Model Pemberdayaan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia Arni Surwanti Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Telpon (0274) 387656; Email:
[email protected]
ABSTRACT At the moment people with disabilities still face problem with regard to their levehood and their welfare. This research to examine the parties who have done the economic empowerment of persons with disabilities as well as the concept of economic empowerment for persons with disabilities that have been implemented This study also examines the various issues and factors that support succersful implementation of economic empowerment model person with disabilities in Indonesia This research showed in change of emplementing the economic empowerment of person with disabilities are still emphasizing the role of the Ministry of Social Affairs. Interdepartmental and inter-institutional treatment has been done, but the coordination has not been going well. The role of the private, Non Government Organization. Disable People Organization also showed a very important action. Implementation. Implementation of economic empowerment for person with disabilitas based on the laws and policies that exist both at the international, regional, national and local area. Implementasion of economic empowerment to persons with disabilities in Indonesia, still face many problem that required the presence of improvements on all side. The most dominat factor for the success of economic empowerment for persons with disabilities is the motivation of persons with disabilities, family support compatibility between the interest and the capacity to be taken in the selection process, presence of equipment and capital, the assistance of both the marketing and product development, the existence of a network of support in the community, absence of career development assistance agencies to persons with disabilities who enter the labor market. Key words: People with disability, economic empowerment, discrimination, welfare
ABSTRAK Pada saat ini penyandang disabiltas masih menghadapi persoalan yang berkenaan dengan penghidupan dan kesejahteraan mereka. Penelitian ini meneliti pihakpihak yang telah melakukan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas serta konsep pemberdayaan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disablitas yang telah diimplementasikan. Penelitian ini juga meneliti berbagai permasalahan
Vol.5 No.1 Maret 2014
41
dan faktor yang mendukung kesuksesan implementasinya. Hasil penelitian menunjukkan penanggung jawab pelaksana pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas memang masih menekankan pada peran Kementrian Sosial, penanganan interdepartemental dan inter institusi sudah dilakukan, namun peran swasta belum berjalan dengan dengan baik. Peran swasta, NGO, DPO juga menunjukkkan peran yang sangat penting. Implementasi pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas mendasarkan pada peraturan perundang-undangan dan kebijkan yang telah ada baik ditingkat internasional, regional, nasional dan daerah.Implementasi pemebrdayaan kepada penyandang disabilitas di Indonesia masih banyak menjumpai persoalan yang memerlukan pembenahan diberbagai sisi. Dan faktor yang paling dominan mendukung suksesnya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas adalah adanya motivasi dari penyandang disabilitas, adanya dukungan keluarga, adanya kesesuaian antara minat dan kapasitas yang dimiliki dalam pemilihan bidang yang ditempuh, adanya peralatan dan modal, adanya pendampingan baik pada pemasaran dan pengembangan produk, adanya jaringan kerja yang mendukung dalam masyarakat, adanya lembaga pendampingan pengembangan karier pada penyandang disabilitas yang masuk ke pasar tenaga kerja Kata Kunci: Penyandang disabilitas, pemberdayaan ekonomi, diskrimisi, kesejahteraan
PENDAHULUAN Pada saat ini penyandang disabilitas masih menghadapi persoalan yang berkenaan dengan penghidupan dan kesejahteraan mereka. Berbagai usaha pemberdayaan terhadap penyandang disabilitas telah dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dengan telah terbitnya berbagai peraturan perundangan seperti menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang disabilitas. Undang-undang ini semestinya lebih komprehensif dan dapat dijadikan dasar bagi penerapan Kebijakan Pemerintah di bidang Pembangunan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang disabilitas. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kesejahteraan Sosial, yang selama ini dijadikan dasar bagi penerapan Program-Program Pemerintah dibidang Usaha Kesejahteraan Sosial Penyandang disabilitas, demikian juga pemerintah Indonesia telah mengadopsi hasil konvensi regional dan internasional. Pada tahun 2011 merupakan tonggak yang memberikan arti penting penyandang disabilitas di Indonesia setelah tiga tahun lebih, semenjak 30 Maret 2007 lalu Indonesia menandatangani Konvensi tentang Hak Penyandang disabilitas/ Penyandang disabilitas (UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD), akhirnya pada 18 Oktober 2011 Indonesia telah meratifikasi CRPD tersebut, dan berikut pada tanggal 10 November 2011 terbit UU tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (UU Pengesahan CRPD) No. 19 tahun 2011. Hal ini memberikan arti penting dalam rangka menjamin terwujudnya hak penyandang disabilitas. Dengan adanya UU tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas No. 19 tahun 2011, usaha meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas menggunakan pendekatan hak. Berdasarkan pendekatan ini diharapkan kesejahteraan penyandang disabilitas dapat segera terwujud, Namun Pemerintah di Indonesia belum juga menunjukkan adanya upaya untuk melakukan perubahan paradigma dalam
42
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
menangani penyandang disabilitas, seperti penanganan terhadap penyandang disabilitas dilakukan dengan pendekatan charity dan lebih difokuskan pada penyandang disabilitas yang berada di panti. Masalah ini diperparah dengan masih adanya berbagai persoalan seperti terbatasnya anggaran pemerintah dan tidak tepatnya pemerintah dalam memahami siapa itu yang digolongkan sebagai penyandang disabilitas. Selain itu komitmen pemerintah untuk memberi bantuan sosial dan pelaksanaan pemberdayaan penyandang disabilitas tidak disertai dengan proses implementasi dan supervisi yang baik, sehingga di lapangan banyak terjadi penyimpangan. Oleh karena itu pemberdayaan penyadang disabilitas tidak bisa menggantungkan pada peran pemerintah saja, namun berbagai pihak termasuk di dalamnya lembaga swasta, sehingga diharapkan dapat lebih mempercepat tercapainya peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas. Tujuan penelitian ini yaitu: 1. Mengidentifikasi berbagai pihak yang telah melakukan upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. 2. Mengeksplorasi upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan. 3. Mengeksplorasi berbagai permasalahan berkenaan dengan upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan. 4. Mengeksplorasi faktor yang mendukung suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan.
