JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor6 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014
TINJAUAN HUKUM PENYIARAN TERHADAP PENYELENGGARAAN DIGITALISASI TELEVISI TERESTRIAL PENERIMA TETAP TIDAK BERBAYAR DI KOTA SAMARINDA (Eben Rusliyanto M)1 (
[email protected]) (Safarni Husain)2 (
[email protected]) (Deny Slamet Pribadi)3 (
[email protected]
ABSTRAK Penyelenggaraan penyiaran secara digital yang termuat dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyele-nggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, adanya ketidaksesuaian dari peraturan pelaksana tersebut. Perubahan tersebut dapat dilihat pada penyelenggaraan televisi secara digital yang mengalami penambahan dan pengurangan. Baik itu lembaga penyiaran ataupun kewenangan dari Komisi Penyiaran Indoneisa. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empiris, dengan jenis dan sumber data primer dan data sekunder dan proses analisa yang digunakan adalah kualitatif. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah kebijakan terhadap perubahan penyiaran televisi secara analog ke digital tidak sesuai, antara lembaga penyelenggara multipleksing dan penyalur program siaran. Kurangnya koordinasi antara komisi penyiaran indonesia dengan pemerintah dibidang penyiaran maka terbitlah peraturan menteri komunikasi dan informatika yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital Dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial sebagai aturan teknis yang melampauin operasional dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Lembaga penyiaran swasta yang belum siap saat ini khususnya di Kota Samarinda. Untuk menyelenggarakan migrasi penyiaran televisi analog ke digital serta kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat masih belum mengerti dan memahami perbedaan antara televisi analog dengan digital. Dari regulasi penyiaran itu sendiri belum mampu dijadikan sebagai dasar acuan dalam peraturan menteri sebab peraturan perundang-undangan yang ada belum dijelaskan secara spesifik mengenai sistem penyiaran digital. Sehingga peraturan menteri komunikasi dan informatika tidak sesuai dengan aturan yang ada. Kata Kunci: Kebijakan, Regulasi Penyiaran, Televisi Digital.
1 2 3
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
(Review Law Of Broadcasting For Implementation Digital Of Television Terrestrial The Free To Air Recipients In The Samarinda City) (Eben Rusliyanto M)4 (
[email protected]) (Safarni Husain)5 (
[email protected]) (Deny Slamet Pribadi)6 (
[email protected]
Abstract Digital broadcasting contained in the Regulation of the Minister of Communication and Information Number 32 Of 2013 on the Implementation of Digital Television Broadcasting In Through Multiplexing and Broadcasting Terrestrial System which is the implementing regulations of Law Number 32 Of 2002 on Broadcasting, the discrepancy of regulatory implementers. The changed can be seen in the implementation of digital television which has the addition and subtraction. Neither broadcasters nor the authority of the Indonesian Broadcasting Commission. This study used a normative-empirical approach, with the types and sources of primary and secondary data than the data can be analyzed qualitative data. The results obtained from this study is the policies to change the analog television broadcasting to digital is not appropriate, between the providers and resellers multiplexing broadcast program. A lack of coordination between the Broadcasting Commission Indonesian to Government regulation was published in the field of them. The minister of communication and information inconsistency with the legislation. Therefore The Minister Of Communication And Informatics Regulation Number 32 of 2013 on The Implementation Of Digital Television Broadcasting And Terrestrial Broadcasting System As A Multiplexing through the technical rules of overreach Regulation Number 32 of 2002 on Broadcasting. Private broadcasters are not ready at this time, especially in the City of Samarinda. To organize the migration of analogue to digital television broadcasting as well as the lack of socialization so that the public still do not know and understand the difference between analog to digital television. From the broadcasting regulation itself has not been able to serve as a basic reference in the ministerial regulation because the rules of exsiting legislation has not explained specifically regarding digital broadcasting system. So the minister of communication and informatics regulation is not in accordance with the existing rules. Keywords: Policy, Regulation Broadcasting, Digital Television.
