TINJAUAN FENOMENOLOGI ATAS STIGMATISASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS TUNARUNGU Ni Nyoman Mika Putri Karuniasih1), Wahyu Budi Nugroho2), Gede Kamajaya3) 123)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana
Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT The discourse on persons with disabilities, especially in hearing impairment social stigmatization could be analyzed through the study of sociology. This study seeks to discuss and explain the experiences of the deafs when they are experiencing, interpreting, even beyond the labeling on their disability. This study used qualitative research methods to the analysis of the theory of phenomenology which focused on three deaf adolescence (middle adolescence), and involve the family, the teacher of SLBB on Sidakarya, and Sanggar Sandi Muni Kumara as one of the deaf dance community in Denpasar City. Based on the results of this study, it is found that social stigmatization could arise from inside and from outside ourselves. Both aspects are mutually influencing and shaping the characteristics of young people with hearing impairment. Characteristics that are formed by the social stigmatization also determine how the deaf adolescence with the limitations of communicating ability to adapt themselves in communities that generally use verbal language. Keywords: Social stigmatization, Disability, Deaf, Phenomenology
1.
normal
PENDAHULUAN
yang
tidak
memiliki
kelainan.
yang
Mereka baru mengalami kebutuhan khusus
berinteraksi dengan individu lain tentu
ketika melakukan interaksi sosial terutama
memerlukan
dalam
saat berkomunikasi dengan orang lain.
lingkungan
Pada beberapa orang ketidakmampuan
Manusia
sebagai
ruang,
individu
khususnya
menjalin relasi sosial, dan
masyarakat menjadi salah satu ruang
mendengar
penting
ketidakmampuan
sosial
penunjang tersebut.
terjadinya
Dalam
interaksi
interaksi
pada
juga
disertai
berbicara.
dengan Tentu
hal
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu
umumnya terdapat kontak sosial yang
hambatan
tercermin lewat komunikasi. Namun, ketika
individu
pada
individu mengalami keterbatasan dalam
terasing
(isolated)
berkomunikasi yang dalam hal ini memiliki
Soekanto (2012: 62-63) juga memaparkan
permasalahan
bahwa kehidupan terasing ditandai dengan
mendengar
pada yakni
kemampuan
tunarungu
akan
memunculkan hambatan tersendiri dalam melakukan proses interaksi sosial tersebut. Pinilih (2012: 19) menjelaskan bahwa sepintas tunarungu tampak seperti orang
yang
ketidakmampuan
dapat
suatu
mengarahkan
kehidupan
dalam
untuk
yang
masyarakat.
mengadakan
interaksi sosial bersama pihak-pihak lain. Kehidupan ketidakmampuan penyandang
terasing
dari
berinteraksi
pada
tunarungu
dalam
hal
ini
dicermati pada usia remaja, dikarenakan
yang menjadi bagian dari masyarakat dan
masa remaja dianggap sebagai masa yang
sudah semestinya dapat menyesuaikan diri,
paling sulit dalam tahap perkembangan
berpartisipasi, termasuk
individu. Para psikolog selama ini memberi
bahkan membentuk suatu komunal meski
label masa remaja sebagai masa storm dan
dibatasi dengan kecacatan yang dimiliki.
stress di mana pada masa inilah remaja
Demikian pula dalam hal meminimalisir
menjalani
keberadaan pada kehidupan yang terasing
proses
evolusi
menuju
menjalin relasi
kedewasaan (Lestari, 2012: 108). Jika
serta
dikaitkan dalam tahapan sosialisasi, usia
terbentuk baik dari dalam diri maupun pihak
remaja dikategorikan masuk dalam tahap
di luar diri.
game stage (siap bertindak) di mana
menghadapi
stigma-stigma
Pengetahuan
mengenai
yang
diri
dan
individu mulai mampu mengenali perannya
masyarakat serta berbagai realitas yang
secara pribadi dan bersiap menuju tahap
dipahami atas status tunarungu tersebut
generalized
diyakini
stage
(kedewasaan)
yang
akan
memunculkan
beragam
mulai dapat menjalankan perannya serta
perilaku maupun tindakan baik secara
menempatkan diri di masyarakat.