STUDI PUSTAKA Pemberdayaan Ekonomi Pemberdayaan ekonomi bisa dilakukan melalui intrapreneurship dan entrepreneurship. Pemberdayaan melalui intrepreneurship adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja penyandang disabilitas agar dapat diterima di pasar tenaga kerja. Pemberdayaan melalui entrepreneurship adalah pendidikan bagaimana penyandang disabilitas mampu untuk mendirikan usaha mandiri. Menurut Kassam (1989), Sen dan Grown (1987), dan Paul(1987) dalam Mardi Yatmo Hutomo (2000), pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatanmasyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakatuntuk dapat menentukan pilihan masa depannya. Praktik Pemberdayaan Bidang Ekonomi Bagi Penyandang Disabilitas Secara umum memiliki kemiripan dimenasi pendekatan Mardi Yatmo Hutomo (2000), seperti misalnya: (1) bantuan modal bergulir; (2)bantuan pembangunan prasarana; (3) pengembangan kelembagaan lokal; (4) penguatandan pembangunan kemitraan usaha; dan (5) fasilitasi dari pendampingan usaha.
Vol.5 No.1 Maret 2014
43
Berbagai Tantangan Penyandang disabilitas Selama ini dapatlah dikatakan bahwa segala peraturan perundangan tentang penyandang disabilitas memang mengesankan ‘moral obligation’ (kewajiban moral) saja.Semacam menghibur penyandang disabilitas dengan retorika yang menciptakan impian-impian semu bagi para penyandang disabilitas terhadap suatu perubahan.Beberapa hal yang perlu dikritisi sebagaimana dipaparkan berikut ini. Di bidang perundangan-undangan, selain masih kurangnya sosialisasi, apalagi menyangkut implementasinya, masih banyak yang harus disikapi dan disiasati oleh stakeholders. Menyangkut peraturan perundangan, ada fakta yang sangat memprihatinkan menyangkut keberadaan UU 4/1997 yaitu masih banyak Gubernur dan Bupati/Walikota yang tidak mengetahui sudah terbitnya undang-undang ini padahal umurnya sudah 14 (empat belas) tahun lebih, sampai dengan Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang disabilitas pada tahun 2011, berikut terbitnya UU No 19 tahun 2011 tentang penyandang disabilitas. Ini menunjukkan kurangnya sosialisasi dari para stake-holders sehingga undang-undang ini hanya mengesankan di atas kertas saja. Di bidang ketenaga-kerjaan, para stake-holders utama masih terjebak dengan paradigma lama dengan memposisikan Depsos sebagai Leading Agent bagi urusan Penyandang disabilitas. Beberapa tahun silam, sudah ada gagasan di lingkungan organisasi sosial kedisabilitasan (orsosca) agar Program Rehabilitasi Vokasional dan Kesempatan Kerja bagi Penyandang disabilitas berada di bawah wewenang Kemenakertrans. Akses Penyandang disabilitas ke pasar tenaga terbuka masih dalam taraf pengumpulan kertas hasil Seminar dan Workshop. Pada saat penyeleksian Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) masih ditemui perlakuan diskriminatif yang dihadapi penyandang disabilitas yang mencoba melamar jadi aparatur negara. Itu, sekali lagi terjadi, karena kurangnya sosialisasi peraturan perundangan yang ada sehingga banyak Daerah yang terkesima dengan kenyataan yang ada. Di bidang pemberdayaan ekonomi Penyandang disabilitas, rasanya belum memiliki program nyata yang perlu dikritisi atau di kedepankan. Pengembangan ekonomi kerakyatan, entah itu menggunakan pendekatan jalur pemberian kredit fasilitas kredit bagi Sektor Informal atau Mikro, maupun melalui Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih belum terlihat nyata menyentuh hajat hidup Penyandang disabilitas. Model pengembangan ekonomi melalui KUBE (Kelompok Usaha Bersama Ekonomi) di lingkungan penyandang disabilitas hanya masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Di bidang kesejahteraan sosial, hal yang paling memprihatinkan karena berdampak langsung pada keseharian penyandang disabilitas.Kurangnya kesempatan mendapatkan akses pekerjaan dan banyak panti-panti tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi para penyandang disabilitas yang kurang mampu.Akibatnya, tidak sedikit mereka
44
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
menjajakan kedisabilitasan dan kemiskinan mereka di jalanan. Di bidang rehabilitasi pendidikan, barangkali walau belum bisa dikatakan sukses, Kemendiknas telah mengembangkan pendidikan inklusif, yang dalam implementasinya masih banyak hal memerlukan pembenahan.Sekolah inklusif ini masih memerlukan uluran tangan pemerintah terutama di bidang pengadaan sarana dan prasarana sekolah dan ketersediaan guru.Kebijakan perguruan tinggi yang tidak seragam dalam penerimaan calon mahasiswa penyandang disabilitas. Beberapa kasus muncul ketika penyandang tuna netra ditolak oleh suatu perguruan tinggi sementara di universitas lain mereka dapat melenggang masuk tanpa mengalami kesulitan. Melihat berbagai tantangan-tantangan tersebut, maka sudah dapat dibayangkan bahwa perjuangan penyandang disabilitas ini untuk dapat mewujudkan impiannya akan sangat membutuhkan waktu yang panjang dan perjuangan terus menerus, baik di tingkat pemerintah pusat, maupun di daerah.
