CARA PENEMUAN PENDERITA KUSTA BARU DAN TINGKAT KECACATAN DI PROVINSI LAMPUNG Heri Purwanto1) 1) Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang e_mail:
[email protected] Abstract: Method of new leprosy patients and Disability Level in the province of Lampung. In Lampung Province defect rate of new leprosy patients and leprosy patients age was > 5 % ( 6.9 % ), patients had experienced disability level-2, and 8.3 % children aged 0 - 14 years . The data indicate the presence of active infection sunber and delays due to delays in patient treatment were found. The purpose of the study, 1) knowing the characteristics of new leprosy patients , 2) patients with known relationship discovery method, and factor covariates new leprosy patients with disability, 3) disability known determinants of new leprosy patients, and 4) knowing the potential impact of variables on the prevention of disability case detection of new leprosy patients. Research using design cross-sectional studies, as a sample, lepers who live in the province of Lampung to the identity and state of the data has been recorded on a report pain P2 leprosy Lampung Provincial Health Department from 2011 until the second quarter year-2013. Data derived from P2 reports leprosy Lampung Provincial Health Office. The results of the study, based on the characteristics of patients have 09.00 % defect rate of 12 ; 91.70 % found passively ; 89.50 % MB type ; 64.20 % were male, and 83.00 % patients aged ≥ 15 Pathe bivariate analysis, covariate variables that showed statistically significant relationships were age (p-value = 0.02) with ROP = 7.78 ( 95 % CI : 1.05 to 57.79 ). Final multivariate model that describes the occurrence of new leprosy patients with disability main variable manner leprosy case detection, is an exponential function of the variable ways one variable case detection and covariates variabel of patient age. New leprosy probability patients were found to be passive and age > 15 years, has 1-2 levels defect risk was 29.54 %. The potential impact of the contribution of the variable ways of discovering the defect prevention leper new leprosy patients 2.12 %. . Keywords : How to inventions, Disability rate. Abstrak: Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan Di Provinsi Lampung. Di Provinsi Lampung tingkat kecacatan penderita kusta baru dan penderita kusta usia anak masih > 5%, (6,9%) penderita telah mengalami cacat tingkat-2, dan 8,3% usia anak 0-14 tahun. Data tersebut mengindikasikan masih adanya sunber penularan aktif dan keterlambatan pengobatan yang disebabkan terlambatnya penderita diketemukan. Tujuan penelitian, 1) diketahuinya karakteristik penderita kusta baru, 2) diketahuinya hubungan cara penemuan penderita, dan faktor kovariat dengan kecacatan penderita kusta baru, 3) diketahuinya determinan kecacatan penderita kusta baru, serta 4) diketahuinya dampak potensial variabel penemuan penderita terhadap pencegahan kecacatan penderita kusta baru. Penelitian dengan studi cross sectional, sebagai sampel, penderita kusta yang berdomisili di wilayah Provinsi Lampung dengan identitas dan data keadaan sakitnya telah tercatat pada laporan P2 kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dari tahun 2011 sampai dengan triwulan-II tahun 2013. Data berasal dari laporan P2 kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Hasil penelitian, berdasarkan karakteristik penderita 09,00% telah mengalami cacat tingkat 1-2; 91,70% diketemukan secara pasif; 89,50% tipe MB; 64,20% berjenis kelamin laki-laki, dan 83,00% penderita berumur ≥ 15 tahun.Hasil analisis bivariat, variabel kovariat yang secara statistik menunjukkan hubungan bermakna adalah umur (nilai-p = 0,02) dengan ROP = 7,78 (95% CI: 1,05-57,79). Model akhir multivariat yang menggambarkan terjadinya kecacatan penderita kusta baru dengan variabel utama cara penemuan penderita kusta, adalah fungsi eksponensial dari variabel cara penemuan penderita dan satu variabel kovariat (umur) penderita. Probabilitas penderita kusta baru yang ditemukan pasif dan berumur > 15 tahun, memiliki risiko cacat tingkat 1-2 sebesar 29,54 %. Dampak potensial besarnya kontribusi variabel cara penemuan penderita kusta terhadap pencegahan cacat penderita kusta baru 2,12 %. Kata kunci: Cara penemuan, Tingkat kecacatan.
