i
TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PROGRAM DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI DESA BAHOI, MINAHASA UTARA
MELISA ANSELA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program Daerah Perlindungan Laut di Desa Bahoi, Minahasa Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
Melisa Ansela NIM I34090127
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang baik
iv
ABSTRAK MELISA ANSELA. Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program Daerah Perlindungan Laut di Desa Bahoi, Minahasa Utara. Dibimbing oleh SITI AMANAH. Program daerah perlindungan laut (DPL) bertujuan untuk melindungi sumberdaya laut dan meningkatkan produksi perikanan. Program ini melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat pada setiap tahapan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menjelaskan tahapan kegiatan program DPL, pengetahuan nelayan, dan status sosial ekonomi nelayan; (2) menganalisis hubungan tahapan kegiatan program DPL, pengetahuan nelayan, dan status sosial ekonomi nelayan dengan partisipasi nelayan dalam program DPL; (3) menjelaskan upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan partisipasi dalam DPL. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan partisipasi nelayan dalam tahapan penentuan DPL digolongkan rendah karena nelayan sangat jarang mengikuti berbagai kegiatan. Partisipasi nelayan dalam tahapan pelaksanaan aturan DPL tergolong tinggi. Seluruh nelayan tidak melanggar aturan yang telah diberlakukan. Partisipasi nelayan dalam tahapan pemantauan tergolong sedang. Sebagian besar nelayan ikut memantau kawasan DPL seperti memperhatikan nelayan ataupun orang yang berada di sekitar DPL serta menegur dan melaporkan apabila terjadi pelanggaran. Kata kunci: partisipasi, daerah perlindungan laut, nelayan
ABSTRACT MELISA ANSELA. Participation Rate of Fishermen in Marine Protected Areas Program Bahoi Village, North Minahasa. Supervised by SITI AMANAH. Marine protection area (MPA) program head for to protect marine resources and increase fish production. The program is involve the active participation of the community at every stage. The purpose of this study are: (1) describes the DPL activity arrangement program, the knowledge of fishermen, and the fishermen's socio-economic status, (2) analyze the relationship between DPL activity arrangement program, fishermen knowledge, and socio-economic status of fishermen by fishermen participation in the DPL program, (3) describes the efforts that can be implemented to increase participation in the DPL program. This study was conducted using quantitative and qualitative. The results of this study indicate the participation of the fishermen in the stages of the determination of DPL is classified low because fishermen rarely participate in various activities. The participation in the observance of fisherman’s rules stage dpl is classified high. All fishermen do not violate the rules. The participation of fisherman in the monitoring stages is classified moderate. Most of fishermen took part on monitor the DPL areas such as attention fishermen or people who are around DPL as well as reprimand and report in case of violation. Key words: participation, marine protected area, fishermen
v
TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PROGRAM DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI DESA BAHOI, MINAHASA UTARA
MELISA ANSELA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
vii
Judul Skripsi : Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program Daerah Perlindungan Laut di Desa Bahoi, Minahasa Utara Nama : Melisa Ansela NIM : I34090127
Disetujui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ___________________________
viii
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia yang telah Dia limpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul ”Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program Daerah Perlindungan Laut di Desa Bahoi, Minahasa Utara” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai April 2013. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Siti Amanah, MSc sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada kedua orang tua terkasih, Bapak Robinson Siregar dan Ibu Aderlina Simangunsong yang senantiasa mendoakan dan memberi dukungan kepada penulis, serta kakak Lucy, abang Benny, dan Junior yang senantiasa mendoakan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Daud, Bapak Maxi dan keluarga yang telah membantu penulis selama penelitian, serta seluruh masyarakat Desa Bahoi terkhusus pada 31 orang responden. Penulis juga tidak lupa berterimakasih kepada semua orang terdekat, Lourenza, Vici, Mona, Bonita, Yanti, Sondang, Dippos, Citra, Stefan, Faithy, Ira, Heraldy, Randy dan semua KPMers 46 serta KPAnis yang selalu memberi dukungan dan semangat, serta kepada kedua teman satu bimbingan Intan dan Herna yang berjuang bersama-sama. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013
Melisa Ansela
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xi xi xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis
1 1 3 4 4 5
PENDEKATAN TEORETIS Tinjauan Pustaka Partisipasi Faktor Pendukung Partisipasi Wilayah Pesisir Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Konservasi Laut Masyarakat Pesisir Karakteristik Nelayan Kerangka Pemikiran Definisi Operasional
7 7 7 10 10 12 13 14 15 16 18
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Sampling Teknik Pengambilan Data Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Pengolahan dan Analisis Data
21 21 21 21 22 23 23
GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN MASYARAKAT DESA BAHOI Daerah Perlindungan Desa Bahoi
25 26
KARAKTERISTIK NELAYAN DAN PERAN PARA PIHAK DALAM DPL DI DESA BAHOI Karakteristik Nelayan Aktivitas Nelayan Desa Bahoi dalam Usaha Perikanan Peran Para Pihak dalam DPL di Desa Bahoi
29 29 29 31
TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENETAPAN DPL Partisipasi Nelayan dalam Penetapan DPL berdasarkan Keberadaan Program DPL Partisipasi Nelayan dalam Penetapan DPL berdasarkan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL Partisipasi Nelayan dalam Penetapan DPL berdasarkan Status Sosial Ekonomi
35 35 38 40
x
TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PELAKSANAAN ATURAN DPL Partisipasi Nelayan dalam Pelaksanaan Aturan DPL Berdasarkan Keberadaan Program DPL Partisipasi Nelayan dalam Pelaksanaan Aturan DPL berdasarkan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL Partisipasi Nelayan Dalam Pelaksanaan Aturan DPL Berdasarkan Status Sosial Ekonomi TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM MONITORING PELAKSANAAN DPL Partisipasi Nelayan dalam Monitoring Pelaksanaan DPL berdasarkan Keberadaan Program DPL Partisipasi Nelayan dalam Monitoring Pelaksanaan DPL berdasarkan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL Partisipasi Nelayan dalam Monitoring Pelaksanaan DPL berdasarkan Status Sosial Ekonomi ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PROGRAM DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Hubungan Keberadaan Program DPL dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Hubungan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Hubungan Status Sosial Ekonomi Nelayan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Tingkat Partisipasi Nelayan berdasarkan Jenjang Partisipasi Warga Negara PENINGKATAN PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
43 43 44 45
47 47 48 49
51 51 52 53 54
55 59 59 60 61 65
xi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Hubungan interaksi fungsional pada ekosistem pesisir Definisi operasional Jumlah populasi dan sampel responden berdasarkan penguasaan alat produksi di Desa Bahoi, tahun 2013 Karakteristik nelayan responden berdasarkan usia, pendapatan, dan jenis alat produksi yang digunakan Jenis alat produksi berdasarkan status kepemilikannya di Desa Bahoi, tahun 2013 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam penetapan DPL berdasarkan keberadaan program DPL Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam penetapan DPL berdasarkan pengetahuan nelayan mengenai DPL Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam penetapan DPL berdasarkan status sosial ekonomi Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL berdasarkan keberadaan program DPL Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL berdasarkan pengetahuan nelayan mengenai DPL Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL berdasarkan status sosial ekonomi Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL berdasarkan keberadaan program DPL Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL berdasarkan pengetahuan nelayan mengenai DPL Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL berdasarkan status sosial ekonomi Hasil uji korelasi antara keberadaan program DPL dengan tingkat partisipasi nelayan Hasil uji korelasi antara pengetahuan nelayan mengenai DPL dengan tingkat partisipasi nelayan Hasil uji korelasi antara status sosial ekonomi nelayan dengan tingkat partisipasi nelayan Upaya peningkatan partisipasi nelayan dalam program DPL
11 18 22 29 30
35 38 40 43 44 45
47 48
49 51 52 53 55
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Jenjang partisipasi warga negara Susunan hierarki co-management Kerangka pemikiran tingkat partisipasi nelayan dalam program daerah perlindungan laut Grafik histogram tingkat pendapatan
8 9 17 41
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Peta lokasi Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara Validitas dan reliabilitas kuesioner Kerangka sampling
Peraturan Desa Bahoi No. 02/PD-DB/IV-2003 tentang daerah perlindungan laut Dokumentasi Penelitian
65 65 67 68 69
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang dipersatukan oleh wilayah lautan dengan luas seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km2, mempunyai panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia, terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km2 dan wilayah laut territorial 3,1 juta km2 (KKP 2011). Laut dan pesisir adalah wilayah yang produktif dan mendukung kehidupan masyarakat. Berdasarkan data statistik perikanan budidaya laut merupakan wilayah yang memiliki potensi budidaya dan tingkat pemanfaatan di Indonesia yang paling besar yaitu 12.545,07 untuk potensi lahan budidaya dan 117.649,30 untuk pemanfaatan (KKP 2011). Ekosistem pesisir dapat mendukung penghidupan dan perekonomian suatu negara. Pengelolaan ekosistem yang efektif dapat memberikan manfaat yang baik bagi pemerintah dan masyarakat sekitar daerah pesisir. Pengelolaan ekosistem pesisir menjadi hal yang sangat penting dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat. Pengelolaan yang dilakukan tentu saja merupakan kewajiban dan demi kepentingan bersama. Pengelolaan sumberdaya pesisir yaitu kegiatan mengelola suatu ruang atau sumberdaya serta penggunaan yang terdapat dalam wilayah pesisir (Dahuri et al. 2008). Undangundang No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menyatakan sebagai berikut: “…pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat…” Pengelolaan ekosistem pesisir merupakan kewajiban dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Namun, saat ini seringkali kegiatan pengelolaan ekosistem disuatu wilayah pesisir kurang melibatkan masyarakat setempat. Padahal pada prinsipnya, masyarakat setempatlah yang paling mengetahui kondisi serta kebutuhannya. Masyarakat memang menjadi rezim yang penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, namun rezim sentralisme yang dipegang oleh negara menjadi suatu kekuatan yang menekankan kewenangan kepada negara dalam mengelola sumberdaya alam mulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan pengendalian sumberdaya alam (Satria 2009). Program daerah perlindungan laut merupakan suatu program yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir yang dikelola dengan berbasis masyarakat. Daerah perlindungan laut (DPL) merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraksif/pengambilan (Karlina 2011). Pengelolaan ini disebut berbasis masyarakat karena program berpusat pada masyarakat dan masyarakat sebagai penentu dalam DPL mulai dari perencanaan,
2
pelaksanaan, monitoring, evaluasi sampai tindak lanjut. Sudiyono (2005) mengatakan bahwa pada program DPL masyarakat diikutsertakan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut, dan dengan asumsi bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri. Tujuan dari DPL adalah meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL sekaligus melindungi keanekaragaman makhluk hidup dan terumbu karang di dalam DPL. Keterlibatan masyarakat atau yang lebih sering dikenal dengan istilah partisipasi merupakan kesempatan untuk ikut menentukan kebijaksanaan pembangunan serta menilai hasil pembangunan (Sajogyo 1998). Partisipasi masyarakat menjadi hal yang penting dalam menjaga keberlangsungan suatu sumberdaya pesisir. Partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir, sangat ditentukan oleh berbagai faktor seperti pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan-kegiatan yang mendukung pelestaraian atau pemanfaatan dari sumberdaya pesisir. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan daerah perlindungan laut tentunya akan berdampak pada kehidupan mereka dan lingkungan yang dikelola. Salah satu wilayah di Indonesia yang merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang kaya adalah Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Desa Bahoi memiliki struktur ekosistem wilayah pesisir yang lengkap seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang merupakan pembentuk mata rantai ketahanan pangan laut. Dengan karakterisitik yang dimiliki Desa Bahoi, maka desa ini dipilih sebagai Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut sejak 2002 dan mendapat kekuatan formal setelah ditetapkan melalui Peraturan Desa Bahoi No. 02/PDDB/IV-2003 sebagai Daerah Perlindungan Laut, maka ekosistem yang terdapat di wilayah ini dapat terkelola dengan baik. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Bahoi adalah nelayan yang secara langsung memanfaatkan laut dan pesisir. Dengan profesi mereka sebagai nelayan yang memanfaatkan hasil laut, mereka pun harus turut dalam mengelola kelestarian wilayah pesisir. Pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan masyarakat yaitu melalui daerah perlindungan laut yang menetapkan daerah “larang ambil”. Keberlanjutan wilayah DPL tentunya sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat khususnya nelayan karena program ini berkaitan dengan aktivitas menangkap ikan yang mereka lakukan. Nelayan dilibatkan dalam seluruh tahapan kegiatan dalam program DPL. Dalam setiap tahapan, keterlibatan nelayan sangat mempengaruhi keputusan dan keberlanjutan program. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud menganalisis tingkat partisipasi nelayan dalam program daerah perlindungan laut.
3
Perumusan Masalah Desa Bahoi merupakan desa dengan kawasan DPL yang cukup baik bila dibandingkan dengan desa-desa yang ada disekitarnya seperti Desa Mubune, Desa Munte, dan Desa Serei. Hingga saat ini DPL Desa Bahoi masih tetap terjaga dan batasan-batasannya pun masih jelas walaupun sempat diputus oleh nelayannelayan yang kurang setuju, namun kelompok pengelola DPL langsung mengatasinya dan memasang kembali batas-batas tersebut yang terbuat dari pelampung. Keberlanjutan DPL dapat bertahan hingga saat ini tentunya tidak lepas dari peran serta masyarakat dan adanya kelompok DPL. Masyarakat mengikuti setiap aturan yang berlaku. Namun peran yang sangat berpengaruh dalam keberlanjutan DPL yaitu peran ketua kelompok. Ketua kelompok sangat menjaga kawasan DPL dan melarang nelayan atau siapapun yang melintas tanpa ada izin yang jelas serta tidak segan untuk menegur setiap pelanggar. Selain itu, masyarakat pun ikut mengawasi DPL saat mereka sedang melaut atau kebetulan melihat ada orang yang melanggar. Keberadaan DPL sangat berperan dalam menjaga lingkungan karena dengan adanya program ini, biota laut terjaga dari pengambilan serta pemanfaatan yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan. Program DPL merupakan program yang dinisiasi pemerintah bersama United States Agency for International Development (USAID). Program ini sangat menuntut peran serta masyarakat khususnya nelayan karena merekalah yang berhubungan secara langsung dengan laut sebagai sumber mata pencaharian. Dalam Manembu (2004) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi kegiatan pembangunan yang dirumuskan dan dikendalikan oleh pemerintah. Program DPL merupakan program yang berbasiskan masyarakat. Masyarakat diikutsertakan dalam tahapan-tahapan yang dilaksanakan sebelum DPL disahkan berupa sosialisasi, pembentukkan kelompok, survey lokasi, penentuan lokasi, pembuatan aturan-aturan dan sanksi. Dengan adanya kegiatan-kegiatan ini maka akan dilihat bagaimana hubungan antara tahapan kegiatan program dengan partisipasi nelayan terhadap DPL. Keterlibatan nelayan dalam pelaksanaan program DPL tidak hanya sebatas mengikuti sosialisasi dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berupa kegiatan sebelum DPL disahkan namun, nelayan juga diharapkan menaati setiap aturan yang berlaku dalam DPL. DPL dibentuk bukan hanya untuk melindungi biota laut dari pengambilan dan pemanfaatan yang berlebihan serta tidak ramah lingkungan namun juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa laut perlu dijaga keberlanjutannya karena sumberdaya laut pun memiliki keterbatasan. Pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi (Schrool 1984). Program daerah perlindungn laut memiliki konsep yang sepaham dengan pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat (PSPT-BM) yang merupakan sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dan masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya tersebut, pengelolaan meliputi perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasilnya (Zamany 2000). Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat sangat diharapkan partisipasi masyarakat yang aktif mulai dari proses studi awal sampai kepada evaluasi. Pomeroy dan Williams (1994) mengatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan PSPT-BM adalah
4
pengetahuan masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat akan meningkatkan kemampuan dan kepedulian mereka. Berdasarkan hal tersebut maka akan dilihat bagaimana hubungan antara pengetahuan nelayan mengenai DPL dengan partisipasi nelayan terhadap DPL. Nelayan merupakan individu yang secara langsung memanfaatkan potensi laut dan menjadikan laut sebagai sumber mata pencahariannya. Walaupun mereka memiliki sumber mata pencaharian yang sama, tetapi tentunya mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Latar belakang ini meliputi alat produksi yang digunakan dan pendapatan. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu berbasis masyarakat merupakan sistem pengelolaan yang mensyaratkan pendekatan interdisiplin ilmu, meliputi bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan bidang lainnya yang relevan (Dahuri et al. 2008). Komponen sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan hal yang penting untuk diketahui dalam penerapan konsep pengeloaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat, dalam peneltian ini adalah DPL. Sumberdaya manusia meliputi, sosial ekonomi masyarakat (Zamani dan Darmawan 2000). Berdasarkan hal tersebut maka akan dilihat bagaimana hubungan antara status sosial ekonomi nelayan dengan partisipasi nelayan terhadap DPL.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Menjelaskan tahapan kegiatan program DPL, pengetahuan nelayan, dan status sosial ekonomi nelayan. 2. Menganalisis hubungan program DPL, pengetahuan nelayan, dan status sosial ekonomi nelayan dengan partisipasi nelayan dalam program DPL. 3. Menjelaskan upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan partisipasi dalam DPL. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi nelayan dalam program Daerah Perlindungan Laut, serta dapat dikaji lebih mendalam tentang aspek lain dari DPL seperti dampak ekonomi dan lingkungannya. 2. Bagi pemerintah dan swasta dapat meningkatkan pengelolaan ekosistem pesisir dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dan tetap menjaga kelestarian lingkungan pesisir. 3. Bagi masyarakat, semoga penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran mengenai pengelolaan ekosistem pesisir sehingga dapat menunjang perekonomian.
5
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang dapat ditarik oleh peneliti sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara tahapan kegiatan program DPL yang mencakup strategi sosialisasi, aktivitas DPL, dan pendampingan dengan partisipasi nelayan terhadap DPL. 2. Terdapat hubungan antara pengetahuan nelayan terhadap DPL yang mencakup pengetahuan tentang konservasi laut dan pemahaman mengenai aturan DPL dengan partisipasi nelayan terhadap DPL. 3. Terdapat hubungan antara status sosial ekonomi nelayan yang mencakup penguasaan alat produksi dan tingkat pendapatan dengan partisipasi nelayan terhadap DPL.
6
7
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Partisipasi Partisipasi merupakan konsep umum yang memiliki arti keikutsertaan atau mengambil bagian. Partisipasi adalah kesempatan untuk ikut menentukan kebijaksanaan pembangunan serta menilai hasil pembangunan (Sajogyo 1998). Partisipasi tiap individu dalam mengikuti suatu kegiatan atau program tentunya memiliki tingkatan yang berbeda. Menurut Cohen dan Uphoff (1977), tingkatan partisipasi dapat dibedakan berdasarkan: 1. Tahap perencanaan, yaitu partisipasi yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memberikan pendapat dalam menilai suatu rencana yang akan ditetapkan. Masyarakat juga diberi kesempatan untuk mempertimbangkan suatu keputusan yang akan diambil. Dengan mengikutsertakan masyarakat dalam mengambil keputusan maka mereka mengalami pendidikan dalam menentukan masa depannya secara demokrasi. 2. Tahap pelaksanaan, yaitu partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan. Pada tahap ini masyarakat diikutsertakan dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang disepakati. Partisipasi dalam tahap ini dapat dilihat dari, jumlah anggota masyarakat yang ikut berpartisipasi, bentuk barang atau jasa yang dipartisipasikan, pelaksanaan partisipasi langsung atau tidak, dan semangat untuk berpartisipasi. 3. Tahap menikmati hasil, yaitu partisipasi dalam memanfaatkan atau menggunakan hasil-hasil pembangunan. Dalam tahap ini merupakan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. 4. Tahap evaluasi, yaitu partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Partisipasi ini merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Tingkatan partisipasi masyarakat pun digambarkan dengan empat jenis kerjasama strategik yang didefinisikan oleh Kementrian Sumber Daya Alam Ontario (1995) yang dikutip oleh Bruce et al. (2007), antara lain: 1. Kontribusi (support sharing), bertujuan untukmenyalurkan dana untuk suatu program dan pembagian kekuasaannya yaitu pemerintah memegang kontrol tetapi kontributor mengajukan usulan atau sepakat dengan tujuan program. 2. Operasional (working sharing), yang bertujuan mengijinkan peserta untuk bekerjasama dan bertukar informasi dalam program dan pembagian kekuasaannya yaitu pemerintah memegang kontrol, peserta dapat mempengaruhi keputusan melalui kesertaan praktis. 3. Konsultatif (advisory), mendapatkan masukan kebijakan dan strategi serta merancang program evaluasi dan penyesuaian. Pembagian kekuasaan strategiknya yaitu, pemerintah mempertahankan kontrol, pemilikan dan resiko tapi terbuka terhadap masukan para peserta dan stakeholder.
