152
Tingkat kemudahan prosedur pelayanan rumah sakit seperti Gambar 4.25 berikut ini:
51.6
26.3 11.1
9.2
1.8
Sangat Sulit
Sulit
Cukup Mudah
Mudah
Sangat Mudah
Gambar 4.25. Prosedur Pelayanan Rumah Sakit yang dilaksanakan oleh Petugas pada Rumah Sakit Menurut Responden (dalam Persentase) Sumber: Diolah dari Kuesioner Contact Personnel (2005)
Dari Gambar 4.25 di atas terlihat sebagian besar responden menyatakan bahwa prosedur pelayanan seperti prosedur penerimaan dan kepulangan pasien serta pembayaran pada rumah sakit ini mudah. Berdasarkan pengamatan dan juga wawancara dengan keluarga pasien, bahwa ada rumah sakit swasta yang menerapkan jaminan pelayanan, sehingga bagi mereka yang tidak mampu memberikan jaminan kadang-kadang ditolak oleh pihak rumah sakit tersebut. Pelanggan tidak saja mengharapkan kemudahan prosedur pelayanan, tapi juga tidak menginginkan menunggu lama atau antri atas berbagai prosedur pelayanan seperti penerimaan pasien, kepulangan pasien dan urusan administrasi lainnya. Hal ini membuat pelanggan bosan dan stres, karena pasien membutuhkan
153
penanganan secepatnya. Agar hal ini tidak terjadi, pihak rumah sakit harus menyediakan prosedur pelayanan yang relatif cepat. Tingkat kejelasan informasi yang disampaikan oleh Petugas/rumah sakit seperti Gambar 4.26 berikut ini:
50.2
35
35.5
29
Kejelasan Informasi
23.5 10.6
8.3 3.7
1.8 2.3 Tidak Jelas/Sangat Sulit Kurang Jelas/Sulit Cukup Jelas/ Mudah Jelas/Mudah
Kemudahan dalam Memperoleh Informasi
Sangat Jelas/Mudah
Gambar 4.26. Tingkat Kejelasan dan Kemudahan Memperoleh Informasi dari Petugas/Rumah Sakit Menurut Responden (dalam Persentase) Sumber: Diolah dari Kuesioner Contact Personnel (2005)
Dari Gambar 4.26 terlihat sebagian besar responden menyatakan informasi yang diberikan petugas sudah jelas dan mudah diperoleh. Hal ini perlu dipertahankan pihak rumah sakit, karena pasien memerlukan informasi tentang penyakitnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nguyen dan Leblanc (2002:257), bahwa informasi merupakan hal yang penting yang tersimpan dalam memori pelanggan. Pada penelitian Harrison dan Shaw (2004:27) ditemukan bahwa staf yang informatif sebagai penentu pelayanan, sedangkan menurut Sintia Roshana (2005), pasien sangat membutuhkan informasi mengenai diagnosis, prosedur medis, prognosa (perjalanan) penyakit dan kondisi pasien lainnya. Jika ada
154
pertanyaan dari pasien atau keluarganya, para petugas rumah sakit cenderung untuk menjawab dengan cara menghindar atau dengan cara menggunakan istilahistilah medis yang sulit dimengerti oleh orang awam. Mereka menganggap lebih baik pasien atau keluarganya mencari tahu sendiri jawabannya secara alamiah. Dengan mencari informasi ke sana ke mari memang pada akhirnya pihak keluarga pasien akan sedikit paham mengenai penyakitnya. Alasan dokter untuk tidak memberitahukan penyakitnya kepada keluarga pasien secara gamblang karena mereka tidak dapat menangani reaksi emosional keluarga pasien. Informasi dari dokter mungkin akan menimbulkan bertambahnya rasa sedih, cemas, kecewa, dan ketakutan
dalam
keluarga
pasien.
