TINJAUAN HUKUM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TANAH SECARA MEDIASI OLEH PENGADILAN NEGERI LIMBOTO Rahmi Manassar1, Wenny A. Dungga, S.H, M.H2, Suwitno Y. Imran, S.H, M.H3 Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK Rahmi Manassar “Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Secara Mediasi Oleh Pengadilan Negeri Limboto” dibawah bimbingan Bapak Wenny A. Dungga, S.H, M.H dan Bapak Suwitno Y. Imran, S.H, M.H. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana peran Pengadilan Negeri Limboto dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi dan untuk mengetahui serta menganalisis faktor apa yang menghambat proses penyelesaian sengketa tanah secara mediasi oleh Pengadilan Negeri Limboto. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif-empiris dan teknik pengumpulan data yaitu dengan wawancara dan dokumentasi, semua data yang terkumpul dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Peran Pengadilan Negeri Limboto dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi masih kurang dan/atau belum begitu nampak. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada tahun 2013 terdapat 8 (delapan) kasus sengketa tanah, kesemuanya tidak ada yang dapat diselesaikan secara mediasi sedangkan dari bulan Januari sampai dengan Juli tahun 2014 terdapat 13 (tiga belas) sengketa tanah, namun hanya 1 (satu) yang berhasil diselesaikan secara mediasi.
Kata kunci : Mediasi, Sengketa Tanah.
1
Rahmi Manassar, Mahasiswa Jurursan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo 2 Wenny A. Dungga, S.H, M.H, Dosen Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo 3 Suwitno Y. Imran, S.H, M.H, Dosen Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo
PENDAHULUAN Salah satu kekayaan alam atau sumber daya alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia
hidup
diatas
tanah
dan
memperoleh
bahan
pangan
dengan
mendayagunakan tanah. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah merupakan modal bagi bangsa Indonesia dan suatu unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kehidupan masyarakat Indonesia baik itu secara kualitas maupun kuantitas selalu mengalami peningkatan. Dari realitas tersebut luas tanah yang bersifat tetap sementara jumlah penduduk atau masyarakat yang membutuhkan tanah untuk memenuhi kebutuhannya selalu bertambah terus. Selain bertambah banyaknya manusia yang membutuhkan tanah untuk tempat tinggal, juga perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Jumlah tanah yang dirasakan menjadi sempit dan sedikit, sedangkan permintaan bertambah, maka tidak heran kalau kebutuhan akan tanah menjadi meningkat. Tidak seimbangnya akan tanah dengan kebutuhan tanah itu, telah meninggalkan berbagai persoalan yang banyak seginya.4 Sengketa tanah tergolong masalah yang bersifat klasik dan akan selalu ditemukan dimuka bumi. Oleh karena itu masalah atau sengketa yang berhubungan dengan tanah senantiasa berlangsung secara terus-menerus, sebab itu sudah menjadi kebutuhan setiap orang. Bukan hanya didalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih tetap membutuhkan tanah. Pada awalnya disaat masyarakat belum berkembang sengketa masih dalam komunitas tertentu. Sengketa tanah yang ada masih bisa diselesaikan oleh anggota (warga) bersama tokoh yang disegani dalam komunitas masyarakat yang bersangkutan. Namun disaat masyarakat sudah banyak mengalami perkembangan seperti sekarang ini, apabila sengketa tersebut belum menemukan titik terang
4
R.Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tanah, Ctk.Pertama, Surabaya : Karya Anda, 1995, hal.15
penyelesaian masalahnya, maka konflik tersebut akan berkembang meluas menjadi permasalahan yang bersifat krusial. Munculnya sengketa hukum adalah berawal dari keberatan dari tuntutan suatu hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan suatu harapan mendapatkan penyelesaian administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.5 Terhadap sengketa batas, berawal dari perolehan hak yaitu pemberian hak secara derivatif, yaitu yang memperoleh haknya karena peralihan hak. Misalnya dengan jual-beli, tukar-menukar, hibah dan lainnya. Sebagaimana telah diketahui dalam Ilmu Hukum, yang di maksud dengan hak pada hakekatnya adalah