8
4. Kolaboratif (decision making), meningkatkan kerjasama dalam perumusan kebijakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyesuaian. Pembagian kekuasaan strategiknya yaitu, kekuasaan, pemilikan, dan resiko dibagi bersama. Menurut Arnstein (1969) ada delapan jenjang partisipasi warga negara. Jenjang partisipasi tersebut antara lain: Kontrol warga negara Kekuasaan didelegasikan
Derajat kekuatan negara
Kemitraan Menenangkan Konsultasi
Derajat Tokenisme
Menginformasikan Terapi Manipulasi
Non-Partisipasi
Sumber: Arnstein (1969) Gambar 1 Jenjang partisipasi warga negara Tipologi partisipasi ini menjelaskan bahwa partisipasi dapat berkisar dari manipulasi sampai kepada warga negara yang memiliki kontrol sendiri untuk menentukan keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi hidupnya. Delapan tingkatan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Tingkat manipulasi bertujuan untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukan tingkat partisipasi masyarakat yang murni. 2. Tingkat terapi yaitu tingkatan yang berpura-pura untuk mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan. 3. Tingkat menginformasikan yaitu memberikan hak, tanggung jawab, dan pilihan kepada masyarakat namun seringkali penyampaian informasi dari penguasa kepada masyarakat bersifat satu arah dan masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan pendapat atau umpan balik. 4. Tingkat konsultasi merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat masyarakat akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini yaitu jajak pendapat, pertemuan warga dan dengar pendapat. 5. Tingkat menenangkan merupakan tingkatan yang memperlihatkan bahwa masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak menjamin bahwa mereka akan diperhatikan. Masyarakat diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya namun tetap saja pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan.
9
6. Tingkat kemitraan disalurkan melalui negoisasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Kedua pihak ini sama-sama bertanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Tingkatan ini akan berjalan efektif apabila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpin yang bertanggung jawab. 7. Tingkat kekuasaan didelegasikan yaitu tingkatan yang memberikan kedudukan kepada masyarakat sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan, selain itu juga masyarakat memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. 8. Tingkat kontrol warga negara yaitu tingkatan yang memberikan jaminan kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan dan diberi tanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga yang akan mengadakan perubahan. Masyarakat memiliki hubungan langsung dengan sumber-sumber dana tanpa melewati pihak ketiga. Tingkat manipulasi dan terapi termasuk dalam level “non-partisipasi” yaitu inisiatif pembangunan tidak ditujukan untuk memberdayakan masyarakat akan tetapi memberikan kekuasaan kepada pemegang kekuasaan untuk membantu atau “mendidik” masyarakat. Tingkat menginformasikan, konsultasi dan menenangkan termasuk dalam level “tokenisme” yaitu masyarakat mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapatanya akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat mereka akan diakomodasi. Tingkatan menenangkan merupakan tingkatan yang tertinggi karena pada tingkatan ini masyarakat dapat memberikan pendapatnya kepada pemegang kekuasaan, tetapi penentuan keputusan tetap pada pemegang kekuasaan. Level yang terakhir adalah level kekuatan negara yang terdiri dari tingkat kemitraan, kekuasaan didelegasikan dan kontrol warga negara. Pada tingkatan kemitraan masyarakat dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan sedangkan pada tingkatan kekuasaan yang didelegasikan dan kontrol masyarakat memegang mayoritas dalam pengambilan keputusan dan kekuatan pengelolaan. Partisipasi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dikenal dengan istilah fisheries co-management. Istilah fisheries co-management diperkenalkan oleh Pomeroy dan Williams (1994) melalui penelitiannya di Filipina. Fisheries co-management secara spesifik bertujuan untuk mengatur pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, nelayan lokal, dan komunitas untuk mengatur keberhasilan pengelolaan perikanan.
10
Pengelolaan Pemerintah Pengelolaan Masyarakat
Sentralisasi Penguasaan pengelolaan oleh pengelolaan Pemerintah masyarakat
Co-management Informing Consultation Cooperation
dan
Communication Information exchange Advisory role Joint action Partnership Community control Interarea coordination
Sumber: Berkes (1994) dikutip Pomeroy dan Williams (1994) Gambar 2 Susunan hierarki co-management Hierarki dalam fisheries co-management yaitu konsultasi yang dilakukan oleh nelayan dengan pemerintah sebelum peraturan-peraturan yang telah dirancangkan oleh nelayan dilaksanakan dan memperoleh pengesahan secara hukum, maka harus mendapat masukan dari pemerintah. Co-management dapat memberikan mekanisme pengelolaan bagi nelayan dan masyarakat serta untuk peningkatan pendapatan melalui partisipasi yang aktif dalam menyelesaikan permasalahan dan menentukan kebutuhan.
Faktor Pendukung Partisipasi Kondisi yang mendorong adanya partisipasi oleh masyarakat dalam Ife dan Tesoriero (2006), diantaranya: pertama, isu atau aktivitas yang dianggap penting oleh masyarakat akan mempengaruhi partisipasi mereka. Kedua, yaitu orang-orang tersebut harus merasa bahwa apa yang menjadi aktivitas mereka akan membuat suatu perubahan. Ketiga, apapun bentuk partisipasi yang dilakukan harus dihargai. Keempat, kondisi dimana orang harus bisa berpartisipasi dan mendapatkan dukungan. Kondisi yang terakhir yaitu, struktur dan proses tidak boleh mengucilkan individu atau pihak tertentu karena setiap individu atau kelompok memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dalam penelitian Primatianti (2002), terbagi atas dua yaitu faktor internal yang meliputi pendapatan, umur, pendidikan, status penduduk (asli/pendatang), jumlah anggota keluarga, dan lama
11
tinggal, dan faktor eksternal yang meliputi, sarana dan prasarana, bantuan, modal, pelatihan, dan pembinaan. Partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, 1) keadaan sosial masyarakat yang meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan, dan kedudukan sosial dalam sistem sosial, 2) kegiatan pembangunan yang merupakan kegiatan yang dirumuskan dan dikendalikan oleh pemerintah, dan 3) keadaan alam sekitar yang meliputi fakor fisik atau keadaan geografi daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat tersebut (Manembu 2004). Wilayah Pesisir Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Batasan pengertian wilayah pesisir dapat dijelaskan berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekologi dan perencanaan. Pendekatan secara ekologis, kawasan pesisir sebagai wilayah yang memiliki fungsi utama yaitu fungsi lindung atau budi daya. Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan buatan (UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang). Pendekatan dari segi perencanaan yaitu pengelolaan sumber daya difokuskan pada penanganan suatu masalah yang akan dikelola secara bertanggung jawab. Ekosistem pesisir merupakan kesatuan komunitas tumbuhan, hewan, organisme dan non-organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas (UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Sumber daya pesisir memiliki potensi pembangunan secara garis besar yang terdiri dari tiga kelompok, 1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), 2) sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), 3) jasa-jasa lingkungan (environmental resource) (Dahuri et al. 2008). Wilayah pesisir memiliki banyak ekosistem yang terdapat didalamnya. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami antara lain: terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-capres, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta atau buatan antara lain: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2008). Tabel 1 Hubungan interaksi fungsional pada ekosistem pesisir Tipe-tipe ekosistem
1) Pantai berpasir 2) Pantai berbatu 3) Terumbu karang
Penjelasan
Kemampuan jasa
Dipantai terbuka, jauh dari muara sungai (estuari) Terbuka kena ombak Diperairan jernih, perairan dangkal, kedalaman 200 m; sangat peka kekeruhan,
Bisa sebagai tempat bersarang penyu Kaya biodiversitas Sangat produktif, tempat berbiak, berlindung ikanikan, kerapu, tuna, kakap, udang,
Potensi pemanfaatan jasa ekosistem Rekreasi Konservasi
Potensi ancaman
Rekreasi
Perusakan habitat Tambang pasir Tumpahan minyak Erosi pantai
Konservasi Pariwisata Perikanan Perlindungan pantai, pulau-
Tangkapan ikan berlebih, racun ikan, pemboman, penambangan karang, erosi dari
12
kenaikan suhu, pencemaran, sedimentasi
penyu, biota laut lain, rumput laut
4) Padang lamun rumput laut
Terdapat diantara terumbu karang dan mangrove (bakau)
5) Pantai berlumpur
Terdapat disekitar muara sungai (estuari) Pertemuan air tawar dan laut (perairan payau)
Sangat produktif, tempat berbiak, tumbuh, berlindung ikan, udang, kepiting dan biota laut lain, kaya nutrisi alami Produktivitas biologis tinggi, kaya siklus nutrisi. Sangat produktif, kaya nutrisi, berbiak ikan, udang, kepiting, Kaya udang, kepiting, tempat beberapa mamalia, reptil, burung; produksi primer sangat tinggi
6) Estuari/delta
7) Mangrove (hutan bakau)
8) Hutan rawa pasang surut
9) Laguna
Terdapat disekitar muara sungai, tempat berlumpur, bau sulfur, perangkap debris sampah, kaya nutrisi, pencegah erosi, pelindung pantai Sepenuhnya mangrove atau didominasi tumbuhan nipah
Agak tertutup, sedikit terbuka, jalan masuk dari laut dapat berubah-ubah Sumber: Nganro dan Suantika (2009)
Siklus nutrisi tinggi, tempat makan ikan, udang, kepting saat pasang naik. Perangkap sedimen Produktivitas ikan, udang, kepiting, tempat berbiak secara alami biota laut lain
pulau kecil dari gelombang besar dan kenaikan muka laut Sumber makanan, farmasi, kosmetik, industri biotek dan sumber energi biofuel.
Konservasi
Jalur pelayaran, Akuakultur, Perikanan tradisional Sumber kayu untuk konstruksi, reklamasi lahan, akuakultur, pariwisata, industri biotek dan perlindungan bentuk pantai Sumber kayu, rumah tradisional. Reklamasi lahan basah, tempat akuakultur dan sumber gula atau bioethanol Pariwisata, Navigasi, Tangkap ikan, Budidaya.
penggundulan vegetasi di darat
Tangkapan ikan berlebih, perusakan karang dan mangrove, pencemaran minyak, sedimentasi Perusakan habitat, pencemaran minyak Sampah, Pencemaran Banjir, Sedimentasi Tumpahan minyak, pestisidapupuk dari pertanian, pembabatan kayu mangrove, pembukaan tambak berlebihan Tumpahan minyak Pestisida-pupuk berlebih dari pertanian, Pembabatan nipah/bakau Pencemaran
Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Daerah Perlindungan Laut-Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat (COREMAP 2006 dikutip Salim 2011). Daerah perlindungan laut adalah kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraksif/pengambilan (Karlina 2011). Kasmidi et al. (1999), menyatakan bahwa Daerah Perlindungan Laut/Marine Sanctuary adalah kawasan laut (terdiri dari terumbu karang, lamun dan hutan bakau baik sebagian atau seluruhnya), dikelola dan dilindungi secara hukum melalui keputusan desa dengan tujuan untuk melindungi keunikan, keindahan dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau keduanya dan
13
kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan kecuali kegiatan, pendidikan dan wisata terbatas (snorkel dan menyelam). Menurut COREMAP II (2009) dikutip Salim 2011, DPL-BM memiliki zona inti yaitu suatu areal yang didalamnya tidak diperbolehkan ada kegiatan penangkapan ikan serta pengambilan sumberdaya lainnya, serta zona penyangga yaitu suatu kawasan yang disekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan termasuk penangkapan ikan. Namun, keputusan pelarangan ditetapkan oleh keinginan masyarakat itu sendiri. Tujuan pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah untuk meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL sekaligus melindungi keanekaragaman makhluk hidup di laut dan terumbu karang di dalam kawasan DPL. Pelaksanaan program ini melibatkan masyarakat secara keseluruhan yang menempati kawasan tersebut. Sudiyono (2005) menjelaskan bahwa pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat memiliki tujuan, yaitu:
1. Meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar kawasan perlindungan. 2. Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati kawasan pesisir dan laut seperti kenaekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan serta organisme lainnya. 3. Kawasan tersebut dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata. 4. Mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. 5. Memperkuat kemampuan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya. 6. Mendidik masyarakat dalam hal perlindungan sehingga meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban untuk mengambil peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari. 7. Kawasan tersebut dapat dijadikan sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut bagi masyatakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manembu (2004), tahapan program daerah perlindungan laut berbasis masyarakat terdiri dari sembilan tahapan, diantaranya: 1. Sosialisasi program yang bertujuan untuk memasyarakatkan program dan memperoleh dukungan masyarakat. Hasil yang diharapkan dari tahapan ini yaitu teridentifikasinya isu-isu pengelolaan pesisir di dalam masyarakat. Kegiatan sosialisasi ini berupa, pertemuan-pertemuan formal maupun informal mengenai program yang dilaksanakan oleh penyuluh lapangan/pendamping masyarakat. 2. Pembentukan kelompok masyarakat yang merupakan wujud komitmen masyarakat yang telah dibuat dalam tahap sosialisasi. Kelompok pengelolan DPL-BM adalah kelompok yang mengkoordinasikan pelaksanaan pengelolaan DPL-BM. Kelompok ini bersama-sama dengan pemerintah desa berperan dalam mengusulkan dan menyepakati rencana kerja tahunan, melaksanakan rencana kerja, serta membuat laporan dan evaluasi keberhasilan pelaksanaan rencana kerja. Pemilihan kelompok yang terdiri dari masyarakat nelayan itu sendiri dibentuk berdasarkan musyawarah desa. 3. Perencanaan program yaitu tahapan masyarakat melaksanakan pemilihan lokasi DPL-BM serta menentukan sistem biaya masuk dan sanksi bagi
14
4. 5. 6.
7.
8.
9.
pelanggar aturan DPL-BM. Pemilihan lokasi ini biasanya merupakan hasil kompromi antar pertimbangan kebutuhan praktis (kemudahan pengelolaan) dan prinsip-prinsip konservasi. Survei lokasi kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan lokasi konservasi yang paling sesuai dengan tujuan dari DPL-BM yang telah ditentukan. Pelatihan yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan menambah wawasan bagi masyarakat tentang pengelolaan DPL. Persiapan pelaksanaan yang meliputi persiapan dan pengecekan terhadap segala perlengkapan dan kebutuhan yang akan dipakai pada tahap pelaksanaan, serta pertemuan-pertemuan dan konsultasi masyarakat dan pembuatan peraturan DPL-BM. Pelaksanaan merupakan tahap penentuan dari keberhasilan dan keberlanjutan program. Tahap pelaksanaan ini dimulai dengan peresmian DPL-BM secara formal oleh pemerintah (Bupati atau Gubernur). Setelah itu dilaksanakan serangkaian kegiatan diantaranya; 1) pemasangan tanda batas yang kemudian dijaga sesuai kesepakatan, 2) pendirian papan informasi, 3) pengembangan rencana pengelolaan, 4) pertemuan kelompok yang dilaksanakan secara rutin, 5) pemantauan biota yang dilindungi, 6) pelaksanaan penegakan hukum, 7) sanksi diberikan kepada pelanggar aturan, dan 8) pelaksanaan penyuluhan dan pendidikan umum diteruskan. Monitoring dan evaluasi merupakan aspek yang penting dalam DPL-BM. Kegiatan ini dapat memberikan informasi tentang efektifitas pelaksanaan kegiataan dan tingkat pencapaian tujuan jangka panjang, seperti perbaikan kondisi ekosistem habitat pesisir dan peningkatan produksi perikanan karang. Analisis dampak program, yaitu melihat perubahan kondisi biota dan manfaat yang diperoleh dari pembentukan DPL-BM.
Konservasi Laut Konservasi laut merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya, melindunginya, mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya. Peran kawasan konservasi menurut Agardy dan Barr et al. (1997) dikutip Bengen (2001) yaitu: 1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem. 2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran, dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. 3. Menyediakan tempat rekerasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. 4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya
15
konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut. 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Hal penting yang yang harus dilakukan dalam penetapan kawasan konservasi laut adalah penetapan kawasan. Penetapan kawasan konservasi penting untuk menentukkan sistem pengelola kawasan tersebut. Bengen (2001) menyatakan bahwa, zona kawasan konservasi terbagi atas tiga zona, yaitu: 1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi dan sangat rentan terhadap perubahan serta hanya mentolerir sedikit aktivitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi dan tidak diijinkan kegiatan mengeksploitasi. 2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol dan beberapa untuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga ini ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat menganggu dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal. 3. Zona pemanfaatan: lokasi zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.
Masyarakat Pesisir Dahuri (2000) menyatakan bahwa masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang tinggal di wilayah pesisir dan sumber kehidupan serta perekonomiannya bergantung secara langsung pada sumberdaya laut dan pesisir. Undang-undang No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan PulauPulau Kecil, menyatakan bahwa, masyarakat pesisir terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan kehidupannya sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, serta adanya hubungan yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, dan adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politk, sosial dan hukum. Masyarakat merupakan pihak yang sangat penting dalam program penetapan daerah perlindungan laut karena program ini sangat mementingkan keterlibatan masyarakat secara aktif. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan atau program dipengaruhi dengan pengetahuan mereka akan program tersebut. Pengetahuan merupakan pengertian dan peningkatan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan atau pengalaman (Oxford 2000). Menurut Schrool (1984),
16
masyarakat akan berpartisipasi apabila mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang tingkat kegiatan. Hal ini dapat dibuktikan dalam penelitian Manembu (2004), bahwa hanya masyarakat yang mempunyai kesadaran dan tingkat pemahaman lingkungan yang memadai, yang memperlihatkan tingkat partisipasi yang lebih baik dalam setiap kegiatan DPL.
