TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM TINJAUAN HUKUM JUAL BELI ISLAM Azhar Muttaqin1 Fakultas Agama Islam UMM e-mail :
[email protected]
ABSTRACT Trends in buying and selling using the Internet media that commonly called ecommerce is now so flourishing like a fungus in the rainy season. In global, deal with the perpetrators of these ways -either as sellers or buyers- is also involved many among the Muslims. So to provide the legal foundation of this reality, must be examine a fiqhiyah (Islamic jurisprudence) studies to become the basis of normative philosophical and practical for those who want to pursue the transaction. In general the actual concept of e-commerce, ie buying and selling goods orders have been known and practiced during the early generations of Islam, his name is Bai 'as-Salam. So this study presents a descriptive analitif of correlation between the two concepts. Generally, between e-commerce and bai 'al-salam has similarities as well as fundamental differences. Among these differences is the legal basis used between the two concepts, that may affect whether or not a commodity to be offered. As for some other differences such as how to quote, or how to clarify the object of transactions, or how the technical payments, and how to delivery and acceptance, was not a fundamental difference, but more because of age differences that affect the implementation of the technical differences alone. Like offering was described in direcly (face to face) between buyers and sellers, now enough with the display of storefront catalog that contains products and services to be provided, so the prospective buyers can get complete information. Kata-kata Kunci : Hukum Islam, fiqih mu’amalah, e-commerce, bai’ as-salam, jul beli PENDAHULUAN Salah satu fenomena mu'amalah dalam bidang ekonomi saat ini adalah transaksi jual beli yang menggunakan media elektronik. Aktivitas perdagangan melalui media internet ini populer disebut dengan electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu business to business ecommerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer ecommerce. (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen). Salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo, menilai bahwa Indonesia memiliki potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan e-commerce.
Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan e-commerce ini seperti keterbatasan infrastruktur, ketiadaan undangundang, jaminan keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia bisa diupayakan sekaligus dengan upaya pengembangan pranata e-commerce itu. Bahkan saat ini, seiring dengan bermunculannya beberapa situs jejaring sosial yang banyak diminati masyarakat seperti facebook, twiter dan lain-lain, ternyata diikuti juga dengan menjamurnya transaksi barang melalui media tersebut. Dalam bidang hukum misalnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan ecommerce. Padahal pranata hukum merupakan salah satu ornamen utama dalam bisnis. Dengan
Azhar Muttaqin, Transaksi E-Commerce Dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam
459
tiadanya regulasi khusus yang mengatur mengatur perjanjian virtual, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet tersebut akan diatur oleh hukum perjanjian non elektronik yang berlaku. Hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPerd. Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan demikian para pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hukum diantara mereka. Sebagaimana dalam konsep perdagangan, e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Di dalam hukum perikatan Indonesia dikenal apa yang disebut ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk dipergunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata perjanjian yang dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum mengatur sesutu hal. Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu. Sekarang bagaimana dengan pandangan Islam tentang hal ini. Jual-beli merupakan salah satu jenis mu'amalah yang diatur dalam Islam. Melihat bentuknya e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli juga, cuma dikategorikan sebagai jual beli modern karena mengimplikasikan inovasi teknologi. Secara umum perdagangan secara Islam menjelaskan adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut sewaktu transaksi, sedangkan e-commerce tidak seperti itu. Dan permasalahannya juga tidaklah sesederhana itu. E-commerce merupakan model perjanjian jualbeli dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual-beli biasa, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Adaptasi secara langsung ketentuan jual-beli biasa akan kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteks ecommerce. Oleh karena itu perlu analisis apakah ketentuan hukum yang ada dalam hukum Islam sudah cukup relevan dan akomodatif dengan
460
hakekat e-commerce atau perlu pemahaman khusus tentang hukum bertransaksi e-commerce. Diperlukan analisa khusus dengan metode istinbath hukum kontemporer untuk bisa menentukan jawaban atas masalah-masalah di atas. Sekilas transaski e-commerce sama dengan transaksi as-salâm, pada saat akad tanpa menghadirkan benda yang dipesan, tetapi dengan ketentuan harus dinyatakan sifat benda secara kongkret, dan diserahkan kemudian sampai batas waktu tertentu. Tapi apakah memang sama demikian. Permasalahan utama yang akan di jawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan hukum jual beli Islam tentang transaksi e-commerce. Agar ruang lingkupnya menjadi lebih spesifik, maka penelitian ini lebih mengidentifikasi korelasi antara transaksi ecommerce dengan bai’ as-salâm, yaitu apa persamaan dan perbedaan dari kedua konsep transaksi ini. Dengan hasil penelitian ini penulis berharap bisa memberikan kontribusi pemikiran terhadap khazanah keilmuan dalam bidang hukum Islam, umumnya dalam hal memposisikan hukum Islam sebagai solusi paripurna dalam masalah-masalah kekinian. Dan khususnya memberikan dasar pengambilan keputusan bagi para pengambil kebijakan di negeri ini yang concern dengan hukum Islam. Penelitian ini merupakan studi pustaka dengan pendekatan yuridis normatif, mengenai aspek hukum perjanjian jual beli melalui internet (e-commerce) dalam hukum jual beli Islam. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah primer dan sekunder. Yaitu hukum primer dan sekunder. Data primer adalah Al-Qur’an beserta tafsir-tafsirnya dan AsSunnah. Juga hasil bacaan buku-buku pustaka yang menjelaskan tentang konsep mu'amalah dalam bidang jual beli berkaitan dengan masalah. Sedangkan data sekunder adalah bukubuku yang terkait dengan masail fiqhiyah Islam (kapita selekta hukum Islam). Dan bahan hukum yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan judul penelitian berupa internet dan majalah. Hasil dianalisis secara deskriptif guna menjelaskan atau menjawab masalah yaitu; apakah secara konseptual e-commerce sama
ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010
dengan transaksi as-salâm dan apakah prasyarat dalam hukum jual beli Islam telah terpenuhi dalam praktek transaksi e-commerce. PEMBAHASAN Sudah difahami bahwa kedua jenis konsep ini adalah hasil pemikiran dan praktek jual beli yang terpaut oleh zaman serta kondisi sosial budaya yang berbeda. Bisa dikatakan Bai’ assalâm merupakan hasil pemikiran para pakar hukum Islam yang terpusat di Timur Tengah. Sedangkan e-commerce adalah produk barat yang terbentuk seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Agar bisa merumuskan deskripsi yang tepat tentang korelasi transaksi e-commerce dengan bai’ as-salâm, maka perlu diuraikan terlebih dahulu identitas spesifik yang mencirikan kedua transaksi berikut : 1. Transaksi e-commerce Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Transaksi jual beli secara elektronik, sama halnya dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata, dilakukan oleh para pihak yang terkait, walaupun dalam jual beli secara elektronik ini pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan melalui internet. Dalam transaksi jual beli secara elektronik, pihak-pihak yang terkait antara lain (Makarim, 2000:65) : 1. Penjual atau merchant atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha; 2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang, melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha/merchant. 3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau pelaku usaha/merchant.
4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet. Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut diatas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Penjual/pelaku usaha/merchant merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh karena itu, seorang penjual wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkannya kepada pembeli atau konsumen. Disamping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang, maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan, tidak rusak ataupun mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan. Dengan demikian transaksi jual beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun yang menjadi pembelinya. Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang dijualnya, juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli secara elektronik ini. Seorang pembeli/ konsumen memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disepakati antara penjual dengan pembeli tersebut. Selain itu, pembeli juga wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya dari seorang penjual, sehingga pembeli tidak dirugikan atas produk yang telah dibelinya itu. Pembeli juga berhak mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang beritikad tidak baik. Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik, berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu, karena mungkin saja pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui internet berada di lokasi yang letaknya
Azhar Muttaqin, Transaksi E-Commerce Dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam
461
saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus menggunakan fasilitas bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount to acount). Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet dengan penjual yang menawarkan produk lewat internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerjasama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui internet ini. 2. Transaksi Bai’ as-salâm Menurut al-Bahuti dalam Haris Faulidi (2004:92) as-salam atau disebut juga as-salaf merupakan istilah dalam bahasa Arab yang mengandung makna penyerahan. Lebih lanjut ia mendefinisikan as-salam sebagai transaksi atas sesuatu yang masih berada dalam tanggungan dengan kriteria-kriteria tertentu dan diserahkan kemudian dengan pembayaran harga di tempat kontrak. Atau secara lebih ringkas disebutkan jual beli yang ditangguhkan dengan harga disegerakan. Dari berbagai perbedaan definisi yang disebutkan nampak ada beberapa poin yang disepakati. Pertama, disebutkan bahwa as-salam merupakan suatu transaksi dan sebagian menyebutnya sebagai transaksi jual beli. Kedua, adanya keharusan menyebutkan kriteria-kriteria untuk sesuatu yang dijadikan obyek transaksi / al-muslam fîh. Ketiga, obyek transaksi / almuslam fîh harus berada dalam tanggungan. Transaksi as-salam boleh sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dan berlandaskan atas dasar, bahwa: a. Di dalam transaksi as-salam terdapat unsur yang sejalan dengan upaya merealisasikan kemaslahatan perekonomian (mashlahah al-iqtishâdiyyah). b. Transaksi as-salam merupakan rukhsah (suatu dispensasi atau sesuatu yang meringankan) bagi manusia. c. Transaksi as-salam memberikan kemudahan kepada manusia.
