TINJAUAN PUSTAKA
Bengkuang ( Pachyrhizus erosus (L) urban) Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L) Urban) termasuk dalam famili Fabaceae, genus Pachyrhizus. Bengkuang berasal dari Amerika tropis, tepatnya di Meksiko dan Amerika Tengah, tercatat dibudidayakan sejak masa sebelum Colombus. Bengkuang telah dibudidayakan di sebagian besar daerah tropik dan subtropik seperti India dan Afrika Timur karena tanaman ini mudah untuk dibudidayakan dan cepat diperoleh hasil panennya (Sorensen 1996). Menurut Yuwono (1994), pembudidayaan bengkuang yang cukup besar dan sangat intensif di Indonesia ada di daerah Bogor dan Tegal. Tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman pangan sumber karbohidrat sekaligus protein nabati (NRC 1979; van Hoof dan Sorensen 1989; Sorensen 1996 dalam Karuniawan dan Wicaksana 2006). Umbi bengkuang yang masih muda dimakan dalam keadaan mentah untuk pelengkap rujak maupun asinan. Daun dan batangnya dapat digunakan sebagai campuran pakan ternak sapi atau babi dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. Daging buah yang tua dapat dijadikan sebagai obat pencahar (urus-urus).
Di Jawa Tengah, biji
bengkuang dicampur belerang dan digunakan sebagai obat penyakit kulit yang banyak berjangkit pada musim hujan. Biji bengkuang yang ditumbuk halus dan dilarutkan dalam air, mempunyai daya racun untuk membius ikan di perairan, karena mengandung rotenon yang dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi (Yuwono 1994). Diketahui bahwa setiap 100 gram umbi bengkuang yang masih muda mengandung air 86 gram, karbohidrat 10 gram, protein 2,6 gram, lemak 0,3 gram, serat 2,9 gram, abu 0,7 gram, dan vitamin C 27 mg. Biji tua mengandung 27% minyak seperti minyak yang terkandung dalam biji kapas, serta 0,3%–1% senyawa mirip rotenon yang bersifat racun dan dikenal dengan nama ‘glucosida pachyrrhizid’ yang sangat dekat dengan “derrid”. Derrid ini berupa minyak tidak berwarna, mudah menguap, dan di dalamnya terkandung senyawa pachyrrizida. Rotenon dijumpai juga pada daun dalam jumlah yang tidak banyak, tetapi daun
bengkuang masih aman untuk dijadikan pakan ternak. Jumlah energi rata-rata bengkuang 197 KJ/100 g (Yuwono 1994). Spodoptera litura
Biologi dan Ekologi Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan hama yang penting pada tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Larva S. litura
bersifat polifag dan sering menyebabkan kerusakan daun pada tanaman kacangkacangan, jagung, padi, bawang, slada, sawi, kapas, tembakau, dan tebu. Spodoptera litura (sinonim Prodenia litura) sering juga disebut ulat grayak (Kalshoven 1981). Hama ini juga menggerek daun tembakau, buah jarak, dan umbi pada ubi jalar. Spodoptera litura tersebar luas di Asia dan Australia. Di Indonesia, hama ini tersebar di Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua (Marwoto dan Suharsono 2008) Telur Spodoptera litura berbentuk bulat dan berwarna putih kotor. Perkembangannya membutuhkan waktu tiga sampai lima hari. Telur diletakkan secara berkelompok, dua sampai tiga kelompok di bawah permukaan daun dekat tangkai daun. Tiap kelompok terdiri dari lebih kurang 350 telur. Jumlah totalnya dapat mencapai 3.000 telur (Kalshoven 1981). Setelah telur menetas, larva instar pertama masih tetap berkumpul di tempatnya menetas, beberapa hari kemudian larva-larva tersebut mencari makan. Menurut Tampenawas (1981), stadia larva terdiri dari enam instar yang memiliki ciri morfologi tubuh masing-masing. Larva instar pertama berbentuk silinder dengan ukuran kepala lebih lebar dari tubuh, sementara abdomen mengecil ke arah kaudal. Larva yang baru muncul berwarna keputih-putihan, ada bulu-bulu halus dan kepala berwarna hitam, Tampenawas (1981) mengemukakan bahwa larva instar dua dicirikan dengan warna kepala coklat muda.
