5
TINJAUAN PUSTAKA Antibodi Jika hewan terpapar oleh suatu antigen, maka respon imun akan terjadi pada tubuh hewan tersebut. Respon humoral yang terjadi menghasilkan antibodi. Struktur molekul antibodi terdiri dari empat rantai protein berbentuk seperti huruf “Y” yang dihubungkan oleh ikatan d isulfida. Satu molekul antibodi terdiri dari dua pasang rantai polipeptida berat (heavy = H) dan ringan (light = L), masingmas ing mempunyai daerah variabel (V H dan VL) dan daerah konstan (CH dan CL). Daerah variabel (V) tersusun dari sekitar 110 sampai 130 asam amino, merupakan gugus NH2 sebagai tempat ikatan antara rantai H dan L. Daerah konstan C pada rantai H meliputi daerah aktivasi komplemen dan molekul reseptor Fc dari berbagai jenis sel.
Allotypic, variasi asam amino pada lokus yang sama Idiotypic, variasi dihubungkan dengan spesifisitas ikatan antigen
Isotypic, variasi rantai berat ?, µ, e, a atau d dan rantai ringan ? atau ?
Gambar 1. Skema antibodi dengan determinan isotypic, allotypic dan idiotypic. Terdapat tiga kelas determinan antigenik yang diekspresikan oleh daerah V dan C, yaitu : (1) determinan isotypic, membedakan rantai ringan menjadi dua klas, yaitu kappa (?) dan lamda (?), sedangkan rantai berat mempunyai lima isotipe berbeda yang membagi imunoglobulin menjadi lima klas yang berbeda dengan fungsi yang berbeda-beda pula (pada manusia, IgG, IgM, IgA, IgE, IgD) (Saldanha 2000) ; (2) determinan allotypic, dibedakan dari produk gen pada lokus yang sama (IgG1, IgG2a, IgG2b ) ; dan (3) determinan idiotypic, dihubungkan dengan spesifisitas ikatan antigen (Gambar 1).
6
Daerah variabel (V) selanjutnya dibagi menjadi daerah hipervariabel (HV) dan daerah framework (FR). Pada rantai berat dan ringan, ditemukan tiga daerah HV (HV1, HV2 dan HV3) dan empat daerah FR yang memiliki rangkaian asam amino yang lebih stabil. Daerah HV juga disebut complementarity determining region (CDR) karena daerah ini merupakan bagian yang mengalami kontak langsung dengan permukaan antigen, mempunyai panjang dan rangkaian asam amino berbeda pada antibodi yang berbeda (Anonim 2000). Hal ini menyebabkan antibodi mempunyai spesifisitas dan afinitas yang berbeda-beda pula terhadap penanda target (target marker) pada antigen. Daerah spesifik untuk berikatan dengan antigen ini disebut paratop dan mengekspresikan beberapa kumpulan idiotop yang mampu meningkatkan produksi antibodi.
Idiotipe Idiotope adalah determinan antigen (antigenic marker) tunggal pada daerah hipervariabel molekul antibodi yang dapat ditemukan pada sel B dan T (Kennedy et al. 1983; Zhou et al. 1991; Mayer 2004). Idiotope berlokasi pada atau di dekat sisi pengikat antigen (antigen combinating site), pada rantai berat maupun rantai ringan antibodi, namun kebanyakan idiotop terletak pada rantai berat (Ban et al. 1994) yang berpengaruh terhadap determinan idiotipik dari suatu antibodi (Sollazzo et al. 1990). Variasi idiotipe pada individu terletak di seluruh bagian hipervariabel antibodi dan dikode oleh gen. Bagian hipervariabel 1 (HV1) dan hipervariabel 2 (HV2) antibodi dikode langsung oleh gen segmen V pada garis benih (germ line), sedangkan HV3 dibentuk dari kombinasi segmen ke 3 gen V, gen D (dari rantai berat) dan gen J. Rekombinasi ini terjadi secara acak sehingga terjadi variabilitas. Ini bertanggung jawab terhadap tempat pengikatan antigen yang berbeda-beda dan meny ebabkan bagian variabel antibodi suatu individu memiliki struktur yang mirip dengan individu lain (Male et al. 1987). Idiotipe digunakan untuk menerangkan hubungan antara asal usul gen daerah V dan C. Gen ini dipertahankan selama masa evolusi dari hewan dan perkembangannya tergantung kondisi lingkungan (Kennedy et al. 1983). Cara lain untuk memperoleh lebih banyak variasi repertoire germ-line adalah dengan
7
rekombinasi batas segmen V, D dan J untuk menghasilkan berbagai sekuens junctional (Roitt et al. 1993). Diversitas antibodi juga dapat terjadi dengan adanya insersi nukleotida pada daerah N dari segmen D dan J, suatu proses yang berhubungan dengan ekspresi terminal deoxynucleotidyl transferase. Cara ini sangat meningkatkan repertoire gen ? dan d reseptor-T. Sistem imun mempunyai mekanisme pembentukan diversitas lebih lanjut, yaitu pada saat dua rantai yang berbeda digunakan untuk pengenalan molekul. Pada saat ini terjadi kombinasi yang menghasilkan variabilitas baru. Bila satu rantai berat berpasangan dengan rantai ringan yang berbeda, spesifisitas akhir antibodi akan berubah (Roitt et al. 1993).