462
Transaksi as-salam merupakan bagian dari transaksi jual beli biasa. Hanya saja dalam transaksi as-salam terdapat persyaratan tambahan yang menentukan validitas transaksi tersebut. Karena dalam transaksi as-salam produk yang dijadikan obyek transaksi tidak ada / tidak dapat dihadirkan pada saat transaksi terjadi. Penjual, dalam hal ini, hanya menyebutkan kriteria-kriteria tertentu pada produk yang akan dijual. Seperti halnya jual beli biasa, transaksi assalam memiliki unsur-unsur yang harus ada dan saling berhubungan ketika terjadinya suatu transaksi jual beli. Unsur-unsur yang dimaksudkan merupakan tiga unsur rukun – termasuk pihak-pihak yang terlibat – dalam transaksi as-salam, yaitu pertama tentang sighat transaksi, kedua tentang pelaku transaksi, dan ketiga tentang obyek transaksi. Ketiga unsur tersebut harus ada untuk terjadinya transaksi (as-salam). Tidak mungkin dapat dibayangkan terciptanya suatu transaksi apabila tidak ada orang yang melakukan transaksi. Tetapi adanya orang yang bertransaksi belum dengan sendirinya melahirkan transaksi, karena untuk terciptanya transaksi harus ada kehendak untuk melahirkan akibat hukum tertentu dari masing-masing pihak dan agar kehendak itu dapat diketahui oleh pihak lain sehingga bisa diberi persetujuan (kesepakatan) ia harus dinyatakan. Pernyataan kehendak masing-masing pihak yang bersepakat itu merupakan unsur yang membentuk transaksi dan dalam istilah fiqh disebut sighat transaksi. Selanjutnya harus ada sesuatu yang mengenai persetujuan dan kata sepakat itu diberikan, yaitu yang disebut obyek transaksi. Masing-masing unsur yang membentuk transaksi di atas memerlukan ketentuanketentuan agar terbentuknya transaksi itu menjadi sempurna. Dalam istilah fiqh ketentuan-ketentuan dimaksud disebut syaratsyarat terbentuknya transaksi (as-salam). 3. Korelasi E-commerce dan Bai’ as-salâm Berdasarkan hirarki sejarahnya, ecommerce memang merupakan model transaksi baru yang ada sesudah transaksi bai’ as-salam. E-Commerce ada sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi abad 21 ini. Secara normatif yuridis pun bai’ as-salam
ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010
bersumber dari praktek jual beli yang dicontohkan oleh generasi awal Islam dan menjadi landasan salah satu praktek fiqih jual beli yang terlegitimasi selama berabad-abad oleh umat Islam. Karena pengakuan jumhur fuqaha itulah maka transaksi as-Salam menjadi standar tolak ukur yang cukup baku untuk mengevaluasi transaksi sejenisnya yang muncul belakangan. Memang bai’ as-Salam merupakan produk hukum fiqh Islam yang dirumuskan oleh para ulama dengan segala kemungkinannya untuk mengalami reaktualisasi dari masa ke masa agar senantiasa sesuai dengan tuntutan tempat dan waktu. Namun sebagaimana produk fiqh lainnya, hukum ini digali dengan menggunakan metodologi ijtihad dari dua sumber utama (mashâdirul ahkâm) hukum Islam; yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karana hal itulah, bai’ as-Salam pada penelitian ini menjadi sebuah model transaksi klasik hukum Islam yang akan menjadi pembanding dan penganalisa transaksi e-commerce. Secara garis besar, antara e-commerce dengan bai’ as-salam memiliki persamaan dan perbedaan yang sangat mendasar. Berdasarkan uraian di atas, paling tidak ada beberapa hal yang peneliti dapat rumuskan terkait dengan hal tersebut; Baik bai’ as-salam maupun e-commerce sama-sama merupakan aktivitas jual beli. Maka seperti halnya transaksi jual beli, disyaratkan paling tidak ada 4 hal yang harus terpenuhi; yaitu pembeli, penjual, alat tukar (uang), dan barang yang diperjualbelikan atau obyek transaksi. Hanya saja, pada transaksi ecommerce maupun bai’ as-salam obyek transaksi ditangguhkan penyerahannya walaupun telah terjadi kesepakatan jual beli antara penjual dan pembeli. Setidaknya ini lah persamaan mendasar antara e-commerce dan bai’ as-salam. Adapun beberapa perbedaan spesifik ditemukan juga dalam di antara kedua konsep tersebut , khusunya dalah hal model penawaran, pembayaran, serta pengiriman dan penerimaan. Perbedaan ini tidak secara otomatis menyatakan bahwa e-commerce tidak sah. Kecuali nyata pertentangannya dengan prinsip dan nilai ajaran Islam di bidang mu’amalah, yaitu mengandung
unsur maisir (judi/gambling), gharar (penipuan), riba dan produk atau jasa yang ditawarkan adalah termasuk yang diharamkan oleh ajaran Islam. Dasar hukum Sudah barang tentu dasar hukum kedua model ini berbeda. Bai’ as-Salam didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits serta hasil ijtihad ulama-ulama salaf. Dan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, paling tidak diwujudkannya bai’ as-salam karena hal-hal berikut : a. Di dalam transaksi as-salam terdapat unsur yang sejalan dengan upaya merealisasikan kemaslahatan perekonomian (mashlahah aliqtishâdiyyah). b. Transaksi as-salam merupakan rukhsah (suatu dispensasi atau sesuatu yang meringankan) bagi manusia. c. Transaksi as-salam memberikan kemudahan kepada manusia. Sebagaimana konsep perekonomian global saat ini, dimana e-commerce merupakan salah satu buah perwujudannya, maka pelaksanaannya didasarkan pada aturan yang berlaku pada setiap negara tempat terjadinya transaksi. Sebagai contoh, jika transaksi terjadi di Indonesia, maka aturan yang berlaku di Indonesialah yang menjadi dasar hukumnya. Adapun landasan etis filosofisnya tergantung dari standar nilai apa yang dijadikan dasar bagi masing-masing pelaksananya. Jika dia seorang muslim, maka tentu yang harus dijadikan standar nilainya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Penawaran / akad transaksi Jauh berbeda dengan e-commerce, bai’ assalam merupakan model transaksi yang landasan aplikasinya adalah fiqih mu’amalah dalam bidang jual beli. Untuk penawaran, bai’ as-salam mensyaratkan adanya sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli dengan akad menangguhkan penyerahan al-muslam fîh / obyek transaksi. Pernyataan ijab dan qabul dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan/surat-menyurat, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan qabul, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan
Azhar Muttaqin, Transaksi E-Commerce Dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam
463
dalam ijab dan qabul, hal itu sebagaimana pendapat-pendapat dari para ulama seperti alGhazali dalam an-Nawawi dan imam al-Kasani (Basyir, 2000:68). Maka dengan memperhatikan hal tersebut, transaksi as-salam dapat dilakukan dengan segala macam pernyataan yang dapat dipahami maksudnya oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat maupun dalam bentuk tulisan. Adapun e-commerce, penawaran dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront yang berisi katalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat-lihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Sebagaimana di atas, penawaran dalam sebuah website biasanya menampilkan barangbarang yang ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain yang berhubungan. e-commerce terjadinya penawaran apabila seseorang menggunakan media internet untuk berkomunikasi baik via email atau chating untuk memesan