Karakterististik Nelayan Nelayan merupakan orang yang memiliki mata pencahariaan sebagai penangkap ikan (UU No 45/2009 tentang Perikanan). Sahri et al. (2006) menyatakan bahwa aksesibilitas sosial ekonomi nelayan kecil dibagi menjadi menjadi lima modal diantaranya, a) modal sumberdaya manusia yaitu pengetahuan nelayan tentang penangkapan ikan misalnya menggunakan alat tangkapan sederhana dan ada juga yang dilarang, b) modal sumberdaya alam yaitu stok ikan sebagai salah satu aset nelayan kecil pada saat ini dalam kondisi yang sangat kritis, c) modal ekonomi yaitu kemampuan nelayan mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha, d) modal fisik yaitu keberadaan pangkalan pendaratan ikan yang berfungsi untuk tempat pendaratan kapal ikan, tempat memperbaiki jaring, tempat pelelangan dan penjemuran ikan, e) modal sosial yaitu integritas sosial yang tinggi dalam masyarakat. Penggolongan sosial masyarakat nelayan dalam Kusnadi (2002), dapat dibedakan atas tiga yaitu, 1) pembagian dari segi penguasaan alat produksi (perahu, jaring, dan perlengkapan lainnya) dan strukturnya terbagi atas nelayan pemilik dan nelayan buruh, 2) ditinjau dari skala investasi modal usahanya dan strukturnya terbagi atas nelayan besar (modal investasi besar) dan nelayan kecil (modal investasi kecil), 3) ditinjau dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang dipakai terbagi atas nelayan modern (teknologi canggih) dan nelayan tradisional (alat tradisional). Berdasarkan penelitian Herdian (2003), struktur masyarakat nelayan terbagi atas dua yaitu, nelayan pemilik alat-alat produksi/penangkapan yang dikenal dengan istilah “juragan” dan buruh nelayan yaitu orang yang secara aktif melakukan usaha dalam perikanan laut tetapi tidak memiliki sarana penangkapan (alat-alat produksi) serta menerima upah atau imbalan atas jasa yang diberikannya.
17
Kerangka Pemikiran
Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang diterapkan pada Desa Bahoi adalah pengelolaan dengan prinsip daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Pengelolaan ini melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam tahapannya mulai dari perumusan isu-isu permasalahan sampai kepada evaluasi kegiatan-kegiatan yang telah disepakati bersama. Daerah perlindungan laut ini sama halnya dengan daerah konservasi yang tidak boleh diambil sumberdayanya oleh masyarakat, tetapi dijaga. Tujuan penetapan daerah perlindungan laut adalah untuk menjaga keanekaragaman hayati sumberdaya yang dilindungi serta meningkatkan produksi perikanan. Tujuan ini tentunya akan tercapai apabila seluruh komponen turut serta dalam melakukan tahapan-tahapan dalam DPL mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan kegiatan, menikmati hasil, serta evaluasi atas rencana kegiatan yang sudah dilakukan. Keberhasilan dari program ini tentunya sangat dipengaruhi oleh keterlibatan seluruh masyarakat secara aktif. Bentuk partisipasi masyarakat dalam penetapan kawasan perlindungan laut, berupa penetapan kawasan, melaksanakan aturan, dan monitoring pelaksanaan DPL. Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan mulai dari kehadiran, pemberian pendapat, pengambilan keputusan, dan bertanggung jawab bersama kelompok pengelola serta tim dari luar dalam pengelolaan DPL. Partisipasi masyarakat ini dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu masyarakat yang berpartisipasi rendah, berpartisipasi sedang dan berpartisipasi tinggi. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan daerah perlindungan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut terbagi atas tiga konsep yaitu, tahapan kegiatan program DPL, pengetahuan nelayan mengenai DPL, dan status sosial ekonomi nelayan. Program DPL dilihat berdasarkan strategi sosialisasi, aktivitas DPL, dan pendampingan. Pengetahuan nelayan dilihat berdasarkan pengetahuan tentang konservasi laut dan pemahaman tentang aturan DPL. Status sosial ekonomi nelayan dilihat berdasarkan penguasaan alat produksi dan tingkat pendapatan. Keterlibatan masyarakat mulai dari perumusan isu masalah sampai dengan evaluasi DPL sangat dibutuhkan untuk mendukung keberlanjutan DPL. Keterlibatan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya didasari oleh keinginan mereka, tetapi juga memerlukan peran pendampingan dari fasilitator yang kompeten. Fasilitator dapat mendampingi masyarakat mulai dari proses penyampaian informasi yang terkait dengan DPL atau sumberdaya perikanan, pemantauan langsung ke lokasi DPL, penyuluhan mengenai manfaat menjaga dan merawat kawasan DPL dan sekitarnya, hingga memberikan pelatihan yang meningkatkan keterampilan serta mampu menambah pendapatan mereka.
18
X1 Tahapan Kegiatan Program Daerah Perlindungan Laut X1.1 Strategi Sosialisasi X1.2 Aktivitas DPL
X1.3 Pendampingan
X2 Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL X2.1 Pengetahuan Tentang Konservasi Laut X2.2 Pemahaman Tentang
Y1Tingkat Partisipasi Nelayan Y1.1 Penetapan DPL Y1.2 Melaksanakan Aturan DPL Y1.3 Monitoring pelaksanaan DPL
Aturan DPL X3 Status Sosial Ekonomi Nelayan X3.1 Penguasaan Alat Produksi X3.2 Tingkat Pendapatan
Keterangan : Berhubungan
Gambar 3 Kerangka pemikiran tingkat partisipasi nelayan dalam program daerah perlindungan laut
19
Definisi Operasional Tabel 2 Definisi operasional Variabel/ Indikator X1 Tahapan Kegiatan Program Daerah Perlindungan Laut
X1.1Strategi Sosialisasi (awarness) µ = 12 =6 X1.2 Aktivitas DPL µ=6 =3
X1.3 Pendampingan µ=7 =3
Definisi Operasional Program yang menetapkan kawasan laut sebagai daerah yang dilindungi dari kegiatan penangkapan Penyebarluasan informasi tentang DPL dan perencanaan DPL bersama masyarakat Proses yang dilakukan setelah merencanakan suatu kegiatan dalam program daerah perlindungan laut. Pelaksanaan yang dilakukan berupa memasang tanda batas, membuat papan informasi, pertemuanpertemuan dengan kelompok DPL, monitoring biota laut yang dilindungi, penyuluhan mengenai pengelolaan DPL, dan pelatihan-pelatihan Proses mendampingi dalam seluruh tahapan program DPL yang dilakukan oleh pengurus atau pihak yang terkait dengan program DPL. Pendampingan meliputi penyampaian informasi, pertemuanpertemuan yang membicarakan tentang pengelolaan pesisir, pembentukan kelompok pengelola DPL, penetapan kawasan, survei lokasi, penyampaikan informasi terkait pembagian kawasan, menetapkan aturan
Kategori
Skala Pengukuran
Tinggi: 13 – 18 Sedang: 7 – 12 Rendah: ≤ 6
Ordinal
Tinggi: 7 – 9 Sedang: 4 – 6 Rendah: ≤ 3
Ordinal
Tinggi: 8 – 10 Sedang: 5 – 7 Rendah: ≤ 4
Ordinal
20
Tabel 2 (Lanjutan) Variabel/ Indikator
X2 Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL
X2.1 Pengetahuan Tentang Konservasi Laut µ=5 =3 X2.2 Pemahaman Tentang Aturan Dpl µ = 12 =6
X3 Status Sosial Ekonomi Nelayan
X3.1 Penguasaan Alat Produksi
Definisi Operasional dan sanksi, monitoring biota laut, pendampingan saat ada yang melanggar aturan. Pengertian yang dimiliki oleh nelayan terkait dengan pengetahuan tentang konservasi laut dan pemahaman tentang aturan DPL Pemahaman mengenai konsep konservasi laut yang mencakup tujuan konservasi, peran daerah konservasi, dan pembagian zona konservasi. Tingkat pengetahuan mengenai aturan-aturan dalam penetapan DPL yang mencakup aturanaturan serta sanksi yang berlaku apabila mereka melakukan pelanggaran. Pemahaman yang dimiliki oleh nelayan mencakup tujuan, fungsi, dan manfaat dari ditetapkannya kawasan DPL. Kondisi sosial dan ekonomi nelayan dalam masyarakat yang mempengaruhi nelayan dalam berpartisipasi, hal ini akan dilihat melalui penguasaan alat produksi dan tingkat pendapatan. Keadaan atau kemampuan nelayan dalam kepemilikan alat produksi (perahu, jaring, dan perlengkapan lainnya). Nelayan terbagi atas, nelayan pancing, jaring
Kategori
Skala Pengukuran
Tinggi: 3 – 5 Rendah: 1 - 2
Ordinal
Tinggi: 13 – 17 Sedang: 7 – 12 Rendah: ≤ 6
Ordinal
Nelayan Pancing, kode 1 Nelayan Jaring, kode 2 Nelayan Perahu Lampu, kode 3
Nominal
21
dan perahu lampu.
Tabel 2 (Lanjutan) Variabel/ Indikator X3.2 Tingkat Pendapatan µ = 1 629 892,42 = 780 927,68
Y1 Partisipasi
Y1.1 Penetapan DPL µ = 19 = 9
Y1.2 Melaksanakan Aturan DPL µ = 21 = 11 Y1.3 Monitoring Pelaksanaan DPL µ = 20 = 10
Definisi Operasional
Kategori
Penghasilan yang diperoleh nelayan dari kegiatan melaut.
Rendah : mean-standar deviasi; < Rp 848 964,73 Sedang :Rp 848 964,71- Rp 2 410 820,10 Tinggi : mean+standar deviasi, skor 2; >Rp 2 410 820,10
Ordinal
Tinggi: 20-28 Sedang: 10-19 Rendah: ≤ 9
Ordinal
Tinggi: 22-32 Sedang: 11-21 Rendah: ≤ 10
Ordinal
Tinggi: 21-30 Sedang: 11-20 Rendah: ≤ 10
Ordinal
Keikutsertaan nelayan dalam seluruh kegiatan DPL, meliputi penetapan DPL, pelaksanaan aturan, dan monitoring DPL. Proses dalam menentukan kawasan DPL di suatu wilayah laut yang melibatkan masyarakat setempat karena menyangkut aktifitas melaut dan menetapkan aturan serta sanksi yang berlaku dalam penetapan kawasan DPL. Keterlibatan nelayan menaati aturan yang berlaku dalam kawasan DPL Keterlibatan nelayan untuk ikut memperhatikan kawasan DPL, dan nelayan yang melaut disekitar kawasan DPL, serta mengevaluasi keberhasilan DPL.
Skala Pengukuran
22
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survei. Penelitian yang menggunakan metode survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun dan Effendi 2008). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendukung hasil dari survei dan menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dilacak melalui kuesioner. Kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam kepada informan (ketua kelompok DPL, kepala desa, dan tokoh masyarakat). Data yang diperoleh melalui pendekatan kuantitatif merupakan data yang dapat disimpulkan dalam angka dan persentase untuk melihat hubungan antar variabel. Di sisi lain data kualitatif berupa pandangan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tentang pengelolaan daerah perlindungan laut yang sulit dikuantitatifkan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan desa yang memiliki daerah perlindungan laut pada wilayah garis kepolisian lautnya. Pada program daerah perlindungan laut masyarakat dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan, maka hal inilah yang akan dilihat yaitu tingkat partisipasi masyarakat khususnya nelayan. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2013. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data teks, numerik, dan gambar. Data teks meliputi sejarah terbentuknya DPL Desa Bahoi, Peraturan Desa Bahoi No. 02/PD-DB/IV-2003 Tentang Daerah Perlindungan Laut, dan hasil-hasil wawancara mendalam, data numerik meliputi statistik kependudukan Desa Bahoi, jumlah dan frekuensi hasil olahan data dan kondisi Desa Bahoi serta DPL. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari sumber pertama langsung melalui wawancara kepada responden nelayan dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder merupakan data primer yang telah terolah dan didapat dari dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian seperti buku, internet, dokumen pemerintah desa, skripsi, dan tesis. Data-data sekunder meliputi buku yang membahas tentang partisipasi masyarakat dan program DPL, hasil-hasil penelitian berupa jurnal, tesis, dan disertasi yang telah dicetak atau dalam bentuk lunak yang berasal dari internet, serta dokumen potensi desa.
23
Teknik Sampling Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga nelayan yang dikelompokkan berdasarkan penguasaan alat produksi di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara yang berjumlah 53 KK. Unit analisis penelitian ini adalah individu yaitu kepala keluarga nelayan sebagai responden penelitian. Penentuan responden dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan stratified random sampling. Stratified random sampling adalah metode pengambilan sampel dengan asumsi bahwa populasi heterogen dan dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan (strata) dan sampel dari setiap lapisan diambil secara acak (Singarimbun dan Effendi 2008). Stratifikasi yang dipilih dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga bagian berdasarkan penguasaan alat produksi yaitu, nelayan pancing, nelayan jaring, dan nelayan perahu lampu. Besarnya sampel yang diambil dalam penelitian ini menggunakan metode tidak berimbang, maka peneliti menetapkan sendiri jumlah sampel yang diambilnya. Setelah mendapatkan jumlah sampel, maka dilakukan teknik random (acak) dalam pemilihan responden menggunakan Microsoft Exel. Tabel 3 Jumlah populasi dan sampel responden berdasarkan penguasaan alat produksi di Desa Bahoi, tahun 2013 Penguasaan alat Populasi Sampel Persentase (%) produksi Nelayan Pancing 70,97 33 22 Nelayan Jaring Nelayan Lampu Total
Perahu
13
6
7
3
53
31
19,35 9,68 100
Teknik Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara kuesioner serta didukung dari data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi langsung. Wawancara dilakukan kepada responden yaitu nelayan-nelayan yang bertempat tinggal di Desa Bahoi. Data populasi nelayan diperoleh dari data kependudukan desa dan diklasifikasi berdasarkan alat produksi yang digunakan untuk mengangkap ikan, setelah itu diambil beberapa responden dengan teknik stratified random sampling kemudian diwawancara secara langsung oleh peneliti. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan partisipasi, pengelolaan daerah perlindungan laut, data monografi penduduk di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara. Bahasa yang digunakan dalam penelitian ini saat melakukan wawancara dengan responden dan informan adalah Bahasa Manado (bahasa lokal).
24
Alat yang digunakan dalam pengambilan data primer menggunakan kuesioner diuji validitas dan reliabilitasnya. Validitas menunjukkan bahwa sejauh mana suatu alat ukur dapat mengukur apa yang ingin diukur dan reliabilitas menunjukkan bahwa sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi 2008). Uji validitas dan reliabilitas dilakukan di Desa Mubune yaitu desa tetangga dari lokasi penelitian yang dianggap memiliki karakteristik yang sama dengan desa penelitian, serta terdapat juga DPL pada desa tersebut. Dipilih sepuluh responden dari Desa Mubune yang di wawancara menggunakan kuesioner yang telah ada, setelah itu dilakukan penghitungan data apakah pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dapat dikatakan valid dan memiliki reliabilitas yang tinggi. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah melalui tahap uji validitas dan reliabilitas sebelum diberikan kepada responden sebenarnya. Uji kuesioner dilakukan di Desa Mubune yang dianggap memiliki karakteristik yang sama dan di desa tersebut juga terdapat DPL. Dalam pengujian kuesioner dipilih 10 responden yang bersedia menjawab kuesioner tersebut. Setelah mendapatkan hasil dari kesepuluh responden tersebut, maka dilakukan pengolahan data dengan Statistical Package and Social Science (SPSS) 16.0 untuk menguji validitas dan reliabilitas dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner tersebut. Hasil dari pengolahan data uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat dalam Lampiran 2. Jumlah pertanyaan yang diuji sebanyak 60 dan dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.823, maka nilai Cronbach's Alpha if Item Deleted yang kurang dari Cronbach’s Alpha diberi keterangan tidak valid, sedangkan yang diatas nilai Cronbach’s Alpha diberi keterangan valid. Hal ini juga sama dengan uji validitas dan reliabel pada bagian dua dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.729. Jika nilai Cronbach's Alpha if Item Deleted yang kurang dari Cronbach’s Alpha diberi keterangan tidak valid, sedangkan yang diatas nilai Cronbach’s Alpha diberi keterangan valid. Pertanyaan yang dianggap tidak valid dihapus atau diganti menjadi pertanyaan yang lain. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan tabulasi silang dan uji statistik menggunakan Korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antara variabel. Pengolahan data menggunakan program komputer SPSS 16.0 for Windows dan Microsoft Excel untuk mempermudah dalam proses pengolahan data. Data yang telah dikumpulkan dengan kuesioner diolah secara kuantitatif. Langkah dalam pengolahan data meliputi: 1. Editing kuesioner berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas 2. Pengkodean data 3. Pemindahan data ke penyimpanan data (perangkat lunak yang digunakan adalah Microsoft Excel 2007) 4. Mengubah data dari Microsoft Excel 2007 ke SPSS 16.0 for Windows untuk memudahkan pengolahan data 5. Perapihan data
25
6. Pengolahan data sesuai rencana analisis Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten. Analisis Rank Spearman untuk data-data ordinal, yaitu hubungan antara program DPL dengan tingkat partisipasi nelayan, hubungan antara pengetahuan nelayan mengenai DPL dengan tingkat partisipasi nelayan, dan antara status sosial ekonomi nelayan dengan tingkat partisipasi nelayan. Data diolah dan dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, tabel, atau bagan, kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.
