perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI)
Skripsi oleh : NUNING TRI MARDIASTUTI X1206039
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI)
Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
oleh :
NUNING TRI MARDIASTUTI NIM X 1206039
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. H. Purwadi NIP 195401031981031003
Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. NIP 196207281990031002
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari
:
Tanggal
:
Tim penguji skripsi: Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Dra. Raheni Suhita, M. Hum.
......................
Sekretaris
: Sri Hastuti, S. S., M. Pd.
......................
Anggota I
: Drs. Purwadi.
......................
Anggota II
: Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.
......................
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP 196007271987021001 commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, (2) penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data yang digunakan adalah peristiwa pembelajaran di kelas, rekaman ujaran yang muncul ketika pembelajaran, dan informan. Objek penelitian adalah Guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, khususnya kelas XI ICT 1 dan XI IPS SK 2. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu observasi, transkip, dan wawancara. Validitas data diuji dengan menggunakan triangulasi data dan triangulasi metode, yaitu menggunakan beberapa sumber dan metode untuk mengecek keabsahan data tersebut. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan data penelitian dapat disimpulkan: (1) dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kerja sama. Seorang penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama adalah maksim kuantitas. Penutur memberikan keterangan lebih banyak daripada yang dibutuhkan dalam komunikasi. Hal ini terjadi karena dalam menyampaikan materi penutur cenderung mengemukakan sesuatu yang akan dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini wajar karena dalam berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Maksim yang dipatuhi adalah maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat keterangan yang diberikan dalam komunikasi haruslah sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sesungguhnya. (2) dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kesantunan. Secara konversasional seorang penutur dimungkinkan untuk tidak selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip sopan santun. Ada kalanya seorang penutur melanggar salah satu atau lebih maksim dalam prinsip sopan santun. Hal ini terjadi karena dalam bertutur seorang penutur tidak hanya memperhatikan penerapan prinsip kesantunan saja tetapi juga memperhatikan penerapan prinsip kerja sama. commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicaralah yang baik-baik, kalau tidak mampu, maka diamlah saja.” (HR. Bukhari-Muslim)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur dan terima kasihku kepada: 1. Kedua orang tuaku, Bapak Wagimin dan Ibu Sumarsi atas dukungan, kasih sayang, doa yang tak akan pernah putus; 2. Kakakku Didik, Wiwik, dan Budi yang selalu memberiku semangat dan keceriaan; 3. Sahabatku (Fyna, Aileen, Wiwit, Niken, Anna, Rika) semoga persahabatan kita tak terpisahkan karena jarak; 4. Temanku curhat Pak Parno, Rumi, Murtini, dan Narsi yang selalu memberiku semangat; 5. Calon Imamku yang selalu memberiku doa serta semangat; dan 6. Almamater.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu, peneliti menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penyusunan skripsi ini; 2. Drs. Suparno, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini; 3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan motivasi selama menyusun skripsi serta izin untuk menyusun skripsi ini; 4. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan kepada peneliti selama kuliah; 5. Drs. H. Purwadi, M. Pd. selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan sabar kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar; 6. Alim Sukarno, S. Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian; 7. Wahyu Lestari, S.Pd. dan Ngadimin, S. Pd. selaku guru kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar yang telah banyak membantu dan berperan aktif dalam proses penelitian; dan commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari Tuhan Yang Maha Esa. Surakarta,
Peneliti
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman JUDUL ...................................................................................................... i PENGAJUAN ...........................................................................................
ii
PERSETUJUAN ........................................................................................
iii
PENGESAHAN .........................................................................................
iv
ABSTRAK ................................................................................................
v
MOTTO .....................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN ......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................
6
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka .............................................................................
8
1. Hakikat Pragmatik.....................................................................
8
2. Tindak Tutur..............................................................................
9
3. Tindak Tutur Direktif ................................................................
13
4. Situasi Tutur ..............................................................................
16
5. Prinsip-prinsip Berkomunikasi .................................................
17
B. Penelitian yang Relevan ..................................................................
39
C. Kerangka Berpikir ...........................................................................
41
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................
43
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................ commit to user C. Sumber Data ....................................................................................
43
x
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Teknik Pengumpulan Data ..............................................................
44
E. Validitas Data ..................................................................................
45
F. Teknik Analisis Data .......................................................................
45
G. Prosedur Penelitian..........................................................................
47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian.............................................................
50
B. Hasil penelitian................................................................................
52
1. Penerapan Prinsip Kesantunan ..................................................
53
2. Penerapan Prinsip Kerja sama...................................................
60
C. Pembahasan .....................................................................................
67
1.
Penerapan Prinsip Kesantunan .................................................
67
2.
Penerapan Prinsip Kerja sama............................................... ...
69
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan .........................................................................................
71
B. Implikasi ..........................................................................................
72
C. Saran................................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Kerangka Berpikir ...................................................................................
42
2. Model Analisis Interaktif ........................................................................
47
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
LAMPIRAN 1. TRANSKRIP REKAMAN .................................................
77
LAMPIRAN 2. CATATAN LAPANGAN ....................................................
94
LAMPIRAN 3. INSTRUMEN WAWANCARA ...........................................
104
LAMPIRAN 4. LAPORAN HASIL WAWANCARA ...................................
111
LAMPIRAN 5. FOTO ....................................................................................
121
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. DIRECTIVE SPEECH ACT OF TEACHERS OF SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (In Learning Process in XI Class). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, March 2011.