sesuatu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap suatu benda maupun orang. Sertifikat setiap waktu dapat dibatalkan apabila ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang sebenarnya. Berbeda didalam sistem hukum positif, yaitu tanda bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila ternyata terdapat bukti yang cacat, menunjukkan cacat hukum dalam perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut pembatalan, kecuali tuntutannya pembayaran ganti kerugian. Kesalahan didalam penetapan batas atas suatu tanah yang berkaitan langsung dengan hak penguasaan tanah, maka apabila ada pihak yang dirugikan dan menyatakan rasa tidak puas atas penetapan batas tersebut dapat mengajukan keberatannya ke kantor Pertanahan setempat yang berwenang. Sesuai dengan tata aturan pihak tersebut dapat mengajukan keberatannya atas penetapan batas tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional yang berwenang untuk itu. Sehingga proses penerbitan sertifikat suatu hak atas tanah dapat ditunda terlebih dahulu untuk dapat dilakukan penyelesaiannya, agar tidak ada yang merasa dirugikan. Akan tetapi kadang kala permasalahan sengketa tanah secara mediasi melalui Badan Pertanahan Nasional tidak beroleh penyelesaian yang hakiki.
5
Rusmandi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991, hal.22.
Penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di luar Pengadilan Negeri selain melalui Kantor Pertanahan Nasional, dapat juga dilakukan penyelesaian sengketa tanah melalui arbitrase. Arbitrase adalah merupakan penyelesaian suatu sengketa di luar Peradilan Umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa.6 Dalam negara Indonesia, praktek penyelesaian sengketa melalui mediasi ada 2 (dua) cara, yaitu : melalui lembaga peradilan (judikasi) dan lembaga non peradilan. Didalam lembaga peradilan yang berlaku di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui mediasi wajib dilakukan sebelum memasuki pokok perkara, baik itu oleh Peradilan Agama maupun Peradilan Umum, sedangkan penyelesaian sengketa yang melalui lembaga non peradilan, yaitu lembaga khusus yang menangani masalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau disebut juga Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penetapan ahli. Akan tetapi, biasanya penyelesaian sengketa melalui ADR ini lebih banyak dalam bidang bisnis. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam lembaga ini sifatnya tidak formal, sukarela, melihat kedepan, kooperatif dan berdasarkan kepentingan. Seorang Mediator membantu pihak-pihak yang bersedia merangkai kesepakatan yang memandang kedepan dan memenuhi kebutuhan dan standar kejujuran mereka sendiri. Akan tetapi tidak semua sengketa, termasuk sengketa tanah dapat diselesaikan melalui ADR, kadang kala penyelesaian sengketa melalui lembaga ini hanya bersifat semu karena tidak ada kekuatan hukum yang mengikat, sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan antara kedua pihak yang bersengketa, adakalanya tidak ditaati oleh salah satu pihak, disebabkan oleh adanya pengaruh kemajuan kondisi lingkungan dari objek sengketa. Padahal kesepakatan dan mufakat adalah nilai luhur Bangsa Indonesia yang harus dijunjung tinggi. Namun dengan adanya pengaruh era globalisasi, sehingga nilai luhur Bangsa Indonesia dalam hal penyelesaian suatu sengketa melalui musyawarah mufakat berubah menjadi sifat individualis yang lebih senang menyelesaiakan sengketa melalui lembaga peradilan. 6
UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Aternatif Penyelesaian Sengketa
Oleh sebab itu sengketa tanah berlanjut ke tingkat Pengadilan Negeri, dengan harapan seluruh sengketa tanah dapat beroleh penyelesaian dan beroleh putusan yang memuaskan para pihak yang bersengketa. Akan
tetapi,
pengalaman
pahit
yang
menimpa
masyarakat,
