TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA DAN IMPLIKASINYA PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : FIFIN NIYA PUSYAKHOIS 052111024
JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juli 2010 Deklarator
FIFIN NIYA PUSYAKHOIS NIM. 052111024
MOTTO
ﺿﺮَارًا ﱠﻟ َﺘ ْﻌ َﺘﺪُو ْا ِ ﻦ ﺴﻜُﻮ ُه ﱠ ِ ﻻ ُﺗ ْﻤ َ ف َو ٍ ﺳ ﱢﺮﺣُﻮ ُهﻦﱠ ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو َ ف َأ ْو ٍ ﻦ ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو ﺴﻜُﻮ ُه ﱠ ِ ﻦ َﻓَﺄ ْﻣ ﺟَﻠ ُﻬ ﱠ َ ﻦ َأ َ ﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱠﻨﺴَﺎء َﻓ َﺒَﻠ ْﻐ َ َوِإذَا ﻦ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﱢﻣ َ ل َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َوﻣَﺎ أَﻧ َﺰ َ ﺖ اﻟّﻠ ِﻪ َ ت اﻟّﻠ ِﻪ ُهﺰُوًا وَا ْذ ُآﺮُو ْا ِﻧ ْﻌ َﻤ ِ ﺨ ُﺬ َو ْا ﺁﻳَﺎ ِ ﻻ َﺗ ﱠﺘ َ ﺴ ُﻪ َو َ ﻇَﻠ َﻢ َﻧ ْﻔ َ ﻚ َﻓ َﻘ ْﺪ َ ﻞ َذِﻟ ْ َوﻣَﻦ َﻳ ْﻔ َﻌ ﻋﻠِﻴ ٌﻢ َ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ن اﻟّﻠ َﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ﻋَﻠﻤُﻮ ْا َأ ﱠ ْ ﻈﻜُﻢ ِﺑ ِﻪ وَا ﱠﺗﻘُﻮ ْا اﻟّﻠ َﻪ وَا ُ ﺤ ْﻜ َﻤ ِﺔ َﻳ ِﻌ ِ ب وَا ْﻟ ِ ا ْﻟ ِﻜ َﺘﺎ “Apabila kamu mentalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) unuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Baqarah : 231).”
ABSTRAK
Penelitian yang berbentuk skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya praktek perceraian yang dilaksanakan di luar Pengadilan Agama di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Praktek tersebut tentu berbeda dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Rumusan masalah dalam penelitian ini terdiri dari tiga permasalahan yakni: 1. Faktor apa saja yang menjadi penyebab perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap implikasi perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal? Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama adalah faktor agama dan kemudahan dalam proses perceraiannya serta murahnya biaya. Pelaksanaan cerai di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dalam konteks hukum Islam memiliki dua status hukum yang berbeda sesuai dengan konteks hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dalam lingkup hukum Islam asal (fiqih), status perceraian yang dilakukan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal di luar Pengadilan Agama tidak ada pertentangan dengan hukum tersebut sehingga tetap dianggap sah dan perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan yang baru maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan yang baru pasca perceraian) tetap sah. Sedangkan dalam konteks hukum Islam yang ada di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam KHI dalam Pasal 115 dan Pasal 142. Status tidak sah tersebut sekaligus juga berimbas pada perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan baru dan anak hasil dari perkawinan yang baru pasca perceraian) ikut menjadi tidak sah menurut KHI. Implikasi yang diakibatkan dari adanya perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban dapat menimbulkan madlarat, baik bagi masyarakat maupun negara. Hal tersebut mengindikasikan adanya ketidaksesuaian dengan kaidah hukum Islam tentang penerapan hukum Islam yang menyebutkan bahwa penerapan hukum harus dapat membuang madlarat ()اﻟﻀﺮر ﻳﺰال.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam selalu tercurah kehadirat Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia pada perubahan dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang beradab dan penuh dengan perubahan. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini, tidak akan berhasil tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dari semua pihak yang berada disekeliling penulis, sehingga skripsi ini dapat diterima sebagai prasyarat dalam menempuh pembelajaran di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, untuk itu ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis tunjukkan kepada : 1.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Drs. H. Muhyidin, M.Ag beserta seluruh sifitas akademik yang telah memberikan berbagai kebijakan untuk memanfaatkan segala fasilitas di Fakultas Syari’ah.
2.
Bapak Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag, dan Ibu Dra. Hj. Nur Huda, M.Ag selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II yang telah mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran membimbing dalam proses penulisan skripsi.
3.
Para dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberi bimbingan dan arahan dalam proses belajar di kuliah ataupun dalam diskusi.
4.
Para pegawai perpustakaan Fakultas Syari’ah dan perpustakaan IAIN Walisongo Semarang yang telah meminjamkan buku-bukunya sebagai bahan rujukan bagi penulis.
5.
Bapak Sugito selaku Kepala Desa, bapak Chasbullah dan para karyawan yang telah mengizinkan, membantu serta menganhantarkan penulis menyelesaikan skripsi ini.
6.
Masyarakat Desa Penaruban Weleri selaku responden yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penyelesaian skripsi ini.
7.
Bapak dan Ibuku tercinta Syafi’i Ismail dan Sri Pujiyati, yang telah banyak memberikan semangat, saran, curahan kasih sayang, serta tetes air mata sehingga ananda dapat menyelesaikan studi ini.
8.
Adik-adik M. Yasien Misbah, Lusiana Ning Saputri dan Siti Zaskia Nur Khasanah terima kasih untuk motivasi dan kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
9.
Sahabat-sahabatku Isna, Daim, Rifa, Leha, Ajeng, Njun, Saipul, Reza dan Ichwan yang menjadi bagian dalam proses pembelajaran penulis di kampus IAIN. Terima kasih buat persahaban kalian yang indah ini.
10.
Adik-adik C10 (Risda, Nila, Mahbub dan Ina) terima kasih untuk waktu, motivasi dan doanya.
11.
Teman-teman angkatan 2005 khususnya AS A 2005 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Kepada mereka semua, tiada yang dapat penulis perbuat untuk membalas kebaikan mereka, kecuali ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya serta doa penulis, semoga amal kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan balasan kebaikan yang berlipat ganda. Amin ya Rabbal Alamin........ Akhir kata penulis berdo’a semoga karya yang sederhana ini di dalamnya terkandung nilai manfaat serta membawa banyak arti, khususnya bagi penulis secara pribadi dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb Semarang, 12 Juli 2010 Penulis
Fifin Niya Pusyakhois NIM. 052111024
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………..
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………
iii
HALAMAN DEKLARASI…………………………………………
iv
HALAMAN MOTTO………………………………………………
v
HALAMAN ABSTRAK……………………………………………
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………….
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR………………………………..
viii
DAFTAR ISI………………………………………………………..
x
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………….
1
B. Rumusan Masalah…………………………………...
6
C. Tujuan Penelitian……………………………………
7
D. Telaah Pustaka………………………………………
7
E. Metodologi Penelitian……………………………….
12
F. Sistematika Penulisan……………………………….
16
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian……………………………….
19
B. Dasar Hukum Perceraian……………………………
21
C. Akibat-akibat Perceraian…………………………….
25
D. Tata Cara Perceraian………………………………...
28
DESKRIPSI PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL A. Profil
Desa
Penaruban
Kecamatan
Weleri
Kendal…………………………………………….....
Kabupaten 44
B. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal…………………... 49
x
C. Pendapat Tokoh Masyarakat Terhadap Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal…………………... 62 BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR PENGADILAN
AGAMA
DI
DESA
PENARUBAN
KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal……………………………………………….
65
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Implikasi Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal……………………………………….. 76 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………
83
B. Saran…………………………………………………..
85
C. Penutup………………………………………………..
85
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu aktifitas manusia telah menjadi takdir Allah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah firman Allah dalam surat ar-rum ayat 21 sebagai berikut:
ﻞ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ َﻣ َﻮ ﱠد ًة َ ﺟ َﻌ َ ﺴ ُﻜ ُﻨﻮْا ِاَﻟ ْﻴﻬَﺎ َو ْ ﺴ ُﻜ ْﻢ َا ْزوَاﺟًﺎ ِﻟ َﺘ ِ ﻦ َا ْﻧ ُﻔ ْ ﻖ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﺧَﻠ َ ن ْ ﻦ َاﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َا ْ َو ِﻣ ﺖ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم ﱠﻳ َﺘ َﻔ ﱠﻜ ُﺮوْن ِ ﻚ َﻷﻳ َ ن ﻓِﻰ ذِﻟ َّ ﺣ َﻤ ًﺔ ِا ْ َو َر Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Qs. Ar-Rum: 21).1 Berdasarkan firman di atas, maka secara tidak langsung perkawinan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama adalah fungsi ibadah, yakni sebagai perwujudan dari ajaran Islam tentang jalinan hubungan yang sah antara lakilaki dan perempuan yang bukan muhrim untuk menjalin hubungan keluarga layaknya suami-isteri. Disebut sebagai fungsi ibadah karena merupakan wujud pelaksanaan syari’at dan takdir Allah sebagaimana terkandung dalam firman di atas. Sedangkan fungsi kedua adalah fungsi sosial yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yakni sebagai sarana untuk menyalurkan seksualitas dan menyalurkan hawa nafsu, mengembangkan prinsip tolong menolong, serta mengembangkan keturunan secara sah dan benar. Perkawinan merupakan 1
Departemen Agama RI, .Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Penerbit JART, hlm. 406.
1
salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk melaksanakannya, karena perkawinan dapat mengurangi maksiat penglihatan memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu bagi yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi perbuatan tercela yang sangat keji yaitu perzinaan. 2Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.3 Sebagai aktifitas yang memiliki nilai ibadah, maka dalam proses perkawinan - menurut hukum Islam - diterapkan beberapa aturan untuk mencapai keabsahan secara agama. Tata aturan tersebut di antaranya berkaitan dengan syarat dan rukun perkawinan hingga proses perkawinan itu sendiri. Selain diatur dalam konteks agama, di Indonesia perkawinan juga diatur dalam sebuah undang-undang khusus yang hanya membahas mengenai perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).4
2
AhmaRofiq, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995, hlm. 3 Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000, hlm. 96. Sedangkan dalam KHI dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Lihat dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kompilasi Hukum Islam, Tim Redaksi Fokus Media (ed), Bandung: Fokus Media, 2005, hlm. 7. 4 UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan berlaku untuk masyarakat umum. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam adalah tata aturan hukum
2
Sebuah perkawinan, menurut kedua tata aturan di atas, akan dianggap sah manakala dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pemerintah yang membidangi perkawinan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.5 Meskipun
bersifat
ibadah,
tidak
semua
manusia
dapat
mempertahankan mahligai perkawinan mereka. Apabila pasangan suami-isteri telah merasa tidak mungkin lagi mempertahankan perkawinannya, maka Islam pun membolehkan mereka untuk melakukan perceraian. Namun kebolehan tersebut merupakan sebuah perbuatan halal yang dibenci atau dimurkai oleh Allah. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam salah satu hadits berikut ini:
اﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل اﻟﻰ اﷲ: ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ اﻟﻄﻼق Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi bersabda: Perkara halal yang paling dibenci Allah Azza Wajalla ialah talak”. 6 Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di sisi lain juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan suami isteri. Hal ini seperti tersirat dalam tata aturan Islam mengenai proses perceraian. Pada saat pasangan akan melakukan perceraian atau dalam proses pertikaian pasangan suami-isteri, Islam mengajarkan agar dikirim hakam yang
yang dibuat oleh pemerintah, melalui lembaga keagamaan (Kemendepag dan MUI) yang ditujukan untuk mengatur masalah perkawinan bagi umat Islam dalam konteks ajaran agama Islam. 5 Departemen Agama RI, ”Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”, op. cit., hlm. 97. 6 Muh. Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abi Dawud juz I, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th., hlm. 255.
3
bertugas untuk mendamaikan keduanya. Dengan demikian, Islam lebih menganjurkan untuk melakukan perbaikan hubungan suami-isteri daripada memisahkan
keduanya.
