II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Wisata Wisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok orang, bersifat sementara, serta untuk menikmati objek dan atraksi di tempat tujuan (Suyitno, 2006). Wisata memiliki karakteristik sebagai berikut: a.
Bersifat sementara, karena pelaku wisata hanya akan berada di tempat wisata dalam jangka waktu pendek, karena akan segera kembali ke tempat asalnya.
b.
Melibatkan
beberapa
komponen
wisata
seperti
sarana
transportasi, akomodasi, objek wisata, dan lain-lain. c.
Umumnya dilakukan dengan mengunjungi objek dengan atraksi wisata, daerah, atau bahkan negara secara terus-menerus.
d.
Memiliki tujuan untuk mendapatkan kesenangan (pleasure).
e.
Tidak
bertujuan
untuk
mencari
nafkah,
melainkan
kedatangannya ke tempat tersebut dapat memberikan kontribusi pada pendapatan masyarakat atau daerah setempat. f.
Wisata terjadi karena adanya keterpaduan antara fasilitas dengan objek yang saling mendukung dan berkesinambungan.
Istilah wisata, seperti halnya yang tercantum dalam UU No. 10 tahun 2009, pengertian wisata diberikan batasan sebagai: kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan 6
7
pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Berdasarkan pengertian wisata menurut undang-undang tersebut di atas, kegiatan wisata mengandung unsur perjalanan yang bersifat rekreatif dan dilakukan secara sukarela, bersifat sementara yang bertujuan untuk menikmati suatu objek atau daya tarik wisata yang ada pada daerah tujuan wisata tersebut. Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan perjalanan seperti yang dimaksudkan dalam batasan pengertian tersebut, disebut sebagai wisatawan (tourist) (Sunaryo, 2013). Untuk dapat menarik seseorang berkunjung ke suatu tempat, tempat tersebut harus memiliki objek dan atraksi yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Menurut Sukarsa (1999), atraksi wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang yang berkunjung ke suatu daerah tertentu. Hal-hal yang dapat menarik seseorang untuk berkunjung ke suatu tempat tujuan wisata meliputi benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta (natural amenities) yang mencakup iklim, pemandangan alam, hutan, flora dan fauna, benda- benda hasil ciptaan manusia (man made supply) yang mencakup benda-benda bersejarah, museum, kesenian rakyat, rumah ibadah dan acara-acara tradisional, serta tata cara hidup masyarakat (the way of life) yang mencakup kebiasaan hidup dan adat istiadat.
8
Di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya, begitu banyak hal-hal yang yang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata, misalnya kesenian rakyat, upacara adat dan agama. Menurut Mariotti (1985) dan Yoeti (1987) (dalam Sunaryo, 2013); dikemukakan bahwa faktor terpenting yang dapat mengundang wisatawan mengunjungi suatu destinasi adalah daya tarik yang dimiliki oleh destinasi tersebut. Agar suatu tujuan wisata dapat menarik wisatawan untuk dikunjungi, tujuan wisata tersebut harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: a.
Destinasi tersebut harus memiliki apa yang disebut dengan “something to see”, maksudnya destinasi tersebut harus memiliki daya tarik khusus yang dapat dilihat oleh wisatawan, di samping itu juga harus memiliki atraksi wisata yang dapat dijadikan sebagai “entertainments” bila orang tersebut datang untuk mengunjunginya.
b.
Selain itu destinasi tersebut harus memiliki “something to do”, yang artinya selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, pada destinasi tersebut juga harus dilengkapi dengan beberapa fasilitas rekreasi atau amusement dan wadah atau wahana yang dapat
dimanfaatkan
oleh
wisatawan
untuk
beraktivitas
sehingga dapat menimbulkan keinginan wisatawan untuk tinggal lebih lama. c.
Destinasi juga harus memiliki “something to buy”. Pada suatu destinasi, juga harus tersedia barang-barang yang dapat dibeli
9
wisatawan dan dibawa pulang ke tempat asal. Barang-barang tersebut seperti halnya cindera mata yang merupakan hasil kerajinan masyarakat setempat. Jadi dapat dikatakan bahwa, pada intinya perjalanan wisata merupakan perjalanan yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan sekundernya yang berupa rekreasi (pleasure) atau penyegaran kembali (refreshing) setelah kebutuhan primernya terpenuhi.