Tubuh berwarna hijau dengan panjang
3,75–10 mm. Pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam dan pada toraks terdapat empat buah titik hitam dikedua sisinya. Larva instar tiga mempunyai
variasi warna lebih jelas, tubuh berwarna dasar hijau kecoklatan.
Panjang
tubuhnya 8–15 mm, pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh. Tubuh larva instar empat berwarna dasar kelabu.
Pada bagian dorsal
terdapat tiga garis kuning memanjang dan bersebelahan dengan garis-garis tersebut terdapat bintik kuning berbentuk setengah lingkaran yang terdapat hampir di setiap ruas tubuhnya. Tubuh instar lima dan enam berwarna hitam. Pada siang hari, larva akan bersembunyi di dalam tanah, sedangkan pada malam hari larva mulai menyerang tanaman. Hama ini suka bersembunyi di tempat yang lembab. Pada saat berumur lebih kurang dua minggu, panjang larva lebih kurang 5 cm dan warnanya bermacam-macam (Tampenawas 1981). Setelah cukup dewasa, yaitu lebih kurang berumur dua minggu, larva mulai berkepompong di dalam tanah.
Pupanya dibungkus dengan tanah dan
berbentuk memanjang oval. Pupa S. litura berwarna cokelat muda dan apabila akan menjadi imago berubah menjadi cokelat kehitam-hitaman.
Menurut
Kalshoven (1981), pupa memiliki panjang 9–12 mm, dan bertipe obtekta, pupa berada di dalam tanah dengan kedalaman lebih dari 1 cm, dan sering dijumpai pada pangkal batang, terlindung di bawah daun kering atau di bawah partikel tanah.
Masa berpupa 5–8 hari, bergantung pada ketinggian tempat di atas
permukaan laut. Imago memiliki panjang tubuh 10–14 mm dengan rentang sayap 24–30 mm. Sayap depan berwarna putih keabu-abuan, pada bagian tengah sayap depan terdapat tiga pasang bintik-bintik yang berwarna perak. Sayap belakang berwarna putih dan pada bagian tepi berwarna cokelat gelap (Kalshoven 1981). Imago hama ini mampu terbang sejauh 5 km pada malam hari (Kalshoven 1981). Gejala dan Kerusakan Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan terkadang menyerang polong. Larva pada umumnya berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis
dimakan larva.
Serangan berat umumnya terjadi pada musim kemarau dan
menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharsono 2008). Pengendalian S. litura Sampai saat ini pengendalain S. litura yang dilakukan petani masih mengandalkan penggunaan insektisida sintetik.
Pengaplikasian insektisida
sintetik di samping memiliki dampak buruk terhadap lingkungan juga memerlukan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, banyak percobaan telah dilakukan untuk mencari alternatif pengendalian hama S. litura, yaitu dengan pemanfaatan musuh alami, yang salah satunya adalah Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus (SlNPV). Secara umum, NPV telah berhasil diperbanyak secara in vivo (dengan menginfeksi larva inang) dalam skala laboratorium (Tanada dan Kaya 1993). Pemanfaatan SlNPV sebagai agens hayati pengendali hama merupakan salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan insektisida sintetik (Smits 1987 dalam Bedjo 2005). Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus berpotensi untuk dijadikan bioinsektisida karena memiliki beberapa sifat yang menguntungkan, antara lain bersifat spesifik terhadap hama sasaran sehingga aman bagi musuh alami lainnya, persisten di alam, dan tidak menimbulkan residu beracun, efektif terhadap inang atau hama sasaran yang sudah resisten terhadap insektisida sintetik, dan kompatibel dengan komponen pengendalian hama yang lain, termasuk insektisida sintetik (Bedjo 2005). Nucleopolyhedrovirus (NPV)
Morfologi dan Struktur Menurut Smits (1967), Nucleopolyhedrovirus merupakan virus yang paling
banyak
menginfeksi
serangga
dan
memiliki
inang
spesifik.
Nucleopolyhedrovirus menginfeksi lebih dari 500 spesies. Inang yang penting bagi NPV adalah dari ordo Lepidoptera. polihedrosis.
Infeksi dari NPV disebut nuclear
Nucleopolyhedrovirus termasuk dalam genus Baculovirus dan
famili Baculoviridae, Nucleopolyhedrovirus lebih mudah dikenali dibandingkan dengan virus lainnya karena pada NPV terdapat unit polihedral dalam sel nukleus (Maestri dan Carnolia 1856 dalam Tanada dan Kaya 1993). Dalam nucleus,
polihedra bersifat menetap dan tidak dapat dihilangkan selama bertahun-tahun. Nucleopolyhedrovirus dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu nukleokapsid tunggal (SNPV) dan nucleokapsid ganda (MNPV).
