TINJAUAN PUSTAKA Cekaman panas Cekaman merupakan kondisi dimana kesehatan ternak terganggu yang disebabkan oleh adanya lingkungan yang terjadi secara terus menerus pada hewan dan mengganggu proses homeostasis (Leeson dan Summers, 2001). Cekaman panas terjadi ketika ayam tidak mampu menyeimbangkan panas di dalam tubuhnya dengan panas yang ada di lingkungan. Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas pada ayam broiler dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, dan meningkatnya angka kematian. Zona suhu nyaman (Thermonetral zone) pada ayam broiler terlihat pada Gambar 1. Mati karena dingin
Batas Suhu Bawah
Batas Suhu Atas
Mati Karena Panas
Zona Temperatur Netral
Gambar 1. Diagram Zona Suhu Nyaman (Thermonetral zone) pada Lingkungan Pemeliharaan Ayam Sumber: (Kuczynski, 2002).
Ayam adalah salah satu hewan homeotermik yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuhnya relatif stabil pada suatu kisaran suhu yang sempit walaupun terjadi perubahan suhu yang besar pada lingkungan. Cekaman panas yang berkepanjangan akan menyebabkan penurunan produksi hormon tiroksin sehingga konsumsi pakan menjadi rendah dan menyebabkan pertumbuhan terhambat sehingga produksinya rendah (Sahin dan Kucuk, 2002).
3
Peningkatan suhu lingkungan 5 0C yang melebihi kisaran zona suhu nyaman menyebabkan stres oksidatif (kondisi aktitivitas radikal bebas melebihi antioksidan) pada ayam broiler (Mujahid et al., 2007). Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat stres panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernafasan. North dan Bell (1990) melaporkan bahwa ayam broiler mulai panting pada kondisi lingkungan 29 °C atau ketika suhu ayam mencapai 42 °C. Yahav et al. (1995) menyatakan bahwa meningkatnya kelembaban dalam kandang ayam broiler pada suhu udara yang tetap dapat meningkatkan kondisi lingkungan kandang ayam broiler kepada kondisi thermonetral zone sehingga ayam broiler semakin merasa nyaman. Suhu lingkungan yang nyaman sesuai kebutuhan ternak untuk menghasilkan produksi optimum sesuai umur ayam broiler disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tipikal Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Produksi Optimum Pertumbuhan pada Berbagai Tingkat Umur Ayam Broiler Umur (hari)
Suhu (oC)
Kelembaban (%)
1-3
32
60
4-6
31
60
7-14
30
60
15-21
28
60
22-35
26
60
>35
25
60
Sumber : Charoen Pokphand Indonesia (2005)
Rangkaian respon fisiologi tubuh ayam akibat adanya cekaman panas diawali dengan pembentukan CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) di hipotalamus dan CRH ini akan menstimulasi pembentukan ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) pada hipofisa anterior yang kemudian ACTH ini menginduksi pembentukan glukorkotikoid
pada
kelenjar
adrenal
korteks.