26
GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN MASYARAKAT DESA BAHOI Desa Bahoi terletak di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Jarak Desa Bahoi dengan ibu kota provinsi yaitu Kota Manado sekitar 45 Km. Wilayah Desa Bahoi terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut. Wilayah daratan dipergunakan selain sebagai pemukiman penduduk, dimanfaatkan juga sebagai pekarangan seluas 10 Ha, ladang atau kebun seluas 140 Ha, ladang atau huma seluas 30 Ha, selain itu terdapat juga hutan seluas 70 Ha. Beberapa fasilitas umum yang terdapat di Desa Bahoi diantaranya, lapangan olahraga, pemakaman, gedung gereja, gedung sekolah dasar, dan puskesmas dan kantor desa. Kondisi penduduk Desa Bahoi berdasarkan pendidikan dapat dikategorikan cukup beragam. Berdasarkan data profil desa tahun 2012 menunjukkan bahwa penduduk yang tamat sekolah dasar sebanyak 130 orang, tamat SMP sebanyak 103 orang, tamat SMU sebanyak 115 orang, tamat akademi sebanyak 4 orang, dan tamat sarjana sebanyak 10 orang. Namun selain penduduk yang dapat merasakan jenjang-jenjang pendidikan, ada juga yang belum atau tidak tamat dalam beberapa jenjang pendidikan, diantaranya belum sekolah sebanyak 40 orang, tidak tamat sekolah dasar sebanyak 70 orang, tidak tamat SMP sebanyak 17 orang, dan tidak tamat SMU sebanyak 115 orang. Kondisi mata pencaharian Desa Bahoi dapat dikategorikan beragam hal ini disebabkan potensi-potensi yang dimiliki desa tersebut. Wilayah daratan dan wilayah laut merupakan sumber mata pencaharian mereka. Selain menjadi nelayan beberapa warga pun memiliki kebun dan menjadi penebang pohon di hutan yang terletak di belakang pemukiman warga. Berdasarkan data profil desa tahun 2012, penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 31 orang, nelayan sebanyak 64 orang, penggarap 5 orang, buruh tani 10 orang, pengusaha 2 orang, buruh bangunan 15 orang, pedagang 10 orang, sopir angkutan umum 3 orang, pegawai negeri sipil 14 orang, ABRI/POLRI 3 orang, peternak sapi 3 orang, peternak kambing 3 orang, peternak babi 10 orang, dan peternak ayam 20 orang. Cukup banyak warga yang memiliki pekerjaan ganda atau lebih dari satu sumber mata pencaharian, hal ini karena potensi wilayah Desa Bahoi yang besar dan memberikan peluang untuk menambah pendapatan. Masyarakat Desa Bahoi yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan memiliki aktivitas yang berbeda-beda dalam menangkap ikan. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pun beragam, ada yang menggunakan jaring, pancing, tombak, dan alat tangkap khusus untuk menangkap cumi yang berbentuk cumi tiruan.Alat transportasi yang digunakan yaitu perahu kecil menggunakan dayung, perahu katingting (motor), dan perahu yang besar seperti pajeko. Jadwal menangkap ikan yang dilakukan oleh para nelayan beragam, dimulai dari pagi hari sekitar pukul 05.00 WITA, sore pukul 18.00 WITA, namun ada juga yang seharian yaitu mulai pukul 05.00 WITA sampai 17.00 WITA lalu dilanjutkan pukul 18.00 WITA. Tetapi tidak semua nelayan dapat melakukan kegiatan menangkap ikan setiap hari karena nelayan tersebut bekerja menggunakan kapal kelompok bersama dengan nelayan yang lainnya dan jadwal menangkap ikan akan terganggu apabila kapal yang digunakan sedang rusak. Selain hal ini, kegiatan menangkap ikan pun tergantung dari cuaca yang
27
mempengaruhi jumlah tangkapan. Kebiasaan yang dilakukan oleh nelayan untuk melihat apakah cuaca cukup baik untuk menangkap ikan yaitu apabila sedang tidak berangin kuat dan bulan tidak terang. Kedua hal ini sangat mempengaruhi jumlah tangkapan. Selain menangkap ikan menggunakan alat-alat tangkap tersebut, beberapa nelayan memiliki bagan yaitu bangunan berupa rangka yang terbuat dari kayu dan dibagian bawah terdapat jaring ikan. Hanya beberapa nelayan saja yang memiliki bagan karena untuk membuat bagan dibutuhkan biaya yang mahal. Nelayan yang memiliki bagan cukup berperan dalam menjaga DPL karena saat malam hari kawasan DPL tidak diawasi secara khusus oleh tim POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas), jadi diharapkan para nelayan yang memiliki bagan inilah yang dapat menjaga DPL. Keberadaan DPL memberikan dampak yang yang baik bagi masyarakat khususnya dalam hal ekowisata. Program DPL tidak hanya memberikan dampak yang baik bagi biota laut yang dilindungi, namun memberikan dampak juga pada masyarakat yaitu pengadaan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan DPL seperti pelatihan menyelam yang dilaksanakan oleh tim Wildlife Conservation Society (WCS) dan memberikan sertifikat khusus bagi penyelam agar dapat dipercaya untuk menjadi pendamping saat ada pengunjung yang ingin menyelam, kegiatan pembuatan karang buatan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan, serta diadakannya pelatihan untuk perempuan yaitu pembuatan souvenir dari karang yang sudah tidak dipergunakan. Kegiatan-kegiatan ini selain memberikan pengetahuan pada masyarakat, juga memberikan keterampilan yang dapat meningkatkan perekonomian. Namun tidak semua kegiatan dapat bertahan hingga saat ini. Pembuatan souvenir oleh perempuan sudah tidak berlanjut karena tidak ada tempat khusus yang dijadikan toko souvenir dan tidak terkoordinir secara jelas. Kegiatan yang berlanjut hingga saat ini dan dapat dilihat secara nyata pengaruhnya yaitu keterampilan menyelam dan difasilitasi oleh kelompok ekowisata yang dipimpin oleh Kum Tua (kepala desa). Jasa pendamping untuk menyelam dibayar cukup mahal oleh pengunjung. Tarif yang berlaku untuk pengunjung dalam negeri berbeda dengan tarif pengunjung luar negeri. Daerah Perlindungan Laut Desa Bahoi Desa Bahoi saat ini sudah menjadi desa yang cukup dikenal, baik di tingkat lokal maupun internasional karena potensi lautnya yang terjaga. Potensi laut di Desa Bahoi dapat terjaga semenjak ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut. Penetapan ini sudah sejak tahun 2002 yang berawal dari sosialisasi Proyek Pesisir Sulawesi Utara tentang pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat.Proyek pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir Coastal Resources Management Project (CRMP) di Sulawesi Utara diprakarsai bersama United States Agency for International Development (USAID) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Proyek pengelolaan berbasis masyarakat adalah pengelolaan secara bersama (co-management) antara masyarakat, pemerintah setempat dan stakeholder di desa. Rencana pengelolaan ini memiliki beberapa keistimewaan diantaranya, 1) rencana tersebut merupakan rencana partisipatif yang diterapkan di tingkat desa dan terintegrasi dalam perencanaan berbagai tingkat wilayah/ pemerintahan tingkat provinsi, 2) kegiatan yang direncanakan mencakup prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan bertujuan
28
untuk melindungi dan memelihara kondisi lingkungan seperti terumbu karang, serta kualitas pedesaan, 3) dalam perencanaan ini menempatkan masyarakat sebagai penanggung jawab utama pengelolaan pesisir yang dijalankan oleh sekelompok relawan anggota masyarakat setempat dengan bantuan dinas-dinas terkait melalui proses perencanaan, pengalokasian, dana dan pelaksanaan program yang sesuai dengan mekanisme pemerintah setempat (Sondita et al. 2002). Pendekatan yang dilakukan yaitu melalui Sosialisasi. Sosialisasi-sosialisasi dilakukan tidak hanya saat rapat di kantor desa namun juga dilakukan di pertemuan-pertemuan ibadah dan pertemuan di setiap jaga (RW). Topik yang dibicarakan dalam sosialisasi tentang pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat sekaligus penggalian isu dan rencana pembuatan daerah perlindungan laut (DPL). Penetapan DPL dilakukan bersama-sama dengan masyarakat setempat yang dilatarbelakangi oleh hasil pemantauan secara langsung. Selain itu, masyarakat pun merasa potensi pesisir dan laut yang semakin terbatas untuk menjamin kehidupan dan pembangunan akibat dari tindakan yang mengancam pemanfaatan dan perusakan lingkungan pasisir dan laut maka wilayah laut sebagai tempat penyedia sumberdaya perikanan laut serta sangat efektif untuk meningkatkan produksi perikanan perlu dilindungi. Masyarakat memiliki kesadaran bahwa lingkungan hidup (darat, laut, dan udara) harus dijaga kelestariannya sehingga setiap orang wajib untuk menjaga, mengawasi, dan memelihara lingkungan hidup yang dijamin oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku, serta pemerintah merasa perlunya kebijakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup maka perlindungan kawasan pesisir dan laut perlu dituangkan dalam suatu keputusan masyarakat desa sebagai masyarakat yang sadar hukum dan sadar lingkungan hidup (Peraturan Desa 2003). Daerah perlindungan laut merupakan bagian pesisir dan laut tertentu yang termasuk dalam wilayah administratif Pemerintah Desa Bahoi Kecamatan Likupang Barat yang terdiri dari zona inti dan zona penyangga. Dalam program ini dibentuk kelompok yang bertugas untuk bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk pengelolaan daerah perlindungan laut yang berkelanjutan serta mereka adalah sekelompok orang yang berhak melakukan penangkapan dan menyerahkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini penyidik dan melakukan tindakan penerapan sanksi yang lain. Kelompok ini dibentuk bersama dengan masyarakat dan beranggotakan msayarakat setempat juga. Selain kelompok pengelola, masyarakat setempat pun memiliki tugas dan tanggung jawab dalam hal menjaga, mengawasi, dan memelihara kelestarian wilayah pesisir dan laut yang dilindungi. Hal yang dilakukan untuk menjaga kelestarian wilayah pesisir dan laut yaitu, meliputi larangan memasuki atau melewati wilayah DPL, kegiatan penangkapan menggunakan alat-alat tangkap modern atau menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dilarang berhenti didalam kawasan DPL serta melakukan kegiatan pengambilan apapun seperti pasir, karang, dan batu, masyarakat juga dilarang untuk melaukan penebangan bakau, harus menjaga kebersihan laut maupun pesisirnya, dan dilarang melakukan kegiatan berenang atau menyelam tanpa ijin tertulis (Lampiran 4). Sanksi yang berlaku apabila terjadi pelanggaran oleh masyarakat setempat atau masyarakat luar desa diantaranya, sanksi tingkat pertama yaitu, menyerahkan seluruh hasil perbuatan/tindakan kepada kelompok pengelola pesisir desa dan
29
pemerintah desa, seperti penangkapan ikan, baik yang dikonsumsi maupun ikah hias, karang, batu, pasir, bakau, dan lainnya harus dikembalikan ke tempat asalnya atau dimusnahkan, berjanji untuk tidak melakukan kembali perbuatan tersebut dengan menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai di hadapan pemerintah desa dan kelompok pengelola. Sanksi tingkat kedua yaitu sanksi yang diberlakukan bagi orang yang melanggar kembali atau mengulangi perbuatannya, yaitu pelaku akan diproses dan diperiksa oleh kelompok pengelola dan pemerintah desa yang selanjutnya akan diserahkan kepada pihak kepolisian sebagai penyidik untuk diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, barang bukti akan disita atau dimusnahkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, selain itu juga akan dikenakan denda sebesar Rp 100 000,-.
30
31
KARAKTERISTIK NELAYAN DAN PERAN PARA PIHAK DALAM DPL DI DESA BAHOI Karakteristik Nelayan
Karakteristik individu responden di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara memiliki ciri-ciri seperti disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik nelayan responden berdasarkan usia, pendapatan, dan jenis alat produksi yang digunakan Karakteristik Jumlah % Usia (Tahun) a. Kurang dari 32 2 6,45 b. 32 ≤ 42 5 16,13 c. 42 ≤ 52 12 38,71 d. ≥ 52 12 38,71 Total 31 100,00 Pendapatan (Rp per bulan) a. > Rp2 410 820,10 (Tinggi) 2 6,45 b. Rp 848 964,73Rp 2 410 820,10 (Sedang) c. < Rp 848 964,71 (Rendah)
23
74,19
6
19,35
Total Jenis Alat Produksi Pancing Jaring Perahu Lampu Total
31
100,00
22 6 3 31
70,97 19,35 9,68 100,00
Secara umum nelayan responden berada pada rentang usia antara 42 tahun sampai lebih dari 52 tahun. Dalam tingkat pendapatan, sebagian besar nelayan berada pada kategori sedang yaitu diantara Rp 848 964,73-Rp2 410 820,10 per bulan. Berdasarkan jenis alat produksi yang digunakan, rata-rata nelayan menggunakan pancing. Nelayan dengan alat tangkap pancing berada pada kategori tingkat pendapatan sedang.
Aktivitas Nelayan Desa Bahoi dalam Usaha Perikanan Alat produksi yang digunakan oleh sebagian besar nelayan dapat menggambarkan bahwa mereka merupakan nelayan tradisional. Alat pancing dianggap sebagai alat tangkap yang paling murah dan gampang jika dibuat sendiri serta tidak sulit saat penggunaannya, namun kelemahan dari alat ini yaitu hanya dapat menangkap ikan sedikit dan membutuhkan waktu yang lama apabila ingin mendapat lebih banyak. Nelayan yang menggunakan jaring akan memperoleh hasil yang lebih banyak dibanding pancing, namun biaya pembuatannya lebih mahal dan sulit serta saat melaut harus mencari daerah yang dalam. Perahu lampu
32
merupakan alat yang paling sedikit dimiliki oleh nelayan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan alat tersebut tidak ditujukan untuk menangkap ikan serta dalam pengoperasiannya tidak bisa mandiri. Kegunanaan perahu lampu untuk menerangi area laut yang dilalui oleh perahu besar yang tidak memiliki lampu. Alat produksi yang digunakan oleh nelayan merupakan alat milik pribadi atau pinjaman (Tabel 5). Tabel 5 Jenis alat produksi berdasarkan status kepemilikannya tahun 2013 Jenis alat produksi Kepemilikan alat produksi Pribadi Pinjam Pancing 20 2 Jaring 3 3 Perahu Lampu 3 0
di Desa Bahoi, Total 22 6 3
Tabel 5 menjelaskan bahwa alat produksi yang digunakan nelayan dimiliki secara pribadi maupun pinjaman. Nelayan yang menggunakan alat pancing pribadi lebih banyak dibanding yang menggunakan alat pinjaman. Kedua nelayan yang meminjam menggunakan alat pancing milik saudaranya dan tidak dikenakan uang pinjaman atau sistem pembagian hasil atau keuntungan dari penjualan. Nelayan yang menggunakan alat produksi berupa jaring secara pribadi sama jumlahnya dengan yang menggunakan jaring pinjaman. Peminjaman jaring dilakukan oleh nelayan yang tergabung dalam kelompok dan setelah mendapatkan hasil dari melaut, mereka melakukan sistem pembagian hasil. Sistem pembagian hasil ini tidak dibagi berdasarkan pekerjaan mereka, melainkan dibagi rata kepada semua nelayan yang ikut melaut, namun sebelumnya telah dipotong dengan biaya bensin dan perbaikan alat yang rusak. Jenis alat produksi lainnya yaitu perahu lampu yang dimiliki secara pribadi oleh tiga orang nelayan. Hanya sedikit nelayan yang menggunakan perahu lampu, disebabkan fungsi dari perahu lampu yaitu hanya untuk menerangi serta tidak dapat digunakan secara mandiri, melainkan harus bergantung pada kapal atau perahu lain yang akan menyewanya. Mobilitas nelayan yang menggunakan alat pancing lebih sering dibandingkan dengan nelayan lainnya karena jumlah tangkapan yang lebih sedikit sehingga mereka harus menangkap ikan hampir setiap hari kecuali hari minggu dan dalam satu hari mereka akan pergi ke laut minimal satu kali antara pagi sampai sore hari atau sore sampai pagi, namun ada juga nelayan yang ke laut sampai hampir satu hari penuh dan hanya pulang ke darat untuk mandi serta mengambil makanan. Sedangkan nelayan pengguna perahu lampu harus menunggu kapal yang akan menyewa jasanya. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di Desa Bahoi sudah memiliki pola tertentu, diantaranya waktu yang digunakan untuk pergi menangkap ikan. Jadwal menangkap ikan yang dilakukan oleh para nelayan beragam, dimulai dari pagi hari sekitar pukul 05.00 WITA, sore pukul 18.00 WITA, namun ada juga yang seharian yaitu mulai pukul 05.00 WITA sampai 17.00 WITA lalu dilanjutkan pukul 18.00 WITA. Hasil tangkapan sebagian besar dijual kembali oleh nelayan kepada masyarakat lainnya dengan berkeliling desa, namun ada juga yang dikonsumsi secara pribadi. Ratarata nelayan menjual ikan hasil tangkapan mereka tidak diolah kembali atau dibuat menjadi bahan makanan jadi. Jenis ikan yang sering menjadi tangkapan
33
nelayan adalah ikan bobara (Rp 35.000/kg), goropa (Rp 40 000/kg), malalugis (Rp 30 000/kg), kakap putih (Rp 17 500/kg), dan terkadang juga nelayan mendapat cumi-cumi (Rp 20 000/kg). Aktivitas penangkapan ikan dan hasil tangkapan yang diperoleh nelayan sangat dipengaruhi oleh cuaca. Kebiasaan yang dilakukan oleh nelayan untuk melihat apakah cuaca cukup baik untuk menangkap ikan yaitu apabila sedang tidak berangin kuat dan bulan tidak terang. Kedua hal ini sangat mempengaruhi jumlah tangkapan karena pada saat angin bertiup kuat maka hal ini akan mengganggu nelayan saat berada di perahu serta pada saat bulan dalam kondisi terang, maka ikan-ikan akan menyebar dan menjadi sulit untuk ditangkap. Cuaca yang kurang mendukung untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan menyebabkan nelayan terkadang memilih untuk tidak pergi ke laut. beberapa nelayan memiliki pekerjaan lain, yaitu sebagai petani dan buruh apabila mereka sedang tidak ke laut, namun ada juga beberapa nelayan yang mencari pekerjaan sementara di luar desa. Peran Para Pihak dalam DPL di Desa Bahoi Pengelolaan DPL merupakan tugas dan tanggung jawab dari berbagai pihak, diantaranya pemerintah daerah, pemerintah desa, dan kelompok DPL. Selain itu terdapat juga organisasi yang bergerak dibidang lingkungan ikut serta memberikan perhatian dan upaya untuk menjaga kawasan DPL. Setiap pihak memiliki peran yang berbeda serta tanggung jawab yang berbeda juga dalam mengelola atau menjaga kawasan DPL, namun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjaga kawasan DPL agar tetap terjaga dan berlanjut untuk melindungi biota-biota laut serta meningkatkan produksi perikanan. Peran Pemerintah Desa Penyelenggaraan program DPL melibatkan berbagai pihak, diantaranya pemerintah desa yang meliputi kepala desa (Kum Tua), ketua RW (kepala jaga), dan ketua RT (Pala). Mereka turut serta dalam setiap tahapan kegiatan di DPL mulai dari proses sosialisasi, pelaksanaan kegiatan, pendampingan hingga memonitoring program DPL. Kepala desa memiliki peranan yang cukup penting yaitu, turut serta mengambil keputusan dalam peraturan desa mengenai DPL. Peraturan desa merupakan peraturan yang telah ditetapkan oleh Kum Tua atas persetujuan perwakilan masyarakat desa untuk melaksanakan otonomi daerah yang diserahkan kepada pemerintah desa sebagai pelaksanaan dan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Proses pengesahan lokasi laut untuk dijadikan DPL juga merupakan tugas dari kepala desa. Kepala desa memiliki tugas sebagai penanggung jawab dalam kelompok DPL. Beberapa orang perangkat pemerintah desa pun memiliki tugas dan peranan sebagai ketua dalam salah satu divisi di kelompok DPL atau menjadi anggota kelompok. Pemerintah desa terutama kepala desa memiliki peranan dalam perijinan saat ada yang ingin melakukan penelitian atau pengamatan di lokasi DPL. Selain itu, turut serta juga dalam tindak lanjut bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran.