Perihal
anjuran
penunjukan
hakam
untuk
mendamaikan perselisihan antara suami-isteri dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:
ﻦ َأ ْهِﻠﻬَﺎ إِن ُﻳﺮِﻳﺪَا ْ ﺣﻜَﻤ ًﺎ ﱢﻣ َ ﻦ َأ ْهِﻠ ِﻪ َو ْ ﺣﻜَﻤًﺎ ﱢﻣ َ ق َﺑ ْﻴ ِﻨ ِﻬﻤَﺎ ﻓَﺎ ْﺑ َﻌﺜُﻮ ْا َ ﺷﻘَﺎ ِ ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ ِ ن ْ َوِإ ﺧﺒِﻴﺮًا َ ﻋﻠِﻴﻤًﺎ َ ن َ ن اﻟّﻠ َﻪ آَﺎ ﻖ اﻟّﻠ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ِإ ﱠ ِ ﺻﻼَﺣًﺎ ُﻳ َﻮ ﱢﻓ ْ ِإ Artinya :" Dan jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua orang hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An- Nisa : 35)” 7 Dalam konteks hukum positif di Indonesia, prosedur perceraian juga diatur dalam proses yang terdaftar. Selain proses pendamaian, sebagaimana didasarkan pada hukum Islam, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri.8 Setelah adanya alasan-alasan yang sesuai, tidak berarti perceraian langsung dapat dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Langkah berikutnya adalah pelaksanaan proses perceraian di depan Pengadilan Agama. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006 yaitu : "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
7
Depertemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, op, cit., hlm. 123 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (2) 8
4
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak."9 Dengan demikian, perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama merupakan perceraian yang ilegal menurut hukum perundangundangan. Maksud dari perceraian di luar Pengadilan Agama adalah perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri tanpa melibatkan Pengadilan Agama namun dilakukan secara langsung dan bersifat lisan antara suami dan isteri. Meskipun telah diatur dalam hukum perundang-undangan, cerai di luar Pengadilan Agama masih juga dilakukan oleh beberapa masyarakat. Hal ini seperti yang terjadi di lingkungan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Pada dasarnya, masyarakat Desa Penaruban ratarata menganggap bahwa perceraian cukup dilakukan secara lisan dan dianggap sah serta dengan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Setelah adanya perceraian secara lisan, para pasangan suami-isteri juga melakukan pembagian harta gono gini, mengurusi hadanah anak, dan bahkan tidak jarang dari pasangan yang telah bercerai tersebut kemudian melakukan perkawinan berikutnya dengan orang lain tanpa melalui KUA. Hal tersebut tidak lain karena keyakinan masyarakat bahwa perceraian yang mereka lakukan adalah benar secara agama. Menurut mereka, keabsahan secara agama
9
Mengenai ketentuan tentang perceraian yang harus dilakukan di depan Pengadilan Agama dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama; Selain dalam UU tersebut, terkait dengan ketentuan perceraian harus dilakukan di depan Pengadilan Agama juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (1) serta dalam KHI Pasal 115. Selain dijelaskan dalam UU, mengenai masalah prosedur perceraian dalam hukum Islam juga dapat dilihat dalam A. Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995; Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
5
lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu masyarakat Desa Penaruban berani menikah lagi meskipun perceraian yang mereka lakukan tidak sah menurut hukum negara.10 Peristiwa yang terjadi pada masyarakat Desa Penaruban merupakan salah satu masalah hukum yang unik antara hukum agama dan hukum positif negara. Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan sebuah penelusuran secara ilmiah terkait dengan fenomena yang terjadi tersebut. Penelusuran ilmiah tersebut akan penulis laksanakan dalam wujud penelitian sebagai syarat akademik dengan judul penelitian ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Cerai Di Luar Pengadilan Agama Dan Implikasinya Pada Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa permasalahan dalam benak penulis untuk membahas masalah tersebut. Adapun rumusan masalah yang akan dikaji sebagai berikut: 1. Faktor apa yang mendorong masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dalam melakukan cerai di luar Pengadilan Agama? 2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap cerai di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal?
10
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Chasbullah, selaku modin di Desa Penaruban. Wawancara pra penelitian dengan Chasbullah, modin Desa Penaruban, tanggal 8 April 2010.
6
3. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap implikasi cerai di luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal?
C.
Tujuan Penelitian Berkaitan dengan penulisan skripsi ini penulis mempunyai beberapa tujuan pokok, yaitu: 1. Mengetahui faktor yang mendorong masyarakat Desa Penaruban dalam melakukan cerai di luar Pengadilan Agama 2. Mengetahui Tinjauan Hukum Islam terhadap cerai di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal? 3. Mengetahui Tinjauan Hukum Islam terhadap implikasi cerai di luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal?
D.
Telaah Pustaka Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang mengambil lokasi di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Untuk menunjang dalam mengkaji dan menganalisa tentang perceraian di luar pengadilan, agar sesuai dengan sasaran dan maksud yang diinginkan, maka penulis menelaah beberapa buku-buku, skripsi yang hampir sama pembahasannya, serta perundang-undangan yang ada kaitannya dengan perceraian. Maka berikut ini
7
akan penulis paparkan beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang akan penulis laksanakan, yakni: Hasil penelitian mahasiswa Syari’ah atas nama Muslihuddin (2101122) yang lulus uji penelitian pada tahun 2007. Penelitian tersebut berjudul Dampak Perceraian di Bawah Tangan (Studi Kasus di Desa Tegal Mulya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu Jawa Barat). Penelitian yang memusatkan kajian masalah pada alasan dan status hukum perceraian di bawah tangan ini menyimpulkan bahwasanya alasan terjadinya perceraian di bawah tangan adalah adanya kecepatan, keringan biaya, serta sebagai perceraian alternatif. Sedangkan status hukumnya adalah sah menurut hukum normatif dan tidak sah menurut hukum negara.11 Meskipun memiliki kesamaan obyek penelitian, menurut penulis, perbedaan karakter dan alasan akan menjadikan penelitian yang akan penulis laksanakan berbeda dengan penelitian yang telah dilaksanakan. Dalam penelitian yang akan penulis laksanakan, alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden tidak seperti yang diungkapkan dalam penelitian yang telah dilaksanakan. Pada dasarnya alasan yang digunakan masyarakat Desa Penaruban adalah adanya legalitas hukum agama di atas hukum negara serta adanya faktor salah satu pihak pergi meninggalkan pihak lain tanpa diketahui keberadaannya dalam waktu yang lama. Dengan demikian penelitian yang akan penulis laksanakan, menurut penulis akan berbeda dengan penelitian yang telah ada.
11
Muslihuddin, Dampak Perceraian di Bawah Tangan (Studi Kasus di Desa Tegal Mulya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu Jawa Barat): Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007.
8
Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Lina Masruroh (2102187), mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang lulus pada tahun 2007 dengan judul Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Kendal No. 1042/ Pdt.G/ 2004/ PA. Kendal Tentang Cerai Gugat Menjadi Pembatalan Perkawinan. Penelitian yang memusatkan pada kajian sebab PA Kendal merubah cerai gugat menjadi pembatalan perkawinan tersebut menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: menurut Hakim Pengadilan Agama Kendal, perkara tentang cerai gugat menjadi pembatalan perkawinan karena pernikahannya tidak sah, dan dalam memutuskan pembatalan perkawinan menggunakan Undang- Undang, KHI,
dan Kaidah Fiqih sebagai dasar
hukum. Penelitian ini sekilas ada kemiripan dengan penelitian yang akan penulis laksanakan terkait dengan implikasi dari cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.12 Namun demikian, terdapat perbedaan mendasar bahwasanya penelitian yang telah dilakukan tersebut terpusat pada penyebab batalnya perkawinan karena perkawinan yang tidak sah sedangkan dalam penelitian yang akan penulis laksanakan berhubungan dengan salah satu sebab yang dapat menjadikan perkawinan seseorang menjadi tidak sah. Dengan demikian, tidak ada kesamaan mendasar maupun menyeluruh antara penelitian yang akan penulis laksanakan dengan penelitian yang terdahulu. Selain kedua penelitian di atas, ada beberapa penelitian yang memusatkan kajian pada proses perceraian. Namun lingkup dari penelitian 12
Lina Masruroh Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Kendal No. 1042/ Pdt.G/ 2004/ PA. Kendal Tentang Cerai Gugat Menjadi Pembatalan Perkawinan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang ,2007.
9
tersebut hanya mencakup salah satu jenis perceraian atau proses perceraian di Pengadilan Agama. Sepanjang penelusuran penulis, hanya dua hasil penelitian di atas yang hampir memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Dengan demikian, penulis merasa yakin - berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan di atas - bahwasanya penelitian yang akan penulis laksanakan jauh dari pendapat orang lain.
Selain penelitian di atas, memang ada beberapa penelitian yang memusatkan kajian pada proses perceraian. Namun lingkup dari penelitian tersebut hanya mencakup salah satu jenis perceraian atau proses perceraian di Pengadilan Agama. Di samping hasil penelitian lapangan, telaah pustaka ini juga meliputi hasil karya ilmiah berupa buku yang di antaranya adalah sebagai berikut: Buku karya A. Rofiq yang berjudul Hukum Perdata
Islam di
Indonesia. Dalam buku ini salah satu penjelasannya adalah mengenai prosedur perkawinan dan perceraian menurut hukum perundang-undangan di Indonesia. A. Rofiq menjelaskan bahwasanya perkawinan dan perceraian yang sah adalah yang dilakukan berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan akan dianggap sah jika dilakukan di depan Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) di KUA. Sedangkan perceraian akan dianggap sah dan berlaku akibat hukum adalah perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama.13 Hal yang sama juga dinyatakan dalam kajian pustaka berikut ini yang merupakan hasil karya dari Idris Ramulyo yang berjudul Asas-Asas Hukum 13
A. Rofiq, op.cit.
10
Islam. Namun dalam bukunya, Idris Ramulyo juga menjelaskan tentang dasar hukum perkawinan dalam Islam yang juga menyangkut hukum asal tentang perceraian.
Idris
Ramulyo
menjelaskan
bahwasanya
pada
dasarnya
perkawinan sah menurut Islam adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.14 Sedangkan pada perceraian, menurut hukum dasar Islam, proses tersebut dapat dilakukan oleh pihak keluarga yang telah ditunjuk menjadi hakam yang bertugas mendamaikan dan apabila tidak dapat didamaikan maka hakam boleh dan dapat menceraikan pasangan suami isteri tersebut. Dari dua kajian buku tersebut, maka dapat diketahui bahwasanya ada kesamaan antara penelitian yang akan penulis laksanakan dengan dua kajian ilmiah. Kesamaan tersebut adalah sama-sama melakukan pembahasan mengenai prosedur perceraian. Meski demikian, ada perbedaan mendasar antara dua kajian buku di atas dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Perbedaan tersebut adalah bahwasanya penelitian yang akan penulis laksanakan lebih cenderung pada praktek pelaksanaan perceraian di kalangan umat Islam, khususnya di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal sedangkan kajian dua buku masalah dalam konteks teori pelaksanaan perceraian. Berdasarkan penjelasan di atas, sepengetahuan penulis belum ada penelitian yang memiliki kesamaan secara menyeluruh dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Maka dalam skripsi ini, secaara garis besar 14
M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
11
penulis akan memfokuskan pada pembahasan perceraian di luar Pengadilan Agama dan relevensinya dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
E.
Metodologi Penelitian Metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan dalam suatu penelitian.15 Sedangkan menurut Winarko Surahmad, metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk mengkaji serangkaian hipotesa dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu. Cara utama ini digunakan setelah penyelidikan dalam memperhitungkan kewajarannya ditinjau dari tujuan penyelidikan serta dari situasi penyelidikan, karena pengertian dari metode penyelidikan adalah pengertian yang luas, yang biasanya perlu dijelaskan lebih eksplisit di dalam setiap penyelidikan.16 Supaya dapat memperoleh hasil yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan maka penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu suatu penelitian yang meneliti obyek di lapangan untuk mendapatkan data dan gambaran yang jelas dan konkrit tentang hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. 15
Joko Subagya, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : PT. Rineka Cipta, Cet. Ke-I, 1991, hlm. 2. 16 Winarko Surakhmad, Pengantar Penelitian Dasar Metode Teknik, Bandung: Transito, edisi VIII, 1989, hlm. 131.
12
Obyek penelitian ini adalah masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang melaksanakan cerai di luar Pengadilan Agama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian ini, didapat pencandraan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.17 2. Sumber Data Adapun sumber data dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua bentuk sumber data sebagai pusat informasi pendukung data yang dibutuhkan dalam penelitian. Sumber data tersebut adalah: a.
Sumber Data Primer Yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.18 Adapun sumber data primernya adalah hasil wawancara dan observasi tentang pelaksanaan cerai di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
18
17
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,Jakarta, Rajawali Pers (cet. VII), 1992, hlm
18
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet I, 1998, hlm.
91.
13
Kabupaten Kendal. Hasil dari data primer ini akan dipaparkan pada Bab III.
b.
Sumber Data Sekunder Yaitu data yang diambil dari sumber kedua yang berupa buku panduan tentang obyek perceraian yang menjadi penelitian penulis, dan buku-buku atau artikel-artikel yang berkaitan dengan pembahasan penelitian tentang pelaksanaan cerai di luar Pengadilan
Agama
pada
masyarakat
Desa
Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. 3.
Metode Pengumpulan Data Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a.
Wawancara ( Interview ) Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden).19 Narasumber yang akan di wawancarai adalah responden (Pelaku), Modin Desa, Kepala Desa, dan tokoh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.
b. 19
Dokumentasi
Rianto Adi, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 72.
14
Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data berupa sumber data tertulis (yang berbentuk tulisan). Sumber data tertulis dapat dibedakan menjadi: dokumen resmi, buku, arsip, ataupun dokumen pribadi dan juga foto.20 Dokumen-dokumen yang akan dikumpulkan meliputi buku-buku yang berkaitan dengan teori serta dokumen lapangan yang berkaitan dengan proses cerai di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. 4.
Metode Analisis Proses analisa data merupakan suatu proses penelaahan data secara mendalam. Menurut Lexy J. Moleong proses analisa dapat dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pelaksanaan pengumpulan data meskipun pada umumnya dilakukan setelah data terkumpul.21 Guna memperoleh gambaran yang jelas dalam memberikan, menyajikan, dan menyimpulkan data, maka dalam penelitian ini digunakan metode analisa deskriptif kualitatif, yakni suatu
analisa
penelitian
yang
dimaksudkan
untuk
mendeskripsikan suatu situasi tertentu yang bersifat faktual secara sistematis dan akurat.22 Penggunaan metode menggambarkan pada adanya usaha untuk menganalisa seluruh data (sesuai dengan pedoman rumusan 20
71.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.