Antibodi Anti-idiotipe Kumpulan beberapa idiotop disebut dengan idiotipe (Ab 1) yang mampu menginduksi antibodi anti-idiotipe (Ab 2) (Lin dan Zhou 1995). Apabila Ab 1 murni disuntikkan kepada hewan lain, maka Ab1 akan dikenali sebagai antigen asing dan menimbulkan respon kebal Ab 2 yang kuat (Harlow dan Lane 1988; Vizcaino 2004). Antibodi Ab 2 dapat mengenali daerah pengikatan antigen pada Ab 1 dan dapat berikatan dengan Ab 1 sebagaimana halnya Ab 1 berikatan dengan antigen (Field et al. 2002), menunjukkan bahwa Ab 2 memiliki struktur yang mirip dengan antigen. Selanjutnya, Ab 2 dapat menginduksi terbentuknya Ab 3 yang dapat mengenali Ab 2 dan seterusnya, sehingga pada akhirnya dapat menginduksi terbentuknya serangkaian autoantibodi yang dapat saling mengenali satu sama lain membentuk suatu jaringan idiotipik (Jerne 1985). Interaksi
determinan
idiotipe
dan
antibodi
anti-id iotipe
dapat
mempengaruhi modulasi respon imun, mengaktivasi atau menekan respon imun humoral dan selular (Shoenfeld 2004). Pemberian anti-id iotipe dapat menekan ekspresi idiotipe dan memacu pembentukan idiotipe spesifik limfosit T suppressor. Mekanisme supresif dapat terjadi karena dua hal: pertama, antiidiotipe memblok reseptor idiotipe pada sel B primer dan hanya merangsang pembentukan non-idiotipe; kedua, anti-idiotipe hanya menginduksi idiotipe spesifik sel T suppressor. Pada kondisi lain, anti-idiotipe meningkatkan ekspresi idiotipe dan pembentukan antigen spesifik limfosit T helper. Mekanisme aktivasi
8
yang terjadi seperti antigen asing yang merangsang pembentukan respon imun (Nisonoff 1991). Teori jaringan idiotipik Jerne (1985) juga menjelaskan, bahwa imunisasi dengan suatu antigen dapat menginduksi bukan hanya antibodi spesifik terhadap antigen (Ab1), tapi juga antibodi yang dapat mengenali Ab 1. Hal ini terjadi karena struktur khas (idiotipe) pada daerah pengikatan antigen dari Ab1 mampu menginduksi sistem imun untuk membentuk Ab 2 yang meniru struktur antigen eksternal dan bahkan terjadi terhadap antigen sendiri (self antigen ) (Roitt et al. 1993 ; Vogel et al. 2000). Melalui mekanisme yang sama, akan terbentuk Ab3. Ab1 dan Ab3 mempunyai kemampuan berikatan yang sama dan dalam beberapa kasus, mempunyai susunan asam amino yang sama pada daerah pengikatan antigennya (Roitt et al. 1993). Anti-idiotipe yang hanya mengenali satu antibodi saja dikatakan mengenali idiotop pribadi (IdI) dan menyokong pendapat bahwa tiap antibodi mempunyai struktur yang unik. Sering juga molekul antibodi mempunyai struktur asam amino yang sangat mirip satu sama lain sehingga mempunyai idiotipe yang sama. Ini dikenal sebagai idiotipe public (umum) atau idiotipe cross reacting (IdX). Idiotipe umum juga sering disebut dengan common dan share idiotope. Respon kebal Ab2 yang terbentuk dapat digolongkan berdasarkan topografi target idiotipe menjadi kelompok yang tidak mampu menghambat antigen (antigen -noninhibitable group) (Ab 2a) dan
kelompok yang mampu
menghambat antigen (antigen -inhibitable group ) (Ab2ß).