371
372 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah sangat komplek, bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketahanan nasional. Masalah yang dihadapi penderita dapat berupa tuna sosial, tuna wisma, tuna karya, dan gangguan lingkungan masyarakat. Di Indonesia tahun 1996 terdapat 30.000 penderita kusta dengan kecacatan, 1.720 penderita diantaranya penderita baru. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 25% pasien kusta mengalami kecacatan. Di Indonesia proporsi cacat penderita kusta sebesar 10,4% (WHO, 1997). Pemberantasan penyakit kusta bertujuan mencegah kecacatan semua penderita baru yang ditemukan melalui pengobatan dan perawatan yang benar, menetapkan sistim penemuan dan diagnosis penderita sehingga proporsi penderita anak dan kecacatan tingkat 2 < 5 (Kemenkes RI, 2012). Tahun 2001-2002 di beberapa propinsi di Indonesia angka kecacatan tingkat 2 penderita kusta baru 7,4%8,9%, di Propinsi Jambi mencapai 33,3% (Rachmad, 2003). Penyakit kusta ditemukan melalui 2 (dua) cara, yaitu penemuan pasif, penemuan penderita berdasarkan adanya orang yang datang mencari pengobatan ke puskesmas/ sarana kesehatan lain atas kemauan sendiri atau saran orang lain, sedangkan penemuan aktif, dilakukan melalui beberapa cara: melalui survai kontak, pemeriksaan anak sekolah SD/Taman Kanak-Kanak atau sederajad, Chase Survey, dan survai khusus. Cara penemuan penderita dapat berdampak pada kecacatan penderita kusta saat ditemukan, jika penemuan terlambat maka pengobatan terlambat atau bahkan ditemukan sudah keadaan cacat. Tahun 2012 penderita kusta terdaftar di Provinsi Lampung 246 orang, dengan penderita baru 145 orang (1,8/10.000 penduduk) dari penderita baru tersebut 142 penderita (97,93%) ditemukan secara pasif, dan 3 penderita (2,07%) secara aktif melalui survei kontak (Dinkes Provinsi Lampung).
Kasus baru yang ditemukan tahun 2012 diketahui 10 penderita (6,9%) telah mengalami cacat tingkat-2, dan 12 penderita (8,3%) adalah anak usia 0-14 tahun (Dinkes Provinsi Lampung, 2012). Gambaran data tahun 2012 ini menunjukkan masih adanya sunber penularan aktif dan keterlambatan penemuan penderita secara dini di Provinsi Lampung. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan di Provinsi Lampung tingkat kecacatan penderita kusta baru dan penderita kusta pada usia anak masih tinggi (> 5%). Diantara faktor yang dapat berdampak timbulnya kecacatan penderita kusta adalah terlambatnya penderita mendapatkan pengobatan yang disebabkan terlambatnya penderita diketemukan. Tujuan Umum penelitian, diketahuinya hubungan cara penemuan penderita kusta dengan kecacatan penderita kusta baru di Propinsi Lampung tahun 2011-2013. Tujuan khusus, 1) diketahuinya karakteristik penderita kusta baru, 2) diketahuinya hubungan cara penemuan penderita, dan faktor kovariat (umur, jenis kelamin, tipe kusta) dengan kecacatan penderita kusta baru, 3) diketahuinya determinan kecacatan penderita kusta baru, 4) diketahuinya dampak potensial variabel penemuan penderita terhadap pencegahan kecacatan penderita kusta baru. METODE Penelitian menggunakan desain observasional dengan studi cross sectional, dilaksanakan di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Bulan September 2013. Populasi sasaran, penderita kusta yang berdomisili di wilayah Provinsi Lampung, sedangkan Populasi studinya adalah penderita kusta yang berdomisili di wilayah Provinsi Lampung dengan identitas dan data keadaan sakitnya telah tercatat pada laporan Program Pemberantasan (P2) kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 373
