahari yang masuk sebesar 50 %.
Biasanya digunakan tirai kain, plastik bening disemprot cat putih susu, dapat pula dipakai tirai bambu. 4. Teduh sekali, suatu keadaan dimana sinar matahari tidak diterima langsung oleh tanaman, tetapi sinar diperoleh dari difrasi/ pemencaran diffuse. Disini intesitas cahaya matahari besarnya kurang dari 5 %.. Penutupan
vegetasi
pada
suatu
lahan
sangat
penting
untuk
mempertahankan eksistensi lahan tersebut dari faktor daya rusak erosi/abrasi. Persen hidup tanaman dipandang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan RHL menjadi indikator penting dalam penilaian baik tidaknya penutupan lahan. Perhitungan persen hidup tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
Pi =
ni x100% n
dimana: Pi
= Persen tumbuh tanaman
ni
= Jumlah tanaman hidup di lapangan hasil sensus
n
= Jumlah tanaman yang seharusnya ada (sesuai jarak tanam) Berdasarkan perhitungan tersebut Shofiyah (2005) membagi 3 klasifikasi
persen hidup tanaman yaitu: 1. Persen hidup tanaman pokok < 55 % = gagal 2. Persen hidup tanaman pokok 55 - 76 % = cukup berhasil 3. Persen hidup tanaman pokok > 76 % - 100 % = berhasil
Peran Air dalam Pertumbuhan Tanaman Untuk dapat tumbuh dan berkembamg dengan baik, suatu tanaman tidak dapat terlepas dari sifat genetiknya dan faktor lingkungan dimana tanaman itu tumbuh. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibedakan atas lingkungan biotik dan abiotik. Pada prinsipnya lingkungan abiotik dapat dibagi atas beberapa faktor, yaitu : suhu, air, cahaya, tanah dan atmosfir (Ismal, 1979). Di Bumi diperkirakan terdapat 1,3 – 1,4 milyar km3 air; 97,5% berasal dari laut, 1,75% berbentuk es (salju) di kutub dan puncak gunung, 0,73% di daratan sebagai sungai, danau, air tanah, rawa dan lain sebagainya, dan 0,001% berbentuk uap air yang terapung di udara (Jumin, 1988). Faktor air dalam fisiologi tanaman merupakan faktor utama yang sangat penting. Tanaman tidak akan dapat hidup tanpa air, karena air adalah matrik dari kehidupan, bahkan makhluk lain akan punah tanpa air. Kramer menjelaskan tentang betapa pentingnya air bagi tumbuh-tumbuyhan; yakni air merupakan bagian dari protoplasma (85-90% dari berat keseluruhan bahagian hijau tumbuhtumbuhan (jaringan yang sedang tumbuh) adalah air. Selanjutnmya dikatakan bahwa air merupakan reagen yang penting dalam proses-proses fotosintesa dan dalam proses-proses hidrolik. Disamping itu juga merupakan pelarut dari garamgaram, gas-gas dan material-material yang bergerak kedalam tumbuhtumbuhan, melalui dinding sel dan jaringan esensial untuk menjamin adanya turgiditas, pertumbuhan sel, stabilitas bentuk daun, proses membuk dan menutupnya stomata, kelangsungan gerak struktur tumbuh-tumbuhan (Ismal, 1979).
Kekurangan air akan mengganggu aktifitas fisiologis maupun morfologis, sehingga
mengakibatkan
terhentinya
pertumbuhan.