2.1.1 Wisata Budaya Pemerintah Daerah Bali menetapkan secara tegas dalam Peraturan Daerah (Perda) Bali No. 2 tahun 2012 mengenai pengembangan pariwisata yang ada di Bali merupakan pariwisata budaya. Dalam Perda ini, dirumuskan mengenai pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan. Penyelenggaraan
pariwisata
budaya
bertujuan
untuk
memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa, memperluas dan memeratakan
10
kesempatan berusaha, dan lapangan kerja. Dalam penyelenggaraan pariwisata berbasis budaya juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mendorong pendayagunaan produksi daerah dalam rangka peningkatan produksi nasional, serta mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan, agama dan keindahan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan (Nika, 2010). Lebih lanjut lagi mengenai azas Pariwisata Budaya, diatur dalam Perda Bali No. 2 tahun 2012 Bab II, pasal 2 sebagai berikut: penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali dilaksanakan berdasarkan pada asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana (THK). Dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan yang disebutkan oleh Sihite (2000: 76) dalam garis besarnya dapat dilihat pada hal-hal berikut: a.
Merupakan perangsang dalam usaha pemeliharaan monumenmonumen budaya yang dapat dinikmati oleh penduduk setempat dan wisatawan.
b.
Merupakan
dorongan
dalam
usaha
melestarikan
dan
menghidupkan kembali beberapa pola budaya tradisional seperti
11
kesenian, kerajinan tangan, tarian, musik, upacara-upacara adat, dan pakaian. c.
Memberikan dorongan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang bersih dan menarik.
d.
Terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dan masyarakat lokal, misalnya, wisatawan dapat lebih banyak mengenal kebudayaan serta lingkungan yang lain dan peduduk lokal juga mengetahui tempat-tempat lain berdasarkan cerita para wisatawan.
e.
Mendorong pendidikan
di
bidang kepariwisataan
untuk
meghasilkan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan yang andal.
2.1.2 Rekreasi Rekreasi merupakan salah satu bentuk aktivitas manusia untuk mengisi
waktu
luangnya.
Manusia
melakukan
rekreasi
untuk
menghilangkan beban pikiran akibat tekanan dan rutinitas pekerjaannya. Rekreasi dapat memulihkan kondisi mental dan fisik yang lelah, serta memberikan kepuasan dan rasa senang bagi manusia (Brockman, 1979; Soekotjo, 1980; Soemarwoto, 1991). Minat masyarakat terhadap rekreasi mulai meningkat sejak awal tahun 90-an, terutama minat terhadap obyek wisata alam. Latar belakang fenomena tersebut adalah meningkatnya tekanan hidup karena rutinitas kerja dan beban aktivitas yang berat,
12
sehingga mereka membutuhkan akivitas yang dapat mengembalikan semangat kerjanya (Lindberg, 1993). Berdasarkan tempatnya, Mercer (1981) menggolongkan rekreasi menjadi dua, yaitu rekreasi di tempat tertutup dan rekreasi di tempat terbuka. Lebih lanjut dinyatakan bahwa rekreasi di tempat terbuka lebih baik karena dapat diperoleh pengalaman yang khas, baru, dan berbeda. Brockman (1979) mengemukakan kelebihan rekreasi di alam terbuka adalah pengalaman yang lebih baik bagi fisik dan mental manusia, karena untuk melakukan rekreasi di alam terbuka manusia harus mempunyai kesehatan fisik, pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan. Bentuk kegiatan rekreasi di alam terbuka diantaranya adalah memancing, berburu, mendaki gunung, berkuda, piknik, dan berkemah. Pilihan bentuk kegiatan rekreasi yang akan dilakukan manusia tergantung pada latar belakang ketersediaan kesempatan, kesesuaian dengan kondisi pelaku, serta kemampuan fisik dan intelektual. Bentuk kegiatan rekreasi dapat bersifat fisik, intelektual, estetik, emosi, atau kombinasinya. Karena latar belakang dan sifat yang berbeda, maka bentuk kegiatan rekreasi menjadi spesifik bagi setiap individu, dimana pilihan individu yang satu berbeda dengan individu lainnya (Brockman, 1979).
2.2
Ekowisata Salah satu jenis implementasi dari pembangunan kepariwisataan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah berupa pengembangan program ekowisata atau yang sering juga disebut dengan nature tourism.