METODE PENELITIAN Obyek Penelitian dan Teknik Sampling Guna menjawab permasalahan peneliti tentang pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas, penelitian ini akan meneliti pelaku dan penerima manfaat program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Obyek penelitian adalah lembaga yang melakukan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas sebagai penerima manfaat program pemberdayaan ekonomi. Lembaga yang melakukan program pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas adalah pemerintah tingkat nasional dan daerah. Sedangkan program pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga swasta adalah organisasi kedisabilitasan atau organisasi sosial lain di tingkat nasional dan daerah. Penelitian ini akan mengambil sampel, yang dilakukan dengan metode purposive judgmental, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan khusus. Adapun pertimbangan yang digunakan adalah: 1. Penelitian pelaku program pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas oleh pemerintah di tingkat nasional dilakukan pada kementrian yang memiliki program program pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas 2. Penelitian pada pelaku program pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga swasta di tingkat daerah akan mengambil sampel wilayah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan pertimbangan Pemerintah Propinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta Pulau telah ada kemauan yang relatif tinggi untuk melakukan program pemberdayaan ekonomi kepada penyandang disabilitas. Kemauan untuk melakukan program pemberdayaan ekonomi
Vol.5 No.1 Maret 2014
45
kepada penyandang disabilitas ini tercermin dari pemerintah di propinsi telah rancangan peraturan daerah (RAPERDA) tentang penyandang disabilitas. 3. Penelitian pada penyandang disabilitas sebagai penerima manfaat Mereka telah pernah mengikuti program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan pemerintah dan atau lembaga swasta di tingkat nasional dan atau daerah. Berdasarkan hal tersebut sampel yang dipergunakan yaitu: Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong – Bogor (untuk tingkat nasional), dinas sosial DIY, Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas (BRTPD) Yogyakarta, Mandiri craft (penerima manfaat) dan DPO DIY. Data Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, menggunakan data primer yang langsung dikumpulkan dari obyek penelitian. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk menggali faktor-faktor permasalahan dan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Data sekunder diperoleh dengan menggunakan data yang ada baik di pemerintah maupun lembaga swasta yang menjalankan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Data sekunder ini digunakan untuk menggali program pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan. Data primer diperoleh dari responden. Data ini dperoleh dari jawaban beberapa pertanyaan semi tertutup dengan menggunakan seting penelitian yang berbeda tiap pengumpulan. Seting yang digunakan adalah survei, wawancara langsung melalui Focus Group Discussion, dan diseminasi. Analisis yang Digunakan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif eksploratif dalam melakukan analisis permasalahan yang ada. Digunakannya pendekatan deskriptif eksploratif karena sifat penelitian yang ingin mengungkapkan fenomena masalah untuk mengembangkan disain yang diharapkan sehingga sesuai dengan hasil yang ingin dicapai. Penelitian ini berfokus faktor-faktor yang mendukung kesuksesan pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan integration, yaitu meneliti dari lembaga pelaksana dan pemanfaat program program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas.
46
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
Desain Penelitian Tujuan yang akan dicapai adalah mengidentifikasi berbagai pihak yang telah melakukan upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas, mengeksplorasi konsep upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan, mengeksplorasi berbagai permasalahan berkenaan dengan upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan, Mengeksplorasi faktor yang mendukung suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan. Untuk itu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Melakukan studi referensi untuk mengidentifikasikan lembaga yang melakukan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. 2. Melakukan focus group discussion (FGD) pada lembaga yang melakukan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas di tingkat nasional maupun daerah, guna mengeksplorasi berbagai permasalahan berkenaan dengan upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan. 3. Melakukan survei untuk mengeksplorasi berbagai permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas berkenaan terkait dengan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diterima. Survei ini untuk mengeksplorasi faktor permasalahan dan faktor yang mendukung suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berbagai pihak yang telah melakukan upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Program pemberdayaan ekonomi pada saat ini telah dilakukan oleh pemerintah, dan swasta baik itu melalui program Corporate Sosial Responsibility maupun oleh organisasi penyandang disabilitas di daerah, nasional yang didukung oleh organisasi non pemerintah tingkat nasional dan internasional juga organisasi lain yang bekerja di bidang disabilitas Di tingkat pemerintah Penyandang disabilitas ditangani oleh pemerintah melalui Kementrian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat pada Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat sebagai koordintor dan Kementrian sosial Leading Agent bagi Layanan Rehabilitasi Sosial. Upaya penangan penyandang disabilitas lintas sektor. Beberapa kementrian lain walalupun tidak secara khusus, juga memberikan peluang bagi penyandang disabilitas untuk mengakses program peberdayaan ekonomi..Kementrian tersebut antara lain adalah kementrian pendidikan, kementrian tenaga kerja & transmigrasi. Kementrian pendidikan, dan kementrian tenaga kerja & transmigrasi. memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti berbagai pelatihan ketrampilan dan bantuan modal. Sektor swasta juga sudah terlihat adanya komitmen untuk memberikan peluang bagi
