TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging
Salah satu ternak yang potensial sebagai penghasil daging adalah ayam broiler. Ayam broiler adalah galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek dan menghasilkan daging dengan kualitas berserat lunak, timbunan daging baik, dada yang lebih besar dan kulit licin(North dan Bell, 1990). Taksonomi broiler adalah sebagai berikut, Kingdom : Animalia, Filum : Chordata, Kelas : Aves, Subkelas : Neornithes, Ordo : Galliformis, Genus : Gallus, Spesies : Gallus domesticus (Hanifah, 2010).Pemeliharaan ayam ras tipe berat untuk pedaging banyak dilakukan karena
untuk mencapai waktu pemasaran lebih singkat. Menurut Pond et al., (1995), broiler merupakan ayam muda yang dapat dipasarkan untuk dikonsumsi masyarakat pada umur 5 sampai 7 minggu baik dalam bentuk utuh, potongan dalam beberapa bagian bahkan produkproduk yang telah diolah. Menurut Didinkaem (2006), ayam broiler mampu membentuk 1 kg daging atau lebih banyak dalam waktu 30 hari dan lebih dari 1,5 kg pada umur 40 hari. Biasanya ayam broiler dipanen setelah umurnya mencapai 35-45 hari dengan bobot badan berkisar 1,5-2,5 kg. Di Indonesia ayam broiler ini dijual pada umur sekitar 5-6 minggu dengan bobot sekitar 1,7 kg. Proses pencernaan kimiawi berlangsung pada usus halus, dan mempunyai peranan penting dalam transfer nutrisi. Proses pencernaan pertama berlangsung dalam duodenum dimana empedu dari hati dan enzim pankreas dikirim ke duodenum dan ditambah oleh enzim yang dihasilkan oleh usus bersama-sama mencerna makanan. Jejunum dan ileum memiliki peranan mengabsorbsi nutrisi, asam amino, vitamin, dan monosakarida. Absobsi nutrien oleh
duodenum, jejunum, dan ileum ditransfer ke dalam sirkulasi darah dan limfe untuk diedarkan ke seluruh tubuh (Denbow, 2000).
Konsumsi Ransum Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk mencukupi hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tilman et al., 1991). Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum antara lain besar tubuh ayam, aktifitas sehari-hari, kualitas dan kuantitas ransum (NRC, 1994). Faktor lain yaitu penyakit, defisiensi zat makanan, kondisi berdebu, terlalu padat, kotor, kondisi lingkungan yang tidak baik, vaksinasi dan pemotongan paruh, pengobatan, ribut, penangkapan, yang semuanya itu menciptakan cekaman (Wahyu,1991) Kenaikan temperatur udara akan membuat konsumsi pakan menurun.
Hal ini
berkaitan dengan fungsi aktifitas hormon thyroid dalam menghasilkan triodothyornine dan thyroxine dalam darah yang akan menurun pada temperatur tinggi dan akan meningkat pada temperatur rendah, temperatur juga berefek pada aktivitas adrenalin (Widyani,1999). Bagi ayam broiler jumlah konsumsi ransum yang banyak bukanlah merupakan jaminan untuk mencapai pertumbuhan puncak. Kualitas dari bahan pakan dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan merupakan dua hal mutlak yang menentukan performans puncak (Wahyu,1991).
Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu parameter yang sering diamati untuk menilai keberhasilan atau tingkat perkembangan produksi yang diinginkan. Pertumbuhan merupakan suatu proses peningkatan ukuran tulang, otot, organ dalam dan jaringan bagian tubuh lainnya yang terjadi sebelum lahir sampai (prenatal) dan sesudah lahir (posnatal) sampai mencapai dewasa tubuh (Ensminger et al., 1990).