Defisiensi
air
yang
terusmenerusakan menyebabkan perubahan irreversibel (tidak dapat balik) dan pada gilirannya tanaman akan mati. Kebutuhan air bagi tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman dalam hubungannya dengan tipe dan perkembangannya, kadar air tanah dan kondisi cuaca (Fitter dan Hay, 1981). Kebutuhan air suatu tanaman dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang diperlukan
untuk memenuhi kehilangan air melalui evapotranspirasi (ET-
tanaman) tanaman yang sehat, tumbuh pada sebidang lahan yang luas dengan kondisi tanah yang tidak mempunyai kendala (kendala lengas tanah dan kesuburan tanah) dan mencapai potensi produksi penuh pada kondisi lingkungan tumbuh tertentu (Sumarno, 2004). Kekurangan air pada tanaman terjadi karena ketersediaan air dalam media tidak cukup dan
transpirasi yang berlebihan
atau kombinasi kedua faktor
tersebut. Di lapangan walaupun di dalam tanah air cukup tersedia, tanaman dapat mengalami cekaman (kekurangan air). Hal ini terjadi jika kecepatan absorpsi tidak
dapat
mengimbangi
kehilangan
air
melalui
proses
transpirasi
(Islami dan Utomo, 1995). Kehilangan air dari tanaman oleh transpirasi merupakan suatu akibat yang tidak dapat dielakkan dari keperluan membuka dan menutupnya stomata untuk masuknya CO2 dan kehilangan air melalui transpirasi lebih besar melalui stomata daripada melalui kutikula (Fitter dan Hay, 1981). Kedalaman perakaran sangat berpengaruh terhadap jumlah air yang diserap. Pada umumnya tanaman dengan pengairan yang baik mempunyai sistem
perakaran yang lebih panjang daripada tanaman yang tumbuh pada tempat yang kering. Rendahnya kadar air tanah akan menurunkan perpanjangan akar, kedalaman penetrasi dan diameter akar (Islami dan Utomo, 1995). Peningkatan pertumbuhan akar di bawah kondisi cekaman air ringan sampai sedang mungkin sangat penting dalam menyadap persediaan air baru bagi suatu tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultivarkultivar sorghum yang lebih tahan terhadap kekeringan, mempunyai perkaran yang lebih banyak, volume akar lebih besar dan nisbah akar tajuk lebih tinggi daripada lini-lini yang rentan kekeringan (Goldsworthy dan Fisher, 1992). Dalam kondisi lapangan, perakaran menembus tanah yang relative lembab sedangkan akar dan batang tumbuh ke atmosfer yang relative kering. Hal ini menyebabkan aliran air yang terus menerus dari tanah melalui tumbuhan ke atmosfer sepanjang suatu landaian energy potensial yang menurun. Setiap harinya, jumlah aliran air ini 1 sampai10 kali jumlah air yang tertahan dalam jaringan tanaman,10 sampai 100 kali jumlah air yang digunakan untuk perluasan sel-sel baru, dan 100 sampai 1000 kali jumlah air yang digunakan utnuk fotosintesis Karena adanya kebutuhan air yang tinggi dan pentingnya air, tumbuhan memerlukan sumber air yang tetap untuk tumbuh dan berkembang. Setiap kali air menjadi terbatas, pertumbuhan berkurang dan biasanya berkurang pula hasil panen tanaman budidaya. Jumlah hasil panen ini dipengaruhi ileh genotype, kehebatan kekurangan air, dan tingkat perkembangan (Gardner dkk., 1991).
Karakteristik Crystal Soil Crystal soil atau hidrogel adalah polimer penyerap air, yang mampu menyerap dan menahan 80-180 kali dari volume air untuk waktu yang lama. Crystal soil ini dapat menyimpan air terus sampai 2 bulan tanpa penyiraman dan pemupukan teratur. Crystal soil dapat mencegah bakteri nyamuk dan masalahmasalah yang biasanya terjadi pada tanah biasa. Crystal soil adalah produk yang baru dikembangkan yang populer untuk tujuan dekoratif. Crystal soil mencegah berkembangnya jamur dalam tanaman
dapat
karena air tetap tersimpan
dalam kristal sampai tanaman membutuhkannya. Dengan cara ini, tidak ada kesempatan untuk jamur atau bahkan penyakit penyebab busuk akar untuk berkembang. Crystal soil adalah kristal polimer gel (kationik Polyacrylamide) dan tidak beracun, ekologis netral (Indoinovasi, 2007). Hydrogel adalah penahan air-cairan yang dapat digunakan bersinergi dengan tanah atau media lain serta pupuk, menyerap dan menyimpan air dan unsur hara dalam jumlah yang besar. Tidak seperti produk lain, hydrogel tidak larut dalam air tetapi dia hanya menyerap dan akan melepaskan air dan unsur hara tersebut secara proporsional pada saat dibutuhkan oleh tanaman, dengan demikian tanaman akan selalu mempunyai persediaan air dan unsur hara setiap saat karena hydrogel berfungsi menyerap dan melepaskan (absorption – release cycles). Hydrogel mengoptimalkan pertumbuhan tanaman dengan mengurangi kehilangan air dan unsur hara melalui leaching dan evaporasi. Air dan unsur hara tersimpan disekeliling akar sehingga dapat mengoptimalkan penyerapan oleh tanaman. Hydrogel mampu menyerap air sebanyak 400 kali berat hydrogel itu sendiri. Hydrogel dapat terurai melalui pembusukan oleh mikrobia sehingga produk ini
