TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ASURANSI PENGANGKUTAN LAUT (Studi Lapangan pada PT. Asuransi Purna Artanugraha Semarang)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: ADIB ZUBAIDI NIM: 042311016
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 5 (lima) eksemplar Hal
: Naskah Skripsi a.n. Sdr. Adib Zubaidi
Assalamua’alaikum Wr.Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
:
Adib Zubaidi
Nomor Induk
:
042311016
Jurusan
: MU
Judul Skripsi
: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ASURANSI PENGANGKUTAN LAUT (Studi Lapangan pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang)
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang,
Juni 2009
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Sahidin M.Si NIP. 150 263 235
Rahman El-Junusy, SE, MM. NIP. 150 301 637
ii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL. Prof. Dr. HAMKA KM.2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang 50185 PENGESAHAN Skripsi saudara
: Adib Zubaidi
NIM
: 042311016
Fakultas
: Syari’ah
Jurusan
: MU
Judul
:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ASURANSI PENGANGKUTAN LAUT (Studi Lapangan pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang) Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal: 31 Desember 2009 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun akademik 2008/2009 Ketua Sidang,
Semarang, Desember 2009 Sekretaris Sidang,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 150 231 628
Rahman El-Junusy, SE, MM NIP. 150 301 637
Penguji I,
Penguji II,
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag NIP. 150 254 254
H. Ahmad Izzudin, M.Ag NIP. 150 290 930
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Sahidin M.Si NIP. 150 263 235
Rahman El-Junusy, SE, MM. NIP. 150 301 637
iii
MOTTO
(1 :ﻌﻘﹸﻮ ِﺩ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ ﻭﻓﹸﻮﹾﺍ ﺑِﺎﹾﻟ ﻮﹾﺍ ﹶﺃﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ∗ perjanjianmu (QS. Al-Maidah: 1)
∗
penuhilah
akad
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm.156.
iv
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Orang tuaku tercinta (Bapak Abdul Harist dan Ibu Mas'adah) yang selalu memberi semangat, nasehat serta membimbingku dalam menjalani hidup ini. o Kakak dan Adikku Tercinta (Mas Alfi H, Mas R. Uddin, Mas Ulum, Laila F), yang selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan studi. o Teman-Temanku (Saad Hasan, Mawir, Fendy, Alka) dan teman-teman di Kost Utara dan Kos Timur yang selalu bersama-sama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiranpemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam
daftar
kepustakaan
yang
dijadikan bahan rujukan. Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka penulis bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar menurut peraturan yang berlaku
Semarang, 05 Juni 2009
ADIB ZUBAIDI NIM: 042311016
vi
ABSTRAK Salah satu tindakan yang diambil di masa modern untuk pengaturan ekonomi dan keuangan ialah asuransi. Saat ini asuransi telah memainkan peran penting dalam pertumbuhan industri sebagaimana halnya dalam organisasi perdagangan, industri, dan pertanian skala besar. Perumusan masalah adalah bagaimana mekanisme ganti rugi dalam asuransi pengangkutan laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang? Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang ganti rugi pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang? Dalam menyusun skripsi ini peneliti menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang objeknya mengenai pembayaran ganti rugi Asuransi Pengangkutan Laut Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Data Primer, yaitu hasil wawancara dengan para pemilik barang yang mengasuransikan barangnya dan pihak asuransi ganti rugi dalam konteks asuransi pengangkutan laut. Sebagai data sekunder, yaitu berupa buku-buku atau kitab yang relevan dengan penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan berupa interview (wawancara), observasi dan dokumentasi. Metode analisis data, peneliti menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dalam asuransi pengangkutan laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang bahwa pertanggungjawaban penanggung terhadap kerusakan barang dalam pengangkutan laut di pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang tidak bersifat mutlak. Dengan kata lain, dalam pertanggungan asuransi tidak ada yang mutlak terhadap penggantian kerugian atas harta benda yang dipertanggungkan. Perusahaan asuransi akan mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung sesuai dengan pokok-pokok yang diperjanjikan, dan tidak melanggar prinsip-prinsip asuransi, di antaranya, prinsip bahwa suatu pertanggungan asuransi harus didasari dengan i'tikad yang baik dari ke dua belah pihak. Tertanggung harus memberi informasi secara terbuka dan penanggung akan menjelaskan secara terbuka segala aspek mengenai polis asuransi. Apabila tertanggung ada niat yang tidak baik dalam mengasuransikan, maka bila terjadi kerugian (dan terbukti ada niat tidak baik) maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi tersebut Apabila keterangan penanggung dan tertanggung ditinjau dari hukum Islam maka dapat dikatakan bahwa penanggung kurang menghormati perjanjian. Padahal menurut Islam penghormatan terhadap isi perjanjian hukumnya wajib, karena mentaati isi perjanjian memiliki peran yang besar dalam memelihara perdamaian dan melihat urgensinya dalam menciptakan muamalah yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadis.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ASURANSI PENGANGKUTAN LAUT (Studi Lapangan pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang)" ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. Sahidin M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Rahman El-Junusy, SE, MM selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag selaku penguji I dan Bapak H. Ahmad Izzudin, M.Ag selaku penguji II yang banyak membimbing dan memberi saran dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan 6. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.
viii
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................. ix BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
.................................................... 1
B. Perumusan Masalah
.................................................... 8
C. Tujuan Penelitian
.................................................... 8
D. Telaah Pustaka
.................................................... 9
E. Metode Penelitian
.................................................... 12
F. Sistematika Penulisan
.................................................... 15
BAB II : ASURANSI ISLAM DAN ASURANSI KONVENSIONAL A. Asuransi Islam
.................................................... 17
1. Pengertian Asuransi Islam dan Landasan Hukumnya........ 17 2. Macam-Macam Asuransi ................................................... 20 3. Perbandingan Antara Asuransi Islam dan Konvensional... 26 4. Mekanisme Pengelolaan Dana dan Manfaat Asuransi Syari'ah
.................................................... 29
B. Asuransi Konvensional
.................................................... 34
1. Pengertian dan Pengaturan Asuransi Laut .......................... 34 2. Bahaya-Bahaya Yang Menjadi Tanggungjawab Penanggung
.................................................... 39
ix
3. Jenis-Jenis Kerusakan dan Kerugian Yang Dapat Ditanggung dalam Asuransi............................................... 44 BAB III : GAMBARAN UMUM PENGANGKUTAN LAUT DI PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG A. Berdirinya PT Asuransi Purna Artanugraha di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang
.................................................... 52
B. Tanggung Jawab Pihak Asuransi Pengangkutan Laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang........................... 65 C. Ganti Rugi antara Perjanjian dengan Pelaksanaannya ........... 77 BAB IV : ANALISIS A. Analisis terhadap Tanggung Jawab Pihak Asuransi Pengangkutan Laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang..................................................................................80 B. Analisis Hukum Islam tentang Tanggung Jawab Pihak Asuransi Pengangkutan Laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang ........................................... .............. 94 BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan
.................................................... 106
B. Saran-saran
.................................................... 107
C. Penutup
.................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu tindakan yang diambil di masa modern untuk pengaturan ekonomi dan keuangan ialah asuransi. Saat ini asuransi telah memainkan peran penting dalam pertumbuhan industri sebagaimana halnya dalam organisasi perdagangan, industri, dan pertanian skala besar.1 Asuransi, pada awalnya merupakan suatu kelompok yang bertujuan arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan.2 Asuransi atau dalam bahasa Belanda "verzekering" berarti jaminan, kepastian.3 Secara umum, pengertian asuransi dapat dilihat pada Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah "suatu perjanjian yang dengan perjanjian tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu".4
1
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Insurance in an Islamic Economy, Terj. Ta'lim Musafir, "Asuransi di dalam Islam", Bandung: Pustaka, 1987, hlm. 1. 2 Mohammad Muslehuddin, Insurance in Islam, Terj. Wardana, "Asuransi dalam Islam", Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 3. 3 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1992, hlm. 746. 4 R. Subekti dan Citrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Kepailitan, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986, hlm. 74.
1
2
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi terdapat empat unsur yang harus ada. Pertama, perjanjian yang mendasari terbentuknya perikatan antara dua pihak yang sekaligus terjadinya hubungan keperdataan. Kedua, premi berupa sejumlah uang yang sanggup dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung. Ketiga, adanya ganti rugi dari penanggung kepada tertanggung jika terjadi klaim atau masa perjanjian selesai. Keempat, adanya suatu peristiwa yang tidak tertentu yang adanya suatu resiko yang memungkinkan datang atau tidak ada resiko. Selain itu, dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa dalam asuransi itu terdapat dua pihak yang terlibat. Pertama, pihak yang mempunyai kesanggupan untuk menanggung atau menjamin yang selanjutnya disebut dengan "penanggung". Kedua, pihak yang akan mendapatkan ganti rugi jika menderita suatu musibah sebagai akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi, yang selanjutnya disebut dengan "tertanggung". Pihak yang pertama bisa berupa perseorangan, badan hukum atau lembaga seperti perusahaan, sedangkan pihak kedua adalah masyarakat luas.5 Dengan pengertian di atas, menurut Fuad Mohd Fahfruruddin, asuransi itu pada hakikatnya adalah perjanjian peruntungan.6 Peruntungan yang dimaksud di sini bahwa peristiwa yang akan terjadi itu belum menentu dan belum diketahui secara pasti, baik oleh perusahaan asuransi maupun oleh peserta asuransi itu sendiri. Kalau peristiwa itu telah diketahui sebelumnya
5
Jazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 119. 6 Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank Koperasi, Perseroan, dan Asuransi, Bandung: al-Ma'arif, tth, hlm. 198.
3
atau setidaknya direncanakan, khususnya oleh peserta, maka bagi perusahaan asuransi
sebagai
asurador
tidak
berkewajiban
untuk
menunaikan
kewajibannya.7 Tujuan perjanjian pertanggungan (asuransi) adalah untuk mengalihkan resiko si tertanggung kepada si penanggung, yang berarti bahwa penanggung berkewajiban untuk mengganti kerugian tertanggung bila terjadi evenemen. Sebagai kontra prestasinya tertanggung harus membayar uang premi kepada penanggung. Berapa jumlah uang premi yang harus dibayar oleh tertanggung, penanggung harus memperhitungkan berdasarkan statistik dan pengalaman yang cermat.8 Salah satu asuransi yang bersedia menanggung risiko dalam konteksnya dengan kerusakan barang dalam pengangkutan di laut adalah asuransi laut. Asuransi laut merupakan salah satu asuransi kerugian yang diatur secara lengkap dalam KUHD. Berkembangnya asuransi laut karena pelaksanaan pengangkutan atau pelayaran melalui laut yang penuh dengan ancaman bahaya laut.9 Bahaya-bahaya laut yang digolongkan sebagai evenemen terdiri dari dua golongan, yaitu: a. Bahaya-bahaya laut yang bersumber dari alam, misalnya badai, gelombang besar, hujan angin, kabut tebal, batu karang, gunung es, sisa kapal karam, dan sebagainya. 7
Jazuli dan Yadi Janwari, op.cit., hlm. 120. Purwosotjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pertanggungan, Jakarta: Djambatan, 1983, hlm. 25. 9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 153. 8
4
b. Bahaya-bahaya laut yang bersumber dari manusia, baik dari awak kapal maupun dari pihak ketiga, misalnya pemberontakan awak kapal, perompakan bajak laut, penahanan dan perampasan oleh penguasa negara.10 Dalam KUHD bahaya-bahaya laut tersebut ditentukan dalam Pasal 637 tetapi rincian tersebut tidak bersifat limitatif, sebab pada bagian akhir rincian itu ditutup dengan kata-kata "pada umumnya karena segala bahaya yang datang dari luar apa pun namanya". Tetapi tidak semua bencana yang datang dari luar itu menjadi tanggungan penanggung karena Pasal 637 KUHD memberikan pengecualian, yaitu: a. Apabila dalam undang-undang ditegaskan bahwa bencana-bencana tertentu tidak menjadi beban penanggung; b. Apabila suatu janji dalam polis menentukan bahwa bencana-bencana tertentu tidak menjadi beban penanggung. Untuk lengkapnya, berikut ini disajikan ketentuan Pasal 637 KUHD. Semua kerugian dan kerusakan atas barang-barang asuransi karena bahayabahaya laut berikut ini menjadi beban penanggung: a. Bahaya badai, guruh, karam, kandas, melanggar kapal lain, menyenggol kapal, menabrak kapal, terdampar kapal, terpaksa mengubah jurusan, perjalanan, atau kapal. b. Bahaya pelemparan barang-barang ke laut.
10
Ibid., hlm. 158.
5
c. Bahaya kebakaran, kekerasan, banjir, perampasan, bajak laut, penyamun, penahanan
atas
perintah
penguasa,
pernyataan
perang,
tindakan
pembalasan. d. Bahaya karena kurang hati-hati, kealpaan atau kecurangan pihak nakhoda atau anak buah kapal. e. Pada umumnya karena segala bahaya yang datang dari luar apapun namanya, kecuali oleh ketentuan undang-undang atau janji-janji dalam polis penanggung dibebaskan dari bahaya-bahaya tersebut. PT. Asuransi Purna Artanugraha merupakan asuransi pertanggungan laut (marine insurance). Asuransi ini dimaksudkan untuk menanggung bahaya atas barang-barang terutama selama dalam pengangkutan di laut. PT. Asuransi Purna Artanugraha ini mencakup semua bahaya-bahaya yang dapat menimpa barang selama pengangkutan berjalan. Termasuk di dalamnya antara lain bahaya
kebakaran
dan
bahaya-bahaya
lain
yang
bertalian
dengan
pengangkutan, bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh navigasi seperti, karam kapal, tabrakan kapal dan lain-lain. Dengan kata lain, PT. Asuransi Purna Artanugraha dimaksudkan sebagai asuransi tentang bahaya laut, misalnya taufan, tenggelamnya kapal, kandas, tubrukan, kebakaran, perbuatan kekerasan pihak ketiga (molest), kelalaian nakhoda atau anak buah kapal dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban asuransi terhadap kerusakan barang dalam pengangkutan di Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang terjadi suatu kasus sebagai berikut: beberapa orang tertanggung
6
telah mengasuransikan barang yang hendak dikirim di suatu tempat, namun barang itu sesampainya di tempat yang dituju ditolak oleh pihak pemesan barang dikarenakan barang tersebut mengalami kerusakan akibat kelalaian dari pihak asuransi pengangkutan laut. Barang tersebut ditumpuk dan disatukan dengan barang yang mempunyai bobot sangat berat, sehingga barang tersebut menjadi cacat dan tidak utuh lagi.11 Demikian pula kelalaian pihak asuransi pengangkutan laut yang pada waktu menurunkan barang terburu-buru, dari ketidak hati-hatian ini barang yang ada di dalam rusak sehingga pemesan barang menolak sebagian barang yang rusak dan hanya menerima barang yang masih utuh.12 Menerima kenyataan yang demikian, maka tertanggung mengklaim pihak asuransi atas kelalaiannya, namun ternyata penanggung tidak memberi ganti rugi dan sebagian tertanggung ada yang menerima ganti rugi, namun jumlah ganti rugi tidak sesuai dengan harga kerusakan barang Dengan perkataan lain, seharusnya pihak tertanggung yang barangnya mengalami kerusakan diganti dengan layak namun dalam kenyataannya ada sejumlah tertanggung yang kecewa dengan pertanggungjawaban pihak asuransi dalam membayar ganti rugi. Kekecewaan itu disebabkan terkadang asuransi tidak memberi ganti rugi atau ganti ruginya tidak sebesar sebagaimana yang ada dalam isi perjanjian. Sebaliknya menurut keterangan dari pihak asuransi bahwa sebabnya asuransi tidak memberi ganti rugi atau
11
Hasil wawancara dengan Bapak Rozikin sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung) pada tanggal 18 Maret 2009. 12 Hasil wawancara dengan Bapak Nurkolis sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung) pada tanggal 17 Mei 2009
7
ganti rugi tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam isi perjanjian adalah pertama, tertanggung da1am mengajukan klaim tidak disertai data-data yang lengkap. Kedua, tertanggung tidak memahami mengenai hal-hal yang tercantum di dalam polis. Apabila kerusakan dan atau kerugian yang diderita tertanggung tidak menyimpang dari apa yang diperjanjikan maka penanggung akan memberikan ganti rugi sesuai nilai kerugian keuangan yang benar-benar diderita oleh tertanggung. Sebaliknya apabila kerugian tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tidak dijamin di dalam polis, maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung. Perusahaan asuransi tidak mutlak untuk membayar ganti rugi terhadap setiap kerusakan dan atau kerugian yang diderita oleh tertanggung. Penanggung mutlak akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung apabila semua aspek tersebut tidak ada yang melanggar (dikecualikan) isi perjanjian, yaitu polis.13 Berdasarkan keterangan tersebut, menarik untuk diteleti tentang mengapa pihak asuransi membayar ganti rugi yang tidak sesuai antara perjanjian dengan pelaksanaannya di Asuransi Pengangkutan Laut Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dan bagaimana jika ditinjau dari sudut hukum Islam terhadap ingkar janji tersebut. Atas dasar itu menarik untuk diteliti tentang bentuk pertanggungjawaban pihak penanggung, cara penanggung memberi ganti
rugi, dan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
kecewanya
pihak
tertanggung. 13
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 18 Maret 2009.
8
Berpijak pada pentingnya masalah di atas, maka penulis hendak mengangkat tema ini dengan judul: Tinjauan Hukum Islam terhadap Asuransi Pengangkutan Laut (Studi Lapangan pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi perumusan masalah: 1. Bagaimana tanggung jawab pihak asuransi pengangkutan laut pada PT. Asuransi Purna Artanugraha Semarang? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang tangung jawab pihak PT. Asuransi Purna Artanugraha Semarang? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tanggung jawab pihak asuransi pengangkutan laut pada PT. Asuransi Purna Artanugraha Semarang 2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam tentang tangung jawab pihak PT. Asuransi Purna Artanugraha Semarang D. Telaah Pustaka Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ditemukan penelitian yang membahas tentang mekanisme ganti rugi dalam asuransi pengangkutan laut pada PT. Asuransi Purna Artanugraha Semarang. Berdasarkan penelitian di
9
perpustakaan, sudah ada beberapa penelitian yang membahas asuransi, namun penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya. Meskipun beberapa penelitian sebelumnya ada yang telah mengungkapkan asuransi, tapi masih bersifat umum dan belum menyentuh tentang pembayaran ganti rugi yang tidak sesuai antara perjanjian dengan pelaksanaannya pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang. Beberapa penelitian yang dimaksud, di antaranya: 1.