Tillman et al., (1984) menyatakan bahwa pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan yang dengan mudah dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan dengan pertumbuhan badan tiap hari, tiap minggu, atau tiap waktu lainya Pertumbuhan broiler dipengaruhi oleh ransum, bangsa dan lingkungan. Pertumbuhan berlangsung pada waktu tertentu dan berjalan cepat sampai ternak mencapai tingkat dewasa kelamin, setelah ini pertumbuhan berangsur-angsur turun sampai periode tertentu akan berenti. Pertumbuhan ini juga pertambahan dalam bentuk bobot dan jaringan-jaringan tubuh seperti urat, daging, tulang, jantung, otak, dan lainnya (Anggorodi,1995).
Konversi Ransum Konversi ransum mencerminkan keberhasilan dalam memilih atau menyusun ransum berkualitas, selain itu angka konversi juga banyak dipengaruhi oleh teknik pemberian pakan (Amrullah, 2003). Lacy dan Vest (2000), menyatakan bahwa konversi ransum berguna untuk mengukur produktivitas ternak dan didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama kurun waktu tertentu. Semakin tinggi konversi ransum menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan bobot. Dijelaskan pula bahwa semakin rendah angka konversi ransum berarti kualitas ransum semakin baik. Kemampuan ayam broiler mengubah ransum menjadi bobot hidup jauh lebih cepat dibandingkan
dengan
ayam
kampung.
Bahkan
kemampuannya
menyamai
ternak
poikilothermik seperti ikan emas. Nilai konversi makanannya sewaktu dipanen sekarang ini sudah mencapai nilai dibawah 2. Nilai ini berarti bahwa jika mortalitas normal sekelompok ayam broiler hanya memerlukan ransum kurang dari 2 untuk menghasilkan 1 kg bobot hidup (Amrullah, 2003).
Indeks Penampilan (IP) Nilai IP >200 termasuk kedalam criteria yang efisien (Fadilah, 2004) dan termasuk kedalam kriteria yang kurang istimewa karena nilai IP ≤400 (Santoso dan Sudaryani, 2009). Tingginya nilai IP tersebut menandakan suatu pemeliharaan ayam pedaging yang dilakukan suatu peternakan sudah cukup efisien dan efektif. Tingginya nilai IP ini dapat disebabkan karena konversi pakan dan bobot badan yang baik. Menurut Fadilah (2004) IP dapat digunakan sebagai acuan berproduksi karena tidak hanya
mempertimbangkan
bobot
badan
akhir
dan
konversi
pakan
tetapi
juga
mempertimbangkan persentase jumlah ternak yang hidup dan lama pemeliharaan. Karena nilai IP lebih rendah dari standar maka sangat dianjurkan untuk dilakukan evaluasi terhadap penerapan manajemen pemeliharaan. Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan pemeliharaan adalah dengan menghitung indeks performa. Indeks Performa (IP) adalah suatu formula yang umum digunakan untuk mengetahui performa ayam broiler. Semakin besar nilai IP yang diperoleh, semakin baik prestasi ayam dan semakin efisien penggunaan pakan (Fadilah et al., 2007). Nilai indeks performa dihitung berdasarkan bobot badan siap potong, konversi pakan, umur panen, dan jumlah persentase ayam yang hidup selama pemeliharaan (Kamara, 2009). Nilai yang diperoleh dibandingkan terhadap standar. Kriteria nilai indeks performa ayam broiler disajikan pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Kriteria nilai indeks performa ayam broiler Indeks Performa (IP) <300 301-325 326-350 351-400 >400
Nilai Kurang Cukup Baik Sangat Baik Istimewa
Koksidiosis Koksidiosis merupakan salah satu penyakit parasiter pada ayam pedaging yang banyak mendatangkan kerugian yang tidak sedikit, dengan akibat berupa penurunan efisiensi penggunaan
pakan
dan
hambatan
pertumbuhan,
sampai
pada
kematian
(Ashadi, 1979 dalam Iskandar et al., 2000). Kerugian ekonomi akibat koksidiosis di Amerika Serikat antara 450 juta dolar sampai 1,5 miliar dolar AS. Koksidiosis di Indonesia banyak ditemukan pada peternakan ayam. Penyakit tersebut mudah berkembang di Indonesia karena sesuai dengan suhu optimum untuk perkembangan Eimeria yaitu 210C-320C, serta kelembaban yang cukup agar ookista dapat bersporulasi. Ookista yang sudah bersporulasi dapat menginfeksi induk semang (Allen dan Fetterer, 2002). Koksidiosis pada ayam berlokasi pada dua tempat yaitu di sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh Eimeria tenella dan di usus (intestinal coccidiosis) yang disebabkan oleh delapan jenis lainnya (Jordan et al., 2001 ). Koksidiosis pada sekum oleh Eimeria tenella paling sering terjadi pada ayam muda berumur 4 minggu, karena umur tersebut adalah umur yang paling peka. Ayam yang berumur 1-2 minggu lebih resisten, walaupun demikian Eimeria tenella dapat juga menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah tua umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya. Pada umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu yang relatif pendek tidak lebih dari 72 jam. Pada ayam umur 1-2 minggu diperlukan 200.000 ookista untuk menyebabkan kematian, dan diperlukan 50.000-100.000 ookista untuk menyebabkan kematian pada ayam yang berumur lebih tua. Ookista yang bersporulasi merupakan ookista yang infektif (Levine, 1985).
