BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kusta adalah penyakit menular dan
menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang awalnya menyerang saraf tepi, dan selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem muskulo retikulo endotelia, mata, otot, tulang, testis dan organ lain kecuali sistem saraf pusat. Bila tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, akan menimbulkan kecacatan menetap yang umumnya akan menyebabkan penderitanya dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi sangat tergantung secara fisik dan finansial kepada orang lain yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan (Depkes, 2007). Secara global kasus kusta pada tahun 2011 mengalami penurunan dibanding kasus pada tahun 2010 yaitu dari 228.474 menjadi 219.075 dengan penyumbang terbesar adalah negara India dan Brazil kemudian diikuti Indonesia dengan jumlah kasus sebesar 20.023 (WHO, 2012). Sedangkan di Indonesia pada tahun 2011 untuk penyakit kusta penyumbang terbesar berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sampai saat ini kusta masih menjadi masalah di Jawa Tengah dengan jumlah kasus sebesar 2.275 dengan angka kecacatan tingkat 2 mencapai 13,01% hal ini masih jauh di atas target nasional yaitu <5% (Kemenkes, 2012). Kabupaten Blora menempati urutan ke 5 dalam besarnya masalah kusta di Jawa Tengah, dengan prevalensi sebesar 1,5/10.000 penduduk pada tahun 2011. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2011 prevalensi kusta di Kabupaten Blora berada pada kisaran 1,3-1,6/10.000 penduduk dan peningkatan terjadi pada tahun 2010-2011(Dinkes Blora, 2012),
data tersebut melebihi target nasional yaitu
<1/10.000 penduduk. Sehingga
bisa dikatakan bahwa Kabupaten Blora
merupakan daerah high endemis penyakit kusta, untuk itu masih perlu upayaupaya intensif untuk menuju eliminasi kusta hingga prevalensi menjadi <1/10.000 penduduk.
1
2
Tingginya prevalensi kusta di Kabupaten Blora juga didukung oleh angka penemuan kasus baru yang cenderung meningkat dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 yaitu sebesar 16/100.000 penduduk (Dinkes Blora, 2012). Peningkatan penemuan kasus baru
ini terjadi karena Dinas Kesehatan Kabupaten Blora
melakukan beberapa strategi penemuan penderita secara aktif seperti RVS (Rapid Village Survey), pemeriksaan kontak serumah, penjaringan di sekolah dan pemberdayaan kader kesehatan untuk menemukan penderita kusta secara dini. Sedangkan untuk angka kecacatan tingkat 2 pada tahun 2011 sebesar 13%, angka tersebut sudah mengalami penurunan karena pada tahun 2006 pernah mencapai 20,83% (Dinkes Blora, 2012), tetapi masih jauh di atas target nasional yaitu < 5%. Angka kecacatan yang tinggi yaitu > 5% dapat menunjukkan bahwa penemuannya terlambat yaitu penderita terlambat mendapatkan pelayanan pengobatan, tetapi bisa juga diakibatkan oleh adanya kejadian reaksi yang tidak terdeteksi sehingga tidak mendapat pengobatan yang akhirnya mengakibatkan kerusakan saraf dan kecacatan. Deteksi dini kejadian reaksi kusta dapat mengurangi kerusakan saraf (Isshi, 2003). Kejadian reaksi pada penderita kusta baik reaksi tipe 1 (reversal) maupun reaksi tipe 2 (ENL) dapat terjadi sebelum pengobatan, selama masa pengobatan maupun sesudah pengobatan MDT selesai, bahkan ada beberapa penderita kusta yang mengalami reaksi sampai 2-3 kali (Motta et al., 2012). Menurut berbagai penelitian diketahui bahwa prevalensi kejadian reaksi pada penderita kusta tipe PB maupun MB berkisar antara 21-55%. Berdasarkan data diketahui bahwa proporsi reaksi meningkat 75% pada penderita dengan lesi kulit >5 dan keterlibatan saraf multipel (Motta et al., 2012; Lockwood et al., 2012; Balagon et al., 2010; Stefani et al., 2009; W. C. S. Smith et al., 2009; Ganapati et al., 2003). Selama ini pemeriksaan reaksi pada penderita kusta dilakukan melalui pemeriksaan klinis, tetapi menurut penelitian hasil lebih akurat apabila dilakukan dengan pemeriksaan histologi (Lockwood et al., 2012). Reaksi kusta akan menyebabkan kerusakan saraf pada penderita dan gejala sisa akibat kerusakan saraf tersebut dapat mengakibatkan kecacatan yaitu kehilangan sensibilitas, paralisis dan kehilangan otot, ulserasi serta deformitas
3
(Bryceson & Pfattzgraff, 1990; Ganapati et al., 2003). Cacat kusta dapat terjadi saat reaksi terutama reaksi tipe 1. Lienhardt & Fine (1994) menemukan lebih dari sepertiga kecacatan terjadi karena reaksi tipe 1. Mengingat bahwa kejadian reaksi memiliki prevalensi yang cukup tinggi pada penderita kusta yang terjadi baik sebelum, selama maupun sesudah pengobatan, sedangkan akibat dari reaksi tersebut juga dapat menimbulkan kerusakan saraf yang memfasilitasi terjadinya kecacatan, selain itu penelitian tentang hal tersebut belum banyak dipublikasi maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan reaksi dengan kejadian kecacatan pada penderita kusta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: apakah ada hubungan sebab akibat antara kejadian reaksi dengan kecacatan pada penderita kusta? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara kejadian reaksi dengan kecacatan pada penderita kusta. 2.
Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian reaksi tipe 1 dengan kecacatan pada penderita kusta setelah dikontrol variabel umur,
jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, tipe kusta, lama sakit dan keteraturan minum obat. b. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian reaksi tipe 2 dengan kecacatan pada penderita kusta setelah dikontrol variabel umur,
jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, tipe kusta, lama sakit dan keteraturan minum obat.
4
C. Manfaat Penelitian 1.
Bagi pendidikan Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan serta rujukan bagi peneliti lain yang mempunyai minat yang sama guna pengembangan lebih lanjut tentang kusta.
2.
Bagi Dinas Kesehatan Memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan lebih lanjut sehubungan dengan pelaksanaan pencegahan dan pengendalian kecacatan yang diakibatkan oleh kejadian reaksi pada penderita kusta di Kabupaten Blora.
3.
Bagi penderita kusta Memberikan masukan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh penderita kusta untuk menghindari terjadinya kerusakan saraf yang lebih parah maupun kecacatan. E. Keaslian Penelitian Penelusuran artikel melalui database Medline, Pubmed, dan publikasi
tesis/disertasi dengan kata kunci “reaction”, “disability”,
“leprosy” diperoleh
beberapa jurnal. Tetapi hanya 5 artikel yang berhubungan dengan faktor resiko kecacatan pada penderita kusta. Hasil penelusuran ini secara lengkap terdapat pada tabel berikut: Tabel. 1 Penelitian Faktor Resiko Kecacatan Pada Penderita Kusta Peneliti Susanto (2006)
Judul Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecacatan penderita kusta
Perbedaan Variabel bebas: JK, umur, pendidikan, tipe kusta, reaksi, pengetahuan, pengobatan, lama sakit, lama kerja, diagnosis dan perawatan diri Rancangan penelitian Cross sectional Subjek penelitian semua penderita kusta Lokasi di Kab Sukoharjo
Hasil Umur, pendidikan, tipe kusta, reaksi, pengetahuan, pengobatan, diagnosis dan perawatan diri berhubungan dengan tingkat kecacatan
5
Peneliti Judul Putra et al. Kecacatan pada (2009) penderita kusta baru di divisi kustaURJ penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2004-2006 Moschioni Risk factors for et al. (2010) physical disability at diagnosis of 19.283 new cases of leprosy
Perbedaan Variabel bebas: umur, JK, tipe kusta, lama sakit Subjek penelitian: penderita kusta pasien RSUD dr. Soetomo Lokasi Kota Surabaya
Variabel bebas: umur, JK, tipe kusta, pendidikan, jml penebalan saraf Subjek penelitian adalah seluruh pasien kusta Lokasi di Negara Brazil Sarkar et al. Disability among new Rancangan penelitian (2012) leprosy patient, an cross sectional issue of concern : an Variabel bebas: intitutional based sosiodemografi dan faktor study in an endemic klinis district for leprosy in Subjek penelitian adalah the state of West seluruh pasien kusta Bengal, India Lokasi di Negara India Variabel bebas: umur, JK, Kumar et Risk of developing pengobatan, jml lesi, saraf, al. (2012) disability in pre and post multidrug therapy tipe kusta, BTA among multibacillary : Rancangan penelitian Agra MB cohort study Prospektif Cohort Subjek penelitian penderita kusta tipe MB Lokasi di Negara India
Hasil Umur, jenis kelamin, tipe kusta dan lama sakit berhubungan dengan kecacatan Umur, jenis kelamin, tipe kusta, pendidikan dan jml penebalan saraf berhubungan dengan kecacatan Faktor klinis berhubungan dengan kecacatan
Pre MDT: jml lesi/saraf yang terkena, umur & penundaan pengobatan berhubungan dengan kecacatan Post MDT: jml lesi/saraf yang terkena berhubungan dengan kecacatan
Dari tabel di atas diketahui bahwa belum pernah dilakukan penelitian hubungan antara kejadian reaksi dengan kecacatan pada penderita kusta secara retrospektif cohort baik di Indonesia maupun di luar negeri.