Skripsi yang disusun Nur Anisah Fatmawati (NIM: 2103213) dengan judul: Studi Analisis Terhadap Pendapat Ali Yafie tentang Asuransi. Pada intinya penyusun skripsi ini menyimpulkan bahwa menurut Ali Yafie, dari tiga jenis asuransi, dua di antaranya yaitu asuransi perkumpulan (al-ta'min al-ta'awuni) dan asuransi wajib (al-ta'min al-'ilzami) dapat memperoleh tempat dalam lingkungan patokan-patokan muamalah yang ditetapkan oleh hukum syara'. Oleh karenanya layak diberi perhatian ke arah pengembangannya menjadi wasilah masyru'ah. Jenis asuransi lainnya, yaitu asuransi perusahaan (al-tamin al-tijari), tidak memberikan pemecahan atas pangkal ide asuransi yang baik, dan menurut hukum dan praktiknya ia kait-mengait dengan hal-hal yang dilarang oleh hukum agama di dalam muamalah. Ia pun tidak menjamin suatu mashlahah mu'tabarah (syar'an) dan tidak ada dharurah ataupun hajah melekat padanya karena ia bukan satu-satunya pilihan. Istinbat hukum yang digunakan Ali Yafie dalam hal membolehkan keberadaan asuransi perkumpulan (al-ta'min al-ta'awuni) dan asuransi
10
wajib (al-ta'min al-'ilzami) yaitu (a) Al-Qur'an surat al-Ma'idah ayat 2; (b) Hadis dari Muhammad bin Abdullah bin Numair dari bapaknya dari Zakaria dari Sya'biy dari Nu'man bin Basyir, hadis dari Imam Muslim; (c) Asas maslahah mursalah, yaitu maslahah yang mu'tabarah (dapat diterima). Maslahat yang mu'tabarah (dapat diterima) ialah maslahatmaslahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa, keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan harta benda 2. Skripsi yang berjudul Studi Analisis Pemikiran Sayyid Sabiq Tentang Asuransi disusun oleh Siti Saifiyatun Nasikhah (NIM.2100166). Pada intinya, penyusun skripsi ini mengungkapkan bahwa Sayid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah, setelah mengutarakan pandangan Syekh Ahmad Ibrahim terse but, beliau menggaris bawahi bahwa asuransi tidak dapat dimasukkan sebagai mudlarabah yang shahih tetapi termasuk mudlarabah yang rusak. Perusahaan asuransi itu tidak dapat dikatakan memberi sumbangan kepada pihak tertanggung (nasabah) dengan apa yang diharuskannya, karena karakter asuransi menurut undang-undang adalah termasuk akad pembayaran yang tidak menentu (untung-untungan). 3. Skripsi yang berjudul Studi Analisis Konsep Yusuf Qardawi tentang Asuransi, disusun oleh Nur Hasanah (NIM. 2196111). Penulis skripsi tersebut dalam temuannya mengungkapkan bahwa penyusun kitab AlHalal wal Haram fil Islam, Syekh Muhammad Yusuf al-Qardlawi ikut memperkatakan asuransi. Beliau tidak menolak asuransi secara mutlak.
11
Asuransi masih dapat diterima apabila disesuaikan dengan prinsip syari'at Islam. Yang beliau tolak ialah asuransi dalam praktek sekarang ini, dan dipandangnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syari'at. Sebagai contoh al-Qardlawi menunjuk kepada asuransi kecelakaan, yaitu seorang anggota membayar sejumlah uang (X rupiah misalnya) setiap tahun. Apabila dia bisa lolos dari kecelakaan, maka uang jaminan itu hilang, sedang si pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikitpun ia tidak mengembalikannya kepada anggota asuransi itu. Tapi jika terjadi sesuatu kecelakaan, maka perusahaan akan membayar sejumlah uang yang telah disetujui bersama. Al-Qardlawi juga menunjuk asuransi jiwa, apabila anggota asuransi itu membayar sejumlah uang (dua ribu dollar misalnya) pada periode pertama kemudian mendadak meninggal dunia, maka dia akan mendapat pengembalian sejumlah uang tersebut dengan penuh, tidak kurang satu sen pun. Tetapi kalau dia itu kongsi dengan pedagang, maka ia akan memperoleh pengembalian uang sejumlah uang yang disetor pada periode itu tambah dengan keuntungannya. MUI pada tanggal 25 Maret 2005 mengeluarkan fatwa bahwa asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi karena mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti serta mengandung unsur riba. Dengan demikian asuransi yang di dalamnya terdapat unsur riba dan eksploitasi adalah haram, sedangkan asuransi yang bersifat koperatif hukumnya halal.
12
Berdasarkan pada keterangan tersebut, bahwa sebetulnya sudah banyak penelitian yang membahas persoalan asuransi, namun demikian penelitian ini lebih memfokuskan tentang pembayaran ganti rugi yang tidak sesuai antara perjanjian dengan pelaksanaannya di Asuransi Pengangkutan Laut Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. E. Metode Penelitian Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkahlangkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:14 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang objeknya mengenai pembayaran ganti rugi Asuransi Pengangkutan Laut Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.15 Adapun lokasi yang akan dijadikan penelitian adalah Asuransi Pengangkutan Laut Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. 2. Sumber Data a. Data Primer, yaitu data yang langsung yang segera diperoleh dari
14
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24. 15 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. II, 1998, hlm. 15
13 sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu.16 Data yang dimaksud adalah hasil wawancara dengan para pemilik barang yang mengasuransikan barangnya dan pihak asuransi ganti rugi dalam konteks asuransi pengangkutan laut. b. Data Sekunder, yaitu data yang mendukung data primer, dan relevan dengan penelitian ini, seperti: buku-buku atau kitab, penelitianpenelitian terdahulu, dokumen, artikel/jurnal dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data a. Interview (wawancara) Wawancara ini menggunakan snowball sampling yaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, kemudian dua orang ini disuruh memilih temantemannya untuk dijadikan sampel. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak.17 Wawancara atau interview adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan ini dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interview) dan yang memberikan jawaban atas pernyataan itu.18 Adapun pihak-pihak yang dimaksud adalah :
16
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 134-163. 17 Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabetha, 2003, hlm. 78. 18 Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 135
14
1) Para pihak yang mengasuransikan barang 2) Pihak Asuransi. b. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.19 Dalam hal ini penulis menggunakan dokumentasi yang langsung diambil dari obyek pengamatan (dokumentasi dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang). 4. Metode Analisis Data Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam terhadap suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat tertentu, tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor, atau interaksi-interaksi (sosial) yang terjadi di dalamnya.20 Data-data hasil penelitian yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analisis. Metode ini diterapkan dengan cara menganalisis dan menggambarkan mekanisme ganti rugi dalam Asuransi Pengangkutan Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang serta ditinjau dari hukum Islam tentang
ketidaksesuaian
ganti
rugi
antara
perjanjian
dengan
pelaksanaannya dalam Asuransi Pengangkutan Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
19
Suharsimi Arikunto, op.cit., hlm. 206 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 36 20
15
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masingmasing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi asuransi Islam dan asuransi konvensional yang meliputi asuransi Islam (pengertian asuransi islam dan landasan hukumnya, macam-macam
asuransi,
perbandingan
antara
asuransi
islam
dan
konvensional, mekanisme pengelolaan dana dan manfaat asuransi syari'ah), asuransi konvensional (pengertian dan pengaturan asuransi laut, bahayabahaya yang menjadi tanggungjawab penanggung, jenis-jenis kerusakan dan kerugian yang dapat ditanggung dalam asuransi). Bab ketiga berisi gambaran umum pengangkutan laut di pelabuhan Tanjung Emas Semarang yang meliputi berdirinya asuransi laut di pelabuhan Tanjung Emas Semarang, mekanisme ganti rugi dalam asuransi laut di pelabuhan Tanjung Emas Semarang, ketidaksesuaian ganti rugi antara perjanjian dengan pelaksanaannya. Bab keempat berisi analisis yang meliputi analisis terhadap mekanisme ganti rugi dalam asuransi pengangkutan laut di pelabuhan Tanjung Emas Semarang, analisis hukum Islam tentang ketidaksesuaian ganti rugi antara
16
perjanjian dengan pelaksanaannya dalam asuransi pengangkutan laut di pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup.
BAB II ASURANSI ISLAM DAN ASURANSI KONVENSIONAL
A. Asuransi Islam 1. Pengertian Asuransi Islam dan Landasan Hukumnya Dalam Kamus Indonesia Inggris An Indonesian-English-Dictionary, asuransi berasal dari Bahasa Inggris insurance.1 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat).2 Sedangkan dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, asuransi adalah pertanggungan jiwa, kebakaran dan lainlain.3 Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, asuransi berasal dari Bahasa Belanda assuran'tie.4 Sedangkan dalam Kamus Indonesia Arab, asuransi berasal dari Bahasa Arab ﺗﺄﻣﻴﻦ. 5 Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta'min, penanggung disebut mu'ammin, tertanggung disebut mu'amman lahu atau musta'min.
At-ta'min
diambil
dari
1
amana
yang
artinya
memberi
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris An Indonesian-EnglishDictionary, Jakarta: PT. Gramedia, 2000, hlm. 33. 2 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 73. 3 Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Grafika, tth, hlm. 59. 4 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992, hlm. 48. 5 Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. 30.
17
18 perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4, yaitu "Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan." Pengertian dari at-ta'min adalah seseorang membayar menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.6 Menurut Afzalur Rahman, kontrak asuransi adalah suatu kontrak antara dua pihak, penanggung asuransi dengan yang diasuransikan, pihak pertama tadi bertanggung jawab atas ganti rugi, sedangkan pihak kedua apabila
terjadi
atau
mengalami
peristiwa-peristiwa
sesuai
dengan
kesepakatan, menerima pengembalian atas premi yang telah dibayarkan.7 Ahli fikih kontemporer, Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagiannya. Ia membagi asuransi dalam dua bentuk, yaitu at-ta'min at-ta'awuni dan at-ta'min bi qist sabit. At-ta'min at-ta'awuni atau asuransi tolong-menolong adalah "kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudaratan." At-ta'min bi qist sabit atau asuransi dengan pembagian tetap adalah "akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang
6
Wirdyaningsih (ed), Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005,
hlm. 221. 7
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Terj. Soroyo dan Nastangin, "Doktrin Ekonomi Islam", jilid 4, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 28.
19 saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi."8 Musthafa Ahmad az-Zarqa memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya, atau dalam aktivitas ekonominya. la berpendapat, bahwa sistem asuransi adalah sistem ta'awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibahmusibah oleh sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut. Penggantian tersebut berasal dari premi mereka.9 Sebenarnya, dalam mentranslit istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain dikenal istilah takaful (bahasa Arab), ta'min (bahasa Arab), dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut secara substansial tidak jauh berbeda dan mengandung makna yang sama, yakni pertanggungan (saling menanggung). Namun, istilah yang paling populer sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa negara, termasuk Indonesia, adalah istilah takaful. Istilah takaful sendiri dipakai sebagai istilah lain bagi Asuransi Islam untuk pertama kalinya digunakan oleh Dar al-Mal al-Islami perusahaan asuransi Islam di Genewa yang berdiri pada tahun 1983.10
8
Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 138. 9 Wirdyaningsih (ed), op.cit., hlm. 222. 10 Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 119..
20 Istilah takaful, tentu saja, diambil dari Bahasa Arab dengan kata dasar takafala—yatakafalu—takaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Secara operasional, penggunaan istilah takaful ini dimaksudkan bahwa semua peserta asuransi menjadi penolong atau penjamin satu sama lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam asuransi takaful yang saling menanggung bukan antara perusahaan asuransi dengan peserta, melainkan terjadi di antara para peserta, di mana peserta yang satu menjadi penanggung bagi peserta yang lainnya. Sedangkan perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal ini antara lain yang membedakan antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional, di mana dalam asuransi konvensional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.11 2. Macam-Macam Asuransi Asuransi yang terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacammacam, hal ini terjadi karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya, macam-macam asuransi itu adalah: a
Asuransi Timbal Balik Yang dimaksud dengan asuransi timbal balik adalah bahwa beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka di waktu mendapat kecelakaan. Jika uang dikumpulkan tersebut telah habis
11
Ibid., hlm. 120.
21 maka dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikianlah terus-menerus.12 b
Asuransi Dagang Asuransi dagang adalah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan pertanggungan jawab bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota mereka. Apabila timbul kecelakaan yang merugikan salah seorang anggota kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman semasyarakat.
c
Asuransi Pemerintah Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang terdapat karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi. Asuransi pemerintah dilakukan secara obligator atau paksaan dan dilakukan oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk masing-masing keperluan.
12
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 3110
22 d
Asuransi Jiwa Yang dimaksud dengan asuransi jiwa adalah asuransi atas jiwa orang-orang
yang
mempertanggungkan
atas
jiwa
orang
lain,
penanggung (asurador) berjanji akan membayar sejumlah uang kepada orang
yang
disebutkan
namanya
dalam
polis
apabila
yang
mempertanggungkan (yang ditanggung) meninggal dunia atau sesudah melewati masa-masa tertentu.13 e
Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan Asuransi atas bahaya yang menimpa badan adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakankerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga, asuransi tangan atau asuransi-asuransi atas penyakit-penyakit tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.
f
Asuransi Terhadap Bahaya-bahaya Pertanggungan Jawab Sipil Yang dimaksud dengan asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungan jawab sipil adalah asuransi yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil, kapal udara, kapal laut motor dan yang lainnya, di RPA asuransi mengenai mobil dipaksakan.14 Dalam UU Nomor 2 Tahun 1992 (Tentang Usaha Perasuransian),
maka asuransi syari'ah terdiri dari dua jenis, yaitu asuransi Syari'ah umum 13
Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank Koperasi, Perseroan, dan Asuransi, Bandung: al-Ma'arif, tth, hlm.196. 14 Ibid., hlm. 203.
23 (asuransi kerugian) dan asuransi Syari'ah keluarga (asuransi jiwa). Asuransi Syari'ah umum adalah bentuk asuransi Syari'ah yang memberi perlindungan dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta milik peserta asuransi Syari'ah. Sedangkan yang dimaksud dengan asuransi Syari'ah keluarga adalah bentuk asuransi Syari'ah yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi Syari'ah. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa yang diasuransikan dalam asuransi Syari'ah umum adalah harta yang dimiliki peserta asuransi, sedangkan yang diasuransikan dalam asuransi syari'ah keluarga adalah diri atau jiwa peserta asuransi itu sendiri.15 Asuransi syari'ah umum merupakan bentuk perlindungan syari'ah untuk perorangan, perusahaan, yayasan, lembaga, atau badan hukum lainnya. Asuransi ini ditawarkan sebagai upaya untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana, seperti kebakaran, kehilangan, kerusakan, dan kemalangan lainnya yang menimpa harta benda atau barang-barang yang dimiliki oleh peserta asuransi syari'ah. Kalau asuransi syari'ah umum ditawarkan tidak hanya untuk perorangan tetapi juga untuk badan hukum, sedangkan asuransi syari'ah keluarga hanya ditawarkan kepada perorangan. Asuransi syari'ah keluarga merupakan bentuk perlindungan syari'ah yang ditujukan bagi perorangan yang ingin menyediakan sejumlah uang sebagai cadangan dana untuk ahli warisnya seandainya yang bersangkutan meninggal dunia atau sebagai bekal
15
Yadi Janwari, Asuransi Syari'ah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 55
24 di masa tua seandainya selama menjadi peserta asuransi syari'ah tidak meninggal dunia. Untuk kasus di Indonesia, kedua jenis asuransi itu dibuat menjadi dua perusahaan yang terpisah, yakni PT. Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT. Asuransi Takaful 'ah Umum (Asuransi Kerugian). Kedua perusahaan asuransi itu kemudian berada di bawah PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company dari dua anak perusahaan itu. Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa pembentukan kedua anak perusahaan di bawah PT. Syarikat Takaful ini dimaksudkan untuk mengikuti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, di mana perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus didirikan dan dioperasikan secara terpisah.16 Berikut akan dikemukakan aturan-aturan umum kedua jenis asuransi syari'ah tersebut. Bentuk asuransi keluarga syari'ah dilakukan menurut aturan-aturan sebagai berikut: (1) Peserta asuransi bebas memilih salah satu jenis atau produk asuransi keluarga yang ada, umur peserta 18-50 tahun, masa klaim berakhir sebelum mencapai umur 60 tahun; (2) Perusahaan dan peserta asuransi mengadakan perjanjian mudharabah (bagi-hasil), sekaligus dinyatakan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak; (3) Setiap peserta asuransi akan menyerahkan premi asuransi sesuai dengan kemampuan peserta, tetapi tidak boleh kurang dari jumlah minimal yang ditetapkan perusahaan asuransi; (4) Setiap premi yang dibayarkan peserta dibagi ke
16
Ibid., hlm. 56.
25 dalam dua rekening, yaitu Rekening Peserta dan Rekening Derma (Tabarru' atau charity account), yang prosentase kedua rekening itu ditentukan sesuai kelompok umur peserta dan jangka waktu pertanggung; (5) Uang angsuran (premi) oleh perusahaan asuransi akan disatukan ke dalam "Kumpulan Dana Peserta", yang selanjutnya diinvestasikan dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan syari'ah; (6) Keuntungan yang diperoleh dari investasi itu akan dibagi dengan peserta sesuai dengan perjanjian mudharabah yang telah disepakati sebelumnya; dan (7) Keuntungan bagian peserta akan dikreditkan ke dalam rekening peserta dan rekening derma secara proporsional.17 Sedangkan bentuk asuransi umum (kerugian) syari'ah dilakukan menurut aturan-aturan sebagai berikut: (1) Peserta dapat terdiri dari perorangan, perusahaan, lembaga/yayasan/badan hukum, atau yang lainnya; (2) Perjanjian kerjasama antara perusahaan asuransi dan peserta asuransi syari'ah umum dilakukan berdasarkan prinsip mudharabah; (3) Besarnya nominal premi tergantung dari jenis asuransi yang dipilih. Setoran premi dilakukan sekaligus pada awal kontrak dibuat. Jangka waktu pertanggungan adalah satu tahun, dan harus diperbaharui jika kontrak hendak diperpanjang untuk tahun berikutnya; (4) Premi asuransi dikumpulkan dalam satu kumpulan dana yang kemudian diinvestasikan dalam proyek-proyek atau pembiayaan-pembiayaan lainnya yang sejalan dengan Syari'ah; (5) Keuntungan dari hasil investasi akan dikreditkan ke dalam kumpulan dana
17
Ibid., hlm. 56.
26 peserta; (6) Jika terjadi musibah atas harta benda peserta yang diasuransikan, maka perusahaan asuransi membayarkan ganti rugi atau santunan kepada peserta tersebut dengan dana yang diambil dari kumpulan dana peserta asuransi syari'ah umum; (7) Biaya-biaya yang diperlukan oleh perusahaan asuransi diambil dari kumpulan dana peserta. Jika masih terdapat kelebihan dana akan dibayarkan kepada peserta dan perusahaan asuransi menurut prinsip mudharabah.18 3. Perbandingan Antara Asuransi Islam dan Konvensional Perbedaan utama terletak pada prinsip dasarnya. Asuransi syariah menggunakan konsep takaful, bertumpu pada sikap saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (wata'wanu alal birri wat taqwa) dan tentu saja memberi perlindungan (at-ta'min). Satu sama lain saling menanggung musibah yang dialami peserta lain. Allah Swt. berfirman, "Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan saling tolongmenolong dalam dosa dan permusuhan. Sedangkan pada asuransi konvensional dasar kesepakatannya adalah jual beli. Perbedaan yang nyata juga terdapat pada investasi dananya. Pada takaful, investasi dana didasarkan sistem syariah dengan sistem bagi hasil (mudarabah), sedangkan pada asuransi konvensional tentu saja atas dasar bunga atau riba.19 Demikian pula untuk dana premi yang terkumpul dari peserta. Pada sistem konvensional dana itu jelas menjadi milik perusahaan asuransi. Tentu 18
Ibid., hlm. 57. Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 298 19
27 saja terserah pada perusahaan itu bila hendak diinvestasikan ke mana pun. Adapun pada asuransi takaful, dana itu tetap milik peserta. Perusahaan hanya mendapat amanah untuk mengelolanya. Konsep ini menghasilkan perbedaan pada perlakuan terhadap keuntungan. Pada takaful keuntungan dibagi antara perusahaan asuransi dengan peserta, sedang pada sistem konvensional keuntungan menjadi milik perusahaan. Satu hal yang sangat ditekankan dalam takaful adalah meniadakan tiga unsur yang selalu dipertanyakan, yakni ketidakpastian, untunguntungan, dan bunga alias riba. Tentu saja perusahaan yang bergerak dengan sistem takaful ini tidak melupakan unsur keuntungan yang bisa diperoleh nasabah. Dari setiap premi yang dibayarkan, sekitar lima persen akan dimasukkan ke dana peserta. Ini sebagai tabungan bila terjadi klaim peserta secara tiba-tiba. Dana yang sebesar lima persen itu disebut dana tabarru. Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.20 Sisanya sebanyak 95% akan segera ditanamkan di sejumlah portofolio investasi yang sesuai dengan syariah Islam, yakni saham, reksa dana syariah, dana penyertaan langsung, dana talangan, deposito, serta hipotek. Setelah dikurangi beban asuransi, surplus kumpulan dana itu akan
20
Ibid., hlm. 299.