34
Peran Kelompok DPL Kelompok DPL merupakan kelompok yang dibentuk pada saat sebelum DPL ditetapkan. Kelompok DPL terdiri dari masyarakat setempat yang dipilih berdasarkan musyawarah desa. Struktur kepengurusan kelompok DPL, meliputi ketua, wakil ketua, sekertaris satu dan dua, serta bendahara. Selain itu, terdapat enam divisi yang memiliki tugas serta peranan dalam pengelolaan DPL, diantaranya divisi pengawasan lokasi kegiatan, kebersihan lingkungan dan kesehatan, sosial dan budaya, pemanduan, pemeliharaan fasilitas diving dan pemeliharaan tabung, serta ketrampilan souvenir. Tugas kelompok DPL tidak hanya meliputi kegiatan atau hanya hal-hal yang menyangkut DPL, tetapi juga mereka menjadi kelompok ekowisata yaitu Ekowisata Cinta Bahari. Divisi yang telah dibentuk memiliki tugas yang beragam dan terfokus dibidang yang berbeda-beda. Kegiatan mengawasi atau memonitoring merupakan tugas dari seluruh masyarakat desa termasuk juga nelayan, tetapi dalam kelompok DPL dibentuk divisi yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap lokasi DPL, yaitu divisi pengawasan lokasi kegiatan dan disebut sebagai POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas), namun mereka kurang menjalankan tugas sebagaimana yang telah ditetapkan. Kegiatan pengawasan merupakan kegiatan yang harus rutin serta membutuhkan waktu yang lama, hal ini lah yang menjadi kendala dari anggota POKMASWAS. Sebagaian besar pekerjaan mereka adalah nelayan dan harus melakukan aktifitas penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan. Selain divisi pengawasan, divisi-divisi lain pun memiliki kendala dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya karena kurangnya koordinasi serta kurangnya kegiatan-kegiatan rutin oleh kelompok DPL. Peran yang sangat berpengaruh dalam keberlanjutan DPL Desa Bahoi adalah peran ketua kelompok. Ketua kelompok DPL sudah menjabat sebagai ketua sejak awal pembentukan hingga tahun 2013. Ketua kelompok memiliki kesadaran yang tinggi dan kepedulian terhadap perlindungan laut karena laut berperan untuk kehidupan manusia serta berpengaruh pada perubahan iklim. Peran LSM Keberadaan program DPL yang ditujukan untuk menjaga biota laut dan meningkatkan produksi perikanan, mendapatkan perhatian khusus dari organisasi yang bergerak dibidang lingkungan yaitu Wildlife Conservations Society (WCS). Organisasi ini merupakan organisasi yang bergerak dibidang lingkungan dan telah memberikan pengaruh yang positif terhadap DPL Bahoi serta masyarakatnya. Tim WCS sering mengunjungi Desa Bahoi dan memberikan pelatihan-pelatihan, diantaranya pelatihan menyelam dan pembuatan souvenir serta pemanfaatan ikan kering kepada ibu-ibu. Pelatihan yang diadakan oleh WCS telah memberikan pengaruh yang baik. Pemuda yang mengikuti pelatihan menyelam, mendapatkan sertifikat resmi yang dapat digunakan sebagai bukti bahwa mereka dapat menjadi tim khusus yang mendampingi kegiatan menyelam. Pelatihan pembuatan souvenir serta pemanfaatan ikan kering, juga memberikan tambahan pengetahuan ibu-ibu di Desa Bahoi. Hal ini mendorong semangat mereka untuk memiliki usaha pribadi
35
yang menguntungkan, namun modal keterampilan yang telah mereka miliki tidak dilanjutkan pada saat ini. Selain kegiatan penambahan pengetahuan dan ketrampilan yang dilakukan oleh tim WCS, mereka pun turut serta dalam pengenalan dan promosi wisata Desa Bahoi. Keindahan laut dan DPL yang terjaga di Desa Bahoi, menyebabkan mereka ingin mengenalkan desa ini ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat nasional bahkan internasional. Pengenalan dan promosi yang mereka lakukan berupa penyebaran informasi, potensi, serta dokumentasi Desa Bahoi melalui situs resmi yang dimiliki WCS. Peran Pemerintah Daerah Peran pemerintah daerah dalam proses pembentukan dan pengelolaan DPL adalah turut serta dalam pengesahan DPL yang telah disahkan dalam Peraturan Desa Bahoi No. 02/PD-DB/IV-2003 tentang daerah perlindungan laut. Pemerintah daerah pun turut melakukan pendampingan saat proses sosialisasi dan penetapan DPL oleh BAPPENAS. Program DPL merupakan program yang diparakarsai oleh USAID, namun tetap mendapat perhatian dan pengawasan dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah pun turut serta membantu menjaga kawasan DPL melalui program yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM-LMP). Kegiatan yang dilakukan berupa perbaikan pelampung tanda batas pada tahun 2008 dan penyusunan peraturan untuk melindungi DPL pada tahun 2010. Peraturan diubah menjadi Peraturan Desa No 2 tahun 2010 tentang pengelolaan kawasan pesisir dan laut Desa Bahoi.
36
37
TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENETAPAN DPL Penetapan DPL merupakan proses dalam menentukan kawasan DPL di suatu wilayah laut yang melibatkan masyarakat setempat karena menyangkut aktifitas melaut nelayan dan menetapkan aturan serta sanksi yang berlaku dalam penetapan kawasan DPL. Keterlibatan masyarakat Desa Bahoi dalam setiap kegiatan penetapan DPL merupakan hal yang penting karena sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan dan sangat menggantungkan hidupnya di laut. Proses dalam penetapan DPL merupakan proses yang cukup panjang dan memerlukan keterlibatan masyarakat yang aktif di setiap kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berupa penetapan lokasi DPL yang terdiri dari zona inti dan zona penyangga, penetapan aturan-aturan yang berlaku dalam DPL, dan penetapan sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi didalam kawasan DPL.Kehadiran masyarakat dalam setiap kegiatan ini diharapkan tidak hanya sebagai masyarakat yang pasif, namun juga aktif memberikan pendapatnya. Partisipasi nelayan dalam kegiatan penetapan DPL dianalisis berdasarkan penilaian nelayan terhadap tahapan kegiatan program DPL, pengetahuan yang dimiliki nelayan terhadap DPL, dan berdasarkan status sosial ekonomi. Partisipasi Nelayan dalam Penetapan DPL berdasarkan Tahapan Kegiatan Program DPL Partisipasi nelayan dalam tahap penetapan DPL merupakan tahapan yang penting dan keterlibatan masyarakat khususnya nelayan sangat dibutuhkan karena pada tahapan ini kehadiran masyarakat sangat menentukan wilayah yang akan ditetapkan sebagai DPL. Selain kehadiran masyarakat, keterlibatan secara aktif dalam memberi pendapat pun sangat dibutuhkan. Partisipasi nelayan dalam tahapan ini akan dinilai berdasarkan tahapan kegiatan program DPL yang terdiri dari penilaian nelayan tentang strategi sosialisasi, aktivitas DPL, dan pendampingan oleh pihak luar maupun kelompok DPL (Tabel 6). Tabel 6 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam penetapan DPL berdasarkan tahapan kegiatan program DPL Partisipasi nelayan dalam penetapan DPL Tahapan kegiatan program DPL Tinggi % Sedang % Rendah % Strategi sosialisasi Tinggi 4 12,9 1 3,2 20 64,5 Sedang 0 0,0 0 0,0 5 16,13 Rendah 0 0,0 0 0,0 1 3,2 Aktivitas DPL Tinggi 4 12,9 1 3,2 22 70,9 Sedang 0 0,0 0 0,0 3 9,6 Rendah 0 0,0 0 0,0 1 3,2 Pendampingan Tinggi 3 9,6 1 3,2 12 38,71 Sedang 1 3,2 0 0,0 1 3,2 Rendah 0 0,0 0 0,0 13 41,9
38
Strategi sosialisasi adalah proses menginformasikan dan menyusun suatu kegiatan dalam program DPL. Kegiatan ini meliputi penyampaian informasi mengenai daerah perlindungan laut, penyampaian informasi yang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan bersama masyarakat, pembentukan kelompok pengelola DPL, merencanakan lokasi DPL, melakukan survei lokasi yang akan ditetapkan, merencanakan pembagian lokasi, merencanakan aturan-aturan yang berlaku, dan sanksi-sanksinya. Kegiatan-kegiatan perencanaan ini dilaksanakan oleh BAPPENAS dan CRMP yang diprakarsai USAID. Pada variabel ini, nelayan menilai kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum ditetapkannya lokasi DPL. Tahap sosialisasi atau kegiatan-kegiatan dalam perencanaan dinilai tinggi oleh nelayan, namun hal ini tidak meningkatkan partisipasi nelayan dalam tahap penentuan DPL, hal ini dapat dilihat pada Tabel 6 . Dalam tahapan sosialisasi, rata-rata nelayan hanya mengetahui bahwa diadakan sosialisasi dan pembentukkan kelompok, namun tidak mengetahui informasi apa saja yang disampaikan. Pada dasarnya seluruh nelayan bahkan warga selalu diundang dalam setiap kegiatan yang menyangkut dengan keberadaan program DPL, namun seringkali mereka sedang tidak ada ditempat karena sedang pergi melaut atau ada keperluan di luar desa. Nelayan yang berinisial SP (41 tahun) menyatakan “… sebetulnya itu samua masyarakat bukang cuma nelayan ada dapa undang, ada undang lewat toa …” (sebenarnya semua masyarakat diundang dan tidak hanya nelayan saja, diundang melalui pengeras suara). Namun, seluruh info yang menyangkut DPL tidak hanya disampaikan saat ada pertemuan-pertemuan saja, melainkan dalam perkumpulan ibadah dan melalui pengeras suara milik desa. Nelayan yang berinisial MP (46 tahun) menyatakan “… iyo informasi ada sampaikan lewat toa, itu kum tua ada sampaikan noh deng lewat pertemuan ibadah-ibadah di Gereja ato di ibadah kolom bagitu …” (iya informasi disampaikan melalui pengeras suara dan disampaikan oleh kepala desa serta melalui pertemuan-pertemuan ibadah di gereja atau ibadah kelompok). Aktivitas DPL adalah proses yang dilakukan setelah merencanakan suatu kegiatan dalam program daerah perlindungan laut. Aktivitas ini merupakan tidak lanjut dari perencanaan yang telah dilakukan, diantaranya papan informasi, pemasangan tanda batas, pertemuan bersama kelompok pengelola DPL, pelatihanpelatihan tentang pengelolaan pesisir, pelaksanaan aturan-aturan telah diberlakukan, penetapan batasan kawasan, pelaksanaan sanksi/hukuman atas pelanggaran telah diberlakukan, penyuluhan-penyuluhan tentang pengelolaan pesisir, pemantauan biota laut yang dilindungi. Seluruh kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh kelompok pengurus DPL yang telah terbentuk, namun seluruh masyarakat diikutsertakan. Aktivitas DPL dinilai tinggi oleh nelayan, namun hal ini tetap tidak mempengaruhi nelayan untuk berpartisipasi dalam penentuan DPL. Aktivitas DPL dinilai tinggi karena seluruh kegiatan yang ditetapkan setelah adanya perencanaan dapat terlaksana. Seperti halnya program pelatihan yang dilaksanakan oleh pihak luar demi menunjang keberadaan program DPL. Nelayan yang berinisial YH (57 tahun) menyatakan “… iyo no pihak luar sering skali ada datang mo kase penyuluhan bagitu atau kase pelatihan for nelayan-nelayan deng masyarakat laeng ...” (iya pihak luar desa sering sekali datang untuk memberikan penyuluhan atau pelatihan untuk nelayan dan masyarakat).
39
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan masyarakat dengan pendampingan oleh pihak CRMP serta BAPPENAS setelah adanya tahapan sosialisasi, berupa pemasangan tanda batas, pembuatan papan informasi, pemantauan biota laut yang dilaksanakan oleh tim khusus, pemberlakuan aturan dan sanksi, penyuluhan tentang sumber daya laut seperti ekowisata, taman laut, pemeliharaan terumbu karang dan penanaman bakau yang difasilitasi oleh Universitas Sam Ratulangi, Dinas Perikanan dan Kelautan, Wildlife Conservation Society (WCS), dan pelatihan-pelatihan yang ditujukan kepada nelayan seperti pembuatan karang buatan, pembuatan apartemen ikan sebanyak 30 unit yang didampingi oleh Departemen Perikanan dan Kelautan. Selain kegiatan yang didampingi oleh pihak khusus, bupati pun pernah mengunjungi Desa Bahoi untuk monitoring perkembangan DPL dan ikut menghimabau masyarakat agar tetap menjaga DPL.Nelayan yang berinisial FD (44 tahun) menyatakan “… Tu hari bupati pernah ada datang kong kase ceramah pa torang supaya mo jaga itu DPL ...” (waktu itu pernah datang bupati dan memberikan ceramah kepada kami semua agar kami mau jaga DPL). Kegiatan lain yang dilakukan oleh pendamping kepada masyarakat Desa Bahoi, berupa pelatihan menyelam untuk memperoleh sertifikat menyelam dan pelatihan untuk ibu-ibu seperti pemanfaatan ikan kering dan pembuatan souvenir. Pendampingan dalam program DPL adalah proses mendampingi dalam seluruh tahapan program DPL yang dilakukan oleh pengurus atau pihak yang terkait dengan program daerah perlindungan laut. Tahapan pendampingan dilakukan oleh WCS yaitu LSM yang bergerak dibidang lingkungan, Dinas Perikanan dan Kelautan, PNPM-LMP, dan Universitas Sam Ratulangi sebagai salah satu universitas di Sulawesi Utara yang juga sering menjadikan Desa Bahoi sebagai desa tempat praktikum atau kuliah kerja nyata. Hasil penelitian Giffari (2008) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat tidak lepas dari peran pihak penting seperti LSM dan pemerintah yang turut memberikan perhatiannya berupa pengadaan pelatihan, penyuluhan, dan memberikan legitimasi kepada masyarakat. Pada program yang melibatkan masyarakat secara aktif, dibutuhkan pendamping yang kompeten. Padmowiharjo (2006) menyatakan bahwa dalam penyuluhan pertanian dibutuhkan peran pendamping atau penyuluh yang partisipatif kepada petani dan mampu menjadi mitra yang dekat, mampu memfasilitasi dan mengubah proses berpikir, memiliki intensitas waktu yang banyak bersama petani, tidak dominan, menjalin kerjasama yang baik, mengembangkan dialog yang horizontal bukan komunikasi yang searah, serta tidak bertindak seperti menggurui petani. Pendampingan yang dilakukan tidak hanya oleh tim atau organisasi luar desa, tetapi juga oleh kelompok DPL yang terdiri dari penduduk setempat seperti, pendampingan dalam penyampaian informasi, penyampaian aturan dan sanksi yang berlaku dalam DPL, kelompok pun melakukan pendampingan dalam penerapan sanksi bagi nelayan atau masyarakat yang melakukan pelanggaran. Pendampingan yang dilakukan, baik oleh pihak luar maupun kelompok DPL dinilai tinggi. Walaupun pendampingan sudah cukup sering dilakukan dan banyak kegiatan yang dilakukan oleh tim pendamping bersama masyarakat, namun hal ini belum menunjukkan partisipasi yang tinggi oleh nelayan dalam kegiatan penetapan DPL. Namun terdapat juga beberapa nelayan yang menilai bahwa mereka tidak diikutsertakan dalam setiap kegiatan-kegiatan tersebut terutama kegiatan yang berasal dari tim atau organisasi luar desa, selain itu mereka pun
40
merasa setiap bantuan atau pun kegiatan yang datang ke desa hanya ditujukan untuk kelompok DPL saja. Nelayan yang berinisial FD (44 tahun) menyatakan “… torang jarang sekali dapa undang kalo ada acara-acara dari orang-orang yang ada datang pa torang pe desa ini, deng lagi itu kegiatan ato bantuan nyanda terbuka cuma itu pengurus DPL yang mo dapa tau ...” (kita jarang sekali mendapatkan undangan saat ada kegiatan dari orang-orang luar desa dan hanya pengurus yang mengetahui kegiatan ataupun bantuan). Partisipasi Nelayan dalam Penetapan DPL berdasarkan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL Partisipasi nelayan dalam penentuan DPL dinilai juga berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan. Pengetahuan tersebut diberikan kepada nelayan pada tahapan perencanaan berupa sosialisasi awal, mengenai tujuan, fungsi, dan manfaat DPL. Selain itu, pengetahuan mengenai konsep DPL yang tidak lepas dari konsep konservasi laut. Pengetahuan nelayan terbagi atas dua yaitu, pengetahuan tentang konservasi laut dan pemahaman nelayan tentang aturan DPL (Tabel 7). Tabel 7 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam penetapan pengetahuan nelayan mengenai DPL Partisipasi nelayan dalam penetapan DPL Pengetahuan nelayan mengenai Tinggi % Sedang % DPL Pengetahuan Tentang Konservasi Laut Tinggi 4 12,9 1 3,2 Rendah 0 0,0 0 0,0 Pemahaman Tentang Aturan DPL Tinggi 2 6,4 1 3,2 Sedang 2 6,4 0 0,0 Rendah 0 0,0 0 0,0
DPL berdasarkan
Rendah % 3 23
9,6 74,9
9 15 2
29,0 48,3 6,4
Pengetahuan tentang konservasi laut adalah pemahaman mengenai konsep konservasi laut yang mencakup tujuan konservasi, peran daerah konservasi, dan pembagian zona konservasi. Tujuan konservasi laut adalah upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya, melindunginya, mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya. Dalam kegiatan perencanaan program DPL, konsep konservasi dijelaskan dan digunakan untuk menentukan pembagian zona. Pembagian zona ini yang menentukan wilayah mana yang menjadi daerah larang ambil dan daerah tidak larang ambil. Zona yang berlaku dalam DPL di Desa Bahoi adalah zona inti dan zona penyangga. Namun dalam wilayah konservasi laut terdapat pembagian zona yang terdiri dari tiga bagian, zona inti atau zona perlindungan yang merupakan zona yang memiliki nilai konservasi yang tinggi, zona penyangga yang bersifat lebih terbuka tapi tetap dikontrol, dan yang terakhir zona pemanfaatan yaitu zona yang masih memiliki nilai konservasi tertentu tapi tetap dapat diamanfaatkan oleh manusia (Bengen 2001).
41
Pengetahuan nelayan tentang konservasi laut, dinilai rendah. Pengetahuan yang rendah ini disebabkan nelayan jarang bahkan sama sekali tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan dalam menunjang keberadaan DPL. Selain itu, tidak dilakukan sosialisasi tambahan dari pengurus DPL untuk menjelaskan tentang konservasi dan pembagian zona yang sesuai dengan prinsip konservasi pada masyarakat desa, mereka hanya sekedar mengetahui bahwa wilayah DPL tersebut dutujukan untuk tempat ikan dan kesejahteraan anak dan cucu. Nelayannelayan dalam kategori pengetahuan rendah mengetahui zona yang terdapat dalam DPL hanya zona larang ambil dan zona tidak larang ambil. Walaupun pengetahuan menyangkut konservasi dan zona tidak merata dalam masyarakat khususnya nelayan, namun mereka tetap memahami wilayah mana yang dapat dimanfaatkan dan yang tidak dapat dimanfaatkan karena batas-batas yang dibuat cukup jelas dan apabila terjadi kerusakan langsung diperbaiki oleh kelompok. Pemahaman nelayan tentang aturan dalam DPL merupakan tingkat pengetahuan mengenai aturan-aturan dalam penetapan DPL yang mencakup aturan-aturan serta sanksi yang berlaku apabila mereka melakukan pelanggaran. Pemahaman yang dimiliki oleh nelayan mencakup tujuan, fungsi, dan manfaat dari ditetapkannya kawasan DPL. Dalam proses perencanaan DPL seluruh masyarakat dan tokoh-tokoh penting beserta tim CRMP yang merupakan tim penggerak melakukan perumusan tujuan, fungsi dan manfaat dari DPL di Desa Bahoi. Fungsi dari DPL Desa Bahoi yaitu, menjaga karang laut, sebagai tempat berkembang biak ikan, dan meningkatkan produktivitas perikanan. Dengan adanya zona inti, maka akan mempengaruhi zona penyangga dan zona pemanfaatan yang diperbolehkan untuk kegiatan pemanfaatan dan pengambilan sehingga perolehan tangkapan ikan pun meningkat untuk para nelayan atau masyarakat yang memancing disekitar pesisir. Nelayan yang berinisial KD (59 tahun) menyatakan “… biar cuma mo lia-lia bagini tu ikang, kita so puas, dulu nyanda ada ikang mo datang sampe banya deng sampe-sampe di tepi bagini mar sekarang so banya deng le tu hari kalo mancari nyanda ada ikang bobara mar sekarang so ada ...” (walau hanya dilihat-lihat saja, ikannya sudah banyak dan saya puas melihatnya. Dahulu ikan-ikan tidak banyak seperti sekarang ini serta tidak perlu jauh-jauh saat ingin menangkap ikan). Aturan dan sanksi merupakan hal yang penting untuk dipahami oleh masyarakat khususnya nelayan karena sangat mempengaruhi kegiatan mereka saat mencari ikan dilaut. Aturan dan sanksi yang berlaku menjadi batasan mereka dalam mencari ikan. Pemahaman nelayan tentang aturan DPL dinilai sedang dan hal ini dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam penentuan DPL. Nelayan memahami bahwa tujuan DPL tidak hanya sebagai tempat tinggal dan perkembangbiakan ikan, tetapi juga untuk menjaga karang laut, dan meningkatkan keanekaragaman juga melestarikan makhluk hidup di laut khususnya di wilayah DPL. Namun, pemahaman mereka mengenai sanksi yang berlaku dalam DPL apabila terjadi pelanggaran hanya sedikit dan sekedar penyitaan barang bukti. Hal ini pun menjadi perdebatan dimasyarakat karena beberapa nelayan merasa kelompok DPL yang memiliki kewajiban khusus dalam penindakan apabila terjadi pelanggaran dinilai kurang transparan saat ada barang bukti yang disita. Menurut kelompok DPL, segala barang bukti dan barang sitaan yang dapat ditahan, dikumpulkan di kantor sekretariat DPL, tetapi untuk barang bukti seperti ikan yang sudah mati akan dibuang. Nelayan yang berinisial FD (44 tahun)
42
menyatakan “... sanksi yang berlaku for nelayan yang ada balanggar nyanda transparan, itu barang-barang ada sita nyanda dapa tau ada dimana …” (sanksi yang berlaku atas pelanggaran yang terjadi, tidak transparan, barang-barang bukti yang disita tidak tahu disimpan dimana).