Gawatnya
suatu
penyakit
akhirnya
terkomplikasi dengan trauma emosional yang diakibatkan oleh penjelasan dokter kepada pasien. Karenanya dalam kondisi tertentu akan lebih baik jika pasien tidak diberi tahu mengenai seluruh masalah penyakitnya, atau informasi tersebut disampaikan pada saat yang tepat. Alasan lainnya adalah para dokter berpikiran bahwa keluarga pasien tidak akan mampu memahami prognosa yang dijelaskan kepada mereka. Dengan cara menghindar, memutarbalikkan kenyataan dengan tiba-tiba menghentikan pembicaraan dengan keluarga pasien, dokter berhasil mencegah konfrontasi yang kurang mengenakkan dan kadang-kadang sangat memboroskan waktu. Dengan adanya penundaan informasi atau sama sekali tidak memberikan informasi kepada pasien, sebenarnya permasalahan belum selesai. Pada dasarnya, semua pasien berhak atas informasi tentang dirinya dan penyakitnya serta langkah-langkah pengobatan apa yang akan dijalaninya. Adanya pengingkaran informasi justru mengakibatkan suatu perasaan tidak menentu
155
diantara pasien. Pasien akan merasa dirinya tidak diperhatikan oleh petugas rumah sakit Secara umum responden memberikan tanggapan yang positif kepada personnel pada rumah sakit umum di Sumatera Barat, namun masih banyak responden yang masih menilai kurang, hal ini diharapkan jadi perhatian pihak rumah sakit, karena pelanggan mengharapkan pelayanan dari personnel yang mempunyai kemampuan yang baik, cepat, tanggap, ramah, meyakinkan, penampilan yang menarik dan sopan, informasi yang jelas, prosedur yang mudah dan waktu pelayanan yang tepat. Hal ini sesuai dengan penelitian Nguyen dan Leblanc (2002:245) bahwa penampilan dari personnel merupakan kombinasi dari pakaian, gaya rambut, make up, dan kebersihan, sedangkan kompetensi karyawan didorong dari keahlian dan pengalaman. Pendapat ini didukung juga oleh Shamdasani dan Balakrishnan (2000:402) melihat contact personnel dari keahlian, similarity, pengetahuan, keramahtamahan dan mutual disclosure. Kecepatan personnel dalam menyelesaikan pekerjaannya akan membuat mereka senang. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnston, (1995:55) bahwa determinan utama dalam pelayanan jasa adalah kehandalan produk, kualitas dan sistem penyampaian yang didukung oleh pelayanan pegawai yang baik, sikap, pengetahuan dan keterampilan pegawai yang baik pula. Berdasarkan pengamatan di lapangan beberapa rumah sakit sudah menyediakan sistem komplain dengan menyediakan kotak saran dan pengisian kuesioner, tapi pelaksanaannya cenderung belum terkelola dengan baik. Dengan adanyan sistem komplain ini diharapkan keluhan pelanggan dapat diatasi dan
156
diselesaikan dengan cepat. Menurut Aschner (1999:453) menyatakan dalam bidang pelayanan jasa, hampir semua atribut pelayanan ditentukan oleh penilaian pelanggan terhadap kecepatan dan ketepatan petugas dalam menanggapi keluhan mereka. Elemen-elemen jasa yang diintegrasikan dalam sistem penyampaian jasa terdiri dari physical support dan contact personnel. Lebih lanjut Baron et.al (1996:75) menyatakan bahwa sistem penyampaian jasa, pengalaman pelanggan sangat ditentukan oleh kualitas interaksi dengan karyawan yang memberikan pelayanan, interaksi dengan berbagai fasilitas fisik dan iklim yang ada, serta interaksi dengan sesama pelanggan. Heskett (1996:9) juga menyatakan bahwa sistem penyampaian jasa sebagai hal yang penting dan berhubungan dengan sumber daya manusia, teknologi, perlengkapan dan peralatan kerja, fasilitas, tata ruang, tata letak dan prosedur kerja. Sistem penyampaian jasa diharapkan bisa menghambat masuknya para pesaing ke dalam suatu industri dimana suatu perusahaan berada. Jolly dan Gerbaud (1992) yang dikutip Tjandra Y.A (2003:12) menyatakan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit tidak saja mengharapkan pelayanan medik dan keperawatan yang baik, tapi mereka mengharapkan kualitas akomodasi yang baik, makanan yang enak serta utamanya adanya hubungan baik antara staf rumah sakit dengan para pasien. Fasilitas mampu meningkatkan kualitas perawatan dan proses penyampaian jasa pada perawatan kesehatan
