TINJAUAN PERKAWINAN BAGI ORANG TUNA WICARA KHUSUSNYA YANG MEMELUK AGAMA
ISLAM
ABSTRAK
SKRIPSI
OLEH
1112 I~ 19' r/12. RE lA ยท
Luky Gusfriadi Fazarun NRP
2830093
NIRM
83.7.004.12021.17306
l
~.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUIABAYA SURABAYA
1991
Surabaya,
Juni 1991,
MahasisN& yang ber5angkutan,
Luky Gusfriadi Fazarun
Dekan Fak
Hukum, /
Daniel Djoko Tarliman, S.H. Saulina Si urat, S.H., M.S.
Irta Wi
-
Syahrial, S.H., M.S.
Salah satu syarat untuk mewujudkan stabilitas dan pembangunan nasional dengan berbagai aspeknya, diperlukan adanya peningkatan dalam memelihara ketertiban dan kepasti an hukum yang mampu mengayomi masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dan mampu mengayomi masyarakat, maka diundangkanlah UU No 1 Thn 1974 yang mengatur tentang perkawinan dan pelaksanaannya diatur dalam PP No 9 Thn 1975. Lembaga perkawinan di dalam tata kehidupan masyarakat, merupakan lembaga yang bersifat religius di samping merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi kehidupan dalam susunan masyarakat Indonesia, dan perkawinan itu sendiri merupakan masalah hukum, agama dan masyarakat. Konsepsi yang demikian tampak di dalam pengertian nan yang tersirat dalam
ketent~an
perkawi~
pasal 1 UU NO 1 Thn
1974, yang pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran keagamaan dan hukum, sehingga perkawinan bukan saJa mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai
pe~anan
yang penting. Seperti yang telah
disinggung pada uraian di
~tas
bahwa masalah perkawinan
bukanlah masalah pribadi perseorangan, akan tetapi merupakan masalah yang erat sekali dengan masalah keagamaan dan kerohanian seseorang, sebagai salah satu masalah keagama-
an, di dalam perkawinan hukum agama selalu mengaturnya. Secara yuridis perkawinan di dalam tata hukum di Indonesia diatur dalam ketentuan UU No 1 Thn 1974, yang
pada haki-
katnya bersumber pada ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaan. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 1 UU No 1 Thn 1974, yang implementasinya di tuangkan dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No 1 Thn 1974 1 yakni
"Per-
kawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu". Hal ini berarti bahwa pelaksanaan perkawinan juga harus di lakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Demikian pula bagi orang yang beragama Islam dalam melaksanakan perkawinan juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang bersumber pada hukum agama Islam. Persoalan perkawinan tidaklah menjadi rumit apabila para pihak yang hendak melaksanakan perkaw inan adalah orang yang tidak sehat jasmaninya, sudah barang tentu akan menimbulkan permasalahan tersendiri dalam melaksanakan per kawinan. Demikian pula bagi pelaksanaan perkawinan yang di lakukan oleh orang tuna wicara, karena tidak ada suatu per aturanpun yang mengaturnya secara tegas. Begitupun dalam melaksanakan perkawinan bagi orang tuna wicara, yang dalam melaksanakan perkawinan menggunakan hukum Islam maka wajib memenuhi rukun dan syarat perkawinan, yakni a. ada !.oJa I i ;
b. ada ridla dari pihak calon isteri; c. ada dua (2) orang saksi yang adil ; d. ada ijab dan qabul; e. ada mahar/maskawin. Tidak terpenuhinya salah satu rukun dan syarat perkawinan tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan dan berpengaruh terhadap keabsahan perkawinan. Demikian pula dalam melakukan pengucapan ijab dan qabul yang kurang memenuhi syarat tentunya akan berpengaruh terhadap keabsahan
per~
kawinan. Hal ini karena pengucapan ijab dan qabul itu mutlak dilaksanakan dalam perkawinan dan harus diucapkan oleh kedua calon mempelai, yang dalam pengucapannya tidak mengandung keraguan-raguan. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, saya hendak menelaah lebih lanjut tentang pelaksanaan perkawinan bagi orang-orang tuna wicara yang beragama Islam. Adapun permasalahan yang hendak dikaji adalah : "Bagaimana keabsahan perkawinan bagi orang tuna wicara bila di kaitkan dengan ijab dan qabul dalam hukum Islam''. Penyusunan skripsi ini bersumber pada studi kepustakaan dan pengamatan lapangan melalui wawancara secara langsung dengan intansi terkait yakni kantor urusan agama dan Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur dan pengantin yang tuna wicara. Data-data tersebut diteliti dengan tujuan agar memperoleh data yang teruji, sehingga dalam
penyusunannya memperoleh jawaban yang benar atau mendekati kebenaran. Metoda yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan masalah secara yuridis-normatif, maksudnya adalah bertitik tolak dari peraturan perundangundangan dikaitkan dengan keadaan senyatanya dalam praktek. Data yang bersumberkan studi kepustakaan dan didukung pengamatan lapangan dikumpulkan melalui membaca dan memperlajari serta melakukan wawancara secara langsung dengan instansi yang terkait yaitu KUA dan Kanwil Depag Jatim dan pasangan pengantin yang tuna wicara, kemudian data diolah secara deduktif maksudnya ialah bertitik tolak dari perkawinan pada umumnya dan disimpulkan dalam perkawinan bagi orang tuna. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif yang menghasilkan uraian yang bersifat diskriptif-analisis yaitu menguraikan berdasarkan keadaan senyatanya yang diperoleh dilapangan dan peraturan perundang-undangan diteli ti menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimaksudkan untuk menjawab masalah yang ada dalam skripsi ini. Pokok hasil penelitian diperoleh jawaban bahwa perkawinan bagi orang tuna wicara
tetap diharuskan untuk me-
laksanakan perkawinannya sesuai dengan yang ditentukan oleh UU No 1 Thn 1974, selain itu juga dalam melangsungkan perkawinan bagi orang tuna wicara yang beragama Islam tetap melangsungkan perkawinannya seperti yang disyaratkan
dalam syarat dan rukun perkawinan sebagimana dilakukan pada perkawinan pada umumnya. Dan bagi orang tuna wicara agar dalam perkawinannya tidak menimbulkan keraguan khususnya pada mengucapkan qabul maka baginya, pada saat mengucapkan qabul ini dapat dilakuk an dengan bahasa isyarat, anggukan kepala ataupun secara tertulis, sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukannya. Dalam Penyusunan skripsi ini baik persiapan sampai dengan analisis data terbagi menjadi tiga fase : Fase pertama
persiapan diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan, yaitu mulai bulan okatober hingga bulan Desember 1990.
Fase kedua
pengumpulan dat a diperlukan waktu antara bulan Januari hingga bulan Maret 1991
.Fase ketiga
Analisis data diperlukan waktu antara bulan Maret hingga bulan Mei 1991.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perkawinan bagi orang tuna wicara itu sah hukumnya , hal ini dengan mendasarkan kepada Qaidah ushul Fiqih yang menyata kan "Adurrootu taabihur maah durota", atau keadaan memaksa. Jadi walaupun orang tuna wicara, mereka tetap dapat melaksanakan perkawinan pada saat mengucapkan qabul tanpa ragu akan keabsahan perkawinannya.