Partisipasi Nelayan dalam Penetapan DPL berdasarkan Status Sosial Ekonomi Latar belakang nelayan yang berbeda-berbeda berdasarkan status sosial ekonomi dinilai akan mempengaruhi partisipasi mereka dalam penetapan DPL. Status nelayan terdiri dari penguasaan alat produksi dan tingkat pendapatan nelayan (Tabel 8). Tabel 8 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam penetapan DPL berdasarkan status sosial ekonomi Status sosial Partisipasi nelayan dalam penetapan DPL ekonomi nelayan Tinggi % Sedang % Rendah % Penguasaan Alat Produksi Pancing 2 6,4 1 3,2 19 61,2 Jaring 2 6,4 0 0,0 4 12,9 Perahu Lampu 0 0,0 0 0 ,0 3 9,6 Tingkat Pendapatan (Rp per bulan) a. >Rp 2 410 820,10 1 3,2 0 0,0 5 16.1 (Tinggi) b.Rp 848 964,733 9,6 1 3,2 19 61,2 Rp 2 410 820,10 (Sedang) c. < Rp 848 964,73 0 0,0 0 0,0 2 6,4 (Rendah) Penguasaan alat produksi adalah keadaan atau kemampuan nelayan dalam kepemilikan alat produksi. Kusnadi (2002) menyatakan nelayan dapat dibedakan dari segi penguasaan alat produksi (perahu, jaring, dan perlengkapan lainnya), dan ditinjau dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang dipakai, yaitu nelayan modern dan nelayan tradisional. Alat produksi yang digunakan di Desa Bahoi cukup beragam berdasarkan kemampuan masyarakatnya. Beberapa alat transportasi yang digunakan oleh nelayan saat melaut diantaranya, perahu katingting1, perahu pajeko2, dan perahu dayung. Sedangkan alat produksi yang digunakan oleh nelayan-nelayan diantaranya, jaring dan pancing. Namun tidak hanya alat-alat tersebut yang digunakan oleh nelayan ungtuk mencari ikan di laut, tetapi ada juga beberapa nelayan yang membuat perahu lampu sebagai pendamping perahu pajeko saat sedang melaut. Perahu lampu ini tidak digunakan untuk menangkap ikan, tetapi digunakan untuk menunjang penangkapan ikan 1
Perahu Katingtingadalah perahu yang menggunakan alat berupa motor dan diletakkan di bagian belakang perahu. 2 Perahu Pajeko adalah perahu dengan ukuran besar dan dalam pengoperasiannya membutuhkan banyak orang, serta menggunakan jaring saat penangkapannya.
43
yang menggunakan perahu besar. Alat pancing merupakan alat produksi yang banyak digunakan oleh nelayan di Desa Bahoi karena murah dan dapat dibuat secara pribadi. Jenis alat produksi yang digunakan oleh nelayan di Desa Bahoi tidak begitu mempengaruhi partisipasi mereka dalam penetapan DPL. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, membutuhkan waktu yang lama dan intensitas yang sering. Aktivitas yang ini menyebabkan mereka jarang mengikuti kegiatan-kegiatan termasuk penetapan DPL. Tingkat pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh nelayan dari kegiatan melaut. Pendapatan yang dianalisis dalam penelitian ini tidak dibedakan antara nelayan yang menggunakan pancing, jaring atau perahu lampu. Data pendapatan yang digunakan berdasarkan perhitungan langsung oleh nelayan responden dengan menggunakan rata-rata pendapatan mereka per bulan. Pendapatan nelayan digolongkan dengan menggunakan pengujian statistik dalam bentuk grafik histogram. Tingkat pendapatan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu kategori tinggi jika pendapatan lebih besar dari (mean+standar deviasi), yaitu lebih besar dari Rp 2 410 820,10. Kategori rendah jika pendapatan lebih kecil dari (mean-standar deviasi), yaitu lebih kecil dari Rp 848 964,73. Kategori sedang, yaitu antara Rp 848 964,73-Rp 2 410 820,10 seperti terlihat dalam Gambar 8 di bawah ini.
Gambar 4 Grafik histogram tingkat pendapatan nelayan Desa Bahoi tahun 2013
Rata-rata nelayan responden memiliki pendapatan yang dikategorilan sedang. Masyarakat yang berada dalam kategori sedang sebagian besar berasal dari masyarakat yang menggunakan alat pancing saat melaut. Sebagian besar nelayan ini pun memiliki partisipasi yang rendah dalam kegiatan penetapan DPL. Dapat dilihat bahwa latar belakang mereka adalah nelayan pancing yang sebagian besar waktunya digunakan untuk menangkap ikan.
44
45
TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PELAKSANAAN ATURAN DPL Aturan-aturan yang berlaku dalam DPL merupakan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah desa beserta musyawarah masyarakat. Aturan tersebut merupakan hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dalam kawasan DPL maupun disekitar kawasan DPL. Aturan ini tidak hanya berlaku untuk masyarakat Desa Bahoi, melainkan juga untuk seluruh nelayan maupun pengunjung yang melewati garis kepolisian laut Desa Bahoi. Beberapa aturan yang berlaku mencakup alat tangkap yang dilarang penggunaannya dikawasan sekitar DPL, tidak diperbolehkan adanya kegiatan pengambilan biota laut baik yang hidup atau yang mati dan tidak melakukan kegiatan apapun dalam kawasan DPL tanpa seizin pemerintah desa. Pada prinsipnya, kawasan DPL merupakan kawasan yang sangat dilindungi dan sama sekali tidak diizinkan kegiatan apapun didalamnya bahkan melintas pun dilarang, namun dalam DPL di Desa Bahoi kegiatan melintasi kawasan DPL masih sering terjadi dan tidak dikenakan sanksi. Partisipasi Nelayan dalam Pelaksanaan Aturan DPL berdasarkan Tahapan Kegiatan Program DPL
Aturan-aturan yang berlaku dalam DPL merupakan aturan yang ditetapkan bersama-sama dengan masyarakat. Diharapkan masyarakat khususnya nelayan dapat mengikuti setiap aturan tersebut untuk menjaga kawasan DPL demi melestarikan biota laut dan meningkatkan produksi perikanan. Partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL dapat dilihat berdasarkan tahapan kegiatan program yang meliputi tahapan strategi sosialisasi, aktivitas DPL, dan pendampingan (Tabel 9). Tabel 9 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL berdasarkan tahapan kegiatan program DPL Tahapan kegiatan Partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL program DPL Tinggi % Sedang % Rendah % Strategi sosialisasi Tinggi 25 80,6 0 0,0 0 0,0 Sedang 5 16,1 0 0,0 0 0,0 Rendah 1 3,2 0 0,0 0 0,0 Aktivitas DPL Tinggi 27 87,1 0 0,0 0 0,0 Sedang 3 9,6 0 0,0 0 0,0 Rendah 1 3,2 0 0,0 0 0,0 Pendampingan Tinggi 16 51,6 0 0,0 0 0,0 Sedang 2 6,4 0 0,0 0 0,0 Rendah 13 41,9 0 0,0 0 0,0
46
Dapat dilihat dalam Tabel 7 bahwa seluruh nelayan responden ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan aturan DPL dengan tidak melanggar aturan yang sudah berlaku. Seluruh nelayan yang menilai tinggi, sedang, dan rendah pada tahapan strategi memiliki partisipasi yang tinggi pada pelaksanaan aturan DPL. Selain itu, nelayan yang menilai tinggi, sedang ataupun rendah pada tahapan aktivitas DPL serta pendampingan, juga memiliki partisipasi yang tinggi pada pelaksanaan aturan. Hal ini disebabkan sanksi yang berlaku bagi setiap pelanggaran cukup berat dan mereka merasa malu apabila tertangkap melanggar aturan. Pada umumnya seluruh masyarakat sadar dan mengetahui fungsi DPL, walaupun yang mereka ketahui hanya fungsi DPL yaitu untuk masa depan anak dan cucu serta menjaga agar ikan-ikan tetap banyak, hal ini lah yang mendorong mereka untuk berkomitmen. Pendampingan yang dilakukan oleh pihak luar desa seperti pemerintah dan LSM serta kelompok DPL dalam menjaga keberadaan DPL menjadi salah satu alasan nelayan untuk melaksanakan aturan yang berlaku karena kelompok DPL, pemerintah dan LSM memiliki perhatian yang tinggi demi keberlanjutan DPL. Salim (2011) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam menaati peraturan, didorong oleh kesadaran mereka bahwa tindakan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan akan mempengaruhi jumlah tangkapan. Tokoh yang sangat berperan dalam pengawasan DPL adalah ketua kelompok DPL yaitu Bapak ML. Tokoh ini sangat menjaga kawasan DPL dan tidak segan-segan untuk menegur serta memberikan peringatan bagi nelayan yang melanggar aturan, sekalipun orang tersebut lebih tua darinya. Dapat dikatakan bahwa adanya sanksi yang berlaku serta keaktifan tokoh, sangat berperan dalam ketaatan masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan yang berlaku. Partisipasi Nelayan dalam Pelaksanaan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL
Aturan
DPL
berdasarkan
Partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL akan dinilai berdasarkan pengetahuan nelayan terhadap program DPL tersebut. Pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan tentang konservasi laut yang merupakan konsep dasar dalam DPL serta pemahaman nelayan tentang aturan DPL (Tabel 10). Tabel 10 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL berdasarkan pengetahuan nelayan mengenai DPL Pengetahuan nelayan Partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL mengenai DPL Tinggi % Sedang % Pengetahuan Tentang Konservasi Laut Tinggi 8 25,8 0 0,0 Rendah 23 74,1 0 0,0 Pemahaman Tentang Aturan DPL Tinggi 12 Sedang 17 Rendah 2
38,7 54,8 6,4
0 0 0
0,0 0,0 0,0
Rendah
%
0 0
0,0 0,0
0 0 0
0,0 0,0 0,0
47
Sebagian besar nelayan dinilai memiliki pengetahuan yang rendah tentang konservasi laut, namun tidak mempengaruhi partisipasi mereka dalam pelaksanaan aturan DPL. Nelayan tetap mengikuti setiap aturan-aturan yang berlaku karena mereka mengetahui dengan jelas batas-batas lokasi yang dilarang dan yang tidak terlarang. Selain itu, sebagian besar nelayan juga dinilai memiliki pemahaman yang sedang tentang aturan DPL yang meliputi tujuan, fungsi, manfaat serta sanksi-sanksi yang berlaku. Pemahaman yang dimiliki nelayan mengenai aturan DPL dirasa cukup mempengaruhi sikap nelayan. Mereka tidak hanya mengetahui batasan-batasan dan aturan yang dilarang, tetapi mereka juga memahami sanksi-sanksi yang berlaku apabila melakukan pelanggaran maka dari itu mereka memiliki partisipasi yang tinggi dalam pelaksanaan aturan DPL. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Manembu (2004) yaitu, hanya masyarakat yang mempunyai kesadaran dan tingkat pemahaman lingkungan yang memadai, yang memperlihatkan tingkat partisipasi yang lebih baik dalam setiap kegiatan DPL.
Partisipasi Nelayan dalam Pelaksanaan Aturan DPL berdasarkan Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi seringkali menjadi menjadi faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berpartisipasi. Dalam aturan DPL ditetapkan bahwa alat-alat yang digunakan nelayan saat menangkap ikan haruslah ramah lingkungan dan tidak menyebabkan kerusakan karang atau biota lainnya yang tidak ingin ditangkap. Hal ini tentunya akan mempengaruhi hasil tangkapan mereka juga berpengaruh terhadap pendapatan (Tabel 11). Tabel 11 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL berdasarkan status sosial ekonomi Status sosial Partisipasi nelayan dalam pelaksanaan aturan DPL ekonomi nelayan Tinggi % Sedang % Rendah % Penguasaan Alat Produksi Pancing 22 70,9 0 0,0 0 0,0 Jaring 6 19,3 0 0,0 0 0,0 Perahu Lampu 3 9,6 0 0,0 0 0,0 Tingkat Pendapatan (Rp per bulan) 19,3 0 0,0 0 0,0 a. > Rp 2 410 6
820,10 (Tinggi) b.Rp 848 964,7323 Rp 2 410 820,10 (Sedang) c. < Rp 848 964,73 2 (Rendah)
74,1
0
0,0
0
0,0
6,4
0
0,0
0
0,0
Aturan-aturan yang berlaku dalam DPL menetapkan bahwa alat produksi yang digunakan merupakan alat yang ramah lingkungan dan tidak menyebabkan
48
perusakan karang atau biota laut lainnya yang bukan objek penangkapan. Hal ini tentu akan mempengaruhi perilaku nelayan dalam menangkap ikan. Sejak DPL ditetapkan di Desa Bahoi, nelayan pun ikut menjaga kawasan DPL dan sekitarnya dengan menggunakan alat produksi yang ramah lingkungan. Pemilihan alat produksi yang dilakukan oleh nelayan menunjukkan bahwa mereka turut berpartisipasi dalam pelaksanaan aturan DPL. Selain itu, nelayan pun tidak membuang jangkarnya di kawasan DPL karena mereka pun mengetahui bahwa kawasan tersebut ditujukan untuk menjaga biota didalamnya. Dalam tabel ditunjukkan bahwa tingkat pendapatan tidak menjadi alasan bagi nelayan untuk tidak melaksanakan aturan. Walaupun pendapatan sebagian besar nelayan berada pada kategori sedang dan ada juga yang rendah, tetapi mereka tidak melanggar aturan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak karena di lokasi DPL terdapat ikan yang banyak. Setiap nelayan tetap berpartisipasi untuk melaksanakan aturan yang telah ditetapkan secara bermusyawarah.
49
TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM MONITORING PELAKSANAAN DPL Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam program DPL tidak hanya sosialisasi maupun penetapan kawasan, aturan serta sanksi-sanksinya, tetapi juga mencakup kegiatan pemantauan kawasan. Pengawasan DPL bukan hanya tugas pengurus kelompok DPL yang disebut dengan POKMASWAS, namun kegiatan ini juga melibatkan masyarakat secara aktif. Keseluruhan kegiatan dalam program DPL merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat, pemerintah desa, dan kelompok DPL. Kegiatan pemantauan ini mencakup, memperhatikan secara aktif kawasan DPL atau sekitarnya, monitoring kinerja kelompok DPL, memperhatikan kondisi ekosistem disekitar kawasan DPL, dan ikut monitoring pendatang baik pengunjung atau nelayan dari desa lain apabila melintas disekitar DPL, serta ikut menegur atau memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Partisipasi Nelayan dalam Monitoring Pelaksanaan DPL berdasarkan Tahapan Kegiatan Program DPL Program DPL di Desa Bahoi melibatkan masyarakat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan, tidak hanya saat sebelum DPL terbentuk tetapi juga saat DPL sudah terbentuk melalui kegiatan pemantauan. Pemantauan yang berlaku di Desa Bahoi tidak hanya monitoring kawasan tetapi juga turut memonitoring pengunjung serta penerapan aturan dan sanksi yang berlaku. Partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan dinilai berdasarkan tahapan kegiatan program DPL yang meliputi strategi sosialisasi, aktivitas DPL dan pendampingan (Tabel 12). Tabel 12 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL berdasarkan tahapan kegiatan program DPL Tahapan kegiatan Partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL program DPL Tinggi % Sedang % Rendah % Strategi sosialisasi Tinggi 10 32,2 11 35,4 4 12,9 Sedang 0 0,0 4 12,9 1 3,2 Rendah 0 0,0 1 3,2 0 0,0 Aktivitas DPL Tinggi 9 29,0 14 45,1 4 12,9 Sedang 1 3,2 2 6,4 0 0,0 Rendah 0 0,0 0 0,0 1 3,2 Pendampingan Tinggi 6 19,3 9 29,0 1 3,2 Sedang 2 6,4 0 0,0 0 0,0 Rendah 2 6,4 7 22,5 4 12,9 Partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanan DPL dinilai sedang. Monitoring pelaksanaan DPL yang dilakukan oleh nelayan cukup dipengaruhi oleh tahapan-tahapan sebelum DPL terbentuk. Tahapan strategi sosialisasi dinilai
50
tinggi oleh nelayan dan menunjukkan bahwa partisipasi mereka ada dalam kategori sedang. Dalam tahapan strategi sosialisasi, disampaikan informasi bahwa program yang direncanakan melalui musyawarah merupakan tanggung jawab bersama sehingga hal ini mempengaruhi partisipasi mereka. Dalam tahapan aktivitas DPL, dilakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang masyarakat khususnya nelayan untuk memahami secara langsung kawasan DPL, meliputi pemantauan biota secara langsung walaupun tidak semua nelayan ikut tetapi mereka mendapatkan informasi bahwa kondisi bawah laut Desa Bahoi yang dijadikan DPL sangat bagus dan terawat, kegiatan pembuatan sanksi dan aturan, serta pelatihan-pelatihan. Kondisi bawah laut yang sudah terjaga akibat pelaksanaan DPL menyebabkan masyarakat khususnya nelayan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kawasan tersebut dengan ikut memonitoring. Selain itu, pendampingan yang dilakukan oleh pihak luar seperti dinas perikanan atau universitas yang turut perhatian dengan perkembangan DPL Bahoi menyebabkan mereka pun turut serta untuk menjaga keberlanjutan DPL. Walupun partisipasi nelayan dalam pemantauan hanya memperhatikan nelayan lain yang melakukan penangkapan disekitar DPL serta melaporkan apabila terjadi pelanggaran, tetapi hal ini sudah turut membantu keberlanjutan DPL. Pada kenyataannya ada kelompok yang bertugas untuk menjaga kawasan DPL yaitu POKMASWAS, namun kelompok ini dapat dikatakan kurang aktif karena kegiatan pengawasan ataupun pemantauan memerlukan waktu yang banyak, sedangkan mereka pun harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tokoh penting dalam DPL, yaitu ketua kelompok DPL pun merasa kelompok pengawas sangat kurang aktif dalam melakukan tugasnya, para anggota tidak ingin mengawasi kawasan DPL secara aktif karena mereka tidak mendapatkan upah dari pekerjaan itu.
Partisipasi Nelayan dalam Monitoring Pelaksanaan DPL berdasarkan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL Pengetahuan menjadi faktor yang cukup mempengaruhi perilaku nelayan dalam keterlibatannya dikegiatan monitoring DPL. Pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan tentang konservasi laut dan pemahaman tentang aturan DPL (Tabel 13). Tabel 13 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL berdasarkan pengetahuan nelayan mengenai DPL Pengetahuan Partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL nelayan mengenai Tinggi % Sedang % Rendah % DPL Pengetahuan Tentang Konservasi Laut Tinggi 6 19,3 2 6,4 0 0,0 Rendah 4 12,9 14 45,1 5 16,1 Pemahaman Tentang Aturan DPL Tinggi 5 16,1 7 22,5 0 0,0 Sedang 5 16,1 9 29,0 3 9,6 Rendah 0 0,0 0 0,0 2 6,4
51
Pengetahuan tentang konservasi laut yang dimiliki oleh nelayan dinilai rendah, Hal ini berbeda dengan pemahaman yang dimiliki nelayan mengenai aturan DPL. Namun hal ini tidak mempengaruhi partisipasi mereka dalam monitoring pelaksanaan DPL walaupun sebagian besar partisipasi mereka pada kategori sedang, yaitu hanya memperhatikan nelayan atau orang yang melintas dikawasan DPL serta turut menegur tetapi hal ini sudah turut membantu keberlanjutan DPL. Pemahaman yang mereka miliki memberikan kesadaran bahwa DPL yang dibentuk memiliki fungsi, tujuan, dan manfaat untuk menjaga biota laut dan untuk masa depan serta warisan bagi anak cucu, hal inilah yang mendorong mereka untuk turut dalam monitoring DPL. Selain itu, mereka pun tidak ingin kawasan DPL rusak apalagi jika hal itu dilakukan oleh nelayan pendatang (berasal dari desa tetangga).