mampu
meningkatkan kepuasan konsumen (Kolodinsky, 1999:2). Beberapa penelitian ditemukan bahwa pelanggan akan kembali di masa yang akan datang dan
157
merekomendasikan kepada orang lain apabila mereka puas kepada pelayanan yang diberikan perusahaan. Sistem perawatan kesehatan dan proses mendorong kepuasan pasien (Mercier and Fikes; 1998:35-37), sedangkan Stavins and Fache (2004:138) menemukan dalam penelitiannya bahwa delivery system yang terintegrasi mempengaruhi kepuasan pasien. Lebih lengkap penelitian yang dilakukan oleh Bhattacharya et.al (2003) bahwa aspek teknis dari perawat, sikap perawat, kualitas teknis dokter, kebersihan ruangan dan koridor, makanan, toilet serta fasilitas perawatan berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Kepuasan pasien juga didorong oleh perawatan yang dilakukan oleh dokter (Kolodinsky, 1999:2) dan perawatan yang dilakukan oleh staff (seperti perawat) rumah sakit (Kloehn, 2004:6), penggunaan fasilitas perawatan (Oropesa et.al, 2002:1), dan penggunaan fasilitas pelayanan (Kolb et.al, 2000:75). Oropesa et.al, (2002:1) juga menemukan bahwa proses penyampaian jasa pada perawatan kesehatan mampu meningkatkan kepuasan konsumen
4.3.2. Citra Rumah Sakit Indikator yang digunakan dalam mengukur citra rumah sakit mengacu kepada pendapat Andreassen dan Lindestad (1998:16) yaitu, (1) pendapat keseluruhan mengenai rumah sakit, (2) pendapat mengenai kontribusi rumah sakit untuk masyarakat, (3) kesukaan terhadap rumah sakit. Reputasi rumah sakit seperti Gambar 4.27:
158
45.2
30 18.9
3.7
2.3
Tidak Bagus
Kurang Bagus
Cukup Bagus
Bagus
Sangat Bagus
Gambar 4.27. Tingkat Reputasi Rumah Sakit Menurut Responden (dalam Persentase) Sumber: Diolah dari Kuesioner Citra Rumah Sakit (2005)
Dari Gambar 4.27 terlihat sebagian besar responden menyatakan bahwa reputasi rumah sakit cukup bagus dan bagus, tapi ada 21,2% responden menyatakan kurang bagus dan tidak bagus. Menurut Andreassen dan Lindestad (1998:16) pendapat keseluruhan mengenai perusahaan (reputasi perusahaan) merupakan indikator dari citra perusahaan. Menurut Zins (2001:269) citra institusi yang baik akan mempengaruhi nilai jasa yang diberikannya. Menurut Kurt dan Clow (1998:24), setiap perusahaan menginginkan citra positif yang ada pada benak konsumen, karena dengan citra yang positif perusahaan akan memperoleh keuntungan yaitu; (1) dapat mempertahankan konsumen yang lama dan (2) dapat memperoleh konsumen yang baru Tingkat kontribusi rumah sakit terhadap masyarakat seperti Gambar 4.28:
159
49.3
23.5 12.9
12
2.3
Tidak Perhatian Kurang Perhatia Cukup Perhatia Perhatian
Perhatian
Sangat
Gambar 4.28 Tingkat Kontribusi Rumah Sakit kepada Masyarakat Menurut Responden (dalam Persentase) Sumber: Diolah dari Kuesioner Citra Rumah Sakit (2005)
Dari Gambar 4.28 di atas terlihat sebagian besar responden menyatakan bahwa kontribusi rumah sakit kepada masyarakat yaitu dengan memberikan perhatian
terhadap
masyarakat
seperti
melakukan
kegiatan
sosial
(pengobatan/perawatan gratis bagi masyarakat kurang mampu, sunatan masal dan penyuluhan) masih kurang. Rumah sakit juga dituntut untuk berlaku etis dalam melakukan segala sesuatunya dan diharapkan juga membantu meningkatkan pendidikan masyarakat di lingkungannya, seperti memberikan beasiswa untuk lembaga pendidikan, kegiatan seminar dan sebagainya. Rumah sakit yang mempunyai kontribusi terhadap masyarakat akan dinilai lebih oleh konsumen. Hal ini akan membentuk citra rumah sakit yang lebih baik di mata masyarakat selaku pemakai jasa pelayanan rumah sakit. Menurut Andreassen dan Lindestad (1998:7), kontribusi perusahaan untuk masyarakat merupakan salah satu indikator dari citra perusahaan, sedangkan citra perusahaan berperan penting sebagai penguat dan penarik pelanggan.