mempertontonkan sistem peradilan yang tidak efektif (ineffective) dan tidak efisien (inefficient). Penyelesaian suatu perkara memakan waktu bertahun-tahun, proses berbelit-belit, yang dililit lingkaran upaya hukum yang tidak berujung dengan kepastian hukum. Mulai dari tingkat pertama, banding, dan kasasi, serta peninjauan kembali. Setelah putusan berkekuatan hukum, eksekusi dibenturkan lagi dengan upaya verzet dalam bentuk partai verzet dan darden verzet. Pendek kata, tidak ada ujung kesudahannya. Memasuki gelanggang forum pengadilan, tidak ubahnya mengembara dan mengadu nasib di hutan belantara (adventure unto the unknown). Padahal, masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang cepat yang tidak formalistic atau informal procedure and can be put into motion quickly.7 Sesuai dengan asas peradilan yang cepat, ringan, biaya murah. Akan tetapi, sampai saat ini manusia di Negara manapun belum mampu mencipta dan mendesain sistem peradilan yang efektif dan efisien. Dalam hal tersebut diatas, Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya, hampir 100% berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or losing). Memperhatikan keadaan yang demikian, Mahkamah Agung terpanggil untuk lebih memberdayakan para Hakim menyelesaikan perkara dengan perdamaian dengan menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, hal ini sangat diharapkan agar semua sengketa tanah melalui Pengadilan Negeri dapat diselesaikan secara mediasi. Akan tetapi 7
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hIm.248
kenyataannya sesuai data awal yang diperoleh Penulis dari Pengadilan Negeri Limboto bahwa selang tahun 2013 ada 8 (delapan) kasus sengketa tanah yang masuk ke Pengadilan Negeri Limboto, tidak ada yang berhasil diselesaikan secara mediasi, sedangkan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2014 ada 13 (tiga belas) kasus sengketa tanah yang masuk ke Pengadilan Negeri Limboto dan hanya 1 (satu) yang berhasil diselesaikan secara mediasi. Mediasi adalah sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh seorang Mediator, sedangkan mediasi itu sendiri mempunyai pengertian bantuan atau bimbingan dari pihak ketiga untuk merumuskan langkah-langkah sebagai solusi dan membuat jalan keluar dengan keputusan perdamaian antara pihak yang berperkara atau dapat dikatakan. Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa penengah.8 Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan Hakim atau Arbiter, Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini, para pihak menguasakan kepada Mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.9
8
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003. Hal. 79 9 Djulia Herjanara, Pelaksanaan Mediasi Sebagai Instrument Efektif pada Pengadilan Agama dalam Rangka Pemenuhan Rasa Keadilan, Jurnal Ilmiah, Hal. 4
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan
cara
memutus
atau
memaksakan
sebuah
penyelesaian.10
Penyelesaian sengketa diluar Pengadilan yang sering digunakan adalah mediasi. Sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, mediasi adalah salah satu model penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan dan hanya berfungsi sebagai fasilitator untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan yang sedang saling bertabrakan. Model penyelesaian sengketa dengan cara mediasi yang demikian ini, menurut kalkulasi perhitungan biaya (cost) yang harus dikeluarkan dalam penyelesaian sengketa termasuk sangat murah serta sederhana dan tidak memakan waktu yang lama. Dalam sebuah proses mediasi, pihak yang paling berperan adalah pihakpihak yang bersengketa atau yang mewakili mereka. Mediator dan Hakim sematamata menjadi fasilitator dan penghubung untuk menemukan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Mediator atau Hakim sama sekali tidak dibenarkan untuk menentukan arah, apalagi menetapkan bentuk maupun isi penyelesaian yang harus diterima para pihak. Namun, Mediator atau Hakim diperbolehkan, menawarkan pilihan-pilihan berdasarkan usul-usul pihak-pihak yang bersengketa untuk sekedar meminimalisir perbedaan diantara mereka sehingga terjadi kesepakatan. Oleh sebab itu, penyelesaian dengan cara mediasi dapat dikatakan sebagai penyelesaian dari dan oleh masyarakat itu sendiri. Dari sini, mediasi dapat dipandang sebagai sebuah pranata sosial, bukan pranata hukum. Oleh sebab itu, pekerjaan mediasi bukanlah pekerjaan di bidang hukum, walaupun pekerjaan paling utamanya menyelesaikan sengketa hukum. Seorang Mediator tidak harus seorang ahli hukum. Syarat utama untuk menjadi seorang Mediator adalah kemampuan untuk mengajak dan meyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencari jalan yang terbaik menyelesaikan sengketa mereka (keahlian dalam teknik mediasi).