Sampel penelitian adalah total populasi, yaitu seluruh penderita kusta yang berdomisili di wilayah Provinsi Lampung dengan identitas dan data keadaan sakitnya telah tercatat pada laporan P2 kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dari tahun 2011 sampai triwulan-II tahun 2013. Data penelitian adalah data sekunder yang diambil dari laporan P2 kusta, terdiri dari laporan 1) laporan triwulan, 2) case finding dan case holding, serta 3) analisa situasi program P2 kusta, menggunakan form/chek list yang dibuat khusus untuk penelitian ini. Pelaksana pengumpul data dilakukan peneliti sendiri dibantu seorang pengelola program P2 kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Proses pengolahan data dilakukan secara manual, juga menggunakan program komputer. Tahapan pengolahan data (processing), diawali dengan pemeriksaan data (editing) terhadap laporan program P2 kusta, untuk memastikan kelengkapan isian dan konsistensi data yang akan dipilih sebagai variabel penelitian, selanjutnya pemberian kode (coding), yaitu pengkodean data menjadi bentuk kategori, variabel independen ( 0 = pasif, 1 = aktif ); variabel dependen ( 0 = cacat tingkat 1-2, 1 = belum/tidak cacat), dan variabel kovariat ( 0 = ekspose, 1 = non ekspose), dilanjutkan dengan memasukkan data (entry) seluruh data yang telah melalui proses pemeriksaan dan pengkodean kedalam program komputer, dan proses terakhir yaitu membersihkan data (cleaning), pengecekkan data yang telah dimasukkan dalam program komputer sebelum dilakukan analisis lanjut, sehingga terhindar dari kesalahan, missing data, dan ketidakkonsistensinya data, dengan demikian hasil analisis sesuai data sebenarnya. Tahap analisis data dilakukan analisis univariat, analisis ini untuk mendapatkan gambaran karakteristik penderita kusta baru menurut variabel yang diteliti, dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, selanjutnya analisis bivariat, digunakan untuk mengetahui hubungan faktor risiko utama
(penemuan penderita) dengan kecacatan penderita kusta, juga untuk menampilkan hubungan beberapa faktor risiko lain (kovariat) dengan terjadinya kecacatan penderita kusta, uji statistik digunakan uji Chi-Square, tahap analisis terakhir dengan analisis multivariat, dengan analisis Regresi Ganda Logistik. Analisis ini digunakan untuk menilai secara simultan hubungan kecacatan penderita kusta dengan beberapa faktor risiko. Sebagai penilaian beberapa faktor risiko tersebut dipilih suatu model yang paling parsimonious, yaitu model yang dimasukkan adalah jumlah yang paling sedikit variabelnya dan memberikan set data untuk tercapainya tujuan penelitian. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis “dampak potensial”. Setelah didapat model akhir dilanjutkan dengan pengukuran terhadap besarnya kontribusi faktor “cara penemuan penderita” terhadap pencegahan terjadinya kecacatan penderita kusta baru. Sebagai penilaian besarnya kontribusi variabel “cara penemuan penderita” dalam pencegahan kecacatan, dilakukan dengan mengukur dampak potensial. Setelah Rasio Odds Prevalen (ROP) dari variabel yang berperan didapatkan dari regresi logistik ganda, dan proporsi (p) ekspose pada kelompok penderita kusta yang mengalami cacat diketahui, maka dampak potensial atau Population Atributable Risk (PAR) dihitung dengan rumus berikut (Sastroasmoro,s 2002): p (r – 1) PAR = -----------------{ p (r – 1 ) } + 1 p = proporsi ekspose pada penderita kusta cacat r = Rasio Odds Prevalen (ROP).