Partisipasi Nelayan dalam Monitoring Pelaksanaan DPL berdasarkan Status Sosial Ekonomi Kegiatan pemantauan pelaksanaan DPL yang dilakukan merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah daerah, pemerintah desa, dan masyarakat secara keseluruhan. Nelayan memiliki latar belakang yang berbedabeda dalam hal penguasaan alat produksi dan tingkat pendapatan. Maka hal inilah yang akan dinilai, apakah mempengaruhi partisipasi mereka dalam monitoring pelaksanaan DPL (Tabel 14).
Tabel 14 Tabulasi silang partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL berdasarkan status sosial ekonomi Status sosial ekonomi Partisipasi nelayan dalam monitoring pelaksanaan DPL nelayan Tinggi % Sedang % Rendah Penguasaan Alat Produksi Pancing 7 22,5 10 32,2 5 Jaring 3 9,6 3 9,6 0 Perahu Lampu 0 0,0 3 9,6 0 Tingkat Pendapatan (Rp per bulan) 9,6 2 6,4 1 a. > Rp 2 410 3
820,10 (Tinggi) 6 b. Rp 848 964,73Rp 2 410 820,10 (Sedang) c. < Rp 848 964,73 1 (Rendah)
% 16,1 0,0 0,0 3,2
19,3
14
45,1
3
9,6
3,2
0
0,0
1
3,2
Sebagian besar nelayan dengan alat produksi pacing, jaring, dan perahu lampu memiliki partisipasi yang sedang dalam monitoring pelaksanaan DPL. Kegiatan monitoring yang paling sering dilakukan adalah ikut memperhatikan nelayan-nelayan yang sedang beraktifitas disekitar DPL, menegur nelayan atau
52
orang yang melakukan pelanggaran berdasarkan aturan yang telah berlaku dalam DPL serta memperhatikan bagaimana sanksi diberlakukan bagi pelanggar. Partisipasi yang dilakukan oleh nelayan pancing disebabkan aktivitas penangkapan ikan yang mereka lakukan disekitar kawasan DPL dan sekitarnya, sehingga mereka lebih sering memantau nelayan atau pengunjung yang berada di sekitaran DPL. Namun, nelayan jaring dan perahu lampu pun turut serta dalam monitoring pelaksanaan DPL dan hal ini sering dilakukan saat mereka sedang tidak melakukan aktifitas penangkapan ikan.
53
ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PROGRAM DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Hubungan Tahapan Kegiatan Program DPL dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Program DPL yang ditujukan untuk menjaga biota laut, meningkatkan produksi perikanan serta meningkatkan pendapatan masyarakat setempat membutuhkan peran serta berbagai sektor, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Peran masyarakat sangat dibutuhkan demi menjaga keberlanjutan kawasan DPL karena mereka memiliki hubungan langsung dengan laut. Selain itu, keberadaan program ditujukan untuk memberikan kemampuan pada masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan mendidik masyarakat dalam hal perlindungan sehingga meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban untuk mengambil peran dalam menjaga, mengelola sumberdaya (Sudiyono 2005). Dalam pelaksanaan suatu program tentunya membutuhkan tahapan-tahapan sebelum program itu berjalan. Tahapan-tahapan yang dilaksanakan meliputi strategi sosialisasi, aktivitas DPL, serta adanya proses pendampingan oleh tim dari luar desa atau kelompok DPL yang terdiri dari masyarakat setempat. Masyarakat dan termasuk juga seluruh nelayan selalu diundang dalam setiap tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum DPL terbentuk karena dalam tahapan tersebut dilakukan musyawarah untuk menetapkan lokasi serta aturanaturan dan sanksi yang berlaku. Setiap tahapan ini tentunya akan mempengaruhi keberlanjutan dari program DPL. Keberlanjutan program ini pun sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat secara aktif. Analisis hubungan tahapan kegiatan program DPL dengan tingkat partisipasi nelayan di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara menggunakan uji korelasi Rank Spearman sehingga diperoleh hasil akhir sebagaimana Tabel 15. Tabel 15 Hasil uji korelasi antara tahapan kegiatan program partisipasi nelayan Uji korelasi Tahapan kegiatan program DPL Tahapan kegiatan Koefisien korelasi 1.000 program DPL Signifikansi (2tailed) . Tingkat partisipasi Koefisien korelasi .339 nelayan Signifikansi (2tailed) .062
DPL dengan tingkat
Tingkat partisipasi nelayan .339 .062 1.000 .
Kriteria pengujian menggunakan analisis korelasi Rank Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) > 0,05 atau 0,01 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata dan positif antara X1 (tahapan kegiatan program DPL) dengan Y1 (tingkat partisipasi nelayan). Jika nilai signifikansi (p) ≤ 0,05 atau 0,01 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara X1 (tahapan kegiatan program DPL) dengan Y1 (tingkat partisipasi nelayan). Berdasarkan hasil olahan data, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi antara X1 dan Y1 adalah 0,062. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0,05 atau
54
0,01 maka tidak ada hubungan yang nyata antara tahapan kegiatan program DPL dengan partisipasi nelayan. Tahapan-tahapan dalam program DPL yang meliputi strategi sosialisasi dan aktivitas DPL serta proses pendampingan tidak berpengaruh dengan partisipasi nelayan. Dalam setiap tahapan yang dilalui, nelayan selalu diikutsertakan namun karena mobilitas mereka yang tinggi dan sering tidak berada di desa, maka mereka cenderung tidak mengikuti kegiatankegiatan dalam setiap tahapan. Selain itu proses pendampingan yang diadakan oleh pihak luar maupun kelompok DPL juga kurang dirasakan oleh nelayan, walaupun kegiatan pendampingan sering dilakukan.
Hubungan Pengetahuan Nelayan Mengenai DPL dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Program DPL dibentuk tidak hanya bertujuan untuk melestarikan biota laut dan meningkatkan produksi perikanan, namun juga ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam hal ini nelayan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya laut serta mendidik mereka mengenai cara mengelola dan melestarikan sumberdaya demi masa depan. Setiap kegiatan yang dilaksanakan sebelum atau saat program DPL berlangsung seperti pelatihan maupun penyuluhan, pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan agar mereka memahami konsep DPL yang juga merupakan konsep konservasi laut. Selain pemahaman nelayan mengenai konsep konservasi, mereka pun diharapkan mengetahui tujuan, fungsi, dan manfaat dari DPL di Desa Bahoi serta aturan-aturan maupun sanksi yang berlaku apabila terjadi pelanggaran. Pemahaman mereka ini menjadi dasar keberlanjutan DPL. Analisis hubungan pengetahuan nelayan terhadap DPL dengan tingkat partisipasi nelayan di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara menggunakan uji korelasi Rank Spearman sehingga diperoleh hasil akhir sebagaimana Tabel 16. Tabel 16 Hasil uji korelasi antara pengetahuan nelayan mengenai DPL dengan tingkat partisipasi nelayan Uji Korelasi Pengetahuan Tingkat partisipasi nelayan nelayan mengenai DPL Pengetahuan Koefisien korelasi 1.000 .592** nelayan mengenai Signifikansi (2-tailed) . .000 DPL .592** 1.000 Tingkat partisipasi Koefisien korelasi nelayan Signifikansi (2-tailed) .000 . ** Nilai korelasi berada pada tingkat 0.01
Kriteria pengujian menggunakan analisis korelasi Rank Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) > 0,05 atau 0,01 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata dan positif antara X2 (pengetahuan nelayan terhadap DPL)dengan Y1 (tingkat partisipasi nelayan). Jika nilai signifikansi (p) ≤ 0,05 atau 0,01 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara
55
X1 (pengetahuan nelayan terhadap DPL) dengan Y1 (tingkat partisipasi nelayan). Berdasarkan hasil olahan data, diperoleh nilai signifikansi dari korelasi X2 dan Y1 adalah 0,000, nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih kecil dari 0,05 atau 0,01. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif. Pengetahuan nelayan mengenai konsep konservasi laut dapat dikategorikan rendah, namun pemahaman mereka menyangkut aturan DPL yang meliputi tujuan, fungsi, dan manfaat serta aturan-aturan maupun sanksi dikategorikan sedang. Walaupun pengetahuan mereka rendah mengenai konsep konservasi, tetapi hal ini tidak mempengaruhi partisipasi mereka karena pemahaman tentang DPL yang mereka miliki cukup menjadi modal untuk memahami DPL dan turut berpartisipasi. Schrool (1984) menyatakan masyarakat akan berpartisipasi apabila mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang tingkat kegiatan, dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang DPL. Pemahaman mereka diperoleh dari setiap pengumuman-pengumuman melalui pengeras suara atau saat kegiatan ibadah berlangsung. Dalam kegiatan melaksanakan aturan, partisipasi nelayan dikategorikan tinggi dan dalam kegiatan pemantauan, partisipasi nelayan dikategorikan sedang. Namun partisipasi mereka rendah dalam keikutsertaannya pada kegiatan penetapan DPL. Hal ini dapat menjadi faktor kurangnya pengetahuan mereka khususnya mengenai konsep DPL. Hubungan Status Sosial Ekonomi Nelayan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Perilaku nelayan dalam berpartisipasi diduga dipengaruhi oleh latar belakang mereka yang berbeda-beda. Latar belakang dalam penelitian ini merupakan status sosial ekonomi mereka. Status sosial ekonomi tersebut meliputi, penguasaan alat produksi dan tingkat pendapatan. Alat produksi yang digunakan menunjukkan mobilitas mereka dalam kegiatan penangkapan ikan. Mobilitas ini pun mempengaruhi keterlibatan nelayan dalam kegiatan program DPL. Tingkat pendapatan nelayan sebagian besar nelayan berada pada kategori sedang dengan alat produksi yang digunakan adalah pancing. Analisis hubungan status sosial ekonomi nelayan dengan tingkat partisipasi nelayan di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara menggunakan uji korelasi Rank Spearman sehingga diperoleh hasil akhir sebagaimana Tabel 17. Tabel 17 Hasil uji korelasi antara status sosial ekonomi nelayan dengan tingkat partisipasi nelayan Uji Korelasi Status sosial Tingkat partisipasi ekonomi nelayan nelayan 1.000 .164 Status Sosial Koefisien korelasi ekonomi nelayan Signifikansi (2-tailed) . .379 .164 1.000 Tingkat partisipasi Koefisien korelasi nelayan Signifikansi (2-tailed) .379 . Kriteria pengujian menggunakan analisis korelasi Rank Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) > 0,05 atau 0,01 maka dapat disimpulkan bahwa tidak
56
terdapat hubungan nyata dan positif antara X3 (status sosial ekonomi nelayan) dengan Y1 (tingkat partisipasi nelayan). Jika nilai signifikansi (p) ≤ 0,05 atau 0,01 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara X1 (status sosial ekonomi nelayan) dengan Y1 (tingkat partisipasi nelayan). Berdasarkan hasil olahan data, diperoleh nilai signifikansi dari korelasi X3 dan Y1 adalah 0,379, nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0,05 atau sama dengan 0,01. Maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara status sosial ekonomi nelayan dengan partisipasi nelayan. Status sosial ekonomi nelayan dilihat berdasarkan alat produksi yang digunakan saat menangkap ikan serta pendapatan yang diperoleh. Alat produksi yang digunakan oleh sebagian besar nelayan adalah pancing untuk penangkapan ikan. Nelayan pancing memiliki mobilitas yang besar dibandingkan nelayan dengan alat produksi jaring serta perahu lampu. Namun ketiga kategori nelayan ini memiliki partisipasi yang rendah pada penetapan DPL. Selain itu, pada pelaksanaan aturan DPL nelayan tetap berpartisipasi yang sama dan tidak dipengaruhi oleh jenis alat produksi maupun pendapatan mereka. Hal ini juga diperlihatkan pada partisipasi mereka dalam monitoring DPL. Jenis alat produksi yang digunakan serta pendapatan tidak mempengaruhi mereka untuk turut serta saat memonitoring DPL.
Tingkat Partisipasi Nelayan berdasarkan Jenjang Partisipasi Warga Negara Program DPL merupakan program yang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam setiap tahapan-tahapan program. Keterlibatan masyarakat merupakan hal yang penting karena penetapan kawasan DPL akan mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Program ini merupakan program yang diinisiasikan bersama pemerintah. Pemerintah memiliki peranan yang cukup penting dalam DPL. Pemerintah yang dilibatkan pada DPL Desa Bahoi adalah pemerintah daerah Kabupaten Minahasa Utara dan Kecamatan Likupang Barat. Hasil musyawarah yang menetapkan kawasan DPL berdasarkan sosialisasi dan survey serta aturan beserta sanksi yang berlaku ditindaklanjuti juga oleh pemerintah daerah. Peraturan desa tentang daerah perlindungan laut yang telah ditetapkan merupakan hasil musyawarah desa dengan pendampingan pemerintah daerah merupakan proses yang cukup panjang dengan menimbang berdasarkan kenyataan potensi sumberdaya pesisir dan pertimbangan berdasarkan undang-undang dasar. Pemerintah membantu masyarakat dengan pemerintah desa untuk mengarahkan peraturan DPL. Peran pemerintah daerah terhadap DPL menunjukkan bahwa mereka turut serta dalam penetapan kawasan dan memiliki tanggung jawab terhadap DPL. Namun, hal ini tidak menjadikan masyarakat sebagai pihak yang digunakan hanya untuk berpartisipasi semu melainkan mereka juga memiliki peran yang penting karena program ini merupakan program yang ditujukan dengan berbasis masyarakat. Pembentukan kelompok serta pemberian tugas dan tanggung jawab yang jelas pada masyarakat Desa Bahoi, menunjukkan bahwa mereka memiiliki peran yang penting dalam keberlanjutan program. Tanggung jawab bersama yang dimiliki oleh masyarakat desa dengan pemerintah daerah menunjukkan bahwa tingkatan partisipasi berada pada tingkat kemitraan, yaitu pemegang kekuasaan
57
(pemerintah daerah) bersama masyarakat memiliki tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan penetapan. Partisipasi ini berjalan pada saat awal perencanaan dan pengambilan keputusan yang terdapat dalam peraturan desa. Keberlanjutan DPL Desa Bahoi hingga saat ini merupakan hasil dari peranan yang penting dalam masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam keberlanjutan DPL di dalam desa mengarah pada tingkat kekuasaan didelegasikan, yaitu tingkatan yang memberikan kedudukan kepada masyarakat sehingga mereka memiliki kekuasaan dalam menentukan keputusan dan menjamin akuntabilitas program. Tingkat partisipasi ini mulai terbentuk pada saat DPL telah ditetapkan dan diberikan kewenangan kepada kelompok DPL beserta masyarakat untuk turut serta dalam menjaga keberlanjutan dan menindaklajuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
58
59
PENINGKATAN PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Keberlanjutan kawasan daerah perlindungan laut sangat ditentukan dari individu yang memanfaatkan wilayah tersebut. Aktivitas penangkapan dengan tidak memperhatikan alat yang digunakan akan menimbulkan kerusakan pada biota laut yang dilindungi. Selain itu, kesadaran dan pemahaman akan pentingnya menjaga laut merupakan prinsip dasar yang menjadi faktor penting untuk menjaga kawasan DPL. Menjaga keberlanjutan kawasan DPL merupakan hal yang penting tidak hanya untuk kelangsungan hidup biota laut, tetapi juga untuk kelangsungan hidup masyarakat banyak. Keberlanjutan hidup terumbu karang menjadi salah satu alasan daerah perlindungan dibentuk. Terumbu karang yang baik akan memberikan banyak manfaat bagi perikanan, pariwisata, rekreasi dan juga kentungan lain bagi perlindungan pesisir serta penelitian ilmiah (Westmacott et al. 2000). Hal inilah yang menjadikan keberlanjutan daerah perlindungan laut merupakan sesuatu yang penting untuk masa sekarang atau masa yang akan datang. Tahapan yang berlangsung dalam program DPL meliputi strategi sosialisasi, aktivitas DPL, dan monitoring serta evaluasi melibatkan peran serta dari berbagai pihak seperti pemerintah desa, pemerintah, swasta, dan masyarakat desa. Dalam setiap tahapan dilakukan berbagai upaya yang mendukung program agar tetap berlanjut (Tabel 18). Tabel 18 Upaya peningkatan partisipasi nelayan dalam program DPL No 1.
Tahapan Strategi sosialisasi
2.
Aktivitas DPL
3.