Kelompok ketiga
disebut dengan Ab 2 ?, merupakan antibodi anti-idiotipe yang mengenali combinating site id iotop di dekat daerah pengikatan antigen dan mampu menghambat pengikatan antigen dengan pengaruh sterik, tetapi tidak membentuk struktur yang mirip dengan antigen asli. Jadi, hanya Ab 2ß dan Ab 2? yang dapat menghambat ikatan Ab1 dengan antigen (Ban et al. 1994). Karakteristik Ab 2a disebut juga noninternal image karena ikatan antibodi dengan anti-idiotipe terjadi di luar paratop, sehingga tidak menghalangi ikatan antigen dengan paratop dari antibodi (Male et al. 1987 ; Guancheng et al. 2001). Zhou et al. (1990) menyatakan, bahwa reaksi Ab2a dengan idiotipe berlokasi di luar antigen -binding site dan tidak dihambat oleh antigen. Kemampuan Ab 2a
9
terbatas dalam peningkatan respon imun pada spesies berbeda (Kennedy et al. 1986). Jika Ab 2 berikatan di dekat paratop dari antibodi dan reaksinya dapat dihambat oleh antigen karena pengaruh sterik dan allosterik, maka Ab 2 ini disebut dengan Ab 2? (Guancheng et al. 2001). Sejumlah Ab 2 yang terbentuk akibat responnya terhadap Ab1 dapat mengekspresikan determinan idiotipe yang meniru antigen aslinya, disebut Ab 2ß. Antibodi anti-idiotipe Ab 2ß mengandung internal image dari antigen eksternal, sehingga disebut juga antibodi internal image (Guancheng et al. 2001). Interaksi antigen dengan Ab 1 dapat dihambat oleh Ab 2ß, demikian juga interaksi Ab 2ß dengan Ab 1 dapat dihambat oleh antigen. Antibodi Ab2ß mampu menimbulkan respon antibodi terhadap antigen asli pada hewan lain. Hal ini merupakan indikasi bahwa Ab2 yang dihasilkan mengenali IdX yang berlokasi pada atau dekat antigen combinating site Ab1 (Zhou
et al. 1994). Baik antigen maupun antibodi anti-
idiotipe mempunyai tempat ikatan yang sama dan dapat berikatan secara kompetitif dengan idiotipe (Bentley et al. 1990). Antibodi
Ab 2ß memiliki struktur idiotipe yang menunjukkan internal
image terhadap epitop antigenik yang dikenali dari Ab 1 dan mempunyai kemampuan meniru struktur tiga dimensi determinan antigen atau epitop berdasarkan atas kemiripan struktur kimia hapten dan lekukan idiotop di atas permukaan imunoglobulin. Meskipun merupakan struktur tiga dimensi dari asam amino, namun antibodi internal image juga dapat meniru epitop protein, karbohidrat atau lemak (Ban et al. 1994). Struktur tiga dimensi Ab2ß menunjukkan, bahwa mimikri asam amino terletak pada lekukan antigen binding site dari daerah hipervariabel rantai berat (Luo et al. 2000). Ab 2ß meniru struktur antigen melalui proses saling melengkapi (complementary) dan homobodies (R ico dan Hall 1989; Kennedy dan Attanasio 1990). Struktur antigenik yang potensial akan ditiru dan disajikan kembali dengan struktur yang mirip (internal image) oleh idiotipe (Zhou et al. 1991). Imunisasi dengan Ab 1 tidak hanya menghasilkan subset Ab2ß, tetapi juga menginduksi Ab 2a dan
Ab 2?. Antibodi Ab 2 dengan beragam subset, dapat
menginduksi terbentuknya anti-anti-idiotipe Ab3 yang sangat kompleks. Hal ini terjadi terutama bila digunakan Ab 2 poliklonal yang mengandung beragam subset
10
(Ab2a, Ab 2ß dan Ab 2?). Pada Gambar 2 dapat dilihat skema kaskade idiotipe (Hiernaux 1988). Epitop dari suatu antigen asing menginduksi respon imun yang ditandai dengan terbentuknya antibodi Ab1. Selanjutnya, Ab 1 menginduksi terbentuknya Ab 2 yang mengandung tiga subset, yaitu subset Ab 2a , Ab2ß dan Ab2?. Setiap subset dari Ab 2 akan menginduksi anti-anti-idiotipe Ab 3 yang sangat kompleks dan beragam.