374 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2: Hubungan Variabel Independen dengan Tingkat Kecacatan Penderita Kusta Baru
Hasil Analisis Univariat
Variabel Independen
1. Karakteristik Penderita Kusta Baru Tabel 1:
Distribusi Frekuensi Karakteristik Penderita Kusta Baru
n
n
Pasif
33
333
Aktif
3
30
MB
33
323
PB
3
40
Laki-laki
23
233
Perempuan
13
130
≥ 15 tahun
35
297
< 15 tahun
1
66
ROP
95% CI
P-v
Cr.Penemuan 1,00 0,29-3,42 0,99
Tipe Kusta
Karakteristik Kecacatan Cacat Tk 1-2 Tdk/Belum cacat
n
%
1,36 0,40-4,65 0,62
Jenis Kelamin
36 363
09,02 90,98
Cara Penemuan Pasif Aktif
366 33
91,70 08,30
Tipe Kusta MB PB
356 43
89,20 10,80
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
256 143
64,20 35,80
Umur ≥ 15 tahun < 15 tahun
332 67
83,20 16,80
Berdasarkan tabel 1, diketahui dari 399 penderita kusta di Provinsi Lampung dari tahun 2011 sampai dengan triwulan-II 2013, memiliki karakteristik sebagai berikut, 09,00% penderita telah cacat tingkat 1-2; 91,70% diketemukan secara pasif; 89,50% penderira merupakan tipe MB; 64,20% berjenis kelamin laki-laki, dan 83,00% penderita berumur ≥ 15 tahun. Analisis Bivariat 2. Hubungan Variabel Independen dengan Tingkat Kecacatan Penderita Kusta Baru
0,99
0,48-2,01 0,97
Umur 7,78 1,05-57,79 0,02
Dalam mengidentifikasi variabel independen yang layak masuk dalam model (kandidat model), digunakan analisis ChiSquare. Seleksi didasarkan pada variabel yang mempunyai nilai-p < 0,25 (Murti, B. 1997 dan Hastono, SP.2001). Berdasarkan kriteria tersebut, diketahui pada tabel 2, ternyata hanya variabel umur yang memenuhi kriteria kandidat model (nilaip < 0,25), sehingga hanya variabel cara penemuan dan variabel umur yang diikutkan pada pengembangan model akhir. Analisis Multivariat Pengembangan model Dalam rangka mencapai tujuan khusus ke empat, maka sejak awal pengembangan model diarahkan untuk diperolehnya model utama, (variabel utama “cara penemuan penderita”) setelah dikontrol dengan variabel kovariat. Tahap pengembangan model dalam penelitian ini digunakan teknik backward
Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 375
selection, yaitu dengan memasukkan semua variabel independen yang telah memenuhi kriteria kandidat model ke model multivariat, selanjutnya variabel independen (kovariat) yang tidak memenuhi kriteria nilai-p uji ChiSquare < 0,05 dikeluarkan secara bertahap (satu persatu) dari model, dimulai dari variabel yang memiliki nilai-p terbesar sampai dengan tidak ada lagi variabel dalam model yang dapat disingkirkan oleh kriteria eliminasi (didapatkan model utama). Model akhir
Dampak Potensial Diketahui rasio odds prevalens variabel cara penemuan penderita (ROP = 0,79) dan proporsi ekspose pada kelompok yang mengalami cacat (p = 09,02), maka dampak potensial cara penemuan penderita dapat dihitung dengan menggunakan rumus PAR (halaman 26). Hasil perhitungan menggunakan rumus tersebut, diketahui bahwa dampak potensial besarnya kontribusi variabel cara penemuan penderita kusta terhadap pencegahan cacat penderita kusta baru di Provinsi Lampung sebesar 2,12 %.
Tabel 3: Model Akhir Multivariat PEMBAHASAN Variabel
ß
Penemuan -0,231 Penderita Umur
SE
nilai-P
0,644 0,720
ROP
95% CI
0,79 0,23 – 2,81
2,076 1,026 0,043 7,97 1,07 – 59,59
Konstanta 2,155
0,186 0,000
Dari tabel .3, diketahui bahwa model akhir multivariat yang menggambarkan terjadinya kecacatan penderita kusta baru dengan variabel utama cara penemuan penderita kusta, adalah fungsi eksponensial dari variabel cara penemuan penderita dan satu variabel kovariat (umur) penderita. Dengan demikian model persamaan regresi logistiknya: P (pend. kusta baru cacat) = a + b1x1 + b2x2 P (pend kusta baru cacat) = 2,155 + (- 0,231) (penemuan penderita) + 1,026 (umur) p (pend.kusta baru cacat) = 2,155 + (- 0,231) (0) + 1,026 (0) = 2,155 P (pend kusta baru cacat) = 1 = 0,2954 - 2,155 ( 1 +2,7 ) Keterangan, e = bilangan natural = 2,7 Jadi probabilitas penderita kusta baru berumur > 15 tahun dan ditemukan secara pasif, memiliki risiko cacat tingkat 1-2 29,54 %.
1.