The objective of research is to describe: (1) the application of politeness principle in directive speech act used by the teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar and (2) the application of cooperative principle in directive speech act used by the teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. This research employed a descriptive qualitative method with case study approach. The data source employed was learning event in the class, the recording of speech emerging during learning, and informant. The object of research was teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, particularly in XI ICT 1 and XI IPS SK 2 classes. Techniques of collecting data used were observation, transcription, and interview. The data validity was tested using data and method triangulation, namely using several sources and methods to validate the data. Technique of analyzing data used was an interactive analysis consisting of three interrelated components: data reduction, data display, and conclusion drawing. Considering the data of research, it can be concluded that: (1) in learning in SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, it can be found the speech act complying with and breaking the maxims in cooperative principle. A speaker should not always comply with all maxims in the cooperative principle in communication. The maxim broken in cooperative principle is maxim of quantity. The speaker gives information more than needed in communication. It occurs because in delivering the material, the speaker tends to explain something to be spoke of in detail. It is reasonable because in communicating, a speaker should not only consider the maxims in cooperative principle, but also those in politeness principles. The maxim complied with is maxim of relevance. It is reasonable recalling the information given in communication should be real and corresponding to the actual fact. (2) In learning in SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, it can be found the speech complying with and breaking the maxims in politeness principle. Conventionally, a speaker is likely not complying with all maxims in politeness principle. Sometimes, a speaker breaks one or more maxims in politeness principle. It is because in speaking, a speaker not only considers the application of politeness principle but also the application of cooperative principle.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya selalu menginginkan adanya kontak dengan manusia lain, sedangkan alat yang paling efektif untuk keperluan itu adalah bahasa, dengan bahasa seseorang dapat menunjukkan peranan dan keberadaannya dalam lingkungan. Pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi kehidupan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam suatu segi kehidupan yang satu berbeda dengan pemakaian bahasa dalam segi kehidupan yang lain. Termasuk di dalamnya bahasa yang dipakai dalam suatu pembelajaran di lembaga pendidikan. Keberhasilan suatu program pembelajaran ditentukan oleh beberapa komponen dan semua komponen tersebut harus saling berinteraksi. Salah satu komponen tersebut adalah bahasa. Sejalan dengan pendpat di atas Nababan (1987: 68) berpendapat bahwa alat terutama dalam interaksi belajar mengajar antara murid, guru, dan pelajaran adalah bahasa, dalam proses belajar mengajar terjadilah komunikasi timbal balik atau komunikasi dua arah antara guru dan siswa atau siswa dengan siswa. Proses belajar mengajar akan berjalan efektif jika guru dan siswa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, dalam hal ini guru dituntut untuk terampil dalam berkomunikasi agar apa yang disampaikan dapat dimengerti dan dipahami siswa. Pada umumnya masyarakat Indonesia terlebih dahulu mengenal bahasa daerah sebelum mengenal bahasa Indonesia sehingga bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa pertama yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari dalam suatu etnik tertentu, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua mengalami kontak bahasa dengan bahasa daerah. Salah satu contohnya adalah tindak tutur guru dalam proses pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 commit to user Karanganyar seperti yang penulis teliti.
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masyarakat pengguna bahasa dalam situasi tertentu dan untuk mencapai tujuan tertebtu akan selalu berusaha memilih dan menggunakan kaidah-kaidah tuturan yang sesuai dengan peraturan. Selain itu, masyarakat pengguna bahasa juga harus memperhatikan tata cara berbahasa yang disesuaikan dengan norma atau aspek sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat tertentu. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya, ia akan mendapat nilai negatif, misalnya dikatakan orang yang tidak santun, sombong, angkuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Muslich, 2006: 2). Pakar
bahasa
menyadari
perlunya
perhatian
terhadap
dimensi
kemasyarakatan bahasa, termasuk di dalamnya aspek sosial dan budaya. Hal ini dikarenakan dimensi kemasyarakatan tersebut bukan sekedar memberi makna terhadap bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam bahasa dan juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturanaturan, dan modus pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Interaksi sosial merupakan sarana pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sehari-hari dan menggunakan makna tersebut sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai kegiatan. Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya, tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Misalnya, masyarakat Jawa menggunakan bahasa tidak hanya sekedar untuk alat berkomunikasi, tetapi juga sebagai identitas dan parameter kesantunan dalam berkomunikasi. Norma kesantunan tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi direktif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, nasihat, permohonann permintaan, keharusan atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Adapun perilaku nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural commit to dalam user berinteraksi dengan sesamanya. menghendaki agar manusia bersikap santun