individual atau kelompok dari para remaja
Remaja penyandang tunarungu dapat
penyandang tunarungu yang pada akhirnya
mengalami konflik diri dalam menghadapi
dapat
realitas bahwa kemampuan berinteraksinya
fenomena
di lingkup masyarakat menjadi sangat
dipahami di ranah sosial.
terbatas
dikarenakan
berkomunikasi
hambatan
sebagaimana
didefinisikan yang
sebagai
patut
suatu
diketahui
dan
dalam
Berdasarkan uraian di atas penulis
mestinya.
tertarik untuk melakukan penelitian dengan
Bersamaan dengan munculnya berbagai
judul
persepsi atau bahkan stigma tersendiri oleh
Stigmatisasi Sosial Penyandang Disabilitas
masyarakat
Tunarungu
juga
perkembangan kemampuan
bisa
menghambat
potensi remaja
tunarungu
Tinjauan
Fenomenologi
dengan
menekankan
atas
pada
maupun
sudut pandang serta pengalaman hidup
dalam
remaja tunarungu yang ada di Bali tepatnya
menunjukkan identitasnya.
di Kota Denpasar.
Namun, pada dasarnya setiap individu dapat
menjadi
pribadi
yang
mampu
melakukan apa yang memang diinginkan
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
untuk dapat menyesuaikan diri dengan
Keberadaan penyandang disabilitas
lingkungan masyarakat. Hal ini bergantung
menarik minat beberapa peneliti untuk
pada besarnya introyeksi ke dalam diri
mengkajinya
yang dijadikan peristiwa definisi terhadap
Kusuma (2013) yang meneliti tentang
diri (Kartono, 2012: 47). Kemampuan dalam
Hubungan antara Dukungan Sosial dan
mendefinisikan diri tersebut dapat membuat
Penerimaan Diri dengan Resiliensi pada
individu
identitas
Remaja Penyandang Tunarungu di SLB-B
maupun konsep bahwa ia merupakan aktor
Kabupaten Wonosobo menyatakan bahwa
menemukan
suatu
dalam
berbagai
aspek.
dibutuhkan kemampuan resiliensi pada remaja
tunarungu
2.2 Stigmatisasi Sosial
dalam
proses
berkaitan
dengan
negatif terhadap seseorang oleh orang lain.
dukungan sosial dan penerimaan diri oleh
Konsep stigma dikemukakan oleh Goffman
remaja tunarungu itu sendiri.
(dalam Poloma, 2013: 243-244) mengarah
bersosialisasi
yang
Stigma
adalah
cap
atau
persepsi
Dipertegas dengan penelitian Hasan &
pada orang-orang yang memiliki cacat
Handayani (2014) mengenai Hubungan
sehingga tidak memperoleh penerimaan
antara Dukungan Sosial Teman Sebaya
sosial sepenuhnya. Mereka merupakan
dengan Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu
orang yang direndahkan (discredit stigma)
di Sekolah Inklusi bahwa dukungan teman
dan
sebaya di sekolah inklusi dapat dinilai
(discreditable stigma).
sebagai dukungan sosial yang mampu menunjang
siswa
tunarungu
untuk
berpotensi
dapat
direndahkan
Stigma dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
reaksi
sosial
dari
masyarakat
mengenal teman yang seragam yang tidak
kepada seseorang di mana seseorang atau
hanya
individu
terbatas
pada
sesama
anak
berkebutuhan khusus tunarungu saja.
dikucilkan,
disingkirkan,
didiskualifikasi atau ditolak dari penerimaan
Ryandani (2015) pun meneliti tentang
sosial. Melalui analisis dari konsep stigma
Pemaknaan Orang Tua Terhadap Anak
di atas dapat ditentukan bahwa stigmatisasi
Inklusi yang memaparkan secara jelas
merupakan proses munculnya pelabelan
bahwa pandangan negatif dari masyarakat
pada
kepada para orang tua yang memiliki anak
ketidaksamaan dengan orang-orang yang
berkebutuhan
dianggap sebagai orang normal.