sangat aman digunakan. Polymer ini sensitif terhadap sinar matahari langsung yang mana itu akan memutus rantai polymernya dan terurai menjadi beberapa oligomer. Hydrogel akan terurai secara alami di dalam tanah menjadi CO2, H2O dan komponen nitrogen. Harap dapat dimengerti bahwa, hydrogel tidak dapat menggantikan air tetapi mengoptimalkannya melalui penggunaan yang lebih effisien (Irawan, 2007). Nama hidrogel dasarnya terdiri dari dua istilah, yaitu hidro artinya media tanam alternatif pengganti tanah dan gell yang maksudnya adalah jeli. Hidrogel sering digunakan sebagai media tanam bagi tanaman hidroponik. Penggunaan media jenis ini sangat praktis dan efisien karena tidak perlu repot-repot untuk mengganti dengan yang baru, menyiram, atau memupuk. Selain itu, media tanam ini juga memiliki keanekaragaman warna sehingga pemilihannya dapat disesuaikan dengan selera dan warna tanaman (Rahardjo, 2007). Selain tampak indah, butiran hydrogel yang lebih mirip kristal sering mengecoh siapa saja yang baru melihatnya. Hydrogel juga menarik karena warnanya. Bisa dibayangkan betapa indahnya jika ruangan Anda ada vas bening berisi tanaman yang tumbuh di dalam media hydrogel dengan warna-warna yang menawan seperti biru, hijau, merah, kuning, orange, putih dan sebagainya yang berkilauan. Keuntungan menggunakan hydrogel : -memastikan keteresediaan air sepanjang tahun. -mengurangi frekuensi penyiraman/irigasi hingga 50%. -mengurangi hilangnya air dan unsure hara disebabkan oleh leaching dan evaporasi.
-memperbaiki physical properties dari compact soils dengan membentuk aerasi/ventilasi udara yang baik. -meningkatkan pertumbuhan tanaman karena air dan nutrisi selalu tersedia di sekitar tanaman sehingga mengoptimalkan penyerapan oleh akar. -mengurangi angka mortalitas. -mengurangi pencemaran lingkungan dari erosi dan pencemaran air tanah (Rahardjo, 2007) Selain untuk mempercantik ruangan, hydrogel ini dapat digunakan untuk campuran media tanam pada tanaman pot, lahan pertanian, perkebunan, hutan dll Hampir semua jenis tanaman hias indoor bisa ditanam dalam media ini, misalnya philodendron dan anthurium. Namun, gel tidak bagus untuk tanaman hias berakar keras, seperti adenium atau tanaman hias bonsai. Hal itu bukan dikarenakan ketidakmampuan gel dalam memasok kebutuhan air, tetapi lebih dikarenakan pertumbuhan akar tanaman yang mengeras sehingga bisa membuat vas pecah. Sebagian besar di pembibitan lebih memilih gel sebagai pengganti tanah untuk pengangkutan tanaman dalam jarak jauh. Tujuannya agar kelembapan tanaman tetap terjaga. Aplikasi hydrogel ada dua cara yaitu aplikasi kering dan aplikasi basah. - aplikasi kering (dry application) Hydrogel ditabur merata pada tanah yang telah dipersiapkan untuk penanaman dengan kedalaman 10-30 cm. Metode ini menjamin keuntungan yang berjangka panjang. Setelah polymer menyerap air, struktur tanah akan semakin baik dan kemampuan tanah untuk menampung air (water retention capacity) akan naik.
- aplikasi basah (pre-hidrated) Hydrogel pertama-tama harus direndam dalam air sebanyak 100-200 kali berat polymer tersebut dan dibiarkan selama 1 jam sampai jenuh dan kemudian ditaburkan ke dalam tanah, kemudian ditutup dengan tanah agar polimer tidak rusak karena kontak langsung dengan sinar ultra violet. Dosis yang dianjurkan adalah 5-20 kg/ha (Rahardjo, 2007). Menurut hasil penelitian Rahardjo (2007), hydrogel mempunyai potensi untuk digunakan sebagai salah satu teknologi mengatasi usaha budidaya tanaman di lahan kering dan efisiensi pemakaian air untuk tanaman-tanaman tertentu. Hasil penelitian aquasorb yang dilakukan di beberapa negara berpengaruh terhadap hasil lebih baik, umur tanaman pendek, dan tingkat kematian tanaman muda pada tahun pertama setelah tanam relatif sedikit Produk hidrogel akhir-akhir ini terkenal di Indonesia sebagai media pengganti tanah untuk tanaman dalam ruangan ataupun sebagai hiasan/dekorasi ruangan. Sebenarnya ada banyak sekali aplikasi untuk produk ini di lapangan seperti:
pembibitan,
perkebunan/HTI,
reklamasi
lahan
bekas
tambang,
pertamanan, lapangan golf/sepak bola, tanaman palawija, transportasi bibit jarak jauh, campuran media tanam, pengganti media tanaman dalam ruangan dan dekorasi (Irawan, 2007).