13
Pada hakekatnya program ekowisata atau nature tourism adalah konsep perpaduan antara pendekatan konservasi lingkungan dan kepariwisataan (Whelan, 1991). Weber dan Damanik (2006) menyebutkan bahwa konsep dasar ekowisata meliputi perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola oleh masyarakat pada kawasan wisata, serta menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal dimana wisatawan banyak belajar dari masyarakat lokal. Menurut The International Ecotourism Society (1990), ekowisata sebagai a responsible travel to natural areas which conserves the environtment and improves the well-being of local people. Menurut Hadinoto (1996), ekowisata merupakan suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi antara
lingkungan
alam
dan
aktivitas
rekreasi,
konservasi
dan
pengembangan, serta antara penduduk dan wisatawan. Menurut Yoeti (2008) ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Menurut Sherman dan Dixon (1991), Lindberg (1989), Vant Hof (1989) dalam Yoeti (2008) yang merupakan para pakar nature tourism; prinsip yang harus dipegang dalam pengembangan program ekowisata adalah kebijakan untuk memberikan prosentase dari pendapatan yang
14
berasal dari industri pariwisata yang harus dikembalikan lagi untuk lingkungan
yang
perlu
dilestarikan
(dilindungi-dikembangkan-
dimanfaatkan) termasuk kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dalam Yoeti (2008), Alister dan Wall (1982); Wright (1977); disebutkan bahwa beliau merupakan pakar analisis dampak lingkungan dan aktivitas kepariwisataan, yang mengemukakan bahwa model dari pembangunan kepariwisataan berlanjut dan berwawasan lingkungan memiliki prinsip akan mengukur kinerja pembangunan kepariwisataan dengan aspek indikator penting sebagai berikut: a. Aspek indikator lingkungan fisik Komponen fisik memiliki dua kategori indikator lingkungan yang memerlukan pengamatan dan pengukuran secara periodik, yaitu: 1). Lingkungan fisik yang bersifat fixed. Lingkungan fisik ini berupa sumber daya alam/ekologi bukan buatan manusia, seperti lansekap, hutan, danau, ketersediaan air tanah, polusi udara, terumbu karang, flora dan fauna, dan sebagainya. 2). Lingkungan fisik yang bersifat flexible. Lingkungan fisik ini berupa sumber daya alam yang merupakan buatan manusia, seperti sistem infrastruktur, water supply, pembuangan limbah, jaringan listrik, transportasi,
pos
dan
telekomunikasi,
layanan
perbankan, restoran, cinderamata, dan sebagainya.
kesehatan,
15
b. Aspek indikator sosial budaya Pada aspek sosial budaya, beberapa indikator yang harus dimonitor dan ditakar kondisi dan kapasitasnya adalah: 1). Jumlah wisatawan dan tipe kegiatan rekreasi serta perilaku wisatawan yang dapat diserap oleh destinasi tanpa harus mempengaruhi identitas, gaya hidup dan kehidupan sosial budaya serta adat istiadat dari masyarakat setempat. 2). Lama tinggal dan tipe kepariwisataan yang tidak mengubah budaya lokal secara signifikan baik langsung maupun tak langsung, utamanya dalam hal seni, kerajinan, sistem kepercayaann, upacara, serta adat dan tradisi. 3). Tipe kepariwisataan yang tidak ditolak oleh penduduk setempat, terutama yang tidak menghalangi mereka untuk menggunakan layanan dan fasilitas masyarakat/umum yang ada di destinasi. 4). Jumlah pengunjung dan tipe interaksi antara wisatawan dan lingkungan di destinasi, tanpa harus menimbulkan penurunan pengalaman dan kenyamanan pengunjung secara drastis. c. Aspek indikator ekonomi Pada aspek ekonomi, beberapa indikator yang harus selalu dipantau keadaannya pada model kepariwisataan berlanjut adalah: 1). Derajat spelialisasi yang sudah berpengaruh pada hilangnya peluang kerja dan usaha masyarakat setempat dalam industri kepariwisataan.