dihindarkan
khusus namun
tidak
para
orang
dapat
individu
diakibatkan
oleh
tua
Ini juga dijelaskan oleh International
berusaha untuk meredam dan membuat
Federation Anti Leprocy Association (dalam
anak mereka merasa nyaman sehingga
Febrianti 2012: 11) bahwa masyarakat
sikap percaya diri pada anak dapat muncul.
cenderung
Ditunjang oleh penelitian fenomenologi oleh
Novianti
(2013)
Kebermaknaan
Hidup
dengan
berprasangka
dengan
pandangan tertentu kepada orang-orang
judul
yang berbeda dengan memberinya label
Penyandang
sehingga memunculkan stigmatisasi dan
Disabilitas Fisik yang Berwirausaha yang
diskriminasi.
mengulas proses pencarian makna hidup
mengenai stigmatisasi sosial tidak hanya
penyandang disabilitas fisik melalui sudut
dilihat melalui penilaian masyarakat saja
pandang psikologi.
tetapi
juga
Mengkaji
penilaian
lebih
orang
dalam
yang
Keempat penelitian tersebut menjadi
terstigmakan atau penilaian terhadap diri
acuan bagi penelitian ini yang berupaya
sendiri yang berkaitan dengan persepsi
menggali
maupun respon atas stigma tersebut.
fenomena
stigmatisasi
sosial
yang dialami remaja tunarungu sebagai bagian dari penyandang disabilitas.
2.3 Disabilitas
2.5 Kerangka Teori
Disabilitas atau disability secara umum didefinisikan
sebagai
Adapun landasan teori yang digunakan
ketidakmampuan
dalam mengkaji stigmatisasi penyandang
pada manusia untuk melakukan sesuatu
disabilitas dalam penelitian ini yakni teori
sebagaimana mestinya. Menurut WHO,
fenomenologi oleh Alfred Schutz. Pemikiran
disabilitas adalah suatu ketidakmampuan
Schutz
melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan
jembatan konseptual antara ilmu sosial
tertentu
pada
sebagaimana
normal
yang
kehilangan
layaknya
disebabkan
atau
oleh
orang kondisi
ketidakmampuan
pada
tataran
dasarnya
tingkat
merupakan
kolektif
dengan
pemikiran fenomenologi terdahulu yang
baik
dicetuskan oleh Edmund Husserl yang
psikologis, fisiologis maupun kehilangan
bernuansa filsafat sosial dan psikologi.
struktur atau fungsi anatomis (Kemenpppa,
Dengan
2014).
disabilitas
memadukan antara fenomenologi murni
tersebut diantaranya sepertu disabilitas,
dengan ilmu sosial untuk melihat gejala
disabilitas mental, disabilitas intelektual,
dalam dunia sosial agar dapat dicermati
disabilitas
secara sistematis. Nindito (2005: 80) juga
Adapun
jenis-jenis
sensorik,
dan
disabilitas
kata
lain,
Schutz
mencoba
perkembangan (Layanan Disabilitas UGM,
menyatakan
2015).
sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian
formal
(focus
of
dalam
dunia
interest)
dari
fenomenologi sosiologi.
2.4 Tunarungu Tunarungu secara umum diartikan tidak dapat
gejala-gejala
mendengar.
fenomenologi
yang
dicetuskan oleh Schutz cenderung melihat
adalah
implikasi sosiologi dari fenomena yang ada
seseorang yang mengalami kekurangan
di sekitar. Schutz tidak hanya menjelaskan
atau kehilangan kemampuan mendengar
dunia
baik
bahwa
(2012:
teori
14)
menjelaskan
Pinilih
Dalam
tunarungu
sosial
semata,
melainkan
sebagian
atau
seluruh
alat
menjelaskan berbagai hal mendasar dari
pendengarannya
yang
menyebabkan
konsep ilmu pengetahuan yang berupa
terganggunya proses perolehan informasi
gagasan maupun kesadaran serta berbagai
atau
komunikasi
model teoritis dari realitas yang ada.
terhadap
Realitas yang disebutkan oleh Schutz
bahasa
sehingga
sebagai
alat
berdampak
kehidupannya.
adalah dunia keseharian atau yang biasa
Pada umumnya cara berkomunikasi
dikenal dengan pengalaman sehari-hari.
digunakan para penyandang tunarungu
Selain itu Schutz juga menyatakan bahwa
dengan sesama tunarungu maupun orang
dunia sosial keseharian selalu merupakan
normal yakni menggunakan perpaduan
suatu
bahasa verbal (pelafalan meski terbata),
keseluruhan
dunia
bahasa isyarat, sekaligus bahasa tubuh
sepenuhnya
bersifat
untuk mengekspresikan perasaan.
terdapat kesadaran orang lain di dalamnya
yang
intersubjektif.