Vol.5 No.1 Maret 2014
47
penyandang disabilitas untuk mengakses program peberdayaan ekonomi. Program ini ditawarkan melalui melalui program corporate sosial responsibility/CSR. Program yang ditawarkan kebanyakan adalah program penyediaan pendanaan usaha. Beberapa perusahaan juga telah menunjukkan keterlibatan memberikan pemberdayaan melalui program magang dan konsultatif. Organisasi penyandang disabilitas/Disabled Peopled Organization (DPO) baik itu di tingkat nasional dan daerah, yang didukung oleh pemerintah, dan organisasi non pemerintah baik itu organisasi non pemerintah tingkat nasional dan internasional. juga telah aktif melaksanakan program pemberdayaan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung bagi penyandang disabilitas melalui program advokasi, pelatihan, pemberian modal, pendampingan. Berbagai kebijakan yang mendukung pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas dan berbagai peraturan perundangan mestinya juga memberikan keberpihakan kepada penyandang disabilitas.telah ada, namun masih terlihat berbagai macam persoalan dalam implementasinya. Kebijakan pemerintah, Perundang-undangan, yang menyangkut pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas baik yang terkait pasar tenaga kerja maupun peluang menjalankan usaha mandiri. Kebijakan dan peraturan tersebut antara lain adalah Konsorsium Nasional untuk Hak Difabel (2012). Pada tahun 2011 merupakan tonggak yang memberikan arti penting penyandang disabilitas di Indonesia setelah tiga tahun lebih, semenjak 30 Maret 2007 lalu Indonesia menandatangani Konvensi tentang Hak Difabel/ Penyandang Disabilitas (UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD), akhirnya pada 18 Oktober 2011 Indonesia telah meratifikasi CRPD tersebut, dan berikut pada tanggal 10 November 2011 terbit UU tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas ( UU Pengesahan CRPD) No. 19 tahun 2011. Di tingkat daerah sebagai contoh Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah terbit Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012. Peraturan daerah ini mengacu Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas ( UU Pengesahan CRPD) No. 19 tahun 2011 tanggal 10 November 2011. Hal ini memberikan arti penting dalam rangka menjamin terwujudnya hak penyandang disabilitas, namun sampai sekarang implementasinya masih menjadi tantangan tersendiri. Berbagai upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan Pemerintah Penyandang disabilitas ditangani oleh pemerintah melalui Kementrian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat pada Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan
48
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
Perumahan Rakyat sebagai koordintor dan Kementrian sosial Leading Agent bagi Layanan Rehabilitasi Sosial. Beberapa kementrian lain walalupun tidak secara khusus, juga memberikan peluang bagi penyandang disabilitas untuk mengakses program peberdayaan ekonomi..Kementrian tersebut antara lain adalah kementrian pendidikan, kementrian tenaga kerja & transmigrasi. Kementrian pendidikan, dan kementrian tenaga kerja & transmigrasi. memberikan kesempatan bagi penyang disabilitas untuk mengikuti berbagai pelatihan ketrampilan dan bantuan modal. Menurut UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Soisal dan keputusan Menteri Sosial No 82/HUK/2005 tentang tugas dan Tata kerja Departmen Sosial menyatakan bahwa focal point dalam penanganan permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia adalah Kementrian Sosial RI. Tugas tersebut lebih diarahkan pada upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial, yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar delam kehidupan masyarakat. Program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan di bawah kementrian sosial dapat dibagi menjadi dua, melalui: 1. Panti Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Salah satu upaya Pemerintah adalah memberikan pelayanan seperti pelatihan vokasional dan rehabilitasi sosial terhadap penyandang disabilitas. Penyelenggaraannya antara lain dapat dilakukan dengan sistem panti sosial (pengasramaan di dalam panti/sasana). 2. Non panti Program Pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah melalui kementrian sosial non panti, dimana penyandang disabilitas tetap berada di lingkungan masyarakat. Sasaran utama program-program disabilitas dibawah Kementrian Sosial RI adalah penyandang disablitas, diikuti keluarga dan masyarakat sebagai sasaran pendukung. Beberapa program yang dilaksanakan pemerintah di luar panti antara lain dilakukan oleh Kementrian Sosial dan Kementrian Tenaga Kerja, program yang dilakukan antara lain adalah jamainan sosial, UPSK (unit Pelayanan Sosial Keliling), LBK (Loka Bina Karya), Pengembangan Usaha Mandiri, Pemberdayaan Untuk Ortu Penyandang Disabilitas. Pemberdayaan oleh Perusahaan Swasta Walaupun belum dilakukan secara rutin, beberapa perusahaan BUMN juga berperan dalam melakukan pemberdayaan pada penyandang disabilitas, melalui pemberian
Vol.5 No.1 Maret 2014
49
pinjaman modal dengan bunga lunak. Sementara itu di tingkat daerah beberapa perusahaan kecil terlibat dalam pemberian pemberdayaan pada penyandang disabilitas dengan memberikan bantuan skill dalam peningkatan ketrampilan serta dukungan penyaluran pemasaran hasil produksi penyandang disabilitas. Pemberdayaan oleh Organisasi Penyandang Disabilitas/DPO Organisasi penyandang disabilitas merupakan organisasi dalam masyarakat yang didirikan oleh penyandang disabilitas dan bekerja untuk kepentingan penyandang disabilitas. Dalam bidang pemberdayaan ekonomi dengan didukung oleh lembaga pendaan baik di dalam maupun di luar negeri, mereka juga memiliki andil dalam melakukan pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh DPO, dan NGO Antara lain meliputi: meliputi pendataan penyandang disabilitas, pelatihan motivasi, pelatihan ketrampilan, perdagangan, pelatihan kewirausahaan dan manajemen bisnis, konsultasi bisnis, penyediaan fasilitas, dan advokasi peraturan daerah tentang ketenagakerjaan penyandang disabilitas pada sektor formal. Program untuk penyelesaian masalah adalah: 1. Pemberdayaan sumberdaya manusia penyandang disabilitas dengan pelatihan ketrampilan, pemagangan, pendampingan usaha, pendampingan kelompok simpan pinjam/koperasi di Bantul, dan on the job training. 