28 dibagikan kepada peserta dengan sistem bagi hasil. Nisbahnya berkisar 70% untuk perusahaan asuransi dan 30% untuk peserta. Proporsi ini bisa meningkat menjadi 60: 40 bila saja hasil investasi meningkat dengan tajam. Ini berlaku untuk semua produk asuransinya. Inilah yang membedakan dengan produk asuransi konvensional. Pada asuransi konvensional keuntungan ini menjadi milik perusahaan asuransi. Dari ilustrasi itu, nilai keuntungan yang akan diperoleh peserta sangat tergantung pada kecerdikan manajemen investasi mengelola duit nasabah. Dalam kondisi biasa-biasa saja, potensi keuntungan yang akan diraup bisa mencapai delapan persen per tahun. Namun jika hasilnya sedang bagus, peserta bisa meraih keuntungan hingga l6 %. Hal menarik lainnya berkaitan dengan perbedaan asuransi syariah dengan konvensional adalah soal dana hangus. Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, yakni ketika peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional nonsaving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan suransi.21 Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah
21
Widyaningsih, op.cit., hlm. 233.
29 dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru yang tidak dapat diambil. Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60: 40 atau 70: 30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.22 4.Mekanisme Pengelolaan Dana dan Manfaat Asuransi Syari'ah Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam Undangundang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka asuransi syariah atau takaful terdiri dari dua jenis, yaitu: Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa), dan Takaful Umum (Asuransi Kerugian). Produk takaful keluarga meliputi: 1). Takaful berencana 2) Takaful pembiayaan 3) Takaful pendidikan 22
Mustafa Edwin Nasution, et al, op.cit., hlm. 300.
30 4) Takaful dana haji 5) Takaful berjangka 6) Takaful kecelakaan siswa 7) Takaful kecelakaan diri 8) Takaful khairat keluarga Produk takaful umum meliputi: 1) Takaful kendaraan bermotor 2) Takaful kebakaran 3) Takaful kecelakaan diri 4) Takaful pengangkutan laut 5) Takaful rekayasa/Engineering.23 Adapun mekanisme pengelolaan dana asuransi syariah: a Takaful Keluarga Pengelolaan dana Asuransi Syariah pada Takaful Keluarga, terdapat dua macam sistem yang dipakai, yaitu sistem pengelolaan dana dengan unsur tabungan dan sistem pengelolaan dana tanpa unsur tabungan. Untuk aktivitas asuransi syariah takaful keluarga yang tanpa unsur tabungan, mekanisme operasional pengelolaan dananya sama saja dengan mekanisme operasional takaful umum, sebagaimana akan diterangkan kemudian. Sedangkan mekanisme operasional pengelolaan dana pada asuransi takaful Keluarga dengan unsur tabungan adalah seperti gambaran di bawah ini. 23
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan, & Perasuransian Syariah Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 138
31 Setiap premi takaful yang telah diterima akan dimasukkan ke dalam: 1. Rekening tabungan, yaitu rekening tabungan peserta. 2. Rekening khusus/ tabarru', yaitu rekening yang diniatkan derma dan digunakan untuk membayar klaim (manfaat takaful) kepada ahli waris, apabila ada di antara peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah lainnya. Premi takaful akan disatukan ke dalam "kumpulan dana peserta" yang selanjutnya diinvestasikan dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan yang diperoleh dari investasi itu akan dibagikan sesuai dengan perjanjian mudharabah yang disepakati bersama misalnya 70% dari keuntungan untuk peserta dan 30% untuk perusahaan takaful.24 Atas bagian keuntungan milik peserta (70%) akan ditambahkan ke dalam rekening tabungan dan rekening khusus secara proporsional. Rekening tabungan akan dibayarkan apabila pertanggungan berakhir atau mengundurkan diri dalam masa pertanggungan. Sedangkan rekening khusus akan dibayarkan apabila peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan atau pertanggungan berakhir (jika ada). Sedangkan bagian keuntungan milik perusahaan (30%) akan dipergunakan untuk membiayai operasional perusahaan. Pengelolaan dana premi takaful keluarga dapat dilihat pada gambar berikut.
24
Ibid., hlm. 139.
32 b Takaful Umum Setiap premi takaful yang diterima akan dimasukkan ke dalam rekening khusus yaitu rekening yang diniatkan derma/tabarru' dan digunakan untuk membayar klaim kepada peserta apabila terjadi musibah atas harta benda atau peserta itu sendiri. Premi takaful akan dikelompokkan ke dalam "kumpulan dana peserta" untuk kemudian diinvestasikan ke dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan investasi yang diperoleh akan dimasukkan ke dalam kumpulan dana peserta untuk kemudian dikurangi "beban asuransi" (klaim, premi asuransi). Bila terdapat kelebihan sisa akan dibagikan menurut prinsip mudharabah. Bagian keuntungan milik peserta akan dikembalikan kepada peserta yang tidak mengalami musibah sesuai dengan penyertaannya, Sedangkan bagian keuntungan yang diterima perusahaan akan digunakan untuk membiayai operasional perusahaan. Pengelolaan dana premi takaful umum.25 Adapun manfaat Asuransi Syariah (Takaful): 1. Takaful Keluarga Pada takaful keluarga ada tiga skenario manfaat yang diterima oleh peserta, yaitu klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta takaful apabila: 1) Peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo), dalam hal ini maka ahli warisnya akan menerima:
25
Yadi Janwari, op.cit., hlm. 57.
33 a).
Pembayaran klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan dalam rekening peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
b) Sisa saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitung dari tanggal
meninggalnya
sampai
dengan
saat
selesai
masa
pertanggungannya. Dana untuk maksud ini diambil dari rekening khusus/tabarru' para peserta yang memang disediakan untuk itu. 2) Peserta masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan. Dalam hal ini peserta yang bersangkutan akan menerima: a)
Seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke dalam rekening peserta, ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
b)
Kelebihan dari rekening khusus/tabarru' peserta apabila setelah dikurangi biaya operasional perusahaan dan pembayaran klaim masih ada kelebihan.26
3) Peserta mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan selesai. Dalam hal ini peserta yang bersangkutan tetap akan menerima seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke dalam rekening peserta, ditambah dengan bagian dari hasil keuntungan investasi. 2. Takaful Umum Klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami musibah yang menimbulkan kerugian harta bendanya sesuai dengan
26
Gemala Dewi, op.cit., hlm. 142.
34 perhitungan kerugian yang wajar. Dana pembayaran klaim takaful .diambil dari kumpulan pembayaran premi peserta asuransi syariah Baik pada takaful keluarga maupun takaful umum keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi dana rekening peserta pada takaful keluarga dan dana kumpulan premi setelah dikurangi biaya operasional perusahaan pada takaful umum, dibagikan kepada perusahaan dan peserta takaful sesuai dengan prinsip mudharabah dengan porsi pembagian yang telah disepakati sebelumnya. B. Asuransi Konvensional 1. Pengertian dan Pengaturan Asuransi Laut Dalam
Kamus
Indonesia
Inggris
An
Indonesian-English-
Dictionary, asuransi berasal dari Bahasa Inggris insurance.27 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat).28 Sedangkan dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, asuransi adalah pertanggungan jiwa, kebakaran dan lain-lain.29 Dalam Kamus Umum
27
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris An Indonesian-EnglishDictionary, Jakarta: PT. Gramedia, 2000, hlm. 33. 28 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 73. 29 Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Grafika, tth, hlm. 59.
35 Belanda Indonesia, asuransi berasal dari Bahasa Belanda assuran'tie.30 Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta'min, penanggung disebut mu'ammin, tertanggung disebut mu'amman lahu atau musta'min.31 Asuransi atau pertanggungan yang merupakan terjemahan dari insurance atau verzekering atau assurantie, timbul karena kebutuhan manusia.32 Demikian pula asuransi laut muncul dan berkembang sebagai kebutuhan manusia. Asuransi laut merupakan salah satu asuransi kerugian yang diatur secara lengkap dalam KUHD. Menurut Purwosucipto, tujuan dari pertanggungan/asuransi kerugian itu ialah mengganti kerugian yang mungkin timbul pada harta kekayaan tertanggung. Dalam hal ini tertanggung ingin mengamankan kepentingan harta kekayaannya.33 Berkembangnya asuransi laut karena pelaksanaan pengangkutan atau pelayaran melalui laut yang penuh dengan ancaman bahaya laut. Asuransi laut diatur dalam: a. Buku l Bab IX Pasal 246-286 KUHD tentang asuransi pada umumnya sejauh tidak diatur dengan ketentuan khusus. b. Buku II Bab IX Pasal 592-685 tentang asuransi bahaya laut, dan Bab X Pasal 686-695 KUHD tentang asuransi bahaya sungai dan perairan pedalaman. 30
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992, hlm. 48. 31 Wirdyaningsih (ed), Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 221. 32
M. Suparman Sastrawidjaya, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 1 33 Purwosucipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia jilid 6, Jakarta: Jambatan, 1983, hlm. 15
36 c. Buku II Bab XI Pasal 709-721 KUHD tentang Kerugian Laut. d. Buku II Bab XII Pasal 744 KUHD tentang berakhirnya perikatan dalam perdagangan laut.34 Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, penggolongan besar dari pertanggungan kerugian itu di dalam praktek di beberapa negara dibagi dalam golongan : 1. Pertanggungan Laut (marine insurance) 2. Pertanggungan Kebakaran (fire insurance). 3. Casualty Insurance atau varia insurance.35 Asuransi laut adalah semacam asuransi yang pengaturannya paling mendalam dan meluas dalam KUHD. Hal ini dapat dimengerti karena asuransi laut adalah jenis asuransi yang mempelopori asuransi lain-lain. Tidak kurang dari 85 Pasal dari KUHD, khusus mengatur mengenai asuransi laut, yaitu mulai dari Pasal 592 sampai dengan Pasal 685, sedangkan 8 Pasal kemudian dicabut.36 Menurut Djoko Prakoso sepuluh Pasal kemudian dicabut, yakni Pasal-Pasal 600, 601, 607, 608, 609, 610, 611, 631, 659 dan 660.37 Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, pertanggungan laut atau marine insurance adalah pertanggungan yang ditutup untuk menanggung bahaya atas barang-barang terutama selama dalam pengangkutan di laut. 34
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 153 35 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UNiv. Gadjah Mada, 1983, hlm. 55 36 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Intermasa, 1979, hlm. 131 37 Djoko Prakoso, Asuransi di Indonesia, Semarang: Dahara Prize, 1994, hlm. 110
37 Pertanggungan ini mencakup semua bahaya-bahaya yang dapat menimpa barang selama pengangkutan berjalan. Termasuk di dalamnya antara lain bahaya kebakaran dan bahaya-bahaya lain yang bertalian dengan pengangkutan, bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh navigasi seperti, karam kapal, tabrakan kapal dan lain-lain. Menurut M.H. Tirtaamidjaja, yang dimaksudkan dengan asuransi laut yaitu asuransi tentang bahaya laut, misalnya taufan, tenggelamnya kapal, kandas, tubrukan, kebakaran, perbuatan kekerasan pihak ketiga (molest), kelalaian nakhoda atau anak buah kapal dan sebagainya.38 Pertanggungan laut itu sangat luas dan pada perkembangan tahuntahun kemudian, marine insurance ini telah diperluas dan mencakup penutupan bahaya-bahaya atas barang-barang yang diangkut di darat sehingga dikenal juga istilah inland marine insurance (seperti yang dikenal juga di dalam KUHD Buku E titel 10). Bahkan sering juga dipakai suatu istilah baru untuk menunjukkan bidang yang berkembang dari Marine Insurance dengan timbulnya kemudian inland marine insurance dengan istilah: transportation insurance. Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, istilah ini tidak ada salahnya dipakai karena memang dapat menunjuk pada bidang pertanggungan atas bahaya selama pengangkutan baik di laut maupun di darat. Dengan demikian perusahaan pertanggungan laut (marine insurer) sudah tidak hanya menutup pertanggungan atas bahaya-bahaya yang ada hubungannya dengan pengangkutan dengan 38
M.H. Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Jakarta: Jambatan, 1970, hlm.
215
38 kapal, perahu atau alat lain melalui air melainkan juga atas pengangkutan yang dilakukan dengan kereta api, truk atau pesawat udara sedang bagian pengangkutan yang melalui lautan atau perairan hanya sebagian kecil dari seluruh pengangkutan.39 Asuransi laut adalah bagian usaha perasuransian pada umumnya; oleh karena itu peraturan-peraturan yang menguasai usaha asuransi laut ini pada umumnya bersamaan dengan peraturan yang berlaku pada usahausaha asuransi lainnya seperti asuransi kerugian, asuransi kebakaran dan lain-lain. Namun demikian terdapat beberapa ketentuan khusus yang hanya berlaku pada asuransi laut dan tidak berlaku bagi jenis-jenis usaha asuransi lainnya, karena memang asuransi laut mempunyai beberapa ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada jenis usaha asuransi lainnya.40 Perbedaan yang segera tampak antara asuransi laut dengan asuransi-asuransi yang lain adalah dalam hal bahaya/risiko yang dapat dijadikan obyek pertanggungan itu. Pada asuransi kebakaran misalnya, kerugian hanya ditanggung untuk bahaya kebakaran; begitu seterusnya dalam hal asuransi kecelakaan (misalnya asuransi mobil) ganti rugi hanya diberikan kalau kerugian terjadi karena bahaya atau risiko yang disebut polis yang telah ditutup. Dalam asuransi laut penyebutan jenis-jenis risiko satu persatu, atau penutupan asuransi untuk satu persatu risiko tidaklah tepat karena di dalam pelayaran kapal di laut dapat terjadi beberapa jenis bahaya secara bersama-sama. Misalnya: kapal yang sedang mengalami 39
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, op.cit., hlm. 55 Sudjatmiko, Pokok-Pokok Pelayaran Niaga, Jakarta: Cendana Press, 1979, hlm. 171
40
39 serangan ombak besar, terbakar di salah satu bagiannya karena sewaktu kapal bergoyang karena ombak, ada pipa minyak yang terputus sehingga minyaknya tumpah dan menyambar api.41 Berhubung dengan hal itu, asuransi laut dapat menanggung bahaya-bahaya kebakaran, kecelakaan, tindakan kekerasan oleh manusia dan lain-lain, pada umumnya bahaya-bahaya yang mungkin timbul sebagai akibat atau selama pengangkutan/pelayaran kapal di laut, bersama muatannya yang menjadi obyek pertanggungan.42 Berdasarkan
keterangan
tersebut,
maka
jelaslah
bahwa
pengangkutan laut merupakan salah satu kegiatan dalam dunia usaha yang sangat besar peranannya dalam lalu lintas perdagangan pada umumnya. Pengangkutan laut yang mau tidak mau memakai laut sebagai media (prasarana) pengangkutan, tentu saja sangat luas pula ruang lingkupnya, yaitu seluas lautan itu sendiri 2. Bahaya-Bahaya Yang Menjadi Tanggungjawab Penanggung Bahaya laut (marine perils) merupakan bahaya yang berasal dari laut (of the sea) dan yang terjadi di laut (on the sea). Bahaya tersebut merupakan tantangan dalam pengangkutan melalui laut, khususnya dalam pelayaran niaga, yang mau tidak mau harus dihadapi.43 Dalam pelayaran kapal di laut dapat dialami berbagai macam bahaya dan risiko terhadap kapal dan muatannya. Untuk memungkinkan penutupan kontrak
41
Ibid., hlm. 171 Ibid., hlm. 172 43 Radiks Purba, Angkutan Muatan Laut, Jilid 4, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981, 42
hlm. 147
40 pertanggungan bagi kapal atau muatan kapal, supaya dapat ditetapkan jenis-jenis risiko terhadap mana asuransi ditutup, perlulah diadakan penggolongan atau pengkategorian bahaya-bahaya laut yang sangat beraneka ragam itu. Secara kategoris bahaya-bahaya laut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1. Bahaya laut yang sebenarnya (perils of the sea), yaitu segala macam bahaya yang timbul di laut disebabkan oleh kelakuan atau perbuatan alam misalnya topan, ombak besar dan lain-lain. 2. Bahaya laut yang terjadi karena tindakan manusia, misalnya: perampasan kapal oleh bajak laut, perampasan atau penyitaan oleh pemerintah sesuatu negara di mana kapal singgah, dan lain-lain.44 Dalam KUHD bahaya-bahaya laut tersebut ditentukan dalam Pasal 637 tetapi rincian tersebut tidak bersifat limitatif, sebab pada bagian akhir rincian itu ditutup dengan kata-kata "pada umumnya karena segala bahaya yang datang dari luar apa pun namanya". Tetapi tidak semua bencana yang datang dari luar itu menjadi tanggungan penanggung karena Pasal 637 KUHD memberikan pengecualian, yaitu: a. Apabila dalam undang-undang ditegaskan bahwa bencana-bencana tertentu tidak menjadi beban penanggung; b. Apabila suatu janji dalam polis menentukan bahwa bencana-bencana tertentu tidak menjadi beban penanggung.