21
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, hlm. 103. 22 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002, hlm. 41.
15
masalah) sebagai satu kesatuan dan tidak dianalisa secara terpisah. Sedangkan pendekatan analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum (law approach). Penggunaan pendekatan ini tidak lain dikarenakan sebuah proses pengambilan dan penetapan hukum tidak akan dapat dilepaskan dari
aspek-aspek
kehidupan
pada
saat
proses
tersebut
berlangsung. Melalui pendekatan hukum ini, data yang telah diperoleh akan dikaji dalam konteks hukum, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik hukum Islam, dan fungsi hukum bagi masyarakat khususnya terkait dengan cerai di luar Pengadilan Agama. F.
Sistematika Penulisan Penyusunan hasil penelitian yang akan penulis laksanakan terdiri atas dua bagian dengan penjelasan sebagai berikut: Bagian awal yang isinya meliputi cover, lembar pengesahan, nota pembimbing, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, dan daftar isi. Bagian isi yang terdiri atas lima bab dengan penjelasan isi sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Isinya meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
16
Menjelaskan tentang Pengertian Cerai, Dasar Hukum Perceraian, Akibat-akibat dari Perceraian, dan Prosedur Perceraian. BABIII: DESKRIPSI CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT
DESA
PENARUBAN
KECAMATAN
WELERI
KABUPATEN KENDAL. Isi dari bab ini meliputi Profil Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal, Praktek Cerai Di Luar Pengadilan Agama Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal, Pendapat Tokoh Masyarakat terhadap Cerai Di Luar Pengadilan Agama Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. BAB IV: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Desa Penaruban dalam melaksanakan cerai di luar Pengadilan Agama, Tinjauan hukum islam terhadap cerai di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal, dan Tinjauan hukum islam terhadap implikasi cerai di luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. BAB V : PENUTUP Dalam bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi yang isinya meliputi kesimpulan, Saran, dan Penutup.
17
18
19
19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian Perceraian dalam bahasa arab adalah اﻟﻄﻼ قyang berasal dari kata ﻃﺎق- ﻃﻼ ﻗﺎ – ﻳﻄﺎقyang bermakna cerai nikah, bercerai.1 Sedangkan pengertian talak menurut istilah dapat diketahui dari beberapa pengertian di bawah ini: ﻓﻰ اﻻ ﺻﻄﻼ ح ﺑﺄﻧﻪ ازاﻟﺔ اﻟﻨﻜﺎ ح اوﻧﻘﺼﺎ ن ﺣﻠّﻪ ﺑﻠﻔﻆ ﻣﺨﺼﻮص Artinya: Talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan katakata tertentu.2 ﻞ راﺑﻄﺔ اﻟﺰوج واﻧﻬﺎء اﻟﻌﻼ ﻗﺔ اﻟﺰوﺟﻴﺔ ّ وﻓﻰ اﻟّﺸﺮع ﺣ Artinya: Talak menurut syara' ialah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami isteri.3 ﻰ ورد اﻟ ﺸﺮع ﺑﺘﻘ ﺮ ﻳ ﺮﻩ ّ ﻞ ﻗﻴ ﺪ اﻧّﻜ ﺎ ح وه ﻮ ﻟﻔ ﻆ ﺟ ﺎ هﻠ ّ وه ﻮﻓﻰ اﻟ ﺸّﺮع اﺳ ﻢ ﻟﺤ ﺴﻨّﺔ ّ ﺳﻨّﺔ وا ﺟﻢ ع ا هﻞ اﻟﻤﻠﻞ ﻣﻊ اهﻞ اﻟ ّ واﻷﺻﻞ ﻓﻴﻪ اﻟﻜﺘﺎ ب وا Artinya: Talak menurut syara' ialah nama untuk melepaskan tali ikatan nikah dan talak itu adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata melepaskan
nikah.
Dalil-dalil
tentang
talak
adalah
berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma' ahli agama dan ahlus sunnah.4 1
H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsiran Al-Qur'an, Jakarta, 1973, hlm. 239 2 Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1972, hlm. 216. 3 Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, hlm. 278 4 Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 84
20
Abdul Djamali dalam bukunya, Hukum Islam, mengatakan bahwa perceraian merupakan putusnya perkawinan antar suami-istri dalam hubungan keluarga.5 Dari definisi yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud talaq adalah melepas adanya tali perkawinan antara suami isteri dengan mengunakan kata khusus yaitu kata talak atau semacamnya sehingga isteri tidak halal baginya setelah ditalak. Putusnya perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan itu dapat terjadi dalam dua keadaan: 1. Kematian salah satu pihak 2. Putus akibat perceraian.6 Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami dan isteri masih hidup (perceraian) dapat terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas kehendak isteri dan terjadi di luar kehendak suami isteri. Menurut hukum Islam, berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang disebut talak, dapat terjadi melalui apa yang disebut ila' dan dapat pula terjadi melalui apa yang disebut li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut zihar.7 Berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak isteri dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib, dapat terjadi melalui apa yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa' 5
Abdul Djamali, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997, hlm. 95. Ibid., hlm. 94 7 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 73. 6
21
(pengaduan). Berakhirnya perkawinan di luar kehendak suami dapat terjadi atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab matinya suami atau isteri.8 Sejalan dengan keterangan di atas, Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara: talak, khulu, fasakh, li'an dan ila' .9 Oleh sebab itu menurut Mahmud Yunus Islam memberikan hak talak kepada suami untuk menceraikan isterinya dan hak khulu kepada isteri untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk kedua suami-isteri. Dengan demikian maka yang memutuskan perkawinan dan menyebabkan perceraian antara suami-isteri, ialah talak, khulu, fasakh.10 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113, disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: 1. Kematian 2. Perceraian 3. Putusan Pengadilan11 B. Dasar Hukum Perceraian Permasalahan perceraian atau thalaq dalam hukum Islam dibolehkan dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist. Hal ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini:
8
Ibid., hlm. 73. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 2. 10 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung, 1990, hlm. 110. 11 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005, hlm. 56. 9
22
Dalam surat Al- Baqarah ayat 231 disebutkan bahwa:
ﺳ ﱢﺮﺣُﻮ ُهﻦﱠ َ ف َأ ْو ٍ ﺴﻜُﻮ ُهﻦﱠ ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو ِ ﻦ َﻓ َﺄ ْﻣ ﺟَﻠ ُﻬ ﱠ َ ﻦ َأ َ ﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱠﻨﺴَﺎء َﻓ َﺒَﻠ ْﻐ َ َوِإذَا ﺴ ُﻪ َ ﻇَﻠ َﻢ َﻧ ْﻔ َ ﻚ َﻓ َﻘ ْﺪ َ ﻞ َذِﻟ ْ ﺿﺮَارًا ﱠﻟ َﺘ ْﻌ َﺘﺪُو ْا َوﻣَﻦ َﻳ ْﻔ َﻌ ِ ﻦ ﺴﻜُﻮ ُه ﱠ ِ ﻻ ُﺗ ْﻤ َ ف َو ٍ ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ل َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َوﻣَﺎ أَﻧ َﺰ َ ﺖ اﻟّﻠ ِﻪ َ ت اﻟّﻠ ِﻪ ُهﺰُوًا وَا ْذ ُآﺮُو ْا ِﻧ ْﻌ َﻤ ِ ﺨ ُﺬ َو ْا ﺁﻳَﺎ ِ ﻻ َﺗ ﱠﺘ َ َو ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ن اﻟّﻠ َﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ﻋَﻠﻤُﻮ ْا َأ ﱠ ْ ﻈﻜُﻢ ِﺑ ِﻪ وَا ﱠﺗﻘُﻮ ْا اﻟّﻠ َﻪ وَا ُ ﺤ ْﻜ َﻤ ِﺔ َﻳ ِﻌ ِ ب وَا ْﻟ ِ ﻦ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ﱢﻣ ﻋﻠِﻴ ٌﻢ َ Artinya : "Apabila kamu mentalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) unuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Baqarah : 231). 12 Hadist Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah.13
اﺑﻐﺾ: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل (ﻞ اﻟﻄﻼق )رواﻩ اﺑﻮ داود واﻟﺤﺎآﻢ وﺻﺤﺤﻪ ّ اﻟﺤﻼل إﻟﻰ اﷲ ﻋ ّﺰ وﺟ Artinya : “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak”.14 Dalam hal ini ditunjukkan pula bahwa Islam sangat berkeinginan agar kehidupan rumah tangga itu tentram dan terhindar dari keretakan, bahkan diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan yang baik dan saling 12 13
Ibid, hlm. 56 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
hlm. 268.
14
120.
Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Beirut : Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1996, hlm.
23
mencintai. Dan wanita yang menuntut cerai dari suaminya hanya karena menginginkan kehidupan yang menurut anggapannya lebih baik, dia berdosa dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena perkawinan pada hakekatnya merupakan salah satu anugerah Ilahi yang patut disyukuri. Dan dengan bercerai berarti tidak mensyukuri anugerah tersebut (kufur nikmat). Dan kufur itu tentu dilarang agama dan tidak halal dilakukan kecuali dengan sangat terpaksa (darurat). Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh. Perceraian dalam hukum negara diatur dalam: a. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya mulai dari Pasal 38 sampai Pasal 41. b. PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan yang diatur dalam Bab V tentang Tata Cara Perceraian yang tertulis dari Pasal 14 sampai dengan Pasal 36. c. UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menjelaskan tentang tata cara pemeriksaan sengketa perkawinan. Penjelasan tersebut diatur dalam
24
Bab Berita Acara bagian kedua tentang Pemeriksaan Sengketa Perkawinan yang diatur dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 91. d. Inpres No. I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Bab XVI tentang Putusnya Perkawinan serta Bab XVII tentang Akibat Putusnya Perkawinan. Pada bab XVI ketentuan mengenai perceraian dijelaskan dalam dua bagian. Bagian kesatu merupakan ketentuan umum tentang perceraian sedangkan bagian kedau berkaitan dengan tata cara perceraian. Dalam bab ini kedua bagian tersebut dijelaskan dari Pasal 114 sampai dengan Pasal 148. Sedangkan pada Bab XVII dijelaskan dari Pasal 149 sampai dengan Pasal 162. Berdasarkan beberapa sumber hukum, maka hukum talak itu dibagi menjadi 4, yaitu: 1. Wajib Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri dan talak digunakan sebagai tujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara suami isteri jika masing-masing pihak melihat bahwa talak adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri perselisihan. Selain terjadi syiqoq kasus ila dimana suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya juga dapat mewajibkan terjadinya perceraian. 2. Sunat Thalaq disunatkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina atau melanggar larangan-larangan agama atau meninggalkan kewajibankewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, istri tidak ‘afifah
25
(menjaga diri, berlaku terhormat). Hal ini dikarenakan istri yang demikian itu akan menurunkan martabat agama, mengganggu tempat tidur suami dan tidak terjamin keamanan anak yang dilahirkan. 3. Haram Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa thalaq diharamkan jika tidak ada keperluan untuk itu, karena talak yang demikian menimbulkan madharat, baik bagi suami maupun istri, serta melenyapkan kemaslahatan kedua suami istri itu tanpa alasan. 4. Makruh. Berdasarkan Hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan yang halal yang paling dibenci Allah SWT yakni dibenci jika tidak ada sebab yang dibenarkan, sedangkan Nabi tidak mengharamkannya juga karena talak dapat menghilangkan kemaslahatan yang terkandung dalam perkawinan. 15 C. Akibat-akibat Perceraian Suatu perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian suami istri yang masih hidup, maka akibat hukumnya sebagai berikut: 1.
Mengenai Hubungan Suami Istri Mengenai hubungan suami istri sudah jelas bahwa akibat dari perceraian adalah persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin kembali sepanjang ketentuan hukum masing-masing agamanya dan kepercayanya itu. Dalam perceraian perkawinan itu membolehkan rujuk menurut ketentuan-ketentuan hukum agama Islam 15
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munkahat, Jakarta: Kencana, 2006,hlm.214-217
26
usaha rujuk suami kepada istrinya dapat dilakukan. Akan tetapi menurut Pasal 41 ayat (3), undang-undang No. 1 tahun 1974, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istreri. 2.
Mengenai Anak. Menurut Pasal 41 ayat (1) dan (2), baik ibu atau bapak berkawijiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisian mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusan. Dan bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu dapat ikut memikul biaya tersebut. Disamping itu Pengadilan dapat pula memberikan keputusan tentang siapa diantara mereka yang menguasai anak yang memelihara dan mendidiknya, apabila ada perselisihan diantara kedunya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu didasarkan kepentingan anak. 16
3.
Mengenai Harta Benda Menurut Pasal 35, Undang-Undang No.1 tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang
16
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
27
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain.17 Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 87 ayat (2) bahwa mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hibah, hadiah, sodaqoh, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta benda. Selanjutnya dalam Pasal 88 dijelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.18 Menurut penjelasan Pasal 35, apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian. Akan tetapi Pasal 37, mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Maksud dari menurut hukumnya masing-masing, penjelasan Pasal 37 ini adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
17
M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia ,1990, hlm. 144-145 18 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1995, hlm. 134.