10
Pasal 1 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2008
Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan Hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.11 Keputusan perdamaian langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam Pasal 1851 KUHPerdata menentukan bahwa semua putusan perdamaian yang dibuat dalam sidang Majelis Hakim akan mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan Pengadilan lainnya dalam tingkat penghabisan. Putusan perdamaian itu tidak bisa dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau alasan salah satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian itu. Dalam Pasal 130 ayat (2) HIR ditentukan pula bahwa jika perdamaian dapat dicapai, maka pada waktu itupula dalam persidangan dibuat putusan perdamaian dengan menghukum para pihak untuk mematuhi persetujuan damai yang telah mereka buat. Tertutup untuk upaya banding dan kasasi. Oleh karena putusan perdamaian itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka baginya tertutup untuk adanya upaya banding atau kasasi. Artinya bahwa putusan itu sejak ditetapkan atau dijatuhkan oleh Hakim, maka sudah melekat, pasti dan tidak ada penafsiran lagi karena berdasarkan kesepakatan bersama, langsung dapat dijalankan kapan saja diminta oleh pihak-pihak yang melaksanakan perdamaian itu. Akta perdamaian mempunyai kekuatan eksekutorial.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian tentang proses penyelesaian sengketa tanah secara mediasi oleh Pengadilan Negeri Limboto adalah penelitian hukum Normatif Empiris maka sumber data utama yang diperlukan adalah bahan kepustakaan atau lazim disebut dengan data sekunder, sedangkan penelitian lapangan yang ditujukan untuk mendapatkan data primer hanya dilakukan sebagai bahan rujukan dan pelengkap, yang teknik pelaksanaanya dilakukan dalam bentuk wawancara dengan pihak Pengadilan Negeri Limboto.
11
Pasal 1 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008
HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Pengadilan Negeri Limboto dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi. Mediasi di Pengadilan merupakan pelembagaan dan pemberdayaan perdamaian sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam Pasal 130 HIR / Pasal 154 R.Bg, di mana sistem mediasi dikoneksikan dengan sistem proses berperkara di Pengadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di Pengadilan. Selain itu, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan dalam penyelesaian sengketa, disamping proses Pengadilan yang bersifat memutus. Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui, sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian, sehingga prosesnya lebih sederhana, murah, dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi sekarang Pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Dengan adanya program pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat mendorong kehidupan masyarakat Indonesia baik secara kualitas maupun kuantitas selalu mengalami peningkatan. Demikian halnya dampak dari program pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat mendorong dunia usaha untuk membuka usaha baru. Dari realitas tersebut bahwa luas tanah yang bersifat tetap, sedangkan jumlah penduduk dan pelaku usaha yang membutuhkan tanah untuk memenuhi kebutuhannya selalu bertambah terus. Dengan demikian luas tanah semakin sempit, sedangkan kebutuhan akan tanah makin bertambah. Tidak seimbangnya luas tanah yang semakin sempit dengan kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat. Hal ini dapat memicu timbulnya sengketa tanah. Dengan adanya sengketa tanah ini, para pihak yang bersengketa memerlukan perlindungan atas hak kepemilikan tanah terutama rakyat kecil yang menjadi korban atas penguasaan tanah oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai ekonomi yang mapan. Dengan adanya timbulnya sengketa tanah tersebut memerlukan peran aktif Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh Penulis mengenai peran Pengadilan Negeri Limboto dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi melalui wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Limboto dan salah seorang Hakim menyatakan bahwa : 1. Hakim sebagai Mediator wajib mengikuti prosedur berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, jika tidak mengikuti prosedur akibatnya putusan bisa batal demi hukum. 2. Pengadilan mendorong kepada para pihak untuk menyelesaiakan sengketa tanah secara mediasi. Sesuai data yang diperoleh Penulis di Pengadilan Negeri Limboto, bahwa terdapat 8 (delapan) sengketa tanah yang masuk selang bulan Januari sampai dengan Desember 2013, namun kenyataannya tidak ada yang berhasil diselesaikan