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur. Keberhasilan menggunakan strategi-strategi ini menciptakan suasana santun yang memungkinkan interaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur. Tata cara berbahasa, termasuk santun berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi (penutur dan mitra tutur) untuk kelancaran komunikasinya. Misalnya, dalam masyarakat Jawa, seorang penutur tidak akan menyatakan maksudnya hanya dengan mengandalkan pikiran (rasionya), tetapi yang lebih penting adalah perasaanya (angon rasa). Angon rasa tersebut merupakan komunikasi yang dilakukan dengan menjaga perasaan mitra tutur. Meskipun informasi yang disampaikan didukung oleh data dan realita, tetapi jika waktu menyampaikannya tidak tepat, harus ditunda terlebih dahulu. Jika prinsip ini dilanggar, kemungkinan besar komunikasi dapat gagal mencapai tujuan (Pranowo, 2009: 45). Hal ini tidak hanya terjadi dalam komunikasi sosial, tetapi juga dalam komunikasi formal ataupun komunikasi akademik supaya selalu tercipta suasana tutur yang harmonis. Bahasa dengan segala bentuk pemakaian, konteks, dan situasinya sangat menarik untuk dijadikan bahan penalitian, termasuk kesantunan berbahasa. Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi perlu dipertimbangkan segi kesantunan berbahasa. Dewasa ini kita sering mendengar kebanyakan orang menggunakan bahasa yang kurang sopan, khususnya generasi muda. Bahasa yang digunakannya sering memancing emosi seseorang sehingga menimbulkan keributan atau perselisihan, termasuk fenomena berbahasa di kalangan siswa yang menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat yang semakin mengglobal ini. Pembelajaran akan mudah dilakukan jika murid-muridnya sejak kecil sudah terbiasa untuk berbahasa Indonesia atau bahkan menjadi bahasa pertamanya. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah permasalahan tersendiri jika murid-muridnya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat to user komunikasi sehari-hari. Misalnyacommit anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan,
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
meraka belum menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Berkaitan dengan hal ini, Soemiarti (2003: 37) berpendapat bahwa guru hendaknya peka terhadap kondisi anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia berbeda yang disebabkan karena datang dari daerah sehingga terhambat sosialisasinya. Kesantunan berbahasa dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur. Kesantunan berbahasa merupakan hasil pelaksanaan kaidah yaitu kaidah sosial, dan hasil pemilihan strategi komunikasi. Kesantunan berbahasa penting di mana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan berbahasa yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat. Setiap masyarakat selalu ada hierarki sosial yang dikenakan pada kelompok anggota masyarakat, karena mereka telah menetukan penilaian tertentu, misalnya, antara guru dan siswa, orang tua dan anak muda, pemimpin dan yang dipimpin, majikan dan buruh, serta status lainnya. Selain itu faktor konteks juga menyebabkan kesantunan berbahasa karena pada dasarnya prinsip kesantunan berbahasa tersebut merupakan kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur. Berdasarkan pernyataan di atas kebutuhan akan hadirnya sosiopragmatik makin terasa. Apalagi, kita sering menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang ternyata tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan linguistik, tetapi memerlukan pula pertimbangan-pertimbangan nonlinguistik, seperti disiplin ilmu sosiologi dan pragmatik. Masalah demikian timbul karena studi bahasa itu sendiri cenderung bersifat multidisipliner. Selain itu, juga karena adanya kenyatankenyataan Bahwa (1) bahasa itu selalu berubah sejalan dengan perubahan masyarakat pemakainya, (2) perubahan bahasa itu terjadi sebagaia akibata adanya perubahan nilai masyarakat terhadap bahasa yang dipakainya, dan (3) perubahan nilai tersebut bersumber pada perubahan-perubahan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang sebagai anggota kelompok sosial. Oleh sebab itu, bahasa dan pemakaiannya tidak diamati secara individual, melainkan selalu dihubungkan dengan kegiatan di commit tokata userlain, bahasa tidak saja dipandang masyarakat (Lubis, 1993: 124). Dengan
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial, termasuk fenomena kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan sekolah. Penelitian kesantunan berbahasa Indonesia ini akan dibatasi bentuk tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas. Tindak tutur direktif tersebut merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti halnya di lingkungan sekolah pada saat kegiatan belajar-mengajar. Tindak tutur direktif sangat mendominasi dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang menarik adalah untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ‘perintah penutur kepada mitra tutur’, ternyata dapat dibanggun atau direalisasikan dengan menggunakan bentuk-bentuk afirmatif, imperatif, bahkan bentuk interogatif. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sangatlah beralasan jika, Leech (1983: 121) menyatakan bahwa prinsip sopan santun berbahasa tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekedar ditambahkan saja pada prinsip kerja sama, tetapi prinsip sopan santun ini merupakan prinsip berkomunikasi penting yang dapat menyelamatkan prinsip kerja sama dari suatu kesulitan yang serius. Oleh karena itu diasumsikan bahwa prinsip kerja sama kedudukannya sangat penting, tetapi pertimbangan prinsip kesantunan tampaknya tidak dapat dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam interaksi belajar-mengajar antara guru dan siswa ataupun antarsiswa di lingkungan sekolah. Agar penelitian ini lebih mendalam, peneliti membatasi permasalahan yang akan dikaji, adapun pembatasan tersebut, yaitu kesantunan dalam berbahasa; dan (2)
(1) penarapan prinsip
penerapan prinsip kerja sama dalam
berbahasa.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar? 2. Bagaimanakah penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar? commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Adapun
tujuan
Tujuan Penelitian
khusus
dari
penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendiskripsikan: 1. Penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. 2. Penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
D.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoretis a. Memperluas pengetahuan dan wawasan mengenai tindak tutur, khususnya penerapan prinsip kesantunan yang digunakan guru dalam pembelajaran di SMA. b. Menambah wawasan mengenai tindak tutur para siswa. c. Menambah kekayaan penelitian di bidang pragmatik. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru 1) Guru
dapat
menggunakan
bahasa
yang
komunikatif
dalam
pembelajaran sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan baik. 2) Guru dapat membiasakan siswa untuk belajar menggunakan tindak tutur dengan santun. b. Bagi Orang Tua Murid 1) Dengan mengetahui tuturan anak, orang tua dapat membiasakan menggunakan tuturan yang baik. 2) Dengan mengetahui arti penting bertutur, maka orang tua dapat melakukan upaya tertentu agar merangsang anak untuk berbicara dengan santun.