Analisis Univariat
Cara Penemuan Penderita Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, 09,00% penderita kusta baru telah mengalami cacat tingkat 1-2. Hasil ini sekaligus dapat dijadikan evaluasi belum berhasilnya program P2 kusta di Provinsi Lampung (salah satu target program P2 kusta angka kecacatan tingkat-2 sebesar 5%). Besaran angka 09,00% penderita kusta baru dengan kecacatan tingkat 1-2 berarti hampir dua kali lipat melebihi target toleransi program P2 Kusta untuk mentoleransi adanya penderita kusta baru yang cacat. Hasil penelitian relevan dengan hasil penelitian Srinivasan (1998), bahwa prevalensi kecacatan tingkat-2 sebesar 12,03%. Tingginya penderita kusta baru yang diketemukan secara pasif sudah dalam keadaan cacat (91,70%), juga mengindikasikan belum maksimalnya proses sosialisasi, penyuluhan, dan koordinasi dalam menurunkan jumlah penderita kusta baru, sebagai akibatnya, pengetahuan penderita, keluarga, dan masyarakat tentang penyakit kusta rendah, baik pengetahuan tentang tanda dini kusta maupun pengetahuan tentang tersedianya obat gratis di puskesmas, atau malu datang ke sarana
376 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380
kesehatan, hal ini berdampak diagnosis dini dan pengobatan segera terhadap penderita terlambat, penderita terdiagnosis dan mendapat pengobat-an setelah mengalami cacat (Kemenkes, 2012). Das (2006), dalam Susanto, N (2006), bahwa pengetahuan yang rendah tentang penyakit kusta dapat menimbulkan stigma negatif terhadap penyakit kusta, rendahnya pengetahuan tentang penyakit kusta mengakibatkan penderita tidak mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan penyakit kusta. Lyor (2005), juga menyatakan, kejadian kecacatan kusta lebih banyak terjadi pada penderita yang mempunyai pengetahuan rendah tentang penyakit kusta, dan hal ini berhubungan dengan kecacatan penderita kusta (p=0,00). Tipe kusta WHO (1997), menyatakan klasifikasi dikhususkan untuk pengobatan pada kondisi lapangan. Dalam klasifikasi ini penderita kusta hanya dibagi 2 (dua) tipe yaitu, Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah negatif atau positifnya Basil Tahan Asam (BTA) dalam skin smear, namun pada kondisi lapangan klasifikasi cukup berdasarkan ganbaran klinis yang diderita. Dalam keadaan ragu-ragu penyakit diklasifikasikan dalam tipe MB. Hasil penelitian ini (tabel-1) menunjukkan, penderita kusta baru lebih banyak ditemukan tipe MB (89,20%) dibandingkan tipe PB (10,80%). Masih tingginya penderita kusta tipe MB yang ditemukan secara pasif ini dapat merupakan faktor yang menyebabkan penularan dan penderita kusta di Provinsi Lampung tetap tinggi demikian pula tingkat kecacatannya. Sebagaimana diketahui bahwa sumber penularan penyakit kusta dari satu orang ke orang lain utamanya adalah tipe MB. Masih tingginya penderita tipe MB diketemukan secara pasif, berarti diagnosis dan deteksi dini serta pengobatan akan terlambat, dengan demikian proses penularan tetap berlangsung.
Hal ini sesuai dengan definisi operasional indikator proporsi kusta MB, yaitu jumlah kasus MB yang ditemukan diantara kasus baru pada periode satu tahun, bahwa angka ini dapat dipakai untuk memperkirakan sumber penyebaran infeksi. Jenis kelamin Penderita kusta baru berdasarkan karakteristik jenis kelamin di Provinsi Lampung diketahui penderita laki-laki (64,20%), lebih banyak dibandingkan penderita perempuan (35,80%). Sebagaimana diketahui penyakit kusta dapat mengenai laki-laki maupun perempuan, sebagian besar negara didunia kecuali beberapa negara afrika menunjukkan laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan (Kemenkes, 2012). Rendahnya kejadian kusta pada perempuan dimungkinkan karena faktor lingkungan dan sosial budaya, pada kebudayaan tertentu akses perempuan ke pelayanan kesehatan sangat terbatas, juga perempuan lebih memiliki rasa malu jika penyakit kusta yang dideritanya diketahui orang lain, sehingga berkecenderungan tidak segera ke pelayanan kesehatan. Namun demikian keterkaitannya dengan tingkat kecacatan, Peter dan Eshiet (2002), dalam Susanto, N (2006), menyatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat dan variasi kecacatan pada penderita kusta antara pria dan wanita. Variasi kecacatan lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Cacat tangan dan kaki sering dijumpai pada pria daripada wanita, dengan perbandingan kecacatan 2:1. Kecacatan pada pria berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan setiap hari. Muhammed et al., 2004, juga menyatakan tingkat kecacatan cenderung lebih tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, hal ini berkitan dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah dan merokok.
Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 377
Umur Penyakit kusta diketahui dapat terjadi pada semua usia, berkisar antara bayi sampai dengan usia lanjut (usia 3 minggu sampai dengan lebih dari 70 tahun), tetapi yang terbanyak pada usia muda dan produktif (Kemenkes, 2012). Berdasarkan karakteristik umur penderita kusta baru, diketahui 83,20% berumur ≥ 15 tahun, yang merupakan usia produktif. Hasil ini relevan dengan pendapat Bakker et al., (2005), bahwa kecacatan penderita kusta sering terjadi pada umur 15-34 tahun, umur ini merupakan usia produktif. Aktivitas fisik lebih meningkat pada usia 15-34 tahun, sehingga kejadian cacat lebih sering dialami usia ini. Penelitian Muhammed et al.,(2004), juga memperoleh hasil, bahwa dari 500 penderita kusta, kecacatan tertinggi terjadi pada usia > 60 tahun (50%), umur 46-60 tahun (43,6%), dan terendah umur 0-15 tahun (8,3%). Realita ini terjadi karena pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan hormonal, kemampuan sensorik, dan kemampuan motorik. Penurunan kemampuan sensasi kornea pada mata juga dapat mengakibatkan terjadinya lagoptalmus, (Courtright at al., 2002 dalam Susanto, N, 2006). Hasil studi di India, Malawi, Myanmar, Papua dan Uganda juga menyebutkan peningkatan tingkat kecacatan penderita kusta dapat disebabkan meningkatnya umur penderita, karena peningkatan umur menyebabkan kemampuan sistem syaraf berkurang sehingga syaraf motorik terjadi paralisis (Sow, et al.,1998, dalam Susanto, N, 2006). 2. Analisis bivariat Hubungan cara penemuan penderita kusta baru dengan kecacatan penderita kusta Penemuan penderita kusta terdiri dari penemuan pasif dan aktif. Penemuan secara pasif (sukarela), adalah penemuan penderita yang dilakukan terhadap orang yang belum
pernah berobat kusta, datang sendiri atau atas saran orang lain ke puskesmas atau sarana kesehatan lain. Penderita biasanya sudah dalam stadium lanjut. Hubungan cara penemuan penderita kusta baru dengan kecacatan penderita dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,99, dengan demikian pada = 5% dapat disimpulkan secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan persentase kecacatan penderita kusta baru antara yang ditemukan secara pasif dengan yang diketemukan secara aktif. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh nilai ROP = 1,00 (95% CI: 0,29 – 3,42), berarti variabel cara penemuan penderita bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya kecacatan penderita kusta baru. Meskipun secara statistik tidak menunjukkan kemaknaan, tetapi bila dilihat besaran persentase kecacatan penderita kusta baru, ternyata penderita yang mengalami kecacatan tingkat 1-2 dan diketemukan secara pasif persentasenya mencapai lebih dari 9 %. Selain itu hasil uji statistik yang menunjukkan cara penemuan penderita bukan merupakan faktor risiko dapat disebabkan tidak sebandingnya jumlah penderita kusta baru yang ditemukan secara aktif dibandingkan dengan yang ditemukan secara pasif, (penderita yang ditemukan secara aktif dan digunakan dalam analisis penelitian ini hanya 8% dari seluruh penderita kusta baru yang ditemukan). Ketidak sebandingan data jumlah penderita kusta baru yang ditemukan secara pasif dan yang ditemukan secara aktif disertakan dalam analisis bersama, kemungkinan turut mempengaruhi hasil penelitian ini. Dengan demikian upaya penemuan penderita kusta baru secara aktif tetap perlu terus didukung dan dilakukan secara rutin baik di oleh Pemerintah Provinsi Lampung maupun di Pemerintahan Kabupaten/Kota, misalnya setiap kali diketemukan penderita baru secara pasif, maka langsung ditindaklanjuti dengan penemuan aktif (misalnya survei kontak), sehingga adanya penderita baru lain dalam
378 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380
keluarga penderita atau di lingkungan penderita segera dapat didiagnosa dan diberikan pengobatan sebelum penyakitnya berkembang atau menjadi cacat. Selain itu melalui kegiatan penemuan aktif juga dapat dilakukan penyuluhan tentang tanda-tanda dini penyakit kusta, pengobatan, dan sebagainya sehingga apabila ada penderita baru dapat segera dideteksi dan diberi pengobatan, mengingat selama ini diantara faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke puskemas/sarana kesehatan lainnya, antara lain 1) tidak mengetahui tanda dini kusta, 2) malu datang ke puskesmas/sarana kesehatan, 3) adanya puskesmas yang belum siap, 4) tidak tahu bahwa ada obat tersedia Cuma-Cuma di puskesmas, dan 5) jarak penderita ke puskesmas/sarana kesehatan terlalu jauh (Kemenkes RI, 2012).
Besarnya peluang penderita tipe MB untuk menderita cacat dibandingkan tipe PB ini berkaitan dengan ditemukannya BTA (Basil Tahan Asam) pada tipe MB, sedangkan pada tipe PB tidak diketemukan (negatif). Sebagaimana teori juga menyebutkan bahwa sumber penularan penyakit kusta adalah penderita tipe MB, sehingga apabila penderita tipe ini segera diketemukan dan diobati, maka sumber penularan ke orang lain dapat diputus, karena dengan pengobatan maka kuman kusta tidak memiliki daya rusak jaringan tubuh, bahkan kuman akan mati, tanda-tanda penyakit menjadi kurang aktif sampai akhirnya hilang. Sedangkan kecacatan pada penderita tipe PB lebih dikarenakan terlambatnya pengobatan.
Hubungan tipe kusta dengan kecacatan penderita kusta
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar (64,16%) penderita kusta adalah laki-laki, namun bila dibandingkan berdasarkan kecacatan penderita, maka ternyata besaran cacat diantara keduanya relatif sama (8,98%) pada laki-laki, dan 9,09 % pada perempuan. Jenis kelamin diduga berkaitan dengan kecacatan penderita kusta. Peter dan Eshiet (2002), menyatakan terdapat perbedaan tingkat dan variasi kecacatan pada penderita kusta antara pria dan wanita. Variasi kecacatan lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Cacat tangan dan kaki sering dijumpai pada pria daripada wanita, dengan perbandingan kecacatan 2:1. Kecacatan pada pria berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan setiap hari. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini ternyata menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penderita perempuan dan laki-laki. Hasil uji statistik chi scuare, diperoleh ROP = 0,99, dan nilai-p = 0,97 (95% CI: 0,48 – 2,01). Bila memperhatikan nilai ROP dibawah angka 1, berarti faktor jenis kelamin laki-laki justru memiliki risiko cacat semakin rendah (faktor
Hubungan tipe kusta dengan kecacatan penderita juga dapat dilihat pada tabel 4.1 dan tabel 4.2, dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa diantara 399 penderita kusta baru, 356 penderita (89,22 %) merupakan penderita kusta tipe MB, dari jumlah tipe MB tersebut 33 penderita (09,27%) yang mengalami cacat tingkat 1-2. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = statistik tidak terdapat perbedaan signifikan persentase penderita kusta baru yang mengalami cacat antara penderita kusta tipe MB dan PB. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh nilai ROP = 1,36 (95% CI: 0,40 – 4,65). Memperhatikan interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1 (95% CI: 0,40 – 4,65), maka berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel dalam penelitian ini memungkinkan nilai prevalensinya1= 1, sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji tersebut merupakan faktor risiko atau faktor protektif.
Hubungan jenis kelamin dengan kecacatan penderita kusta
Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 379
protektif) dibandingkan penderita perempuan. Namun interval kepercayaan rasio prevalensnya mencakup angka 1 (95% CI: 0,48 – 2,01), berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel penelitian ini memungkinkan nilai prevalensnya = 1, dengan demikian belum dapat disimpulkan bahwa faktor jenis kelamin merupakan faktor risiko atau faktor protektif. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Muhammed et al., (2004), yang menyebutkan bahwa tingkat kecacatan cenderung lebih tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, hal ini berkitan dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah dan merokok. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan juga dimungkinkan karena faktor sosial budaya, perempuan di desa lebih sering mendatangi atau mengikuti kegiatan penyuluhan kesehatan dibandingkan laki-laki, dengan demikian pengetahuan dan kesadaran pentingnya ke pelayanan kesehatan dan berobat lebih baik pada perempuan dibandingkan laki-laki. Selain itu perempuan lebih memiliki rasa malu dan takut jika penyakit yang dideritanya semakin parah, sehingga cenderung segera ke pelayanan kesehatanpun semakin besar.
57,79),artinya penderita kusta berumur ≥ 15 tahun mempunyai peluang untuk cacat 7,78 kali dibandingkan penderita kusta berumur < 15 tahun Hasil penelitian ini relevan dengan pernyataan Bakker et al., (2005), bahwa kecacatan pada penderita kusta sering terjadi pada umur 15-34 tahun, umur ini merupakan usia produktif. Aktivitas fisik lebih meningkat pada usia 15-34 tahun, sehingga kejadian cacat lebih sering dialami pada usia ini. Selanjutnya penelitian Muhammed et al.,(2004), dari 500 penderita kusta kecacatan tertinggi terjadi pada usia > 60 tahun (50%), umur 46-60 tahun (43,6%), dan terendah umur 0-15 tahun (8,3%). Bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan hormonal, kemampuan sensorik, dan kemampuan motorik. Penurunan kemampuan sensasi kornea pada mata dapat mengakibatkan terjadinya lagoptalmus, Courtright., (2002) dalam Susanto (2006). Selain itu peningkatan tingkat kecacatan penderita kusta dapat disebabkan oleh meningkatnya umur penderita yang dapat menyebabkan kemampuan sistem syaraf berkurang sehingga pada syaraf motorik terjadi paralisis (Sow, et al.,1998). SIMPULAN
Hubungan Umur dengan kecacatan penderita kusta Hubungan umur penderita kusta baru dengan kecacatan penderita juga dapat dilihat pada tabel 4.1 dan tabel 4.2. Hasil penelitian didapatkan bahwa diantara 332 penderita yang berumur ≥ 15 tahun, sebanyak 35 penderita (10,54 %) mengalami cacat tingkat 1-2, sedangkan untuk penderita yang berumur < 15 tahun hanya 1,49% yang mengalami cacat. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,02, berarti pada = 5% dapat disimpulkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan signifikan persentase penderita kusta baru yang berumur < 15 tahun dengan yang berumur ≥ 15 tahun. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh nilai ROP = 7,78 (95% CI: 1,05 –
Karakteristik penderita kusta baru di Provinsi Lampung, 9,02 % telah mengalami cacat tingkat 1-2; 91,70% ditemukan secara pasif; 89,20% penderita tipe MB; 64,20% lakilaki, dan 83,20% berusia ≥ 15 tahun. Secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara cara penemuan penderita dengan kecacatan penderita kusta baru. Variabel independen (kovariat) yang menunjukkan hubungan bermakna secara statistik adalah variabel umur penderita. Determinan kecacatan penderita kusta baru di Provinsi Lampung adalah cara penemuan penderita dan umur penderita kusta. Besarnya dampak potensial variabel penemuan penderita terhadap pencegahan kecacatan penderita baru adalah 2,12 %.
380 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380
DAFTAR RUJUKAN Bakker M.,Hatta M., Kwenang A., Klaster PR. 2005. Epidemiology and Prevention of Leprosy. Netherlands: Melbergdreef 39. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 20112013. Laporan Program P2 Kusta. Dinas Kesehatan. Lampung: Laporan tahun 2011-Triwulan II 2013. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat Jendral PPM dan PLP. Lyor T.F. 2005. Knowledge and Attitude of Nigerian Physiotherapy Student About Leprosy. Asia Pacifik Disability Rehabi-litation Journal. Vol 16. No.1: 85-92 pp. Muhammed K, Nandakumar G, Thomas S. 2004. Disability Rates in Leprosy. Indian J Dermatol Venereol Leprol. Vol 70. India: 314-316 pp.
Rahmad H. 2003. Program Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Srinivasan H.1998. The Problem and Challenge of disability and Rehabilitation in Leprosy: Asia Pacific Disability Rehabilitation Journal.Volume 9. http://www.dinf.ne.jp/docenglish/asia/r esource/apdrj/213jo0200.htm. diakses 2 Oktober 2013. Sastroasmoro.S, Ismail S. 2002. Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke2. Jakarta: CV.Sugeng Seto. Susanto N. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecacatan Penderita Kusta. Tesis. Universitas Gajah Mada.Yokyakarta: 66 halaman WHO. 1997. Action Programme For The Elimination of Leprosy. Word Health Organization. Geneva: 1-18 pp.