barang yang diinginkan. Pada as-Salam kriteria barang (al-muslam fîh) ini juga merupakan hal yang paling urgen dan harus jelas pada saat penawaran. Sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi kriteriakriterianya tidak boleh dijadikan al-muslam fîh karena hal tersebut, menurut al-Bahuti, dapat membawa kepada perselisihan di antara pihakpihak yang bertransaksi. Apa yang dilakukan oleh e-commerce di era modern seperti sekarang untuk menambah kejelasan spesifikasi pengetahuan tentang macam komoditi tersebut karena dapat menghadirkan bentuk visualnya. Namun demikian, berbeda dengan asSalam yang mensyaratkan adanya pertemuan langsung untuk melakukan akad, e-commerce tidak mengharuskan hal itu, bahkan cenderung mengunakan pihak ketiga yaitu provider internet dalam mengkomunikasikan kepentingan kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
464
Obyek akad Dalam prinsip jual beli dalam Islam, obyek akad sudah sangat jelas dan tegas tidak boleh mengandung unsur yang diharamkan oleh Allah SWT. Jika itu terjadi, maka secara otomatis transaksi itu batal demi hukum. Sedangkan pada e-commerce, obyek transaksi sangat beragam. Boleh tidaknya obyek transaksi sangat tergantung aturan negara di mana transaksi itu dilakukan. Di Indonesia setiap penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang, tidak rusak ataupun mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan. Seperti jual beli narkoba, benda-benda suaka, dan lain-lain. Tidak semua produk yang diperbolehkan diperjualbelikan menurut aturan negara, juga diperbolehkan oleh Islam. Contohnya jual beli minuman keras. Negara masih memperbolehkan walaupun dengan syarat-syarat tertentu, sedangkan Islam secara tegas melarang dengan tanpa syarat apapun. Di sinilah salah satu perbedaan obyek akad antara e-commerce dan bai’ as-salam. Pembayaran Setelah terjadinya akad jual beli, maka pembayaran / penyerahan ra`s al-mâl dalam transaksi as-salam hendaklah disegerakan. Para ulama dari mazhab Maliki membatasinya tidak lebih dari tiga hari, jika tidak, maka transaksi menjadi batal. Alasan tiga hari itu didasarkan pada kaidah (sesuatu yang mendekati itu dihukumkan sama).” Penyegeraan ini untuk memudahkan identifikasi serta menghindari ketidakjelasan agar jangan sampai terjadi perselisihan di kemudian hari. Pendapat ini nyata manfaatnya saat ini, dimana harga setiap waktu mengalami fluktuasi yang tidak terduga, penundaan pembayaran setelah akad bisa merugikan kedua belah pihak tergantung siapa yang menanggung beban kerugian ketika harga itu naik atau turun. Lebih simple, karena cara pembayaran saat ini sudah serba canggih, maka pada ecommerce mengenal tidak hnya pembayaran langsung tetapi juga tidak langsung. Dengan tetap mengacu pada sistem keuangan negara tempat dilaksanakannya e-commerce, Edmon
ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010
(2000:90) mengklasifikasikan cara pembayaran e-commerece sebagai berikut : • Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan institusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya dari account masing-masing; • Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antara kedua pihak tanpa perantara dengan menggunakan uang nasionalnya; • Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain : sistem pembayaran memalui kartu kredit on line serta sistem pembayaran check in line. Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pengalihan dari rekening pembeli kepada rekening penjual. Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melaui kartu kredit dengan cara memasukkan nomor kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antara penjual dengan pembeli, walaupun dimungkinkan untuk dilakukan. Selain perbedaan cara pembayaran tadi, pada e-commerce juga tidak mengenal penangguhan pembayaran setelah terjadinya akad menjadi hal penting yang memicu pada pembatalan transaksi. Biasanya, akad terjadi apabila setelah terjadi komunikasi tawar menawar secara online dan setelah sepakat penawar membayarkan sejumlah uang melalui pihak ketiga, dalam hal ini adalah bank. Dan setelah penjual mendapatkan keyakinan pembayaran yang dibuktikan dengan surat bukti pembayaran dan checkin acount, maka proses selanjutnya baru berlaku, yaitu pengiriman barang. Untuk hal di atas, e-commerce memang sangat berbeda dengan as-Salam yang bahkan mensyaratkan pembayaran secara langsung di
tempat kontrak tanpa pihak ketiga -setidaknya ini menurut pendapat klasik kalangan mazhab Maliki-. Tentu dapat dipahami yang terakhir ini konteksnya karena keterbatasan model pembayaran saat itu. Pengiriman dan penerimaan Pada e-commerce dikenal istilah pengiriman barang. Hal itu terjadi karena biasanya antara penjual dan pembeli tidak tinggal berdekatan, bahkan bisa sangat jauh terpisah kota, daerah bahkan negara. Pengiriman ini dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli. Waktu yang digunakan untuk pengiriman tergantung jarak, lama tempuh atau kebijakan pihak ketiga sebagai pengirim. Apabila terjadi kerusakan barang pada saat pengiriman, biasanya menjadi tanggung jawab pengirim atau penjual. Pada bai’ as-salam memang tidak dibahas tentang pengiriman barang. Tetapi tempat penyerahan barang dan lama masa penyerahan atau masa tangguh. Para ulama sebagaimana dijelaskan sebelumnya berbeda pendapat tentang masa tangguh (al-ajl), mulai dari yang paling cepat yaitu satu jam (Ibnu Hazm), dua hari (Malik), lima belas hari (Ibnu al-qasim) dan yang paling lama satu bulan (Muhammad (seorang ahli fiqh dari mazhab Hanafi)). Karena tidak ada disebutkan batasan pasti untuk pengangguhan (al-ajl), berarti diberikan kebebasan bagi kedua belah pihak yang bertransksi untuk dapat mengatur tenggang waktu menurut situasi dan kondisi serta kesepakatan dari keduanya. Yang penting dalam hal ini adalah adanya kejelasan tentang penangguhan (al-ajl) bagi kedua belah pihak agar kekhawatiran akan timbulnya perselisihan di kemudian hari dapat dihindari. Adapun tempat serah terima barang, sebagaimana pendapat ulama sebelumnya, tidak ada tempat khusus yang ditetapkan, karena Rasulullah juga tidak menekankan hal tersebut.
Azhar Muttaqin, Transaksi E-Commerce Dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam
465
Selama tempat teresebut disepakati oleh kedua belah pihak dan cukup refresentatif serta bisa terjangkau oleh keduanya maka bisa menjadi tempat serah terima barang. Secara umum berdasarkan penjelasan di atas, tidaklah perbedaan e-commerce dan assalam hanya karena keduanya merupakan konsep transaksi jual beli beda zaman dan beda konteks, tetapi memang ada beberapa hal-hal prinsipil yang harus diperhatikan untuk dihindari bagi para pelaku e-commerce muslim saat ini.
memiliki alat, modal dan sarana lainnya untuk bertransaksi. 4. Adapun perbedaan lainnya seperti cara penawaran, cara memperjelas obyek transaksi, tehnis pembayaran, cara pengiriman dan penerimaan, bukanlah perbedaan fundamental, tetapi lebih karena perbedaan zaman yang berpengaruh pada perbedaan tehnis pelaksanaan saja. Seperti dulu pembayaran secara tunai dan langsung, tapi sekarang menggunakan jasa orang ketiga, dalam hal ini adalah Bank.
KESIMPULAN DAN SARAN
Saran Paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pelaku e-commerce muslim saat ini, antara lain : a. Bagi pengusaha muslim harus bersikap jujur. Kejujuran dan kebenaran merupakan nilai yang penting. Berkaitan dengan ini, bentuk penipuan, sikap eksploitasi, membuat pernyataan palsu adalah dilarang. Sebagai agama yang mengatur tingkah laku umat manusia untuk menjadi lebih baik dalam berusaha, dalam Islam tidak dibolehkan orang hanya meminta dilayani secara baik dan benar dengan berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan, akan tetapi ketika ia akan melayani orang lain, sudah seharusnya ia pula memberikan pelayanan yang terbaik, jika tidak dari segi sosial dan hukum ia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut. b. Di samping itu, yang paling ditekankan dari dua pihak yang bertransaksi adalah harus memiliki keinginan untuk bertindak sendiri bukan atas paksaan orang lain atau bukan dalam tekanan dari pihak lainnya, yaitu harus adanya unsur kerelaan dari kedua belah pihak yang bertransaksi. c. Mengidentifikasi obyek transaksi (muslam fîh) sebagai komoditas yang tidak diharamkan oleh agama. d. Memperjelas komoditas yang ditawarkan dengan tanpa adanya unsur gharar (penipuan) yang dapat merugikan pembeli. e. Meninggalkan unsur riba berupa perbedaan biaya yang harus dibayar oleh pembeli pada saat penyerahan barang setelah terjadi
Kesimpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan pada penelitian ini antara lain : 1. Akibat perkembangan teknologi informasi saat ini, ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling betemu secara langsung, namun dapat juga hanya melalui media internet. Orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung. Hal ini tentu mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli. 2. E-commerce secara esensial merupakan praktek jual beli yang memiliki kesamaan fundamental dengan bai’ as-salam, yaitu adanya penangguhan penyerahan barang setelah terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli. 3. Adapaun perbedaan fundamental antara keduanya adalah dasar hukum yang mempengaruhi dibolehkan atau tidaknya transaksi dilakukan, seperti jenis komoditas dan pelaku transaksi. Karena yang menjadi dasar hukum e-commerce adalah aturan negara dimana transaksi itu dilakukan, maka bisa jadi ditemukan adanya pembolehan transaksi terhadap komoditas yang dilarang oleh agama. Demikian juga pelaku tidak ada batasan baligh atau tidak, pada e-commerce yang penting baik penjual maupun pembeli
466
ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010
kesepakatan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Azhar Basyir, (2000), Asas-asas Hukum Muamalat (hukum, Perdata Islam). Yogyakarta: UII Press. Al Azis, Moh. Saifulloh, (1998), Fiqih Islam lengkap. Surabaya:Terbit terang. Al-Bûthî, Muhammad Taufiq Ramadân, (1989), Al-Buyû asy-Syâ’i’ah, cet. 1, Dar al-Fikri, Beirut. Al-Muslih, Abdullah. (1997), Jual Beli dan Hukum-Hukumnya. Jakarta : Sinar Grafika. Al-Qurthubi. (1372H). Al-Jâmi, li ahkâm alQur'an, cet. 2. Kairo : Dâr asy-Syâb. An-Nawawi. (1405H). Raudhah at-Thâlibīn, cet. 2. Beirut : Al-Maktab al-Islâmi. Anshari, Abdul Ghafur. (2007). Asuransi Syari'ah Di Indonesia, Regulasi Dan Operasionalisasinya Di Dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia.Yogyakarta : UII Press. Asnawi, Haris Faulidi. (2004). Transaksi Bisnis E-commerce Perspektif Islam. Yogyakarta : Magistra Insani. Asy-Syafi'i, Imtihan, Prinsip-Prinsip Mu'âmalah, http://an-nuur.org, diakses tgl. 28 Juli 2009. Barkatullah, Abdul Halim. (2006). Hukum Islam, Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Bekembang, Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Behesti, Muhammad, 1992, Ownership in Islam (Kepemilikan dalam Islam), Pustaka Hidayah, Jakarta. Djamil, Fathurrahman. (1997). Filsafat Hukum Islam, cet. I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Faisal, Sanapiah. (20050. Fomat-Format Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Faulidi, Haris. (2004). Transaksi Bisnis Ecommerce. Yogyakarta : Magistra Insani. Hasbi. (1993). Falsafat Hukum Islam, cet. IV. Jakarta: Bulan Bintang.
Makarim, Edmon. (2000), Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT.Gravindo Persada. Mushofa, Mahin. (2005). Pelatihan Aplikasi Internet Terpadu. Malang : UMM Pres. Pasaribu, Choiruman, 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta :Sinar Grafika Sabiq, Sayyid. (2001). Fiqh as-Sunnah. Bandung : Al-Ma’arif. Shihab, M. Quraish. (2002), Tafsir al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati. Sulaiman Rasjid. (2002). Fiqih Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Undang-undang tentang Ketentuan Umum, UU No. 11 Tahun 2008.
Azhar Muttaqin, Transaksi E-Commerce Dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam
467