Gambar 2. Skema kaskade idiotipe (Hiernaux 1988).
Suatu molekul antibodi internal image yang tepat dapat menginduksi respon imun yang sama dengan yang ditimbulkan oleh antigen eksternal, sehingga Ab2 merupakan alternatif yang baik untuk vaksin. Antidodi anti-id iotipe yang dihasilkan dari antibodi spesifik terhadap suatu antigen dapat menginduksi respon imun selular (cell-mediated immune response) dan humoral (Kennedy et al. 1987). Respon imun selular ditandai dengan adanya proliferasi limfosit T yang dapat mengenali antigen yang berada pada permukaan molekul major histocompatibility complex (MHC) (Guancheng et al. 2001). Suatu subpopulasi limfosit T disebut sel T helper akan mengenali dan mengikat suatu gabungan antigen dengan molekul MHC kelas II pada permukaan makrofag dan menghasilkan berbagai faktor yang larut dalam cairan tubuh yang disebut sitokin, misalnya ?-interferon dan faktor pengaktif makrofag lainnya yang
11
mengaktifkan mekanisme mikrosidal dari makrofag. Di pihak lain, kelompok sel T sitotoksik hanya mengenali antigen dalam keadaan bergabung dengan molekul MHC kelas I. Melalui pengenalan terhadap antigen permukaan ini, sel-sel T sitotoksik menyerang dan membunuh sasarannya. Sel T sitotoksik juga melepaskan ?-interferon yang membantu memperkecil penyebaran virus ke sel-sel lainnya yang berdekatan (Roitt et al. 1993).
Antibodi Anti-idiotipe sebagai Vaksin Antibodi anti-idiotipe (Ab2 ) mampu meniru struktur antigenik yang potensial dan memiliki internal image id iotop yang berbeda-beda (Zhou et al. 1991), sehingga dapat digunakan sebagai antigen pengganti dalam pemeriksaan serologis dan mendeteksi antibodi dari spesies hewan berbeda. Jika Ab 2 digunakan sebagai imunogen, akan mengakibatkan peningkatan respon antibodi spesifik (Ab 3). Idiotipe Ab 1 identik dengan Ab 3 (Clark et al. 1996). Kekhasan reaksi idiotipe-anti-idiotipe ini digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan reagen anti-imunoglobulin spesifik (Harlow dan Lane 1988). Respon Ab 2 yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki beragam epitop dan dapat mencegah timbulnya autoimun yang akan merusak jaringan inang dan komponen tubuh yang lain apabila digunakan agen penyakit yang memiliki determinan antigenik yang mirip dengan jaringan inang (Kennedy dan Attanasio 1990). Antibodi anti-idiotipe memiliki karakteristik serologis internal image (Perosa dan Dammaco 1994), sangat potensial digunakan sebagai imunogen (Fields et al. 2002) dan antigen dalam serodiagnostik, preparasi vaksin (Thanavala et al. 1985 ; Greenspan dan Bona; 1993; Qian et al. 1997), modulasi respon imun (Zhou et al. 1994; Mittelman et al. 1995), imunoterapi (Luo et al. 2000) termasuk terapi penyakit autoimun (Ric o dan Hall 1988). Selain itu, Ab 2 juga dapat digunakan sebagai antigen pengganti pada imunisasi dengan antigen yang sulit didapat dalam jumlah banyak (Roitt 2003). Menurut Suartha (1999), Ab2 mampu memberikan perlindungan 88,8% terhadap serangan bakteri Streptococcus Group
12
C (SGC) ganas dan dapat digunakan sebagai prekursor awal sistem imun inang terhadap agen infeksius. Pemberian Ab 2 pada simpanse sebelum pemberian antigen HBs mampu meningkatkan titer antibodi terhadap HBs dibandingkan dengan tanpa pemberian Ab 2 (Kennedy et al. 1984). Perkembangan anti-id iotipe yang mampu meniru antigen asli sebagai vaksin memiliki keuntungan : (1) vaksin anti-idiotipe dapat meningkatkan respon kebal dari vaksin konvensional yang semula tidak efektif atau lemah (Huang et al. 1988); (2) anti-idiotipe dapat diproduksi dengan mudah dalam jumlah yang banyak; (3) kesulitan yang berhubungan dengan tenaga, biaya dalam penyediaan antigen dari agen penyakit dapat dieliminasi; (4) bahaya penyebaran agen infeksius dalam pelaksanaan di lapangan dapat dihindari (Lin dan Zhou 1995); (5) vaksin idiotop merangsang klon imun yang toleran dan tersembunyi (McNamara et al. 1984); (6) dapat digunakan pada pasien immunocompromise yang tidak memberikan respon terhadap vaksin hidup; (7) vaksin anti-idiotipe mampu memberikan kekebalan protektif pada sistem imun prematur (Huang et al. 1988); (8)
protektif
menghambat
penyebaran
secara
vertikal
infeksi
suatu
mikroorganisme (Kennedy et al. 1996); (9) mengurangi efek klinis yang merugikan dari penggunaan vaksin konvensional (Clark et al. 1996).