Pada SNPV tiap amplop
berisi satu nucleokapsid, sedangkan pada MNPV berisi lebih dari satu nukleokapsid.
Pada umumnya, SNPV mempunyai inang yang lebih spesifik
dibandingkan dengan MNPV. Jumlah virion pada polihedra dapat mencapai 200 virion per polihedron tergatung pada virus, serangga inang, dan jaringan (Ackerman dan Smirnoff 1983 dalam Tanada dan Kaya 1993). Nucleopolyhedrovirus dicirikan dengan adanya nukleokapsid berbentuk batang yang mengandung untaian ganda asam deoksiribonukleat (DNA) yang berukuran panjang antara 250–400 nanometer dan lebar antara 40–70 nanometer (Tinsley dan Kelly 1985). Polihedra dapat berbentuk dodechahedra, tetrahedra, kubus ataupun tidak beraturan. Diameter polihedra berkisar antara 0,05–15,00 mikrometer. Polihedra dibentuk dalam inti sel, bentuk dan ukuran polihedra bergantung pada jenis serangga inang yang terinfeksi oleh NPV. Badan oklusi dari NPV, GV, cytoplasmic polihedrosis virus, dan entomopoxvirus resisten pada kondisi yang tidak sesuai. Nucleopolyhedrovirus mudah menular dan bereplikasi dalam inti sel. Beberapa NPV memiliki kisaran inang yang sangat sempit dan hanya dapat bereplikasi secara efisien dalam satu spesies, sedangkan yang lain, yaitu multinukleokapsid NPV dari Alfalfa looper, memiliki jangkauan inang relatif luas dan mampu menginfeksi spesies dari genera yang berbeda (Adams et al. 1991 dalam Tanada dan Kaya 1993). Proses infeksi NPV Nucleopolyhedrovirus menginfeksi serangga hama melalui saluran pencernaan. Infeksi NPV terjadi setelah inokulum tertelan bersamaan dengan pakan. sesudah tertelan oleh inang, NPV akan bereplikasi dan menginfeksi di dalam sel midgut ataupun jaringan lainnya. Organ seranggayang dapat terinfeksi terutama tubuh lemak, epidermis dan sel darah. Polyhedra Inclusion Body dalam tubuh larva yang terserang ukurannya bervariasi bergantung pada perkembangan stadium larva, akan tetapi pada beberapa jenis NPV, sebagian besar polihedra memiliki ukuran dan stadium pematangan yang hampir sama (Granados dan Federici 1986).
Banyak faktor yang mempengaruhi masa infeksi NPV sampai larva yang terserang mati, di antaranya umur larva, suhu, dan banyaknya polihedra yang tertelan. Isolat virus yang lebih virulen (ganas) dapat mematikan larva dalam jangka waktu 2–5 hari, tetapi isolat yang kurang virulen membutuhkan waktu 2–3 minggu untuk mematikan inangnya (Granados dan William 1986). Gejala pada larva Menurut Granados dan William (1986), tingkat dan jenis gejala infeksi bergantung pada jenis virus dan inang. Gejala awal larva yang terinfeksi NPV adalah adanya perubahan warna dan perubahan perilaku serangga tersebut. Pada umumnya, larva yang terinfeksi SlNPV tampak berminyak, disertai dengan membengkaknya membran integumen dan warna tubuh menjadi pucatkemerahan, terutama pada bagian abdomen. Di lapangan, hama pada umunya naik ke pucuk tanaman tempat mereka akan mati dan jutaan polihedra yang terkandung dalam cairan tubuh serangga yang mati akan jatuh ke daun di bawahnya dapat termakan oleh larva sehat yang lain. Larva instar awal rentan terhadap serangan NPV (Granados dan William 1986). Gejala yang khas pada beberapa spesies serangga berupa aktivitas makan yang berkurang atau berhenti, bergerak lebih lambat, tubuh lembek, integumen berubah warna, serta hemolimfa menjadi keruh. Pada umumnya, larva yang mati karena infeksi NPV di lapangan, ditemukan pada bagian pucuk tanaman dalam posisi menggantung, membentuk huruf V terbalik (Granados dan Federici, 1986). Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas NPV Faktor yang berpengaruh pada efektifitas entomopatogen yaitu keadaan lingkungan baik biotik maupun abiotik. Faktor abiotik antara lain hujan, angin, dan cahaya matahari. Keadaan cuaca pada saat aplikasi berpengaruh terhadap virulensi, stabilitas, persistensi, penyebaran dan penularan entomopatogen. Sinar matahari terutama sinar ultraviolet (UV) mempunyai pengaruh langsung terhadap entomopatogen. Selama 8 jam pemaparan sinar matahari, spora Bacillus papiliae banyak yang mati dan kematian lebih meningkat lagi pada pemaparan selama