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Bagi Peneliti Penelitian ini dapat memperdalam pengetahuan tentang fenomena pemakaian tindak tutur direktif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Pragmatik Levinson (1983: 27) mendefinisikan pragmatik adalah penelitian atau kajian di bidang dieksis atau implikatur, praanggapan, pertuturan atau tindak bahasa, dan struktur wacana. Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik sebagai bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran. Kridalaksana
(1984:
159)
menjelaskan
pengertian
pragmatik
(pragmatics), yaitu (1) cabang semiotik yang mempelajari asal-usul, pemakaian dan akibat lambang dan tanda; (2) ilmu yang menyelidiki peraturan, konteksnya, dan maknanya. Nababan (1987: 1) memakai istilah pragmatik secara lebih luas yang mengacu pada ”aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaan”. Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik adalah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai contoh: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara. Kerugian yang besar adalah bahwa semua konsep manusia ini sulit dianalisis dalam suatu cara konsisten dan objektif.
commit to user
8
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Hakikat Tindak Tutur a. Bentuk Tindak Tutur Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the acts of saying something. Konsep ini berkaitan dengan proposisi kalimat, yaitu di dalamnya terdapat subjek atau topik dan predikat atau comment. Tindak tutur ini berwujud tindak bertutur dengan fonem, kata, frasa, dan kalimat bahkan sampai dengan wacana sesuai dengan makna yang dikandung dalam konstruksi fonem, kata, frasa, kalimat, dan wacana itu. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang dikemukakan oleh penutur. Semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu mitra tutur bahwa pada saat penutur bertutur Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada berarti ‘penutur mengetahui ada iklan melintang di jalan Gajah Mada. Oleh sebab itu tuturan ini di dalam studi pragmatik dianggap kurang menarik sebab tidak terdapatnya maksud interpersonal. Tindak tutur ilokusi dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dan melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ini dinamakan sebagai the acts of doing something. Untuk menafsirkan tindak tutur ilokusi ini diperlukan pemahaman terhadap situasi tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu terdapatnya iklan yang melintang di jalan Gajah Mada, namun lebih dari itu bahwa maksud yang hendak dituju adalah penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan menurunkan iklan yang melintang di jalan Gajah Mada. Tuturan perlokusi mempunyai pengaruh (perlocitionary force) terhadap mitra tutur. Untuk itu, tindak ini dinamakan dengan the act of effecting some one. Tindak tutur ini dituturkan oleh penutur untuk menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada mitra tutur.
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Jenis Tindak Tutur Klasifikasi tindak tutur yang dibicarakan di sini adalah klasifikasi berdasarkan daya ilokusi pada khususnya, karena klasifikasi ini sebagai patokan dalam mengklasifikasikan berbagai tuturan yang berimplikatur dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tidak membicarakan klasifikasi tindak tutur yang lain, seperti tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal (Wijana, 1996:
32). Maka peneliti
simpulkan bahwa tindak tutur literal adalah tindak tutur harfiah atau sesuai dengan kenmyataan, dan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur tidak sesuai dengan kenyataan. Secara garis besar kategori-kategori dalam Leech (1993: 164-165) dikelompokkan menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. a.
Asertif (assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran preposisi yang
diungkapkan,
misalnya,
menyatakan,
mengusulkan,
membual,
mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Dari segi sopan santun ilokusi cenderung netral, yakni, mereka termasuk kategori bekerja sama (collaborative). Tetapi ada beberapa perkecualian:
misalnya membual
biasanya dianggap tidak sopan, dari segi semantik ilokusi asertif bersifat proporsional. b.
Direktif (directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, ilokusi misalnya, memesan, memerintah, memohon, menutut, memberi nasihat. Jenis ilokusi ini sering dapat dimasukkan ke dalam kategori kompetitif (competitive) karena mencakup juga kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun negatif. Namun di pihak lain terdapat juga beberapa ilokusi direktif, seperti mengundang yang secara intrinsik sopan. Agar istilah direktif tidak dikacaukan dengan ilokusi langsung dan tidak langsung, digunakan istilah imposif (impositive) khususnya untuk mengacu pada ilokusi kompetitif dalam kategori direktif.
c.
Komisif (Commissives): pada ilokusi ini penutur (sedikit banyak) terikat pada commit to user suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan, berkaul.
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jenis ilokusi ini cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif, karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan petutur. d.
ekspresif (Ekspressives): fungsi ilokusi ini ialah mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengencam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya. Sebagaimana juga dengan ilokusi komisif, ilokusi ekspresif cenderung menyenangkan, karena itu secara intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif seperti ‘mengencam’, dan ‘menuduh’.
e.