28
Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada penjelasan pasal 35 adalah sama dengan Pasal 37. Jelasnya, baik perkawinan putus karena perceraian maupun perkawinan putus karena kematian salah satu pihak, harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing, yakni hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.19 D. Tata Cara Perceraian Mengenai tata cara perceraian dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang - Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 serta ditegaskan dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 82 Undang - Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dalam hal tersebut dapat disimpulkan adanya dua macam perceraian yaitu : 1.
Cerai Gugat Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh isteri Kepada Pengadilan dan dengan suatu putusan Pengadilan, Undang - Undang Perkawinan Pasal 40 mengatakan. : a. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. b. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat Pasal ini diatur dalam Peraturan Perundangan tersendiri. Peraturan pelaksanaan dalam penjelasan Pasal 20 menegaskan sebagai berikut:
19
M . Djamil Latif loc, cit.
29
“Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam” Sedang dalam Pasal 73 Undang – Undang Nomor 3 tahun 2006 yaitu : 1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman Penggugat, kecuali Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin Tergugat. 2. Dalam hal Penggugat bertempat kediaman diluar negeri gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya tempat kediaman Tergugat. Ketentuan dalam Pasal 73 UU Nomor 3 tahun2006 merupakan kebalikan Pasal 118 HIR.142 Rbg, hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi pihak isteri untuk menuntut perceraian dari suami ditinjau dari segi waktu, dana dan perjalanan terutama dalam hal suami pergi meninggalkan tempat kediaman bersama.20 Demikian juga dalam penjelasan Pasal 73 UU No.3 tahun 2006 menyebutkan: (1)
Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) maka untuk melindungi pihak isteri, gugatan perceraian
20
Hensyah Syahlani, Penemuan dan Pemecahan masalah Hukum dalam Pengadilan Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1993, hlm. 60
30
diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat. Dengan memperhatikan Pasal-Pasal tersebut diatas, maka dalam cerai gugat dalam prosesnya telah jelas, justru dengan lahirnya UU No.3 tahun 2006 kedudukan isteri dalam mengajukan gugatan mendapatkan perlindungan hukum yang lebih ringan dimana isteri dapat mengajukan gugatan cerai di tempat daerah hukumnya. Selain alasan perceraian tersebut diatas menurut Pasal 116 huruf (g) dan (h) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan perceraian dapat pula beralasan karena suami melanggar taklik talak dan peralihan agama murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Dengan demikian perceraian dianggap sah harus dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku. Maksud dari aturan hukum yang berlaku kaitannya dengan perceraian adalah keberadaan UU No. 1 Tahun 1974. Hal ini karena pada dasarnya ketentuan KHI juga masih menginduk pada ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dengan indikator disebutkan dalam Pasal 4 mengenai perkawinan yang sah di mana disebutkan bahwasanya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.21
21
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1999/2000, 1999, hlm. 136.
31
2.
Cerai Talak Cerai talak hanya khusus untuk yang beragama Islam, seperti yang dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 sebagai berikut: “ Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan - alasan serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.” Sedang Hilman Hadikusuma menyebutkan seorang suami yang beragama
Islam
yang
akan
menceraikan
isterinya
mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar thalaq.22 Dan menurut Hensyah Syahlani menyebutkan bahwa apabila seorang suami hendak menceraikan istri, jalur yang harus ditempuh dengan cara mengajukan gugat permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama.23 Dari ketentuan pasal tersebut di atas, bahwa yang diajukan oleh suami merupakan Surat Permohonan yang isinya memberitahukan bahwa ia akan menceraikan isterinya dan untuk itu ia meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk penyaksian ikrar talak. Dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan:
22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut perundang, Hukum adat, Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hlm. 177. 23 Hensyah Syahlani, op. cit., hlm. 66
32
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Sedang Pasal 67 huruf a menyebutkan sebagai berikut: Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat: nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan Termohon yaitu isteri. Meskipun hukum menentukan sifat gugat “cerai talak” berupa permohonan, akan tetapi sifat permohonan dalam cerai talak tidak identik dengan gugat voluntair, sebab voluntair adalah permohonan cerai talak harus bersifat 2 pihak (Pasal 66 ayat 1 jo Pasal 67 huruf a UU Nomor 3 Tahun 2006).24 Perlu ditegaskan bahwa dalam cerai talak suami dalam permohonan mohon kepada Pengadilan Agama untuk dapat memberikan ijin kepadanya untuk menjatuhkan talak kepada isterinya, maka sifat permohonan ini bila dikabulkan oleh Pengadilan Agama, putusan yang dijatuhkan belum merupakan putusan final akan tetapi harus adanya tindak lanjut atau lebih kita kenal pelaksanaan isi putusan (eksekusi) namun dalam hal ini dikenal sidang penyaksian ikrar talak. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: MA/Kumdil/1973/IV/1990 tanggal 3 April 1990 menyatakan bahwa pada dasarnya cerai talak adalah merupakan sengketa perkawinan antara dua belah pihak berperkara, 24
Ibid., hlm. 66..
33
sehingga karenanya produk Hakim yang mengadili sengketa tersebut harus dibuat dalam bentuk dengan bentuk kata putusan dalam amar dalam bentuk Penetapan. Dengan demikian halnya dengan upaya hukum, dimana upaya hukum yang terbuka bagi putusan Pengadilan Agama terhadap perkara ini adalah banding (Pasal 70 ayat 2 UU No.3 tahun 2006). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 70 Undang - Undang Nomor 3 tahun 2006, yaitu : 1)
Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
2)
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) isteri dapat mengajukan banding.
3)
Setelah Penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
4)
Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu
akta
otentik
untuk
mengucapkan
ikrar
talak,
mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 5)
Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.
34
6)
Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri dan atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama. Selain perceraian dilakukan dengan cara cerai gugat dan cerai talak
tersebut, pihak isteri dapat mengajukan perceraian dengan alasan khuluk artinya perceraian berdasarkan persetujuan suami isteri yang berbentuk jatuhnya talak satu kali dari suami kepada isteri dengan adanya penebusan dengan harta atau uang oleh si isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.25 Dalam
rangka
menerima,
menyelesaikan suatu perkara
memeriksa,
mengadili
serta
yang diajukan kepada Pengadilan Agama
sebagaimana tersebut dalam UU No.4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan Kehakiman, Diperlukan Administrasi Pengadilan Agama yang benar dan tertib. Sehubungan hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran Peradilan Agama untuk melaksanakan dengan sungguh - sungguh pelaksanaan Administrasi tersebut sesuai Surat Keputusan Mahkamah Agung RI No.KMA/001/SK/I/1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang “ Penerapan dan Pelaksanaan Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan 25
hlm. 115.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 1986,
35
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama”. Yang melaksanakan tugas - tugas Administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut adalah Panitera Sebagaimana dalam Pasal 26 Undang - Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan: Panitera sebagai pelaksana kegiatan Administrasi Pengadilan memiliki 3 (tiga) macam tugas pokok yaitu: 1)
Pelaksanaan Administrasi perkara
2)
Pendamping Hakim dalam persidangan
3)
Pelaksana Putusan/Penetapan Pengadilan dan tugas - tugas kejurusitaan lainnya
Proses penerimaan perkara di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut: a. Pengajuan Perkara 1) Permohonan cerai gugat diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Penggugat. Dalam hal Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukum meliputi tempat kediaman Tergugat. Dalam hal Penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka berlangsung atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
36
2) Permohonan cerai talak diajukan oleh suami atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah wilayah hukumnya tempat kediaman Termohon,
kecuali
apabila
Termohon
dengan
sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin Pemohon. Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri, permohonan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukum meliputi tempat kediaman Pemohon. Dalam hal Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka berlangsung atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Menurut ketentuan Pasal 118 HIR, yaitu gugatan harus diajukan dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh Penggugat atau wakilnya. Surat permintaan tersebut dalam prakteknya disebut surat gugatan, Oleh karena itu gugatan harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili perkara itu. Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 120 HIR akan membuatkan atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud. b. Pemanggilan Setelah gugatan perceraian tersebut diterima oleh petugas Meja Pertama, kemudian diperintahkan untuk membayar vorschot biaya
37
perkara kecuali penggugat mengajukan perkara dengan cuma - cuma, yang selanjutnya dicatat dalam buku Register perkara dengan kode No…./Pdt.G/……/PA….. Selanjutnya oleh Ketua Pengadilan Agama diterbitkan surat Penunjukan Majelis Hakim (PMH), kemudian Ketua Majelis Hakim mengeluarkan surat Penetapan Hari Sidang (PHS) dan sekaligus memerintahkan kepada Jurusita/Jurusita Pengganti untuk memanggil kepada para pihak untuk datang dan hadir dalam persidangan yang telah ditetapkan. Jurusita dalam melaksanakan pemanggilan harus berdasarkan azas - azas pelaksanaan pemanggilan yaitu: 1) Harus memenuhi waktu yang patut artinya pada saat ketua menetapkan hari sidang hendaknya melihat dan mengingat akan jauh dekatnya tempat tinggal para pihak berperkara, sehingga tenggang waktu pemanggilan yang dilakukan oleh Jurusita dengan hari sidang tidak kurang dari 3 hari dan didalamnya tidak termasuk hari besar (Pasal 122 HIR/146 Rbg jo Pasal 26 ayat 4 PP No.9 tahun 1975 jo Pasal 138 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam.). 2) Harus dilakukan secara resmi, artinya sasaran atau obyek panggilan harus tepat dan tata cara pemanggilan sesuai ketentuan Perundang Undangan. 3) Panggilan harus disampaikan langsung kepada pribadi ditempat orang yang dipanggil.
38
4) Dalam hal orang yang dipanggil tidak dijumpai ditempat kediamannya, maka
Panggilan
dapat
disampaikan melalui
lurah atau kepala Desa (Pasal 390 HIR/ 718 Rbg, jo Pasal 26 ayat (3) PP No.9 tahun 1975 jo Pasal 138 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam). 5) Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, ataupun
orang yang dipanggil tidak dikenal, maka dilakukan pemanggilan umum oleh dan melalui Bupati/Walikota dalam wilayah tempat kediaman Penggugat atau pemohon. 6) Dalam hal salah satu pihak bertempat atau berdomisili di luar wilayah Hukum Pengadilan yang memeriksa perkaranya, maka panggilan dilakukan dengan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahinya. 7) Panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat apabila yang dipanggil bertempat berkedudukan di luar negeri (Pasal 28 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 jo Pasal 140 Kompilasi Hukum Islam). 8) Panggilan disampaikan kepada ahli waris apabila orang yang dipanggil meninggal dunia (Pasal 390 ayat 2 HIR/718 ayat 2 Rbg).
39
c. Memeriksa dan Mengadili Di samping azas dan tata cara pemeriksaan gugatan perceraian yang meliputi juga cerai talak dan gugat cerai tunduk sepenuhnya pada HIR dan Rbg, serta ketentuan khusus yang diatur dalam Undangundang Nomor 3 tahun2006, maka tata tertib pemeriksaan juga harus berpedoman pada azas umum yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun 2006 yaitu : a. Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari tiga orang hakim, salah seorang diantaranya sebagai Ketua Majelis dan yang lainnya sebagai Hakim anggota (Pasal 80 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006). b. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup ( Pasal 80 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2006) dan putusan perkara perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, Pasal 81 ayat (1) UU No.3 Tahun 2006. c. Pemeriksaan paling lambat 30 hari dari tanggal pendaftaran gugatan (Pasal 80 ayat (1) UU No.3 Tahun 2006), hal ini untuk memenuhi tuntutan azas yang ditentukan pada Pasal 4 ayat 2 UU No.14 Tahun 1970, yaitu Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. d. Pemeriksaan disidang dihadiri oleh suami isteri atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus dari mereka.
40
Upaya mendamaikan kedua belah pihak diusahakan selama proses pemeriksaan berlangsung ( Pasal 82 ayat (4) UU No.3 Tahun 2006 jo Pasal 11 PP Nomor 9 tahun 1975) khusus dalam hal ini merupakan sedikit penyimpangan dari azas umum yang diatur dalam Pasal 130 ayat 1
HIR/154 Rbg, dimana ditentukan mendamaikan
cukup diusahakan hakim pada sidang pertama saja. d. Menyelesaikan Pada azasnya putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dapat dijalankan, Pengecualiannya ada yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan lebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR, Perlu di kemukakan bahwa tidak semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan hanyalah putusan - putusan yang bersifat condemnatoir yaitu mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan 26 Menurut Pasal 70 ayat (3) Undang - Undang Nomor 7 tahun 1989 menyebutkan bahwa setelah Penetapan tersebut memperoleh kekuatan
hukum
tetap,
Pengadilan
menentukan
hari
sidang
Penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Dengan memperhatikan Pasal tersebut, maka dapat dikatakan pelaksanaan sidang Penyaksian ikrar talak merupakan bentuk 26
Ibid, hlm. 130
41
pelaksanaan (eksekusi) Putusan. Ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan Pengadilan, eksekusi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu eksekusi riil dan eksekusi pembayaran uang. Tetapi tidak demikian halnya dalam cerai talak dimana cerai jenis ini setelah putusan untuk itu in kracht van gewijsde, masih memerlukan lagi tindak lanjut dari Pengadilan, yakni eksekusi ikrar talak.27 Pada umumnya eksekusi dilaksanakan oleh Pengadilan karena adanya Permohonan eksekusi dari pemohon, karena putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, tetapi tidak demikian didalam eksekusi ikrar talak Pengadilan bersifat aktif artinya setelah putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama secara ex officio harus segera membuat penetapan sidang ikrar talak. Menurut Pasal 70 ayat (6) Undang - Undang Nomor 3 tahun 2006 menyatakan
bahwa jika suami dalam tenggang waktu enam
bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
27
Abdul Mannan, Eksekusi Ikrar Talak menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan Majalah Hukum tahun XINo.124 Januari 1996 halaman 138.