160
Tingkat kesukaan terhadap rumah sakit terhadap masyarakat seperti Gambar 4.29 berikut ini:
39.6
39.6
13.4 6 1.4
Tidak Suka
Kurang Suka
Cukup Suka
Suka
Sangat Suka
Gambar 4.29. Tingkat Kesukaan Responden terhadap Rumah Sakit (dalam Persentase) Sumber: Diolah dari Kuesioner Citra Rumah Sakit (2005)
Dari Gambar 4.29 di atas terlihat sebagian besar responden menyatakan bahwa cukup suka dan suka berobat pada rumah sakit. Menurut Andreassen dan Lindestad (1998:7), kesukaan terhadap perusahaan merupakan salah satu indikator dari citra perusahaan. Sebagain besar responden menilai citra rumah sakit umum di Sumatera Barat telah baik, namun untuk indikator kontribusi rumah sakit kepada masyarakat yaitu dengan memberikan perhatian terhadap masyarakat seperti melakukan kegiatan sosial (pengobatan gratis, sunatan masal, penyuluhan dan sebagainya) masih kurang atau tidak perhatian. Hal ini perlu jadi perhatian pihak rumah sakit, karena kegiatan ini akan membantu rumah sakit mengkomunikasikan rumah sakitnya kepada masyarakat.
161
Kotler juga menegaskan bahwa citra yang positif berhubungan erat dengan produk yang dihasilkan perusahaan (2003) seperti: (1) Citra membawa pesan tunggal yang dapat menegaskan karakter produk. (2) Citra membawa pesan tersebut di atas dengan cara berbeda, jadi tidak akan dibingungkan oleh hal serupa yang ditawarkan pesaing. (3) Citra dapat menghantarkan energi emosional dan hal tersebut dapat menggerakkan hati sejalan dengan pikiran pembeli.
4.3.3. Kepercayaan Pelanggan Indikator yang digunakan dalam mengukur kepercayaan pelanggan terhadap rumah sakit mengacu kepada Shamdasani dan Balakrishnan (2000:421) yaitu, (1) rumah sakit dapat dipercaya/diandalkan, (2) kepercayaan akan sembuh, (3) kepercayaan terhadap kualitas peralatan yang dimiliki rumah sakit, dan (4) kepercayaan terhadap pelayanan yang terbaik diberikan rumah sakit. Kepercayaaan pelanggan cenderung diperlukan, karena dengan kepercayaan seseorang mau berobat atau dirawat di rumah sakit tertentu. Pihak rumah sakit diharapkan secara terus menerus menumbuhkan kepercayaan dari pelanggan, salah satu upaya mengelola sistem penyampaian jasa dengan tepat. Berikut ini diuraikan tingkat kepercayan pelanggan berdasarkan hasil penelitian pada rumah sakit umum di Sumatera Barat. Tingkat kepercayaan responden terhadap rumah sakit seperti Gambar 4.30:
162
45.6
44.2
6.5 1.8 T dk Dpt Dipercaya Kurang Dpt Dipercaya
1.8 Cukup Dpt Dipercaya
Dpt Dipercaya
Sangat Dpt Dipercaya
Gambar 4.30. Rumah Sakit dapat Dipercaya/Diandalkan Menurut Responden (dalam Persentase) Sumber: Diolah dari Kuesioner Kepercayaan Pelanggan (2005)
Dari Gambar 4.30 di atas terlihat sebagian besar responden menyatakan rumah sakit tempat mereka berobat cukup dapat percaya dan dapat percaya. Shamdasani dan Balakrishnan (2000:421) keandalan perusahaan dapat dijadikan ukuran kepercayaan pelanggan Tingkat kepercayaan akan sembuh, kepercayaan responden terhadap kualitas peralatan dan pelayanan yang dimiliki rumah sakit seperti Gambar 4.31:
163
54.4 41.5 37.8
2.3 0.9
1.8
Tidak Percaya
3.7
50.7 44.7 35.9
Tingkat Kepercayaan akan Sembuh Kualitas Peralatan 7.8
4.6
6
4.6
Kurang Percaya
Cukup Percaya
Percaya
3.2
Pelayanan yang Terbaik
Sangat Percaya
Gambar 4.31. Tingkat Kepercayaan akan Sembuh, Kepercayaan Responden Terhadap Kualitas Peralatan dan Pelayanan yang Terbaik yang Diberikan Rumah Sakit (dalam Persentase)
Sumber: Diolah dari Kuesioner Kepercayaan Pelanggan (2005)