2. Penguatan kelompok Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (REHABILITASI BERBASIS MASYARAKAT/RBM) dilakukan untuk meningkatkan peran kelompok Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (REHABILITASI BERBASIS MASYARAKAT/RBM) agar dapat melakukan pemutakhiran data, referal, dan advokasi agar dapat terjalinnya kolaborasi dengan jaringan pemerintah di level desa, kecamatan sampai kabupaten terjaminnya masyarakat yang inklusif bagi penyandang disabilitas dalam semua sektor baik itu di bidang ekonomi, social, politik, pendidikan dan budaya serta agama. 3. Pendampingan khusus bagi penyandang tuna rungu wicara yang masih menghadapi permasalahan komunikasi dan psikhologis dan penyadaran bagi orang tua/keluarga untuk memberikan dukungan. 4. Penguatan organisasi dalam rangka menuju kemandirian lembaga untuk menjamin adanya keberlanjutan program bagi penyandang disabilitas 5. Membuat contoh “best pactice” dalam agribisnis untuk sustainable livelihood diharapkan dapat diimplementasikan pada projek-projek lain di wilayah Indonesia untuk mencukupi kebutuhan nutrisi untuk kelompok sasaran yang membutuhkan melalui bidang agribisnis. 6. Aktif melakukan advokasi untuk mendukung terbitnya undang-undang penyandang
50
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
disabilitas, peraturan daerah di tingkat Propinsi dan Kabupaten, serta sosialisasi dalam rangka dapat terimplementasikannya UNCRPD Berbagai Permasalahan Berkenaan dengan Upaya Pemberdayaan Ekonomi bagi Penyandang Disabilitas yang Telah Diimplementasikan. Berdasarkan hasil studi referensi, observasi dan wawancara dengan berbagai sumber baik itu organisasi penyelenggara upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas, para penyandang disabilitas sendiri sebagai pemanfaat program, dapatlah disimpulkan masih adanya berbagai macam persoalan yang dihadapi, permasalahan tersebut antara lain adalah: Implementasi Peraturan Perundangan Merujuk dari studi referensi, menunjukkan bahwa sudah cukup banyak peraturan perundangan yang diberlakukan berdasarkan kesepakatan tingkat internasional, yang kemudian diadopsi di tingkat nasional dan daerah tentang pemberian kesempatan penyandang disabilitas dalam upaya memberikan kesempatan penyandang disabilitas dalam kehidupan ekonomi. Namun dalam tataran implementasi masih menjadi tantangan tersendiri. Beberapa hal mengapa hal ini mungkin bisa terjadi karena: 1. Belum diberlakukan sistem punishment untuk pelanggaran berbagai peraturan yang ada. 2. Masih banyak pihak yang terkait belum mengetahui dan memahami berbagai peraturan perundangan tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. 3. Belum ada sistem monitoring yang berkelanjutan terkait dengan implementasi peraturan dan perundangan tersebut. 4. Belum semua propinsi dan kabupaten memiliki peraturan daerah yang melindungi dan memenuhi hak penyandang disabilitas. Pemberdayaan di Panti 1. Data. Ketidaktersediaan data penyandang disabilitas yang akurat menjadikan panti sering mengalami kesulitan di dalam melakukan perekrutan. Masalah pendataan masih menjadi persoalan yang memerlukan pembenahan pada waktu yang akan datang, karena belum adanya pemahaman yang sama pada beberapa kalangan termasuk pertugas pendata tentang definisi penyandang disabilitas, sehingga tidaklah heran jika jumlah penyandang disabilitas yang terdata di tingkat kelurahan dan kecamatan sampai di tingkat kabupaten sampai dengan di tingkat Propinsi hanya dalam jumlah yang sedikit. Seringkali yang terjadi adalah jumlah yang direkrut masih kurang optimal. Apabila merujuk prediksi PBB jumlah penduduk disabilitas adalah sebesar 15%
Vol.5 No.1 Maret 2014
2.
3.
4.
5.
6.
7.
51
dari jumlah penduduk di negara tersebut, maka masih banyak penyandang disabilitas yang belum tersentuh dan tertangani, namun tidak diketahu keberadaannya karena belum terdata dengan baik. Dukungan Orang Tua. Pendidikan di dalam panti yang biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama (sekitar setahun atau lebih), dan penyandang disabilitas harus hidup terpisah dengan keluarga dalam jangka waktu yang lama, seringkali menjadikan keluarga/orang tua tidak tega untuk melepas anaknya. Seringkali tantangan datang justru dari lingkungan keluarga sendiri dalam upaya pemberdayaan penyandang disabilitas. Demikian pula pasca mengikuti pendidikan di panti, orang tua juga kurang memberikan dukungan bagi anaknya untuk bisa mengembangkan perekonomian baik itu melalui upaya masuk ke dunia kerja atau melakukan usaha mandiri. Persyaratan. Persyaratan yang diberlakukan panti bagi calon anak didiknya seringkali juga menjadi penghambat bagi penyandang disabilitas untuk bisa masuk di panti tersebut. Misalnya persyaratan bahwa anak didik yang masuk di panti harus bisa melakukan berbagai kegiatan individu secara mandiri, misalnya kegiatan makan, ke toilet, mencuci baju, menjaga kebersihan kamar. Hal ini akan tidak bermasalah bagi penyandang disabilitas ringan, namun bagi penyandang disabilitas relatif berat, tentunya hal ini sulit untuk dilakukan. Keberagaman Jenis Ketrampilan. Pemberdayaan ekonomi di panti antara lain dilakukan melalui pemberian berbagai macam keterampilan. Namun sampai saat ini jenis ketrampilan yang diberikan kurang beragam dan masih kurang mendasarkan pada kebutuhan pasar tenaga kerja atau peluang usaha. Beberapa ketrampilan yang sering diberikan adalah yang bersifat konvensional berkisar pada menjahit, pijat, pertukangan, perbengkelan. Masih banyak jenis ketrampilan yang bisa dilakukan penyandang disabilitas, namun karena tidak pernah mendapatkan pelatihan, dianggap mereka tidak bisa melakukan. Misalnya, cleaning service, operator telpon, pengepakan, asembling, dan masih banyak lagi. Fasilitas Pendukung. Peralatan yang diperlukan untuk melakukan pelatihan yang diperlukan masih banyak yang tidak tersedia. Hal ini menjadikan ketrampilan yang diberikan tidak bisa dioptimalkan. Kapasitas Tenaga Pendidik. Perlunya peningkatan kapasitas dan keseriusan tenaga pendidik. Masih banyak yang berasumsi bahwa penyandang disabilitas kemampuannya hanya terbatas, jadi tidak perlu dididik oleh tenaga didik yang berkualitas. Lebih khusus lagi terutama untuk penyandang tuna rungu dan tuna netra diperlukan tenaga pendidik yang mampu menstranser ilmu dan ketrampilan kepada mereka. Kurikulum. Belum adanya kurikulum yang standar dalam pendidikan vokasional bagi penyandang disabilitas dan sistem monitoring oleh pemerintah, sehingga terkesan