42
Ketentuan Pasal
ini jelas akan bertentangan terhadap
kewenangan Pengadilan Agama yang merupakan salah satu badan Peradilan yang melaksanakan tugas pokok kehakiman, dimana setiap putusan Pengadilan setelah mempunyai kekuatan hukum tetap, para pihak dapat mengajukan eksekusi apabila tidak dilaksanakan secara damai, lebih - lebih jika dilihat dari kepentingan Termohon (isteri) jelas akan sangat merugikan apabila ternyata Pemohon (suami) tidak melaksanakan sidang ikrar talak karena menghindari suatu kepentingan dan bahwa Pengadilan Agamapun tidak ada kekuatan untuk memaksanya. Dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan: 1. Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar thalaq. 2. Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar thalaq diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. 3. Dengan memperhatikan Pasal-pasal tersebut maka sebelumnya adanya pelaksanaan sidang ikrar thalaq, maka perceraian belum terjadi. Tetapi sering terjadi Pemohon tidak mau hadir dalam sidang penyaksian ikrar thalaq walaupun Pengadilan telah memanggil secara sah dan patut. Akibat Pemohon tidak melaksanakan sidang ikrar talak ini sudah barang tentu akan
43
merugikan
pihak
Termohon.
Dalam
hal
Pemohon
tidak
melaksanakan sidang ikrar talak, maka isteri dapat mengajukan gugatan cerai kepada suami, hal ini ditegaskan dalam Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman Penggugat. Dalam mengajukan gugatan cerai tersebut, isteri dapat mendalilkan alasan-alasan yang tercantum dalam permohonan cerai thalaq yang oleh suami tidak dilaksanakannya sidang ikrar thalaq, alasan taklik thalaq, khuluk dan atau berdasarkan alasanalasan sesuai Perundang-undangan yang berlaku.28
28 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
BAB III DESKRIPSI CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL
A. Profil Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal 1. Keadan Geografi dan Monografi Desa Penaruban merupakan salah satu desa yang berada di wilayah administrasi Pemerintah Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Luas wilayah Desa Penaruban adalah 107.043 HA dan batas-batas wilayah administrasi dengan wilayah lain sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Pucuksari 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Penyangkringan 3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Sambungsari 4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karangdowo Secara geografis, Desa Penaruban merupakan wilayah dataran rendah. Luas wilayah Desa Penaruban di atas terdiri dari: a. Tanah sawah seluas 54.780 HA dengan klasifikasi sebagai berikut: 1) Irigasi tehnis
49.780 HA
2) Irigasi setengah tehnis
-
3) Sederhana
5.000 HA
4) Tadah hujan
-
44
b. Tanah kering seluas 52.263 HA dengan klasifikasi sebagai berikut: 1) Yang digunakan (pekarangan, bangunan, dll)
43.180 HA
2) Yang tidak digunakan
11.043 HA
c. Lain-lain (prasarana desa) seluas 9.083 HA Jumlah penduduk Desa Penaruban adalah sebanyak 4.333 yang terdiri dari 2170 laki-laki dan 2163 perempuan. 2. Sarana dan Prasarana Sarana-sarana yang ada di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sarana pemerintahan 1) Balai Desa
1 buah
2) Kantor Desa
1 buah
3) Tanah Bengkok Pamong Desa
9.905 HA
4) Tanah Kas Desa
0,385 HA
2. Sarana ibadah 1) Masjid
2 buah
2) Musholla
9 buah
3) Gereja
1 buah
3. Sarana ekonomi 1) Toko/kios/warung
27 buah
2) Koperasi Simpan Pinjam
2 buah
3) Badan-badan Kredit
3 buah
4) Industri Kecil
5 buah
45
5) Industri Rumah Tangga
6 buah
6) Rumah/Warung Makan
7 buah
7) Perdagangan
9 buah
8) Angkutan
14 buah
9) Lain-lain
70 buah
4. Sarana pendidikan 1) TK
4 buah
2) SD
2 buah
3) SLTP Umum
3 buah
4) SLTA Umum
2 buah
5) SLTA Kejuruan
1 buah
6) Kursus
1 buah
7) MTs
1 buah
8) MA
1 buah
Sedangkan dalam bidang kesehatan, belum ada sarana fisik yang tersedia. Desa Penaruban hanya memiliki 1(satu) orang dokter, 1 (satu) orang bidan, dan 1 (satu) orang dukun bayi.1 3. Struktur Organisasi Pemerintahan Pemerintahan Desa Penaruban dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang bernama Sugito yang memimpin tiga dukuh yang berada di dalam wilayah administrasi Desa Penaruban. Ketiga dukuh tersebut adalah Dukuh Pagersari, Dukuh Karangtengah, dan Dukuh Tegalrejo. Dalam
1
Arsip Desa Penaruban 2008.
46
pelaksanaan pemerintahan, Kepala Desa mendapat kontrol dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sedangkan untuk mempermudah dan melancarkan program kerja desa, Kepala Desa dibantu oleh beberapa orang dengan kedudukan atau jabatan tertentu. Secara lebih lanjut, organisasi Desa Penaruban serta struktur organisasinya dapat dijelaskan sebagai berikut: Kepala Desa
: Sugito
Sekretaris/Carik
: A. Mudhirin
Kaur Umum
: Kasbul
Bekel
: Imam Supriyanto
Modin
: Sapuan
Bayan Tani
: Nur Khamid
Kamituwo I
: Widiarto
Kamituwo II
: M. Mursidin
Kamituwo III
: M. Sudaryo
Sedangkan struktur organisasi pemerintahan Desa Penaruban adalah sebagai berikut:
47
Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
BPD
Kepala Desa
Carik
Kaur Umum
Bekel
Modin
Kamituwa Pagersari
Bayan Tani
48
Kamituwa Karangtengah
Kamituwa Tegalrejo
B. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal 1. Profil Chasbullah Chasbullah merupakan tokoh masyarakat yang dikenal sebagai sosok yang sering menangani proses perceraian di kalangan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Praktek tersebut dilakukan sejak tahun 1986. Praktek ini menurut beliau tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan masyarakat untuk bercerai yang berkesesuaian dengan hukum Islam serta proses cepat dan murah. Pria berusia 64 tahun yang masih aktif sebagai perangkat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal ini juga merupakan tokoh keagamaan masyarakat. Pemahaman beliau akan ilmu agama-lah yang menjadikan beliau sebagai panutan masyarakat dalam hal permasalahan agama. Di samping menjadi hakam dalam proses perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal, Chasbullah juga menjadi pihak yang mengawinkan pasangan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan sirri atau di luar ketentuan perkawinan resmi di Indonesia.2 2. Profil Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal Peristiwa cerai di Luar Pengadilan Agama sangat umum dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban. Meski demikian, hanya ada beberapa
2
Hasil wawancara dengan Chasbullah tanggal 30 Maret dan 16 Mei 2010.
49
orang yang mau dijadikan responden oleh penulis. Berikut ini akan penulis paparkan profil singkat dari warga yang mau menjadi responden dari penelitian yang dilakukan oleh penulis.3 1. Rubiati Ia adalah janda akibat talak dari Marjuki. Proses talak tersebut dilakukan di luar Pengadilan Agama pada tahun 1982. Dua tahun kemudian, janda yang berusia 35 tahun tersebut kemudian menikah lagi dengan Nur Salim dari Penaruban sebagai isteri kedua dan dari perkawinan tersebut dikaruniai tiga orang anak. Penyebab perceraian Rubiati dengan suaminya yang pertama karena beliau dan suami beliau seringkali bertengkar meskipun hanya berawal dari perkara sepele. 2. Marwati4 Ia juga merupakan janda akibat talak. Kemudian beliau menikah lagi dengan Agus Pranoto (Alm). Marwati(45 th) isteri kedua dari almarhum dan sepanjang perkawinan tersebut dikarunia seorang anak. Penyebab perceraian Marwati dengan suami yang pertama adalah karena sering cekcok dengan suaminya. Hal ini dikarenakan suaminya sudah sering pulang melebihi jam kerja dan bahkan tidak jarang tidak pulang dalam beberapa hari dengan alasan kerjaan. Padahal ketika
3
Hasil wawancara dengan para responden (Marwati, Sri Sutarmi, Hartono) pada tanggal 3 April 2010. 4 Responden merasa keberatan untuk menyebutkan nama suami terdahulu. Demi etika, maka penulis tidak dapat memaksakan hal tersebut. Namun demikian, Chasbullah menyatakan bahwa status Marwati adalah janda talak karena proses perceraiannya dulu ditangani oleh Chasbullah. Hasil wawancara Penulis dengan Chasbullah, tanggal 30 Maret 2010.
50
Marwati mengecek ke teman kerjanya, kata teman kerja suaminya yang pertama tidak ada agenda kerja untuk suaminya. 3. Redi Redi merupakan pelaku cerai di luar Pengadilan Agama karena ditinggal isteri tanpa adanya kabar. Isterinya meninggalkannya selama hampir 6 bulan. Awalnya isteri beliau izin untuk bekerja di luar negeri sebagai TKW. Oleh karena telah 6 bulan tidak mengirim kabar, maka kemudian Redi menceraikan isterinya melalui Chasbullah pada tahun 1999. Sebelum menginginkan perceraian, Redi sudah berusaha meminta tolong kepada keluarga isteri yang diceraikannya tersebut untuk membantunya dalam mencari informasi keberadaan isterinya. Namun tidak mendapatkan hasil karena mereka juga telah kehilangan kontak serta tidak ada berita dari sanak keluarga mereka tersebut (isteri dari Redi) perihal keberadaannya. Pada saat perceraian, pasangan Redi dengan isteri yang dicerai telah dikaruniai seorang anak. Setelah itu, kemudian Redi menikah lagi dengan Pratiwi pada tahun 2000. Hingga saat ini, isteri lama dari Redi tidak lagi memberi kabar dan anak hasil perkawinannya terdahulu ikut dengan Redi. 4. Musthofiah Musthofiah merupakan isteri kedua dari Chasbullah. Suami pertama Musthofiah menceraikan Musthofiah didasari oleh rasa cemburu kepada Musthofiah. Kecemburuan tersebut tidak jarang menimbulkan
51
percekcokan di antara mereka. Oleh sebab itulah, kemudian suami pertamanya
menginginkan
perceraian.
Saat
menikah
dengan
Chasbullah, status Musthofiah adalah janda dari perceraian yang dilakukan di depan Chasbullah. Namun perkawinan tersebut tidak bertahan lama dan bercerai tanpa anak. 5. Sri Sutarmi Sri Sutarmi juga mengalami hal yang sama dengan Musthofiah. Penyebab perceraiannya dengan suami yang pertama adalah karena beliau seringkali mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya dan tidak jarang suaminya juga mengucapkan kata-kata kasar dan kotor kepada beliau. Setelah bercerai dengan suami terdahulu melalui perceraian di luar pengadilan, beliau menikah lagi dengan Bambang S sebagai isteri kedua. Namun kemudian beliau bercerai dengan Bambang dan dari perkawinan tersebut dikaruniai seorang anak. 6. Hartono Nasib Hartono sama dengan nasib Redi. Beliau ditinggalkan isterinya selama tiga bulan. Hal itu beliau lakukan karena isteri yang diceraikannya telah berjanji akan memberikan kabar setelah tiba di tempat kerjanya di Jakarta. Namun setelah ditunggu selama dua minggu hingga tiga bulan, tidak ada kabar dari isteri beliau tersebut. Bahkan di sisi lain, ada seorang tetangga beliau yang memberitahukan bahwa dia pernah melihat isteri beliau berjalan mesra dengan laki-laki lain di suatu wilayah di Jakarta. Namun tetangga tersebut tidak
52
mengetahui keberadaan isteri Hartono karena hanya melihat sebanyak dua kali dan setelah itu tidak melihat lagi. Karena tidak ada kabar kejelasan, maka kemudian beliau menceraikan isterinya tanpa adanya kehadiran dari isterinya di depan Chasbullah. Selang beberapa waktu kemudian, beliau menikah lagi dengan Juwarni. Dari pernikahan tersebut dikaruniai dua orang anak. Wawancara dengan responden: a. Kapan anda melakukan perceraian? Di mana? Jawab: Lupa tepatnya kapan, di luar Pengadilan Agama dan tepatnya melalui Chasbullah b. Siapa yang menyaksikan? Jawab: Tidak ada saksi c. Mengapa anda melakukan perceraian? Jawab: Karena sudah tidak ada kecocokan lagi d. Apa yang anda ketahui tentang tata cara perceraian? Jawab: Saya tidak tahu e. Apa anda mengetahui bahwa perceraian yang anda lakukan itu sah/tidak? Jawab: Menurut saya sah karena sesuai agama islam. Sebagian besar masyarakat menilai bahwa perceraian tersebut sah menurut agama, walaupun tanpa melalui Pengadilan Agama. Dengan cara ini sangat mudah dan biayanya murah.