Secara
individu pribadi
tidak
melainkan
(dalam Zeitlin, 1995: 259). Jadi, fenomena
yang ditampakkan oleh individu merupakan
utama
refleksi dari pengalaman transendental atau
pelengkap data. Selain itu, penelitian ini
pemahamannya
menggunakan
tentang
samping
itu,
sebagai
makhluk
kesadaran
manusia
akan
makna. juga
Di
sebagai
pendukung
jenis
maupun
observasi
non
dikatakan
partisipatif
sosial.
Akibatnya
mendalam yang dilanjutkan dengan proses
kehidupan
sehari-hari
adalah sebuah kesadaran sosial.
dengan
analisis
data
teknik
berupa
wawancara
reduksi
data,
penyajian data, hingga mencapai tahapan
Jika dikaitkan dengan penelitian ini
akhir berupa simpulan.
dapat dinyatakan pula bahwa fenomena stigmatisasi sosial yang dialami individu
4.
penyandang tunarungu merupakan suatu
4.1 Diskursus Penyandang Disabilitas
bentuk kesadaran sosial. Dalam kesadaran
Tunarungu
sosial ini tentu mengikutsertakan persepsi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di Indonesia, secara umum diskursus
para penyandang tunarungu dan orang lain
mengenai
(masyarakat), dengan kata lain terdapat
khususnya tunarungu merupakan suatu
persepsi dua arah yaitu antara persepsi
wacana
orang
penyandang
masyarakat.
tunarungu serta persepsi si penyandang
masyarakat
tunarungu terhadap dirinya sendiri.
orang yang memiliki keterbatasan baik dari
lain
terhadap
si
penyandang
yang
lumrah
Dalam
disabilitas
diketahui
diskursus
cenderung
lebih
oleh
tersebut mengenal
segi fisik maupun psikis dengan sebutan
3.
METODELOGI PENELITIAN
penyandang cacat dibanding penyandang
Penelitian ini menggunakan metode
disabilitas. Konstruksi diskursus mengenai
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-
penyandang cacat pun tersosialisasikan
eksplanatif. Fokus penelitian dilakukan di
dalam sistem sosial, ekonomi, dan budaya
Kota
merupakan
serta tertata dalam struktur formasi sosial
kotamadya di Provinsi Bali. Dipilihnya
Indonesia (Fakih, 2011: 305). Untuk itu,
Denpasar menjadi lokasi penelitian tidak
sangat perlu pemahaman spesifik dalam
terlepas
yang
mengidentifikasi makna kecacatan yang
dilakukan oleh para penyandang tunarungu
pada umumnya diketahui masyarakat serta
baik itu menempuh pendidikan, berkumpul
makna disabilitas yang dibentuk untuk
bersama rekan-rekan sesama tunarungu
mengganti konotasi cacat sebagai salah
dalam organisasi maupun komunitas, dan
satu cara meminimalisir implikasi dari label
beragam
cacat tersebut.
Denpasar
dari
yang
berbagai
aktifitas-aktifitas
aktifitas
lain
yang
terpusat di kota ini. Jenis data yang digunakan yakni
Para berbagai
penyandang daerah
tunarungu
memiliki
di
sebutan
berupa data kualitatif berdasarkan sumber
tersendiri.
primer dari remaja tunarungu, keluarga,
masyarakat menamai orang yang memiliki
maupun tokoh masyarakat. Serta sumber
gangguan
sekunder yakni sumber lain di luar sumber
sebutan
Seperti
halnya
pendengaran ‘bongol’,
serta
di
(tuli) orang
Bali,
dengan yang
memiliki gangguan berkomunikasi atau
Hal ini dikarenakan oleh kecenderungan
tidak bisa bicara (bisu) disebut ‘kolok’.
remaja dalam menemukan identitas diri
Sebutan tersebut jika dikritisi lebih jauh
mereka
juga mengandung unsur pelabelan di
sebagaimana
mana orang-orang tunarungu (kolok dan
Ketika
bongol) dinilai memiliki tingkat intelegensi
terpenuhi
yang
diajak
terbatas maka gejolak emosi tidak dapat
melakukan kegiatan bermasyarakat seperti
dihindari. Tentunya ini berdampak pada
orang-orang
respon
rendah
karena
pada
susah
umumnya
yang
di
dalamnya memang sangat membutuhkan
dan
berusaha yang
keinginan
berbuat
mereka
mereka
karena
remaja
inginkan.
tidak
dapat
kemampuan
yang
tunarungu
dalam
menghadapi stigmatisasi dari luar.
komunikasi. Keengganan berkomunikasi yang ditujukan oleh orang-orang yang
4.3 Proses dan Bentuk Stigmatisasi
bukan
Sosial terhadap Remaja Tunarungu
tunarungu
berimbas
pada
secara
langsung
bagaimana
para
Berdasarkan pengalaman dari para
penyandang tunarungu tersebut menilai
remaja tunarungu yang menjadi subjek
diri mereka.
dalam penelitian ini, proses stigmatisasi sosial
yang
mereka
alami
dapat
4.2 Stigmatisasi sebagai Permasalahan
diidentifikasi menjadi dua yakni proses
Sosial yang Dialami Remaja Tunarungu
yang muncul dari dalam diri serta dari pihak
Kondisi aspek sosial dan emosional
luar diri. Kedua proses ini sesungguhnya
yang ditunjukkan oleh remaja tunarungu
memiliki
memiliki pengaruh pada bagaimana para
memengaruhi.
Soekanto
remaja tersebut menilai diri mereka sendiri.
memaparkan
bahwa
Apalagi ditunjang dengan pelabelan dari
memengaruhi melibatkan unsur-unsur yang
pihak luar yakni salah satu yang terdekat
baik dan benar, serta unsur-unsur lain yang
seperti
dianggap salah dan buruk. Tergantung pula
keluarga
yang
memberikan
pemahaman ‘kuping jelek’ pada mereka. Memang penekanan pemahaman tersebut
keterkaitan,
tepatnya (2012: proses
saling 385) saling
dari mentalitas pihak yang menerima. Dalam
hal
ini,
pengalaman
sebagai bentuk sederhana agar mereka
stigmatisasi terhadap diri sendiri terkait
menyadari keterbatasan yang dimiliki.
pemahaman
mengenai
kedisabilitasan
Perlu diketahui bahwa masing-masing
tersebut akan berdampak pada bagaimana
individu meskipun sesama tunarungu tentu
individu penyandang tunarungu memiliki
memiliki pembawaan yang berbeda dan ini
kepercayaan
disebabkan oleh lingkungan yang berbeda
bergabung
pula.
Khususnya
kemungkinan akibat
besar
melabeli
di
diri dengan
untuk
bergaul
orang-orang
dan yang
usia
remaja,
bukan tunarungu di lingkungan di mana ia
perasaan
tertekan
berada terlebih dalam masyarakat luas.
diri sesuai apa
yang
Di sisi lain, pengalaman stigmatisasi
dilihatnya bisa saja dialami sekalipun yang
yang diperoleh dari pihak luar juga perlu
dilihatnya itu merupakan hal yang positif.
diperhatikan.
Jika
para
penyandang
tunarungu tersebut memiliki pengalaman
Bahkan untuk mengendalikan stigmatisasi
pelabelan dari orang lain entah berupa
yang dibentuknya sendiri akan menjadi
tindakan langsung dalam bentuk apapun,
sangat sulit.
atau hanya sekedar menerima pandangan
Jadi peran orang terdekat khususnya
negatif yang memiliki potensi diskriminatif
orang-orang yang mampu memahami dan
maka dapat dinyatakan bahwa stigmatisasi
benar-benar bisa berkomunikasi secara
sosial memang masih melekat pada kaum
baik dengan mereka sangat diperlukan
difabel khususnya tunarungu.
dalam
Pelabelan
dari
orang
lain
membantu
mereka
mengenal
akan
maupun beradaptasi dengan lingkungan
berpengaruh kembali pada individu yang
luar terlebih saat secara langsung aktif
bersangkutan yakni penyandang tunarungu
menjadi bagian dari masyarakat.
yang telah diberi label tertentu. Bahkan tidak hanya pada individu penyandang
4.5 Analisis Teori Fenomenologi Alfred
tunarungu saja, namun berdampak pula
Schutz terkait Pengalaman Stigmatisasi
pada orang-orang terdekat seperti keluarga
Sosial Remaja Tunarungu
batih dapat terkena imbas dari stigmatisasi tersebut.
Fenomena stigmatisasi sosial yang dialami
oleh
penyandang
disabilitas
khususnya remaja tunurungu tidak terlepas 4.4 Respon dan Penyesuaian Diri atas
dari
Stigmatisasi Sosial
bagaimana ia terlibat dengan orang lain.
Memahami stigmatisasi sosial yang
pengalaman
Pemaknaan
kesehariannya
diri
yang
serta
menyandang
terbagi menjadi dua yakni dari dalam diri
disabilitas
dan dari luar diri akan mengarahkan pula
pemahaman orang lain yang melihatnya
pada tinjauan tentang bagaimana para
sebagai penyandang disabilitas.
penyandang tunarungu khususnya di usia remaja
melakukan
upaya-upaya
penyesuaian diri. Meadow
Dalam
teori
berbeda
dengan
fenomenologi
Schutz,
analisa suatu fenomena akan mengarah pada apa yang ia sebut realitas puncak.
(dalam
Mangunsong,
tentu
2010:
Semiawan 101)
&
memang
Realitas puncak adalah realitas nyata yang dialami
individu
dalam
kehidupan
menyatakan para penyandang tunarungu
kesehariannya. Pada remaja tunarungu
memiliki
tentu realitas puncak yang dihadapi setiap
masalah
dalam
melakukan
penyesuaian diri. Mereka cenderung kaku,
hari
egosentris, kurang kreatif, impulsif, dan
ketidakmampuannya dalam berkomunikasi
kurang
baik
mampu
berempati.
Sikap-sikap
adalah
kedisabilitasannya
mendengar
maupun
atau
berbicara.
tersebut dapat menghambat mereka untuk
Bagaimana
memberikan respon terhadap stigmatisasi
mampu memberi makna atas apa yang ia
yang
hadapi telah melalui proses berpikir yang
dialami
secara
tepat
khususnya
remaja
tunarungu
tersebut
stigmatisasi dari luar diri karena kondisi
bersifat
emosional yang terkategori kurang stabil.
pemahaman atas disabilitas tidak langsung
intersubyektif.
Pemahaman-
didapatkan begitu saja karena terdapat
dikarenakan
penekanan
mengungkapkan secara gamblang tentang
pemahaman
dari
pihak
oleh
sulitnya
keluarga sebagai pihak dari luar diri yang
pengalaman-pengalaman
paling dekat dengannya.
penyandang
Seperti
penekanan
pemahaman
ungkapan
sebagai
disabilitas.
perasaan
mereka
Akan
secara
tetapi
sederhana
‘kuping jelek’ yang sesungguhnya bersifat
seperti tidak suka atau malu serta sedih
sederhana, diberikan orang tua agar remaja
terhadap perlakuan dan penilaian orang
tunarungu
lain bahkan ketika menilai diri mereka
dapat
memahami
kedisabilitasannya
bisa
tentang
saja
dimaknai
sendiri
cukup
menjadi
acuan
bahwa
berbeda. Sesuai temuan penelitian, orang
mereka memiliki kesadaran atas kondisi
tua
disabilitas tersebut.
bahkan
guru
yang
menyebutnya
memiliki ‘kuping jelek’ dengan tujuan baik yakni membantu secara sederhana agar
5.
mereka yang tunarungu paham akan situasi
5.1 Kesimpulan
dan kondisi tubuh yang dimiliki tidak seperti dengan orang-orang yang bisa mendengar. Sedangkan
dari
remaja
tunarungu
KESIMPULAN DAN SARAN
Memahami
kajian
mengenai
penyandang tunarungu dapat dilakukan berdasarkan
pengetahuan
tentang
tersebut memaknai bahwa ‘kuping jelek’
pengalaman-pengalaman
berarti kuping yang benar-benar jelek, atau
oleh mereka baik mengenai bagaimana
rusak, atau tidak bagus sehingga akan
para
selalu membuatnya merasa tidak bisa
menemukan
melakukan apa yang dilakukan orang-orang
sebagai
pada umumnya
bagaimana
komunikasi
khususnya
menganggap
tunarungu
konsep
diri
penyandang mereka
didapat
tersebut
yang
sesuai
disabilitas
mampu
dan
bergabung
dirinya
serta beradaptasi dengan masyarakat yang
berbeda yang mengakibatkan munculnya
di dalamnya masih terdapat pemahaman
perasaan rendah diri.
konsep normal dan tidak normal. Pada
Dalam
dan
dalam hal
penyandang
yang
kasus
tersebut,
makna
‘kuping
jelek’
sebagai
suatu
proses
pemberian
dapat
dikatakan
pelabelan
atau
stigmatisasi. Stigmatisasi dari dalam diri
dasarnya konsep normal dan tidak normal merupakan
suatu
Sulit
untuk
pemahaman
dilakukan
penyandang
tunarungu
individu
terhadap
penyandang
dirinya
sendiri,
telah
dikonstruksikan secara sosial.
terkait dengan pemberian makna yang oleh
yang
penyandang
mengesampingkan
masyarakat disabilitas cacat,
bahwa merupakan
tidak
mampu
sedangkan stigmatisasi dari luar diri terkait
melakukan hal-hal sebagaimana mestinya,
dengan pemberian makna dari pihak luar
berbeda, bahkan tidak normal karena hal
seperti keluarga dan masyarakat. Remaja
tersebut
tunarungu
middle
mendasar sebagai sebuah persepsi yang
adolescent belum cukup mampu memaknai
dijadikan sebagai bahan untuk menilai
dalam
rentang
usia
secara khusus kondisi disabilitasnya, ini
telah
terkonstruksi
secara
keberadaan dari penyandang tunarungu
5.2 Saran
tersebut.
Perlu diperhatikan upaya-upaya yang
Persepsi
bahwa
penyandang
dilakukan
baik
perihal
pemberdayaan
disabilitas tunarungu merupakan orang-
maupun mendapatkan kesejajaran dengan
orang yang berbeda bahkan tidak normal
orang-orang
ditunjukkan sebagai bentuk persepsi negatif
seharusnya
yang
kemampuan dari penyandang tunarungu
tidak
lain
adalah
bagian
dari
yang
bisa
mendengar
disesuaikan
dengan
stigmatisasi sosial. Meninjau fenomena
tersebut.
stigmatisasi sosial tidak hanya dari proses
mengikutsertakan mereka dalam kompetisi
pelabelan
bersama
dari
masyarakat
terhadap
Seperti
halnya
orang-orang
yang
saat
bukan
individu penyandang tunarungu, tetapi juga
tunarungu, atau melibatkan mereka dalam
proses pelabelan yang dilakukan oleh
kegiatan-kegiatan yang berlangsung secara
individu tersebut terhadap dirinya sendiri
umum.
yang
menyadari
kedisabilitasan
yang
dimiliki.
Selain itu kepercayaan diri mereka juga dapat terlatih akibat peran dari orang-
Dalam
sosial
orang terdekat terutama keluarga dan guru-
terbagi menjadi dua yaitu stigmatisasi yang
guru di sekolah. Orang-orang terdekat
muncul dari dalam diri dan pihak luar diri.
terutama yang bukan tunarungu namun
Kedua bagian dari keberadaan fenomena
bisa
stigmatisasi sosial berdampak pula pada
dengan
pembentukan
penyandang tunarungu tersebut menyadari
tunarungu
hal
ini
stigmatisasi
karakteristik
khususnya
akan
berkomunikasi membuat
para
bahwa mereka normal dan sama seperti
sebagai masa-masa tersulit yang dialami
orang lain meski menggunakan bahasa
individu.
isyarat. Masyarakat juga dapat mencoba strom
dan
usia
mereka
atau
remaja
Masa
di
penyandang
memahami
stress
serta
memahami mereka dengan belajar bahasa
pemaknaan atas realitas kedisabilitasannya
isyarat untuk membantu mereka agar lebih
secara garis besar membentuk karakter
mudah melakukan penyesuaian diri.
yang cenderung ekspresif ditunjang pula dengan kondisi pubertas sehingga remaja
DAFTAR PUSTAKA
penyandang tunarungu merupakan remaja
Buku:
yang sangat sensitif. Karakter-karakter lain
Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES Fakih, Mansour. (2011). Jalan Lain Manfesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kartono, Kartini. (2011). Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Pers Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, Jakarta: Kencana
seperti kaku, egosentris serta impulsif yang juga ditunjukkan merupakan bentukan atas stigmatisasi sosial yang mereka alami. Karakter-karakter kemungkinan
inilah
yang
menghambat
besar mereka
melakukan penyesuaian diri di lingkungan masyarakat.
Miles, Matthew B & Huberman A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Misiak, Henryk & Sexton, Virginia S. (2009). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, Bandung: Refika Aditama Noor, Juliansyah. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah, Jakarta: Kencana Poloma, Margareth M. (2013). Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers Semiawan, Conny R. & Mangunsong, Frieda. (2010). Keluarbiasaan Ganda (Twice Exceptionality) Mengeksplorasi, Mengenal, Mengidentifikasi, dan Menanganinya, Jakarta: Kencana Soekanto, Soerjono. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. (1997). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Prosedur, Teknik, dan Teori Grounded, Surabaya: PT. Bina Ilmu Wirawan, IB. (2012). Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial), Jakarta: Kencana Zeitlin, Irving M. (1995). Memahami Kembali Sosiologi Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Gajahmada University Press Jurnal Batubara, Jose RL. (2010). Adolescent Development (Perkembangan Remaja), Jurnal Sari Pediatri, 12(1), 21-29 Djaelani, Aunu Rofiq. (2013). Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif, Majalah Ilmiah Pawiyatan, 20(1), 82-92 Hasan, Sofy Ariany dan Handayani, Muryantinah Mulyo. (2014). Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu di Sekolah Inklusi, Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 3(2), 128-135 Nindito, Stefanus. (2005). Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial, Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1), 79-94
Ryandani, Okza. (2015). Pemaknaan Orang Tua Terhadap Anak Inklusi, Jurnal Komunitas, 4(3), 1-10 Thohari, Slamet. (2007). Menimbang Difabelisme Sebagai Kritik Sosial, Jurnal Mozaik, 2(2), 105-113 Skripsi & Tesis Febrianti, Linda. (2012). Pengalaman Stigma Pada Penderita Kusta di Kota Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang Kusuma, Auditya Warta. (2013). Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Penerimaan Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Penyandang Tunarungu di SLB-B Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Novianti, Dewi. (2013). Kebermaknaan Hidup Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha (Penelitian Fenomenologi Pada Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha di Kota Bandung). Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Pinilih, Sambodo Sriadi. (2012). Pengaruh Social Skills Training (SST) terhadap Keterampilan Sosialisasi dan Social Anxiety Pada Remaja Tunarungu di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kabupaten Wonosobo. Tesis. Depok: Universitas Indonesia Internet Kemenpppa. (2014). Penyandang Disabilitas, http://www.kemenpppa.go.id/ (Diakses 16 Januari 2016) Layanan Disabilitas UGM. (2015). MacamMacam Disabilitas, http://layanandisabilitas.wg.ugm.ac.id / (Diakses 16 Januari 2016) Perdana. (2014). Pendekatan Fenomenologi Penelitian Kualitatif, http://www.andreanperdana.com/201 4/05/pendekatan-fenomenologipenelitian-kualitatif (Diakses 16 Januari 2016)