II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Menurut Todaro dan Smith (2006) pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping juga tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin demi kehidupan yang lebih baik. Teori pembangunan ini juga menjelaskan bahwa industri yang tangguh tercipta dari proses peningkatan kemampuan dan kapasitas sektor yang menggunakan sumber daya yang ada, melalui akumulasi modal. Akumulasi modal terbentuk dari surplus yang diperoleh setiap pelaku dalam kegiatan ekonomi. Semakin tinggi kaitan antar sektor berarti semakin banyak mengikutsertakan pelaku sektor dalam kegiatan ekonomi. Peningkatan kaitan antar sektor yang saling mendukung ini pada gilirannya akan memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan industri berikutnya. 2.1.2. Hubungan Investasi dengan Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses terjadinya peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi sangat erat kaitannya dengan output total negara yang bersangkutan. Gross Domestic
9
Product (GDP) digunakan untuk mengukur nilai pasar total dari output negara yang bersangkutan. Nilai pasar dari output nasional tersebut dapat dilihat melalui produk nasional dan pendapatan nasional. Kedua konsep ini memiliki total nilai yang sama, yaitu GDP. Produk nasional yang tercermin dalam GDP menekankan pada output nasional, sedangkan pendapatan nasional lebih menekankan pada pendapatan yang diperoleh dari hasil total output tersebut. Kegiatan investasi merupakan salah satu bagian dari kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Harrod-Domar (1957) yang dikutip oleh Jhingan (1993) mengemukakan bahwa investasi merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi sebab investasi dapat menciptakan pendapatan dan dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Investasi berdasarkan pemilik modal terdiri dari investasi swasta dan investasi pemerintah. Investasi pemerintah umumnya dalam bentuk infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk dunia usaha untuk melakukan kegiatan produksi. Sedangkan investasi swasta pada umumnya terdiri dalam bentuk faktor produksi seperti mesin, bahan baku, dan bahan penolong untuk meningkatkan produksi barang dan jasa. Dalam suatu perekonomian, penanaman modal asing memiliki peran mikro maupun makro. Penanaman modal asing disini berperan dalam peningkatan kegiatan investasi nasional dan pertumbuhan ekonomi (BKPM, 2005). Dalam sudut pandang ekonomi makro, investasi memiliki peranan yang cukup tinggi dalam menentukan pertumbuhan ekonomi di suatu negara/ daerah disamping
10
konsumsi masyarakat pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih. Berdasarkan Sukirno (1981), besar kecilnya investasi yang dilakukan dalam suatu kegiatan ekonomi/ produksi ditentukan oleh tingkat suku bunga, tingkat pendapatan, kemajuan teknologi, ramalan kondisi ekonomi ke depan, dan faktor-faktor lainnya. 2.1.3. Infrastruktur Infrastruktur dibedakan menjadi dua jenis, yakni infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini semua prasarana umum, yang meliputi tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih, dan sanitasi serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan, 1997). Ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara dan sebagainya merupakan social overhead capital, yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula. Maka dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (Bappenas, 2003). Infrastruktur jalan merupakan infrastruktur yang memiliki peran strategis terutama pada tahap awal pembangunan suatu negara atau daerah. Ketersediaannya tidak hanya berperan penting dalam mendorong aktivitas ekonomi, tetapi juga
11
mendorong penyediaan berbagai jenis infrastruktur lainnya. Pembangunan jaringan infrastruktur listrik, jaringan telepon, rel kereta api, pelabuhan, bandar udara, dan infrastruktur lainnya. Teori Wagner menyebutkan adanya keterkaitan positif antara pertumbuhan ekonomi dan besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Teori ini menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan tumbuh lebih cepat dari GDP. Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Dasar dari teori Wagner ini adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Mangkoebroto, 2001). Pengeluaran pemerintah akan meningkat guna membiayai tuntutan masyarakat akan kemudahan mobilitas untuk mendukung kegiatan ekonomi. 2.1.4. Defenisi Revitalisasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) revitalisasi merupakan suatu proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal sebelumnya kurang terberdaya. Target revitalisasi ini biasanya mencegah terjadinya penurunan produksi ekonomi melalui penciptaan usaha lapangan kerja dan pendapatan ekonomi daerah, meningkatkan stabilitas ekonomi kawasan dengan upaya mengembangkan daerah usaha dan pemasaran serta keterikatan dengan kegiatan lain. Menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, bahwa perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumberdaya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.