Gejala Koksidiosis Gejala klinis mulai terlihat sekitar 72 jam setelah di infeksi, dimana skizon generasi kedua menjadi besar dan merozoit keluar dari epitel sehingga terjadi pendarahan dalam
sekum. Pendarahan pada tinja pertama-tama ditemukan pada hari ke-4 atau hari ke-5 sesudah infeksi. Gejala klinis umum yang tampak pada ayam yang terinfeksi koksidiosis adalah diare berdarah dan kehilangan darah merupakan gejala akut dari infeksi Eimeria tenella yang ditandai oleh kelemahan dan pucat, tinja berdarah berwarna coklat kekuningan, berlendir, sayap menggantung, bulu kasar/ kusam dan kotor, nafsu makan dan minum menurun, lesu dan mata kadang-kadang tertutup, penurunan berat badan, dan terjadi kematian (Alamsari, 2000).
Protozoa Eimeria tenella Klasifikasi eimeria tenella adalah Filum : Apicomplexa, Kelas : Sporozoa, Sub Kelas : Coceidia, Ordo : Eucoceidia, Sub ordo : Eimeriina, Famili : Eimeriidae, Genus :
Eimeria,
Spesies : E. tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E. mitis, E.mivati, E.
praecox, dan E. Hagani. Pada ayam terdapat sembilan spesies Eimeria yaitu : Eimeria tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E. mitis, E.mivati, E. praecox, dan E. hagani. Spesies yang paling pathogen pada unggas yaitu E. tenella, dan E. Necatrix
(Levine, 1978 dalam Ashadi, 1992).
Eimeria tenella adalah protozoa yang menyebabkan koksidiosis atau penyakit berak darah merupakan penyakit penting pada ayam di Indonesia maupun di luar negeri karena sering menimbulkan masalah dan menyebabkan kerugian yang cukup besar pada usaha peternakan ayam. Kerugian yang ditimbulkan meliputi kematian, morbiditas yang cukup tinggi, penurunan efisiensi pakan, pertumbuhan terhambat, penurunan bobot hidup, terlambatnya masa produksi telur, produksi menurun dan biaya pengobatan yang tinggi (Tampubolon, 1996). Eimeria tenella termasuk spesies yang sangat patogen, habitatnya pada sekum ayam (Allen dan Fetterer, 2002; Zulpo et al., 2007). Parasit tersebut menyebabkan koksidiosis sekum yang diawali dengan peradangan hebat, pendarahan pada lumen sekum, dan diare
berdarah (Jordan, 1986; Soomro et al., 2001; Lee et al., 2009). Eimeria tenella menyerang ayam muda yang berumur antara 3-4 minggu, sedangkan ayam dewasa atau tua dapat bertindak sebagai pembawa penyakit. Pada ayam muda, kematian yang tinggi terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi (Levine, 1985)
Siklus Hidup Eimeria mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh inangnya, dan dibagi menjadi siklus aseksual dan siklus seksual. Siklus hidup ini lebih dikenal dengan tiga stadium, yaitu stadium skizogoni, gametogoni, dan sporogoni. Siklus aseksual merupakan stadium sporogoni dan skizogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni. Sporogoni merupakan stadium pembentukan spora (Tampubolon, 1996). Ookista-ookista dikeluarkan melalui