Pelepasan
glukokortikoid
menimbulkan berbagai efek terhadap metabolisme normal tubuh, seperti gangguan sekresi hormon, pertahanan (imunitas) tubuh, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi (Sugito, 2007). Hormon kortikosteron dan kortisol diklasifikasikan sebagai
4
glukokortikoid. Menurut Guyton (1983), peranan utama kortikosteron dan kortisol terdapat pada peristiwa glukoneogenesis yaitu perombakan (katabolisme) dari non karbohidrat sebagai usaha penyediaan glukosa darah, sehingga terjadi penurunan pertumbuhan. Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mengandung elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Molekul terdiri atas atom dengan elektron yang berpasangan pada kulit terluarnya, tetapi pada suatu kondisi, molekul atau atom yang memiliki elektron yang tidak berpasangan biasanya mengambil elektron lain dari sekitarnya untuk dijadikan sebagai pasangannya. Radikal bebas umumnya merusak molekul lain, misalnya molekul pada sel (Surai, 2003). Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat molekul atau elektron sangat reaktif. Reaktif artinya molekul atau elektron mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mereka mampu bereaksi dengan molekul-molekul yang berada disekitarnya (Burk, 1986). Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat dan DNA. Radikal bebas dapat terbentuk secara endogen dan eksogen. Radikal bebas endogen terbentuk dari membran plasma dan organel-organel seperti mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol. Radikal eksogen dapat terbentuk dari asap rokok, radiasi, polusi, ultraviolet dan bahan- bahan industri (Surai, 2003). Radikal bebas diproduksi secara normal pada fungsi imunitas, diperlukan oleh sel imun untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya, dalam keadaan overproduksi pada kondisi patogenik menyebabkan kerusakan sel imun. Dibutuhkan keseimbangan oksidan-antioksidan untuk mengatur fungsi sistem imun dalam menjaga integritas dan fungsi lipida membran, protein seluler, asam nukleat serta mengatur ekspresi gen (Wu dan Meydani, 1999). Cekaman panas dapat menyebabkan stres pada ternak. Kondisi stress berhubungan dengan produksi radikal bebas yang menyebabkan stres oksidasi dan keseimbangan prooksidan antioksidan berpotensi mengakibatkan kerusakan jaringan (Guo et al., 2001). Kondisi stres merangsang pembentukan radikal bebas yang
5
disebabkan penurunan rangkaian oksidasi dan phosporilasi dalam mitokondria sehingga menghasilkan peningkatan kerusakan elektron dan produksi radikal superoksida yang berlebihan (Surai, 2003). Antioksidan Antioksidan adalah substansia yang mencegah atau menurunkan reaksi-reaksi oksidasi dan berfungsi untuk mencegah atau menghentikan kerusakan akibat adanya radikal bebas (Noguchi dan Niki, 1998). Antioksidan melindungi sel dan jaringan dengan memusnahkan radikal bebas secara enzimatik atau dengan reaksi kimia langsung, mengurangi pembentukan radikal bebas, mengikat ion logam yang terlibat dalam pembentukan spesies yang reaktif (transferin, seruloplasmin, dan albumin), memperbaiki kerusakan sasaran serta menghancurkan molekul yang rusak dan menggantinya yang baru (Asikin, 2001). Antioksidan terdiri atas antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan antioksidan eksogen yang berasal dari makanan (Jadhav et al., 1996). Klasifikasi Antioksidan Utama
Antioksidan endogen dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu antioksidan non-enzimatik dan antioksidan enzimatik. Antioksidan bekerja dalam 3 cara yaitu: (1) Pemutusan rantai reaksi (2) Mengurangi pembentukan radikal bebas dan (3) “Memakan”
(scavenge)
radikal
bebas
(Suryohudoyo,
2000).
Klasifikasi
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Klasifikasi Utama Antioksidan Enzimatik dan Antioksidan Non-Enzimatik Antioksidan
Ciri-ciri
Mengubah O2menjadi H2O2