12
2.1.4.1. Kereta Api Penumpang Produksi angkutan kereta api penumpang pada tahun 2005 hingga 2009 cendrung mengalami kenaikan. Dari 14.345 juta kilometer penumpang pada tahun 2005, naik menjadi 19.779 juta kilometer penumpang pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa jumlah penumpang pada tahun 2005 per kilometernya sebanyak 14.345 penumpang, dan pada tahun 2009 jumlah penumpang sebanyak 19.779 setiap kilometernya. Secara rataan terjadi kenaikan produksi sebesar 6,64 persen per tahun. Kenaikan produksi tersebut juga ditunjukkan oleh adanya kenaikan jumlah penumpang yang diangkut. Pada tahun 2005 realisasi penumpang yang diangkut adalah sebanyak 151,5 juta penumpang dan naik pada tahun 2009 menjadi 207,0 juta penumpang atau naik rata-rata 6,44 persen per tahun. Tabel 3. Produksi Kereta Api Penumpang di Jawa dan Sumatera, Tahun 2005 sampai 2009 (Juta Km Penumpang) Pertumbuhan Wilayah 2005 2006 2007 2008 2009 per tahun (%) 13 610 14 799 15 090 17 041 18 861 6,74 Jawa 735 780 782 896 918 4,55 Sumatera Jumlah 14 345 15 579 15 872 17 937 19 779 6,64 Sumber: BPS, 2009. Adanya peningkatan produksi angkutan penumpang ini terjadi pada wilayah Sumatera dan Jawa. Rata-rata kenaikan produksi kereta api di wilayah Jawa 6,74 persen per tahun, sedangkan untuk wilayah Sumatera 4,55 persen per tahun. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada tahun 2009 terjadi kenaikan produksi penumpang di wilayah Jawa maupun Sumatera masing-masing 10,68 persen dan 2,46 persen. Kenaikan tersebut mengakibatkan kenaikan produksi kereta api penumpang secara umum di Indonesia 10,27 persen.
13
Tabel 4. Jumlah Penumpang Kereta Api di Jawa dan Sumatera, Tahun 20052009 (Juta Orang) Wilayah 2005 2006 2007 2008 2009 Pertumbuhan per Tahun (%) 148,4 156,1 171,9 190,1 202,8 6,45 Jawa 3,1 3,3 3,4 3,9 4,2 6,26 Sumatera Jumlah 151,5 159,4 175,3 194,0 207,0 6,44 Sumber: BPS, 2009. Pada jumlah penumpang kereta api juga dapat dilihat bahwa di wilayah Jawa terjadi kenaikan yaitu naik dari 148,4 juta orang pada tahun 2005 menjadi 202,8 juta orang pada tahun 2009, atau naik rata-rata 6,45 persen per tahun. Untuk jumlah penumpang di wilayah Sumatera naik dari 3,1 juta penumpang pada tahun 2005 menjadi 4,2 juta penumpang pada tahun 2009 atau naik rata-rata 6,26 persen per tahun. Produksi angkutan penumpang tahun 2009 di wilayah Jawa lebih besar dari wilayah Sumatera yaitu 95,36 persen berbanding 4,64 persen. Hal ini disebabkan komposisi jumlah penumpang di wilayah Jawa lebih besar dibandingkan wilayah Sumatera dengan komposisi 97,97 persen banding 2,03 persen. 2.1.4.2. Kereta Api Barang Terlihat terjadi kenaikan produksi kereta api barang sebesar 5,19 persen per tahun. Kenaikan produksi kereta api barang terjadi di Sumatera dan Jawa masingmasing sebesar 5,20 persen dan 5,16 persen per tahun. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan sebesar 8,06 persen. Di wilayah Sumatera dan Jawa terjadi kenaikan masing-masing sebesar 2,50 persen dan 35,75 persen.