secara mediasi, sedangkan dari bulan Januari 2014 sampai dengan Juli 2014 terdapat 13 (tiga belas) sengketa tanah yang masuk ke Pengadilan Negeri Limboto dan hanya 1 (satu) yang berhasil diselesaikan secara mediasi. Dengan melihat data tersebut, dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (6) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menunjukkan bahwa perdamaian harus diupayakan semaksimal mungkin. Selanjutnya terkait dengan kewajiban dan tugas-tugas Mediator dalam proses mediasi di Pengadilan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 15 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan sebagai berikut : 1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. 2. Mendorong para pihak berperan langsung dalam proses mediasi. 3. Berwenang menyelenggarakan kaukus. 4. Mendorong para pihak melaksanakan perundingan berbasis kepentingan dengan cara menelusuri dan menggali kepentingan mereka, dan 5. Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Dengan membandingkan jumlah sengketa tanah yang masuk dan yang diselesaikan secara mediasi hanya satu sengketa tanah, kemudian dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (6) dan Pasal 15 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagaimana tercantum diatas, maka Penulis berpendapat bahwa peran Pengadilan Negeri Limboto masih kurang dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi. Hal ini disebabkan karena belum ada upaya-upaya para Hakim selaku Mediator untuk mendorong, memberikan pemahaman kepada para pihak yang bersengketa bahwa penyelesaian sengketa tanah secara mediasi adalah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, salah seorang Hakim di Pengadilan Negeri Limboto mengakui dihadapan Penulis bahwa sangat minimnya penyelesaian sengketa tanah yang diselesaikan secara mediasi karena masih kurangnya Mediator yang memiliki skill atau yang bersertifikat sehingga peran Pengadilan Negeri Limboto dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi belum begitu nampak.
Untuk
mewujudkan
peran
Pengadilan
Negeri
Limboto
dalam
menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi, seharusnya Ketua Pengadilan Negeri Limboto membuat program dalam hal memberikan pemahaman, mendorong para Hakim selaku Mediator untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan agar memperoleh sertifikat sehingga hasil penyelesaian sengketa tanah lebih cenderung diselesaikan secara mediasi, dan selanjutnya setiap tahun Pengadilan Negeri Limboto membuat target capaian penyelesaian sengketa tanah secara mediasi dan selanjutnya perlu dilakukan evaluasi. Faktor-faktor yang menghambat proses penyelesaian sengketa tanah secara mediasi oleh Pengadilan Negeri Limboto. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara diperoleh dari responden bahwa yang menghambat proses penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di Pengadilan Negeri Limboto terdiri dari 4 (empat) faktor : a. Masing-masing pihak ingin mempertahankan kehendak mereka atas hak kepemilikan tanah. Hal ini bisa terjadi karena para pihak mempunyai bukti kepemilikan tanah sebagai akibat dari kekeliruan pihak Kantor Pertanahan Nasional yang menerbitkan sertifikat ganda. Disini dituntut kejelian dan kemampuan Mediator dalam melihat keabsahan sertfikat dan/atau bukti kepemilikan tanah dari masing-masing pihak serta memberikan pemahaman kepada pihak yang mempertahankan kehendaknya, sedangkan disisi lain bukti kepemilikan tanah yang menjadi pegangannya mempunyai kelemahan hukum, maka alangkah baiknya pihak yang bersangkutan agar menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi dan ini adalah hal yang terbaik karena kedua belah pihak tidak mengalami kerugian yang tidak diharapkan. b. Masih kurangnya Mediator yang mempunyai keahlian (Skill) untuk melakukan mediasi atas sengketa tanah dan/atau yang bersertifikat. Pengadilan Negeri Limboto seharusnya berupaya menciptakan Mediator yang mempunyai