Produksi Antibodi Anti -idiotipe pada Ayam Secara umum sistem imun pada ayam menyerupai sistem imun pada mamalia. Imunoglobulin pada ayam diberi nama imunoglobulin Y (IgY), merupakan salah satu kelas antibodi dalam serum dan kuning telur kelompok amfibi, reptil dan aves. Kemiripan struktur antara IgY dan IgG mamalia menyebabkan IgY disetarakan dengan IgG (Narat 2003). Perbedaan utama antara IgG dan IgY terletak pada jumlah regio konstan (C) rantai berat. Imunoglobulin G mempunyai tiga regio konstan, yaitu C?1 – C?3, sedangkan IgY mempunyai empat regio konstan, yaitu Cv1 – Cv4. Pada IgY terdapat penambahan satu regio tambahan, yaitu antara Cv1-Cv2 dan Cv2-Cv3 yang mengandung residu proline dan glysine (Gambar 3). Regio tambahan ini menyebabkan fleksibilitas IgY terbatas (Narat 2003).
13
regio hinge
Gambar 3. Perbedaan struktur IgY dan IgG (Anonim 2002).
Pemilihan ayam untuk produksi Ab 2 memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah karena antibodi ayam (IgY) mempunyai afinitas dan aviditas yang lebih tinggi terhadap protein mamalia; tidak berikatan dengan faktor rheumatoid dan reseptor Fc mamalia; tidak mengaktifkan sistem komplemen mamalia dan tidak berikatan dengan protein A dan G dari Staphylococcus aureus (Anonim 2004). Hal ini disebabkan karena perbedaan secara struktural pada daerah Fc antara IgY dan IgG, karena fungsi biologi imunoglobulin diaktivasi oleh regio Fc. Sistem imun ayam sangat responsif terhadap protein asing atau mikroorganisme yang memaparnya, baik sebagai akibat vaksinasi ataupun infeksi alam. Carlander (2002) menyatakan, ayam memiliki sensitivitas tinggi terhadap protein asing, sehingga dengan jumlah sedikit dapat memberikan respon pembentukan antibodi. Keberadaan kelenjar Hadrian di daerah nasotrakheal dan Bursa Fabricius memungkinkan unggas sangat responsive terhadap berbagai protein asing (Coleman 2000). Secara filogenik, antara ayam dan mamalia mempunyai jarak yang jauh menyebabkan aviditas antibodi ayam lebih tinggi terhadap protein mamalia dibandingkan aviditas antibodi mamalia terhadap protein mamalia. Antibodi ayam dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik pada antigen mamalia. Produksi Ab2 pada ayam juga sangat menguntungkan karena respon imun unggas (ayam) terbukti persisten. Antigen mamalia yang
14
disuntikkan pada ayam mampu menginduksi titer IgY yang tinggi dan bertahan lama pada telur (Gassmann et al. 1990). Selain itu, IgY dapat diperoleh dari telur tanpa harus menyakiti hewan dan jumlah antibodi yang dihasilkan lebih banyak. Ayam biasanya bertelur 5 sampai 6 butir per minggu dan sebutir kuning telur yang mempunyai volume 15 ml rata-rata mengandung 50 – 100 mg IgY, dimana 2% sampai 10% adalah antibodi spesifik (Schade et al. 1996).
Keunggulan lainnya, karena pemeliharaan ayam lebih
mudah dan murah.
Virus Rabies Rabies atau penyakit anjing gila dikenal juga dengan nama Lyssa (Inggris), Rage ( Perancis ), Tolwut ( Jerman ) dan Hydrophobia, adalah infeksi viral akut pada susunan
saraf yang ditandai dengan kelumpuhan yang progresif
dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Secara umum, anjing merupakan penular terpenting kasus rabies pada manusia yang biasanya terjadi melalui gigitan hewan terinfeksi rabies (WHO 2002). Penyebab penyakit ini adalah virus keluarga Rhabdoviridae, berbentuk peluru, berukuran 180 X 75 nm. Struktur virus tersusun dari inti riboprotein (RNA), lemak dan karbohidrat. Genom RNA mengandung 5 jenis protein, yaitu nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G) dan polymerase (L). Virus rabies stabil pada pH 3 – 11 dan dapat hidup beberapa tahun pada suhu –70 0C atau dalam keadaan beku kering yang disimpan pada suhu –4 0C (Baer 1991). Pada jaringan yang disimpan dalam gliserin, virus tahan beberapa minggu pada suhu kamar dan berbulan -bulan pada suhu 4 0C dan dapat diinaktifkan dengan cepat melalui pengawetan dengan cara dikeringkan, pemberian sinar ultra violet dan sinar X, sinar matahari, tripsin, b-propriolakton, ether dan detergen (Wunner 1991). Semua hewan berdarah panas, termasuk manusia rentan terhadap rabies. Di Indonesia, hewan yang pernah dilaporkan terserang rabies selain anjing, kucing dan kera adalah hewan peliharaan kerbau, sapi, kambing, kuda, leopard, meong
15
congkok dan musang. Tetapi yang paling potensial menyebarkan rabies adalah anjing (90%), kucing (6%) dan kera (3%) (Ghosh 1998).
Patogenesis dan Imunitas Rabies Masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 3 sampai 8 minggu dengan variasi 10 hari sampai 6 bulan . Sedangkan pada ternak seperti sapi, kuda, babi, domba dan kambing, masa inkubasinya berkisar antara 1 sampai 3 bulan dan pada manusia 9 hari sampai beberapa tahun. Masa inkubasi pada manusia berkisar antara 10 hari sampai 3 tahun, dengan rata-rata 1 sampai 3 bulan. Masa inkubasi ini tergantung kepada : 1) jumlah virus yang masuk melalui luka, dapat dilihat dari parah atau tidak serta banyaknya luka; 2) letak luka gigitan, semakin dekat ke otak, semakin pendek masa inkubasinya; 3) persarafan luka gigitan, misalnya gigitan di jari atau genital biasanya diikuti masa inkubasi yang pendek, dan 4) virulensi dari virus rabies (Baer 1991). Penularan virus rabies biasanya terjadi dari air ludah hewan tertular ke hewan lain. Beberapa cara penularan yang dilaporkan, meliputi kontaminasi membran mukosa seperti mata, hidung dan mulut, melalui udara (aerosol) dan cangkok kornea (Baer 1991). Alves et al. (2003) melaporkan, bahwa virus rabies yang diinokulasikan per oral pada marmut dapat menyebabkan terjadinya infeksi virus pada berbagai organ, seperti otak, paru-paru dan lambung, namun tidak ditemukan adanya antibodi yang mampu melindungi hewan dari tantangan virus. Infeksi virus rabies juga pernah dilaporkan menyebabkan viraemia dengan titer virus rendah, memberikan gambaran awal proses terjadinya penyebaran virus ke berbagai organ (Acha dan Szyfres 1986). Bila virus bereplikasi secara lokal pada otot ditempat luka gigitan atau pada jaringan ikat, biasanya tidak terlihat adanya gejala klinis. Tetapi, seringkali infeksi yang terjadi disertai dengan invasi ke ujung-ujung saraf tepi kemudian menyebar ke axon saraf menuju susunan saraf pusat (SSP) dan mengakibatkan berbagai tingkatan encephalitis yang dapat berakibat fatal (Anonimus 1997). Pada Gambar 4 dapat dilihat rute perjalanan dan patogenesis Rhabdovirus. Virus menuju ke susunan saraf pusat melalui saraf tepi, khususnya melalui saraf sensoris dan motoris di tempat infeksi, kemudian berkembang di sel-sel saraf
16
terutama di hypocampus, sel-sel Purkinye dan kelenjar ludah. Di dalam saraf pusat, virus mengalami replikasi perpindahan progeni virus dari sel ke sel yang lain. Penyebaran virus di dalam saraf pusat terjadi dengan cepat, diikuti dengan penyebaran virus ke saraf tepi dan jaringan -jaringan lain, termasuk kelenjar ludah (Baer 1991). Pada anjing, 3 sampai 5 hari sebelum terlihat gejala klinis, kelenjar ludah sudah mengandung virus dan terus infektif selama hewan sakit.