48 jam (Sukasman 1996). Faktor biotik yang mempunyai peranan besar dalam penggunaan entomopatogen ini adalah parasit, predator, dan hewan lain yang membantu penyebaran dan penularan pathogen sehingga mencapai sasaran (Sukasman 1996). Spodoptera litura NPV
Patogenisitas Patogenisitas Spodoptera litura NPVterhadap inangnya relatif tinggi, Dengan nilai LC50 untuk larva instar III sebesar 5,4 x 103 polihedra inclusion bodies (PIBs)/ml. Larva instar pertama sampai instar ketiga lebih rentan terhadap SlNPV daripada larva instar empat dan lima. Tingkat kerentanan larva instar awal 100 kali lebih tinggi daripada larva instar akhir (BB-Biogen 2009). Kelemahan Pemanfaatan SlNPV Untuk Pengendalian Spodoptera litura Spodoptera
litura
NPV
mempunyai
beberapa
kelemahan
saat
diaplikasikan di lapangan, hal ini merupakan tantangan ataupun kendala yang harus diatasi sehingga keefektifannya dapat dipertahankan. Salah satu kendalanya adalah SlNPV peka terhadap pengaruh sinar matahari terutama sinar ultraviolet. Dalam mematikan inangnya SlNPV memerlukan waktu yang relatif lama yaitu 3–9 hari, selama waktu tersebut larva yang terinfeksi akan tetap makan walaupun intensitasnya terus menurun, dan SlNPV kurang efektif terhadap larva yang berukuran besar. Aplikasi di lapangan memerlukan ketepatan waktu aplikasi yaitu pada sore hari pukul 15:00 (Bedjo 2005) Menurut Granados dan Federici (1986), salah satu kelemahan yang utama dalam penggunaan mikroorganisme sebagai insektisida adalah ketidak-aktifannya setelah terpapar sinar matahari langsung terutama sinar ultraviolet.
Sinar
Ultraviolet B dengan panjang gelombang 280–320 nm merupakan penyebab utama ketidak-aktifan mikroba (Jacques 1977; Jones dan McKinley 1986 dalam Mcintosh AH et al, 2004). Ultaviolet A (320–400 nm) dapat juga berkontribusi terhadap penurunan efektifitas Baculovirus (Morris 1971, Shapiro dan Domek 2002 dalam Mcintosh et al. 2004) dan UV C (250–280 nm) lebih merusak DNA. Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus, yang sangat patogenik untuk larva S.
litura, mulai kehilangan efektifitasnya setelah 12 jam paparan sinar matahari langsung (Sajap et al. 2007). Salah satu pendekatan yang telah digunakan untuk mencegah penurunan virulensi oleh UV B adalah penambahan UV protektan, seperti pewarna dan optical brighteners untuk formulasi aplikasi (Shapiro dan Robertson 1990; Shapiro dan Vaughn 1995 dalam Mcintosh AH et al. 2004). Sejumlah bahan telah diuji untuk digunakan sebagai bahan tambahan yang berfungsi untuk melindungi NPV dari sinar matahari, antara lain tinopal, sukrosa, minyak kelapa, dan riboflavin (Sajap et al. 2008).
Menurut Bedjo (2005),
polyvinil, tween 80, kaolin, tetes tebu, dan sukrosa juga dapat digunakan sebagai UV protektan untuk melindungi NPV.
Ballard et al. (2000) mengemukakan
bahwa gula, seperti sukrosa, fruktosa, dan sorbitol dapat juga digunakan sebagai UV protektan. Bahan perekat yang beredar di Indonesia kompatibel dengan NPV. salah satu bahan pelindung yang telah terbukti baik untuk digunakan adalah jelaga (Santoso dalam Israwadi 1998).