14
Tabel 5. Produksi Kereta Api Barang di Jawa dan Sumatera, Tahun 2005 sampai 2009 (Juta Km - Ton) Pertumbuhan Wilayah 2005 2006 2007 2008 2009 per Tahun (%) 933 862 894 884 1 200 5,16 Jawa 3 499 3 612 3 532 4 399 4 509 5,20 Sumatera Jumlah 4 432 4 474 4 426 5 283 5 709 5,19 Sumber: BPS, 2009. Jumlah barang angkutan kereta api di wilayah Jawa turun dari 4.459 ribu ton barang pada tahun 2005 menjadi 3.975 ribu ton barang pada tahun 2009 atau turun rata-rata 2,27 persen per tahun. Untuk jumlah barang di Sumatera naik dari 12.882 ribu ton barang pada tahun 2005 menjadi 14.948 ribu ton barang pada tahun 2009, atau naik rata-rata 3,02 persen per tahun. Tabel 6. Jumlah Barang Angkutan Kereta Api di Jawa dan Sumatera, tahun 2005 sampai 2009 (Ribu Ton) Wilayah
2005
4 459 Jawa 12 882 Sumatera Jumlah 17 341 Sumber: BPS, 2009.
2006
2007
2008
3 900 13 373 17 273
3 922 13 155 17 077
3 963 15 480 19 443
2009
Pertumbuhan per Tahun (%) 3 975 -2,27 14 948 3,02 18 923 1,76
Berbeda dengan kereta api penumpang, pada jenis angkutan kereta api barang wilayah Sumatera memberikan proporsi yang lebih besar terhadap produksi kereta api barang nasional sebesar 78,98 persen, sedangkan produksi kereta api barang wilayah Jawa sebesar 21,02 persen.
15
2.1.5. Permasalahan Umum Perkeretaapian 2.1.5.1. Pelayanan Kualitas pelayananan kereta api masih harus ditingkatkan, jika dilihat dari berbagai tolak ukur pelayanan, seperti keselamatan, kenyamanan, ketepatan, kecepatan angkutan, kemudahan untuk mengakses, dan kemudahan pelayanan. Kualitas pelayanan dan sistem penjualan tiket belum transparan dan optimal. Sistem informasi dan sistem pelayanan tiket terpadu baik dengan angkutan lain yang dapat memberi kemudahan bagi semua konsumen serta sistem pelayanan yang sama yang dapat diakses dari berbagai lokasi belum dikembangkan. Sistem komputerisasi secara online masih mengalami banyak kendala dan belum optimal, diantaranya sistem pembelian tiket pulang pergi, serta pelayanan penjualan tiket melalui internet, telpon dan agen perjalanan secara terbuka. Masalah kenyamanan, ketepatan, dan kebersihan masih perlu diperhatikan pada saat sebelum perjalanan, didalam kereta, dan setelah perjalanan. Untuk mendukung kinerja pelayanan tersebut diperlukan dukungan berbagai fasilitas, antara lain adalah fasilitas tunggu di stasiun, fasilitas penunjang di kereta. Selain itu akibat dari kondisi sarana dan prasarana kereta yang semakin menurun menyebabkan aspek kepuasan pelanggan menurun. Bagi masyarakat pelanggan atau pemakai jasa kereta api, ada hal yang penting yang mendasar yang perlu dipenuhi oleh P.T. Kereta Api Indonesia dalam melayani masyarakat. Fasilitas dasar itu, seperti penerangan, ketersediaan air dan kamar kecil, tempat duduk yang memadai, dan pintu masuk yang memadai.
16
Keamanan juga menjadi masalah dan tuntutan bagi penumpangnya dan angkutan barang. Keamanan yang memprihatinkan dengan banyaknya pencurian yang terjadi, juga keamanan dalam perjalanan yang kemungkinan terjadinya kereta api anjlok atau tabrakan. Dibawah ini dapat dilihat adaya perkembangan aset perkeretaapian Indonesia. Tabel 7. Perkembangan Aset Perkeretaapian Indonesia Tahun 1939 sampai 2000 1955/1956 1939 2000 6.096 Turun 40 % dalam 61 Panjang jalan kereta api 6.811 km km tahun 571 Turun 62 % dalam 45 Jumlah stasiun dan pemberhentian 1.516 km buah tahun 530 Turun 60 % dalam 61 Jumlah lokomotif 1.314 buah buah tahun 191.9 Naik 30 % dalam 45 Jumlah penumpang 146.9 juta juta tahun 114.9 Tahun 1955 kereta api Jumlah penduduk 54.5 juta juta mengangkut 248 %, 69.2 sementara tahun 2000 Jumlah penumpang kereta api 132.5 juta juta hanya mengangkut 60 % Sumber: BPS, 2009. 2.1.5.2. Tarif Relatif Kereta Api Sistem pasar dalam perkeretaapian nasional masih monopoli dilihat dari jumlah operatornya. Disisi lain terdapat kompetisi dari pelayanan angkutan lain, seperti angkutan udara dan jalan. Penetapan kenaikan tarif angkutan kereta api semula tidak sensitif terhadap apresiasi valuta asing, walaupun masih tergantung pada produk impor. Pada tahun 2002, peningkatan kompetisi antar angkutan udara dengan adanya perang tarif, serta adanya tuntutan penyesuaian tarif kereta api sesuai dengan kebutuhan biaya pokoknya.