5. Infeksi pada otak
4.Virus bereplikasi pada ganglion tulang belakang dan menuju ota k
1. Infeksi virus melalui gigitan hewan
6. Virus menyebar dari otak melalui saraf menuju berbagai jaringan, seperti mata, ginjal, glandula salivarius.
3.Virus menginfeksi saraf pada sistem saraf tepi . Penyebaran virus terjadi secara retrograde 2. Virus bereplikasi pada jaringan otot di tempat gigitan
Gambar 4. Patogenesis Rhabdovirus (Hunt 2004).
Protein G pada virus memegang peran sangat penting untuk dapat masuk ke dalam sel inang. Protein G merupakan paku (spike) berbentuk trimerik dan supaya dapat berikatan secara kuat dengan sel inang, spike harus memiliki daerah hidrofobik. Permukaan hidrofobik pada molekul trimerik ini akan munc ul pada pH di bawah 6 dan ikatan pada membran sel inang tidak dapat terjadi pada pH lebih dari 6. Setelah terjadi perlekatan pada membran sel, virus mengalami endositosis dan selanjutnya terjadi proses multifikasi virus pada sitoplasma (Hunt 2003). Proses ini umumnya terjadi pada jaringan di tempat masuknya virus (misalnya pada luka gigitan), baik pada jaringan otot maupun subkutan hingga konsentrasi virus cukup untuk menyebar ke ujung-ujung saraf motorik dan sensorik.
17
Selanjutnya, glikoprotein virus akan berikatan secara spesifik dengan reseptor asetilkolin atau neurotransmitter reseptor lainnya menuju ujung-ujung saraf. Virus menyebar sampai ke axon saraf tepi atau bahkan ke saraf pusat (SSP), menyebabkan virus dapat terhindar dari serangan antibodi. Penyebaran virus berlangsung melalui tulang belakang dimana virus bereplikasi. Pada keadaan ini, biasanya muncul gejala klasik rabies, mulai dari peningkatan suhu tubuh, diikuti dengan parasthesia serta kekakuan otot. Selajutnya, hewan menjadi hiperaktif, agresif dan hipersalivasi (furious rabies) (Baron et al. 2004). Virus mencapai tulang belakang dengan kecepatan 8 – 20 mm per hari (Alves et al. 2003). Ketika mencapai SSP, virus bereplikasi di bagian korteks otak dan secara klinis mengakibatkan gejala dumb rabies, yaitu hewan mengalami depresi, koma dan berakhir dengan kematian akibat kesulitan bernafas. Dari otak, virus menyebar secara sentrifugal melalui saraf menuju berbagai organ, seperti korteks adrenal, pankreas dan yang paling penting adalah glandula salivarius sebagai organ tempat keluarnya virus dari sel inang. Pada Gambar 5 dapat dilihat skema penyebaran virus rabies, sebagaimana digambarkan oleh Baron et al. (2004).
1. Virus di lingkungan sel 2. Infeksi melalui jalan masuk
Penyebaran lokal 7. Virus menyebar di lingkungan
3. Saraf tepi Penyebaran secara sentripetal 4. Organ target (SSP)
5. Penyakit Penyebaran sentrifugal melalui saraf tepi
6. Pelepasan virus
Gambar 5. Skema penyebaran virus rabies (Baron et al. 2004).
18
Pada sistem saraf, sebagian besar virus dirakit di dalam membran sitoplasmik sel inang, tetapi sel inang tidak mengalami lisis sehingga hanya sedikit antigen virus yang dapat merangsang mekanisme respon imun inang. Di dalam glandula salivarius, kuncup -kuncup virus keluar dari membran plasma pada permukaan saluran sel-sel mukosa dalam konsentrasi cukup tinggi menuju saliva. Sehingga pada saat-saat terjadi replikasi virus di dalam SSP yang menyebabkan hewan menjadi agresif dan menggigit apa saja, maka saliva penderita dalam keadaan sangat infeksius.
Vaksin dan Vaksinasi Rabies Lebih dari seratus tahun yang lalu, Louis Pasteur telah mengembangkan vaksin rabies pertama untuk manusia yang dibuat dari jaringan saraf. Selanjutnya, vaksin inaktif dibuat pada otak domba dan bayi mencit yang kemudian dihubungkan dengan efek samping berupa reaksi neurologik pasca vaksinasi, seperti meningoencephalitis, meningoencephalomyelitis, myelitis dan paralysis yang dapat terjadi antara 1 sampai 2 minggu pasca vaksinasi (WHO 2002). Kejadian reaksi neurologik ini bervariasi, berkisar 1 kasus dari 200 sampai 8000 orang yang divaksinasi dapat menderita reaksi neurologik dan lebih dari 14% menjadi letal. Pada tahun 1967, diperkenalkan vaksin yang dibuat pada sel diploid manusia (human diploid cell vaccine) HDCV sebagai gold standard untuk vaksin rabies.