skill
dan
bersertifikat,
sehingga
berperan
aktif
untuk
mempengaruhi para pihak agar menyelesaikan sengketa tanah dengan cara
mediasi, dan dapat mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. c. Masih kurangnya pemahaman para pihak bahwa pentingnya penyelesaian sengketa tanah dengan cara mediasi. Sulitnya penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi karena kurangnya pemahaman para pihak yang bersengketa. Hal ini disebabkan masih kurangnya kemampuan Mediator untuk memberikan pemahaman kepada para pihak yang bersengketa. Sehingga para pihak lebih cenderung menyelesaikan sengketa tanah melalui peradilan. Padahal baik yang kalah maupun yang menang dalam peradilan sama-sama mengeluarkan dana yang besar untuk biaya peradilan. d. Harga diri Salah satu sebab sulitnya Mediator menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi karena adanya harga diri yang merupakan suatu budaya untuk mempertahankan kepemilikan tanah, walaupun salah satu pihak mempunyai bukti kepemilikan tanah yang lemah menurut pandangan hukum. Hal tersebut diatas memerlukan kemampuan dan ketabahan Mediator untuk menghadapi para pihak yang bersengketa guna menghilangkan budaya sebagaimana tersebut diatas, sehingga lamban laun faktor harga diri ini bisa berkurang. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka Penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Peran Pengadilan Negeri Limboto dalam menyelesaikan sengketa tanah secara mediasi masih kurang atau belum begitu nampak. 2. Faktor-faktor yang menghambat proses penyelesaian sengketa tanah secara mediasi oleh Pengadilan Negeri Limboto adalah sebagai berikut : a)
Masing-masing pihak yang bersengketa ingin mempertahankan kehendak mereka atas hak kepemilikan tanah.
b) Masih kurangnya Mediator yang mempunyai keahlian (Skill) untuk melakukan mediasi atas sengketa tanah dan/atau yang bersertifikat. c)
Masih kurangnya pemahaman para pihak bahwa pentingnya penyelesaian sengketa tanah dengan cara mediasi.
d) Masing-masing pihak mempertahankan harga diri. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka Penulis menyarankan sebagai berikut : 1. Ketua Pengadilan Negeri Limboto kiranya membuat program dalam hal memberikan pemahaman, mendorong para Hakim selaku Mediator untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan agar memperoleh sertifikat sehingga hasil penyelesaian sengketa tanah lebih cenderung diselesaikan secara mediasi. 2. Hakim sebagai Mediator di Pengadilan Negeri Limboto kiranya wajib mengikuti prosedur berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, jika tidak mengikuti prosedur akibatnya putusan bisa batal demi hukum 3. Pihak Pengadilan Negeri Limboto kiranya setiap tahun membuat target capaian penyelesaian sengketa tanah secara mediasi dan selanjutnya perlu dilakukan evaluasi. 4. Pihak Pengadilan Negeri Limboto kiranya dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah agar melakukan sosialisasi hukum yang meliputi perlunya bukti kepemilikan tanah, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa penyelesaian sengketa tanah secara mediasi jauh lebih baik daripada diselesaikan melalui peradilan. 5. Kiranya Pemerintah Daerah diwilayah hukum Pengadilan Negeri Limboto, agar memprogramkan bantuan pemberian sertifikat kepada masyarakat yang tidak mampu yang bekerja sama dengan Kantor Pertanahan Nasional setempat.
6. Pemerintah Daerah diwilayah hukum Pengadilan Negeri Limboto kiranya menganjurkan kepada pemilik tanah dan penggarap mempunyai perjanjian tertulis yang disaksikan Kepala Desa dan/atau Camat. Karena masalah ini sering menimbulkan sengketa.
DAFTAR RUJUKAN Djulia Herjanara, Pelaksanaan Mediasi Sebagai Instrument Efektif pada Pengadilan Agama Dalam Rangka Pemenuhan Rasa Keadilan, Jurnal Ilmiah M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta R. Soehadi, 1995, Penyelesaian Sengketa Tanah, Karya Anda, Surabaya Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung Rusmandi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta
Peraturan Perundang-Undangan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan