BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS
1.1.
Pengertian dan Jenis-Jenis Disabilitas. Penyandang cacat atau disabilitas merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui atau sering digunakan di tengah masyarakat. Istilah Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan, namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Disabilitas” belum tercantum. Disabilitas adalah istilah baru pengganti Penyandang Cacat. Penyandang Disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental atau intelektual. Pemahaman penyandang disabilitas merupakan istilah dan pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan istilah penyandang cacat yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Perundang-Undangan lainya yang berlaku di Indonesia. Istilah Disabilitas tersebut muncul manakala Indonesia saat itu menandatangani Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 30 Maret 2007 dalam sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan urutan ke-9. Dengan ikutnya Indonesia melakukan penandatanganan pada kovensi tersebut
25
26
maka sebagai konsekuensinya, Indonesia harus meratifikasi Konvensi tersebut ke dalam hukum nasional Indonesia. Pengertian “cacat” sebagaimana digambarkan di atas sejak tahun 1998 memperoleh sebutan baru yang disuarakan oleh beberapa aktivis penyandang cacat setelah keberlakuan konvensi hak-hak penyandang disabilitas. Sebutan baru tersebut diistilahkan dengan “difabel” yang merupakan singkatan dari “different ability people”. bebas diterjemahkan dengan “orang yang berbeda kemampuan”. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia sebenarnya diciptakan berbeda sehingga tidak ada yang namanya kecacatan yang ada hanyalah perbedaan. Menurut Mansour Fakih : ‘’…..Salah satu bentuk resistensi dan pemberdayaan yang hakiki adalah justru mulai dari usaha untuk membongkar konvensi sosial yang diyakini kalangan masyarakat, birokrat, akademisi, bahkan aktivis LSM untuk melakukan dekonstruksi terhadap diskursus 'disable' ataupun 'penyandang cacat' dengan memuncukan wacana tandingan yang lebih adil dan memberdayakan, yakni bahwa mereka yang tidak memiliki kaki, misalnya,ternyata memiliki 'different abilities' atau yang di-Indonesiakan dan disingkat sebagai 'difabel'. 1 Sesuai dengan Pasal 43 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri) dengan Konvensi tersebut. Sebelum adanya Konvensi hak-hak penyandang disabilitas yang telah di ratifikasi ke dalam UU No 19 Tahun 2011, Indonesia terlebih dahulu telah memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang hak-hak penyandang cacat yaitu 1
Mansour Fakih, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, INSISTPress, tanpa tempat terbit, h,12
27
melalui Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dalam undang-undang tersebut terlihat bahwa produk legislasi tersebut diwujudkan sebagai upaya mewujudkan kesamaan hak dan kewajiban bagi penyandang cacat. Undang-Undang Penyandang Cacat merupakan sebuah kodifikasi hukum yang mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak warga Negara termasuk penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan. Pasal 1 angka 1 memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan Penyandang cacat adalah: Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental. Secara bebas dan sederhana penulis dapat memberi pengertian bahwa penyandang disabilitas adalah orang berkebutuhan khusus dimana orang tersebut hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya karena karakteristik yang berbeda inilah maka mereka memerlukan pelayanan khusus agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Disabilitas memiliki jenis-jenisnya tersendiri hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang menyatakan bahwa penyandang cacat terdiri dari penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik, serta penyandang cacat fisik dan mental. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki definisinya masing-masing yang mana dari masing-masing definisi tersebut kesemuanya memang diperlukan
28
adanya bantuaan dari pihak-pihak terkait untuk kelangsungan yang berkenaan dengan proses tumbuh kembang mereka. Menurut penjelasan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan: a. Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain, gerak tubuh, penghlihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara; b. Cacat mental adalah kelainan mental dan/ atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; c. Cacat fisik mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Terhadap penyandang disabilitas fisik terdapat beberapa jenis kelainan disabilitas fisik yang meliputi beberapa macam, yaitu: a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh. b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. c. Kelainan Pendengaran (Tuna Rungu). Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. d. Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara. 2
2
Nur Kholis Reefani, 2013, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus, Imperium, Yogyakarta, h.17.
29
Sedangkan terhadap mereka yang mengalami cacat lebih dari satu kecacatan (baik cacat fisik dan mental) disebut dengan Tunaganda (disabilitas ganda). 2.2.
Pengertian dan Jenis-Jenis Aksesibilitas Penyediaan Aksesibilitas pada dasarnya merupakan komitmen Nasional,
hal ini sudah tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945 jika dilihat dalam Pasal 28 H ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai keadilan. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang selanjutnya disebut dengan UU tentang Penyandang Cacat memberikan definisi dari Aksesibilitas: “ Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan ”. Lebih lanjut di dalam Pasal 10 ayat (1) UU tentang Penyandang Cacat dinyatakan bahwa : “ kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas”. Kemudian di dalam Pasal selanjutnya yaitu Pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa :
30
“ Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat agar dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat”. Perangkat UU sebagaimana disinggung di atas, masih dilengkapi PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Dalam PP tersebut menyatakan bahwa aksesibilitas terdiri dari aksesibilitas fisik dan non fisik. Aksesibilitas dapat berbentuk fisik dan non fisik. bentuk aksesibilitas tersebut dapat dilihat pada Pasal 11 PP No. 43 Tahun 1998: Ayat (1): Penyediaan aksesibilitas berbentuk fisik dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum meliputi: a. b. c. d.
aksesibilitas pada bangunan umum; aksesibilitas pada jalan umum; aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum; dan aksesibilitas pada angkutan umum.
Ayat (2): Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk non fisik, meliputi: a. pelayanan informasi; dan b. pelayanan khusus. Secara rinci, ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) dijabarkan pada PasalPasal berikutnya. Dimana Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang aksesibilitas pada bangunan umum dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari dan di dalam bangunan; b. pintu, tangga, lift khusus untuk bangunan bertingkat; c. tempat parkir dan tempat naik turun penumpang; d. toilet; e. tempat minum; f. tempat telepon; g. peringatan darurat; dan
31
h. tanda-tanda (signage) lainnya. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 12 diatas, maka penulis dapat menjelaskan bahwa bangunan umum yang dimaksud adalah bangunan yang digunakan untuk melakukan kegiatan oleh masyarakat umum, seperti kegiatan olahraga, agama, kesehatan, budaya dan lain sebagainya untuk kepentingan umum. Diperlukanya akses fisik terhadap bangunan umum agar memudahkan penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan-kegiatan di dalam maupun di luar bangunan umum tersebut Pasal 13 Aksesibilitas pada jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke dan dari jalan umum; b. akses ke tempat pemberhentian bus/kendaraan; c. jembatan penyebrangan, d. jalur penyebrangan bagi pejalan kaki, e. tempat parkir dan naik turun penumpang, f. tempat pemberhentian kendaraan umum, \ g. tanda-tanda/rambu-rambu dan/atau marka jalan, h. trotoar bagi pejalan kaki/pemakai kursi roda; dan i . trowongan penyebrangan. Sama halnya dengan Aksesibilitas pada bangunan umum dimana pada dasarnya ketentuan dalam Pasal 13 ini bermaksud untuk memberikan akses kemudahan bagi para penyandang disabilitas untuk menggunakan jalanan umum sebagaimana mestinya agar mereka dapat melakukan kegiatan lalu lintas dengan aman dan layak. Seperti menyediakan fasilitas-fasilitas menuju ke tempat pemberhentian bus, dengan misalnya meyediakan transportasi untuk mengantar para netra tersebut ke tempat tujuan, kemudian dengan menyediakan fasilitas berupa bidang miring yang membantu para pemakai kursi roda untuk mencapai
32
halte, contoh lainya adalah dengan adanya fasilitas pijakan antara lantai halte dengan bus, sehingga tidak dimungkinkan adanya celah yang terdapat yang bisa mengakibatkan Tunanetra rawan terjatuh. Selanjutnya dalam Pasal 14. Dinyatakan bahwa Aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari dan di dalam pertamanan dan pemakaman umum, b. tempat parkir dan tempat turun naik penumpang, c. tempat duduk/istirahat d. tempat minum, e. tempat telepon, f. toilet, dan g. tanda-tanda atau signage. Ketentuan Pasal 14 tersebut menegaskan kembali bahwa dimana tak hanya di ruang-ruang publik yang digunakan aktivitas sehari-hari bagi masyarakat umum yang diberikan akses kemudahan, tempat pemakaman umum pun harus aksesibel bagi penyandang disabilitas. Dalam Pasal 15 dinyatakan bahwa Aksesibilitas pada angkutan umum dilaksanakan dengan menyediakan : a. tangga naik /turun b. tempat duduk, c. dan tanda-tanda atau signage. Penulis berpendapat bahwa Maksud dari Ketentuan Pasal 15 tersebut adalah benar-benar mengupayakan adanya aksesibilitas yang dikehendaki oleh penyandang disabilitas bukan hanya dari segi fasilitas umum. Namun juga transportasi umum. Dengan disediakanya tangga naik turun penumpang, tempat
33
duduk, juga tanda-tanda/signage, akan dapat mempermudah penyandang cacat untuk mencapai tujuan secara nyaman dan aman Sementara itu dalam Pasal 16 PP No 43 tahun 1998 dinyatakan bahwa untuk pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dilaksanakan untuk memberikan informasi kepada penyandang cacat berkenaan dengan aksesibilitas yang tersedia pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman umum, serta angkutan umum. Pasal 17 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dimana Pelayanan khusus dilaksanakan untuk memberikan kemudahan bagi penyandang cacat dalam melaksanakan kegiatannya pada bangunan umum, pertamanan dan pemakaman umum, dan angkutan umum. Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 8 PP No 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, maka pemerintah daerah Kota Denpasar menerbitkan Peraturan Walikota Denpasar No 35 Tahun 2011 tentang Upaya Peningkatan Aksesibilitas Penyandang Cacat di Kota Denpasar. Inilah yang kemudian menjadi payung hukum bagi para disabilitas dalam memperoleh aksesibilitas, tidak terkecuali bagi para disabilitas Tunanetra di Kota Denpasar khususnya. 1.2.
Disabilitas Dalam Konsep Dasar Hak Asasi Manusia Secara etimologi, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai
pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabat. Adapun asasi berarti yang bersifat paling mendasar atau fundamental. Dengan demikian hak asasi berarti hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagai fitrah,
34
sehingga tak satupun makhluk dapat mengintervensinya apalagi mencabutnya misalnya, hak hidup, yang mana tak satupun manusia ini memiliki kewenangan untuk mencabut kehidupan manusia yang lain.3 Dengan kata lain hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia. Pembentukan Negara dalam sistem Demokrasi dan Negara hukum merupakan kehendak rakyat secara kolektif sebagaimana diungkapkan oleh Imanuel Kant bahwa munculnya Negara adalah suatu keharusan, karena Negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum. Negara harus menjamin setiap warga Negara untuk bebas di lingkungan hukum; artinya kebebasan dalam batas norma-norma yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang karena Undang-Undang itu adalah penjelmaan kemauan rakyat.4 Sehubungan dengan itu maka pemerintah bersama penyelenggara Negara lainya dilekati kewajiban untuk bertindak atau mengambil kebijakan sesuai batas kewenangan dalam menjalankan tugas dan fungsi Negara. Kewajiban bertindak atau mengambil kebijakan juga merupakan hak bagi Negara namun jangan sampai hak tersebut tercampur dengan kepentingan yang menyesatkan karena, Hak adalah suatu kekuatan (Macht) yang diatur oleh hukum dan kekuasaan ini berdasarkan kesusilaan (Moral) dan tidak hanya kekuasan fisik saja5 Semua Negara di dunia tidak ada yang tidak mengakui Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang penting untuk dimasukkan dalam landasan
3
Taufiqurrahman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, h. 95. 4 Max Boli Sabon, 1994, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 63. 5 R.Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 275.
35
konstitusionalnya. Apalagi Negara yang mengutamakan prinsip Negara hukum (rechtstaat/ rule of law) maka harus meletakan jaminan dan perlindungan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia. karena jaminan dan pelayanan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu unsur Negara hukum yaitu Negara hukum modern. Menurut ajaran Rosseau, jika hanya demokrasi dalam suatu Negara, maka peluang untuk absolute demokrasi sangat besar, bagaimanapun suara terbanyak akan menjadi absolute, dan minoritas akan selalu tertindas, guna menjaga akses pelaksanaan demokrasi, yang menimbulkan kekuasaan absolute golongan mayoritas tanpa memperhatikan golongan minoritas, maka diberikan unsur Negara hukum yang berfungsi membatasi demokrasi, dengan demikian, ciri pokok dalam Negara demokrasi yang berdasarkan hukum, bukan Negara hukum yang berdasarkan demokratis.6 Ini yang kemudian menjiwai semangat Negara hukum Indonesia saat ini. Negara demokratis wajib memuat substansi HAM, bila tidak memuat substansi HAM maka dikhawatirkan hukum akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai instrument untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM. Undang-Undang Dasar NRI 1945, Khususnya pada Pasal 28 (i) ayat (4) menyatakan bahwa : “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”
6
Loc .cit h.141.
36
Dengan pernyataan diatas diketahui bahwa adanya kewajiban bagi Negara untuk bertanggung jawab kepada rakyat atau warga Negaranya dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Dengan demikian Negara kita juga telah memasukan HAM kedalam landasan konstitusional. Sebenarnya jika dilihat dalam sejarah konstitusi Negara kita, HAM pada awalnya diatur dalam UUD NRI 1945, namun aturan tersebut ternyata belum mampu mewadahi dan menyelesaikan segala bentuk perkara HAM. Dikarenakan pada saat itu hakekat HAM sendiri diidentikan dengan ideology liberalis yaitu merupakan paham terhadap pengakuan hak individu secara menyeluruh. Hal inilah yang dianggap tidak cocok dan bertolak belakang dengan kepribadian bangsa Indonesia. Namun setelah cukup panjang, dengan adanya reformasi, maka membawa angin segar terhadap penjaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Terbukti dengan diaturnya Pasal dalam konstitusi mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu pada Pasal 28A-28J UUD NRI 1945 dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999. Hadirnya beberapa aturan yang menjadi payung bagi HAM ini cukup memperlihatkan bahwasanya HAM ini sangat dijaga dan diperhatikan sungguh-sungguh oleh Negara. Keseriusan pemerintah dalam menegakan HAM ini bisa dilihat dalam UUD NRI 1945 yang penjabaranya dimuat melalui Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana secara umum Undang-Undang HAM tersebut juga membagi HAM kedalam beberapa kategori yang tertuang secara tegas. Adapaun kategori tersebut adalah 1) Hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa.
37
2) Hak memperoleh keadilan 3) Hak atas kebebasan pribadi 4) Hak atas rasa aman, 5) Hak atas kesejahteraan 6) Hak turut serta dalam pemerintahan 7) Hak wanita 8) Hak anak 9) Hak atas kebebasan beragama Selain itu juga dibentuk Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan juga yang terakhir dengan dibentuknya UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasca dikeluarkanya Resolusi PBB No. 61 Tahun 2006 tentang Konvensi hak-hak penyandang disabilitas atau Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD) yang mana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani CRPD, berdampak pada munculnya desakan masyarakat di berbagai daerah kepada pemerintah, atau kepada pemerintah daerah untuk segera mengimplementasikan UU ratifikasi CRPD tersebut. Salah satu point yang dapat di implementasikan dalam CPRD ini adalah terkait aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas yang dalam Pasal 9 ayat 1 Konvensi tersebut memberikan instruksi kepada seluruh Negara anggota untuk wajib memberikan akses bagi penyandang disabilitas terhadap akses yang tersedia untuk publik.
38
Berbicara tentang mereka yang disabilitas berarti berbicara tentang mereka yang rentan. Ketika mereka yang rentan sulit untuk mendapatkan keadilan maka Akses terhadap keadilan (acces to justice) bagi mereka yang rentan wajib dipenuhi oleh pemerintah dan penyelenggara Negara lainya. Pemenuhan akses ini disebut dengan affirmative action. Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu.7 Keberadaan affirmative action bertujuan bukan untuk melakukan diskriminasi pemberlakuan, melainkan sebagai bantuan sementara bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan lainya sampai mereka berada dalam posisi mampu untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Kelompok rentan yang dimaksud dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang lemah dan tidak dalam posisi sederajat dengan warganegara sebagai golongan masyarakat yang umumnya disabilitas. Dalam
UU HAM,
penyandang disabilitas
merupakan kelompok
masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
ditegaskan bahwa penyandang disabilitas
digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial. Peran
7
Anonim, 2009,“ affitmativeaction”, Hukum Online, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action diakses tanggal 16 februari 2016
39
penyelenggara Negara seperti yang tergambar diatas dalam upaya memberikan solusi
terhadap
mereka
penyandang
disabilitas
merupakan
bentuk
pengejewantahan konsep Good Governance dikarenakan sebagai tujuan untuk mewujudkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan yang lebih tinggi pada setiap bangsa dengan tata kelola pemerintahanya. Sehubungan dengan penjelasan diatas maka dari itu Negara dalam hal ini wajib melindungi HAM warga Negaranya termasuk bagi mereka penyandang disabilitas dan melegalkanya melalui instrument-instrument hukum mulai dari yang tertinggi (UUD) hingga yang paling rendah (Peraturan desa)
karena
sebagaimana yang diketahui dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, menyatakan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan Hak Asasi Manusia Jika ditinjau maka dapat diberi penjelasan bahwa pemerintah wajib menghormati, artinya tidak melanggar HAM. Melindungi artinya menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM., Memajukan berarti melakukan upaya berupa tindakan agar penghormatan terhadap HAM semakin baik. Dengan meratifikasi
konvensi
hak-hak
penyandang
disabilitas
serta
melakukan
pembentukan peraturan per-Undang-Undang terkait penyandang disabilitas seharunya merupakan suatu langkah implementasi yang efektif untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban serta peran para penyandang disabilitas sebagai upaya political will dari pemerintah pusat dan
40
pemerintah daerah untuk memprioritaskan masalah disabilitas dalam program kerjanya dan mengimplementasikan agar tidak hanya sekedar “macan kertas” semata.