17
Pada sistem angkutan barang, meskipun jasa kereta api merupakan monopoli, namun belum dapat memanfaatkan peluang secara professional dan mandiri, terutama dalam melakukan negosiasi pelanggan, kurangnya fleksibilitas operator dalam penerapan tarif komersial yang seimbang dengan biaya operasi dan pemeliharaan, serta belum dapat sepenuhnya memperhitungkan penggantian nilai investasi secara efisien, sehingga masih banyak tarif yang ditetapkan dibawah tarif ekonomis atau tidak mampu mencapai tingkat cost recovery. Masih kurangnya sistem manajemen dan pemasaran angkutan, serta kurangnya dukungan fasilitas bongkar muat barang juga merupakan suatu permasalahan. 2.1.6. Peran Pemerintah Terhadap Perkeretaapian 2.1.6.1. Pembagian Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, maka akan berpengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, disamping perlu adanya penyesuaian mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan. Ini disebabkan karena adanya perubahan kewenangan, dari yang tadinya kewenangan pemerintah pusat, menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini, maka Pemerintah Daerah masing-masing punya kewenangan untuk membangun daerahnya masing-masing, yang dalam hal ini diperlukan adanya koordinasi dan kerjasama yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, P.T. Kereta Api, dan pengguna jasa kereta api.
18
1.
Dalam Pasal 13 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1992 dinyatakan bahwa “Untuk kelancaran dan keselamatan pengoperasian kereta api, pemerintah menetapkan pengaturan mengenai jalur kereta api, pemerintah menetapkan pengaturan mengenai jalur kereta api yang meliputi daerah manfaat jalan, daerah milik jalan, dan daerah pengawasan jalan termasuk bagian bawahnya serta bagian atasnya”. Pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga diperlukan adanya perubahan perumusan tentang pasal tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab IV, yang menentukan kewenangan-kewenangan apa saja yang dilimpahkan kepada daerah dan apa saja yang masih tetap dalam campur tangan pemerintah pusat, dan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 yang merupakan tindak lanjutnya tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Yang merupakan kewenangan pemerintah daerah tersebut, berkaitan dengan perkeretaapian, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan, yaitu bidang perhubungan, pekerjaan umum, ketenaga kerjaan, penataan ruang, pertanahan, dan perimbangan keuangan.
2.
Pergantian status perusahaan menjadi persero, mengakibatkan perlu diadakannya peninjauan ulang yang sebelumnya telah diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 yang berisi bahwa “Perkeretaapian dikuasai Negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (persero), kedudukan pemerintah sebagai pemegang saham dalam persero,
19
maka hak dan kewajibannya sama dengan pemegang saham lainnya dalam perusahaan. Tentang pemilikan saham oleh Negara baik seluruhnya, maupun 51 persen dari saham yang dikeluarkan, dilakukan peninjauan kembali apakah dari ketentuan tersebut termasuk yang dimiliki oleh pemerintah daerah. 3.
Dalam penyelenggaraan perkeretaapian, yang dilihat dalam pasal 6 UndangUndang Nomor 13 tahun 1992 sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah dan pelaksanaannya oleh penyelenggara. Setelah badan penyelenggara berubah menjadi P.T. Kereta Api maka pengelolaan dan mekanisme organisasi dilaksanakan sesuai dengan prinsip perseroan terbatas dengan memberikan peluang seluas-luasnya untuk mengembangkan usahanya sehingga P.T. Kereta Api (persero) dapat menjadi badan udaha yang lebih maju dan mandiri.