52
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
masih mencari-cari format, konten dan metode pembelajaran. 8. Rasio tenaga pendidik dan siswa. Rasio tenaga pendidik dan siswa terlihat masih banyak yang kurang. Dalam satu kelas yang berisi 20 – 30 anak, di bawah bimbingan 1 (satu) orang pendidik. Untuk pendidikan ketrampilan dan untuk mendidik penyandang disabilitas dengan banyak keberagaman keterbatasan, tentunya hal ini akan menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti proses pelatihan dengan baik. 9. Motivasi Penyandang Disabilitas. Motivasi penyandang disabilitas sendiri merupakan tantangan tersendiri. Banyak penyandang disabilitas yang sering diperlakukan permisif oleh keluarganya, tidak pernah bergaul dengan dunia luar, kurang memiliki informasi, mereka seringkali kurang memiliki motivasi untuk maju. Tidak sedikit penyandang disabilitas yang harus kembali ke rumah sebelum masa pendidikan berakhir. 10. Keterbatasan Anggaran. Keterbatasan anggaran seringkali menjadi alasan proses pemberdayaan penyandang disabilitas tidak bisa dilakukan secara optimal. Keterbatasan anggaran seringkali pemberdayaan yang dilakukan secara parsial tidak ada keberlanjutan. 11. Belum adanya sistem akreditasi/sertifikasi panti. Pengelolaan panti akan terdorong lebih baik apabila diberlakukan sistem akreditasi, sehingga mendorong pengelola senantiasa berusaha memperbaiki kinerja organisasi. 12. Jaringan. Belum terjalin dengan baik sistem jaringan untuk menangani penyandang disabilitas pasca mengikuti pendidikan di panti, baik itu dengan lembaga pendidikan lanjutan, pasar tenaga kerja, atau lembaga pendukung untuk menjalankan usaha mandiri. 13. Pendampingan. Pendampingan lulusan belum tertangani dngan baik. Penangan lulusan panti masih perlu untuk ditingkatkan. Pendampingan berkelanjutan sehingga mereka bisa mandiri secara ekonomi sangat diperlukan. Pemberdayaan di Luar Panti Pemberdayaan di luar panti juga merupakan metode lain yang bisa dilakukan untuk pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas di Indonesia, mengingat banyaknya jmlah penyandang disabilitas yang tidak semuanya bisa tertampung di panti. Selain itu pemberdayaan di luar panti menjadikan penyandang disabilitas tidak akan terpisah dari kehidupan dengan keluarga dan masyarakat. Sebagaimana semangat yang dipegang saat ini adalah menjamin penyandang disabilitas bisa hidup inklusif di dalam masyarakat. Pemberdayaan semacam ini bisa juga dilakukan oleh pemerintah, DPO atau swasta, baik itu didukung oleh pemerintah, NGO nasional dan internasional. Berdasarkan hasil survey dan wawancara, ada beberapa permasalahan dalam program pemberdayaan yang dilakukan, yaitu:
Vol.5 No.1 Maret 2014
53
1. Data. Ketidaktersediaan data penyandang disabilitas yang akurat menjadikan panti sering mengalami kesulitan di dalam melakukan perekrutan. Seringkali yang terjadi adalah jumlah yang direkrut masih kurang optimal. Masalah pendataan masih menjadi persoalan yang memerlukan pembenahan pada waktu yang akan datang, karena belum adanya pemahaman yang sama pada beberapa kalangan termasuk pertugas pendata tentang definisi penyandang disabilitas, sehingga tidaklah heran jika jumlah penyandang disabilitas yang terdata di tingkat kelurahan dan kecamatan sampai di tingkat kabupaten sampai dengan di tingkat Propinsi hanya dalam jumlah yang sedikit. Apabila merujuk prediksi PBB jumlah penduduk disabilitas adalah sebesar 15% dari jumlah penduduk di negara tersebut, maka masih banyak penyandang disabilitas yang belum tersentuh dan tertangani, namun tidak diketahu keberadaannya karena belum terdata dengan baik. 2. Dukungan Orang Tua. Perlakuan orang tua/keluarga pada penyandang disabilitas ada yang terlalu protektif, namun di sisi lain banyak juga yang tidak mau peduli tentang keberadaannya. Sikap orang tua yang terlalu protektif, menjadikan mereka tidak mau anaknya untuk keluar dari lingkungan keluarga. Kekhawatiran yang berlebih terhadap anak menjadikan anak tidak memiliki motivasi dan keberanian untuk maju. Di sisi lain juga tidak sedikit keluarga yang tidak mau tahu akan keberadaan anaknya yang memiliki keterbatasan, sehingga mereka dipandang sebagai anggota keuarga yang tidak bermakna, tidak punya hak untuk mendapatkan sesuatu sebagaimana halnya manusia yang lain, seperti keinginan untuk meningkatkan kapasitas, keinginan bermasyarakat, keinginan untuk independen. Peran keluarga yang menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak ada manfaatnya untuk meningkatkan kapasitasnya. Kenyataan ini menjadikan penyandang disabilitas selalu berada di lingkungan dalam rumah, sering dibebani pekerjaan rutin keluarga tanpa harus diberikan kompensasi. Banyak fakta menunjukkan bahwa penyandang disabilitas harus mengurus keluarga ketika ada anggota keluarga yang sakit, atau menunggu rumah atau keponakan ketika anggota keluarganya bekerja. Kondisi ini menjadikan mereka tidak lagi punya waktu untuk bersosialisasi, bekerja, sekalipun sebenarnya mereka memiliki ketrampilan atau kepandaian yang bisa digunakan untuk bekerja. 3. Keberagaman Jenis Ketrampilan. Pemberdayaan ekonomi di luar panti antara lain dilakukan juga melalui pemberian berbagai macam ketrampilan. Namun sampai saat ini jenis ketrampilan yang diberikan masih kurang beragam dan masih kurang mendasarkan pada kebutuhan pasar tenaga kerja atau peluang usaha. Beberapa ketrampilan yang sering diberikan adalah yang bersifat konvensional berkisar pada menjahit, pijat, pertukangan, perbengkelan. Masih banyak jenis ketrampilan yang bisa dilakukan penyandang disabilitas, namun sejauh ini belum banyak yang melakukan
54
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
studi tentang pilihan ketrampilan untuk berwirausaha atau masuk ke pasar tenaga kerja yang dibutuhkan dan dapat dilakukan oleh penyandang disabilitas. 4. Keberagaman kondisi penyandang disabitas 5. Kondisi penyandang disabilitas sangat beragam, terkait kondisi disabilitasnya, latar belakang pendidikan yang pernah ditempuh. Kondisi ini menyulitkan ketika mereka harus mengikuti pelatihan dalam satu kelas, sehingga efektifitas menjadi suatu tantangan tersendiri. Kenyataan menunjukkan masih banyaknya penyandang disabilitas yang tidak mengenyam pendidikan formal, sehingga menjadikan mereka buta huruf. Bagi penyandang tuna rungu masih diperparah dengan ketidakmampuan berkomunikasi karena tidak bisa baca tulis maupun penguasaan bahasa isyarat. Kondisi ini menjadikan proses pemberian pelatihan ketrampilan dan program pemberdayaan lain sangat sulit dilakukan dengan lancar dan cepat. 6. Fasilitas Pendukung. Pelatihan non panti rata-rata dilakukan oleh NGO dengan dukungan pemerintah atau NGO lain baik tingkat lokal, nasional maupun ninternasional. Rata-rata masih memiliki fasilitas yang terbatas dalam memberikan pelatihan kepada penyandang disabilitas. Peralatan yang diperlukan untuk melakukan pelatihan yang diperlukan masih banyak yang tidak tersedia. Hal ini menjadikan ketrampilan yang diberikan tidak bisa dioptimalkan. 7. Rasio tenaga pendidik dan siswa serta kualitas tenaga pengajar. Rasio tenaga pendidik dan siswa terlihat masih banyak yang kurang. Dalam satu kelas yang berisi 20 – 30 anak, di bawah bimbingan 1 (satu) orang pendidik. Untuk pendidikan ketrampilan dan untuk mendidik penyandang disabilitas dengan banyak keberagaman keterbatasan, tentunya hal ini akan menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti proses pelatihan dengan baik. Anggaran yang terbatas dalam pelaksanaan pelatihan, seringkali sulit untuk mendapatkan tenaga pengajar yang berkualitas. 8. Motivasi Penyandang Disabilitas. Motivasi penyandang disabilitas sendiri merupakan tantangan tersendiri. Banyak penyandang disabilitas tidak pernah bergaul dengan dunia luar, kurang memiliki informasi, mereka seringkali kurang memiliki motivasi untuk maju. Sikap keluarga yang selalu memandang bahwa penyadang disabilitas tidak bermakna, tidak memiliki hak untuk hidup independen, doktrin ini selalu melekat, dan penyandang disabilitas menjadikan sikap keluarga tersebut sebagai suatu kebenaran, sehingga menjadikan mereka tidak memiliki motivasi untuk maju. 9. Kemampuan dan keberanian untuk berwirausaha masih rendah. Untuk menjalankan usaha mandiri bagi penyandang disabilitas masih menjadi tantangan yang berat. Setelah mereka mengikuti berbagai program pelatihan, mereka masih kesulitan untuk menjalankan usaha mandiri, hal ini karena: ketidaktersediaan peralatan, ketidaktersediaan modal awal yang diperlukan, kemampuan manajerial masih rendah,
Vol.5 No.1 Maret 2014
55
tidak memiliki ketrampilan kerirausahaan, kurang berani, kesulitan mobilitas, kualitas barang yang diperoduksi masih belum layak jual, penyandang disabilitas hanya bisa menguasai sebagian kecil ketrampilan, serta lingkungan yang tidak aksesible. 10. Keterbatasan Anggaran. Keterbatasan anggaran seringkali menjadi alasan proses pemberdayaan penyandang disabilitas tidak bisa dilakukan secara optimal. Kemampuan peran DPO dalam pemberdayaan penyandang disabilitas rata-rata bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan. Kondisi ini karena DPO tidak mendapatkan sumberdana rutin. DPO masih menggantungkan pada lembaga donor yang biasanya sifatnya temporer. Selama ini belum ada dukungan pemerintah melalui APBN/APBD yang dapat digunakan untuk operasional lembaga. 11. Jaringan. Kemampuan manajerial yang masih rendah, menjadikan penyandang disabilitas sangat sulit untuk menjalankan usaha mandiri. Kondisi ini akan menjadi lebih mudah ketika mereka bisa menjalin jaringan dengan berbagai pihak, misalnya pemasok sumber bahan baku, berperan sebagai suplier bagi perusahaan lain yang menggunakan produk penyandang disabilitas. Namun keny ataan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih belum memiliki keamampuan menjalin jaringan dengan berbagai pihak. Belum terjalin dengan baik sistem jaringan untuk menangani penyandang disabilitas pasca mengikuti pendidikan, baik itu dengan lembaga pendidikan lanjutan, pasar tenaga kerja, atau lembaga pendukung untuk menjalankan usaha mandiri. 12. Tindak Lanjut. Pendidikan luar panti yang dilaksanakan oleh DPO tidak terjamin adanya tindak lanjut hal ini biasanya karena ketidaktersediaan anggaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut, mengingat DPO saat ini masih sangat tergantung pada sumber pendanaan dari lembaga donor, yang tidak berjalan dalam jangka panjang dan dengan nilai yang tidak pasti. 13. Keberlanjutan. DPO tidak bisa menjamin adanya keberlanjutan program, mengingat mereka masih menggantungkan pelaksanaan program pada dukungan pendanaan dari lembaga donor. DPO belum bisa memiliki sumber pendanaan mandiri yang rutin yang dapat digunakan untuk pelaksanaan program. Faktor yang mendukung suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang telah diimplementasikan. Tentunya suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas dapat tercapai apabila beberapa hambatan sebagaimana yang terseut di atas dapat diselesaikan. Berdasarkan berbagai faktor tersebut faktor yang paling dominan menjadi dukungan utama suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas adalah: 1. Adanya motivasi dari penyandang disabilitas
56
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