Deklarasi
(Deklarations):
berhasilnya
pelaksanaan
ilokusi
ini
akan
mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat, (pegawai), dan sebagainya. Searle mengatakan bahwa tindakan-tindakan ini merupakan kategori tindak ujar yang sangat khusus, karena tindakan-tindakan ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan kelembagaan diberi wewenang untuk melakukannya. (Contoh klasik ialah hakim yang menjatuhkan hukuman pada pelanggar undang-undang, pendeta yang membaptis bayi, pejabat yang memberi nama pada sebuah kapal baru, dan sebagainya). Sebagai suatu tindakan kelembagaan (dan bukan sebagai tindakan pribadi) tindakan-tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor sopan santun. Lima macam tindak tutur tersebut juga dikemukakan oleh Mey (1994: 163) dan levinson (1983: 240). Keduanya juga mengutip pendapat Searle (1974: 34). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti dapat mengetahui bahwa pendapat mereka semua sama, yaitu tuturan dapat dibedakan ke dalam lima macam dilihat dari daya ilokusinya. Tindak tutur tersebut adalah assertives, directives, commissives, expressives, dan declarations. Asertif adalah tuturan yang to user digunakan untuk menunjukkan commit kebenaran tentang yang dinyatakan, misalnya
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyatakan, menjelaskan, mengadukan, menyarankan, mengeluh, dan membual. Direktif adalah tuturan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh adalah permohonan, suruhan, permintaan, perintah, nasihat, anjuran, dan ajakan. Komisif menuntut penutur untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang, misalnya menawarkan, berjanji. Ekspresif adalah tuturan yang berfungsi mengungkapkan sikap penutur tentang sesuatu baik yang bersifat positif maupun negatif, yang bersifat positif misalnya, pujian, pernyataan maaf; dan yang bersifat negatif misalnya, tuduhan, menyelahkan orang lain. Deklarasi biasanya diungkapkan oleh orang yang berwenang dalam lembaga sosial, agama, hukum, dan tidak berkaitan dengan hubungan personal dengan orang lain. Misalnya tuturan yang digunakan oleh majelis hakim dalam pemberian keputusan kepada terdakwa, atau pejabat yang meresmikan hasil pembangunan. Berdasarkan
kelima
macam
tuturan
tersebut
peneliti
akan
mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam empat macam, yaitu asertif, direktif, ekspresif, dan komisif. Deklarasi tidak peneliti bahas karena topik yang peneliti bahas adalah tentang implikatur tindak tutur. Dengan demikian, tidak mungkin deklarasi diungkapkan secara tidak jelas dalam suatu tuturan. c.
Strategi Bertutur Prinsip pemilihan strategi betutur pada garis besarnya menyatakan bahwa
bertutur (berbicara) itu tidak “asbun” asal bunyi saja. Bertutur memerlukan pilihan strategi, terutama dalam rangka menjaga muka mitra tutur dan atau peserta interaksi yang lain. Untuk ini, Gunarwan (2005: 4-5) mengingatkan pentingnya berhati-hati dalam bertutur. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: (a) bagaimana membedakan status atau kekuasaan diantara penutur dan mitra tutur, (b) bagaimana jarak sosial diantara penutur dan mitra tutur, (c) bagaimana bobot relatif pengungkapannya di dalam masyarakat yang bersangkutan. Strategi betutur langsung dilakukan dengan menggunakan tipe-tipe kalimat sesuai dengan fungsi tipe kalimat itu. Misalnya, kalimat berita digunakan untuk mengatakan atau memberitahukan sesuatu. Kalimat tanya digunakan untuk commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menanyakan sesuatu dan seterusnya kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, pemintaan atau permohonan. (1) Anak didik sedang belajar di kelas. (2) Apakah anak didik sedang belajar di kelas? (3) Anak didik supaya belajar di kelas! Berdasarkan strategi bertuturnya, tuturan (1), (2), dan (3) dapat dinyatakan sebagai tuturan langsung apabila tuturan (1) mengandung ,maksud ‘memberitahukan ada anak didik sedang belajar di kelas,’ tuturan (2) mengandung maksud ‘menanyakan apakah anak didik sedanng belajar di dalam kelas,’ dan (3) mengandung maksud ‘memerintahkan agar anak didik belajar di kelas.’ Sebaliknya, tuturan tidak langsung digunakan dengan cara mengubah fungsi jenis kalimat, misalnya, untuk menyatakan perintah dapat digunakan kalimat berita atau untuk menyatakan perintah dapat digunakan kalimat tanya, dll. Contoh; (4) Papan tulisnya kelihatan kotor. (5) Mengapa papan tulisnya kelihatan kotor? Tuturan (4) dan (5) dapat dinyatakan sebagai tuturan tidak langsung apabila tuturan (4) mengandung maksud ‘menyuruh mitra tutur untuk menghapus papan tulis yang memang kotor’ dan tuturan (5) bermaksud ‘penutur menghendaki papan tulisnya dihapus atau dibersihkan’.