Monitoring Evaluasi
dan
Upaya - Melibatkan masyarakat dan memilih waktu yang tepat agar sebagian besar nelayan dapat hadir (minggu) - Penyuluhan yang rutin dan terprogram mengenai DPL - Menentukan strategi monitoring dan evaluasi yang melibatkan seluruh masyarakat - Pendampingan yang aktif dan rutin oleh pemerintah atau instansi terkait - Pelibatan masyarakat termasuk juga nelayan dalam aksi-aksi DPL - Pemberian dukungan sarana dan prasarana - Pertemuan rutin oleh kelompok dan masyarakat untuk membahas perkembangan DPL dan laporanlaporan oleh kelompok - Mendorong masyarakat dan nelayan untuk turut serta dalam kegiatan - Memberikan tugas atau kerja yang jelas kepada masyarakat dan nelayan agar turut bertanggung jawab terhadap DPL - Menggunakan teknik partipatoris seperti FGD agar masyarakat dapat
Pemangku kepentingan - Pemerintah desa - Tokoh masyarakat - Masyarakat umum - Nelayan - Penyuluh
- Pendamping/fasilitator yang kompeten - Instansi terkait - Tokoh masyarakat - Masyarakat umum - Nelayan
- Pendamping/fasilitator yang kompeten - Instansi terkait - Tokoh masyarakat - Masyarakat umum - Nelayan - Pemerintah daerah
60
mengeluarkan pendapatnya - Menyusun perencanaan aksi bersama dengan masyarakat (LFA)
Keterlibatan berbagai sektor menjadi dasar yang dapat mempertahankan kondisi DPL dan hasil akan maksimal apabila pengelolaan terencana dengan baik serta adanya partisipasi yang aktif. Partisipasi yang dibutuhkan tidak hanya menghindari semua larangan dan tidak melanggarnya, tetapi juga turut memperhatikan setiap perkembangan DPL serta mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang program DPL sebagai wujud kepedulian. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan rendahnya kehadiran nelayan dalam setiap pertemuan. Kegiatankegiatan yang dilaksanakan baik oleh pihak luar desa atau kelompok DPL bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan nelayan mengenai DPL. Walaupun partisipasi nelayan tinggi dalam melaksanakan aturan DPL, namun sebagian besar mereka memiliki pengetahuan yang rendah mengenai konsep konservasi serta pemahaman yang sedang tentang fungsi, tujuan, dan manfaat DPL. Hal inilah yang harus diperhatikan demi keberlanjutan DPL. Pengetahuan merupakan dasar yang penting karena apabila mereka memiliki pengetahuan yang rendah hal ini akan mempengaruhi tingkat kepedulian mereka (Zamani dan Darmawan 2000). Kepedulian yang rendah dari masyarakat khususnya nelayan merupakan hal yang dikhawatirkan oleh ketua kelompok DPL. Peran ketua kelompok cukup berpengaruh besar sehingga DPL di Desa Bahoi masih ada saat ini. Hingga saat ini setelah sepuluh tahun DPL terbentuk, posisi ketua kelompok belum digantikan. Kenyataan ini disebabkan belum ada masyarakat yang siap untuk bertanggung jawab atas keberlanjutan DPL. Hal ini menjadi sesuatu yang penting karena keberlanjutan DPL harus diwariskan. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat adalah penyuluhan dan pendampingan. Proses pendampingan yang berlangsung selama ini merupakan pendampingan yang tidak rutin. Dibutuhkan peran aktif dari lembaga-lembaga seperti LSM, perguruan tinggi, yang dapat memberikan kontribusi dalam upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat. Pengetahuan yang dapat diberikan berupa konsep-konsep sumberdaya pesisir dan konservasi laut. Masyarakat wilayah pesisir penting sekali memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai pesisir dan sumberdaya laut serta manfaat-manfaatnya. Proses penyampaiannya menggunakan metode yang dekat dengan masyarakat karena mereka memiliki keterbatasan dalam latar belakang pendidikan, selain itu diperlukan juga pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam hal merawat biota laut yang dilindungi terutama di kawasan DPL. Pelatihan dapat berupa pembuatan karang atau pemulihan karang yang rusak (Westmacott et al. 2000). Upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat menggunakan konsep Ife dan Tesoriero (2006) yaitu, mengangkat isu atau aktivitas yang dianggap penting oleh masyarakat, masyarakat harus merasa bahwa apa yang menjadi aktivitas mereka akan membuat suatu perubahan, meyakinkan mereka bahwa apapun bentuk partisipasi yang dilakukan akan dihargai, serta menciptakan kondisi dimana masyarakat harus bisa berpartisipasi dan mendapatkan dukungan. Melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan, mulai dari hal yang kecil seperti menyambut tamu asing atau dalam negeri menjadi hal yang dapat meningkatkan minat mereka untuk lebih memperhatikan DPL. Selain hal-hal ini, diharapkan juga diadakan kegiatan rutin oleh kelompok DPL yang
61
melibatkan peran serta masyarakat, walaupun banyak dari antara mereka yang tidak hadir, akan tetapi informasi tidak terputus karena pemberian informasi yang rutin akan meningkatkan pengetahuan masyarakat serta memberikan bukti bahwa kelompok pun peduli dengan keberadaan mereka yang membutuhkan informasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya penilaian yang tidak baik oleh masyarakat kepada kelompok. Transparansi merupakan hal yang penting dalam kehidupan berorganisasi. Kegiatan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya kelompok DPL adalah pelatihan yang dapat menambah kemampuan mereka untuk menyelesaikan permasalahan, baik masalah mengenai pelestarian dan isu sumberdaya laut serta masalah di dalam kelompok. Pomeroy et al. (2004) menyatakan tingkat pelatihan merupakan ukuran sejauhmana kemampuan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menghadapi berbagai tantangan yang akan datang.
62
63
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dikemukakan kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1. Tahapan strategi sosialisasi, aktivitas DPL, dan pendampingan dalam program kegiatan DPL dinilai tinggi oleh nelayan. Kegiatan yang telah direncanakan pada awal program dapat dilaksanakan dan nelayan juga menaati peraturan desa dengan tidak melakukan pelanggaran dalam DPL serta proses pendampingan yang berjalan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat. Pengetahuan nelayan mengenai DPL meliputi pengetahuan tentang konservasi laut yang dinilai rendah dan pemahaman aturan DPL yang dinilai sedang. Kebanyakan Nelayan hanya mengetahui fungsi dan manfaat DPL untuk meningkatkan produksi perikanan serta demi masa depan anak dan cucu. Sebagian besar nelayan adalah nelayan yang menggunakan alat produksi berupa pancing, namun hal ini tidak membedakan intensitas mereka dilaut jika dibandingkan dengan nelayan jaring atau nelayan yang menggunakan perahu lampu serta tingkat pendapatan sebagian besar nelayan berada pada kategori sedang dan hal ini dipengaruhi oleh penguasaan alat produksi yang digunakan untuk mencari ikan. 2. Partisipasi nelayan dalam penetapan DPL tergolong rendah, hal ini dilihat dari kehadiran serta peran nelayan dalam kegiatan yang berlangsung. Pada pelaksanaan, partisipasi nelayan tergolong tinggi, seluruh nelayan tidak melakukan pelanggaran aturan dan dalam proses monitoring (pemantauan), partisipasi nelayan tergolong sedang hal ini disebabkan sebagaian besar nelayan hanya melakukan proses pemantauan seperti menegur orang yang melintasi DPL serta melaporkan apabila ada pelanggaran dan turut dalam pemberian sanksi bagi pelanggar aturan. Pengetahuan memiliki hubungan yang nyata dengan partisipasi nelayan. Pengetahuan merupakan hal yang penting untuk menjaga keberlanjuatan DPL. Tingkat partisipasi nelayan berdasarkan jenjang partisipasi warga negara, berada pada tingkatan kemitraan yaitu pembagian tanggung jawab bersama antara pemegang kekuasaan dan masyarakat pada tahap awal perencanaan dan pembuatan aturan desa serta mengarah pada partisipasi di tingkat kekuasaan didelegasikan yaitu kedudukan yang diberikan kepada masyarakat untuk pengambilan keputusan serta akuntabilitas program pada saat DPL telah ditetapkan dan diberikan kewenangan kepada kelompok DPL beserta masyarakat untuk turut serta dalam menjaga keberlanjutan dan menindaklajuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
64
Saran
Mengacu pada hasil penelitian, maka terdapat hal yang dapat dijadikan masukan atau saran, diantaranya:
1. Kelompok, pemerintah desa/daerah, dan instansi terkait perlu mengadakan kegiatan rutin seperti pemantauan langsung kedalam lokasi DPL atau pemulihan biota laut yang sudah mulai rusak dengan melibatkan masyarakat agar mereka melihat dan merasakan secara langsung kondisi bawah laut DPL sehingga memiliki ketertarikan untuk menjaga DPL. 2. Kelompok DPL perlu mengadakan kegiatan yang rutin dalam mengevaluasi DPL dengan melibatkan masyarakat sehingga lebih transparan dan masyarakat pun merasa memiliki dan bertanggung jawab dengan keberlanjutan DPL. Pilih waktu yang tepat dalam pelaksanaan kegiatan agar lebih banyak nelayan yang berpartisipasi. Kelompok DPL diharapkan dapat menyampaikan informasiinformasi penting bagi masyarakat yang tidak dapat hadir dalam kegiatan. Seluruh upaya ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai tujuan, fungsi, dan manfaat DPL. 3. Pemerintah dapat mengadakan pemantauan rutin terhadap perkembangan DPL, dan turut melakukan promosi untuk Desa Bahoi agar dikenal di tingkat nasional sehingga mereka akan lebih menjaga keberlanjutan DPL serta dapat menambah pendapatan apabila Desa Bahoi menjadi tempat wisata. Instansi seperti LSM dan perguruan tinggi dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan keterampilan mereka serta turut mempraktikkan ilmu yang diperoleh untuk keberlanjutan sumberdaya laut yang ada di dalam DPL.
65
DAFTAR PUSTAKA Arnstein SR. A Ladder of Citizen Participation [internet]. [tempat tidak diketahui]: JAIP. 35(4). [diacu 2013 Maret 20]. Tersedia dari: http://lithgow schmidt.dk/sherry-arnstein/ladder-of-citizenparticipation_en.pdf. Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Terpadu. Bogor [ID]: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Bruce M, Setiawan B, Rahmi D H. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press. Cohen JM, Uphoff NT. 1977.Rural Development Participation: Concepts and Measures For Project Design, Implementation And Evaluation. New York [US]: Cornell University. Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta [ID]: Departemen Eksploitasi Laut dan Perikanan.
Dahuri R, Rais J, Sitepu MJ. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Bogor [ID]: PT Pradnya Paramita. Giffari AA. Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur) [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Herdian D. 2003. Karakteristik Sosial Ekonomi dan Pola Hubungan Patron-Klien Masyarakat Nelayan [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Ife J, Tesoriero F. 2006. Community development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Manullang S, Yakin N, Nursyahid M. Karlina I. 2011. Kajian Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Kasmidi M, Ratu A, Armada E, Mintahari J, Maliasar I, Yanis D, Lumolos F, dan Mangampe N, Kapena P, dan Mongkol M. 1999. Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Wilayah Pesisir Desa Blongko Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. University of KKP. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka [internet]. Jakarta [ID]: Kementrian Kelautan dan Perikanan. [diunduh 2013 Maret 20]. Tersedia pada: http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/37/kpda11_ok_r06_v02.pdf/ Kolopaking LM, Amanah S, Tjitropranoto P, Anggraeni L, Sjaf S. 2012. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-LMP): Studi Kualitatif Efek Rembesan Pilot PNPM-Lingkungan Mandiri Persedaan di Indonesia. Bogor [ID]: PSP3 dan LPPM IPB. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia [internet]. Jakarta [ID]: Kementrian Kelautan dan Perikanan. [diacu 2013 Maret 20]. Tersedia dari: http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/29/Statistik-Perikanan-Tangkap tahun2010/?category_id=3.pdf. Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Alam. Yogyakarta [ID]: LKIS. Manembu IS. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Pulau Gangga, Bangka dan Talise Provinsi Sulawesi Utara [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Nganro NR, Suantika G. 2009. Urgensi Ecosystem Approach Dalam Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia [internet].Bandung [ID]: Institut
66
Teknologi Bandung. [diacu 2013 Jan 21 ]. Tersedia dari: http://www.sith.itb.ac.id/profile/Urgensi%20Ecosystem%20Approach %20Dalam%20Pengelolaan%20Pesisir%20dan%20Pulaupulau%20kecil%20di%20Indonesia.pdf. Oxford. 2000. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition. Amerika [US]: Oxford University Press. Padmowiharjo S. 2006. Penyuluhan Pendampingan Partisipatif. Jurnal Penyuluhan. Jurnal Penyuluhan. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 2(01). [Penerjemah]. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development. Yogyakarta [ID]: Pustaka pelajar.
Peraturan Desa Bahoi. 2003. Peraturan Desa Bahoi No. 02/PD-DB/IV-2003 Tentang Daerah Perlindungan Laut. Bahoi [ID]. Pomeroy RS, Parks JE, Watson LN. 2004. How is Your MPA Doing? A guide book of Natural and Social Indicators for Evaluating Marine Protected Area Management [internet]. Cambridge [UK]: IUCN Publications Service Unit. [diacu 2013 Feb 16] Tersedia dari: http://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=ou4NjR4kziQC&oi=fnd&pg=PT 8&dq=How+is+Your+MPA+Doing%3F+A+guide+book+of+Natural+and+Socia l+Indicators+for+Evaluating+Marine+Protected+Area+Management.+&ots=QFL vX_cjYI&sig=51Ap_zNg7fzO67zyTodkGycjp6Q&redir_esc=y.pdf. Pomeroy RS, Williams MJ. 1994. Fisheries Co-Management and Small-scale Fisheries: A Policy Brief. Philippines [PH]: International Center for Living Aquatic Resources Management. Primatianti M. 2002. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Kecamatan Kintap dan Kecamatan Takisung Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan) [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Salim D. 2011. Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Sahri
M,
Mushadi AY, Sukoharson EG.2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas Sosial Ekonomi Nelayan Kecil di Jawa Timur. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial. 18 (01). Satria A. 2009. Pesisir dan Laut. Bogor [ID]: IPB Press. Sajogyo. 1998. Menuju Kemandirian Masyarakat. Jakarta [ID]: LP3ES. Singarimbun M, Effendi S. 2008. (editor). Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Schrool JW. 1984. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan NegaraNegara Berkembang.Jakarta [ID]: Gramedia.
Sondita MFA, Zamani NP, Burhaniddin, Tahir A. Pelajaran Dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997-2002. Prosiding lokakarya hasil pendokumentasian kegiatan proyek pesisir bogor, 14 februari 2002. Bogor [ID]: PKSPL IPB. Sudiyono. 2005. Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat [internet]. Jakarta [ID]: LIPI. [diacu 2013 Feb 16]. Tersedia dari: http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/648 3/6484.pdf.
[UU]
Undang-undang. 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tentang Penataan Ruang [internet]. [diacu 21 Jan 2013]. Terdapat dari: http://www.bnpb.go.id/uploads/pubs/3.pdf. [UU] Undang-undang. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
67
[internet]. [diacu 21 Jan 2013]. Terdapat dari: http://www.bnpb.go.id/uploads/pubs/3.pdf. [UU] Undang-undang. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan [internet]. [diacu 29 Maret 2013]. Terdapat dari: http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4b2203468ed8c/paren t/lt4b 22031a01f26.pdf. Westmacott S, Teleki K, Wells S, dan West J. 2000. Pengeloalaan Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak [internet]. Cambridge [US]: IUCN Publications Service Unit. [diacu 2013 Jul 19]. Tersedia dari: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnack719.pdf. Zamani NP, Darmawan. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Mayarakat. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Bogor, 21-26 Februari 2000. Bogor [ID]: PKSPL IPB.
68
69
Lampiran 1 Sketsa Peta Kecamatan Likupang Barat
Sumber : Statistik Daerah Kecamatan Likupang Barat, 2011 Dikutip Kolopaking et al.(2012)
Lampiran 2 Validitas dan reliabilitas kuesioner Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.823
30
Item-Total Statistics Cronbach's Alpha if Item Deleted
Keterangan
no.1
.812
Tidak Valid
no.2
.810
Tidak Valid
no.3
.823
Tidak Valid
no.4
.793
Tidak Valid
no.5
.793
Tidak Valid
no.6
.815
Tidak Valid
no.7
.794
Tidak Valid
70
no.8
.807
Tidak Valid
no.9
.820
Tidak Valid
no.10
.826
Valid
no.11
.821
Tidak Valid
no.12
.799
Tidak Valid
no.13
.824
Valid
no.14
.819
Tidak Valid
no.15
.835
Valid
no.16
.838
Valid
no.17
.823
Tidak Valid
no.18
.813
Tidak Valid
no.19
.820
Tidak Valid
no.20
.820
Tidak Valid
no.21
.832
Valid
no.22
.823
Tidak Valid
no.23
.810
Tidak Valid
no.24
.811
Tidak Valid
no.25
.820
Tidak Valid
no.26
.815
Tidak Valid
no.27
.810
Tidak Valid
no.28
.822
Tidak Valid
no.29
.831
Valid
no.30
.831
Valid
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.729
30
Item-Total Statistics Cronbach's Alpha if Item Deleted
Keterangan
no.1
.730
Valid
no.2
.730
Valid
no.3
.689
Tidak Valid
no.4
.689
Tidak Valid
no.5
.726
Tidak Valid
no.6
.733
Valid
no.7
.683
Tidak Valid
no.8
.684
Tidak Valid
71
no.9
.696
Tidak Valid
no.10
.692
Tidak Valid
no.11
.675
Tidak Valid
no.12
.675
Tidak Valid
no.13
.672
Tidak Valid
no.14
.692
Tidak Valid
no.15
.768
Valid
no.16
.768
Valid
no.17
.745
Valid
no.18
.763
Valid
no.19
.730
Valid
no.20
.745
Valid
no.21
.730
Valid
no.22
.730
Valid
no.23
.730
Valid
no.24
.730
Valid
no.25
.730
Valid
no.26
.730
Valid
no.27
.730
Valid
no.28
.730
Valid
no.29
.730
Valid
no.30
.730
Valid
Lampiran 3 Kerangka sampling Kerangka sampling nelayan pancing No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama responden MK FL JL AL SL RL RM JL DT TK YM LM ED
Alamat
No
Jaga 1 Jaga 1 Jaga 1 Jaga 1 Jaga 1 Jaga 1 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Nama responden ZP DT WH TK ST SD FM DK RT PAW SB LT YH
Alamat
No
Jaga 2 Jaga 2 Jaga3 Jaga 2 Jaga 3 Jaga 3 Jaga 3 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga2 Jaga 2 Jaga 3
31 33
Nama responden HL TD
Alamat Jaga 1 Jaga 2
72
14 HP Jaga 3 29 15 KD Jaga 3 30 Kerangka sampling nelayan jaring No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama responden GK JL MP FS HT FH AK NM SS NS FD TS CD
AT TK
Jaga 3 Jaga2
Alamat Jaga 1 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 3 Jaga 2 Jaga 3 Jaga 3 Jaga 3 Jaga 3 Jaga 2 Jaga 3 Jaga 2
Kerangka sampling nelayan perahu lampu No 1 2 3 4 5 6 7
Nama responden RD WT YMP PA W AH AM
Alamat Jaga 1 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 2 Jaga 3 Jaga 3
Lampiran 4 Peraturan Desa Bahoi No. 02/PD-DB/IV-2003 tentang daerah perlindungan laut 1. Dilarang memasuki dan atau melewati wilayah DPL (zona inti dan zona penyangga) dengan perahu yang menggunakan lampu pada malam hari; 2. Dilarang menangkap ikan dengan menggunakan peralatan modern, perahu pajeko, jaring atau pukat harimau dan sejenisnya; 3. Dilarang menangkap ikan dengan menggunakan soma paka-paka, soma rarape, jubi dan sejenisnya; 4. Menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak/bom, segala jenis racun dan peralatan listrik/beterai (accu); 5. Dilarang mengambil/menebang semua jenis karang hidup/mati untuk dijadikan cenderamata dan hiasan; 6. Dilarang perahu berlabuh; 7. Dilarang memancing ikan; 8. Dilarang berjalan diatas karang; 9. Dilarang membuang jangkar/sauh; 10. Dilarang menempatkan igi untuk menangkap ikan karang;
73
11. Dilarang membuat keramba penampung ikan hias maupun lobster; 12. Dilarang membuang sampah/kotoran dari arah daratan dan atau laut; 13. Dilarang menambang/mengambil batu, kerikil dan pasir; 14. Dilarang melakukan penebangan ataupun pengupasan kulit bakau; 15. Dilarang menarik kayu tebangan dan atau hanyut melewati lokasi DPL; 16. Dilarang mengikat perahu; 17. Dilarang berenang atau menyelam tanpa izin tertulis dari kelompok pengelola pesisir Desa Bahoi dan diketahui oleh pemerintah desa.
74
Lampiran 5 Dokumentasi penelitian
Gambar 1 Tempat sampah untuk menjaga kebersihan laut dan desa
Gambar 2 Aktivitas penangkapan ikan
Gambar 3 Lokasi DPL yang diberikan batas menggunakan pelampung
Gambar 4 Jaring menangkap ikan
Gambar 5 Gapura selamat datang Desa Bahoi
75
RIWAYAT HIDUP Melisa Ansela dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1990, dari pasangan Robinson Siregar, SH dan Aderlina Simangunsong S.pd. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SMP Katolik Santu Mikael Manado, dan SMA N 1 Manado, Sulawesi Utara, 2005-2008. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri) dan pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi kerohanian di kampus, yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen sebagai Sekretaris Komisi Pelayanan Anak kepengurusan tahun 2011, penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan seperti acara Natal Civa, Malam Sukacita Paskah, dan Kebaktian Awal Tahun Ajaran 2011/2012. Penulis juga aktif dalam kegiatan departemen, menjadi pengurus dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Mayarakat Divisi Community Development masa kepengurusan 2010/2011.Pengalaman kerja penulis adalah sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum tahun ajaran 2011/2012 dan 2012/2013.
76