4.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 pasal 8 dinyatakan bahwa pemerintah menyediakan dan merawat prasarana kereta api. Terkait dengan adanya perubahan yang sekarang menjadi persero, maka ketentuan tersebut perlu dikaji ulang. Adapun tugas dari P.T. Kereta Api (persero), disamping harus memupuk keuntungan dan menyediakan jasa yang bermutu tinggi, P.T. Kereta Api ini juga bertugas untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum. Jadi perlu adanya pemberian tanggungjawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan P.T. Kereta Api.
5.
Kebijakan pentarifan yang tertulis dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 ditetapkan oleh pemerintah, perlu dikaji ulang dengan melihat
20
apakah pemerintah daerah perlu dilibatkan melihat kondisi/ keadaan ekonomi masyarakat masing-masing daerah tidak sama. 2.1.6.2. Pendanaan Pemerintah Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tertulis bahwa pemerintah berkewajiban terhadap investasi dan pemeliharaan prasarana kereta api, sedangkan untuk sarana sendiri merupakan kewajiban dari operator/ badan penyelenggara perkeretaapian. Dalam pelaksanaannya masalah pendanaan prasarana dan sarana perkeretaapian belum mendapat dukungan dari sistem regulasi, kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang kondusif, efisien dan akuntabel. Sumber pendanaan pemerintah semakin terbatas untuk pemeliharaan dan investasi prasarana, maupun pengembangan prasarana baru, sedangkan sumber pendanaan lain maupun peran dari sektor swasta belum berkembang. Koordinasi perencanaan dan kebijakan antara pemerintah dan badan penyelenggara masih belum terpadu dengan baik dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada. Sistem penajaman prioritas pendanaan untuk rencana investasi dan pemeliharaan prasarana belum dilaksananakan secara optimal dalam tahapan yang jelas sehingga sering terjadi ketidaksesuaian antara rencana pembangunan pemerintah dengan rencana sistem pengoperasian dalam jangka panjang. Alokasi pendanaan pemerintah terhadap pengembangan perkeretaapian dilaksanakan melalui alokasi dana pembangunan APBN sektor transportasi di departemen keuangan. Penerapan kebijakan oleh pemerintah tersebut merupakan upaya paling penting untuk mengoperasikan kereta api yang lebih aman. Kejadian yang terjadi di lapangan diakibatkan kurang ditaatinya regulasi yang mengatur operasional kereta
21
api. Disamping itu masyarakat juga berperan penting dalam menjaga fasilitas yang ada di kereta api. Kebijakan pemerintah dalam penetapan tarif penumpang kelas ekonomi umumnya masih diregulasi. Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi masih ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan tarif angkutan barang bersifat komersial, yang didalamnya tidak ada campur tangan pemerintah. Tarif angkutan barang ini masih dapat dinegosiasikan antara operator dengan pengguna jasa. Pada kenyatannya penetapan tarif angkutan barang ini tidak fleksibel, karena masih banyak tarif angkutan barang yang harganya masih jauh dibawah biaya operasi, dan pada akhirnya menyebabkan kerugian. Pada tahun 2002, sebagian wilayah operasi kereta api di Sumatera Utara mengalami kerugian hingga mencapai Rp. 32 miliar/ tahun untuk seluruh angkutan barang dan penumpang, Sumatera Barat mengalami kerugian Rp. 29 miliar/ tahun. Produktivitas yang semakin rendah dan pada akhirnya mengalami kerugian ini disebabkan karena kurangnya profesionalitas manajemen pemasaran dan pentarifan, inefisiensi operasi dan manajemen, dan sistem insentif pegawai perekerataapian. 2.1.7. Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2.1.7.1. Kerangka Dasar Model SAM (Social Accounting Matrix) SAM atau SNSE merupakan sebuah matriks yang merangkum neraca sosial dan ekonomi secara menyeluruh. Neraca-neraca tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok neraca-neraca endogen dan kelompok neraca-neraca eksogen. Kelompok neraca endogen tersebut dibagi dalam tiga blok, yaitu: (1) blok neraca faktor produksi; (2) blok neraca institusi; dan (3) blok neraca aktivitas
22
produksi. Dan ketiga blok tersebut disebut sebagai blok faktor produksi, blok institusi, dan blok kegiatan produksi. Secara sederhana kerangka SNSE dapat dilihat dalam Tabel 8. Tabel 8. Kerangka Dasar SNSE