3. Tindak Tutur Direktif a. Konsep Tindak Tutur Direktif Austin (1962: 151), Searle (1974: 23), dan Leech (1983: 106) menempatkan tindak tutur direktif sebagai salah satu aspek makro tindak ilokusi. Tindak ilokusi merupakan salah satu dari pembagian tentang tindak tutur, dua yang lainnya adalah tindak ilokusi dan tindak perlokusi. Tindak ilokusi berhubungan dengan apa yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu. Sementara itu, tindak lokusi hanya berhubungan dengan apa yang dikatakan dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
makna yang dikatakan. Lebih lanjut lagi tindak perlokusi berhubunga dengan pengaruh yang dihasilkan dari apa yang dikatakan. Searle (1990: 358-364) menyatakan bahwa tindak tutur direktif adalah bentuk tindak tutur yang merupakan usaha penutur agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan. Tindak tutur ini digambarkan ke dalam bentuk tindak tutur memerintah (command), menyuruh (request), meminta (beg), memohon (plead), mengundang (invite), dan menasehati (advise). Tindak tutur pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur direktif cenderung dikategorikan sebagai tindak tutur yang mengandung unsur kompetitif dan bersifat prospektif. Realisasi kompetitif tindak tutur ini adalah adanya permintaan penutur kepada mitra tutur untuk melakukan tindakan tertentu atau sebaliknya. Larangan penutur kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Sifat prospektif tindak tutur ini adalah bahwa permintaan penutur kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu tindakan setelah penutur menuturkan sesuatu untuk mengandung permintaan. Tindak tutur ini tidak bisa mengandung permintaan untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum dituturkannya sesuatu yang mengandung permintaan. Ilustrasi bentuk dan sifat tindak tutur ini memunculkan problematika baru yakni seberapa lama jarak waktu yang dibutuhkan oleh mitra tutur untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang diperintahkan penutur. Tuturan (6) berikut mengandung permintaan agar mitra tutur menurunkan iklan yang melintang di jalan Gajah Mada secepatnya. Maksud secepatnya ini dapat berarti ‘sekarang juga’ atau ‘sekarang tetapi beberapa menit kemudian’ atau ‘ segera setelah tuturan ini’ atau ‘sekarang siang nanti’ atau ‘sekarang pada waktu yang sama dengan penerbitan periode ini, dll. (6) Ada iklan melintang di Jalan Gajah Mada. Berdasarkan konsep teoretis di atas, dapat dirunut bahwa tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur ditektif mengekspresikan dua hal pokok, yaitu, (a) commit to userdan ditujukan kepada mitra tutur, proposisi berupa tindakan yang akan dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
dan (b) mengekspresikan maksud penutur supaya tuturan yang diekspresikan dijadikan alasan bagi mitra tutur untuk menindakkan sesuatu yang dimaksudkan dalam tuturan itu. Deskripsi realisasi perwujudan tindak tutur direktif sebagaimana di atas menunjukkan bahwa tindak tutur direktif tidak hanya penutur mununtut mitra tutur melakukan sesuatu, bertindak dan berkata, tetapi penutur menuntut mitra tutur melakukannya sesuai dengan rencana penutur. Rencana tindak tutur yang dimaksud menyangkut apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan, dan apa yang dilakukan di sini berkaitan dengan tuturan sosial-budaya di antara penutur-mitra tutur. b. Bentuk dan Fungsi Tindak Tutur Direktif Searle (1980: 23) dan Leech (1983: 104-107) mengklasifikasikan ragam tindak tutur direktif menjadi empat tipe dasar, yaitu: (1) tindak memerintah, (2) tindak memohon, (3) tindak memberi saran, dan (4) tindak memberi izin. Pragmatik tindak tutur direktif meliputi maksud perintah, permohonan, pemberian saran, dan pemberian izin. Bentuk tindak tutur direktif menurut Searle dan Leech itu berdasarkan konteksnya dapat memiliki fungsi kompetitif (competitive), bertentangan (conflictive), menyenangkan (convival), atau bekerjasama (collaborative). Fungsi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial, fungsi konfliktif bertentangan dengan tujuan sosial. Fungsi menyenangkan bernilai positif dengan tujuan sosial-fungsi kerjasama berupa pemeliharaan keseimbangan dan keharmonisan perilaku interaksi dalam konteks sosiobudaya tertentu. Ragam dan fungsi tindak tutur direktif itu akan bermakna jika ditempatkan pada kewenangan dan keharusan bertindak antara penutur dan mitra tutur. Kaitannya dengan tindak tutur direktif dalam peristiwa pembelajaran di kelas maka tindak tutur direktif mengemban tugas untuk menyediakan modus penyampaian sehubungan dengan untung-rugi, langsung-tidak langsung, dan alternatif tindakan yang dapat dimanfaatkan penutur-mitra tutur. Oleh karena itu, hubungan antara tindak, fungsi, maksud, dan modus tindak direktif dengan commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komponen tutur merupakan kesatuan integratif. Realisasi perwujudan tindak tutur direktif berhubungan dengan fungsi dan komponen tutur. Tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan prospek mitra tutur dan kehendak penutur terhadap tindakan mitra tutur. Tindak ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu baik berfungsi sebagai pengatur tingkah laku maupun sebagai pengontrol mitra tutur dalam bertindak. Hubungan antara prospek dan kehendak penutur dengan pengatur dan pengontrol mitra tutur inilah yang kemudian menjadi dasar sebuah tindak tutur direktif itu dapat mengemban fungsi menyenangkan, kerja sama atau kompetitif, bertentangan. Kekuatan tindak tutur direktif kaitannya dengan fungsinya dapat dikarakteristikkan menurut (a) situasi mental penutur-mitra tutur yang dipresuposisi secara pragmatik, konteks latar dan informasi serta penjelas yang dipahami penutur dan mitra tutur, dan (b) situasi interaksi yang dihasilkan oleh tindakan dari tuturan direktif tersebut. Realisasi tindak tutur direktif guru dalam peristiwa pembelajaran didasarkan pada asumsi bahwa (a) setiap penutur memiliki sesuatu dalam pikirannya sehingga mitra tutur harus membuat inferensi maksud tindakan yang diharapkan penutur, dan (b) setiap tindak tutur direktif membawa dampak tertentu. Dampak reaksi tindak tutur ini menurut Ibrahim (1996: 51) dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) simetris, berarti menunjukkan adanya sifat kerja sama antara penutur-mitra tutur, (b) asimetris, berarti menunjukkan adanya kewenangan penutur atas mitra tutur. Sementara itu, Brown dan Levinson (1978: 60) mengidentifikasikan dampak kekuatan tindak tutur direktif berkisar pada dua aspek, yaitu: nosi muka positif atau nosi muka negatif.