Mengandung mangan (MnSOD), tembaga (CuSOD), serta tembaga dan seng (CuZnSOD)
Katalase
Mengubah H2O2 menjadi H2O
Hemoprotein berbentuk tetramer
Glutathione Peroksidase (GSH-Px)
Mengubah H2O2 dan lipid perokside
Selenoprotein terutama berada di sitosol dan mitokondria dan menggunakan GSH
Superokside Dismutase (SOD): Mitokondrial, Sitoplasmik, ekstraseluler Enzim
Peranan
Memutus peroksidase lipid Alpha tokoferol
Vitamin
Beta karotene
Vitamin yang larut dalam Scavenge lipid lemak perokside, O2- dan OH scavenge O2-, bereaksi langsung dengan peroksil scavenge secara langsung OH dan O2-
Asam askorbat
Vitamin larut dalam lemak
Vitamin larut dalam air
Menetralkan oksidan dari stimulasi neutrofil Berperan dalam regenerasi vit. E
Sumber : Fouad (2006)
Cekaman panas dapat menyebabkan stres oksidatif yaitu kondisi terjadinya peningkatan radikal bebas secara berlebih (Mujahid et al., 2007). Antioksidan diperlukan untuk menurunkan reaksi oksidasi dan berfungsi untuk mencegah atau
7
menghentikan kerusakan akibat adanya radikal bebas ke dalam ikatan-ikatan yang aman sehingga menghentikan proses lipida peroksida (Surai, 2003). Vitamin E Vitamin E ditemukan oleh Evans dan Bishop sebagai vitamin yang larut dalam
lemak
atau
minyak
dan
dikenal
juga
sebagai
alpha-tocopherol
(Anggorodi, 1985). Terdapat enam jenis tokoferol, α (alfa), ß (beta), γ (gama), δ (delta), ρ (eta), λ (zeta), yang memiliki aktivitas bervariasi, sehingga nilai vitamin E dari suatu bahan pangan didasarkan pada jumlah dari aktivitas-aktivitas tersebut. Tokoferol yang terbesar aktivitasnya adalah tokoferol alfa (Surai, 2003). Beberapa fungsi vitamin E adalah: (1) Sebagai antioksidan biologis; (2) Menjaga struktur lipida; (3) Dalam reaksi-reaksi fosforilasi normal, terutama persenyawaan fosfat berenergi tinggi seperti fosfat keratin dan trifosfat adenosine; (4) Metabolisme asam nukleat; (5) Sintesis asam askorbat; (6) Sintesis ubiquinon, dan metabolisme sulfur asam amino (Surai, 2003). Fungsi utama vitamin E adalah mencegah peroksidasi membran fosfolipid. Karakteristik vitamin E yang lipofilik memungkinkan tokoferol berada di lapisan dalam sel membran. Tokoferol OH dapat memindahkan atom hidrogen dengan satu elektron ke radikal bebas dan membersihkan radikal bebas sebelum radikal bebas bereaksi dengan protein membran sel atau bereaksi membentuk lipid peroksidasi. Tokoferol-OH yang bereaksi dengan radikal bebas membentuk tokoferol-O. Tokoferol-O sendiri adalah radikal bebas juga (Halliwell, 1999). Selama ransum dibuat dari bahan-bahan makanan sumber nabati dan hewani, kandungan vitamin E ransum sudah cukup. Vitamin E bersifat tidak stabil yaitu mudah dioksidasi oleh oksigen dari udara, sehingga ransum biasanya dilengkapi dengan bahan penstabil yang biasanya terdapat dalam campuran vitamin- mineral pelengkap buatan pabrik.
8
Struktur kimia α –Tokoferol dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia α –Tokoferol Sumber: Surai (2003)
Cekaman panas akibat dari tingginya suhu lingkungan yang melebihi kisaran zona suhu nyaman juga dapat menyebabkan stres oksidatif dalam tubuh. Hal ini menimbulkan munculnya radikal bebas yang berlebih serta limfosit yang dihasilkan menjadi berkurang. Akibatnya, antibodi yang dihasilkan oleh limfosit tersebut menjadi lebih rendah yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam broiler (Surai, 2003). Radikal bebas yang dihasilkan akan mudah menyerang asam lemak tidak jenuh ganda pada membran sel yang disebut serangan lipida peroksida. Salah satu upaya untuk mengatasi stres oksidatif akibat cekaman panas pada ayam broiler adalah dengan pemberian vitamin E dalam ransum (Guo et al., 2001). Vitamin E berfungsi melindungi sel dari radikal bebas dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Menurut Surai (2003), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion hidrogen bagi radikal bebas bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu hidroperoksida (H2O2). Asam Amino Metionin Metionin adalah asam amino yang mengandung sulfur dan esensial bagi manusia dan ternak monogastrik. Asam amino metionin merupakan salah satu kerangka yang membentuk protein tubuh, dan protein pada tiap jaringan tubuh berbeda kandungan asam aminonya. Jadi asam amino menentukan corak dan fungsi jaringan tubuh. Metionin juga merupakan asam amino yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan untuk hidup pokok semua hewan dan salah satu akibat apabila
