TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH TENTANG PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN DALAM ADAT LAMPUNG Suhairi dan Heti Susanti STAIN Jurai Siwo Metro E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstract The legal inheritance is one part of the civil law as a whole and is the smallest part of family law. Inheritance law is closely associated with the scope of human life, because every human being will certainly have a law called the death. In the community Division of well that uses a different inheritance Division of inheritance according to Islamic teachings and legacy of divide and in accordance with the customs or customs in a society. As with the indigenous people of Lampung which divided the inheritance according to Lampung i.e. give priority to the oldest boys who get the most heritage than the other brothers and sisters. While the legacy for his brothers are given at the discretion of the boys. The oldest boys get most inheritance compared to his brothers, the other is because in Lampung oldest boy will be the successor of his father’s father, the Kelantan in terms of household affairs or the Affairs of indigenous affairs. Keywords: inheritance, the oldest boy, waris adat lampung
Abstrak Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
2 Suhairi dan Heti Susanti masyarakat pembagian warisan berbeda-beda baik yang menggunakan pembagian warisan menurut ajaran Islam dan maupun yang membagi warisan sesuai dengan adat istiadat atau kebiasaan dalam suatu masyarakat. Seperti halnya dengan masyarakat adat Lampung yang membagi warisan sesuai dengan adat Lampung yaitu mengutamakan anak laki-laki tertua yang mendapatkan warisan paling banyak dibandingkan saudara-saudara yang lainnya. Sedangkan warisan bagi saudara-saudaranya yang lain diberikan atas kebijakan anak laki-laki tersebut. Anak laki-laki tertua mendapatkan harta warisan paling banyak dibandingkan saudara-saudaranya yang lainnya adalah karena dalam adat Lampung anak laki-laki tertua akan menjadi pengganti ayahnya sepeninggalan ayahnya dalam hal urusan rumah tangga maupun urusan urusan adat. Kata Kunci : Harta warisan, anak laki-laki tertua, waris adat lampung
Pendahuluan Kehidupan manusia dapat dikelompokkan kepada dua aspek. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah. Tujuannya untuk menjaga hubungan antara Allah dengan hamba-Nya yang disebut dengan hablum minallah. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal itu disebut hukum muamalat.1 Aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.2 Hukum kewarisan Islam mempunyai karakterikstik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya, misalnya civil law atau pun common law. Dalam hukum Islam ketentuan materiil bagi orang-orang yang ditinggal pewaris telah digariskan dalam al-Qur`an dan hadits secara rinci dan jelas. 1 Moh. Muhibbin, Abul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Graika, 2011), h. 1-3. 2 Ibid.
ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
3
Adapun Dalam sistem hukum barat pada pokoknya menyerahkan persoalan harta peninggalan pewaris berdasarkan keinginan yang bersangkutan itu sendiri, yaitu pewaris membuat wasiat pada saat hidupnya. Dengan perkataan lain, kehendak atau keinginan pewaris merupakan sesuatu yang utama dan hukum baru ikut campur, apabila ternyata pewaris tidak meninggalkan wasiat yang sah. Hukum Kewarisan Islam telah merombak secara mendasar sistem kewarisan yang berlaku pada masa sebelum Islam yang pada pokoknya tidak memberikan hak kewarisan kepada wanita dan anak-anak. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam telah meletakkan suatu dasar keadilan yang sesuai dengan hak asasi dan martabat manusia.3 Hukum kewarisan Islam membahas mengenai tata cara pembagian harta peninggalan pewaris dan bagian-bagiannya seperti yang terdapat dalam al-Qur`an surat an-Nisa 7, 11, 12, 176 dan surat-surat lainnya yang menjelaskan sebab-sebab mendapatkan warisan, bagian-bagiannya serta siapa saja yang berhak mendapatkan warisan tersebut. Sedangkan mengenai hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa “ Hukum Waris Adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatannya yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral. Walaupun pada bentuk kekerabatannya yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.4 Terkait mengenai hukum adat kewarisan Lampung hampir semua pembagian harta warisan yang memiliki hak penuh atas warisan adalah anak laki-laki, begitu juga dengan Lampung Pepadun. Masyarakat yang bersuku Lampung cenderung mempertahankan garis keturunan patrilineal, di mana yang menjadi ahli waris hanyalah anak laki-laki. Begitu juga dengan masyarakat adat Lampung yang berada di Kampung Kibang Strat III Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang di mana 3 Tahir Azhari, Karakteristik Hukum Kewarisan Islam dalam Bunga Rampai Hukum Islam, (Indonesia: Jakarta, 1992), h. 4. 4 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 211.