4. Situasi Tutur Konteks situasi tutur yang dimaksudkan dalam kajian pragmatik adalah segala sesuatu yang mengiringi direalisasikannya suatu pertuturan. Segala sesuatu itu bisa berupa latar belakang pengetahuan yang muncul dipahami secara bersama (background knowledge), baik oleh penutur maupun mitra tutur dan aspek-aspek commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
non-kebahasaan lainnya yang mengiringi, menyertai, dan melatarbelakangi digunakannya suatu pertuturan tertentu. Konteks situasi tutur dalam kajian pragmatik memegang peran penting. Konteks situasi tutur inilah yang menjadi pengendali maksud sebuah pertuturan. Konteks situasi tutur ini pulalah yang menjadi pilar lahirnya bidang kajian pragmatik. Hal ini seperti dikemukakan oleh Firth (dalam Rohmadi, 2004: 1) bahwa kajian bahasa tidak akan dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi. Konteks situasi tutur menurut Leech (1983: 19-20) meliputi: penutur dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan, tuturan sebagai produk tindak verbal. Sementara itu, ahli lain Purwo (1990: 16) lebih banyak menggunakan sebutan pembicara dan lawan bicara. Sebutan penutur dan lawan tutur lazim digunakan oleh Wijana (1996: 10), Rahardi (2003: 18). Gunarwan (2004: 1) menggunakan sebutan penyampai pesan dan lawan peserta pada kesempatan lainnya menggunakan si penutur dan si petutur dan pada kesempatan yang lainnya menggunakan O1, O2, dan O3. Lahirnya bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh seseorang guru sangat berkaitan dengan tujuan tutur yang hendak dicapainya. Semakin konkret tuturan yang digunakan oleh seorang guru akan semakin jelas pulalah tujuan tuturnya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma bahwa satu bentuk tuturan dimungkinkan memiliki tujuan dan bermacam-macam. Sebaliknya satu tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk-bentuk tuturan yang berbeda.
5. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi a. Prinsip karjasama Suatu percakapan, penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan lancar karena mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap suatu yang dipertuturkan. Di antara mereka terdapat semacam
“kesepakatan
bersama” diantaranya berupa kontrak tidak tetulis bahwa ikhwal yang dibicarakan itu saling berhubungan dan berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak commitlepas; to user terdapat pada tiap-tiap kalimat secara maksudnya, makna keterkaitan itu
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak terungkap secara harfiah pada kalimat itu sendiri. Ini yang disebut implikatur percakapan. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu komunikasi yang tidak lancar dimungkinkan kedua orang yang sedang terlibat percakapan tersebut tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama untuk mengetahui implikatur percakapan. Mari kita perhatikan percakapan berikut; (7) Nonton film yo dik. (8) Besok ada ulangan. Tuturan (8) bukan sekedar merupakan informasi kepada mitra tutur bahwa ‘Besok ada ulangan’, namun lebih dari itu bahwa penutur menolak ajakan mitra tuturnya dengan cara mengemukakan alasannya saja, tanpa menolak secara langsung bahwa dia tidak dapat mengikuti ajakan mitra tuturnya. Namun demikian,
di
dalam
percakapan
sering
terjadi
adanya
penyimpangan-
penyimpangan yang tentu saja ada implikasi-implikasi tertentu yang ingin dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tadak melaksanakan kerjasama atau tidak kooperatif (Wijana, 1996: 46) Implikatur diturunkan dari asas umum percakapan (asas kerja sama), yaitu ‘kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara’ ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi para penutur. Grice menunjukkan bahwa asas-asas kerjasama itu sudah tuntas, namun ‘asas sopan santun’ juga perlu diperhatikan (dalam Brown dan Yule, 1996: 32). Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu,
setiap
penutur harus
mematuhi
empat
maksim
percakapan
(conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas
(maxim
of
quality),
maksim
relevansi/hubungan
(maxim
of
relevance/relation), dan maksim pelaksanaan/cara (maxim of manner) (Grice, 1975: 45-47; Yule, 1996: 35-37; Mey, 1994: 65; Leech, 1993: 128,144,154; Wijana, 1996: 45-53). Keempat maksim yang mendukung pelaksanaannya prinsip kerjasama dalam berkomunikasi tersebut dapat disimak berikut. 1) Maksim kuantitas
commit to useras required; (9)) Make your contribution as informative
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
‘Berilah keterangan sejelas/seinformatif mungkin;’ (10) Do not make your contribution more informative than required; ‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’ (Mey, 1994: 65) Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan keterangan/kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya. Misalnya penutur yang bebicara secara wajar tentu akan memilih (11) dibandingkan dengan (12) berikut ini; (11) There is a male adult human being in unpright stance using his legs as a mens of
locomotion
to propel himself up a series of flat-topped
structures of some six o seven inches high. (12) There is a man going upstair. 2) Maksim kualitas (13) Do not say what you believe to be false; ‘Jangan mengatakan sesuatu yang menurut anda sendiri salah’; (14) Do not say that for which you lack adequate evidence. ‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya’. (Mey, 1994: 65) Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila penutur mengatakan hal yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal itu bisa terjadi. Perhatikan wacana berikut ini; (15) + Ini sate ayam atau kambing? - Ayam berkepala kambing. Jawaban (-) jelas melanggar maksim kualitas, karena tidak umum (tidak mungkin ada ayam yang berkepala kambing). Namun, karena ada tujuan atau efek tertentu (efek lucu) yang akan diraih, tuturan seperti itu menjadi sah dan diterima oleh mitra tutur sebagai lelucon. 3)
Maksim relevansi/hubungan
commit to user (15 )Make your contribution relevant.