53
3. Faktor-faktor Pendorong Praktek Perceraian di Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal Masalah cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal tidak lepas dari pemahaman masyarakat terhadap posisi hukum dalam kehidupan mereka. Pada umumnya, masyarakat memiliki pandangan bahwasanya hukum Islam adalah hukum dasar yang menjadi pijakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, sekali lagi, bagi mereka pelaksanaan hukum agama lebih penting dan lebih utama daripada pelaksanaan hukum lainnya.5 Selain faktor dari dimensi keagamaan, praktek cerai di luar Pengadilan Agama juga didasarkan pada kenyataan bahwasanya proses yang dilalui lebih mudah dan tidak memerlukan biaya yang banyak. Biasanya proses perceraian di Pengadilan Agama berlarut-larut karena harus menjalani beberapa persidangan. Berbeda dengan perceraian yang dilakukan di depan penghulu yang langsung dapat diputuskan langsung jika pasangan suami-isteri yang akan bercerai telah benar-benar menginginkan perceraian. Meskipun ada upaya pendamaian, namun hal itu tidak berlarut-larut dan tidak melibatkan banyak orang melainkan hanya terpusat pada pasangan yang akan bercerai.6 4. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal 5
Wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Desa Penaruban, tanggal 5 April 2010. 6 Wawancara dengan Chasbullah, Tanggal 30 Maret 2010.
54
Praktek perceraian yang dilakukan oleh masyarakat dilaksanakan di depan modin di luar modin resmi atau Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah (PPPN) Desa Penaruban, yakni Chasbullah. Ia merupakan modin tidak resmi yang telah lama menjadi abdi masyarakat “tidak resmi” untuk beberapa permasalahan yang berkaitan dengan ruang lingkup pekerjaan modin, seperti masalah perceraian. Pada dasarnya, proses perceraian yang dilaksanakan di depan Chasbullah dilaksanakan melalui tiga tahapan dengan penjelasan sebagai berikut:7 a. Tahapan “pendaftaran” Maksud dari pendaftaran ini tidak sama dengan pendaftaran pada proses perceraian di Pengadilan Agama. Pendaftaran dalam proses perceraian di Desa Penaruban cukup pemberitahuan kepada Chasbullah perihal keinginan suami isteri yang akan bercerai. Pendaftaran tersebut dilakukan secara lisan kepada Chasbullah. Hasil dari proses pendaftaran tersebut tidak dibuktikan melalui hitam di atas putih melainkan hanya berlandaskan pada saling percaya antara masyarakat dengan Chasbullah. Dalam proses “pendaftaran” juga disertakan kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Umumnya, jangka waktu antara penyampaian keinginan dari suami-isteri yang akan bercerai dengan penyelesaian masalah tidak lebih dari 1 (satu) minggu. Biaya untuk proses perceraian ini tidak
7
Hasil wawancara dengan Chasbullah tanggal 30 Maret dan 16 Mei 2010.
55
ditentukan, namun umumnya, para pelaku memberikan uang tanda jasa kepada Chasbullah rata-rata sebesar Rp. 100.000,00 – Rp. 250.000,00. b. Tahapan “mediasi” Proses ini terdiri dari dua proses, yakni proses penjelasan alasan-alasan yang menyebabkan suami-isteri ingin bercerai dan proses pemberian konsultasi Chasbullah kepada pasangan suami-siteri tersebut. Pada proses yang pertama, Chasbullah akan mempertanyakan hal-hal yang menjadi penyebab suami-isteri menginginkan perceraian. Hal ini penting karena menurut Islam, perceraian harus didasarkan pada
sebab-sebab
yang
diperbolehkan
oleh
agama.
Menurut
Chasbullah, alasan-alasan yang diperbolehkan oleh agama Islam di antaranya adalah: 1) Salah satu pasangan murtad 2) Terjadi perselisihan yang tidak dapat didamaikan dan apabila dipaksakan akan menimbulkan madlarat bagi salah satu atau bahkan keduanya 3) Tidak ada kejelasan kabar dari salah satu pasangan suami isteri dalam jangka waktu tertentu 4) Adanya cacat permanen yang dapat mengganggu produktifitas keluarga 5) Isteri tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai Isteri
56
6) Isteri melakukan zina (li’an).8 7) Isteri meninggalkan rumah suaminya tanpa izin dari suami dan tidak ada alasan syara’ atau suami terhalang memasuki rumah Isteri yang ditempati berdua (nusyuz). Alasan-alasan di atas yang mayoritas dijadikan alasan untuk melakukan talak di Desa Penaruban adalah nomor 2 dan 3 yang tidak lain disebabkan karena mayoritas yang meminta perceraian adalah pihak laki-laki. Setelah adanya pemaparan tentang permasalahan yang dialami oleh pasangan suami-isteri, kemudian Chasbullah akan memberikan konsultasi terkait dengan permasalahan yang dialami kecuali untuk permasalahan murtad. Chasbullah beranggapan bahwa: “Masalah agama kan menjadi masalah pribadi yang sangat privasi bagi setiap orang. Saya tidak berhak memaksakan salah satu pasangan untuk kembali kepada agama asal demi menyelamatkan perkawinan mereka. Hal ini tentu akan bertentangan dengan konsep Islam kaffah.”9 Dari kasus keinginan cerai pasangan suami-isteri yang ditangani oleh Chasbullah, hanya ada beberapa kasus yang dapat didamaikan kembali pada proses mediasi. Namun tidak sedikit yang berakhir pada perceraian. Proses konsultasi hanya dilakukan satu kali
8
Li’an dalam arti bahasa berasal dari kata laa’ana-yulaa’inu-li’aanan yakni masingmasing melaknat pihak yang lain. Sedangkan menurut arti syara’ ialah kalimat-kalimat khusus dipergunakan sebagai alasan bagi pihak yang memerlukan untuk menuduh orang lain yang menodai kehormatannya atau tidak mengakui anak. Lih. Ulaudin, Badaiush Shana’iek, Jilid 3, Mesir, Cet. ke-1, 1910, hlm. 237. 9 Wawancara dengan Chasbullah, Tanggal 30 Maret 2010.
57
dan apabila memang keputusan untuk bercerai dari pasangan suamiisteri telah bulat, maka kemudian melangkah pada tahap ketiga. Proses konsultasi tersebut tidak melibatkan keluarga dari masing-masing pasangan. Hal ini disebabkan keberadaan pasangan suami isteri telah dapat memberikan gambaran keadaan rumah tangga yang mereka alami. Jadi tidak perlu menghadirkan keluarga dalam proses konsultasi. Terlebih lagi, tidak jarang kehadiran keluarga malah akan menimbulkan keributan dalam proses konsultasi pasangan suamiisteri. c. Tahapan “putusan” Apabila proses konsultasi gagal, maka kemudian Chasbullah mempersilahkan pasangan tersebut untuk bercerai dengan adanya ikrar talak dari pihak suami. Pengucapan ikrar tersebut dilakukan di depan Chasbullah dan isteri. Namun jika tidak ada pihak isteri (isteri tidak diketahui kejelasan keberadaannya), maka ikrar talak tersebut dilakukan di depan Chasbullah. Ikrar talak yang diucapkan merupakan ikrar talak dalam fiqih Islam. Ikrar talak yang diucapkan dalam proses perceraian di masyarakat Desa Penaruban adalah sebagai berikut: “Saya talak isteri saya yang bernama.......binti....... dengan talak...... sejak....... karena..........”10
10
Wawancara dengan Chasbullah, Tanggal 30 Maret 2010.
58
Dalam pengucapan ikrar talak tersebut juga disebutkan kualitas talak yang diikrarkan. Hal ini untuk memperjelas posisi kemungkinan rujuk bagi pasangan suami-isteri atau hilangnya kemungkinan rujuk tersebut. d. Tahapan “pencatatan” Setelah adanya pengucapan ikrar talak, maka tahapan berikutnya adalah pencatatan hasil perceraian. Catatan ini hanya berupa tulisan tangan dari Chasbullah yang disertai dengan tanda tangan Chasbullah sebagai legalitas perceraian. Catatan ini berfungsi untuk informasi tentang status baru yang dialami oleh pasangan suamiisteri yang telah bercerai. Selain itu, catatan tersebut juga berguna sebagai pedoman bagi pasangan suami-isteri dalam melaksanakan perkawinan yang baru. Meski demikian, catatan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum bagi pernikahan berdasar hukum negara. Oleh sebab itu, catatan tersebut tidak dapat digunakan untuk menunjang perkawinan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum negara. Dalam catatan perceraian tersebut harus tertera aspek-aspek berikut ini: 1) Nama suami-isteri yang bercerai 2) Tanggal perceraian 3) Tempat pelaksanaan perceraian 4) Alasan perceraian
59
5) Tanda tangan pasangan yang bercerai 6) Tanda tangan Chasbullah e. Tahapan “pemberian nasehat” Setelah selesai proses perceraian dengan adanya ikrar talak, maka kemudian Chasbullah memberikan nasehat kepada suami-isteri yang telah bercerai. Nasehat tersebut terkait dengan hak dan kewajiban yang diakibatkan dari adanya perceraian, baik yang menyangkut suami-isteri, harta benda, atau hak dan kewajiban kepada anak-anak mereka. Nasehat yang diberikan juga mencakup masalah masa iddah, hubungan kekeluargaan berbasis persaudaraan antara mantan suami dengan mantan istri. Materi ini sangat penting karena tidak jarang setelah adanya perceraian, hubungan persaudaraan antara keluarga mantan suami dan mantan isteri tidak baik dan bahkan cenderung bermusuhan. Kasus-kasus yang ditangani oleh Chasbullah dalam proses perceraian antara lain adalah mencakup permasalahan nusyuz, syiqaq, hingga nikah hamil. 5. Implikasi Cerai di Luar Pengadilan Agama dan Implikasinya Pada Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal Setelah melakukan cerai di Luar Pengadilan Agama, Masyarakat Desa Penaruban kemudian melaksanakan pernikahan kembali dengan jalan nikah siri. Berikut ini adalah data masyarakat yang melaksanakan
60
perceraian di luar Pengadilan Agama dan statusnya setelah perceraian tersebut. No
Nama
Usia Alamat (Tahun) 35 Kel. Pojoksari 50 Sendang Kulon
1
Rubiati
2
Redi
3
Marwati
45
4
Musthofiah
47
5
Sri Sutarmi
38
6
Hartono
46
Status Cerai
Status Keterangan Sekarang Talak di luar Isteri kedua Memperoleh Pengadilan dari Nursalim anak Talak di luar Menjadi Pengadilan suami dari karena isteri Pratiwi pergi tanpa kabar Penaruban Talak di luar Isteri kedua Memperoleh Pengadilan dari Agus anak Pranoto Pegandon Talak di luar Isteri kedua Tidak Pengadilan dari memiliki anak Chasbullah Penaruban Talak di luar Isteri kedua Memperoleh Pengadilan dari anak Bambang S Penaruban Talak di luar Menjadi Pengadilan suami dari karena isteri Juwarni pergi tanpa kabar
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwasanya pelaku cerai di luar Pengadilan Agama berasal dari kelompok laki-laki dan wanita. Pada kelompok laki-laki, alasan yang digunakan untuk melakukan cerai di luar Pengadilan Agama adalah karena telah ditinggal pergi oleh isteri. Sedangkan pada kelompok wanita tidak ada alasan selain karena faktor agama dan kemudahan dalam proses perceraiannya (hal ini penulis jelaskan pada bagian berikutnya dalam sub bab b). Implikasi dari perceraian di Luar Pengadilan Agama tersebut adalah terjadinya perkawinan baru antara pelaku dengan orang lain yang bukan isteri atau 61
suaminya terdahulu. Pada umumnya mereka (para wanita) menjadi isteri kedua dari suami baru mereka. Dari hasil perkawinan tersebut, ada yang memperoleh anak dan ada yang tidak memperoleh anak. C. Pendapat Tokoh Masyarakat terhadap Fenomena Cerai di Luar Pengadilan Agama di Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal Fenomena cerai di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Penaruban telah menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan di kalangan tokoh masyarakat Desa Penaruban. Berikut ini akan penulis paparkan beberapa pendapat dan pandangan para tokoh masyarakat Desa Penaruban: 1. Sapuan11 Sebagai Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah (PPPN) Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal, Sapuan menganggap bahwasanya praktek perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban memiliki keabsahan dalam Islam karena juga sesuai dengan fiqih perkawinan dalam Islam. Namun jika dipraktekkan pada masa sekarang, khususnya di Indonesia dan setelah adanya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan (KHI dan UU Perkawinan), maka praktek tersebut sebaiknya dihentikan. Menurut Sapuan, penghentian praktek tersebut tidak lain karena dapat berakibat hukum dan demi ketertiban administrasi kenegaraan. Akibat hukum yang dimaksud adalah tidak adanya status legal dalam
11
Wawancara dengan Sapuan, tanggal 18 Mei 2010.