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
4 Suhairi dan Heti Susanti
dalam pelaksanaan pembagian harta warisan hanya anak laki-laki tertua yang mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Maulana (Tuan Tehang), selaku tokoh adat yang berada di Kampung Kibang tersebut, beliau menyatakan bahwa di Kampung Kibang Strat III yang bersuku Lampung masih memegang erat tradisi Lampung begitu pula mengenai pembagian warisan yaitu pembagian warisan dalam adat Lampung yang memiliki hak penuh atas harta warisan adalah anak laki-laki tertua karena anak laki-laki tertua menjadi pengganti ayahnya dan mengayomi adik-adiknya hingga adik-adiknya bisa berdiri sendiri atau sampai menikah.5 Begitu juga menurut Rajo Tehang Anew selaku tokoh adat beliau mengatakan yang menjadi ahli waris utama adalah anak laki-laki tertua dan menjadi koordinator dari seluruh harta warisan orang tuanya untuk dipegang dan dikelolanya tetapi harta itu bukan untuk dikuasai oleh anak laki-laki tertua tersebut melainkan hanya memegang amanah hingga adik-adiknya tumbuh dewasa.6 Harta warisan yang dipegang oleh anak laki-laki tertua itu bukan berarti menjadi hak penuh atas anak laki-laki tertua tersebut karena pada dasarnya anak laki-laki itu hanya mengelola bukan memiliki secara mutlak karena ketika adik-adiknya telah tumbuh dewasa dan dapat berdiri sendiri maka harta warisan itu akan dibagikan kepada adik-adiknya dengan cara semua anggota keluarga berkumpul untuk bermusyawarah.7 Pembahasan A. Hukum Waris Islam 1.
Pengertian Hukum Waris Islam
Kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari miiraats yang berarti harta peninggalan yang di warisi oleh ahli warisnya. Jadi, ikih mawaris adalah suatu disiplin ilmu 5 Bapak Maulana (Tuan Tehang) selaku tokoh adat di Kampung Kibang Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang, Wawancara. 6 Rajo Tehang Anew selaku Tokoh Adat di Kampung Kibang Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang, Wawancara. 7 Dahlan syah (Pangeran Mangku Negara) selaku Tokoh Adat di Kampung Kibang Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang, Wawancara.
ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
5
yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahannya, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.8 Kata mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirats artinya warisan. 9 T.M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fikhul Mawaris telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris (ikih mawaris). Fikih mawaris ialah: Ilmu yang dengan dapat diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat diwarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya.10 2. Dasar Hukum Waris QS. An-Nisa:7
ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘ ﭙﭚﭛﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡﭢ ﭣ ﭤ ﭥ “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib kerabat;dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”11
3.
Rukun-Rukun Waris
M. Idris Ramulyo dalam buku Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus) menyebutkan bahwa sebab-sebab mendapat mawaris adalah:12 a. Harus ada muwarits (pewaris) seseorang yang telah meninggal dunia akan meninggalkan harta peninggalan 8 9
Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan., h. 7. Ahmad Roiq, Fikih Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Gaindo Persada, 2001),
h. 100. 10 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fikih Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2001), h. 5. 11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid & Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2010). 12 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Kewariisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus), (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 110.
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
6 Suhairi dan Heti Susanti
4.