PENGELUARAN NERACA ENDOGEN FAKTOR PRODUKSI NERACA ENDOGEN
KEGIATAN PRODUKSI
NERACA EKSOGEN
T
FAKTOR PRODUKSI
0 T 21
INSTITUSI PENE RIMA AN
INSTITUSI
0 T
13
22 0 T
NERACA EKSOGEN
41 1
TOTAL
33
42
2 T
34 T
43 y'
2
1
24
T
T
y'
14 0
32
T T
T
KEGIATAN PRODUKSI
3 T
44 y'
3
4 y'
4
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1996 Baris
dalam
Tabel
8
menunjukkan
T O T A L
penerimaan,
sedangkan
kolom
menunjukkan pengeluaran. Pada Tabel 8 submatriks Tij digunakan untuk menunjukkan penerimaan neraca baris ke-i dari neraca kolom ke-j. Vektor yi menunjukkan total penerimaan neraca baris ke-i, sebaliknya vector y’j menunjukkan total pengeluaran neraca kolom ke-j. Sesuai dengan ketentuan pada SNSE, bahwa vector yi sama dengan vector y’j, dan dengan kata lain vector y’j merupakan vector transpose dari y’i untuk setiap i = j. Untuk dapat mengerti dengan mudah transaksitransaksi ekonomi dalam SNSE, maka dapat diperhatikan Tabel 8.
23
2.2. Tinjauan Empiris Pada penelitian Triastuti (2010) yang berjudul Analisis Dampak Revitalisasi di Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Indonesia dengan Analisis Input Output, menunjukkan bahwa pada konsumsi rumahtangga, sektor agroindustri memiliki kontribusi terbesar terhadap permintaan akhir dibandingkan dengan investasi, ekspor, dan impor. Analisis keterkaitan dan dampak penyebaran memperlihatkan
bahwa
sektor
agroindustri
lebih
mampu
mempengaruhi
pembentukan output dan pendapatan terhadap sektor hulunya dibandingkan sektor hilirnya. Untuk analisis multiplier output dan pendapatan memperlihatkan bahwa kemampuan sektor agroindustri untuk mempengaruhi pembentukan output dan pendapatan adalah kuat, tetapi jauh lebih kuat kemampuan sektor agroindustri untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di dalam perekonomian. Mengingat pentingnya peran sektor agroindustri didalam perekonomian Indonesia sebaiknya diikuti oleh semakin besarnya perhatian pemerintah dengan mempermudah investor lain bergabung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Malandow (2001) mengenai “Investasi Publik Untuk Infrastruktur Terhadap Perilaku Investasi di Tingkat Regional” disimpulkan bahwa pengeluaran pembangunan pemerintah memiliki pengaruh bagi investasi swasta. Pengaruh tersebut terdiri dari dua hal, yaitu: pertama pemerintah masih mempunyai variabel kebijakan untuk membantu perkembangan daerah dan variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta. Kedua adalah kemungkinan besar pengeluaran pembangunan diatur oleh pemerintah daerah itu sendiri melalui APBD, khususnya untuk pembangunan jalan tidak mempunyai
24
hubungan yang signifikan dengan investasi swasta. Selain itu, variabel yang menggambarkan aktivitas masyarakat swasta memiliki pengaruh langsung yang besar terhadap investasi swasta. Penelitian yang dilakukan oleh Ucup pada tahun 2010 dengan judul “analisis pengaruh yang ditimbulkan oleh perubahan yang terjadi dalam industri baja dari adanya China ASEAN Free Trade terhadap pendapatan sektor-sektor perekonomian dan distribusi pendapatan di Indonesia”. Adapun metode analisis yang digunakan adalah Social Accounting Matrix, dimana penelitian ini melihat bagaimana perubahan ekspor industri besi dan baja terhadap pendapatan faktor produksi, institusi dan sektor perekonomian. Hasil penelitian menunjukkan dampak terhadap pendapatan faktor produksi terlihat bahwa penurunan nett export sektor besi dan baja dasar sebesar 98,92 persen dan sektor barang dari besi dan baja dasar sebesar 2,43 persen mengakibatkan penurunan pendapatan terbesar pada blok faktor produksi terjadi pada faktor produksi bukan tenaga kerja dengan penurunan mencapai 0,1124 persen atau Rp 1.513,39 milyar dari pendapatan awalnya sebesar Rp 1.346.454,27 milyar. Penurunan pendapatan faktor produksi bukan tenaga kerja ini mencapai 52,74 persen dari total penurunan pendapatan faktor produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri besi dan baja adalah suatu jenis industri yang bersifat padat modal. Peringkat kedua dengan penurunan terbesar ditempati oleh faktor produksi produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar di kota sebesar 0,109 persen, atau berkurang sebanyak Rp 244.666 milyar dari pendapatan awalnya sebesar Rp 244.459,37 milyar. Melalui perubahan jumlah nett export industri besi dan baja dapat diketahui perbedaan peningkatan dan penurunan pendapatan faktor produksi