9
kekurangan
asam
amino
metionin
adalah
lambatnya
laju
pertumbuhan
(Prawirokusumo et al., 1987). Menurut Pesti et al. (2005) metionin sebagai komponen alam terdapat dalam konfigurasi
L-methionine. Di dalam alat pencernaan, asam amino L (L-AA)
mengalami deaminasi (pencopotan gugus asam amino) oleh mikroba menjadi asam keto alfa. Asam keto alfa dapat dideaminasikan menjadi asam amino dalam bentuk L-AA atau D-AA. Pada umumnya metionin dapat dibuat sintesisnya ke dalam ransum dalam bentuk DL-methionine. Ada 2 jenis asam amino sintesis yang biasa ditambahkan, pertama dalam bentuk powder metionin yaitu DL- methionin dan yang kedua dalam bentuk liquid methionin (Vazquez Anion et al., 2006) Struktur asam amino metionine dapat dilihat pada Gambar 3 NH2 CH3-S-CH2-CH2-C-COOH H Gambar 3. Struktur Asam Amino Metionin Sumber: Pond et al. (2005) Pemberian metionin perlu memperhatikan tingkat protein, bentuk fisik, dan palatabilitas bahan pakan. Selain itu, metionin diketahui sebagai asam amino yang bersifat racun bila berlebihan, sehingga pemberiannya perlu diperhatikan dengan baik. Kelebihan metionin akan berakibat buruk pada pertambahan bobot badan. Menurut Leeson dan Summers (2001), asam amino metionin akan bersifat racun apabila diberikan dua kali lebih banyak dari kebutuhan. Penurunan selera makan atau penurunan laju pertumbuhan dapat disebabkan oleh antagonisme asam amino, ketidakseimbangan pola konsentrasi asam amino dan keracunan. Asam amino metionin diperlukan untuk pertumbuhan yang cepat dan untuk hidup pokok semua hewan. Cekaman panas yang berkepanjangan menyebabkan konsumsi pakan menjadi rendah dan menyebabkan pertumbuhan terhambat sehingga produksi rendah (Sahin dan Kucuk, 2002). Penggunaan metionin diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan selama kondisi cekaman panas.
10
Ayam Broiler Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, famili Phasianidae, genus Gallus dan spesies Gallus domesticus. Ayam broiler dihasilkan dari bangsa tipe berat Cornish. Bangsa ayam ini berbulu putih dan seleksi diteruskan hingga dihasilkan ayam broiler seperti sekarang ini (Amrullah, 2004). Performa ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Performa Mingguan Ayam Broiler Umur
Bobot Badan
Konsumsi
Konsumsi Air
Konversi
(Minggu)
(g)
Ransum (g)
minum (ml)
Ransum
40
-
-
-
1
175,00
150,00
325,00
0,86
2
486,00
512,00
1180,00
1,05
3
932,00
1167,00
2325,00
1,25
DOC
Sumber: Poultry Indonesia (2007) Keunggulan ayam pedaging yaitu memiliki laju pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat.
Produksi optimal ayam broiler
hanya dapat
diwujudkan apabila ayam tersebut memperoleh makanan yang berkualitas baik dengan jumlah kebutuhan nutrisi yang mencukupi. Rekayasa genetik, perkembangan teknologi pakan dan manajemen perkandangan menyebabkan strain ayam broiler yang ada sekarang lebih peka terhadap
formula pakan yang diberikan (Wahju,
2004). Amrullah (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari ayam harus diimbangi dengan ketersediaan nutrisi dalam pakan yang cukup dan keadaan lingkungan yang meliputi temperatur lingkungan dan pemeliharaan. Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reksi metabolik, menyokong pertumbuhan, dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, Ca, mineral, serat, dan vitamin yang sangat memiliki peran penting selama tahap permulaan hidupnya.