44
Sudjatmiko, op.cit., hlm. 172
41 Untuk lengkapnya, berikut ini disajikan ketentuan Pasal 637 KUHD, Semua kerugian dan kerusakan atas barang-barang asuransi karena bahaya-bahaya laut berikut ini menjadi beban penanggung: a. Bahaya badai, guruh, karam, kandas, melanggar kapal lain, menyenggol kapal, menabrak kapal, terdampar kapal, terpaksa mengubah jurusan, perjalanan, atau kapal. b. Bahaya pelemparan barang-barang ke laut. c. Bahaya kebakaran, kekerasan, banjir, perampasan, bajak laut, penyamun, penahanan atas perintah penguasa, pernyataan perang, tindakan pembalasan. d. Bahaya karena kurang hati-hati, kealpaan atau kecurangan pihak nakhoda atau anak buah kapal. e. Pada umumnya karena segala bahaya yang datang dari luar apapun namanya, kecuali oleh ketentuan undang-undang atau janji-janji dalam polis penanggung dibebaskan dari bahaya-bahaya tersebut.45 Mengenai perubahan jurusan atau arah kapal perlu dibedakan antara perubahan karena terpaksa dan perubahan karena kehendak sendiri. Apabila terjadi perubahan jurusan karena terpaksa sehingga menimbulkan kerugian, maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab penanggung (Pasal 637 KUHD). Tetapi apabila terjadi perubahan jurusan itu karena kehendak bebas nakhoda, pengusaha kapal, atau tertanggung sendiri, maka kerugian yang timbul karenanya bukan menjadi beban penanggung. Hal 45
R. Subekti dan R. Citrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Kepailitan, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986, hlm. 194
42 ini diatur dalam Pasal 638 KUHD yang menyatakan, dalam asuransi atas kapal (kasko), barang-barang, atau biaya angkutan, apabila terjadi perubahan jurusan atau perjalanan atau pertukaran kapal dengan sewenang-wenang atas kemauan sendiri dari nakhoda, pengusaha kapal, atau tertanggung, maka perubahan tersebut bukan menjadi beban penanggung.46 Sejak kapan bahaya dalam asuransi laut menjadi beban penanggung dan sejak kapan pula berakhirnya? Dalam asuransi kapal menurut perjalanan, bahaya mulai menjadi beban penanggung sejak saat nakhoda mulai memuat barang-barang, atau apabila dia harus berangkat hanya dengan membawa bahan pemberat, sejak saat dimuatnya bahan pemberat itu (Pasal 624 KUHD). Dalam asuransi tersebut, bahaya bagi penanggung berakhir 20 hari sesudah kapal yang diasuransikan itu tiba di tempat tujuan, atau sekian hari lebih dahulu apabila barang-barang muatan yang terakhir sudah selesai dibongkar (Pasal 625 KUHD). Apabila kapal itu diasuransikan untuk perjalanan pergi pulang, atau untuk lebih dari satu perjalanan, maka bahaya atas beban penanggung berlangsung terusmenerus sampai hari yang ke-21 sesudah kapal itu menyelesaikan perjalanannya, atau sekian hari lebih awal apabila barang-barang muatan terakhir telah selesai dibongkar (Pasal 626 KUHD). Dalam asuransi barang-barang muatan, bahaya mulai menjadi beban penanggung sejak saat barang-barang muatan itu ditumpuk di
46
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 158
43 dermaga untuk dimuat ke dalam kapal, dan bahaya itu berakhir 15 hari setelah kapal tiba di tempat tujuan, atau sekian hari lebih dahulu apabila barang-barang itu telah selesai dibongkar dan ditumpuk di dermaga (Pasal 627 KUHD). Bahaya itu tetap menjadi beban penanggung meskipun nakhoda terpaksa berlabuh di pelabuhan darurat, membongkar barangbarang, dan memperbaiki kapal di situ, sampai perjalanan kapal berhenti secara sah, atau tertanggung memerintahkan untuk tidak memuat lagi barang-barang itu ke dalam kapal, atau perjalanan kapal sama sekali sudah selesai dilakukan (Pasal 628 KUHD). Apabila nakhoda atau tertanggung karena alasan yang sah terhalang untuk melakukan pembongkaran barang-barang muatan dalam waktu yang telah ditentukan, sehingga tanpa kesalahan memperlambat pembongkaran tersebut, maka bahaya tetap menjadi beban penanggung sampai barang-.barang muatan itu sudah selesai dibongkar (Pasal 629 KUHD). Dalam asuransi biaya angkutan yang akan diterima, bahaya mulai menjadi beban penanggung sejak saat barang-barang muatan yang harus dibayar biayanya itu sudah dimuat di dalam kapal, dan berakhir 15 hari setelah kapal itu tiba di tempat tujuan, atau sekian hari lebih dahulu apabila barang-barang muatan itu sudah selesai dibongkar (Pasal 630 KUHD). Apabila karena alasan yang sah terhalang melakukan
44 pembongkaran, maka ketentuan Pasal 629 KUHD juga diberlakukan untuk ini (Pasal 630 KUHD).47 Walaupun dalam asuransi kapal dan barang-barang muatan telah diatur saat mulai dan berakhirnya asuransi laut, Pasal 634 KUHD memberikan kebebasan kepada tertanggung dan penanggung untuk menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan itu. Menurut ketentuan Pasal 634 KUHD, tertanggung dan penanggung bebas memperjanjikan lain dalam polis tentang saat mulai dan berakhirnya bahaya yang menjadi beban penanggung. 3. Jenis-Jenis Kerusakan dan Kerugian Yang Dapat Ditanggung dalam Asuransi Sesungguhnya dalam pelaksanaan pengangkutan laut, tidak mustahil terdapat berbagai jenis bahaya yang dapat mengakibatkan berbagai jenis kerusakan dan kerugian. Kerusakan dan kerugian yang mungkin terjadi tentu saja akan berakibat buruk baik bagi pengangkut maupun bagi pemilik barang angkutan. Bahaya-bahaya yang dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian dalam pengangkutan laut tadi dapat dikatakan relatif lebih besar bila dibandingkan dengan bahaya-bahaya yang timbul di darat. Atas pemikiran bahwa kerugian yang disebabkan oleh bahaya laut dan bahaya di laut itu relatif lebih besar dari bahaya di darat maka tentu saja
47
orang
Ibid., hlm. 159
berpikir
bagaimana
cara
mengatasinya.
Dalam
45 asuransi/pertanggungan laut dikenal berbagai jenis "pemberian ganti rugi", sesuai dengan kemungkinan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Berbagai bahaya laut yang menjadi penyebab kerugian yang dapat dipertanggungkan dalam asuransi laut pada garis besarnya dalam praktek dapat digolongkan sebagai berikut:48 1. Total loss, yaitu kerugian karena lenyap seluruhnya, jadi lenyap secara keseluruhan dapat terdiri dari: a. Actual total loss, mungkin apabila kapal dan muatannya secara fisik lenyap seluruhnya. b. Constructive total loss, mungkin apabila kapal dan muatannya kehilangan seluruh sifatnya semula, sekalipun secara fisik tidak rusak. 2. Partial Loss, yaitu kerugian yang sifatnya tidak mutlak, dan dapat terdiri atas : a. General average atau kerugian umum atau avary grosse avary umum. b. Particular avarage atau kerugian khusus/avary khusus. Melihat dari pembagian jenis kerugian yang mungkin ditanggung oleh penanggung terhadap kerugian tertanggung, KUH Dagang juga memberikan beberapa batasan terhadap berbagai kerugian sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal 699 KUH Dagang untuk kerugian-kerugian umum dan pasal 701 untuk kerugian-kerugian khusus. 48
Sri Redjeki Hartono, Hukum Dagang: Asuransi dan Hukum Asuransi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1985, hlm. 123
46 Adapun kerugian-kerugian umum sebagaimana diatur oleh pasal 699 adalah sebagai berikut : Pasal 699 KUH Dagang: Kerugian laut umum adalah : 1. Segala apa yang telah dibayarkan kepada musuh atau bajak-bajak laut untuk pembebasan atau pembelian kembali kapal beserta muatannya. Dalam halnya ada keraguan-raguan, maka haruslah dianggap bahwa pembelian kembali itu adalah untuk kepentingan kapal beserta muatannya; 2. Segala apa yang telah dibuang ke laut atas dipakai seisinya; 3. Segala kawat, tiang dan layar dan lain-lain alat yang telah dipotong atau dipatahkan, untuk keperluan yang sama seperti tersebut di atas; 4. Segala sauh, tali dan lain-lain benda yang telah terpaksa dilepaskan untuk keperluan yang sama seperti yang tersebut di atas; 5. Kerugian yang diterbitkan pada barang-barang yang tetap berada dalam kapal sebagai akibat pembuangan barang-barang ke laut; 6. Kerusakan yang dengan sengaja telah diterbitkan pada badan kapal, untuk memudahkan keluarnya air, begitu pula kerusakan yang diterbitkan pada muatan oleh karena air tersebut; 7. Penjagaan, pengobatan dan pemeliharaan mendapat luka-luka atau cacat pada waktu membela mendapat luka-luka atau cacat pada waktu membela kapalnya;
47 8. Penggantian atau perbekalan untuk mereka yang pada waktu mereka untuk keperluan kapal dan muatan dikirimkan ke laut atau ke daratan, telah ditangkap, dipenjarakan atau diperbudak; 9. Gaji-gaji dan pemeliharaan nakhoda beserta anak buah kapal, selama kapal ini terpaksa bersinggah dalam suatu pelabuhan darurat; 10. Upah pandu-laut dan lain-lain biaya pelabuhan, yang harus dibayar pada waktu memasuki atau keluar dari suatu pelabuhan darurat; 11. Uang sewa bagi gudang-gudang dan tempat-tempat penyimpanan, di mana barang-barang yang selama dilakukan perbaikan pada kapalnya dalam suatu pelabuhan darurat tidak dapat dibiarkan dalam kapal, terpaksa disimpan; 12. Biaya-biaya penuntutan kembali, apabila kapal dan muatan telah ditahan atau diseret, dan keduanya itu telah dituntut kembali oleh nakhoda; 13. Gaji-gaji dan biaya penghidupan nakhoda beserta anak buah kapal selama dilakukannya penuntutan kembali tadi, apabila kapal dan muatannya dibebaskan; 14. Biaya pembongkaran, upah kapal-kapal penolong, beserta biaya yang diperlukan untuk membawa kapalnya ke suatu pelabuhan atau sungai, apabila yang demikian; itu terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan kapal beserta muatannya, karena ada angin taufan, pengejaran oleh musuh atau bajak-bajak laut ataupun karena sesuatu hal lain; begitu pula kerugian muatan kerusakan yang menimpa barang-barang yang
48 diangkut karena pembongkaran dan pemuatan, karena keadaan memaksa, dalam kapal-kapal penolong atau kapal-kapal lainnya, dan pemuatan kembali dalam kapalnya; 15. Kerusakan yang ditimbulkan pada kapal atau muatannya, apabila kapal itu, untuk menghindarkannya dari perampasan musuh atau dari kemusnahan, terpaksa didamparkan ke pantai; begitu pula apabila yang demikian tadi terpaksa dilakukan di dalam sesuatu bahaya lainnya untuk menyelamatkan kapal beserta muatannya; 16. Biaya-biaya yang diperlukan untuk mengusahakan agar kapal yang didamparkan sebagai tersebut dalam ayat yang lalu, dapat berlayar lagi, beserta upah-upah yang dibayarkan untuk pertolongan yang diberikan untuk itu, begitu pula segala pengupahan untuk pertolongan yang diberikan kepada kapal dengan muatannya, pada waktu berada dalam bahaya; 17. Segala kerugian atau kerusakan yang diterbitkan pada barang-barang yang diangkut, yang dalam keadaan darurat telah dipindahkan ke kapal-kapal penolong atau ke lain kapal-kapal, termasuk di dalamnya bagian dalam avary gros yang oleh pemilik barang-barang tersebut wajib dibayar kepada kapal-kapal penolong atau lain-lain kapal tadi; dan sebaliknya segala kerugian atau kerusakan yang diterbitkan pada barang-barang yang tetap berada di dalam kapalnya semula, dan pada kapal itu sendiri, setelah diadakan penolongan tadi, satu dan Jain
49 sekedar kerugian atau kerusakan tersebut termasuk dalam kerugian laut umum; 18. Gaji-gaji dan biaya penghidupan bagi nakhoda beserta anak buahnya, apabila kapalnya, setelah bermulainya perjalanan, dihentikan oleh kekuasaan suatu negara asing atau karena pecahnya perang, selama kapal beserta muatannya tidak dibebaskan dari segala perikatan yang bertimbal-balik; 19. dihapuskan; 20. Premi yang digunakan untuk mempertanggungkan biaya-biaya yang dapat dianggap sebagai kerugian laut umum atau kerugian yang diderita karena dijualnya sebagian dari muatan di suatu pelabuhan darurat, dengan maksud untuk menutup biaya-biaya kerugian laut tersebut; 21. Biaya-biaya yang diperlukan untuk menghitung dan menetapkan kerugian laut umum; 22. Biaya-biaya, termasuk di dalamnya gaji-gaji dan biaya-biaya penghidupan bagi nakhoda dan anak buahnya, yang disebutkan karena suatu karantina yang tak dapat diduga pada waktu diadakan persetujuan pencarteran, sekedar kapal beserta muatannya terpaksa tunduk kepada karantina itu; 23. Pada umumnya, segala kerugian yang dalam keadaan darurat, telah sengaja ditimbulkan dan yang diderita sebagai akibat langsung
50 daripada itu, dan selanjutnya segala biaya yang, dalam keadaan yang sama, telah dikeluarkan guna penyelamatannya. Sedangkan kerugian khusus sebagaimana diatur oleh pasal 701 adalah Pasal 701 KUH Dagang: Kerugian laut khusus adalah ; 1. Segala kerusakan atau kerugian yang diterbitkan pada kapal atau muatannya, karena angin taufan, perampasan, karamnya kapal atau perdampingan yang tak disengaja; 2. Upah-upah dan biaya-biaya penolongan; 3. Hilangnya peralatan-peralatan kapal atau kerusakan yang ditimbulkan padanya, yang disebabkan karena angin taufan atau lain-lain kecelakaan di laut; 4. Biaya-biaya penuntutan kembali beserta biaya penghidupan dan gaji nakhoda dan anak buahnya selama sedang diusahakan penuntutan kembali tadi, apabila hanya kapalnya atau muatannya yang ditahan; 5. Perbaikan khusus atas pembungkusan dan biaya penyelamatan barangbarang dagangan yang mengalami kerusakan, sekedar satu dan lain bukan suatu akibat langsung dari suatu bencana yang memberikan alasan untuk kerugian laut umum; 6. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pengangkutan lebih lanjut, apabila dalam halnya pasal 519 d, persetujuan-carternya telah gugur, dan;
51 7. Pada umumnya segala kerusakan, kerugian dan biaya, yang tidak disebabkan atau dikeluarkan dengan sengaja dan untuk keselamatan dan manfaat kapal beserta muatannya, namun yang telah dideritanya atau dikeluarkan untuk keperluan kapalnya sahaja
atau untuk
keperluan muatannya sahaja, dan yang karena itu menurut pasal 699 tidak termasuk avary gros.49
49
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1991, hlm. 190 - 192
BAB III GAMBARAN UMUM PENGANGKUTAN LAUT DI PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG
A. Berdirinya PT Asuransi Purna Artanugraha di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang PT Asuransi Purna Artanugraha selanjutnya disebut Asuransi ASPAN didirikan pada tanggal 10 Juni 1991. Ijin usaha Asuransi ASPAN dikeluarkan oleh Departemen keuangan R.I melalui surat keputusan No. 155/KM.13/1992 tanggal 23 Mei 1992 dengan kegiatan usaha di bidang Asuransi Kerugian. Berdirinya asuransi ASPAN dilatar belakangi oleh keinginan dari Yayasan Kesehatan Pensiunan PT.PELNI dan Dana Pensiun PT.PELNI untuk dapat meningkatkan kesejahteraan para anggota dan lingkungannya. Keinginan tersebut disambut baik oleh manajemen PT.PELNI maka berdirilah Asuransi ASPAN pada tahun 1991. Pada awalnya kegiatan usaha Asuransi ASPAN hanya menangani personal accident penumpang kapal PT.PELNI, kemudian berkembang sesuai dengan portofolio usaha seperti saat ini. Dalam perkembangannya, Asuransi ASPAN berusaha untuk dapat memperkuat struktur modal perusahaan dengan meningkatkan modal disetor perusahaan. Hal ini direalisasikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa pada 16 Desember 1997 dan diputuskan bahwa modal setor perusahaan ditingkatkan dari Rp 3 milyar menjadi Rp 15 milyar. Dalam rapat tersebut juga diputuskan mengenai perubahan seluruh anggaran dasar perseroan sesuai 52
53
dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pada awal tahun 2004 modal disetor perusahaan ditingkatkan menjadi Rp 25 milyar. Peningkatan modal disetor ini dilakukan secara berangsur angsur untuk menyesuaikan dengan lansekab arsitektur perasuransian nasional mengenai modal disetor sebesar Rp 100 milyar pada tahun 2015 bagi perusahaan asuransi kerugian yang ditetapkan oleh pemerintah. PT Asuransi ASPAN (PT Asuransi Puma Artha Nugraha) bergerak dalam bidang usaha perasuransian, khususnya dalam bidang asuransi umum kerugian (General Insurance ) dalam arti seluas-luasnya. PT Asuransi ASPAN yang dimiliki Dana Pensiunan PT PELNI mempunyai 3 jenis primadona sumber pendapatan premi, yaitu: - Asuransi Kecelakaan Diri ( Khusus Kapal Penumpang ) - Personal Accident Insurance (specifically designed for Passenger Vessels ) - Asuransi Marine Hull ( Mesin dan Rangka Kapal ) - Marine Hull Insurance (Vessel's Machinery & Hull) - Asuransi Marine Cargo ( Pengangkutan Barang ) - Marine Cargo Insurance (Cargo Transportation) Dalam konteksnya dengan Asuransi PT Purna Artanugraha dan pelabuhan Semarang bahwa tempo dulu Pelabuhan Semarang adalah berupa sungai kecil atau Kali Semarang yang menjadi satu-satunya urat nadi pengangkutan barang-barang dengan perahu dari dan ke kapal samudera yang berlabuh di lepas pantai. Pada menara suar pelabuhan Semarang tertera
54
"Tahun 1874", dapat menunjukkan bahwa pelabuhan Semarang berdiri pada abad ke-19. Untuk memenuhi tuntutan perkembangan kota dan perdagangan pada masa itu dibuat suatu rencana pengembangan pelabuhan yang pembangunannya dimulai menjelang akhir abad 19. Setelah pembangunan itu, perdagangan melalui pelabuhan Semarang meningkat. Dalam peran yang pernah diemban Pelabuhan Semarang, khususnya dalam hal jumlah bongkar muat barang, pada tahun 1925 pernah menduduki peringkat ke-3 sesudah Tanjung Priok dan Tanjung Perak.1 Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, dengan meningkatnya kegiatan operasional pelabuhan Semarang, diperlukan penambahan fasilitas, sehingga pada tahun 1964 - 1966 dibangun dermaga pelabuhan Nusantara (coaster) beserta beberapa fasilitas lain seperti Gudang Lini 1 Nusantara. Walaupun sudah ada penambahan fasilitas pelabuhan Nusantara, Pelabuhan Semarang masih terbatas untuk disandari kapal-kapal berukuran besar. Pada masa itu, yang bisa merapat/bersandar di Dermaga Nusantara maksimum kapal-kapal dengan draft = 5 m atau berukuran ± 3.500 Ton bobot mati (Dwt). Sedang kapal-kapal dengan draft > 5m masih harus berlabuh diluar pelabuhan atau dilepas pantai yang jaraknya ± 3 mil dari dermaga. Karena itu-dikenal sebagai Pelabuhan REDE. Semenjak tahun 1970, arus kapal dan barang yang melalui Pelabuhan Semarang cenderung semakin meningkat setiap tahun. Menurut data tahun 1970-1983 kenaikan arus barang rata-rata tiap tahun yaitu 10% lebih.
1
Dokumen Pengangkutan Laut Tanjung Emas Semarang, hlm. 6
55
Mengingat keterbatasan fasilitas pelabuhan seperti kedalaman dan lebar alur/kolam yang tidak memadai untuk masuk/keluarnya kapal-kapal samudera, maka Pemerintah menetapkan untuk rnengembangkan Pelabuhan Semarang. Sesuai rencana induk (Master Plan) pengembangan pelabuhan Semarang dibagi dalam 3 tahapan yaitu : Tahap I, Tahap II, dan Tahap III.2 Tahap I Program pengembangan yang mendesak (Urgent Improvement Program) 1) Jangka waktu pelaksanaan 3 tahun, 1982-1985. 2) Membangun berbagai fasilitas, di antaranya: dermaga samudera, pengerukan alur dan kolam, penahan gelombang, gudang lini 1 dan II, lapangan penumpukan, pengadaan alat-alat bongkar muat (crane, forklift), kapal tunda, kapal kepil, jalan lingkungan, sarana bantu navigasi, instalasi air bersih, penerangan serta fasilitas penunjang lainnya. Tahap II Proyek pengembangan jangka pendek 1995-1997 1) Pekerjaan Sipil a. Dermaga peti kemas. Panjang 345 m, lebar 25 m, kedalaman 10 m. b. Apron 30 x 345 m2 c. Urugan dan Rivetmen untuk perkerasan. d. Lapangan penumpukan 70.000 m2. e. Jalan masuk 31.900 m (lebar 20m).
2
Ibid., hlm. 7.
56
f. Utilitas (Instalasi Air, Listrik dll). g. Pengerukan alur dan kolam 556.000 m3. 2). Bangunan a. Kantor Administrasi 1.200 m2.
J
b. Container Freight Station (CFS) 3.564 m2. c. Pemadam kebakaran & bengkel 3.415 m2. d. Pintu gerbang & Sub-station. e. Pembangkit listrik (untuk cadangan dan darurat). f. Terminal data. g. Marine house. h. Jembatan timbang. 3). Alat bongkar muat3 a. Container gantry crane 4 unit dengan kapasitas 40 ton. b. Ruber Tyred Gantry 8 unit. c. Transfer crane 3 unit dengan kapasitas 40 ton. d. Head Truck & chasis 10 & 20 unit. e. Forklift 6 unit dengan kapasitas 2 ton. e. Forklift 2 unit dengan kapasitas 10 ton. f. Truck Pemadam Kebakaran 1 unit. 4). Instalasi a. Menara suar. b. Gardu Listrik & Transformator.
3
Ibid., hlm. 8.
57
c. Generator set. 5). Studi a. Studi lingkungan. b. Engineering desain untuk terminal Peti Kemas Internasional.4
Tahap III Program pembangunan jangka panjang Jangka waktu pelaksanaan direncanakan setelah Tahap II, selesai s/d tahun 2005. Direncanakan membangun beberapa fasilitas, antara lain dermaga, gudang, lapangan penumpukan, pengerukan, jalan lingkungan dan fasilitas lainnya. Proyek Pembangunan Pelabuhan Semarang Tahap 1 yang telah selesai dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto – pada tanggal 23 Nopember 198S diberi nama Pelabuhan Tanjung Emas. Semenjak itulah Pelabuhan Semarang memasuki era baru dengan adanya pengembangan fasilitas pelabuhan samudera. Tidak saja fasilitas pelabuhan yang tersedia saat ini lebih meningkat, tetapi pelayanan jasa pelabuhan juga meningkat. Pada saat ini, Pelabuhan Tanjung Emas menapak penyelesaian Tahap II yang diarahkan sebagai salah satu Pelabuhan Container di Indonesia, yang juga merupakan suatu perwujudan mengantisipasi milenium ketiga dengan globalisasi-nya Untuk pengembangan
mencapai Pelabuhan
sasaran Tanjung
yang
terpadu
Emas,
Pihak
dalam
rencana
PT.(PERSERO)
Pelabuhan Indonesia III bekerja sama dengan Japan International 4
Ibid., hlm. 9.
58
Cooperation Agency (JICA) bersama-sama melakukan studi rencana pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang (Studi Master Plan) pada tahun 1985-1986. Kegiatan yang dilakukan dalam studi ini adalah menganalisa dan memberikan rekomendasi terhadap : a. Basic Policy terhadap pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas. b. Proyeksi masa depan terhadap arus barang dan penumpang. c. Pembuatan Master Plan dan Short Term Development Plan Pelabuhan Tanjung Emas. d. Perencanaan Urgent Development Plan (Phase II Project). e. Perencanaan konstruksi dan Construction Schedule. f. Analisa ekonomis dan keuangan.5 Dalam rangka pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas yang berkesinambungan perlu diperhatikan dampak yang akan timbul terhadap lingkungan dan ekosistem sekitarnya. Kemudian disusun kebijakan dan langkah-langkah Pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang yang berwawasan lingkungan, berdasarkan Master Plan Pelabuhan Tanjung Emas tahun 2000 - 2025, Tata Guna Lahan Pelabuhan Tanjung Emas, Program Kerja Daerah "Pantai dan Laut Lestari" yang dipadu dengan kegiatan 5-R (Ringkas. Rapi, Resik, Rawat, Rajin) dan K3 (Kesehatan, Kebersihan dan Keselamatan Kerja) Dari kebijakan dan langkah-langkah yang telah ditetapkan tersebut, kemudian disusunlah program-program strategis pengembangan
5
Ibid.,
59
Pelabuhan Tanjung Emas Semarang yang berwawasan lingkungan (ECO PORT). Dan telah diraihnya sertifikasi ISO 14001 -1996 maka Pelabuhan Tanjung Emas sangat konsisten sekali dengan pengelolaan lingkungan. Saat ini dan yang akan datang, Kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan tetap melaju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Indonesia yang terletak di persimpangan lalu lintas perdagangan internasional akan tetap berperan. Untuk itu perlu pengembangan beberapa pelabuhan beserta kelengkapan fasilitasnya. Bila dilihat dari kecenderungan arus barang melalui pelabuhan setiap tahunnya mengalami peningkatan, selain dalam bentuk terurai/bulk, juga utamanya adalah dalam bentuk kemasan (container). Melihat kecenderungan tersebut, untuk pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas telah direncanakan dan disesuaikan dengan volume barang melalui Pelabuhan. Pengembangan tersebut diarahkan sebagai pusat unit ekonomi yang efektif dan efisien, yang mendukung industri terkait serta meningkatkan sistem distribusi yang efisien (multi moda transport). Dalam pengembangan Tahap II, mengingat berdasarkan pengamatan yang ada, bahwa pengiriman barang pada perdagangan dunia, baik ekspor maupun
impor, cenderung
pada kontenerisasi, maka
Pelabuhan Tanjung Emas harus menyediakan peralatan bongkar muat seperti Gantry Crane, Tanstainer, maupun lapangan penumpukan container. Sehubungan dengan ini, pengembangan Tahap II difokuskan kepada pengembangan fasilitas dan penyediaan peralatan bongkar muat untuk pelayanan container. Dengan demikian nantinya akan terwujud
60
fasilitas Full Terminal Container di Pelabuhan Tanjung Emas pada Propinsi Jawa Tengah ini. Di dalam pelaksanaan pengembangan fasilitas Pelabuhan Tanjung Emas, mengingat beban yang dipikul oleh pengelola pelabuhan semakin berat, dan dana yang tersedia semakin terbatas dibandingkan dengan demand yang ada, maka kebijaksanaan yang ditempuh yaitu pengusaha swasta diberi kesempatan ikut berpartisipasi. Pada saat ini beberapa proyek yang telah terwujud adalah: 1). Kawasan Industri Berikat. 2). Pabrik Tepung Terigu. 3). Pengantongan Pupuk. 4). Tangki-tangki penimbunan Crude Palm Oil, minyak nabati dan lainlain.6 Pelaksanaan kerjasama ini dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan. Kondisi demikian membuktikan bahwa investasi di Propinsi Jawa Tengah dalam kenyataannya tumbuh dengan pesat, dan telah berorientasi kepada penggunaan container baik untuk pengiriman barang ekspor maupun untuk mendatangkan bahan baku barang impor. Pelabuhan Tanjung Emas diselenggarakan oleh PT. (PERSERO) PELABUHAN INDONESIA III yang kantor pusatnya terletak di jalan Perak Timur 106 Surabaya. Sebagai penanggungjawab pelayanan, direksi menunjuk General Manager yang berkantor di Jl. Coaster No. 10
6
Ibid., hlm. 10.
61
Pelabuhan Semarang 50174. General Manager dapat dihubungi setiap saat dalam jam kerja melalui telepon nomor (024) 354 5721, 354 8666, atau Facsimile (024) 354 2649. PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Emas sebagai salah satu cabang perusahaan dari PT. ( Persero ) Pelabuhan Indonesia III dalam managemen pengelolaan operasionalnya sesuai amandemen Konvensi International tentang keselamatan jiwa di laut tahun 1974 ( Bab XI - 2 Solas 1974 ) menjamin mutu dan produknya, menjamin K3 untuk pegawainya, memperhatikan pengelolaan Lingkungan dan Mengimplementasikan regulasi International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code dan SMM ISO 9001 : 2000 serta EMS ISO 14001 : 1996 di wilayah kerjanya (Port Facilities).7 Di masa mendatang, kontribusi kawasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan semakin penting dalam perkembangan industri dan perdagangan nasional maupun internasional. Letak Jawa Tengah yang strategis telah menyebabkan kawasan ini sangat penting untuk menghubungkan propinsi-propinsi di Pulau Jawa, sehingga dibutuhkan sistem transportasi yang semakin memadai demi mendukung peningkatan industri dan perdagangan. Selama ini kawasan Jawa Tengah dan DIY telah memiliki transportasi darat, udara dan sejak ratusan tahun silam telah memiliki transportasi laut yang didukung oleh Pelabuhan Semarang. Keberadaan
7
Ibid., hlm. 11.
62
Pelabuhan Semarang ini sangat strategis dalam meningkatkan laju perdagangan pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia maupun mancanegara. Sejak berdiri tahun 1874, Pelabuhan Semarang dikenal sebagai pelabuhan Rede dan setelah dikembangkan sebagai pelabuhan samudra sejak tahun 1985, pelabuhan semarang disebut Pelabuhan Tanjung Emas. Salah satu fasilitas andalan Pelabuhan Tanjung Emas adalah Terminal Peti Kemas Semarang yang merupakan pusat handling peti kemas. Sebelumnya pengelolaan Terminal Peti Kemas Semarang menjadi satu dengan pengelolaan Pelabuhan Tanjung Emas; sebagai langkah antisipasi terhadap pertumbuhan angkutan peti kemas, yang harus dikelola lebih professional, terhitung sejak 1 Juli 2001, Terminal Peti Kemas Semarang ditetapkan sebagai unit bisnis tersendiri yang terpisah dari manajemen Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dengan sebutan Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS). Berarti semua urusan handling peti kemas sepenuhnya dilakukan sendiri oleh manajemen TPKS. Sebagai pusat handling peti kemas yang menjadi elemen penting dalam seluruh infrastruktur pelabuhan, TPKS selalu meningkatkan mutu dan pelayanan, apalagi mengingat beragam potensi yang ada di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. Propinsi Jawa Tengah clan Daerah Istimewa Yogyakarta di masa kini dan masa mendatang diprediksi akan menjadi daerah yang sangat potensial bagi para investor, artinya pertumbuhan industri clan
63
perdagangan akan semakin ramai. Pada titik inilah peranan transportasi laut menjadi sangat vital, fungsi pelabuhan perlu dimaksimalkan demi memperlancar lalu lintas perdagangan tersebut. TPKS memiliki peranan kunci yang menentukan besar kecilnya tingkat pertumbuhan itu. Jika selama ini banyak perusahaan di kawasan Jawa Tengah dan sekitarnya yang masih mengirimkan produknya melalui Pelabuhan Tanjung Perak clan Pelabuhan Tanjung Priok berarti harus mengeluarkan biaya transportasi darat yang cukup tinggi. Memilih Pelabuhan Tanjung Mas Semarang dengan fasilitas Terminal Peti Kemas yang semakin canggih dan lengkap serta pelayanan maksimal, tentunya merupakan langkah efisiensi yang patut ditempuh. Tak hanya fasilitas canggih yang dimiliki oleh TPKS, tapi juga tarifnya relatif lebih rendah dibanding Terminal Peti Kemas di pelabuhan Tanjung Perak atau Tanjung Priok.8 Langkah efisiensi itu telah dilakukan oleh sejumlah eksportir. Misalnya Peti Kemas asal Jepara, yang selama ini kegiatan bongkar muatnya dilakukan melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kini telah beralih ke TPKS. Bahkan banyak perusahaan yang berasal dari Cirebon lebih memilih TPKS dikarenakan tingkat kongesti kota jakarta yang sangat tinggi. Fasilitas dan peralatan merupakan faktor produksi yang sangat vital bagi kinerja pelabuhan. TPKS berupaya secara bertahap melengkapi berbagai fasilitas dan peralatannya. Fasilitas yang dimiliki saat ini
8
Ibid.,
64
merupakan hasil pembangunan pelabuhan Tanjung Emas tahap II. antara lain terdiri dari dermaga peti kemas sepanjang 345 m dilengkapi alat bongkar muat container berupa 4 unit Gantry Crane dan 8 unit RTG. Pembangunan tahap II ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kegiatan bongkar muat peti kemas yang setiap tahunnya semakin meningkat, yaitu rata-rata sebesar 14,55% dalam satuan boks dan 17,20% dalam satuan TEU. Jika kegiatan bongkar muat peti kemas pada tahun 2001 sebesar 272.611 TEUs, maka di tahun 2002. telah mencapai 191.490 boks atau 315.874 TEUs. Kondisi eksisting fasilitas yang ada sekarang adalah: panjang alur 4000 m dan lebar 80 m dengan kedalaman -10 m LWS; . Panjang dermaga Peti Kemas 345 m dan lapangan penumpukan Peti Kemas seluas 82.000 m2; Kemudian alat fasilitas yang dimiliki adalah 5 unit gantry crane (SWL 40 Ts), 1 1 unit Transtainer (SWL 40 Ts); 3 unitTop Looder; 2 unit Side Loader; 20 unit Head Truck; 24 unit Chasis; 96 set Reefer Plugs . Adapun bangunan fasilitas yang sudah tersedia, yaitu: 77.000 m2 Container Yard; Depo MTY (Empty) baru sebesar 28.600 M2 dan Depo MTY lama sebesar 25.000 M2; Kemudian Gudang CFS (Container Freight Station) baru sebesar 3.600 M2 dan
Gudang
Cargo Consolidasi (Consolidation Ware House) 6.000 M2; Dermaga sepanjang 495 m serta multy yard (Handling area) seluas 2,2 ha. TPKS dalam sistem transportasi nasional (Sistranas) telah ditetapkan selain sebagai Pelabuhan Transhipment (alih muat) juga merupakan hub port dengan feeder PSA Singapura. Saat ini hampir 60%
65
angkutan Peti Kemas yang melalui TPKS untuk feedernya diekspor melalui PSA Singapura, sisanya lebih kurang 20% dikirim langsung ke negara tujuan seperti Hongkong, Taiwan, China, Malaysia (Asia Timur). Pengangkutan Peti Kemas dari TPKS didistribusikan melalui S pelabuhan utama seperti Port of Singapore Authority, Port Klang, Port of Tanjung Pelepas, Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak. Peti Kemas tersebut dikirim melalui jalur utama yakni rute Australia-Asia Tenggara yang meliputi Port Kelang, Singapore, Port of Tanjung Pelepas, Freemantle, Adelaide, Sydney, Melbourne dan Tasmania. Selain itu Peti Kemas juga didistribusikan melalui segitiga jalur persimpangan di Asia Tenggara yang meliputi: Penang, Kota Bahru, Kuantan, Kuala Lumpur, Malacca dan Singapore.9
B. Tanggung Jawab Pihak Asuransi Pengangkutan Laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang Sebelum seorang tertanggung melakukan penutupan perjanjian pertanggungan laut, maka ia harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut yang akan sangat membantu kelancaran daripada tujuannya. Langkah pertama ialah mempelajari situasi atau keadaan umum antara lain ialah; a. Mempelajari sedalam-dalamnya mengenai sifat dan keadaan barang atau muatan yang akan diasuransikan, antara lain sifat buah-buahan yang cepat
9
Ibid., hlm. 12.
66
membusuk, ternak yang bisa mati karena udara laut, bahan kimia, dan seterusnya. b. Situasi umum antar negara, apakah dalam keadaan perang, apakah tempat yang dituju itu sedang dilanda pemogokan, perang lokal, dan sebagainya. Guna
mengatasi
keadaan/situasi,
kesulitan
sebaiknya
calon
yang
mungkin
tertanggung
di
timbul samping
berhubung menutup
pertanggungan dengan syarat umum polis yang lazim dipakai, ia mungkin dan dapat menutup perjanjian pertanggungan dengan syarat khusus. Setelah calon tertanggung mengetahui dengan pasti mengenai situasi, dan keadaan umum tempat tujuan dan pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi oleh kapal yang membawa muatan barang-barang miliknya, maka ia dapat menentukan syarat khusus apa yang perlu ditambahkan guna keselamatan dan kepentingannya. Syarat-syarat khusus yang mungkin ditutup antara lain: a. Risiko peperangan (war risk/molest) b. Risiko pemogokan (strikes) c. Risiko kebakaran (fire risks) d. Risiko pencurian dan pencolengan (theft dan priverage). Langkah kedua ialah memperhatikan jangka waktu perjanjian. Seperti pada setiap perjanjian yang lain tentu saja, pada perjanjian pertanggungan juga ada masa berlakunya perjanjian termaksud. Pada perjanjian asuransi pengangkutan laut, mengenai jangka waktu berlakunya justru diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sehingga ada batas kapan dimulai dan kapan berakhirnya masa perjanjian itu. Hal ini sangat penting artinya baik bagi pihak
67
penanggung atau pihak tertanggung sekalipun, karena dengan jelas dan tegas akan mengatur dan membatasi sampai seberapa lama para pihak itu terikat satu dengan yang lain dalam kewajiban yang telah mereka sepakati. Dalam KUH Dagang, dengan tegas diatur kapan mulai dan kapan berakhirnya bahaya, yaitu yang diatur dalam bagian ketiga, bab IX, Buku II, yaitu pada pasal-pasal 624 sampai dengan pasal 634. Pada dasarnya penanggung akan membayar ganti rugi apabila jadi kerugian yang disebabkan karena kerusakan atas barang yang dipertanggungkan dalam masa atau jangka waktu perjanjian pertanggungan dan sesuai dengan syarat yang tersebut dalam polis. Dari pasal-pasal tersebut di atas, mengenai batas berlakunya perjanjian asuransi laut, yaitu yang mengatur tentang permulaan dan berakhirnya bahaya dapat digolongkan sebagai berikut : a. Pasal 624 sampai dengan pasal 626, mengatur tentang pertanggungan terhadap rangka kapal/kapalnya sendiri (hull). b. Pasal 627 sampai dengan pasal 629 mengatur tentang pertanggungan terhadap barang-barang yang dimuat kapal yang bersangkutan. c. Pasal
630
mengatur
tentang
pertanggungan
terhadap
upah-upah
pengangkutan yang diharapkan akan diperoleh. Pasal 624 KUH Dagang: "Dalam hal pertanggungan atas sebuah kapal maka bahaya mulai berjalan bagi si yang menanggung semenjak saat nakhoda mulai dengan pemuatan barang-barang dagangan; atau apabila ia diwajibkan berangkat hanya dengan membawa bahan pemberat, pada saat dimulainya memuat bahan tersebut".