(tirkah) adalah merupakan “condition sine quo non” (syarat mutlak), karena sebelum ada seseorang meninggal dunia tetapi tidak ada harta benda merupakan kekayaan belumlah timbul masalah kewarisan. Pewaris hanya berlangsung karena kematian. Ada beberapa macam mengenai kematian antara lain ialah: 1). Mati hakiki (mati sejati), ialah hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya yag dapat dibuktikan oleh panca indera atau oleh dokter. 2). Mati hukmi (mati yang dinyatakan menurut putusan hakim).13 Pada hakekatnya orang itu kemungkinan masih hidup, atau ada kemungkinan antara hidup dan mati, tetapi menurut hukum dianggap telah mati karena tidak tentu lagi di mana hutan rimbanya orang itu berdiam. 3). Mati Taqdiri (menurut dugaan), ialah kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.14 b. Harus ada maruts atau tirkah, ialah apa yang ditinggalkan oleh pewaris baik hak-hak kebendaan berwujud, maupun tidak berwujud, atau kewajiban-kewajiban yang harus dibayar, misalnya hutang-hutang si pewaris. Dengan catatan bahwa hutang si pewaris dibayar sepanjang harta bendanya cukup untuk membayar hutang tersebut.15 c. Harus ada warits (ahli waris), yaitu orang yang akan menerima harta peninggalan si pewaris. Syarat-Syarat Warisan16 a. Pewaris benar-benar meninggal, atau dengan keputusan hakim yang menyatakan bahwa pewaris telah meninggal, hal ini bisa terjadi, seperti seseorang yang tertawan dalam peperangan atau orang hilang. b. Ahli waris benar-benar masih dalam keadaan hidup ketika pembagian harta warisan, atau dengan keputusan hakim 13
Ibid. Otje Salman., Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam (Bandung: Reika Aditama, 2002, h. 5. 15 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum., h. 111. 16 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Biateral Hazairin, (Yogyakarta: UII press, 2005), h. 37. 14
ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
5.
7
dinyatakan masih hidup. c. Diketahui dengan jelas garis kerabatan antara pewaris dengan ahli waris. d. Tidak ada salah satu penghalang dari penghalangpenghalang pewarisan.17 Sumber Hukum Waris Nasional
Dalam kaitannya dengan sumber hukum waris nasional, ada beberapa pilihan yang dapat dijadikan landasan pembagian harta waris oleh masyarakat di Indonesia, yaitu:18 a. Menggunakan hukum adat. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berikir yang konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu. Salah satunya, masyarakat Minangkabau yang membagi harta waris dengan hukum adat yang secara substansial sumber utama dari hukum adat itu sendiri adalah syari’at Islam. Oleh karena itu, ditetapkan dalam doktrin “Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah”. b. Menggunakan hukum waris Islam Dalam hukum Islam yang cara pembagiannya secara murni mengacu pada doktrin ajaran Islam yang termuat di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma ulama. c. Menggunakan Burgerlijk Wetboek (BW)19 Dalam BW terdapat empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta warisan, yakni golongan ke satu sebagai golongan terkuat, yang akan menutup hak golongan kedua hingga keempat. Jika golongan kesatu tidak ada, hak waris berpindah kepada golongan kedua, demikian seterusnya. d. Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam 17
Suparman Usman., Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media ratama, 1997). 18 Beni Ahmad Saebeni, Fikih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 86. 19 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ( Tanggerang: SL Media ). Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
8 Suhairi dan Heti Susanti
6.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pembahasan masalah kewarisan terdapat dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan yang dimulai dari Pasal 171-214.20 Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas dimaksud dapat diklariikasikan sebagai berikut: a. Asas Ijabari Secara etimologis kata “ijabari” mengandung arti “paksaan” (compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadi peralihan tersebut”.21 b. Asas Bilateral Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu baik dari keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki.22. c. Asas Individual Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang di dapatnya tanpa terikat kepada ahli waris lainnya (sebagaimana halnya dengan pewaris kolektif yang dijumpai di dalam ketentuan Hukum Adat).23 d. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.24 Dengan perkataan lain dapat di kemukakan bahwa faktor Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), Pasal 171-214. Suhrawardi K. Lubis., Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta: Sinar Graika Offset, 2004), h. 36. 22 Suhrawardi K. Lubis., Komis Simanjutak, Hukum Waris., h. 37. 23 Ibid., h. 38. 24 Ibid., h. 39. 20
21
ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
9
jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas kesimbangan ini dijumpai dalam masyarakat menganut sistem keturunan patrilineal yang ahli warisnya hanya keturunan laki-laki saja/garis kebapakan). e. Kewarisan semata Akibat Kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisnya) seandainya dia masih hidup. Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia. B. Hukum Waris Adat 1.
Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat adalah seperangkat aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada pada waris atau generasi ke generasi berikutnya. Menurut Ter Haar dikatakan bahwa “ . . . . hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.25 Hukum adat waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil yang dapat diserahkan kepada keturunannya, serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.26 Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa “ Hukum Waris Adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatannya yang sistem keturunannya 25
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu., h. 211. Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Graika, 2004), h. 138. 26
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
10 Suhairi dan Heti Susanti
patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral. Walaupun pada bentuk kekerabatannya yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.27 Menurut Soepono, pengertian hukum waris dalam konteks hukum adat adalah sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Adapun Cees van Dijk berpandangan bahwa hukum waris menurut hukum adat adalah suatu kompleksitas kaidah-kaidah hukum yang mengatur proses penerusan dan pengoperan harta, baik dari segi materiil maupun immateril dan dari satu generasi ke generasi berikutnya.28 Sedangakan menurut Har Muhammad dalam bukunya pokok-pokok hukum adat menyebutkan bahwa sebagai berikut: “Hukum Waris adalah serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari sesuatu generasi ke generasi lain, baik mengenai benda material amupun immaterial”. Bahwa Hukum Waris dimaksud mencakup pula persoalanpersoalan, tindakan-tindakan mengenai pelimpahan harta benda semasa seseorang masih hidup. Lembaga yang dipakai dalam hal ini ialah “HIBAH”.29 2. Hukum Waris Adat Berkaitan dengan hukum kewarisan adat, terdapat tiga sistem kewarisan adat, yaitu sistem individual, sistem kolektif, dan sistem mayorat. a. Sistem Kewarisan Individual Sistem Kewarisan Individual yang merupakan sistem kewarisan di mana para ahli waris mewarisi secara perseorangan harta peninggalan yang dapat dibagibagikan pemiliknya secara individual kepada (para) ahli waris. Sistem ini lazim dikalangan orang Tapanuli, Jawa dan lain-lain.30 Cirinya adalah harta peninggalan dapat 27
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu., h. 211. Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 68. 29 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung: Alfabeta,2013), h. 282. 30 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 166. 28
ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
11
dibagi-bagikan di antara para ahli waris.31 Sistem individual ini banyak berlaku di kalangan masyarakat yang sistem kekerabatannya Parental sebagaimana dikalangan masyarakat adat Jawa atau juga dikalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat Batak di mana berlaku adat manjae (Jawa, mencar, mentas), atau juga dikalangan masyarakat adat yang kuat dipengaruhi hukum Islam, di pantai-pantai Selatan Lampung.32 b. Sistem Kewarisan Kolektif Sistem Kewarisan Kolektif adalah suatu sistem kewarisan di mana harta peninggalan diwarisi oleh sekelompok ahli waris yang merupakan persekutuan hak di mana harta itu merupakan pusaka yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada para waris untuk dimiliki secara individual. Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa sebidang tanah (pertanian) dan atau barang-barang pusaka. c. Sistem Kewarisan Mayorat Sistem Kewarisan Mayorat adalah pola kewarisan mayorat mempunyai ciri-ciri bahwa anak tertua berhak tunggal untuk mewarisi seluruh harta peninggalan. Pola kewarisan mayorat dapat dilihat pada masyarakat patrilineal yang beralih-alih Bali (hanya mayorat anak laki-laki tertua), dan di tanah Semendo Sumatera Selatan (hanya mayorat anak perempuan tertua).33 Ciri lain dari kewarisan mayorat adalah harta peninggalan diwariskan keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari suatu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali dan di Lampung di mana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di tanah Semendo (mayorat perempuan).34 31 32
h. 35.
33 34
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum., h. 138. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, ( Bandung: Alumni, 1983), Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum., h. 78. Tolib Setiady, Intisari Hukum., h. 286. Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
12 Suhairi dan Heti Susanti
Sistem kewarisan Mayorat ada dua yaitu:35 1. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung. 2. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal, adalah ahli waris tunggal, misalnya, pada masyarakat di Tanah Semendo.36 Waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan sebagai berikut: 1. Sistem Patrilineal: yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.37 2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contohnya sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau yang sudah 35
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 260. 36 Ibid. 37 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: PT. Reika Aditama, 2005), h. 41. ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
3.
13
merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.38 3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.39 Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para ahli menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.40 Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat di mana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam AlQur`an Surat An-Nisa 7. Hukum Waris Adat Lampung
Hukum waris adat Lampung termasuk dalam sistem pewarisan mayorat laki-laki karena dalam sistem kewarisan mayorat laki-laki ini anak laki-laki tertua atau sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal dari harta orang tuanya. Daerah Lampung yang memimpin, mengurus dan mengatur penguasaan harta peninggalan adalah anak punyimbang, yaitu anak laki-laki tertua dari isteri tertua. 41 Sistem mayorat seringkali disalah tafsirkan tidak saja oleh 38
Ibid. Ibid., h. 42. 40 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris., h. 19. 41 Ibid., h. 39.
39
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
14 Suhairi dan Heti Susanti
orang luar yang tidak memahami,tetapi juga oleh pihak waris anak punyimbang itu sendiri. Anak tertua sebagai pengganti oang tua yang telah meninggal bukanlah pemilik harta peninggalan secara perorangan ia hanya berkedudukan sebagai penguasa, sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus anggota keluarga lain yang ditinggalkan, tidak semata-mata berdasarkan harta peningalan tetapi juga berdasarkan asas tolong menolong oleh bersama untuk bersama.42 Sistem kewarisan di Batak dan di Lampung yang juga kekeluargaanya bersifat kebapaaan, anak perempuan yang telah kawin secara jujuran, karena ia sudah terlepas dari keluarga ayahnya tidak lagi mendapat warisan dari ayahnya yang meninggal sesudah anak perempuan itu kawin.43 Masyarakat yang kekeluargaanya bersifat kebapaan, seorang perempuan pada saat perkawinannya, berarti ia dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya, saudaranya sekandung, nenek moyangnya dan sanak keluarga lainnya. Sejak saat itu, isteri masuk dalam lingkungan kekeluargaan suami sepenuhnya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan itu juga masuk dalam lingkungan kekeluargaan ayahnya. Kemudian jika anak itu perempuan, apabila ia kawin masuk pula dalam lingkungan kekeluargaan suaminya, dan begitu seterusnya. Kekeluargaan yang bersifat kebapaan ini di Indonesia terdapat di Ambon, Bali, Batak, Gayo, Irian dan Lampung.44 Di daerah Lampung beradat Pepadun, di Bali atau juga di Teluk Yos Soedarso Jayapura apabila pewaris wafat maka semua tanggung jawab pewaris sebagai kepala rumah tangga, baik dalam kedudukan adat maupun terhadap harta kekayaan keluarga beralih langsung kekuasaanya kepada anak sulung pria dari isteri tertua. Anak sulung harus tetap berada dan berkedudukan di rumah bapaknya dan bertanggung jawab terhadap kehidupan adik-adiknya lelaki dan perempuan terutama yang belum berumah tangga sendiri. Di daerah Lampung setiap adik lelaki mengambil 42
Ibid., h. 40. Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang), h. 38. 44 Ibid., h. 40. 43
ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
15
isteri maka untuk pertama kalinya si isteri itu harus dinaikkan atau diselesaikan perkwainannya di rumah kakak yang sulung.45 Daerah-daerah tersebut apabila pewaris wafat tidak ada masalah pembagian harta warisan, karena semua harta warisan pewaris langsung dikuasai dan menjadi tanggung jawab anak sulung. Tidak satupun diantara waris berhak mengubah status harta warisan itu, oleh karena itu ia harus tetap merupakan kesatuan dan merupakan modal bersama guna kehidupan selanjutnya dari para waris, yang diatur bersama di bawah pimpinan anak sulung. Tanggung jawab anak sulung sebagai pengganti kedudukan ayahnya bukan hanya terbatas pada adik-adiknya sampai dapat hidup mandiri tetapi terus sampai pada anak cucu keturunan mereka, selama ia hidup sampai kekuasaan kepala kerabat yang dipegangnya beralih pula pada anak sulungnya.46 Kekuasaan anak sulung (Lampung, anak punyimbang) atas harta warisan tidak bersifat mutlak tidak terbatas, oleh karena setiap sikap tindakannya harus bermusyawarah dengan semua anggota keluarga keturunan bapaknya. Andai kata di antara harta warisan ada yang akan ditransaksikan karena kebutuhan hidupnya sendiri atau karena kebutuhan adik-adiknya, maka transaksi itu harus disepakati oleh semua anggota keluarga. Harta warisan pantang dijual, lebih-lebih rumah bapak, sebagaimana dikatakan orang Lampung, “melap nuwou tuhou melap pok mulang”, hilang rumah tua hilang tempat kembali.47 Apabila anak punyimbang tidak mempunyai anak lelaki, maka kedudukannya dapat diganti oleh anak lelaki dari isteri kedua, jika tidak ada atau tidak boleh, diganti oleh anak laki-laki dari saudara laki-lakinya yang terdekat. Jika anak punyimbang hanya mempunyai anak perempuan, maka anak perempuan itu dapat dijadikan lelaki dengan mengambil lelaki sebagai suami dari anak saudara lelaki yang terdekat.48
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris., h. 83. Ibid. 47 Ibid. 48 Ibid., h. 84. 45
46
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
16 Suhairi dan Heti Susanti
C. Hukum Ekonomi Syari’ah 1.
Pengertian Hukum Ekonomi Syari’ah
Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuataan mengikat terhadap warganya).49 Menurut Hasanuz Zaman, ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan hukum syariah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pengembangan sumber-sumber material dengan tujuan untuk memberikan kepuasaan manusia dan melakukannya sebagai kewajiban kepada Allah dan masyarakat.50 Ekonomi Syariah yang merupakan bagian dari sistem perekonomian syariah karakteristik dan nilai-nilai yang berfokus kepada amar ma’ruf nahi mungkar yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Hal dimaksud, ekonomi syariah dapat dilihat dari 4 (empat) sudut pandang sebagai berikut:51 a. Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an) Ekonomi ke-Tuhanan mengandung arti manusia diciptakan oleh Allah untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (syariah) dengan tujuan utama untuk mendapatkan ridha Allah. b. Ekonomi Akhlaq Ekonomi akhlaq mengandung arti kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus berkaitan dengan sektor produktif, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkan atau yang menguntangkan tanpa memperdulikan orang lain. c. Ekonomi Kemanusian Ekonomi kemanusian mengandung arti Allah 49
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari’ah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 376. 50 Ibid., h. 7. 51 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar Graika, 2009), h. 3. ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
2.
17
memberikan predikat “khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan perasaan yang kemungkinan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya sebagai “khalifah” manusia wajib beramal, bekerja keras, berkreasi, dan bermotivasi. d. Ekonomi Keseimbangan Ekonomi keseimban adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak mendzolimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa sistem ekonomi syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri seringkali tidak menyadari hal dimaksud. Hal itu terjadi karena masih berikir dengan kerangka ekonomi kapitalis. Nilai-nilai Dasar Hukum Ekonomi Islam
Nilai-nilai dasar yang menjadi sistem hukum ekonomi Islam adalah:52 a. Pemilikan Menurut sistem hukum ekonomi Islam (a) pemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya; (b) lama pemilikan atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia hidup ini dan kalau ia meninggal dunia, harta kekayaannya harus dibagikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan yang ditetapkan Allah (Qs. An-Nisa: 7, 11, 12, 176); (c) sumber-sumber daya alam yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum atau negara, atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara kepentingan umum atau orang banyak. 52
Ibid., h. 5. Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
18 Suhairi dan Heti Susanti
b. Keseimbangan Nilai dasar keseimbangan harus dijaga sebaikbaiknya, bukan saja antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat, tetapi juga keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Di samping itu, harus dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban. c. Keadilan Plato mendeinisikan keadilan sebagai sebuah keutamaan yang paling tinggi di lihat dari kondisi yang wajar yang meniscayakan terhimpunnya makna-makna kebijaksanaan (al-hikmah), keberanian (al-siyasiyah), dan keterpeliharaan (aliffah). Bagi plato menyamakan semua orang itu tidak adil. Karna menurutnya setiap orang itu tidak memiliki bakat dan kemampuan serta bawaan yang sama.53 Simpulan Pembagian warisan adat Lampung yaitu mengutamakan anak laki-laki tertua karena dalam adat Lampung anak laki-laki tertua akan menjadi pengganti ayahnya ketika ayahnya telah meninggal dalam hal rumah tangga maupun urusan adat. Anak laki-laki tertua mendapatkan harta warisan paling banyak karena anak laki-laki tertua memiliki kewajiabn untuk mengayomi dan mengurusi adik-adiknya hingga adik-adiknya dapat berdiri sendiri atau sampai menikah. Pembagian warisan dalam adat Lampung tidak ada bagian mutlak karena dalam adat Lampung pembagian warisan didasari oleh musyawarah mufakat antara seluruh keluarga. Meskipun anak laki-laki tertua mendapatkan harta warisan paling banyak tetapi bukan berarti anak-anak yang lain tidak mendapatkan. Anak-anak yang lainnya tetap mendapatkan bagian yang didapat dari hasil kebijakan dari anak laki-laki tertua tersebut. Bagi anak perempuan warisan diberikan bisa dalam bentuk sesan (alat-alat rumah tangga) yang diberikan ketika anak perempuan akan menikah. http://gudangilmusyariah.blogspot.com/2013/09/nilai-nilaidasar-sistem-ekonomi-islam.html, diakses tanggal 9 April 2016. 53
ADZKIYA MARET 2016
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah....
19
DAFTAR PUSTAKA Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Biateral Hazairin, (Yogyakarta: UII press, 2005). Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syari’ah : Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012). Roiq, Ahmad, Fikih Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Gaindo Persada, 2001). Saebani, Beni Ahmad, Fikih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid & Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2010). Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: PT. Reika Aditama, 2005). Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011). Hadikusuma, Hilman, Alumni, 1983).
Hukum
Waris
Adat,
(Bandung:
------------, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003). http://gudangilmusyariah.blogspot.com/2013/09/nilai-nilaidasar-sistem-ekonomi-islam.html, di akses tanggal 9 April 2016. Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang). Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), Pasal 171- 214. Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Kewariisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus), (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1992). Muhibbin, Moh, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta:Sinar Graika,2011).
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
20 Suhairi dan Heti Susanti
Salman,
Otje, Hukum Aditama, 2002).
Waris
Islam,
(Bandung:
Reika
Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1990). Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Pers, 2010).
Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Lubis, Suhrawardi K., Simanjutak, Komis, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta: Sinar Graika Offset, 2004). Usman, Suparman, Somawinata, Yusuf, Fikih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media ratama, 1997). Azhari, Tahir, Karakteristik Hukum Kewarisan Islam dalam Bunga Rampai Hukum Islam, (Jakarta : Raja Graindo, 1992). Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Fikih Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001). Setiady, Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung: Alfabeta, 2013). Undang-Undang Hukum Perdata, (Tanggerang: SL Media, t.t.). Masriani, Yulies Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Graika, 2004). Ali,
Zainuddin, Hukum Graika, 2009).
ADZKIYA MARET 2016
Ekonomi
Syari’ah,
(Jakarta:
Sinar