4 5 6
2
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
PENDAHULUAN Dalam konteks kekinian dimana Indoneisa dalam menghadapi era globalisasi ini, yaitu menjaga dan meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional, menyalurkan
pendapat
umum
serta
mendorong
peran
aktif
masyarakat
dalam
pembangunan nasional dan daerah serta mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi ini sangat sulit sekali ditemukan, justru hal sebaliknya malah yang sering ditemukan seperti tidak berkembangnya lembaga penyiaran swasta di daerah dalam menyalurkan pendapat umum sebagai suatu sarana dalam mendorong peningkatan kemampuan daerah, dan mesti bersaing dengan lembaga penyiaran swasta yang mampu bersiaran secara nasional. Proses migrasi sistem penyiaran dari analog ke sistem digital merupakan tuntutan teknologi untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan frekuensi radio dan memenuhi kebutuhan bandwidth di masa datang. Jika melihat perjalanan proses migrasi penyiaran menuju ke sistem digital di Indonesia masih mengalami banyak persoalan. Seperti adanya seleksi Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) sehubungan dengan rencana diberlakukannya digitalisasi penyiaran, menimbulkan kekhawatiran di stasiun televisi – televisi lokal. Salah satu yang jadi sorotan adalah mengenai pemberlakuan pola multipleksing. Pola pengaturan multipleksing yang diserahkan pada masing – masing stasiun televisi akan menimbulkan kemubaziran barang. Faktanya, stasiun-stasiun televisi lokal yang sudah membangun tower dan jika harus segera diganti tower yang lama tidak terpakai lagi. Adanya peraturan ini mengakibatkan penyiaran televisi berbasis analog tidak dapat beroperasi kecuali menggantikannya dengan digital. Namun, secara implementasi kebijakan ini menguntungkan lembaga penyiaran swasta yang memiliki banyak modal. Bahkan pelaksanaan digitalisasi penyiaran ini bila diterapkan pada wilayah Kalimantan Timur yang masuk pada zona layanan 14 (empat belas) kurang cocok. Dipengaruhi dari kondisi alam di wilayah Kalimantan Timur yang begitu terjal dan banyak pegunungan, sehingga sinyal yang dipancarkan tidak dapat ditangkap dengn baik oleh antena walaupun sudah dipasangkan alat bantu penerima siaran televisi digital (set
top box). Karena berbeda dengan sinyal anolog yang dapat ditangkap walaupun kodisi alam 3
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
banyak pengunungan. Hal ini akan menjadi tantangan bagi penyelenggara penyiaran multipleksing untuk dapat memposisikan menaranya sejajar dengan menara lainya. Jika melihat kesiapan Lembaga Penyiaran Swasta di Kalimantan Timur sendiri belum dapat bersaing dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki modal besar.7 Bahwa masih dimungkinkan siaran analog pada tahun 2015 ini sehingga memberi kesempatan untuk mengkaji kebijakan suatu periode dimana penyelenggaraan layanan siaran analog dihentikan (total cut-off), terutama terkait dengan wilayah-wilayah blank spot. Perlu juga agar dikaji kemungkinan migrasi secara alami sehingga pilihan untuk menonton siaran digital atau analog berada di tangan konsumen/penonton (viewer) bukan dipaksakan untuk membeli kelengkapan tambahan atau mengganti televisi. Dengan cara ini perlahan lahan akan beralih ke teknologi siaran televisi digital tanpa terputus layanan siaran yang digunakan selama ini seperti migrasi dari AM ke FM.8 Proses beralih dari penyiaran televisi analog ke televisi digital, yakni sistem yang mentransmisikan audio maupun video melalui pemprosesan digital dan sinyal multipleksing, sinyal yang sangat berbeda dengan yang selama ini digunakan dalam televisi analog. Sebelum adanya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial, peraturan menteri sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerima Tetap Tidak Berbayar belum terlihat secara spesifik mengatur mengenai proses migrasi televisi analog ke televisi digital, dan sampai saat ini sejak dikeluarkannya peraturan teknis yang baru dari revisi peraturan sebelumnya, sedangkan revisi Undang-undang Penyiaran masih dalam pembahasan sehingga masih ada tanggapan dari Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq bahwa proses digitalisasi penyiaran agar ditunda hingga selesainya revisi Undang-undang Penyiaran bila dilihat peraturan menteri
7 Hasil wawancara dengan dengan Ibu Lily, Kepala Sub Bidang Telekomunikasi Pada Dinas Pos Dan Telekomunikasi Kalimantan Timur, Pada tanggal, 12 Desember 2013, Pukul 13.25 WITA. 8 Hasil wawancara bersama Ibu Wiwid sebagai Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalimantan Timur Periode 2013, Pada tanggal 12 Desember 2013, Pukul 10.00 WITA.
4
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
yang ada dapat berbenturan kembali.9 Bahkan secara yuridis pengaturan serta pelembagaan perizinan penyelenggaraan penyiaran televisi digital terestrial belum menjamin arah pencegahan monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran sebagaimana diamanatkan Undang – undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun substansi dan esensi dari perubahan itulah yang perlu dikaji dengan penelitian secara ilmiah apakah benar perubahan yang dilakukan pada isi-isi pasal dalam peraturan menteri dapat menjamin bahwa Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2013 tersebut lebih progres daripada Undang-Undang tentang Penyiaran dan dapat menjawab kebutuhan masyarakat sesuai tujuan hukum. Penelitian ini menggunakan metode normatif-empiris dengan melihat singkronisasi suatu aturan serta kenyataan hukum dalam pelaksanaannya. Dimulai dari pendekatan undang-undang serta kasus yang ditinjau secara komperhensif peraturan yang satu dengan lainnya mengenai hal tersebut. Dalam kajian ini menekankan bahwa perlunya suatu peraturan yang jelas agar proses pelaksanaannya bisa berjalan sesuai aturan. Jenis dan sumber data dalam penelitian ini memerlukan sumber-sumber penelitian seperti bahan hukum sekunder, primer dan tersier yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan narasumber dan melaui sumber pustaka. Kemudian dilakukan dengan cara pemeriksaan data, rekonstruksi data, sistematis data setelah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, yakni menganalisa implementasi kebijakan penyiaran terhadap penyelenggaraan digitalisasi televisi terestrial penerima tetap tidak
berbayar
dan
keterkaitan
aturan-aturan
hukum
penyiaran
dalam
rangka
penyelenggaraan digitalisasi televisi terrestrial.
9 Soal digitalisasi televisi KPI seharusnya dilibatkan, Dilansir oleh Antaranews.com, Editor Desy Saputra, http://www.antaranews.com/berita/421097/soal-digitalisasi-televisi-kpi-seharusnya-dilibatkan, Diakses tanggal 23 Ferbruari 2014, Pukul 14.21 WITA
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
PEMBAHASAN Implementasi
Kebijakan
Penyiaran
Terhadap
Penyelenggaraan
Digitalisasi
Televisi Terestrial Di Kota Samarinda Pemerintah mengambil kebijakan penyelenggaraan penyiaran televisi digital melalui sistem terestrial berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut (a) Hak publik untuk mendapatkan informasi tidak terputus; (b) Hak lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan usaha penyiarannya tetap dijamin dan; (c) Efisiensi penggunaan sperktrum frekuensi radio. 10 Bentuk komitmen Pemerintah dalam menerapkan penyiaran televisi secara digital telah mempersiapkan beberapa hal kebijakan yang terwujud dalam bentuk regulasi. Langkah kebijakan tersebut juga terwujud dalam rencana kebijakan pemerintah ke depan mengenai pelaksanaan penyiaran televisi secara digital antara lain seperti Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio Untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Teresterial Pada Pita Frekuensi Radio 478 – 694 MHz, Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 117 tahun 2014 tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free-to-air) di Zona Layanan 4 (DKI Jakarta dan Banten), 5 (Jawa Barat), 6 (Jawa Tengah dan Jogjakarta), 7 (Jawa Timur) dan 15 (Kepulauan Riau). Dari kebijakan yang diambil pemerintah dengan membentuk perubahan dalam sistem penyelenggaraan penyiaran dari penyelenggara multipleksing dan penyelenggara program siaran, menimbulkan masalah baru di dunia penyiaran, selain itu mulai terjadi hilangnya kewenangan dari KPI mengenai proses perizinan penyiaran. Hal ini disebabkan oleh peranan Kementerian Komunikasi Dan Informatika yang berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 berfungsi sebagai pelayanan dibidang
10 Peratruan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penetapan Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing.
6
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
perizinan secara menyeluruh, kondisinya kini tidak hanya menangani secara administratif tetapi juga ikut lansung dalam penentuan kebijakan perihal perizinan penyiaran tersebut. Secara definitif, kebijakan mengenai migrasi siaran analog ke digital adalah perbuatan hukum atau keputusan hukum yang dilaksanakan oleh pejabat pemerintah yang fungsinya adalah mengarahkan jalannya kehidupan masyarakat. Dengan demikian, obyeknya adalah peraturan-peraturan kebijakan yang materi peraturan secara umum mengenai bagaimana instansi pemerintah akan menyelenggarakan kewenangan pemerintah. Oleh karena itu, isi peraturan tersebut diantaranya adalah penetapan-penetapan, rencanarencana, atau hal-hal yang terkait dengan kedudukan pemerintah ketika melakukan perbutan hukum dalam bidang hukum privat.11 Mengacu pada teori perundang-undangan, peraturan kebijakan berbeda dengan peraturan perundang-undangan. Beberapa perbedaan tersebut diantaranya ialah sebagai berikut (a) peraturan kebijakan sumber kewenangannya berada pada kekuasaan eksekutif, sedangkan peraturan perundang-undangan sumber kewenangannya berada pada kekuasaan legislatif; (b) peraturan kebijakan dapat menjadi obyek peradilan tata usaha negara, sedangkan peraturan perundang-undangan tidak dapat; (c) peraturan kebijakan hanya boleh memuat sanksi administratif, sedangkan peraturan perundang-undangan dapat memuat sanksi administratif dan sanksi pidana.12 Peraturan kebijakan yang berupa penetapan dikatakan negatif apabila bersifat penolakan terhadap permohonan dari masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan, penetapan positif dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan yaitu penetepan yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya, penetapan yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu obyek tertentu saja, penetepan yang membentuk, mencipta, atau membubarkan suatu badan hukum, penetapan yang memberi beban kepada suatu badan atau perorangan, penetapan yang memberi keuntungan kepada suatu instansi, badan,perusahaan, atau perorangan, yang meliputi pemberian: dispensasi, izin, lisensi, atau konsesi.13
11
12 13
Edmon Makarim. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. RajaGrafindo Persada. Jakarta, Halaman 506
Ibid Ibid. 7
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
Pembuatan kebijakan dalam suatu sistem yang baru membutuhkan banyak penambahan dan penyesuaian. Migrasi sistem siaran analog ke digital tersebut memiliki sistem tersendiri, juga memiliki aturan sendiri yang berlaku dalam sistem tersebut. Peraturan dan kebijakan yang dibuat juga harus disesuaikan dengan peraturan maupun konvensikonvensi yang ada di dunia internasional, karena perkembangan siaran digital muncul terlebih dahulu dari luar negeri dan mereka telah membuat peraturan dan kesepakatan yang diakui dan ditaati. Implementasi penyiaran televisi digital melalui tiga tahap utama, yaitu tahap pertama yang fokus pada uji coba lapangan serta seleksi perizinan baru untuk penyiaran digital dan penyelenggara penyiaran secara simulcast serta memberikan dukungan industri dalam negeri untuk menyediakan perangkat tambahan (set top box) di sisi penerima. Sementara untuk tahap kedua dilanjutkan dengan penyelenggaraan periode
simulcast lanjutan, serta mempercepat perizinan baru di Daerah Ekonomi Kurang Maju (DEKM). Untuk tahap ketiga yang merupakan tahap akhir dari pelaksanaan penyiaran digital yaitu dengan melakukan penghentian penyiaran televisi analog secara total di seluruh wilayah layanan. Melihat dari rencana jangkauan televisi digital tersebut seharusnya pada tahun 2013 wilayah layanan 14 yaitu Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan seharusnya sudah melakukan uji coba lapangan kurang lebih satu tahun serta moratorium izin baru televisi analog. Namun temuan yang didapat dari hasil penelitian saat di Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kalimantan Timur masih menunggu sebagaimana telah ditentukan dalam jadwal pelaksanaan pada tahun 2015 mendatang. Meskipun begitu Pemerintah Kota Samarinda serta KPID Kalimantan Timur tetap serius dalam proses migrasi siaran analog ke siaran digital. Melihat bahwa kebijakan migrasi siaran analog ke digital ini adalah sebatas pada alih teknologi atau penggantian alat penyiaran ke perangkat digital. Akan tetapi dari KPID kenyataannya tidaklah sesederhana seperti itu, karena dalam migrasi penyiaran dari analog ke digital nantinya merubah struktur pengelolaan televisi khususnya televisi lokal yang dulunya mempunyai hak pakai atas frekuensi yang telah melalui tahapan
8
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
proses perizinan untuk mendapatkan ijin penyelenggara penyiaran, dengan sistem digital mereka harus memulai dari awal lagi proses perizinan tersebut.14 Sementara bagi lembaga penyiaran swasta lainnya televisi lokal hanya sebagai penyelenggara
program
siaran
maka
akan
bekerja
sama
dengan
penyelenggara
multipleksing inilah yang dirasakan oleh lembaga penyiaran swasta di daerah seperti di Kota Samarinda akan dirugikan kalau belum adanya batasan-batasan dari pemerintah terkait tarif sewa. Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh penulis kesanggupan dari televisi lokal untuk menjadi penyelenggara multipleksing, dinilai cukup menguras modal sehingga bagi televisi lokal tidak mungkin bisa untuk mengikuti tender tersebut. Dari hasil penelitian dengan pihak KPID dan Pemerintah diperoleh bahwa setiap wilayah terdapat 6 lembaga penyelenggara multipleksing yaitu LPP TVRI dan 5 dari LPS. Jumlah ini paling optimal sesuai kondisi penyiaran. Sebagaimana dalam Siaran Pers Nomor 34/PIH/KOMINFO/4/2013 tentang Hasil Seleksi Penyelenggara Penyiaran Multipleksing Televisi Digital Untuk Wilayah 1 (Aceh Dan Sumatra Utara) Dan Wilayah 14 (Kalimantan Timur Dan Kalimantan Selatan). Untuk penyelenggara penyiaran multipleksing Kementrian Komunikasi Dan Informatika (KOMINFO) menetapkan sebagai berikut (a) PT Trans7 Pontianak Samarinda dengan nama sebutan di udara Trans7 Samarinda; (b) PT GTV Tujuh dengan nama sebutan di udara Global TV; (c) PT Lativi Mediakarya Manado dan Samarinda dengan sebutan di udara tvOne Samarinda; (d) PT Media Televisi Banjarmasin dengan sebutan di udara Metro TV Kalsel; (e) PT Surya Citra Multikreasi dengan sebutan di udara SCTV Banjarmasin. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial disebutkan bahwa Pasal 3 ayat (1) Penyelenggaraan penyiaran televisi secara digital melalui sistem terestrial dilaksanakan oleh LPP TVRI, LPP Lokal, LPS dan LPK. Ayat (2) Penyelenggaraan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial dilaksanakan oleh LPP TVRI, dan LPS. Menurut Pasal 4 menerangkan LPP Lokal dan LPK dalam menyelenggarakan program siaran harus bekerja sama dengan LPP TVRI begitu juga
14 Hasil wawancara oleh Bapak Syamson, Staff Bidang Perizinan di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan timur, pada tangga 1 April 2014, Pukul 10.00 WITA.
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
dengan LPS dalam menyelenggarakan program siaran harus bekerja sama dengan LPS. Selain itu dalam Pasal 5 menerangkan penyelenggara multipleksing hanya dapat menyalurkan program siaran dari LPP Lokal, LPK dan LPS yang berada dalam wilayah layanan yang sama, serta dapat menyelenggarakan lebih dari satu wilayah layanan pada provisnsi yang sama. Menurut pasal 12 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 28 Tahun 2013 menerangkan terkait biaya sewa saluran siaran yang dibayar oleh penyelenggara program siaran kepada penyelenggara multipleksing sudah termasuk biaya hak pengguna frekuensi. Dari semua uraian tersebut, baik dalam lingkup luas dan lingkup kecil adalah penerapan migrasi siaran analog ke digital terletak kepada sejauhmana kebijakan tersebut mengakomodir keberadaan sistem komunikasi dan telematika dan sistem kemasyarakatan itu sendiri. Menurut analisis penulis dari persoalan seputar peranan televisi digital tersebut, memang tak bisa dipungkiri potensial teknologi ini bagi kepentingan kehidupan masyarakat. Di satu sisi, teknologi ini merupakan akumulasi dari proses pemikiran, inovasi dan kreasi manusia melalui perjalanan yang panjang dan merupakan konvergensi dari capaian-capaian besar di bidang teknologi. Di sisi lain, informasi dan komunikasi itu sendiri merupakan aspek penting dan mendasar dalam kegiatan intelektual masyarakat. Selain peranan pemerintah di Kota Samarinda dan lembaga penyiaran perlu juga mempertimbangkan bahwa bagi masyarakat di Kota Samarinda yang utama bukanlah untuk menjadi juri yang ingin menilai dan menghentikan migrasi siaran analog ke digital itu. Alih-alih seperti itu kiranya sikap yang lebih realistis dan kontruktif adalah memahami dan menanggapi kondisi perubahan dari teknologi ke masyarakat yang sedang terjadi saat ini untuk memfungsikan televisi digital guna melangkah ke depan membawa kita pada pemahaman tentang hubungan antara teknologi dan masyarakat. Disisi lainnya proses penyelenggaraan televisi secara digital adanya pembagian dari lembaga penyiaran menjadi lembaga penyiaran penyelenggara multipleksing dan lembaga penyiaran penyelenggara program siaran, sehingga harus saling bekerjasama. Selain itu dalam kerjasama tersebut adanya tarif biaya sewa saluran siaran pengguna biaya hak pengguna frekuensi. Padahal bila mengacu pada Undang – undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran belum adanya pembagian dari lembaga penyiaran 10
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
karena pada saat disahkan sistem penyiaran masih menggunakan sistem analog sehingga perlu kebijakan yang khusus untuk mengakomodasi seoptimal mungkin agar siaran digital tetap legal. Dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio dan televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran dan satu cakupan wilayah siaran. Sementara siaran televisi digital mampu menyelenggarakan satu siaran dengan enam saluran sekaligus pada wilayah yang sama. Menurut penulis hal inilah yang mesti diatur kembali selain aturan teknis dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika 32 Tahun 2013 sendiri
melebihi aturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga terkesan
menjadi tidak legal untuk mengatur proses televisi secara digital dan tidak ada keterangan yang pasti terkait batasan antara pemisahan lembaga penyiaran dan banyak menimbulkan kerugian bagi dunia bisnis penyiaran karena jasa penyiaran saat ini sebenarnya masih belum siap terutama jasa penyiaran lokal. Oleh karena itu, diperlukan langkah untuk melakukan perubahan terhadap Undangundang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Hal ini mejadi kebijakan untuk migrasi siaran analog ke digital bisa saja gagal dikarenakan peraturan perundang-undangan saat itu masih menggunakan sistem analog tanpa memasukan unsur-unsur sistem digital. Kalaupun ada itu mengatur lembaga penyiaran berlangganan yang terbatas pada konsumen yang menggunakan jasanya. Sehingga kebijakan untuk migrasi siaran analog ke digital perlu meletakan industri penyiaran dalam sektor khusus, dengan pertimbangan bahwa industri penyiaran ini mempergunakan sumber daya milik publik. Maka tidak seharusnya diberi kebebasan untuk memanfaatkan demi kepentingan pribadi. Menyadari bahwa industri penyiaran harus dipisahkan dari industri lainnya, karena dampak yang ditimbulkan tidak dapat dihitung dengan kalkulasi ekonomis yang rasional.
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
Regulasi yang berlaku terhadap penyelenggaraan digitalisasi televisi di Kota Samarinda Secara umum penyelenggaraan digitalisasi penyiaran televisi yang diatur dalam Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor
32
Tahun
2013
tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial merupakan aturan baru dalam proses migrasi siaran analog ke siaran digital. Walaupun aturan baru tapi masih terlihat sama dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) Nomor 40 P/HUM/2012 pada tanggal 03 April 2013. Sementara pada peraturan perundang-undangan belum mengakomodasi adanya digitalisasi penyiaran. Sejauh ini
dari penelitian penulis dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kota
Samarinda melalui lembaga terkait mengenai regulasi penyiaran televisi untuk migrasi dari analog menuju digital belum sama sekali mengeluarkan ataupun membahasnya. Karena saat ini pemerintah daerah masih memfokuskan untuk segera mengeluarkan peraturan daerah tentang penyiaran televisi berlangganan. Sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur masih disibukkan dengan pembenahan masalah di tubuh internal sehingga tugas utama untuk membuat dan membahas peraturan daerah menjadi terabaikan. Maka dari itu belum terlihat kerja KPID di mata masyarakat. Sebab selama dibentuknya KPID tidak ada satupun terlihat peraturan daerah terkait penyiaran di Kota Samarinda. Hal ini menjadi bertambahnya tugas dari lembaga terkait untuk membahas khususnya proses migrasi siaran analog ke siaran digital.15 Sehingga fokus pada pembahasan ini mengenai regulasi penyiaran di Kota Samarinda adalah Peraturan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebagaimana dapat
15 Hasil wawancara bersama Ibu Wiwi sebagai Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalimantan Timur Periode 2013, Pada tanggal 12 Desember 2013, Pukul 10.00 WITA.
12
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
menjadi materi muatan yang berlaku untuk dicantumkan dalam peraturan daerah di Kota Samarinda. Maka penulis ingin menjelaskan atau mengkaji regulasi penyiaran secara digital. Berdasarkan pengamatan penulis bahwa Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika terdapat ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan. Dalam Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informasi
Nomor
32
Tahun
2013
tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial sebagai aturan teknis melampauin operasional dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Hal itu dapat terlihat pada Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) yang terdiri dari dua (2) penyelenggaraan penyiaran secara digital, yaitu penyelenggara penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial, dan penyelenggara penyiaran televisi secara digital melalui sistem terestrial sedangkan dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 yang berbunyi “Jasa Penyiaran terdiri dari Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK)”. Maka menurut analisis penulis peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dalam hal demikian Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika yang secara hierarki lebih rendah dari Undang- undang Penyiaran seharusnya bisa disisihkan. Jadi perlu dibuatkan kembali peraturan yang tingkatannya lebih tinggi atau merevisi peraturan perundang-undangan yang ada supaya dapat mengatur masalah proses migrasi penyiaran dan kewenangan tiap instansi yang telah diatur agar dapat dilibatkan kembali. Perihal regulasi terkait dengan spekturum frekuensi radio disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang merupakan landasan konstitusional Indonesia menyatakan bahwa, “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara 1960-104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa, “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
13
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa, “Dalam sistem penyiaran nasional negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sedangkan penggunaan spektrum radio Pasal 33 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi berbunyi “penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib menapatkan izin pemerintah sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling menggangu serta melakukan pengendalian dan pengawasan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit. Sejalan dengan itu dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, menjelaskan lebih detil yang terdiri dari pembinaan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit dilakukan oleh menteri. Maka melihat pada Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dijelaskan penyesuaian peruntukan radio dilakukan karena adanya perubahan alokasi frekuensi radio internnasional dimungkinkan adanya perkembangan dan perubahan teknologi. Penyesuaian peruntukan dimaksud merupakan hasil kajian konvensi yang dilaksanakan, disepakati dan dituangkan dalam ketentuan terestrial. Maka menurut penulis mengenai sumber daya alam terhadap spektrum frekuensi tentu harus dialokasikan dengan berhati-hati untuk kepentingan orang banyak, pada tingkatan yang layak dan tidak untuk dihambur-hamburkan. Makna penting dari posisi ini dengan sendirinya menentukan pula letak hierarkinya, ketika hendak dinilai urutannya dalam posisi perundang-undangan. Dalam posisi sebagai sumber dari sumber daya alam, maka makna dan cakupan spektrum harus lebih tinggi dari bagiannya. Tetapi hal seperti itu ternyata tidak dapat menjelaskan alokasi frekuensi yang terjadi kerena tidak dijalankan secara konsisten. Dalam argumentasi mengenai penafsisran Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, pemerintah rupanya tidak dapat membedakan mana sumber daya alam yang menduduki jenjang teratas dengan terbawah. Rupanya hanya mengacu pada 14
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
kutipan konsiderans Undang-Undang itu tanpa penjelasan bagaimana konsep itu menjadi diterjemahkan
dalam
alokasi
perizinan.16
Tata
cara
dan
persyaratan
perizinan
penyelenggaraan penyiaran televisi secara digital melalui sistem terestrial. Dalam Pasal 10 Peraturan
Menurut
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor
32
Tahun
2013
menyebutkan bahwa untuk dapat menyelenggarakan penyiaran televisi secara digital melalui sistem terestrial, penyelenggara wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran dari menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan Pasal 13 ayat (2) Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor
32
Tahun
2013
menyebutkan
LPS
menyelenggaraakan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial berdasarkan penetapan Menteri setelah melalui proses seleksi. Kemudian melihat pada Pasal 9 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 28 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Jasa Penyiaran Televisi Secaara Digital, perizinan penyelenggara program siaran mengacu pada perizinan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran. Tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan televisi secara digital, dimana berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 33 ayat (4) izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh masukan dari hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI, rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI, hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah dan izin alokasi penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah asal usulan KPI. Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana diuraikan diatas secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI.17 Menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08 Tahun 2007 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Penyiaran, Menteri mengumumkan secara terbuka peluang usaha penyelenggaraan penyiaran secara periodik setiap 10 (sepuluh) tahun sekali untuk jasa penyiaran televisi untuk setiap wilayah jangkuan siaran. Sedangkan pada Pasal 6
16 Lihat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital Melalui Sistem Terestrial. 17 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
15
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
menjelaskan lembaga penyiaran swasta dalam menyelenggarakan penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran dari menteri. Dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08 Tahun 2007 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Penyiaran, KPI melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran dan menteri melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administrasi dan data teknik penyiaran, dalam jangka waktu tertentu menteri menerima rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dan usulan alokasi penggunaan spektrum frekuensi radio dari KPI, setelah itu mengundang KPI dan instansi terkait untuk mengadakan forum rapat bersama. Menurut analisis penulis setelah melihat peraturan mengenai penyelenggaraan penyiaran televisi secara digital, maka dari tata cara perizinan berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 mengakibatkan kewenangan antara KPI dan Pemerintah akan terpisah dalam menentukan izin penyelenggara penyiaran bagi
lembaga penyiaran penyelenggara
multipleksing. Disatu sisi KPI yang melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran, ini berarti penyelenggara penyiaran televisi secara digital bisa saja mendapat izin penyelenggara penyiaran dari KPI, selain tugas dan fungsinya yang mengawasi isi siaran. Hal ini sama dengan penyelenggara televisi secara digital yang nantinya hanya menyalurkan program siaran yang kemudian di salurkan melalui sistem terestrial. Di sisi lainnya pemerintah melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administrasi dan data
teknik penyiaran.
Hal ini berarti penyelenggara penyiaran
multipleksing bisa dikatakan dalam mendapatkan izin penyelenggaraan penyiaran hanya dari menteri. Karena proses migrasi siaran analog ke digital memang lebih kepada teknis dari pemancar penyiaran. Namun yang perlu diperhatikan disini KPI juga perlu dilibatkan dalam tata cara perizinan dalam memberikan rekomendasi kelayakan dan penggunaan spektrum frekuensi radio.
16
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
Penutup Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : Kebijakan migrasi televisi secara analog ke siaran digital seharusnya melibatkan berbagai badan atau pemerintah. Mereka memerlukan koordinasi yang dapat berupa koordinasi fungsional. Dalam fungsinya pemerintah tidak mengontrol keseluruhan proses kebijakan karena telah ada badan independen yang diberi kebebasan dengan derajat tertentu. Dan dalam penyelenggaraan digitalisasi penyiaran adanya perubahan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dari segi pelaksanaannya. Efek dari hal ini adalah terjadinya kemacetan dalam birokasi dan kebijakan. Kekecewaan terhadap percobaan – percobaan digitalisasi penyiaran ini turut berpengaruh pada implementasi migrasi siaran analog ke digital. Kekecewaan ini menyebabkan beberapa LPS di daerah patah semangat, menggagalkan rencana – rencana awal mereka. Karena tidak semua daerah memiliki potensi yang sama. Selain itu proses transisi siaran analog ke digital telah menumbuhkan kekecewaan yang besar di kalangan masyarakat. Proses ini merupakan sebuah perkembangan teknologi yang menempatkan masyarakat sebagai posisi penonton pasif, yang dalam keadaan tertentu diwajibkan menyesuaikan diri terhadap tontonan elitis dari konten-konten siaran digital tersebut. Dari segi aturan yang berlaku belum adanya kejelasan terhadap pengaturan dan dasar hukum yang dapat dijadikan pedoman terhadap penyelenggaraan televisi secara digital. Hal ini dikarenakan sifat dari perturan Menteri disini semestinya mengatur hal-hal teknis administratif sesuai dengan turunan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Padahal dalam Undang-undang Penyiaran saat itu belum mengatur sistem siaran secara digital, sehingga peraturan menteri yang mencoba mengatur proses jalannya migrasi televisi analog ke digital selalu berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka perlu pengkajian secara bersama-sama untuk mengatur jalannya penyelenggaran televisi secara digital. Sebaliknya proses penyelenggaraan digitalisasi ini perlu lebih transparan, dan demokratis dan sebagainya. Dengan demikian kita akan menikmati teknologi penyiaran secara digital.
17
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
Sepatutnya
peran
masyarakat
yang
dalam
suatu
perkembangan
teknologi
selayaknya menjadi perhatian yang mendalam. Tidak cukup hanya dengan memberitahukan kepada masyarakat tentang kecanggihan produk-produk teknologi, yang hanya akan membuat masyarakat menjadi konsumen dan/atau operator dari perangkat yang dikembangkan
oleh
negara-negara
lain.
Melainkan
juga
perlu
diupayakan
menguasainya secara mendalam bukan hanya sekedar mengetahuinya saja.
untuk
Mengenai
persoalan di LPS terkait dengan pemecahan menjadi penyelenggara multipleksing dan penyelenggara program siaran di satu sisi dinilai dapat kembali memunculkan monopoli. Seharusnya perjalanan transparansi, sistem, ataupun proses perlu dibenahi. Sembari menunggu perubahan dari sisi peraturan perundang-undangan agar proses migrasi ini tidak selalu berbenturan hanya karena tidak sesuainnya peraturan perundang-undangan itu sendiri. Pemerintah Kota Samarinda seharusnya lebih mensosialisasikan kembali mengenai migrasi siaran analog ke digital. Agar masyarakat dapat mengerti menggunakan teknologi baru ini. Terutama untuk menyediakan alat perangkat tambahan (set top box) ke masyarakat yang dinilai ini sedikit mahal agar proses ini berjalan lancar.
Daftar Pustaka A.
Buku Ali, Zainuddin, 2009. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Djmal, Hidajanto dan Andi Fachruddin. 2011. Dasar-dasar Penyiaran (sejarah, organisasi, operasional, dan regulasi). Kencana. Jakarta. Fajar, Mukti dan Achmad Yulianto. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Pusataka Pelajar. Yogyakarta. Judhariksawan. 2005. Pengantar Hukum Telekomunikasi. RajaGrafindo Persada. Jakarta. . 2010. Hukum Penyiaran. Rajawali Pers. Jakarta. Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. PT. Gramedia. Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. Makarim, Edmon. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum (Cetakan ke-8). Kencana. Jakarta. Mufid, Muhamad. 2005. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Kencana. Jakarta. Pudyatmoko, Y Sri. 2009. Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan. Gramedia. Jakarta. Rianto, Puji, dkk. 2013. Digitalisasi Penyiaran Harus Berpihak pada Kepentingan Publik. Tim PR2 Media dan TIFA. Yogyakarta.
18
Tijauan Hukum Penyiaran Televisi Digital (Eben Rusliyanto)
Setiawan, Deny. 2010. Alokasi Frekuensi (kebijakan dan perencanaan spektrum Indonesia). Departemen Komunikasi dan Informatika, Dirjen POSTEL. Jakarta Soekanto, Soejono. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia (UIPress). Jakarta. Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung. Sutopo, B. 1998. Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif (Bagian II). UNS Press. Surabaya. Sutrisno, Endang. 2007. Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi. Genta Press. Yogyakarta. Tebba, Sudirman. 2007. Hukum Media Massa Nasional. Pustaka Irvan. Banten. Widjojo, Dwi Ananto. 2013. Pemancar Televisi dan Peralatan Studio. Alfabeta. Bandung. Yuliar, Sony. dkk. 2001. Memotret Telematika Indonesia Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara. Pustaka Hidayah. Bandung. B.
Peraturan Perundang-undangan Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang – undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Undang – undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 28/PER/M.KOMINFO /09/2008 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 05/PER/M.KOMINFO/2 /2012 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital Dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial.
C.
Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Skripsi, Tesis dan Disertasi Azimah Subagijo, Dadang Rahmat Hidayat, Nina Mutmainnah, 2013, Membangun Indonesia Melalui Penyiaran, Edisi Maret-April, E-Book Penyiaran Kita, Diunduh dari, www.kpi.go.id, Laporan Utama, Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia – Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2011, Optimalisasi Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Oleh Penyelenggara Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK), http://www.depkominfo.go.id, Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia – Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2012, Komunikasi dan Informatika Indonesia – Buku Putih 2012, http://www.kominfo.go.id. Jakarta. Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Laporan Tahunan 2011 DITJEN SDPPI, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI. Komisi Penyiaran Indonesia. 2012. Perizinan Penyiaran. Direktori Perizinan Penyiaran. Jakarta. Made Dwi Adnjani. 2013. Ekonomi Politik Kebijakan Migrasi Penyiaran Analog ke Digital di Indonesia. Tesis. Universitas Diponogoro. Semarang. Nugroho, Y., Siregar, MF., Laksmi, S. 2012, Memetakan Kebijakan Media di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia), Laporan Penelitian, Jakarta Putusan Mahkamah Agung Nomor 38P/HUM/2013, putusan.mahkamahagung.go.id Putusan Mahkamah Agung Nomor 40P/HUM/2013, putusan.mahkamahagung.go.id
19
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
D.
Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Koran, Artikel Internet, dan Makalah Seminar Artikel Jurnal Ilmiah, Andi Fachrudin, “Modul Dasar-Dasar Penyiaran”, Universitas Mercu Buana, Diunduh dari, http://www.google.com/meji kubirubiru.files. wordpress.com.dasar-dasar-penyiaran.doc&eic, diakses tanggal 13 Desember 2013. Artikel Ilmiah, Edwi Arief Sosiawan, “Dasar – Dasar Broadcasting, Materi Kuliah 3”, Diunduh dari http://edwi.dosen.upnyk.ac.id/DASBRO_1.pdf, diakses tanggal 13 Desember 2013. Artikel berjudul “Digitalisasi Penyiaran 50 Televisi Lokal Terancam”, Tempo.Co, http://Id.Berita.Yahoo.Com/Digitalisasi-Penyiaran-50-Televisi-Lokal Terancam140849191.Html, Diakses tanggal 18 Januari 2013. Artikel berjudul “Soal digitalisasi televisi KPI seharusnya dilibatkan”, Antaranews.com, http://www.antaranews.com/berita/421097/soal-digitalisasi-televisi-kpiseharusnya-dilibatkan.Html, Diakses tanggal 23 Februari 2014. Atmaji. 2011. Menuju Era Penyiaran Digital dan Persiapan Migrasi dari Penyiaran Analog ke Digital. Power Point Presentation. Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Timur. Buletin Info. 2012. Digital TV (Menyonsong Era Penyiaran Digital). Edisi Ketiga. Dirjen SDPPI. Diakses dari situs www.postel.go.id. Pada tanggal 25 Juni 2013. Pukul 09.47 WITA. Direktorat Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika, “Media Informasi dan
Komunikasi Ditjen SDPPI Transparansi dalam Pelayanan Perizinan Spektrum Frekuensi Radio”, http://www.depkominfo.go.id, Buletin Info SDPPI, Edisi Keempat, 2013. Komisi Penyiaran Indonesia. 2012. Critical Point Digitalisasi Penyiaran Terestrial di Indonesia. Power Point Presentation. Diakses pada situs www.kpi.go.id. Pada tanggal 22 Desember 2013. Pukul 17.00 WITA. M. Idris Batubara. 2012. Kebijakan Pemerintah Terkait Implementasi Penyiaran Digital di Indonesia. Power Point Presentation. Balai Monitoring Samarinda. Majalah Monitor TVRI. 2013. Peliputan TVRI di Topan Haiyan Filipina. Disusun oleh Tim Redaksi TVRI Estriyani, dkk. Jakarta. Newsletter KPI. 2013. Penyiaran Kita (tajam, mata masyarakat awasi media penyiaran !). Tim Redaksi Azimah Subagijo, dkk. Diakses dari situs www.kpi.go.id. Pada tanggal 21 Desember 2013. Pukul 16.15 WITA.
20