68
Pasal 625 KUH Dagang : "Dalam pertanggungan yang disebutkan di dalam pasal yang lalu, bahaya bagi si yang menanggung berakhir dua puluh satu hari setelah tujuannya, ataupun sekian hari lebih dahulu sekurang-kurangnya yang dipertanggungkan itu sampai di tempat dan barang-barang dagangan yang berakhir telah selesai dibongkarnya. Pasal 626 KUH Dagang : "Dalam halnya sebuah kapal dipertanggungkan untuk suatu perjalanan pergi-pulang, atau untuk lebih dari satu perjalanan, maka si yang menanggung, dengan tidak terputus-putus, menanggung bahaya sampai pada hari ke dua puluh satu semenjak diselesaikan perjalanan terakhir, ataupun sekian hari lebih dahulu sekedar barang-barang dagangan yang terakhir telah selesai dibongkarnya". Pasal 627 KUH Dagang : "Apabila yang dipertanggungkan itu adalah barang-barang dagangan atau barang-barang lainnya, maka bahaya mulai berjalan atas tanggungan si yang penanggung segera setelah barang-barang itu dibawanya di tepi laut, untuk dari situ dimuatkan atau dibawa ke dalam kapal-kapal yang akan memuatnya, sedangkan bahaya tadi berakhir limabelas hari setelah kapalkapal yang bersangkutan tiba di tempat tujuannya, ataupun sekian hari lebih dahulu sekedar barang-barang yang dipertanggungkan akan selesai dibongkar di tempat tersebut dan ditempatkan di tepi laut". Pasal 628 KUH Dagang : "Apabila yang dipertanggungkan itu adalah barang-barang dagangan atau barang-barang lainnya, maka bahaya itu berjalan dengan tidak terputusputus, biarpun nakhoda telah terpaksa memasuki suatu pelabuhan darurat, membongkar muatan dan memperbaiki kapalnya di situ, hingga perjalanannya dihentikan secara sah atau oleh si tertanggung diberikan perintah untuk tidak lagi memasukkan barang-barangnya ke kapal, ataupun perjalanan itu diselesaikan sama sekali". Dari ketentuan-ketentuan pasal-pasal di atas pada dasarnya, perjanjian pertanggungan itu dianggap telah berhenti 15 hari dari sesudah kapal yang bersangkutan sampai di tempat tujuan atau lebih dulu, sekedar barang muatan selesai dibongkar. Jadi batas 15 hari itu adalah batas pertanggungan dalam
69
keadaan biasa, sebagaimana diatur oleh KUH Dagang paling jauh dari gudang ke gudang perusahaan pengangkut. Dalam perkembangannya berhubungan dengan kebutuhan dan pula mungkin karena adanya persaingan, mengenai jangka waktu dapat diperluas lagi sesuai dengan kebutuhan. Perluasan mana tentu saja harus diatur secara khusus dalam polis. Perluasan itu biasanya menentukan perpanjangan jangka waktu berlakunya perjanjian pertanggungan laut. Keadaan tersebut tentu saja akan mengikat para pihak. Untuk mengajukan klaim, maka pertama-tama pihak tertanggung harus menyampaikan laporan bahwa terjadi kecelakaan yang menimpa kapal yang diasuransikan/dipertanggungkan, keterangan mana harus dikuatkan oleh syahbandar. Laporan kecelakaan tersebut di atas dilengkapi dengan dokumendokumen antara lain. a. Berita acara pemeriksaan nakhoda/perwira kapal oleh syahbandar tentang kecelakaan. b. Hasil survey syahbandar atas peristiwa yang bersangkutan. c. Dokumen-dokumen perjanjian pertanggungan (polis, kwitansi pembayaran premi). d. Dokumen-dokumen kapal. Langkah
kedua
ialah
memperhatikan
syarat-syarat
perjanjian
bagaimana klausula-klausula dari polis yang bersangkutan. Hal itu juga akan menentukan pula sikap dari penanggung, apakah la akan membayar tuntutan atau tidak; untuk itu penanggung dengan mempergunakan jasa surveyan mengadakan penelitian, apakah kecelakaan itu ditanggung oleh polis atau
70
tidak. Selanjutnya dengan adanya laporan dari surveyan tadi penanggung harus segera menentukan sikap, apakah la menerima atau menolak tuntutan klaim dari tertanggung. Dalam hal ini peranan syah bandar dan Mahkamah Pelayaran sangatlah menentukan. Adapun jangka waktu pengajuan klaim, biasanya ditempuh jarak waktu antara tiga sampai tujuh hari semenjak terjadinya kecelakaan. Secara internasional pengajuan klaim itu adalah tentu saja secepat mungkin dan harus diikuti bantuan para ahli. Dalam tahap terakhir pada penentuan besarnya ganti rugi, peranan surveyor sangatlah besar artinya, karena la akan menentukan hal-hal sbb: a. membenarkan adanya kerusakan b. menentukan/memperkirakan sebab kecelakaan yang didasarkan pada logbock kapal dan bukti-bukti lain c. menganjurkan ganti rugi d. memperkirakan besarnya ongkos perbaikan e. menjaga dan melaporkan mengenai perbaikan f. mengesahkan kwitansi-kwitansi terakhir. Bila tertanggung telah mendengar, walaupun tidak secara resmi, tentang kerugian atau kerusakan yang menimpa barang-barang yang dipertanggungkannya dan sedang berada dalam perjalanan, dia harus memberitahukan hal itu kepada brokernya, melalui siapa pertanggungan telah ditutup. Selanjutnya broker akan melakukan satu dan lain tindakan yang
71
dirasa perlu untuk mengurus penggantian kerugian yang menjadi hak tertanggung. Adapun kerugian yang mungkin diderita oleh barang pertanggungan dapat berupa: a. Total loss, yaitu kerugian sepenuh nilai barang yang dipertanggungkan. Dalam hal ini dibedakan adanya dua kategori total loss yaitu actual total loss (atau absolute total loss) dan constructive total loss. Actual Total Loss terjadi bila barang yang dipertanggungkan itu: 1. rusak atau hancur seluruhnya/musnah; 2. dirampas oleh suatu negara atau lainnya, tanpa dapat diminta kembali; 3. mengalami
kerusakan
sedemikian
rupa
sehingga
barang
pertanggungan itu kehilangan nilai dagangnya (lazimnya kerusakan yang besarnya lebih dari 75% dari nilai barang yang bersangkutan dapat dianggap sebagai total loss). Constructive Total Loss terjadi kalau biaya perbaikan (reparasi) atas barang pertanggungan yang mengalami kerusakan itu, ditambah biaya-biaya untuk menyerahkan barang tersebut di pelabuhan tujuannya, akan melampaui nilai barang itu setibanya di pelabuhan tujuannya. b. Partial Loss (kerusakan sebagian), yaitu kerusakan pada barang pertanggungan yang besarnya tidak lebih dari 75% dari nilai barang. Kapal yang dihantam badai dan terdampar/karam, menimbulkan kerugian constructive total loss".
72
Mengenai kerusakan sebagian ini kiranya tidak terdapat masalah yang khusus, hanyalah masalah nilai kerusakan itu apakah memang penilaian yang dibuat dapat disetujui oleh tertanggung, ataukah tertanggung merasa bahwa jumlah kerugian dinilai terlalu rendah (hal semacam ini jarang terjadi, karena penilaian tentang besar kecilnya kerugian lazimnya dibuat oleh ahli-ahli taksir yang bonafid). Setiap persetujuan asuransi ditutup dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada tertanggung terhadap kemungkinan kerugian yang terjadi atas kepentingannya. Undang-undang melarang penutupan asuransi yang bertujuan mencari keuntungan baik pada pihak tertanggung maupun penanggung. Tetapi kalau barang pertanggungan menderita kerusakan sedemikian besarnya sehingga waktu dan biaya untuk memperbaiki kerusakan itu terlalu besar, lebih mudah dan lebih efisien untuk melepaskan saja barang itu ke tangan penanggung dan sebagai gantinya tertanggung mendapat ganti rugi penuh seperti halnya kalau barang yang dipertanggungkan itu mengalami kerugian total loss. Kerusakan sebesar 75% atau-lebih yang terjadi atas barang yang dipertanggungkan memberi hak kepada tertanggung untuk mengabandon barang tersebut, untuk mendapat pembayaran ganti rugi penuh. Terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung, penanggung akan membayar ganti rugi kalau kerusakan atau kerugian atas barang yang dipertanggungkan terjadi dalam masa atau jangka waktu pertanggungan penanggung dan kerugian memang terjadi sesuai seperti disebut dalam polis yang bersangkutan.
73
Pada umumnya penanggung mulai menanggung risiko pertanggungan sejak muatan yang menjadi obyek dari pertanggungan itu, dimuat dalam kapal, atau sejak kapal menaikkan ballast bilamana obyek asuransi adalah kapal dan kapal itu berangkat dalam keadaan kosong (in ballast), ataukah sejak kapal: berangkat dari pelabuhan (yaitu dalam hal obyek pertanggungan adalah kapal yang berlayar membawa muatan). Mengenai berakhirnya jangka waktu pertanggungan dapat dijelaskan bahwa resiko yang ditanggung oleh penanggung dinyatakan berakhir: a. Untuk Asuransi atas Kapal (Hull Insurance) 21 hari sesudah kapal tiba di pelabuhan tujuan (pelabuhan pembongkaran barang), atau lebih cepat dari waktu itu kalau pembongkaran diselesaikan lebih cepat dari 21 hari. b. Untuk Asuransi atas Barang (Cargo Insurance) 15 hari sesudah kapal tiba di pelabuhan tujuan, atau lebih cepat dari waktu itu kalau pembongkaran muatan diselesaikan lebih cepat dari 15 hari. Dari kedua ketentuan tersebut di atas tampaklah bahwa batas waktu pertanggungan, di mana penanggung memikul risiko sebagaimana disebut dalam polis, disesuaikan dengan azas ex tackle responsibility sebagaimana diatur dalam The Hague Rules. Batas waktu ini sudah barang tentu boleh diperpanjang oleh penanggung, asal saja hal itu disebut dalam polis yang bersangkutan. Dalam hal kapal menyinggahi pelabuhan darurat ataupun karena ada tindakan Pemerintah, batas waktu pertanggungan penanggung dapat diperpanjang seperlunya. Juga adalah lazim untuk menetapkan batas
74
pertanggungan from warehouse to warehouse, dalam pengertian bahwa penanggung menanggung kerugian tertanggung mulai sejak barang-barang dimasukkan dalam gudang pelabuhan sebelum dimuat, sampai barang tersebut keluar dari gudang laut di pelabuhan tujuannya. Jikalau batas waktu pertanggungan sudah dilewati, sedangkan barang (obyek asuransi) belum sampai di pelabuhan tujuan karena kapal menyinggahi pelabuhan darurat, asuransi dianggap masih tetap berlaku sepanjang penyinggahan di pelabuhan darurat itu dilakukan atas dasar waktu keadaan yang memaksa. Dalam hal ini kapal dianggap melakukan suatu deviasi yang sah. Jikalau perjalanan kapal diputuskan di tengah jalan karena suatu keadaan memaksa, risiko asuransi masih ditanggung terus sampai 15 hari (untuk asuransi kapal 21 hari) setelah tanggal pemutusan perjalanan atau lebih cepat kalau pembongkaran muatan kapal diselesaikan lebih cepat dari waktu itu. Apabila dalam perjanjian pertanggungan itu kemudian terjadi bencana atau
kecelakaan
yang
menimpa
atas
barang-barang
muatan
yang
dipertanggungkan, tertanggung diwajibkan melaporkan kepada perusahaan pertanggungan mengenai kecelakaan atau bencana yang menimpa atas barangbarang yang dipertanggungkan. Laporan kerusakan barang yang diajukan secepat-cepatnya setelah terjadi kecelakaan atau paling lama adalah 3 x 24 jam kejadian itu harus sudah dilaporkan.
75
Untuk menyelesaikan klaim itu penanggung harus memperhatikan halhal sebagai berikut: a. Klaim terjadi masih dalam jangka waktu pertanggungan b. Premi sudah dibayar c. Memenuhi syarat-syarat atau kondisi polis d. Jangka waktu untuk melapor sudah dipenuhi e. Tidak ada unsur kesengajaan dalam terjadinya kecelakaan Klausula-klausula yang terdapat dalam Insurance Cargo Clausa juga menyebutkan ketentuan-ketentuan mengenai pengajuan klain sebagai berikut: a. Saat terjadi kerugian tertanggung diharuskan ada insurable interest (kepentingan). b. Tertanggung tetap dijamin atas kerugian yang terjadi sebelum polis dibuat, kecuali tertanggung telah mengetahui kerugian tersebut sebelumnya, sedang penanggung tidak tahu.10 c. Jika akibat dari resiko yang dijamin oleh polis, perjalanan tidak dapat dilanjutkan, penanggung akan mengganti biaya-biaya yang wajar dikeluarkan untuk pembongkaran, penyimpanan dan meneruskan tujuan. Apabila semua ketentuan di atas dipenuhi, maka pihak tertanggung juga harus menyediakan atau melengkapi dokumen untuk tuntutan kerugian yang meliputi: a. Polis asli dan deklarasinya. b. Laporan kecelakaan dari tertanggung. 10
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 22 Maret 2009
76
c. Laporan klaim termasuk besarnya kerugian dari tertanggung. d. Laporan hasil survey yang dilakukan oleh independent surveyor. e. Except Bewijs atau surat bukti kekurangan barang. f. Claim Constatering Bewijs atau nota kerusakan. g. Bill of Lading (B/L) atau konosemen atau surat bukti pengapalan. h. Packing List daripada barang-barang yang diangkut. i.
Surat tuntutan tertanggung kepada maskapai pelayaran atau pengangkut beserta jawabannya.
j.
Invoice asli.
k. Barang-barang bukti dan foto-foto kerusakan. Tuntutan klaim tersebut diajukan kepada perusahaan pelayaran dan tindasannya untuk perusahaan asuransi setelah dokumen-dokumen itu dilengkapi, dan dari hasil survey pertanggungan itu dapat diklaim, maka pihak penanggung akan membayar kerugian tersebut. Tetapi tidak selamanya klaim dapat dikabulkan. Adapun dasar dari penolakan klaim adalah: a. Daluwarsa. b. Keterangan yang tidak benar dari tertanggung. c. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan tidak dipenuhi. Dalam Pasal 643 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa penanggung dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi dalam hal pertanggungan barang-barang cair seperti anggur, brendi, minyak, madu, sirup, garam atau gula maka penanggung tak dapat diwajibkan mengganti kerugian yang diakibatkan karena bocor atau meleleh, kecuali bila
77
kerugian itu diakibatkan oleh penubrukan kapal, atau apabila kapal yang memuat barang-barang itu dibongkar atau dimuat lagi pada suatu pelabuhan darurat. Begitu pula halnya penanggung tidak diwajibkan membayar ganti rugi
bilamana
syarat-syarat
polis
mencantumkan
ketentuan
bahwa
penanggung tidak dibebankan mengganti kerugian dari kecurian, kehilangan atau kekurangan berat dan sebagainya, resiko peperangan pun merupakan pengecualian
yang
lazim
dicantumkan
dalam
polis
pertanggungan
pengangkutan laut.11 Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi agar penanggung membayar ganti rugi, yaitu : a. Terjadinya peristiwa yang diperjanjikan. b. Adanya kerugian, dan tidak boleh ditimbulkan karena kesalahan, kesengajaan dan sifat alamiah dari barang itu sendiri. C. Ganti Rugi antara Perjanjian dengan Pelaksanaannya PT. Asuransi Purna Artanugraha merupakan asuransi pertanggungan laut (marine insurance). Asuransi ini dimaksudkan untuk menanggung bahaya atas barang-barang terutama selama dalam pengangkutan di laut. PT. Asuransi Purna Artanugraha ini mencakup semua bahaya-bahaya yang dapat menimpa barang selama pengangkutan berjalan. Termasuk di dalamnya antara lain bahaya
kebakaran
dan
bahaya-bahaya
lain
yang
bertalian
dengan
pengangkutan, bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh navigasi seperti, karam kapal, tabrakan kapal dan lain-lain. Dengan kata lain, PT. Asuransi Purna 11
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 22 Oktober 2008
78
Artanugraha dimaksudkan sebagai asuransi tentang bahaya laut, misalnya taufan, tenggelamnya kapal, kandas, tubrukan, kebakaran, perbuatan kekerasan pihak ketiga (molest), kelalaian nakhoda atau anak buah kapal dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban asuransi terhadap kerusakan barang dalam pengangkutan di Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang terjadi suatu kasus sebagai berikut: beberapa orang tertanggung telah mengasuransikan barang yang hendak dikirim di suatu tempat, namun barang itu sesampainya di tempat yang dituju ditolak oleh pihak pemesan barang dikarenakan barang tersebut mengalami kerusakan akibat kelalaian dari pihak asuransi pengangkutan laut. Barang tersebut ditumpuk dan disatukan dengan barang yang mempunyai bobot sangat berat, sehingga barang tersebut menjadi cacat dan tidak utuh lagi.12 Demikian pula kelalaian pihak asuransi pengangkutan laut yang pada waktu menurunkan barang terburu-buru, dari ketidak hati-hatian ini barang yang ada di dalam rusak sehingga pemesan barang menolak sebagian barang yang rusak dan hanya menerima barang yang masih utuh.13 Menerima kenyataan yang demikian, maka tertanggung mengklaim pihak asuransi atas kelalaiannya, namun ternyata penanggung tidak memberi ganti rugi dan sebagian tertanggung ada yang menerima ganti rugi, namun jumlah ganti rugi tidak sesuai dengan harga kerusakan barang
12
Hasil wawancara dengan Bapak Rozikin sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung) pada tanggal 18 Maret 2009. 13 Hasil wawancara dengan Bapak Nurkolis sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung) pada tanggal 17 Mei 2009
79
Dengan perkataan lain, seharusnya pihak tertanggung yang barangnya mengalami kerusakan diganti dengan layak namun dalam kenyataannya ada sejumlah tertanggung yang kecewa dengan pertanggungjawaban pihak asuransi dalam membayar ganti rugi. Kekecewaan itu disebabkan terkadang asuransi tidak memberi ganti rugi atau ganti ruginya tidak sebesar sebagaimana yang ada dalam isi perjanjian. Sebaliknya menurut keterangan dari pihak asuransi bahwa sebabnya asuransi tidak memberi ganti rugi atau ganti rugi tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam isi perjanjian adalah pertama, tertanggung da1am mengajukan klaim tidak disertai data-data yang lengkap. Kedua, tertanggung tidak memahami mengenai hal-hal yang tercantum di dalam polis. Apabila kerusakan dan atau kerugian yang diderita tertanggung tidak menyimpang dari apa yang diperjanjikan maka penanggung akan memberikan ganti rugi sesuai nilai kerugian keuangan yang benar-benar diderita oleh tertanggung. Sebaliknya apabila kerugian tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tidak dijamin di dalam polis, maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung. Perusahaan asuransi tidak mutlak untuk membayar ganti rugi terhadap setiap kerusakan dan atau kerugian yang diderita oleh tertanggung. Penanggung mutlak akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung apabila semua aspek tersebut tidak ada yang melanggar (dikecualikan) isi perjanjian, yaitu polis.14
14
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 18 Maret 2009.
BAB IV ANALISIS
A. Analisis terhadap Tanggung Jawab Pihak Asuransi Pengangkutan Laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang Dalam pertanggungan asuransi tidak ada yang mutlak terhadap penggantian kerugian atas harta benda yang dipertanggungkan. Perusahaan asuransi akan mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung sesuai dengan pokok-pokok yang diperjanjikan, dan tidak melanggar prinsip-prinsip asuransi, di antaranya : a. Prinsip ut most good faith, suatu prinsip bahwa pertanggungan asuransi harus didasari dengan i'tikad yang baik dari ke dua belah pihak. Tertanggung harus memberi informasi secara terbuka dan penanggung akan menjelaskan secara terbuka segala aspek mengenai polis asuransi. Apabila tertanggung ada niat yang tidak baik dalam mengasuransikan, maka bila terjadi kerugian (dan terbukti ada niat tidak baik) maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi tersebut.1 b. Prinsip insurable interest, suatu prinsip bahwa tertanggung mempunyai kepentingan keuangan terhadap barang atau harta benda yang akan diasuransikan. Apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan keuangan terhadap suatu harta benda maka dia tidak dapat mengasuransikan.
1
Wawancara dengan Bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 22 Oktober 2008
80
81
c. Prinsip subrogation, suatu prinsip bahwa setelah penanggung membayar ganti rugi kepada tertanggung, maka secara otomatis penanggung memperoleh hak dari tertanggung untuk melakukan penuntutan kepada pihak lain. d. Prinsip-prinsip proxima causa, suatu prinsip bahwa penyebab kerugian adalah
penyebab
pertama,
langsung
dan
paling
efektif
yang
mempengaruhi kerugian yang terjadi.2 Bentuk perjanjian dalam asuransi adalah polis asuransi. Di dalam polis tersebut memuat segala aspek yang menjadi pokok perjanjian (contoh polis terlampir). a. Didalamnya mencakup hal-hal yang dijamin dan hal-hal yang tidak dijamin (dikecualikan dalam polis) oleh perusahaan asuransi. b. Hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung c. Hal lainnya seperti perselisihan Dengan demikian apabila kerusakan dan atau kerugian yang diderita tertanggung tidak menyimpang dari apa yang diperjanjikan maka penanggung akan memberikan ganti rugi sesuai nilai kerugian keuangan yang benar-benar diderita oleh tertanggung. Sebaliknya apabila kerugian tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tidak dijamin di dalam polis, maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung. Dengan demikian bahwa perusahaan asuransi tidak mutlak untuk membayar ganti rugi terhadap setiap kerusakan dan atau kerugian yang 2
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 22 Oktober 2008
82
diderita oleh tertanggung. Penanggung mutlak akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung apabila semua aspek tersebut tidak ada yang melanggar (dikecualikan) isi perjanjian, yaitu polis.3 Apabila dikaji apa yang telah diutarakan oleh bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha (ASPAN) Jalan Kijang Selatan Nomor 1 Semarang. Maka peneliti melihat bahwa ASPAN merupakan salah satu asuransi yang memiliki kredibilitas cukup baik. Hal itu dapat dimengerti karena pertanggungjawaban asuransi jika ada kerusakan barang dalam Pengangkutan Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, maka pihak asuransi berupaya secara maksimal untuk memberi ganti rugi tanpa berusaha menghindar dari tanggung jawab. Hal itu asalkan pihak tertanggung memiliki itikad baik dan tidak punya niatan berlaku curang atau itikad buruk. Itulah sebabnya ASPAN merupakan salah satu asuransi yang banyak diminati tertanggung dalam upaya menghindari risiko kerusakan barang. Meskipun pihak ASPAN dalam keterangannya pada peneliti tidak menggunakan sistem pertanggungjawaban mutlak tapi sejauh ini belum pernah pihak ASPAN lari dari tanggung jawab dalam memberi ganti rugi terhadap kerusakan barang dalam Pengangkutan Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Bahkan menurut bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha (ASPAN) bahwa ada tertanggung
3
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 22 Maret 2009.
83
yang beritikad curang namun pihak ASPAN tetap menggunakan perasangka baik. Hal itu ia lakukan agar tertanggung jangan sampai ada yang kecewa. Dari sini tampaklah bahwa pertanggungjawaban pihak penanggung terhadap kerusakan barang dalam Pengangkutan Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang sesuai dengan prinsip-prinsip dan bahaya-bahaya yang menjadi tanggung jawab penanggung dalam perjanjian asuransi laut. Dengan kata lain pertanggungjawaban pihak penanggung terhadap kerusakan barang dalam Pengangkutan Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang sesuai dengan ketentuan Pasal 637, 699, 701, 624, 627, 630 KUHD. Bahaya laut (marine perils) merupakan bahaya yang berasal dari laut (of the sea) dan yang terjadi di laut (on the sea). Bahaya tersebut merupakan tantangan dalam pengangkutan melalui laut, khususnya dalam pelayaran niaga, yang mau tidak mau harus dihadapi.4 Dalam pelayaran kapal di laut dapat dialami berbagai macam bahaya dan risiko terhadap kapal dan muatannya. Untuk memungkinkan penutupan kontrak pertanggungan bagi kapal atau muatan kapal, supaya dapat ditetapkan jenis-jenis risiko terhadap mana asuransi ditutup, perlulah diadakan penggolongan atau pengkategorian bahaya-bahaya laut yang sangat beraneka ragam itu. Secara kategoris bahaya-bahaya laut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
4
Radiks Purba, Angkutan Muatan Laut, Jilid 4, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981,
hlm. 147
84
1. Bahaya laut yang sebenarnya (perils of the sea), yaitu segala macam bahaya yang timbul di laut disebabkan oleh kelakuan atau perbuatan alam misalnya topan, ombak besar dan lain-lain. 2. Bahaya laut yang terjadi karena tindakan manusia, misalnya: perampasan kapal oleh bajak laut, perampasan atau penyitaan oleh pemerintah sesuatu negara di mana kapal singgah, dan lain-lain.5 Dalam KUHD bahaya-bahaya laut tersebut ditentukan dalam Pasal 637 tetapi rincian tersebut tidak bersifat limitatif, sebab pada bagian akhir rincian itu ditutup dengan kata-kata "pada umumnya karena segala bahaya yang datang dari luar apa pun namanya". Tetapi tidak semua bencana yang datang dari luar itu menjadi tanggungan penanggung karena Pasal 637 KUHD memberikan pengecualian, yaitu: a. Apabila dalam undang-undang ditegaskan bahwa bencana-bencana tertentu tidak menjadi beban penanggung; b. Apabila suatu janji dalam polis menentukan bahwa bencana-bencana tertentu tidak menjadi beban penanggung. Untuk lengkapnya, berikut ini disajikan ketentuan Pasal 637 KUHD, Semua kerugian dan kerusakan atas barang-barang asuransi karena bahayabahaya laut berikut ini menjadi beban penanggung: a. Bahaya badai, guruh, karam, kandas, melanggar kapal lain, menyenggol kapal, menabrak kapal, terdampar kapal, terpaksa mengubah jurusan, perjalanan, atau kapal.
5
Sudjatmiko, Pokok-Pokok Pelayaran Niaga, Jakarta: Cendana Press, 1979, hlm. 172
85
b. Bahaya pelemparan barang-barang ke laut. c. Bahaya kebakaran, kekerasan, banjir, perampasan, bajak laut, penyamun, penahanan
atas
perintah
penguasa,
pernyataan
perang,
tindakan
pembalasan. d. Bahaya karena kurang hati-hati, kealpaan atau kecurangan pihak nakhoda atau anak buah kapal. e. Pada umumnya karena segala bahaya yang datang dari luar apapun namanya, kecuali oleh ketentuan undang-undang atau janji-janji dalam polis penanggung dibebaskan dari bahaya-bahaya tersebut.6 Mengenai perubahan jurusan atau arah kapal perlu dibedakan antara perubahan karena terpaksa dan perubahan karena kehendak sendiri. Apabila terjadi perubahan jurusan karena terpaksa sehingga menimbulkan kerugian, maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab penanggung (Pasal 637 KUHD). Tetapi apabila terjadi perubahan jurusan itu karena kehendak bebas nakhoda, pengusaha kapal, atau tertanggung sendiri, maka kerugian yang timbul karenanya bukan menjadi beban penanggung. Hal ini diatur dalam Pasal 638 KUHD yang menyatakan, dalam asuransi atas kapal (kasko), barang-barang, atau biaya angkutan, apabila terjadi perubahan jurusan atau perjalanan atau pertukaran kapal dengan sewenang-wenang atas kemauan sendiri dari nakhoda, pengusaha kapal, atau tertanggung, maka perubahan tersebut bukan menjadi beban penanggung.7
6
R. Subekti dan R. Citrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Kepailitan, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986, hlm. 194 7 Abdulkadir Muhammad, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 158
86
Sejak kapan bahaya dalam asuransi laut menjadi beban penanggung dan sejak kapan pula berakhirnya? Dalam asuransi kapal menurut perjalanan, bahaya mulai menjadi beban penanggung sejak saat nakhoda mulai memuat barang-barang, atau apabila dia harus berangkat hanya dengan membawa bahan pemberat, sejak saat dimuatnya bahan pemberat itu (Pasal 624 KUHD). Dalam asuransi tersebut, bahaya bagi penanggung berakhir 20 hari sesudah kapal yang diasuransikan itu tiba di tempat tujuan, atau sekian hari lebih dahulu apabila barang-barang muatan yang terakhir sudah selesai dibongkar (Pasal 625 KUHD). Apabila kapal itu diasuransikan untuk perjalanan pergi pulang, atau untuk lebih dari satu perjalanan, maka bahaya atas beban penanggung berlangsung terus-menerus sampai hari yang ke-21 sesudah kapal itu menyelesaikan perjalanannya, atau sekian hari lebih awal apabila barangbarang muatan terakhir telah selesai dibongkar (Pasal 626 KUHD). Dalam asuransi barang-barang muatan, bahaya mulai menjadi beban penanggung sejak saat barang-barang muatan itu ditumpuk di dermaga untuk dimuat ke dalam kapal, dan bahaya itu berakhir 15 hari setelah kapal tiba di tempat tujuan, atau sekian hari lebih dahulu apabila barang-barang itu telah selesai dibongkar dan ditumpuk di dermaga (Pasal 627 KUHD). Bahaya itu tetap menjadi beban penanggung meskipun nakhoda terpaksa berlabuh di pelabuhan darurat, membongkar barang-barang, dan memperbaiki kapal di situ, sampai perjalanan kapal berhenti secara sah, atau tertanggung memerintahkan untuk tidak memuat lagi barang-barang itu ke dalam kapal, atau perjalanan kapal sama sekali sudah selesai dilakukan (Pasal 628 KUHD).
87
Apabila nakhoda atau tertanggung karena alasan yang sah terhalang untuk melakukan pembongkaran barang-barang muatan dalam waktu yang telah ditentukan, sehingga tanpa kesalahan memperlambat pembongkaran tersebut, maka bahaya tetap menjadi beban penanggung sampai barang.barang muatan itu sudah selesai dibongkar (Pasal 629 KUHD). Dalam asuransi biaya angkutan yang akan diterima, bahaya mulai menjadi beban penanggung sejak saat barang-barang muatan yang harus dibayar biayanya itu sudah dimuat di dalam kapal, dan berakhir 15 hari setelah kapal itu tiba di tempat tujuan, atau sekian hari lebih dahulu apabila barang-barang muatan itu sudah selesai dibongkar (Pasal 630 KUHD). Apabila karena alasan yang sah terhalang melakukan pembongkaran, maka ketentuan Pasal 629 KUHD juga diberlakukan untuk ini (Pasal 630 KUHD).8 Walaupun dalam asuransi kapal dan barang-barang muatan telah diatur saat mulai dan berakhirnya asuransi laut, Pasal 634 KUHD memberikan kebebasan kepada tertanggung dan penanggung untuk menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan itu. Menurut ketentuan Pasal 634 KUHD, tertanggung dan penanggung bebas memperjanjikan lain dalam polis tentang saat mulai dan berakhirnya bahaya yang menjadi beban penanggung. Sesungguhnya dalam pelaksanaan pengangkutan laut, tidak mustahil terdapat berbagai jenis bahaya yang dapat mengakibatkan berbagai jenis kerusakan dan kerugian. Kerusakan dan kerugian yang mungkin terjadi tentu saja akan berakibat buruk baik bagi pengangkut maupun bagi pemilik barang
8
Ibid., hlm. 159
88
angkutan. Bahaya-bahaya yang dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian dalam pengangkutan laut tadi dapat dikatakan relatif lebih besar bila dibandingkan dengan bahaya-bahaya yang timbul di darat. Atas pemikiran bahwa kerugian yang disebabkan oleh bahaya laut dan bahaya di laut itu relatif lebih besar dari bahaya di darat maka tentu saja orang berpikir bagaimana cara mengatasinya. Dalam asuransi/pertanggungan laut dikenal berbagai jenis "pemberian ganti rugi", sesuai dengan kemungkinan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Berbagai bahaya laut yang menjadi penyebab kerugian yang dapat dipertanggungkan dalam asuransi laut pada garis besarnya dalam praktek dapat digolongkan sebagai berikut:9 1. Total loss, yaitu kerugian karena lenyap seluruhnya, jadi lenyap secara keseluruhan dapat terdiri dari: 2. Actual total loss, mungkin apabila kapal dan muatannya secara fisik lenyap seluruhnya. 3. Constructive total loss, mungkin apabila kapal dan muatannya kehilangan seluruh sifatnya semula, sekalipun secara fisik tidak rusak. 4. Partial Loss, yaitu kerugian yang sifatnya tidak mutlak, dan dapat terdiri atas : a. General average atau kerugian umum atau avary grosse avary umum. b. Particular avarage atau kerugian khusus/avary khusus. Melihat dari pembagian jenis kerugian yang mungkin ditanggung oleh penanggung terhadap kerugian tertanggung, KUH Dagang juga memberikan 9
Sri Redjeki Hartono, Hukum Dagang: Asuransi dan Hukum Asuransi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1985, hlm. 123
89
beberapa batasan terhadap berbagai kerugian sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal 699 KUH Dagang untuk kerugian-kerugian umum dan pasal 701 untuk kerugian-kerugian khusus. Adapun kerugian-kerugian umum sebagaimana diatur oleh pasal 699 adalah sebagai berikut : Pasal 699 KUH Dagang: Kerugian laut umum adalah : 1. Segala apa yang telah dibayarkan kepada musuh atau bajak-bajak laut untuk pembebasan atau pembelian kembali kapal beserta muatannya. Dalam halnya ada keraguan-raguan, maka haruslah dianggap bahwa pembelian kembali itu adalah untuk kepentingan kapal beserta muatannya; 2. Segala apa yang telah dibuang ke laut atas dipakai seisinya; 3. Segala kawat, tiang dan layar dan lain-lain alat yang telah dipotong atau dipatahkan, untuk keperluan yang sama seperti tersebut di atas; 4. Segala sauh, tali dan lain-lain benda yang telah terpaksa dilepaskan untuk keperluan yang sama seperti yang tersebut di atas; 5. Kerugian yang diterbitkan pada barang-barang yang tetap berada dalam kapal sebagai akibat pembuangan barang-barang ke laut; 6. Kerusakan yang dengan sengaja telah diterbitkan pada badan kapal, untuk memudahkan keluarnya air, begitu pula kerusakan yang diterbitkan pada muatan oleh karena air tersebut;
90
7. Penjagaan, pengobatan dan pemeliharaan mendapat luka-luka atau cacat pada waktu membela mendapat luka-luka atau cacat pada waktu membela kapalnya; 8. Penggantian atau perbekalan untuk mereka yang pada waktu mereka untuk keperluan kapal dan muatan dikirimkan ke laut atau ke daratan, telah ditangkap, dipenjarakan atau diperbudak; 9. Gaji-gaji dan pemeliharaan nakhoda beserta anak buah kapal, selama kapal ini terpaksa bersinggah dalam suatu pelabuhan darurat; 10. Upah pandu-laut dan lain-lain biaya pelabuhan, yang harus dibayar pada waktu memasuki atau keluar dari suatu pelabuhan darurat; 11. Uang sewa bagi gudang-gudang dan tempat-tempat penyimpanan, di mana barang-barang yang selama dilakukan perbaikan pada kapalnya dalam suatu pelabuhan darurat tidak dapat dibiarkan dalam kapal, terpaksa disimpan; 12. Biaya-biaya penuntutan kembali, apabila kapal dan muatan telah ditahan atau diseret, dan keduanya itu telah dituntut kembali oleh nakhoda; 13. Gaji-gaji dan biaya penghidupan nakhoda beserta anak buah kapal selama dilakukannya penuntutan kembali tadi, apabila kapal dan muatannya dibebaskan; 14. Biaya pembongkaran, upah kapal-kapal penolong, beserta biaya yang diperlukan untuk membawa kapalnya ke suatu pelabuhan atau sungai, apabila yang demikian; itu terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan kapal beserta muatannya, karena ada angin taufan, pengejaran oleh musuh atau
91
bajak-bajak laut ataupun karena sesuatu hal lain; begitu pula kerugian muatan kerusakan yang menimpa barang-barang yang diangkut karena pembongkaran dan pemuatan, karena keadaan memaksa, dalam kapalkapal penolong atau kapal-kapal lainnya, dan pemuatan kembali dalam kapalnya; 15. Kerusakan yang ditimbulkan pada kapal atau muatannya, apabila kapal itu, untuk menghindarkannya dari perampasan musuh atau dari kemusnahan, terpaksa didamparkan ke pantai; begitu pula apabila yang demikian tadi terpaksa dilakukan di dalam sesuatu bahaya lainnya untuk menyelamatkan kapal beserta muatannya; 16. Biaya-biaya yang diperlukan untuk mengusahakan agar kapal yang didamparkan sebagai tersebut dalam ayat yang lalu, dapat berlayar lagi, beserta upah-upah yang dibayarkan untuk pertolongan yang diberikan untuk itu, begitu pula segala pengupahan untuk pertolongan yang diberikan kepada kapal dengan muatannya, pada waktu berada dalam bahaya; 17. Segala kerugian atau kerusakan yang diterbitkan pada barang-barang yang diangkut, yang dalam keadaan darurat telah dipindahkan ke kapal-kapal penolong atau ke lain kapal-kapal, termasuk di dalamnya bagian dalam avary gros yang oleh pemilik barang-barang tersebut wajib dibayar kepada kapal-kapal penolong atau lain-lain kapal tadi; dan sebaliknya segala kerugian atau kerusakan yang diterbitkan pada barang-barang yang tetap berada di dalam kapalnya semula, dan pada kapal itu sendiri, setelah
92
diadakan penolongan tadi, satu dan Jain sekedar kerugian atau kerusakan tersebut termasuk dalam kerugian laut umum; 18. Gaji-gaji dan biaya penghidupan bagi nakhoda beserta anak buahnya, apabila kapalnya, setelah bermulainya perjalanan, dihentikan oleh kekuasaan suatu negara asing atau karena pecahnya perang, selama kapal beserta muatannya tidak dibebaskan dari segala perikatan yang bertimbalbalik; 19. dihapuskan; 20. Premi yang digunakan untuk mempertanggungkan biaya-biaya yang dapat dianggap sebagai kerugian laut umum atau kerugian yang diderita karena dijualnya sebagian dari muatan di suatu pelabuhan darurat, dengan maksud untuk menutup biaya-biaya kerugian laut tersebut; 21. Biaya-biaya yang diperlukan untuk menghitung dan menetapkan kerugian laut umum; 22. Biaya-biaya, termasuk di dalamnya gaji-gaji dan biaya-biaya penghidupan bagi nakhoda dan anak buahnya, yang disebutkan karena suatu karantina yang tak dapat diduga pada waktu diadakan persetujuan pencarteran, sekedar kapal beserta muatannya terpaksa tunduk kepada karantina itu; 23. Pada umumnya, segala kerugian yang dalam keadaan darurat, telah sengaja ditimbulkan dan yang diderita sebagai akibat langsung daripada itu, dan selanjutnya segala biaya yang, dalam keadaan yang sama, telah dikeluarkan guna penyelamatannya. Sedangkan kerugian khusus sebagaimana diatur oleh pasal 701 adalah
93
Pasal 701 KUH Dagang: Kerugian laut khusus adalah ; 1. Segala kerusakan atau kerugian yang diterbitkan pada kapal atau muatannya, karena angin taufan, perampasan, karamnya kapal atau perdampingan yang tak disengaja; 2. Upah-upah dan biaya-biaya penolongan; 3. Hilangnya peralatan-peralatan kapal atau kerusakan yang ditimbulkan padanya, yang disebabkan karena angin taufan atau lain-lain kecelakaan di laut; 4. Biaya-biaya penuntutan kembali beserta biaya penghidupan dan gaji nakhoda dan anak buahnya selama sedang diusahakan penuntutan kembali tadi, apabila hanya kapalnya atau muatannya yang ditahan; 5. Perbaikan khusus atas pembungkusan dan biaya penyelamatan barangbarang dagangan yang mengalami kerusakan, sekedar satu dan lain bukan suatu akibat langsung dari suatu bencana yang memberikan alasan untuk kerugian laut umum; 6. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pengangkutan lebih lanjut, apabila dalam halnya pasal 519 d, persetujuan-carternya telah gugur, dan; Pada umumnya segala kerusakan, kerugian dan biaya, yang tidak disebabkan atau dikeluarkan dengan sengaja dan untuk keselamatan dan manfaat kapal beserta muatannya, namun yang telah dideritanya atau dikeluarkan untuk keperluan kapalnya sahaja
atau untuk keperluan
94
muatannya sahaja, dan yang karena itu menurut pasal 699 tidak termasuk avary gros.10 B. Analisis Hukum Islam tentang Tanggung Jawab Pihak Asuransi Pengangkutan Laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang Sebelum seorang tertanggung melakukan penutupan perjanjian pertanggungan laut, maka ia harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut yang akan sangat membantu kelancaran daripada tujuannya. Langkah pertama ialah mempelajari situasi atau keadaan umum antara lain ialah; a. Mempelajari sedalam-dalamnya mengenai sifat dan keadaan barang atau muatan yang akan diasuransikan, antara lain sifat buah-buahan yang cepat membusuk, ternak yang bisa mati karena udara laut, bahan kimia, dan seterusnya. b. Situasi umum antar negara, apakah dalam keadaan perang, apakah tempat yang dituju itu sedang dilanda pemogokan, perang lokal, dan sebagainya. Guna
mengatasi
keadaan/situasi,
kesulitan
sebaiknya
calon
yang
mungkin
tertanggung
di
timbul samping
berhubung menutup
pertanggungan dengan syarat umum polis yang lazim dipakai, ia mungkin dan dapat menutup perjanjian pertanggungan dengan syarat khusus. Setelah calon tertanggung mengetahui dengan pasti mengenai situasi, dan keadaan umum tempat tujuan dan pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi oleh kapal yang membawa muatan barang-barang miliknya, maka ia dapat
10
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1991, hlm. 190 - 192
95
menentukan syarat khusus apa yang perlu ditambahkan guna keselamatan dan kepentingannya. Syarat-syarat khusus yang mungkin ditutup antara lain: a. Risiko peperangan (war risk/molest) b. Risiko pemogokan (strikes) c. Risiko kebakaran (fire risks) d. Risiko pencurian dan pencolengan (theft dan priverage). Langkah kedua ialah memperhatikan jangka waktu perjanjian. Seperti pada setiap perjanjian yang lain tentu saja, pada perjanjian pertanggungan juga ada masa berlakunya perjanjian termaksud. Pada perjanjian asuransi pengangkutan laut, mengenai jangka waktu berlakunya justru diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sehingga ada batas kapan dimulai dan kapan berakhirnya masa perjanjian itu. Hal ini sangat penting artinya baik bagi pihak penanggung atau pihak tertanggung sekalipun, karena dengan jelas dan tegas akan mengatur dan membatasi sampai seberapa lama para pihak itu terikat satu dengan yang lain dalam kewajiban yang telah mereka sepakati. Dalam KUH Dagang, dengan tegas diatur kapan mulai dan kapan berakhirnya bahaya, yaitu yang diatur dalam bagian ketiga, bab IX, Buku II, yaitu pada pasal-pasal 624 sampai dengan pasal 634. Pada dasarnya penanggung akan membayar ganti rugi apabila jadi kerugian yang disebabkan karena kerusakan atas barang yang dipertanggungkan dalam masa atau jangka waktu perjanjian pertanggungan dan sesuai dengan syarat yang tersebut dalam polis.
96
Dari pasal-pasal tersebut di atas, mengenai batas berlakunya perjanjian asuransi laut, yaitu yang mengatur tentang permulaan dan berakhirnya bahaya dapat digolongkan sebagai berikut : a). Pasal 624 sampai dengan pasal 626, mengatur tentang pertanggungan terhadap rangka kapal/kapalnya sendiri (hull). b). Pasal 627 sampai dengan pasal 629 mengatur tentang pertanggungan terhadap barang-barang yang dimuat kapal yang bersangkutan. c). Pasal 630 mengatur tentang pertanggungan terhadap upah-upah pengangkutan yang diharapkan akan diperoleh. Pasal 624 KUH Dagang: "Dalam hal pertanggungan atas sebuah kapal maka bahaya mulai berjalan bagi si yang menanggung semenjak saat nakhoda mulai dengan pemuatan barang-barang dagangan; atau apabila ia diwajibkan berangkat hanya dengan membawa bahan pemberat, pada saat dimulainya memuat bahan tersebut". Pasal 625 KUH Dagang : "Dalam pertanggungan yang disebutkan di dalam pasal yang lalu, bahaya bagi si yang menanggung berakhir dua puluh satu hari setelah tujuannya, ataupun sekian hari lebih dahulu sekurang-kurangnya yang dipertanggungkan itu sampai di tempat dan barang-barang dagangan yang berakhir telah selesai dibongkarnya. Pasal 626 KUH Dagang : "Dalam halnya sebuah kapal dipertanggungkan untuk suatu perjalanan pergi-pulang, atau untuk lebih dari satu perjalanan, maka si yang menanggung, dengan tidak terputus-putus, menanggung bahaya sampai pada hari ke dua puluh satu semenjak diselesaikan perjalanan terakhir, ataupun sekian hari lebih dahulu sekedar barang-barang dagangan yang terakhir telah selesai dibongkarnya". Pasal 627 KUH Dagang :
97
"Apabila yang dipertanggungkan itu adalah barang-barang dagangan atau barang-barang lainnya, maka bahaya mulai berjalan atas tanggungan si yang penanggung segera setelah barang-barang itu dibawanya di tepi laut, untuk dari situ dimuatkan atau dibawa ke dalam kapal-kapal yang akan memuatnya, sedangkan bahaya tadi berakhir limabelas hari setelah kapal-kapal yang bersangkutan tiba di tempat tujuannya, ataupun sekian hari lebih dahulu sekedar barangbarang yang dipertanggungkan akan selesai dibongkar di tempat tersebut dan ditempatkan di tepi laut".
Pasal 628 KUH Dagang : "Apabila yang dipertanggungkan itu adalah barang-barang dagangan atau barang-barang lainnya, maka bahaya itu berjalan dengan tidak terputus-putus, biarpun nakhoda telah terpaksa memasuki suatu pelabuhan darurat, membongkar muatan dan memperbaiki kapalnya di situ, hingga perjalanannya dihentikan secara sah atau oleh si tertanggung diberikan perintah untuk tidak lagi memasukkan barangbarangnya ke kapal, ataupun perjalanan itu diselesaikan sama sekali". Dari ketentuan-ketentuan pasal-pasal di atas pada dasarnya, perjanjian pertanggungan itu dianggap telah berhenti 15 hari dari sesudah kapal yang bersangkutan sampai di tempat tujuan atau lebih dulu, sekedar barang muatan selesai dibongkar. Jadi batas 15 hari itu adalah batas pertanggungan dalam keadaan biasa, sebagaimana diatur oleh KUH Dagang paling jauh dari gudang ke gudang perusahaan pengangkut. Dalam perkembangannya berhubungan dengan kebutuhan dan pula mungkin karena adanya persaingan, mengenai jangka waktu dapat diperluas lagi sesuai dengan kebutuhan. Perluasan mana tentu saja harus diatur secara khusus dalam polis. Perluasan itu biasanya menentukan perpanjangan jangka waktu berlakunya perjanjian pertanggungan laut. Keadaan tersebut tentu saja akan mengikat para pihak.
98
Berdasarkan hasil wawancara bahwa menurut keterangan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, bahwa prosedur dalam memberikan ganti rugi sebagai berikut: 1. Prosedur tertanggung dalam melakukan tuntutan kerugian sudah ada dalam wording polis asuransi 2. Kewajiban apa saja yang harus segera dilakukan oleh tertanggung apabila terjadi kerugian, di antaranya: a. Membuat kronologis mengenai kerusakan /akerugian b. Membuat surat tuntutan kepada penanggung yang berisi mengenai jumlah kerugian yang diderita. c. Melampirkan dokumen-dokumen seperti, polis asli, B/L, Invoice, CCB d. Penanggung akan meneliti sendiri dan atau dapat menunjuk Independent Loss Adjuster untuk menginvestigasi kerusakan /kerugian tersebut. e. Penanggung akan memberikan konfirmasi tuntutan diterima dengan nilai ganti rugi, atau menolak tuntutan tersebut. f. Bila tuntutan diterima (claimable) dan tertanggung setuju dengan jumlah ganti rugi yang disampaikan, maka penanggung akan membuat surat subrogasi yang harus ditandatangani oleh tertanggung.
99
g. Penanggung
melakukan
pembayaran
ganti
rugi
kepada
tertanggung. 11 PT. Asuransi Purna Artanugraha merupakan asuransi pertanggungan laut (marine insurance). Asuransi ini dimaksudkan untuk menanggung bahaya atas barang-barang terutama selama dalam pengangkutan di laut. PT. Asuransi Purna Artanugraha ini mencakup semua bahaya-bahaya yang dapat menimpa barang selama pengangkutan berjalan. Termasuk di dalamnya antara lain bahaya
kebakaran
dan
bahaya-bahaya
lain
yang
bertalian
dengan
pengangkutan, bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh navigasi seperti, karam kapal, tabrakan kapal dan lain-lain. Dengan kata lain, PT. Asuransi Purna Artanugraha dimaksudkan sebagai asuransi tentang bahaya laut, misalnya taufan, tenggelamnya kapal, kandas, tubrukan, kebakaran, perbuatan kekerasan pihak ketiga (molest), kelalaian nakhoda atau anak buah kapal dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban asuransi terhadap kerusakan barang dalam pengangkutan di Laut di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang terjadi suatu kasus sebagai berikut: beberapa orang tertanggung telah mengasuransikan barang yang hendak dikirim di suatu tempat, namun barang itu sesampainya di tempat yang dituju ditolak oleh pihak pemesan barang dikarenakan barang tersebut mengalami kerusakan akibat kelalaian dari pihak asuransi pengangkutan laut. Barang tersebut ditumpuk dan disatukan dengan barang yang mempunyai bobot sangat berat, sehingga 11
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 22 Oktober 2008
100 barang tersebut menjadi cacat dan tidak utuh lagi.12 Demikian pula kelalaian pihak asuransi pengangkutan laut yang pada waktu menurunkan barang terburu-buru, dari ketidak hati-hatian ini barang yang ada di dalam rusak sehingga pemesan barang menolak sebagian barang yang rusak dan hanya menerima barang yang masih utuh.13 Menerima kenyataan yang demikian, maka tertanggung mengklaim pihak asuransi atas kelalaiannya, namun ternyata penanggung tidak memberi ganti rugi dan sebagian tertanggung ada yang menerima ganti rugi, namun jumlah ganti rugi tidak sesuai dengan harga kerusakan barang Dengan perkataan lain, seharusnya pihak tertanggung yang barangnya mengalami kerusakan diganti dengan layak namun dalam kenyataannya ada sejumlah tertanggung yang kecewa dengan pertanggungjawaban pihak asuransi dalam membayar ganti rugi. Kekecewaan itu disebabkan terkadang asuransi tidak memberi ganti rugi atau ganti ruginya tidak sebesar sebagaimana yang ada dalam isi perjanjian. Sebaliknya menurut keterangan dari pihak asuransi bahwa sebabnya asuransi tidak memberi ganti rugi atau ganti rugi tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam isi perjanjian adalah pertama, tertanggung da1am mengajukan klaim tidak disertai data-data yang lengkap. Kedua, tertanggung tidak memahami mengenai hal-hal yang tercantum di dalam polis.
12
Hasil wawancara dengan Bapak Rozikin sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung) pada tanggal 18 Maret 2009. 13 Hasil wawancara dengan Bapak Nurkolis sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung) pada tanggal 17 Mei 2009
101
Menurut bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha bahwa apabila kerusakan dan atau kerugian yang diderita tertanggung tidak menyimpang dari apa yang diperjanjikan maka penanggung akan memberikan ganti rugi sesuai nilai kerugian keuangan yang benar-benar diderita oleh tertanggung. Sebaliknya apabila kerugian tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tidak dijamin di dalam polis, maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung. Perusahaan asuransi tidak mutlak untuk membayar ganti rugi terhadap setiap kerusakan dan atau kerugian yang diderita oleh tertanggung. Penanggung mutlak akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung apabila semua aspek tersebut tidak ada yang melanggar (dikecualikan) isi perjanjian, yaitu polis.14 Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diperjelas, bahwa sebabnya pihak asuransi membayar ganti rugi yang tidak sesuai antara perjanjian dengan pelaksanaannya di Asuransi Pengangkutan Laut Pelabuhan Tanjung Emas Semarang adalah Pertama, kerugian tertanggung disebabkan oleh hal-hal yang tidak dijamin di dalam polis, maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung; kedua, tertanggung berbuat curang; ketiga, tertanggung da1am mengajukan klaim tidak disertai data-data yang lengkap. Keempat, tertanggung tidak memahami mengenai hal-hal yang tercantum di dalam polis
14
Wawancara dengan bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha, tanggal 18 Maret 2009.
102
Apabila semua sistem dan mekanisme asuransi pengangkutan laut ditinjau dari hukum islam sangatlah tidak sesuai karna asuransi dalam hukum islam prinsipnya adalah tolong menolong.Asuransi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah At-ta’min yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4, yaitu “Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan.”
Pengertian
dari
At-ta’min
adalah
seseorang
membayar
menyerahkan uang cicilan agar ia aatu ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaiman yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang. Menurut Afzalur Rahman, kontrak asuransi adalah suatu kontrak antara dua pihak, penanggung asuransi dengan yang di asuransikan. Pihak pertama tadi bertanggung jawab atas ganti rugi, sedangkan pihak kedua apabila terjadi
atau mengalami peristiwa-peristiwa sesuai dengan
kesepakatan, menerima pengembalian atas premi yang dibayarkan. Ahli fiqih kontemporer, Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagianya. Ia membagi asuransi dalam dua bentuk, yaituatta’min at-ta’awuni dan at-ta’min bi qist sabit. At-ta’min at-ta’awuni atau asuransi tolong menolong adalah “kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemadharatan.
103
” At-ta’min bi qist sabit atau asuransi dengan pembagian tetap adalah “akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.” Musthofa Ahmad az-Zarqa memaknai asuransi adalah sebagai sesuatu cara atau metode untukmemelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam kegiatan hidupnya, atau dalam aktivitas ekonominya. Ia berpendapat , bahwa sistem asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah tersebut. Penggantian tersebut berasal dari premi mereka.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab pertama sampai dengan bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tanggung jawab pihak asuransi Pengangkutan Laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang bahwa pertanggungjawaban penanggung terhadap kerusakan barang dalam pengangkutan laut pada Asuransi PT. Purna Artanugraha Semarang tidak bersifat mutlak. Dengan kata lain, dalam pertanggungan asuransi tidak ada yang mutlak terhadap penggantian
kerugian
atas
harta
benda
yang
dipertanggungkan.
Perusahaan asuransi akan mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung sesuai dengan pokok-pokok yang diperjanjikan, dan tidak melanggar prinsip-prinsip asuransi, di antaranya, suatu prinsip bahwa pertanggungan asuransi harus didasari dengan i'tikad yang baik dari ke dua belah pihak. Tertanggung harus memberi informasi secara terbuka dan penanggung akan menjelaskan secara terbuka segala aspek mengenai polis asuransi. Apabila tertanggung ada niat yang tidak baik dalam mengasuransikan, maka bila terjadi kerugian (dan terbukti ada niat tidak baik) maka penanggung dapat menolak tuntutan ganti rugi tersebut 2. Apabila perjanjian penanggung dan tertanggung ditinjau dari hukum Islam maka dapat dikatakan bahwa penanggung kurang menghormati perjanjian.
104
105
Padahal menurut Islam penghormatan terhadap isi perjanjian hukumnya wajib, karena mentaati isi perjanjian memiliki peran yang besar dalam memelihara perdamaian dan melihat urgensinya dalam menciptakan muamalah yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadis B. Saran 1. Untuk pihak asuransi Apa yang sudah ditempuh oleh pihak asuransi selama ini, meskipun sudah cukup optimal, baik dari segi tanggung jawab maupun prosedur ganti rugi namun kredibilitas ini harus lebih ditingkatkan untuk membangun kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu kepuasan pihak tertanggung harus menjadi nomor satu dalam meningkatkan citra asuransi. 2. Untuk pihak tertanggung Kepada pihak tertanggung hendaknya dapat menggunakan itikad baik pihak penanggung dengan cara tertanggung senantiasa memegang prinsip itikad baik dan terbuka. 3. Untuk perguruan tinggi Kepada perguruan tinggi hendaknya selalu membuka kesempatan kepada pihak peneliti untuk melakukan penelitian tentang eksistensi asuransi pengangkutan laut.
C. Penutup Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan ridha-Nya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Penulis
106
menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca menjadi harapan penulis. Semoga Allah SWT meridhai.
DAFTAR PUSTAKA
Alkalali, Asad M., Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Arikunto, Suharismi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. II, 1998. Dahlan, Abdul Aziz, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan, & Perasuransian Syariah Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris An IndonesianEnglish-Dictionary, Jakarta: PT. Gramedia, 2000. Fachruddin, Fuad Mohd, Riba dalam Bank Koperasi, Perseroan, dan Asuransi, Bandung: al-Ma'arif, tth. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, jilid 1, Yogyakarta: Andi, 2002. Hartono, Sri Redjeki, Hukum Dagang: Asuransi dan Hukum Asuransi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1985. Janwari, Yadi, Asuransi Syari'ah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Jazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Moelong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Muslehuddin, Mohammad, Insurance in Islam, Terj. Wardana, "Asuransi dalam Islam", Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Nasution, Mustafa Edwin, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006/
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Prakoso, Djoko, Asuransi di Indonesia, Semarang: Dahara Prize, 1994. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Intermasa, 1979. Purba, Radiks, Angkutan Muatan Laut, Jilid 4, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981. Purwosotjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Pertanggungan, Jakarta: Djambatan, 1983.
Indonesia,
Hukum
Rahman, Afzalur, Economic Doctrines of Islam, Terj. Soroyo dan Nastangin, "Doktrin Ekonomi Islam", jilid 4, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Sastrawidjaya, M. Suparman, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Bandung: Alumni, 1997. Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Insurance in an Islamic Economy, Terj. Ta'lim Musafir, "Asuransi di dalam Islam", Bandung: Pustaka, 1987. Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UNiv. Gadjah Mada, 1983. Subekti, R., dan Citrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986. Sudjatmiko, Pokok-Pokok Pelayaran Niaga, Jakarta: Cendana Press, 1979. Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabetha, 2003. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989. Tirtaamidjaja, M.H., Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Jakarta: Jambatan, 1970. Wirdyaningsih (ed), Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Wojowasito, S., Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992. Zain, Sutan Muhammad, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Grafika, tth.
REFERENSI LAIN: Wawancara dengan Bapak Badrul. Wawancara dengan Bapak Bukhori. Wawancara dengan Bapak Iskandar. Wawancara dengan Bapak Nasrul. Wawancara dengan Bapak Nurkolis sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung). Wawancara dengan Bapak Rachmad Wahyuhadi, Kepala cabang PT Asuransi Purna Artanugraha. Wawancara dengan Bapak Rozikin sebagai pihak yang mengasuransikan barang (tertanggung). Dokumen Pengangkutan Laut Tanjung Emas Semarang.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Adib Zubaidi
Tempat/Tanggal Lahir
: Kudus, 27 Juli 1985
Alamat Asal
: Desa Colo RT 01 RW 01 Kec. Dawe Kab. Kudus
Pendidikan
: - MI Thoriqutus Sa'adah Kudus lulus th 1998 - MTs Ibtidaul Falah Kudus lulus th 2001 - SMU Hasyim Asyari Kudus lulus th 2004 - Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Adib Zubaidi