tinja, dengan ookista berisi satu sel yaitu sporon. Ookista dalam suatu lingkungan yang lembab, temperatur tinggi, dan jumlah oksigen yang cocok akan mengalami sporulasi (Marbun, 2006). Ookista ini mengandung 4 sporokista yang masing-masing mengandung 2 sporozoit. Sesampainya didalam lumen usus, ookista dan sporokista akan rusak oleh enzim pankreas, sehingga menyebabkan keluarnya sporozoit. Sporozoit masuk kedalam epitel di sekitar tumbuh menjadi skizon generasi pertama didalam mukosa. Skizon generasi pertama menghasilkan 48 lebar 1,5 mikron (Levine 1985). Untuk dapat sporulasi, ookista membutuhkan kondisi yang optimal, yaitu lembab, ketersedian oksigen cukup, dan suhu 26.60C-32.20C (Ashadi dan Partosoedjono 1992). Pada hari ketiga, merozoit-merozoit bebas dari sporozoit dan memasuki sel-sel epitel, lalu masing-masing merozoit berkembang menjadi skizon generasi kedua. Skizon dan merozoit generasi kedua lebih besar daripada skizon dan merozoit generasi pertama (Levine 1985). Setelah merozoit generasi kedua berada didalam lumen usus, sebagian besar membentuk gametosit dan sebagian lainnya memasuki sel epitel untuk membentuk skizon
generasi ketiga. Gametosit yang terbentuk berdiferensiasi menjadi mikrogametosit (jantan) dan makrogametosit (betina) (Muafo et al., 2002). Inti mikrogametosit membelah dan menghasilkan banyak mikrogamet yang bercambuk dua. Makrogametosit tumbuh membesar tetapi intinya tidak membelah lalu membentuk makrogamet. Satu makrogamet dan satu mikrogamet akan membentuk zigot yang berdinding tebal atau ookista yang belum bersporulasi. Zigot dapat ditemukan didalam epitel pada hari ke tujuh setelah penularan. Zigot yang terbentuk di epitel akan keluar memasuki lumen usus dan bersama tinja terbawa keluar tubuh. Di alam bebas ookista mengalami sporogoni, dan ookista tersebut dihasilkan dalam waktu beberapa hari (Levine, 1985)
Jahe Klasifikasi taksonomi tanaman, Jahe (Zingiber officinalle) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Pteridophyta, Sub Divisi: Angiosperma, Kelas: Monocotyledoneae Ordo: Scitamineae Famili: Zingiberaceae, Genus: Zingiber, Spesies: Zingiber officinalle (Murhananto, 2000). Jahe merupakan tanaman berbatang semu, tinggi 30 cm sampai dengan 1m, tegak, tidak bercabang, tersusun atas lembaran pelepah daun, berbentuk bulat, berwarna hijau pucat dan warna pangkal batang kemerahan. Akar jahe berbentuk bulat, ramping, berserat, berwarna putih sampai coklat terang. Tanaman ini berbunga majemuk berupa malai muncul di permukaan tanah, berbentuk tongkat atau bulat telur yang sempit, dan sangat tajam (Wardana, 2002). Tanaman jahe membentuk rimpang yang ukurannya tergantung pada jenisnya. Bentuk rimpang pada umumnya gemuk agak pipih dan tampak berbuku-buku. Rimpang jahe berkulit agak tebal yang membungkus daging rimpang, yang kulitnya mudah dikelupas (Rismunandar, 1988).
Senyawa bioaktif yang terkandung dalam rimpang jahe (Zingiber officinalle var rubra) seperti senyawa phenolic (shogaol dan gingerol) dan minyak atsiri, seperti zingiberen, zingiberol, curcurmen, 6-dehydrogingerdion, galanolakton, asam gingesulfonat, zingeron, geraniol, neral, zingerglycolipid. Jahe mengandung minyak atsiri yang bersifat anti inflamasi (anti peradangan), menambah nafsu makan, memperkuat lambung, jahe dapat memobilisasi atau mengubah lemak menjadi energi, dan memperbaiki pencernaan (Kemper, 1999). Jahe memiliki komponen zat aktif berupa minyak atsiri, oleoresin dan gingerol. Minyak atsiri membantu kerja amilase, protease dan lipase, sehingga laju pakan meningkat, akhirnya produksi daging akan naik. Jahe berkhasiat menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan. Terangsangnya selaput lendir perut besar dan usus oleh minyak atsiri jahe, mengakibatkan lambung menjadi kosong dan ayam akan terdorong mengkonsumsi pakan (Setyanto et al., 2012). Jahe mengandung senyawa flavonoid, fenol, terpenoid. Khasiat jahe dapat merangsang kelenjar pencernaan. Minyak astiri yang terkandung dalam jahe bermanfaat untuk menghilangkannyeri, antiinflamasi dan antibakteri (Nursal et. al., 2006). Rimpang jahe memiliki efek farmakologi seperti melancarkan peredaran darah, anti inflamasi, anti bakteri, melancarkan pengeluaran empedu dan antipiretik (Mahendra, 2005).
Fungsi jahe Di dalam rimpang jahe merah terkandung zat gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang tinggi, sehingga lebih banyak digunakan sebagai bahan baku obat (Lantera, 2002). Jahe banyak digunakan dalam ramuan obat tradisional yang berfungsi sebagai obat pencernaan dan perut kembung, sakit kepala, kerongkongan, mulas dan batuk kering (Rukmana, 2001).
Minyak atsiri jahe termasuk jenis minyak yang mudah menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi bau harum khas jahe. Minyak atsiri jahe terdiri dari zingiberol, zingiberen, n-nonyl aldehida, d-camphen, dbphellandren, methyl heptanon, sineol, stral, borneol, linalool, asetat, kaprilat, phenol, dan chavicol (Koswara, 1995). Jahe juga mengandung oleoresin yang lebih banyak mengandung komponen-komponen non-volatil yang merupakan zat pembentuk rasa pedas pada jahe. Umumnya oleoresin jahe tersusun oleh gingerol, zingeron, shogaol, dan resin. Semakin tua umur rimpang jahe, semakin besar pula kandungan oleoresinnya (Koswara, 1995).
Kandungan dan Khasiat (Zingiber officinalle var rubra) Adapun kadar minyak dan oleoresin jahe dalam rimpang jahe dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini : Table 2. Komponen kimia jahe (Zingiber officinalle var rubra) TingkatKematangan Jahe Tua Tidak dikupas Dikupas Setengah tua Tidak dikupas Dikupas Muda Tidak dikupas Dikupas
Segar
Minyak atsiri (%) Jemur Oven
Segar
Oleoresin (%) Jemur Oven
2,75 2,21
2,41 1,94
2,25 1,93
11,03 7,14
13,42 11,65
14,84 13,27
3,45 2,87
2,69 2,40
2,66 2,38
12,96 11,11
15,68 14,15
16,30 14,34
4,09 8,53
3,56 3,04
3,18 3,03
19,99 17,20
20,98 17,48
21,86 17,78
Sumber : Ketaren (1985). Adapun komponen kimia jahe merah (Zingiber officinalle var rubra) dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Komponen kimia jahe merah (Zingiber officinalle var rubra) Komponen Energi (KJ) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Phospat (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Thiamin (mg) Niasin (mg) Vitamin C (mg) Serat kasar (g)
Total abu (g) Magnesium (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Seng (mg) Sumber : Koswara (1995).
Jumlah Jahe Segar 184,0 1,5 1,0 10,1 21 39 4,3 30 0,02 0,8 4 7,53 3,70 6,0 57,0 -
Jumlah Jahe Kering 1424,0 9,1 6,0 70,8 116 148 12 147 5 5,9 4,8 184 32 1342 5