16
2). Angka kehilangan tenaga kerja manusia yang disebabkan oleh industri kepariwisataan yang ada. 3). Distribusi pendapatan yang adil dari kegiatan kepariwisataan dan dampak penguatannya pada masyarakat maupun masyarakat setempat. 4). Angka penyerapan tenaga kerja dari aktivitas kepariwisataan di objek wisata terhadap sumberdaya manusia yang ada. Hal itu senada dengan isi dari Perda No.11 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Tabanan yang mengemukakan bahwa ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata atau penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke area alami atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, secara ekonomi berkelanjutan disertai upayaupaya konservasi dan pelestarian lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Menurut Gunn (1997) hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam ekoturisme adalah: a. Pengalaman, penghargaan, dan pemahaman terhadap sumber daya alam. b. Perolehan pengalaman yang berasal dari lingkungan dan penghargaan terhadap lingkungan. c. Penggunaan
fasilitas
pelayanan
dan
pendukung
yang
ramah
lingkungan. d. Memberikan kontribusi langsung bagi pembangunan ekonomi lokal.
17
Soemarwoto (2006) dalam Utama (2009), menjelaskan bahwa ekowisata tidak terbatas pada objek alam, tetapi juga mencakup pada kebudayaan. Interaksi lingkungan hidup dengan manusia menciptakan pola hidup seperti yang ada di suatu tempat, namun kebudayaan manusia di tempat tersebut tercipta dari interaksi itu juga. Lingkungan hidup biogeofisik tak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup sosial-budaya, kepada para ekowisatawan disajikan keduanya secara utuh. Secara keseluruhan tidak ada yang membedakan antara pariwisata, wisata dan ekowisata, pembeda yang nyata adalah ruang dan waktu pelaksanaan wisata tersebut, karena dalam penyelenggaraan suatu kegiatan satu komponen dengan yang lainnya saling berkaitan dan mendukung, sehingga penyelenggaraan wisata dapat berjalan dengan baik.
2.3
Potensi Desa Menurut Bintarto (1983), potensi desa adalah sumberdaya di suatu
desa
yang mungkin
dapat
dikembangkan
dan diaktifkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Potensi desa dapat berupa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di dalamnya beserta hasil kerajinan manusia itu sendiri. Tiap-tiap desa memiliki sumberdaya yang merupakan potensi desa. Potensi desa dapat dibagi menjadi dua, yaitu potensi fisik dan nonfisik. Potensi fisik desa meliputi tanah, air, iklim, peternakan dan perikanan, sedangkan potensi nonfisik desa berkaitan dengan sumberdaya budaya, antara lain: sikap gotong royong,
18
organisasi kemasyarakatan serta kreativitas aparatur desa yang mampu mengelola administrasi desa secara tertib dan lancar.
2.4
Subak Menurut Windia (2006), subak adalah suatu masyarakat hukum adat
yang merupakan perkumpulan petani pengelola air irigasi di lahan sawah, serta memiliki karakteristik sosioagraris-religius. Arif (1999) memperluas pengertian
karakteristik
subak
yang
sosioagraris-religius
dengan
menyatakan bahwa subak tepat disebut berkarakteristik sosio-teknisreligius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian dan teknis irigasi. Subak merupakan organisasi petani yang bergerak dalam usaha pengaturan air irigasi untuk lahan pertanian basah atau sawah yang memiliki anggota sebagai petani atau pemilik atau penggarap sawah yang dilayani oleh suatu jaringan atau subjaringan irigasi tertentu, tidak memandang dari desa mana anggota tersebut berasal, dengan kata lain pendekatan subak adalah pendekatan jaringan irigasi (coral based) dan bukan desa (village based) (Purbathin, 2010). Windia (2006) mengatakan, budaya pada sistem subak dicerminkan dari pola pikir dalam pengelolaan air irigasi yang dilakukan dengan landasan harmoni dan kebersamaan. Air dianggap sebagai karunia Tuhan sehingga keberadaannya bernilai dan dihormati. Dalam organisasi subak, ada upacara khusus untuk menghormati keberadaan air yang disebut upacara mendak toya. Masyarakat Bali mempercayai bahwa air merupakan
19
perwujudan dari Dewa Wisnu yang merupakan salah satu manifestasi dari Tuhan dan dipercaya sebagai pemelihara kehidupan di dunia ini. Sedangkan, istri dari Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri, dianalogikan dengan padi. Padi dan air tidak dapat dilepaskan dari aktivitas pertanian. Sehingga, para petani di Bali yang tergabung dalam organisasi subak sangat menghormati padi dan air.