25
nasional dalam skenario kemungkinan dampak yang ditimbulkan oleh ASEAN Cina Free Trade Agreement (ACFTA) pada saat diberlakukan di Indonesia. Untuk analisis kemungkinan negatif yang ditimbulkan oleh ACFTA (melalui trend perubahan nett export 2009-2010) terhadap sektor industri besi dan baja. Dampak terhadap pendapatan institusi dapat disimpulkan peningkatan pendapatan terbesar akibat peningkatan nett export industri besi dan baja adalah peningkatan pendapatan yang berasal dari peningkatan nett export industri barang dari besi dan baja dasar. Total peningkatan pendapatan institusi akibat adanya peningkatan nett export industri barang dari besi dan baja dasar adalah sebesar 0,343 persen atau sebesar Rp 140,6 milyar. Sedangkan total peningkatan pendapatan institusi akibat adanya peningkatan nett export industri besi dan baja dasar adalah sebesar 0,077 persen atau sebesar Rp 33,33 milyar. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri barang dari besi dan baja lebih peka dalam peningkatan pendapatan institusi nasional. Perubahan nett export yang dilakukan pada sektor industri besi dan baja dasar, yang memberikan pengaruh terbesar bagi perubahan pendapatan sektorsektor produksi nasional adalah perubahan nett export sektor industri barang dari besi dan baja dasar, yang dapat diartikan bahwa sektor industri barang dari besi dan baja lebih peka dalam peningkatan pendapatan sektor produksi nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Susiliwati pada tahun 2007 dengan judul “Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Indonesia”. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan
26
ekonomi di sektor agroindustri terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan rumahtangga. Data yang digunakan adalah data dari Susenas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan ekspor, investasi, dan insentif pajak di sektor agroindustri berdampak menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga, sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor agroindustri kurang memberikan dampak positif. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri non makanan berdampak lebih besar untuk memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri prioritas merupakan kebijakan yang paling efektif menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga. Penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Indonesia: Pendekatan Social Accounting Matrix (Periode 2005 – 2010)” berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal metode yang digunakan. Metode Social Accounting Matrix ini lebih detail karena dapat melihat bagaimana pengaruh suatu kebijakan hingga sektor terkecil. 2.3. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang, tujuan dan manfaat yang dipaparkan sebelumnya dapat dilihat bagaimana kerangka pemikiran penelitian, dimana pembangunan perekonomian Indonesia didukung oleh sektor perhubungan, khususnya transportasi kereta api. Hal ini karena kereta api memiliki peluang untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Revitalisasi perkeretaapian nasional yang didukung oleh Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2007 ini menjadi dasar dilakukannya revitalisasi perkeretaapian. Dampak revitalisasi tersebut akan ditinjau dengan menggunakan
27
model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), yang pada akhirnya dapat melihat apa dampak dari kebijakan revitalisasi terhadap perekonomian Indonesia dan apa implikasi kebijakan yang tepat dari kebijakan revitalisasi perkeretaapian tersebut.
Pembangunan Perekonomian Indonesia
Sektor Perhubungan
UU No 23 Tahun 2007
Revitalisasi Perkeretaapian Nasional
Pengaruh Terhadap Sektor-Sektor Perekonomian dan Distribusi Pendapatan
Perkembangan Perkeretaapian Indonesia
Model SNSE Revitalisasi Perkeretaapian Nasional
Potensinya Terhadap Perkembangan Perekonomian Indonesia
Implikasi Kebijakan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional