17 Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, Oktober 2010:17-32
ISSN 1412 - 0887
TINJAUAN HUKUM JUAL BELI SECARA ONLINE
Evi Retnowulan, SH., MHum.1 Regina Hernani2
ABSTRAK Pembuktian data SMS sebagai dokumen elektronik pada transaksi yang mengakibatkan timbulnya kerugian sangat rumit, karena tidak dapat diakses ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Hal ini jelas berbeda dengan alat bukti dalam transaksi konvensional yang berbentuk tulisan dalam suatu akta yang ditandatangani oleh pihak-pihak sebagai bukti kesepakatan adanya transaksi sebagaimana umumnya terjadi. Kedua kekuatan pembuktian data SMS sebagai dokumen elektronik pada transaksi on-line sifatnya hanya merupakan suatu keterangan saja, sehingga harus dikuatkan oleh alat bukti lainnya, yang dapat digunakan sebagai alat bukti pendukung dalam mengajukan gugatan ganti kerugian apabila dalam transaksi menggunakan sarana internet Atau secara online. Gugatan ganti kerugian didasarkan atas ingkar janji atau wanprestasi yang bentuk kerugiannya berupa penggantian biaya, rugi dan bunga. Kata Kunci: E- commerce, Data Elektronik, Ganti Rugi.
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan teknologi informatika yang semakin canggih menjadikan segala sesuatu tidak harus saklin bertemu, misalnya dalam hal jual beli sesuatu barang, tidak perlu mempertemukan antara penjual dengan pembeli. Karena sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Transaksi diartikan sebagai “persetujuan jual beli (perdagangan)”. 1 2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya Mahasiswa Fakultas Hukum Univesitas Narotama Surabaya
18
Transaksi tersebut menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik. Komputer yaitu alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”. Data atau dokumen elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya dapat digunakan sebagai alat bukti. Salah satu bentuk penggunaan teknologi internet yang aktual adalah Electronic Commerse (E Commerce) atau koemsial elektronik. Sebelum dikenal E-Commerce, terlebih dahulu dikenal Electronik Data Interchange (EDI) yaitu jaringan data kepabeanan, yang dipergunakan oleh aparat bea & cukai yang penggunaannya mampu memproses surat menyurat serta proses birokrasi manusia dalam ekspor impor secara elektronik diberbagai negara. Operasional EDI dirasa sangat rumit dan memerlukan kecanggihan peralatan serta infrastruktur agar bisa berhubungan antara satu dengan lainnya. Karena itu EDI hanya dipergunakan secara amat terbatas oleh instansi-instamsi resmi yang mampu membiayai operasional sistem EDI. E Commerce berdasarkan definisinya adalah perdagangan yang ber-basis elektronik di mana perdagangan yang dilakukan melalui fax-pun dapat dikategorikan ke dalam E Commerce. Namun dalam pengertian yang lebih umum diterima masyarakat, E Commerce merupakan perdagangan yang dilakukan melalui internet. E Commerce cara operasionalnya menggunakan komputer dan jaring-annya untuk menggantikan proses fisik dan otak manusia untuk memutuskan bagi keperluan komersial, bisnis dan perdagangan. Sehingga E Commerce mempunyai kemungkinan aplikasi di bidangbidang pemasaran (marketing), spesifikasi dan pencarian (specyfying & searching), negosiasi, perjanjian dan kesepakatan (dealing), pembayaran (settling) serta dukungan (supporting). Digunakannya jaringan E Commerce inilah, semua permasalahanpermasalahan yang menyangkut Electronic Business, Electronic Consumer, dan Global Information Infrastructure dapat dihadapi oleh penjual dan pembeli tanpa harus mempertemukan kedua belah pihak, sehingga keberadaan E Commerce merupakan jembatan penghubung antara penjual dengan pembeli meliputi antar negara. Meskipun transaksi elektronik telah diakui namun bukti berupa prinout atau bahkan transaksi elektronik tidak ada bukti saa sekali dalam bentuk printout, sehingga menyulitkan salah satu pihak jika pembeli telah mentransfer sejumlah uang tertentu kepada penjual, namun penjual tidak mengakuinya atau sebaliknya penjual telah mengirimkan barang kepada pembeli ternyata penjual dengan melakukan perbuatan yang mengarah ke penipuan belum juga membayarnya. Sebagai salah satu usaha yang bergerak dalam bidang perdagangan yang menggunakan sarana internet tentunya harus lebih hati-hati dan menghindari dari kemungkinan tinbulnya kerugian.
19
Rumusan Masalah 1. Kapan suatu transaksi SMS mengikat para pihak pada jual beli secara Online? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian data SMS sebagai dokumen elektronik pada transaksi Online yang mengakibatkan kerugian ? Metode Penulisan a. Pendekatan Masalah Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara statute approach dan conceptual approach. Statue approach merupakan pendekatan yang mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Conceptual approach merupakan pendekatan dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana yang memahami permasalahan yang sedang dibahas. b. Sumber Hukum 1) Bahan hukum primer: Bahan hukum yang merupakan dasar yang digunakan untuk mengkaji permasalahan, yang bersifat mengikat, dalam hal ini adalah : a) Undang-undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana; 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang digunakan untuk menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku literatur maupun artikel – artikel yang berkaitan dengan pokok permasalahan. PEMBAHASAN A. MENGIKATNYA TRANSAKSI SMS PARA PIHAK PADA JUAL BELI SECARA ONLINE 1. Alat Bukti Sah dalam Hukum Perdata Perihal alat bukti sah, diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata, yang menentukan sebagai berikut: Alat pembuktian meliputi: a. bukti tertulis; b. bukti saksi; c. persangkaan; d. pengakuan; e. sumpah. Pada pembahasan berikutnya materinya dibatasi hanya alat bukti tertulis saja sesuai dengan materi yang dibahas yaitu bukti transaksi elektronik yang berupa printout sebagai alat bukti adanya transaksi..
20
Akta menurut Pitlo yaitu “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.3 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah “surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 4 dengan demikian akta merupakan surat, yang ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian. Tanda tangan dalam suatu akta merupakan suatu hal yang mutlak, karena dalam KUH Perdata, diakui surat yang bertanda tangan, sedangkan surat yang tidak bertanda tangan, tidak diakui, karena tidak dapat diketahui siapa penulisnya. Pentingnya ada/keberadaan tanda tangan oleh karena dengan adanya tanda tangan berarti orang yang menanda tangani mengetahui isi dari akta tersebut, sehingga dengan demikian orang tersebut terikat dengan isi dari akta tersebut.5 Hal ini berarti bahwa yang dimaksud dengan akta adalah: 1. perbuatan handeling/perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan 2. suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian sesuatu.6 Dengan demikian fungsi akta bagi pihak-pihak adalah: 1) syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, 2) alat pembuktian, dan 3) alat pembuktian satu-satunya.7 Akta termasuk sebagai salah satu bukti tertulis, yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1. surat yang berbentuk akta; 2. surat-surat lain, uang bukan berbentuk akta.8 Apa yang dikemukakan oleh Subekti di atas dalam memberikan pengertian akta lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu berisikan perbuatan hukum yang dibuat oleh pihak-pihak. Perbuatan hukum tersebut diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan yang digunakan sebagai bukti telah terjadinya suatu ikatan. Oleh karena berisikan suatu perbuatan hukum antara para pihak dan digunakan sebagai bukti, maka surat meskipun dibuat dalam bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan adanya perbuatan hukum, maka tulisan tersebut tidak dapat disebut sebagai akta, tetapi hanya surat biasa. 3
Pitlo (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 1986, h.52. 4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, h.106. 5 http:// groups.yahoo.com. Jusuf Patrianto Tjahjono, Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian yang Sempurna, Diakses tanggal 11 Januari 2010. 6 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1993, h.26. 7 Pitlo, Op. cit., h.54. 8 Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989, h.271.
21
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya surat dapat disebut sebagai akta, adalah sebagai berikut: 1) surat itu harus ditandatangani (Pasal 1869 KUH Perdata); 2) surat itu harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan, dan 3) surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti (Pasal 1865 KUH Perdata).9 Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa dasar hukum dibuatnya suatu akta adalah kesepakatan antara pihak-pihak yang membuatnya dan dijadikan bukti dipersidangan jika disengketakan (Pasal 1866 KUH Perdata) yang diwujudkan dalam bentuk tanda tangan sebagai tanda sepakat mengenai hubungan hukum kedua belah pihak. Sebagai bukti maksudnya bukti antara pihak-pihak tersebut telah sepakat dalam suatu perbuatan hukum dengan ditandatanganinya suatu akta tersebut. 2. Perjanjian Jual Beli Sebagai Dasar Adanya Transaksi Kedua Belah pihak Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai ikatan jual beli, melainkan mengatur mengenai jual beli. Pasal 1457 sampai dengan pasal 1519 KUH Perdata. Jual beli menurut pasal 1457 KUH Perdata adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Jual beli adalah perjanjian, yang berarti perjanjian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1313 KUH Perdata .10 Perjanjian jual beli agar mempunyai kekuatan mengikat terhadap kedua belah pihak, maka harus dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian yang dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perkataan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya” sebagaimana Pasal 1338 KUH Perdata di atas, mengandung maksud bahwa buku III KUH Perdata menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya bahwa: “Setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”.11 Perjanjian jika dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sejak tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok, demikian halnya dengan perjanjian jual beli sesuai dengan ketentuan pasal 1458 KUH Perdata. Hal tersebut di atas berarti bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan atas kemauan yang bebas sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:12 9
Victor M. Situmorang, Op. Cit., h.26-28. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h.1. 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h.84. 12 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h.47. 10
22
a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; c. kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya; d. kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian; e. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; f. kebebasan untuk menerimas atau menyimpangi ketentyuan undang-undang yang bersifat opsional. Perjanjian yang telah dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang berarti bahwa perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, perjanjian tersebut tidak dapat ditarik atau dibatalkan selain sepakat antara kedua belah pihak atau undangundang memperkenankan untuk membatalkan perjanjian tersebut dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 3. Transaksi Elektonik Transaksi Elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UUITE adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”, dengan demikian transaksi elektronik tidak bedanya dengan transaksi pada umumnya, hanya saja yang dijadikan sarana transaksi adalah komputer jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya, hal ini berbeda dengan transaksi pada umumnya yang mempertemukan secara langsung antara pihak-pihak atau melalui kuasanya. Transaksi menggunakan sarana komputer atau melalui jaringan Komputer lebih dikenal dengan menggunakan sarana internet, yang lebih dikenal dengan E-Commerce. E-Commerce adalah: suatu kontrak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Transaksi dengan menggunakan sarana internetecommerce yang tidak mempertemukan secara langsung antara penjual dengan pembeli, tentunya pembayarannyapun tidak dilakukan secara langsung. Pembayaran transaksi ECommerce yang menggunakan charge card atau credit card, timbul permasalahan hukum, apakah pembayaran yang dilakukan dengan charge card / credit card merupakan pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada penjual barang. Permasalahan itu muncul jika pemegang kartu (card holder) menolak bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge card / credit card miliknya dengan berbagai alasan Meskipun demikian dengan diundangkannya UUITE terdapat suatu kemajuan, karena memberikan pengakuan bukti transaksi elektronik diakui sebagai alat bukti jika terjadi sengketa. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 UUITE, yang menentukan sebagai berikut:
23
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 UU ITE sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa UU ITE mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, yang berarti alat bukti sah sebagaimana pasal 1866 KUH Perdata termasuk sebagai alat bukti berupa tulisan. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini, yang berarti bahwa tidak semua dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti sah, selain dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU ITE. Di dalam transaksi menggunakan sarana elektronik, meskipun dapat digunakan sebagai alat bukti adanya transaksi tersebut, perlu adanya ketentuan hukum sebagai pelengkap terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu. Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, sedangkan E-Commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktifitas E-Commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi E-Commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut. Perlu diketahui bahwa Dengan diundangkannya UU ITE, alat bukti elektronik yang sebelumnya hanya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam pengadilan dalam tindak pidana tertentu saja seperti kasus korupsi, terorisme, dan money laundring juga dapat digunakan pada pengadilan pidana biasa. Namun bukan berarti data elektronik dapat begitu saja digunakan sebagai alat bukti. Ada beberapa dokumen yang tidak dapat menggunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yaitu seperti yang disebut dalam Pasal 5 ayat (4). Dokumen elektronik yang dapat digunakan
24
sebagai alat bukti juga haruslah dokumen yang dapat dijaga validitasnya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dokumen elektronik sangat mudah untuk dimanipulasi sehingga tidak semua dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Dalam pasal 6 UU ITE dijelaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.13 Selama ini penggunaan charge card / credit card di internet, ataupun di berbagai merchant secara offline, seperti di berbagai pusat perbelanjaan memang rawan dari penyalahgunaan. Kerawanan ini terjadi sebab pihak merchant dapat memperoleh nomor kartu kredit beserta masa berlakunya yang tentunya dapat digunakan untuk melakukan transaksi E-Commerce. Sangat disayangkan, sistem verifikasi yang ada selama ini tidak menggunakan tambahan pengaman, misalnya saja Personal Indentification Number (PIN) yang hanya diketahui oleh pemilik kartu. Untuk itu, pemerintah seyogyanya memberikan pengawasan dengan mewajibkan diadakannya suatu pendaftaran terhadap segala kegiatan yang menyangkut kepentingan umum. Termasuk di dalamnya, pendaftaran atas usaha-usaha elektronik (E-business) yang berupa virtual shops ataupun virtual services lainnya. Selain itu perlu diatur pula, pelaku bisnis di dalam cyberspace, khususnya yang memiliki target konsumen masyarakat Indonesia, seyogyanya adalah subjek hukum yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Perlunya ketentuan ini dikarenakan pertanggungjawaban di dalam sebuah pengusaha telah ditentukan secara jelas dan tegas yang tercantum di dalam anggaran dasarnya. Secara umum, misalnya pertanggungjawaban suatu badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Memperhatikan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas berkaitan dengan sarana elektronik sebagai bukti dalam perjanjian jual beli melalui online, dapat dijelaskan bahwa transaksi menggunakan sarana elektronik (E-commers) merupakan suatu transaksi pada umumnya yang bersumber dari Buku III KUH Perdata tentang Perikatan yang menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya memberikan kebebasan kepada pihak-pihak dalam membuat perjajian, asalkan perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Apabila memperhatikan uraian mengenai dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah jika dikaitkan dengan jual beli atau transaksi melalui online dapat dijelaskan bahwa perjanjian jual beli terjadi sejak tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga. Pada kondisi yang demikian ini dituntut adanya itikad baik dari para pihak yang terlibat dalam transaksi secara online, karena bukti adanya transaksi berupa SMS itu hanya berupa pemberitahuan saja, tidak menjamin bahwa isi dari SMS tersebut 13
www.wisnu.blog.uns.ac.id. Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Diakses tanggal 10 Januari 2010.
25
realitanya adalah benar, maksudnya apakah isi SMS misalnya pemberitahuan bahwa pembeli telah menstranfer uang pada bank yang ditunjuk oleh penjual perlu adanya suatu bukti yang konkrit dengan melakukan pengecekan bahwa harga barang telah dibayar. Hal ini karena mesipun data atau dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti sah adanya suatu perbuatan hukum berupa jual beli, namun dengan pemberitahuan melalui SMS jelas tidak dapat diakses ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Jadi masih diperlukan alat bukti lain yang membenarkan telah terjadi transaksi online dan para pihak telah memenuhi apa yang diperjanjikan, yaitu pembeli membayar harga barang dan penjual telah menyerahkan barang yang dijadikan obyek jual beli.
B. KEKUATAN PEMBUKTIAN DATA SMS SEBAGAI DOKUMEN ELEKTRONIK PADA TRANSAKSI ONLINE YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN 1. Dasar Transaksi Elektronik Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, bahwa dasar transaksi menggunakan sarana elektronik salah satu di antaranya adalah jual beli (Pasal 1457 KUHPerdata).Menurut Yahya Harahap, “jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda dan pihak yang lain bertindak sebagai pembeli mengikatkan diri berjanji untuk membayar harga”.14 Perjanjian pada hakekatnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. a. Perjanjian bernama dan tidak bernama15 b. Perjanjian obligator dan kebendaan.16 c. Perjanjian konsensual dan riil.17 Jual beli adalah perjanjian. Mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, menentukan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Subekti mengartikan perjanjian adalah “suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua oerang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.18 Perjanjian pada umumnya menganut asas kebebasan berkontrak, karena perjanjian merupakan bagian dari Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Kebebasan berkontrak maksudnya adalah “setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang”. 14
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1999, h.181.
15
Ibid., h.227. Ibid. 17 Ibid. 16
18
Subekti, Loc. Cit.
26
Asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.19 Perjanjian dibuat tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ktertiban umum, yang berarti harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1320 KUHPerdata, menentukan: 1. 2. 3. 4.
Sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, antara lain: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kecakapan untuk berbuat suatu perjanjian; Suatu hal tertentu; Suatu sebab yang halal.
Perjanjian jual beli yang dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana pasal 1320 KUHPerdata, syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut dengan syarat subyektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat obyektif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Subekti sebagai berikut: “dua syarat yang pertama, dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu”.20 Perjanjian yang dibuat apabila syarat subyektifnya tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: “apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekuarangan mengenai syarat yang subyektif, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan”.21 Jika syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Sehingga secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang dimaksud dalam perjanjian itu.22 Perjanjian jual beli tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, sesuai dengan bunyi Pasal 1338 KUHPerdata yang menentukan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi yang membuatnya”. Jual beli termasuk perikatan yang dilahirkan karena perjanjian, maka berikutnya diuraikan macam-macam perikatan untuk mengetahui jual beli termasuk macam perikatan yang mana. Macam-macam perikatan menurut Subekti terdiri atas: a. perikatan bersyarat (Pasal 1253 KUHPerdata); b. perikatan dengan ketepatan waktu; c. perikatan manasuka (Pasal 1278 KUHPerdata); 19
20
Abdulkadir Muhammad 1, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,h.17.
Subekti, Op. cit, h.17. Ibid., h.22. 22 Ibid. 21
27
d. e. f. g.
perikatan tanggung menanggung; perikatan dapat dan tidak dapat dibagi; perikatan dengan ancaman hukuman, dan perikatan wajar (Pasal 1359 ayat (2) KUHPerdata).
Perjanjian jual beli termasuk perikatan dengan ancaman hukuman, karena dalam suatu perjanjian termasuk perjanjian jual beli, jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan perjanjian sebagaimana yang disepakati bersama. 2. Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Pelaksanaan perjanjian terjadi sejak saat perjanjian mengikat kedua belah pihak, yaitu sejak tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok antara kedua belah pihak, disebut dengan konsensus. Saat terjadinya perjanjian atau konsensus, Subekti: “Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas”.23 Dengan tercapainya kata sepakat, maka menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik yang disebut juga dengan prestasi. Prestasi diartikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai “kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan”.24 Mengenai bentuk prestasi Pasal 1234 KUH Perdata Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu: 1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang; 2. Perjanjian untuk membuat sesuatu; 3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.25 Hal ini berarti bahwa wujud prestasi dalam suatu perjanjian pengangkutan adalah untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu, maupun untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya dilarang untuk membuat atau berbuat yang dapat merugikan pihak lain. Dalam hubungannya dengan asuransi bentuk prestasinya berupa berbuat sesuatu, yaitu melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan bersama. Dalam perjanjian pengangkutan, prestasinya berupa berbuat yaitu melakukan perbuatan mengangkut barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka dinyatakan telah wanprestasi, artinya “tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan”.26 Hal ini berarti bahwa wanprestasi terjadi karena tidak dipenuhinya suatu perikatan. Dengan demikian seseorang yang wanprestasi memberikan hak kepada pihak lain yang dirugikannya untuk menggugat ganti kerugian sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUH Perdata bahwa: “ Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk 23
Subekti, Op. Cit., h.23. Abdulkadir Muhammad 3, Op. Cit., h.17. 25 Subekti, Op. Cit., h.36. 26 Ibid., h.20 24
28
tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga”. Hal ini berarti bahwa bentuk ganti kerugian berupa penggantian biaya, rugi dan bunga ditentukan didalam Pasal 1246 bahwa: Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak menmgurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini. Gugatan atas dasar wanprestasi diawali dengan tidak dipenuhinya suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian, yang berarti termasuk perikatan yang dilahirkan dari perjanjian. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak mengikat pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok yang dijanjikan. Dengan tercapainya kata sepakat maka untuk tahap berikutnya yaitu pelaksanaan perjanjian tersebut. Seseorang yang dinyatakan wanprestasi dan digugat ganti kerugian mempunyai hak untuk mengelaknya dengan alasan sebagai berikut: 1. Force Majeur / Over macht (keadaan memaksa) 2. Exeptio Non Adempleti Contractus 3. Rechtsverwerking (pelepasan hak). Keadaan memaksa atau force majeur, menurut Subekti sebagai berikut: Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu.Pembelaan tersebut, yaitu mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). Force majeur dalam hukum perdata diatur dalam buku III B.W dalam pasal 1244 dan 1245 B.W. Pasal 1244 B.W menentukan : Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikat buruk tidaklah ada pada pihaknya. Kaitannya dengan masalah asas “Exceptio non adimpleti contractus”, Riduan Syarani mengemukakan: Exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru oleh karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu.27
27
Ibid., h.154.
29
Rechtsverwerking, bahwa seorang debitur yang dituduh melakukan wanprestasi, selain dapat membela dirinya dengan mengajukan alasan overmacht dan exeptio non adempleti contractus, juga dapat mengajukan rechtsverwerking (pelepasan hak). Rechtsverwerking (pelepasan hak) adalah “sikap dari pihak kreditur baik berupa pernyataan secara tegas maupun diam–diam bahwa ia tidak menuntut lagi terhadap debitur apa-apa yang merupakan haknya.”28 Sehubungan dengan jual beli melalui media internet atau E-Commerce, jika salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya bisa terjadi karena kerusakan sarana elektronika atau sarana pengiriman barang, pada kondisi yang demikian dapat dikatakan dalam keadaan memaksa atau force majeur, namun mengenai keadaan memaksa ini bisa diartikan sebagai absolut atau relatif. Apabila terbukti bahwa salah satu pihak tidak berprestasi dalam perjanjian jual beli melalui ECommerce dengan menyatakan telah membayar, namun kenyataannya misalnya berdasarkan atas sumpah dan lainnya ternyata memang benar-benar belum dikirim oleh penjual atau harganya belum dibayar oleh pembeli, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian berupa penggantian biaya, rugi dan bunga sebagaimana pasal 1243 KUH Perdata. Meskipun kekuatan pembuktian data SMS sebagai dokumen elektronik pada transaksi online sangat sulit bila dibandingkan dengan alat bukti dalam transaksi sebagaimana pasal 1866 KUH Perdata, maka selama pihak yang dirugikan dapat membuktikan misalnya dengan sanksi atau bukti lain yang sifatnya menerangkan adanya suatu transaksi, maka dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menggugat ganti kerugian. Sehubungan dengan kekuatan pembuktian data SMS sebagai dokumen elektronik pada transaksi online yang mengakibatkan kerugian, apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 5 UU ITE, bahwa SMS termasuk dalam lingkup informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau berupa tulisan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini. SMS termasuk informasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU ITE, sedangkan dalam transaksi jual beli secara online tidak harus dibuktikan dengan tulisan melainkan sepakat mengenai barang dan harga sesuai dengan pasal 1458 KUH Perdata, sehingga tidak termasuk yang dikecualikan. Hal ini berarti bahwa selama para pihak dalam transaksi online selain bukti SMS didukung oleh alat bukti lain yang menyatakan salah satu tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian jual beli, maka dapat digunakan sebagai dasar untuk menggugat ganti kerugian atas dasar ingkar janji atau wanprestasi.
28
Riduan Syahrani, Loc. Cit.
30
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Transaksi SMS mengikat para pihak pada jual beli secara online sejak terjadinya kata sepakat mengenai barang dan harga dan pembeli sudah mentransferkan uang seharga barang, dan telah terbukti masuk ke dalam rekening penjual. Dokumen elektronik merupakan alat bukti sah yang diakui oleh hukum acara perdata, selama peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara khusus bahwa transaksi harus dibuat secara tertulis, maka alat bukti berupa dokumen elektronik sebagai alat bukti sah, sehingga jika SMS tidak dapat diakses harus dibuktikan dengan alat bukti lain sebagai penunjang, karena SMS hanya merupakan suatu bukti berupa keterangan. 2. Kekuatan pembuktian data SMS sebagai dokumen elektronik pada transaksi online sifatnya hanya tulisan yang isinya pemberitahuan, tetapi tidak menjamin kebenaran isi SMS tersebut. Transaksi jual beli pada umumnya terjadi sejak kedua belah pihak mencapai kata sepakat dan dalam transaksi online yang obyeknya pakaian tidak harus dibuat secara tertulis, yang dikecualikan dalam UU ITE, maka SMS dapat digunakan sebagai alat bukti tetapi sifatnya hanya merupakan keterangan saja, sehingga harus dikuatkan oleh alat bukti lainnya, yang dapat digunakan sebagai alat bukti pendukung dalam mengajukan gugatan ganti kerugian apabila dalam transaksi menggunakan sarana internet Atau secara online. Gugatan ganti kerugian didasarkan atas ingkar janji atau wanprestasi yang bentuk kerugiannya berupa penggantian biaya, rugi dan bunga. 2. Saran a. Meskipun data elektronik diakui sebagai alat bukti sah, namun selama belum menunjukan dapat menunjukkan bukti berupa akses dalam bentuk tampilan, atau tidak utuh, dan belum dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan yang digunakan sebagai dasar terjadinya transaksi maka hendaknya tetap mempertahankan haknya, karena dianggap tidak pernah terjadi transaksi. 2. Meskipun pihak yang dirugikan dapat menggugat atas dasar wanprestasi, hendaknya diselesaikan secara musyawarah, karena jual beli melalui Online didasarkan atas kepercayaan, sehingga jika langsung diselesaikan melalui jalur hukum kurang mendukung usaha secara online tersebut.
31
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1999. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979. Muhammad, Abdulkadir , Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Pitlo (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 1986. Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1993. Syahrani, Riduan, Seluk Belum dan Asas-asas Hukum perdata, Alumni, Bandung, 1989. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004. Tjahjono, Jusuf Patrianto, Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian yang Sempurna, http:// groups.yahoo.com/ group/Notaris_Indonesia/message/1736 Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) C. Situs Internet dan majalah www.wisnu.blog.uns.ac.id. Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Diakses tanggal 10 Januari 2010 Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989