11
Konsumsi Ransum Konsumsi ransum dihitung sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak dimana zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk produksi hewan tersebut (Tillman et al., 1998). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan apabila makanan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi ini menggambarkan palatabilitas. Pada umumnya palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau, dan warna dari bahan pakan. Palatabilitas yaitu daya tarik suatu pakan yang dapat menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak (Pond et al., 2005). Leeson dan Summers (2001) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah bentuk ransum, kandungan energi ransum, kesehatan lingkungan, zat nutrisi, kecepatan pertumbuhan, dan stres. Menurut NRC (1994), faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah besar tubuh ayam, aktivitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum. Selain itu konsumsi ransum dipengaruhi bobot badan, strain, tingkat produksi, tingkat cekaman, aktivitas ternak, mortalitas, kandungan energi dalam ransum, dan suhu lingkungan (North dan Bell, 1990). Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh dan peningkatan sel-sel individual. Pertumbuhan itu mencakup 4 komponen utama yaitu adanya peningkatan berat otot, peningkatan ukuran kerangka, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adipose dan peningkatan ukuran bulu, kulit, dan organ dalam. Scott et al. (1982) mengatakan bahwa pertumbuhan ayam broiler sangat cepat dimulai saat menetas sampai berumur 8 minggu, namun setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun. Pertumbuhan ayam broiler sangat sensitif terhadap tingkat nutrisi yang diperoleh sehingga keseimbangan zat nutrisi sangat penting. Pemberian pakan dengan kualitas lebih rendah terutama saat pertumbuhan akan menurunkan laju pertumbuhan. Protein dan asam amino merupakan nutrisi yang
12
dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan produktivitas yang maksimal. Pencapaian produktivitas yang maksimal tidak selalu dapat menghasilkan ekonomi yang tinggi, khususnya jika harga rata-rata protein tinggi. Rendahnya kandungan protein ransum awal (starter) dapat menyebabkan pertumbuhan terganggu pada awalnya dan akan mempengaruhi penurunan bobot tubuh serta performa pada saat dewasa. Menurut North dan Bell (1990), peningkatan bobot badan setiap minggunya tidak terjadi secara seragam. Setiap minggu pertumbuhan ayam akan mengalami peningkatan hingga pertumbuhan maksimal, setelah itu mengalami penurunan. Bobot badan akhir merupakan bobot badan ayam broiler yang dicapai pada masa akhir pemeliharaan. Menurut Gordon dan Charles (2002), target bobot badan akhir tidak hanya berdasarkan kriteria kecukupan kebutuhan pertumbuhan fisiologis selama masa pembesaran dalam rangka menopang produksi, tetapi setiap organ tubuh dan otot mengikuti kurva pertumbuhannya masing- masing. Menurut Bell dan Weaver (2002), bobot badan akhir dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Konversi Ransum Menurut Lacy dan Vest (2000), konversi ransum didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi ransum dengan pertumbuhan bobot badan yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Semakin tinggi konversi ransum menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas pakan, jenis ransum, penggunaan zat aditif, kualitas air, pengafkiran, penyakit, dan pengobatan, serta manajemen pemeliharaan. Selain itu konversi ransum dipengaruhi faktor kualitas ransum, teknik pemberian pakan dan angka mortalitas (Amrullah, 2003).
13
Mortalitas North dan Bell (1990) menyatakan bahwa presentase kematian minggu pertama selama periode pertumbuhan tidak lebih dari 4 %. Kematian minggu selanjutnya harus relatif lebih rendah sampai terakhir minggu tersebut dan terus dalam keadaan konstan sampai berakhirnya periode pertumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi presentase kematian antara lain bobot badan, bangsa, tipe ayam, iklim, kebersihan lingkungan dan penyakit. Menurut Lacy dan Vest (2000), angka mortalitas diperoleh dengan perbandingan antara jumlah ayam yang mati dengan ayam yang dipelihara. Angka mortalitas normal pada ayam pedaging sekitar 4 %. Faktor seperti umur, temperatur air minum, aliran udara, panas, cahaya, nutrisi, temperatur lingkungan, dan kelembaban dapat menyebabkan kematian (Swich, 1998)
14