Dari Gambar 4.31 terlihat sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka cukup percaya dan percaya akan sembuh jika berobat ke rumah sakit. Shamdasani dan Balakrishnan (2000:421) menggunakan integritas dan reliabilitas sebagai indikator untuk mengukur kepercayaan pelanggan, sedangkan Taylor, (2001:32) menyatakan bahwa kepercayaan konsumen diyakini berperan dalam pembentukan persepsi pelanggan dalam hubungan mereka dengan perusahaan jasa. Dari sudut pandang pemasaran, hal ini menyatakan bahwa perkembangan kepercayaan seharusnya menjadi komponen fundamental dari strategi pemasaran yang ditujukan untuk mengarah pada penciptaan hubungan pelanggan sejati. Pelanggan harus bisa merasakan bahwa dia dapat merasakan bahwa dia dapat mengandalkan rumah sakit. Akan tetapi membangun kepercayaan membutuhkan waktu yang lama dan hanya berkembang setelah pertemuan yang berulang kali
164
dengan
pelanggan.
Sesuai
dengan
pendapat
Barnes
(2003:149)
yang
mengemukakan beberapa elemen penting dari kepercayaan yaitu: (1) Kepercayaan merupakan perkembangan dari pengalaman dan tindakan masa lalu. (2) Watak yang diharapkan dari partner, seperti dapat dipercaya dan dapat diandalkan. (3) Kepercayaan melibatkan kesediaan untuk menempatkan diri dalam risiko. (4) Kepercayaan melibatkan persaan aman dan yakin pada diri partner. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Bloemer et.al (2002:687) kepercayaan pelanggan mempengaruhi komitmen pelanggan dan komitmen pelanggan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap intensi pembelian, intensitas harga dan word of mouth (WOM). Desatnick (1988:15) juga menemukan bahwa keberhasilan
seorang
pegawai
dalam
menjaga
kepercayaan
pelanggan
berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan. Menurut hasil penelitian Gaunaris dan Venetis (2002:636) bahwa pengembangan kepercayaan pada diri konsumen berpengaruh langsung terhadap kinerja pelayanan dan keberhasilan untuk menggaet konsumen. Sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka cukup percaya dan percaya terhadap kualitas peralatan yang dimiliki rumah sakit. Kualitas peralatan yang tinggi akan berdampak kepada nilai pelayanan yang akan diberikan kepada konsumen. Menurut Ravald dan Gronroos (1996:24) bahwa nilai yang dirasakan konsumen
165
dapat membangun hubungan dengan konsumen, kredibilitas perusahaan, kepercayaan dan loyalitas konsumen. Secara umum responden sudah percaya dengan rumah sakit umum, namun pihak rumah sakit harus tetap memperhatikan hal-hal yang mampu meningkatkan kepercayaaan pelanggan, seperti sistem penyampaian jasa dan citra rumah sakit yang baik. Kepercayaan timbul dari suatu proses yang lama sampai kedua belah pihak saling mempercayai. Apabila kepercayaan sudah terjalin di antara pelanggan dan rumah sakit, maka usaha untuk membinanya tidaklah terlalu sulit. Menurut Sri Astuti S.S (2004) selaku Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan menyatakan kepercayaan
masyarakat akan tumbuh bila pelayanan
kesehatan baik, oleh karena itu rumah sakit harus punya komitmen kuat untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kepercayaan yang tinggi terhadap rumah sakit
akan diharapkan
mempengaruhi komitmen pelanggan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan ole Garbarino dan Johnson (1999:73) bahwa variabel kepercayaan lebih sebagai variabel yang mendahului komitmen.
4.4. Hubungan Physical Support dengan Contact Personnel pada Rumah Sakit Umum di Sumatera Barat Hipotesis 1: Terdapat hubungan antara physical support dengan contact personnel pada rumah sakit umum di Sumatera Barat. Diagram hubungan physical support dengan contact personnel pada rumah sakit umum di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 4.32:
166