Metode
inaktivasi
virus
menggunakan
beta
propiolacton
dan
dikonsentrasikan dengan teknik ultrafiltrasi. HDCV dapat menimbulkan antibodi netralisasi yang cukup tinggi dalam 10 hari pasca vaksinasi dan dapat menurunkan kasus efek samping pada jaringan saraf. Selanjutnya dikembangkan vaksin yang dibuat pada embryo ayam (PCEC), sel Vero (PVRV) dan embryo bebek (PDEV). Vaksin yang dikembangkan dari embryo bebek berkembang luas selama 25 tahun di Amerika Serikat walaupun respon antigenik yang ditimbulkan kurang baik serta menimbulkan berbagai efek samping. Tetapi, karena vaksin -vaksin tersebut mengandung sejumlah elemen asal hewan dan albumin serum manusia, maka reaksi alergi sistemik dapat terjadi, misalnya pembengkakan dan kemerahan.
19
Sejak tahun 1983, vaksin virus rekombinan (Vaccinia-rabies glycoprotein, V-RG) untuk hewan mulai dikembangkan. Prinsip pembuatan vaksin ini adalah dengan menyelipkan suatu gen dari mikroorganisme ke dalam genom mikroorganisme lainnya sebagai vektor. Vaksin dibuat dengan menyelipkan gen protein G dari virus rabies ke dalam genom virus vaccinia. Vaksin ini lebih stabil terhadap suhu, aman dan dapat diberikan per oral. Namun, vaksin ini mempunyai kelemahan, yaitu adanya vektor yang justru dapat menginfeksi lebih banyak lagi spesies hewan karena tidak bersifat spesifik terhadap spesies tertentu (non species-specific). Selanjutnya dikembangkan vaksin DNA dengan cara menyisipkan gen yang mengkode protein imunogenik ke dalam plasmid suatu bakteri yang telah diketahui. Walaupun tingkat kekebalan yang dihasilkan tidak setinggi yang dihasilkan oleh vaksin tradisional, vaksin ini cukup efektif untuk mencegah kasus rabies, tetapi vaksin ini hanya efektif apabila diberikan pada hewan yang belum pernah terpapar rabies (pre-exposure vaccination ) (Anonim 1999).
Evaluasi Hasil Vaksinasi Rabies Untuk mengetahui efektivitas antibodi anti rabies yang terbentuk pasca vaksinasi dapat dilakukan pengujian secara in vivo melalui uji tantang (challenge test) maupun in vitro dengan uji serologi. Pengujian potensi vaksin rabies, secara rutin telah dilakukan sesuai metode National Institutes of Health (NIH Test) dengan vaksinasi dan uji tantang intra cerebral. Perlakuan ini dapat menyebabkan tekanan dan penderitaan pada hewan laboratorium (Rooijakkers et al. 1996). Sejalan dengan prinsip yang diajukan oleh European Center for the Validation of Alternative Methods (ECVAM) tentang pemakaian hewan coba, yaitu “Refinement (perbaikan), Reduction (pengurangan) and Replacement (penggantian) (3R)”, The World Health Organization (WHO) merekomendasikan penggunaan uji serologi dalam pengujian safety dan potency vaksin rabies (Cussler et al. 2002; WHO 2003). Salah satu metode pengukuran titer antib odi dalam serum dapat dilakukan dengan
Enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA). Hewan yang telah divaksinasi dengan vaksin rabies harus mempunyai
20
titer antibodi minimal 0,5 IU untuk dapat terhindar dari serangan virus rabies (Beniek et al. 2000; Piza et al. 2002; WHO 2003) Metode Elisa memberikan hasil pengukuran yang baik dan tidak berbeda dengan hasil pengukuran menggunakan metode in vitro yang lain (WHO 2003), seperti Rapid Flourescent Focus Inhibition (RFFIT), Immunoperoxidase Virus Neutralization (IPVN) dan dapat dijadikan sebagai perangkat pengukur potensi vaksin rabies (Cardoso et al. 2004; Perrin 1990). Pemeriksaan dengan metode ELISA tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga sangat tepat digunakan dalam investigasi epidemiologi (Esterhuysen et al. 1995).