Motivasi penyandang disabilitas sendiri perlu dikembangkan, sehingga mereka memiliki kesadaran bahwa keberhasilan tidak terlepas dari motivasi diri untuk bisa berkembang. Motivasi dari penyandag disabilitas menduduki kelas tertinggi yang menjamin keberhasilan program pemberdayaan. 2. Adanya dukungan keluarga Keluarga sangat diperlukan dalam memberikan motivasi dan memberikan dukungan serta memfasilitasi penyandang disabilitas dalam mengembangkan diri guna tercapai peningkatan kesejahteraan mereka. 3. Adanya kesesuaian antara minat dan kapasitas yang dimiliki dalam pemilihan bidang yang ditempuh Motivasi penyandang disabilitas akan mudah untuk ditingkatkan, jika mereka merasa senang dalam melakukan pekerjaan, oleh karena itu kesesuaian antara minat, kapasitas yang dimiliki merupakan faktor penting dalam pemilihan bidang yang akan ditempuh. 4. Adanya peralatan dan modal Bagi penyandang disabilitas yang akan melakukan wira usaha mandiri, dukungan atas penyediaan alat kerja dan modal awal sangat diperlukan, mengingat rata-rata penyandang disabilitas berasal dari lingkungan keluarga yang kurang mampu. 5. Adanya pendampingan baik pada pemasaran dan pengembangan produk Pemberian ketrampilan dan modal saja tidak cukup, mengingat permasalahan dalam bekerja atau menjalankan usaha akan ditemui ketika mereka sudah berkecimpung di dunia kerja. Oleh karena itu pendampingan berkelanjutan baik dalam pemasaran dan pengembangan produk diperlukan secara berkelanjutan. 6. Adanya jaringan kerja yang mendukung dalam masyarakat Semua permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyandang disabilitas itu sendiri atau lembaga yang berwenang untuk menangani, namun masyarakat lain juga diperlukan guna terjalinnya suatu jaringan kerja yang akan memperingan semua pihak. Misalnya untuk pemasaran produk penyandang disabilitas bisa kerja sama dengan pengusaha yang bergerak di bidang yang sama untuk bisa menerima hasil produksi, jaringan dengan lembaga keuangan untuk perolehan modal. 7. Lembaga Pendampingan Pengembangan Karier pada penyandang disabilitas yang masuk ke pasar tenaga kerja Kondisi disabilitas seringkali menjadikan adanya ketidakpercayaan pengguna tenaga kerja penyandang disabilitas, memerlukan adanya lembaga yang secara terus meneru pendampingan bagi penyandang disabilitas. Sebagaimana yang dilakukan di Bedford Carier System di Australia, lembaga ini melakukan asesmen tentang potensi penyandang disabilitas, mencarika perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, memediasi perusahaan
Vol.5 No.1 Maret 2014
57
yang membutuhkan tenaga kerja, dan penyandang disabilitas yang akan bekerja. Kantor ini secara rutin melakukan pendampingan kepanda penyandang disabilitas ketika bekerja, melihat kemungkinan kesulitan yang dihadapi ketika bekerja dan membantu mencarikan solusi dan memenuhi kebutuhan khusus yang diperlukan. Lembaga inipun juga akan membantu ketika penyandang disabilitas akan berpindah dari tempat kerja yang satu ke tempat kerja yang lain.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan analisis, hasil penelitian ini menunjukkan: 1. Penanggung jawab pelaksana pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas memang masih menekankan pada peran Kementrian Sosial, penanganan interdepartemental dan inter institusi sduah dilakukan, namun koordinasi belum berjalan dengan baik. Peran swasta, NGO, DPO juga menunjukkan peran yang sangat penting. 2. Implementasi pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas mendasarkan pada peraturan perundangan dan kebijakan yang ada baik di tingkat internasional, regional, nasional dan daerah. 3. Penanganan penyandang disabilitas tidak hanya bisa dilakukan di panti saja, namun juga di luar panti, oleh karena itu peran masyarakat banyak sangat diperlukan. 4. Implementasi pemberdayaan kepada penyandang disabilitas di Indonesia, masih banyak menjumpai persoalan yang memerlukan adanya pembenahan di berbagai sisi. Suksesnya upaya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas dapat tercapai apabila beberapa hambatan, antara lain adalah ketidaktersediaan data yang valid, tidak adanya dukungan orang tua, kurang adanya keberagaman jenis ketrampilan, adanya keberagaman kondisi penyandang disabitas,kurang adanya fasilitas pendukung, ketidakcukupan rasio tenaga pendidik dan siswa, masih rendahnya kualitas tenaga pengajar, kurang adanya motivasi penyandang disabilitas, kemampuan dan keberanian berwirausaha yang rendah, keterbatasan anggaran, belum adanya jaringan, belum adanya tindak lanjut yang keberlanjutan. 5. Faktor yang paling dominan mendukung suksesnya pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas adalah adanya motivasi dari penyandang disabilitas; adanya dukungan keluarga; adanya kesesuaian antara minat dan kapasitas yang dimiliki dalam pemilihan bidang yang ditempuh; adanya peralatan dan modal; adanya pendampingan baik pada pemasaran dan pengembangan produk; adanya jaringan kerja yang mendukung dalam masyarakat; adanya lembaga pendampingan pengembangan karier pada penyandang disabilitas yang masuk ke pasar tenaga kerja. Saran Pemberdayaan di dalam panti dan di luar panti masih diperlukan. Mengingat anggaran
58
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS
pemerintah masih terkonsentrasi pemberdayaan melalui panti, maka diperlukan peran pemerintah untuk mendukung DPO NGO serta memperkuat peran masyarakat dalam ikut melakukan pemberdayaan kepada penyandang disabilitas. Implementasi pemberdayaan ekonomi pada penyandang disabilitas akan memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan, maka berbagai pihak yang berperan dalam melakukan pemberdayaan ekonomi kepada penyandang disabilitas secara terus menerus melakukan evaluasi dan perbaikan atas semua program pemberdayaan yang pernah dilakukan, dengan memperhatikan berbagai faktor yang menjadi penghambat dan mendukung keberhasilan program pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas.
DAFTAR PUSTAKA Irwanto dkk, (2010), Siradj Okta Analisis Situasi Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Sebuah DeskReview. Kementrian Sosial RI, (2004), Rencana Aksi Nasional (RAN) Indonesia 2004-2013. Mardi Yatmo Hutomo, (2000), Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi, Working Paper. Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa, (2006), Konvensi Hak-hak Asasi Penyandang disabilitas dan Protokol Opsional terhadap Konvensi., Resolusi 61/106. Masykur Wiratmo, (1996), Pengantar Kewiraswastaan, Yogyakarta, BPFE. Shane, S., (2003), A General Theory of Entrepreneurship, the Individual-Opportunity Nexus.,USA: Edward Elgar Chapter 2: The Role of Opportunity Sumidiningrat, Gunawan, (1999), Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial, Jakarta, Gramedia. UN-ESCAP, (2003), Biwako Milleneum Framework for Action (BMFA). …………UU 4/1997 tentang Penyandang Disabilitas. …………UU No 19 tahun 2011 tentang PengesahanConvention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).