62
hukum negara yang dapat berakibat pada tidak terpenuhinya hak-hak warga negara yang berkaitan dengan dampak perkawinan dalam lingkup hukum kenegaraan Indonesia. Sedangkan terkait dengan administrasi, praktek perceraian tersebut tidak didaftarkan pada lembaga pemerintahan sehingga akan mengakibatkan tidak adanya penjelasan status baru dari pasangan suami-isteri dalam administrasi kenegaraan. 2. A. Widiarto12 Menurut beliau, praktek tersebut tidak apa-apa karena telah legal menurut Islam. Sedangkan mengenai keabsahan hukum dalam hukum negara tidak menjadi masalah karena yang terpenting adalah adanya legalitas dari hukum agama. Mengenai akibat status dari hasil perkawinan, seperti hak sertifikasi anak (akta kelahiran dan lain sebagainya) dapat diurus dan tidak akan memberikan dampak pada anak. Nyatanya hingga saat ini tidak ada permasalahan yang berhubungan dengan akibat hukum dari praktek tersebut. 3. Sugito Sebenarnya praktek itu pada satu sisi memberikan kerugian kepada pemerintah desa karena menghambat tata administrasi, khususnya berkaitan dengan pergerakan keluarga (kartu Keluarga/KK). Namun praktek tersebut juga akan menimbulkan masalah jika langsung mendapatkan larangan. Hal ini karena adanya keyakinan masyarakat
12
Wawancara dengan Widiarto, Kamituwa Dukuh Pagersari, tanggal 17 Mei 2010.
63
mengenai legalitas hukum agama yang lebih tinggi dari hukum negara serta adanya realitas mahal dan lamanya proses perceraian di Pengadilan Agama. Oleh sebab itu, sebenarnya perlu adanya kerjasama antar beberapa pihak untuk menangani permasalahan ini. Baik dari pemerintah, melalui lembaga Pengadilan Agama, pihak tokoh agama masyarakat, hingga menumbuhkan kesadaran masyarakat akan tata hukum negara dan agama. Jadi intinya, masyarakat tidak dapat dipersalahkan secara sepihak melainkan perlu adanya pembenahan secara terstruktur mengenai keadaan ini dengan melibatkan berbagai elemen yang berkompetensi untuk melahirkan kebijakan yang baru.
64
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Cerai Di Luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal 1. Tinjauan fiqih terhadap cerai di luar Pengadilan Agama di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal Untuk mengetahui legalitas dampak (implikasi) yang disebabkan oleh adanya praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban, maka perlu adanya penelaahan terlebih dahulu mengenai legalitas sebab yang menyebabkan akibat tersebut. Maksud dari legalitas sebab tersebut tidak lain adalah legalitas proses perceraian yang nantinya berdampak pada legalitas implikasi dari perceraian tersebut. Ruang lingkup tinjauan hukum Islam yang digunakan sebagai “peninjau” praktek cerai di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal meliputi tinjauan dalil Qur’an maupun Hadis serta tinjauan pendapat ulama terkait dengan praktek cerai yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Cerai atau talak untuk mengakhiri perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh Allah. Meski diperbolehkan, di sisi
65
lain Allah talak atau cerai merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah. Terkait dengan sisi legalitas dan kebencian Allah terhadap praktek cerai dapat terlihat dalam hadis berikut ini:
ﻗﺎل رﺳﻮل ا ﷲ ﺻﻠﻰ ا ﷲ: ﻋﻦ ا ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ر ﺿﻰ ا ﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل اﻟﻰ اﷲ ا ﻟﻄﻼق )رواﻩ اﺑﻮداود واﺑﻦ 1 (ﻣﺎﺟﻪ Artinya : ''Dari Ibnu Umar r.a berkata telah bersabda Rasullulah Saw, perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah talaq (H.R. Imam Abu Daud dan Ibnu Majah). Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa meskipun diperbolehkan, Islam tidak menghalalkan cerai yang dilakukan secara sembarangan tanpa adanya landasan dari ketentuan hokum Islam. Salah satunya adalah perlu adanya kehadiran hakam yang menjadi pihak untuk mengusahakan perdamaian di antara suami-isteri yang bertikai. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu firman Allah surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:
ﻦ َأ ْهِﻠﻬَﺎ إِن ُﻳﺮِﻳﺪَا ْ ﺣﻜَﻤًﺎ ﱢﻣ َ ﻦ َأ ْهِﻠ ِﻪ َو ْ ﺣﻜَﻤًﺎ ﱢﻣ َ ق َﺑ ْﻴ ِﻨ ِﻬﻤَﺎ ﻓَﺎ ْﺑ َﻌﺜُﻮ ْا َ ﺷﻘَﺎ ِ ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ ِ ن ْ َوِإ ﺧﺒِﻴﺮًا َ ﻋﻠِﻴﻤًﺎ َ ن َ ن اﻟّﻠ َﻪ آَﺎ ﻖ اﻟّﻠ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ِإ ﱠ ِ ﺻﻼَﺣًﺎ ُﻳ َﻮ ﱢﻓ ْ ِإ Artinya : "Dan jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An- Nisa : 35) 2 Penjelasan mengenai hakam dalam sebuah pertikaian yang dialami oleh suami-isteri sebagaimana tersebut dalam ayat di atas telah menimbulkan dua pendapat di kalangan para ulama. Kedua perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: 1 2
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 178. Depertemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, op, cit., hlm. 123
66
a. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam adalah dari keluarga dan hanya bertugas mendamaikan dan tidak memiliki hak untuk menceraikan. Hal didukung oleh pendapat imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan qoul qadim dari Imam Syafi’i, yang menyandarkan tugas hakam dari pengertian “hakam” yang berarti wakil. Sama halnya dengan wakil, maka hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak isteri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami, begitu pula hakam tidak boleh mengadakan khuluk sebelum mendapat persetujuan dari isteri. b. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam disandarkan pada hakim sehingga dapat memutuskan perkara tersebut dan dapat juga berasal dari luar keluarga suami-isteri yang bertikai. Pendapat ini di antaranya diungkapkan oleh Imam Malik, sebagian lain pengikut Imam Hambali dan qoul jadid pengikut Imam Syafi’i yang menyandakan tugas hakam pada makna “hakam” sebagai hakim. Dari penyandaran makna tersebut maka hakam boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami-isteri yang sedang berselisih itu, apakah ia akan memberi keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar suami isteri itu berdamai kembali. Menurut pendapat kedua bahwa yang menyangkut hakam itu adalah hakim atau pemerintah, karena ayat diatas diajukan kepada seluruh muslimin. Dalam hal perselisihan suami-isteri, urusan mereka diselesaikan
67
pemerintah mereka atau oleh hakim, yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara yang disampaikan. 3 Sekilas, praktek cerai yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban tidak melibatkan hakam yang sesuai dengan prosedur dalam firman di atas. Hal ini dikuatkan dengan posisi hakam yang disematkan pada diri Bapak Chasbullah yang bukan berasal dari keluarga suami maupun isteri. Selain permasalahan tersebut, jumlah hakam juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam firman di atas, di mana jika masing-masing pihak dari suami isteri menunjuk salah satu wakil dari keluarganya sebagai hakam, maka minimal jumlah hakam adalah dua orang, sedangkan dalam prakteknya jumlah hakam dalam proses perceraian suami-isteri di Desa Penaruban hanya satu orang. Menurut penulis, praktek perceraian yang dilaksanakan di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal cenderung sama dengan pendapat pertama dari para ulama mazhab, yakni menyandarkan tugas hakam pada pemaknaan hakam sebagai wakil. Indikator tersebut dapat dilihat dari tugas dan wewenang Bapak Chasbullah dalam proses perceraian di masyarakat Desa Penaruban. Terkait dengan jumlah hakam, jika dikaji dalam lingkup pendapat kedua dari pendapat para ulama mazhab di atas, keberadaan jumlah hakam yang hanya satu orang tidak menjadi masalah. Hal ini seperti dijelaskan di atas yang menyebutkan bahwasanya hakam dapat berasal dari keluarga
3
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: PT Karya Unipress, 1974, hlm. 189-190.
68
suami-isteri maupun dari pihak lain yang disepakati oleh suami-isteri tersebut. Sedangkan mengenai kebolehan penerapan mazhab tersebut dalam proses perceraian di masyarakat Desa Penaruban dapat disandarkan pada legalitas ijtihad dalam hukum Islam. Sedangkan mengenai tempat pelaksanaan perceraian, dalam sumber dasar perceraian Q.S. an-Nisa ayat 35 tidak disebutkan secara detail. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa permasalahan tempat tidak begitu penting dan yang paling penting adalah proses dari perceraian tersebut. Apabila disandarkan pada dalil dasar tersebut, maka proses perceraian yang dilaksanakan di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal memiliki kesesuaian dengan substansi dalil tersebut. Namun jika dikaitkan dengan keberadaan lembaga yang telah disediakan oleh pemerintah, maka praktek tersebut kurang relevan karena telah adanya pengadilan yang disediakan oleh pemerintah sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan proses perceraian suami-isteri. Menurut hukum Islam, suatu hukum dapat dilaksanakan dengan berdasarkan tata urut keabsahan sumber hukum Islam. Dalam hukum Islam sendiri, tata urut keabsahan sumber hukum Islam bersumber pada alQur’an, Hadis, dan Ijma-Qiyas. Penjelasan mengenai tata urut sumber hukum ini adalah apabila suatu hukum yang berhubungan dengan perkembangan kehidupan umat manusia tidak diketemukan atau kurang jelas mengenai penjelasannya dalam al-Qur’an, maka diperbolehkan
69
menggunakan sumber hukum Hadis yang berkenaan dengan hukum tersebut. Jika di dalam Hadis juga tidak ditemukan hukum yang jelas maupun kurang jelas dalam menjelaskannya, maka umat Islam diperbolehkan membangun hukum tentang sesuatu hal tersebut melalui metode ijtihad dalam bentuk ijma’ maupun qiyas.4 Dengan demikian, maka praktek perceraian yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal memiliki kesesuaian dengan fiqih Islam sehingga dapat dilegalkan dalam konteks fiqih Islam. Konsekuensi dari adanya status legal dalam konteks fiqih Islam – sebagaimana dijelaskan di atas – adalah adanya status legal yang melekat pada perbuatan maupun hasil perbuatan. 2. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap cerai di luar Pengadilan Agama dan implikasinya di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal Apabila mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perceraian, maka dalam praktek perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal terdapat perbedaan dengan ketentuan dalam KHI. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Masalah proses perdamaian dalam proses perceraian Proses perdamaian merupakan suatu anjuran yang sangat penting dalam menangani masalah atau perkara suami-isteri yang akan 4
Mengenai tata urut kedudukan hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 109-110.
70
bercerai. Jika melihat praktek perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban, sekilas sudah ada kesesuaian dengan ketentuan upaya pendamaian yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam. Kesesuaian tersebut adalah adanya upaya pendamaian yang dilakukan oleh Bapak Chasbullah. Namun jika dikaji dalam lingkup lama waktu yang digunakan dalam upaya pendamaian tersebut, maka akan ditemukan kekurangsesuaian tersebut. Mengenai ketentuan pendamaian kedua belah pihak (suami-isteri) diatur dalam Pasal 142 sebagai berikut: (1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa proses perceraian tidak langsung diputuskan dalam waktu yang singkat. Hal ini ditujukan untuk memberikan peluang damai bagi kedua belah pihak. Hal inilah yang kurang dipenuhi pada proses perceraian di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal karena proses perceraian hanya dilaksanakan dalam satu kali pertemuan yang langsung diputuskan cerai. Dari proses “perceraian kilat” tersebut otomatis tidak ada waktu yang panjang untuk mendamaikan kedua belah pihak. Selain karena kurangnya waktu untuk mendamaikan kedua belah pihak, perceraian yang diproses dalam waktu singkat juga berpeluang kurangnya eksplorasi terhadap permasalahan yang dihadapi
71
oleh kedua belah pihak. Padahal eksplorasi terhadap akar masalah yang terjadi pada kedua belah pihak sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan Bapak Chasbullah dalam menentukan langkah yang terbaik bagi kedua belah pihak terkait dengan perkawinan mereka. Hal inilah yang menurut penulis menjadi penyebab tidak adanya upaya pendamaian yang maksimal pada praktek perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. b. Tempat Pelaksanaan Perceraian Praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dilaksanakan di luar Pengadilan Agama. Hal ini jelas sekali tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 115 sebagai berikut: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak5 Pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwasanya tidak ada tempat lain yang dapat digunakan untuk memproses perceraian selain Pengadilan Agama. Hal tersebut ditegaskan dengan kata “hanya” yang menjelaskan bahwasanya tidak ada pilihan lain atau kompensasi terkait dengan tempat pemrosesan perkara perceraian. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwasanya tempat pelaksanaan 5
Undang-Undang Perkawinan Indonesia Tahun 2007 Dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam, t.kp: Wipress,2007, hlm. 205.
72
perceraian
yang
dilakukan
oleh
masyarakat
Desa
Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal tidak memenuhi syarat tempat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 115 KHI di atas. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwasanya praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 yakni bahwa perceraian yang dianggap sah dalam KHI adalah perceraian yang dilaksanakan di depan Pengadilan Agama sedangkan percaraian yang dilakukan di Desa Penaruban dilaksanakan di luar Pengadilan Agama. Ketidaksesuaian tersebut dapat melahirkan hukum yang tidak sah yang mengena pada perbuatan hukum yang melanggar ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dapat dinyatakan tidak sah menurut perundang-undangan yang berlaku karena tidak berdasar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KHI. Adanya status tidak sah (ilegal) tersebut mengindikasikan bahwasanya perkawinan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang proses cerainya di luar Pengadilan Agama masih sah. Adanya keabsahan terhadap perkawinan terdahulu yang dicerai di luar Pengadilan Agama dalam konteks KHI secara
73
tidak langsung mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan perkawinan yang baru dengan pasangan yang berbeda. Bagi pihak suami, peluang untuk melaksanakan perkawinan yang baru karena masih adanya status sah pada perkawinan terdahulu mereka terbuka karena adanya ketentuan tentang kebolehan poligami. Namun tentu saja perkawinan yang baru tersebut (poligami) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KHI, baik dalam syarat maupun prosesnya. Mengenai syarat yang diperbolehkan untuk berpoligami meliputi syarat jumlah, syarat kemampuan adil dan ekonomi pihak suami, syarat ijin dari isteri, serta syarat isteri yang dapat menyebabkan Pengadilan Agama membolehkan poligami yang dijelaskan dalam Pasal 55 – Pasal 58.6 Apabila proses poligami dilakukan tanpa didasarkan pada ketentuan di atas, maka poligami tersebut tidak dapat disebut sah. Hal inilah yang menurut penulis dapat menjadi dasar untuk menentukan status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca perceraian ilegal menurut KHI. Menurut penulis, status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca perceraian ilegal dapat dinyatakan tidak sah (ilegal) menurut KHI karena tidak terpenuhinya syarat dan prosedur poligami yang telah ditentukan dalam KHI. Selain itu, melihat kondisi hubungan antara pihak suami dengan pihak isteri 6
Mengenai syarat jumlah dibatasi empat orang (Pasal 55); syarat kemampuan adil dan ekonomi suami (Pasal 55 dan Pasal 58); syarat persetujuan isteri dilakukan secara tertulis maupun lisan (Pasal 58); sedangkan syarat kebolehan poligami didasarkan pada keadaan isteri yang tidak dapat memberikan keturunan, isteri tidak dapat menjalankan kewajiban, dan isteri menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan (Pasal 57)
74
yang lama, perkawinan baru yang dilakukan pihak suami pasca perceraian ilegal tidak dapat disebut poligami karena pihak suami telah memutuskan hubungan – baik lahir maupun batin – dengan isteri yang lama (yang diceraikan secara ilegal menurut KHI). Status tidak sah bagi perkawinan baru yang dilakukan pasca perceraian ilegal juga berlaku bagi pihak isteri yang melakukan perkawinan baru pasca perceraian secara ilegal menurut KHI. Status tidak sah tersebut tidak lain karena pihak isteri secara tidak langsung telah melangsungkan model perkawinan poliandri (satu isteri dengan suami lebih dari satu orang) karena masih adanya ikatan perkawinan yang sah dengan suaminya terdahulu dalam konteks KHI. Poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan yang dilarang dalam ajaran Islam.7 Dengan demikian, perkawinan baru yang dilakukan setelah proses perceraian yang ilegal menurut KHI memiliki status tidak sah dalam konteks KHI. Oleh sebab itu, dari adanya status tidak sahnya perkawinan baru pasca perceraian ilegal tersebut, status anak hasil perkawinan yang baru juga akan terkena dampaknya, yakni menjadi anak yang tidak sah menurut KHI. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 99 yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang
7
Mengenai sebab larangan poliandri dalam Islam dapat dilihat secara lebih jelas dalam beberapa literer yakni: Rachmat Ramadhana al-Banjary dan Anas al-Djohan Yahya, Hikmahnya Poligami: Mengapa AA Gym Menikah Lagi? Menangkap Hikmah di Balik Tabir Poligami, Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2007, hlm. 4-11; Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2007, hlm. 55-57.
75
lahir dalam atau akibat dari perkawinan yang sah. Sehingga karena perkawinan baru pasca perceraian yang ilegal adalah tidak sah menurut KHI, maka status anak yang dihasilkannya juga menjadi tidak sah menurut KHI. B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Implikasi Praktek Perceraian di Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal Dasar hukum yang paling mendasar yang dapat digunakan untuk “menilai” penggunaan hukum yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban. Ayat tersebut tidak lain adalah surat an-Nisa ayat 59:
ل َوأُوﻟِﻲ ا ْﻟَﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َ ﻦ َﺁ َﻣﻨُﻮا َأﻃِﻴﻌُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ َوَأﻃِﻴ ُﻌﻮا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ن َ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ ْ ل ِإ ِ ﻲ ٍء َﻓ ُﺮدﱡو ُﻩ ِإﻟَﻰ اﻟﱠﻠ ِﻪ وَاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ْ ﺷ َ ﻋ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ ْ ن َﺗﻨَﺎ َز ْ َﻓِﺈ ﻦ َﺗ ْﺄوِﻳﻠًﺎ ُﺴ َﺣ ْ ﺧ ْﻴ ٌﺮ َوَأ َ ﻚ َ ﺧ ِﺮ َذِﻟ ِ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم ا ْﻟَﺂ ”Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Dalam firman tersebut sangat jelas bahwa ada tiga tingkatan ketaatan hukum yang harus ditaati oleh umat Islam, yakni: 1. Ketaatan kepada Allah 2. Ketaatan kepada rasul-rasul Allah 3. Ketaatan kepada ulil amri (pemerintahan) Berdasar pada penjelasan tersebut, umat Islam harus menaati ulil amri sebagai wujud dari ketaatan kepada Allah. Maksud dari ulil amri adalah suatu pemerintahan yang telah dipilih dan diberikan amanat oleh umat manusia. Salah satu bentuk ketaatan kepada ulil amri adalah dengan mematuhi dan
76
menjalankan produk hukum yang ditetapkan oleh ulil amri selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Implikasi dari firman tersebut pada kasus yang menjadi obyek masalah pada makalah ini adalah pelaksanaan dasar hukum perceraian yang menjadi dasar perceraian di Indonesia di kalangan umat Islam. Jika menelaah proses terbentuknya hukum acuan perceraian yang dilakukan oleh para ulama Indonesia (MUI), maka hasil hukum tersebut dapat disebut sebagai hasil ijtihad. Ijtihad sendiri dalam konteks hukum Islam dapat menjadi bahan sumber hukum setelah al-Qur’an dan al-Hadis.8 Jadi secara tidak langsung firman di atas juga memiliki indikasi tentang tata urut sumber hukum yang dapat digunakan oleh umat Islam. Pada praktek cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban dasar hukum pelaksanaan cerai di luar Pengadilan Agama yang digunakan oleh masyarakat Desa Penaruban adalah dasar perceraian yang dijelaskan dalam hukum Islam, yakni dapat dilakukan di depan orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum perkawinan Islam. Menurut penulis, dasar hukum al-Qur’an memang menjadi dasar dari segala hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia (umat Islam), termasuk dalam hal proses perceraian. Namun jika merujuk pada kedudukan hukum perceraian yang ada di Indonesia dan didasarkan pada firman Q.S. an-Nisa ayat 59 di atas, maka
8
Mengenai tata urut kedudukan hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, loc. cit.
77
menurut penulis hukum yang telah terbentuk dalam suatu negara – selama dalam pembentukan dan pembangunan hukumnya tidak menyalahi tata aturan dalam Islam – dapat dijadikan sebagai landasan dalam perbuatan hukum umat manusia. Dengan demikian, proses perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dalam konteks hukum Islam dapat dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam karena adanya unsur pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lainnya. Selain karena adanya pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lain, kekurangsesuaian praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dengan hukum Islam karena lebih cenderung menimbulkan madlarat daripada menghasilkan manfaat. Menurut penulis, unsur madlarat yang terkandung dalam praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal adalah sebagai berikut: 1. Tidak jelasnya status suami-isteri Adanya perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban berdampak pada tidak adanya status yang jelas bagi pasangan yang bercerai. Maksudnya adalah bahwa tidak adanya surat cerai yang sah dari pemerintah kepada pasangan yang bercerai akan menjadikan pasangan tersebut tidak memiliki kejelasan terkait dengan hubungan keduanya. Dampak ini akan menimbulkan permasalahan yang tidak kecil bagi pasangan yang telah bercerai serta keluarga dari masingmasing pasangan. Misal saja manakala salah satu dari pasangan yang bercerai tersebut terlibat dalam hutang yang “resmi” yang mana pada saat
78
hutang tersebut masih berstatus sebagai pasangan dari suami atau isteri seseorang. Apabila tidak ada kejelasan status, terlebih lagi tidak adanya legalitas hukum perceraian, maka akan mempersulit proses penyelesaian masalah hutang piutang tersebut. Begitu pula sebaliknya, hal yang sama akan terjadi manakala salah satu pasangan memiliki piutang kepada orang lain, apalagi jika saat proses hutang tersebut dilakukan oleh pihak penghutang atas nama keluarga saat belum bercerai. Dengan adanya perceraian di luar Pengadilan Agama, maka akan timbul kebingungan dalam pembayaran hutang dari orang yang berhutang kepada pasangan yang bercerai kaitannya kepada siapa dia harus melunasinya. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya perceraian yang dilaksanakan di luar Pengadilan Agama tidak ditunjang dengan penjelasan mengenai pihak-pihak yang berhak melunasi hutang atau menerima pembayaran hutang. 2. Mempersulit administrasi kependudukan negara Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama tentu tidak terdata dalam administrasi Pengadilan Agama. Hal ini karena proses perceraian tersebut tidak didaftarkan di Pengadilan Agama. Dampak dari hal tersebut tentu akan menyulitkan negara dalam proses pendataan kependudukan. Padahal di sisi lain, masalah kependudukan terkait dengan pelaporan kegiatan kependudukan atau peristiwa penting yang dialami oleh anggota masyarakat kepada pejabat administrasi negara. Hal ini
79
sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 3 yang berbunyi: Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Mengenai peristiwa penting yang dialami oleh anggota masyarakat dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 17 dalam UU yang sama sebagai berikut: Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Berdasarkan dua pasal dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak adanya pendataan terhadap perceraian yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal termasuk salah satu tindakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.9 3. Perlindungan anak pasca perceraian Dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di jelaskan tentang perlindungan anak pada pasal 13 ayat (1) dan (2) yaitu: Ayat (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran 9
Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
80
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan e. Ketidakadilan f. Perlakuan salah lainnya Ayat (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Mengenai kewajiban orang tua telah diatur pada pasal 26 yaitu: (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku10. Dengan demikian, selain karena adanya pertentangan nash, praktek perceraian yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal lebih cenderung menyebabkan timbulnya tindakan pelanggaran hukum yang berakibat pada kerugian bagi negara. Oleh sebab itu, akan lebih baik lagi jika masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal lebih menggunakan dasar legalitas perceraian yang disahkan oleh negara dalam KHI dan meninggalkan praktek perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini didasarkan pada 10
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
81
kaidah hukum Islam yang menjelaskan perlunya penerapan hukum tidak menimbulkan madlarat dan bahkan sebaliknya penerapan hukum harus dapat membuang madlarat sebagaimana kaidah hukum Islam yang berbunyi:
اﻟﻀﺮر ﻳﺰال ”Madlarat itu harus dihilangkan” Berdasarkan kaidah tersebut, maka penerapan hukum yang ideal bagi masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dalam praktek perceraian adalah hukum yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam agar menghilangkan madlarat bagi pemerintah.
82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan yang menjadi faktor melakukan cerai di luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban adalah faktor agama dan kemudahan dalam proses perceraiannya 2. Pelaksanaan cerai di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dalam konteks hukum Islam memiliki dua status hukum yang berbeda sesuai dengan konteks hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dalam lingkup hukum Islam (fiqih), status perceraian yang dilakukan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal di luar Pengadilan Agama tidak ada pertentangan dengan hukum tersebut sehingga tetap dianggap sah dan perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan yang baru maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan yang baru pasca perceraian) tetap sah. Sedangkan dalam konteks hukum Islam terapan di Indonesia (KHI), perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam KHI dalam Pasal 115 dan Pasal 142. Status
83
tidak sah tersebut sekaligus juga berimbas pada perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan baru dan anak hasil dari perkawinan yang baru pasca perceraian) ikut menjadi tidak sah menurut KHI. 3. Implikasi dari praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban adalah timbulnya tindakan pelanggaran hukum terkait dengan tata administrasi kenegaraan yang menjadi kewajiban masing-masing anggota masyarakat sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang berdampak pada kerugian bagi negara. Serta dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di jelaskan tentang perlindungan anak pada pasal 13 ayat (1) dan (2). Penerapan hukum yang ideal bagi masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal kaitannya dengan praktek perceraian adalah dengan menjadikan KHI sebagai dasar hukum praktek perceraian di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Hal ini untuk menghindarkan madlarat yang diakibatkan dari adanya pertentangan nash dalam praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dan madlarat terkait dengan pendataan kependudukan bagi pemerintah. Selain itu, penerapan KHI juga berkesesuaian dengan kaidah penerapan hukum yang menyebutkan bahwa penerapan hukum harus dapat membuang madlarat ()اﻟﻀﺮر ﻳﺰال.
84
B. Saran Dari hasil penelitian dapat terlihat adanya kekurang pahaman masyarakat terhadap yurisprudensi hukum Indonesia pada masyarakat Desa Penaruban sehingga terjadi praktek perceraian yang kurang sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya sosialisasi di bidang hukum khususnya pada masyarakat Desa Penaruban dan umumnya pada masyarakat yang masih mengalami keadaan tersebut. C. Penutup Demikian hasil penelitian berupa skripsi yang dapat penulis susun. Bercermin pada kata bijak bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, maka saran dan kritik yang membangung sangat penulis harapkan demi perbaikan karya ilmiah ini dan karya-karya ilmiah penulis selanjutnya. Akhirnya, semoga di balik ketidaksempurnaannya, karya ilmiah ini dapat memberikan secercah manfaat bagi kita semua. Amin.
85