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
‘Bicaralah yang relevan.’ Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya perhatikan wacana berikut; (17) What time is it? ‘Jam berapa sekarang?’ (18) Well, the postman’s been already. ‘Tukang pos sudah datang’ (Brown dan Levinson, 1978: 63) Jawaban (18) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Dengan memperhatikan kebiasaan tukang pos mengantarkan surat kepada mereka, penutur (17) dapat membuat kesimpulan jam berapa ketika itu. 4) Maksim pelaksanaan/cara Be perspicacious and specifically (19) Avoid obscurity ’Hindari ketidakjelasan’ (20) Avoid ambiguity ‘Hindari ketaksaan’ (21) Be brief ‘Bicaralah dengan singkat’ (22) Be orderly ‘Bicaralah dengan teratur’ Maksim cara mengharuskan setia peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut. Berkaitan dengan prinsip ini (Parker, 1986: 23 dalam Wijana, 1996: 51) memberi contoh sebagai berikut; (23) + Let’s stop and get something to eat. ‘Mari kita berhenti dan makan sesuatu.’ - Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S. ‘Baiklah, tetapi bukan M-C-D-O-N-A-L-D-S. Dalam (23) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata Mc. Donalds. penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu commit kecil to user mengetahui maksudnya. Anak-anak dalam batas umur tertentu memang
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
akan sulit atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu per satu. Leech (1993: 80) berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggunakan pendekatan berdasarkan kebenaran (truthbased approach). Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga tidak dapat menjelaskan hubungan antara makna dan daya kalimat non-deklaratif. Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerjasama, yang dikenal sebagai prinsip kesantunan. b. Prinsip Kesantunan Prinsip kesantunan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia merupakan sebuah kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur (Harun Joko Prayitno, 2009: 7). Muslich (2006: 1-2) menjelaskan bahwa kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan seharihari. Ketika orang dikatakan santun, dalam diri seseorang tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagiab sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sedang makan dengan orang banyak disebuah perjamuan, namun hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah. Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa). Berdasarkan butir terakhir, kesantunan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Namun, dalam kajian teori ini hanya akan dijelaskan kesantunan berbahasa yang menjadi topik penelitian. Kesantunan bahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada normanorma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat
tempat
hidup
dan
dipergunakannya
suatu
bahasa
dalam
berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan normanorma budaya, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Muslich, 2006: 3). Hal tersebut senada dengan pendapat Leech (1983: 139), yaitu sebagai berikut. “Politeness is manifested not only in the content of conversation, but also in the way conversation is managed and structured by its participans. For example, conversational behaviour such as speaking at the wrong time (interrupting) or being silent of the wrong time has impolite implications.” Sebagaimana disinggung di depan bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Menurut Leech (1983: 206-207) kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip sebagai berikut. Pertama, penerapan prinsip kesopanan atau kesantunan (politeness user principle) dalam berbahasa. commit Leech to(terjemahan, 1983: 206-207) yang
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
mendiskripsikan sejumlah maksim sopan santun yang memiliki kesamaan dengan prinsip kerja sama (cooperative principle) yang ditemukan oleh Grice. Maksimmaksim yang dikemukakan oleh Leech tersebut, antara lain (1) maksim kearifan (tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekspresi kepercayaan yang memberikan keuntungan untuk orang lain’, (2) maksim kemurahan hati atau kedermawanan (the generosity maxim), yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain, (3) maksim pujian atau penerimaan (the approbation maxim), yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekspresi persetujuan terhadap orang lain, (4) maksim kerendahan hati atau kesederhanaan (the modesty maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri, (5) maksim kesepakatan atau persetujuan (the agreement maxim), yang menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dengan orang lain, dan (6) maksim simpati (sympathy maxim), yang menuntut diri kita untuk mengurangi rasa antipasti antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain. Kedua, penghindaran kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” atau “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan tertentu. ketiga, penggunaan atau pemakaian eufimisme, yaitu ungkapan penghalus sebagai salah satu cara untuk menghindari kata-kata tabu. Penggunaan eufimisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif dalam bertutur. Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi to user bahasa yang mengenal tingkatan,commit penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama Inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan tingkat usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri, seperti Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Bu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita gunakan untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua. (24) “Engkau mau ke mana?” (25)“Saudara mau ke mana?” (26)“Anda mau ke mana?” (27)“Bapak mau ke mana?” Dalam konteks tersebut, kalimat (24) dan (25) tidak atau kurang sopan diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (27) yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan, kalimat (26) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih pantas menggunakan kalimat (27). Percakapan
yang
tidak
menggunakan
kata
sapaan
pun
dapat
mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur (Suharsih, 2009). Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur. (28) “Saya sudah mengumpulkan kok.” (29) “Buku yang mana?” Tuturan di atas dituturkan oleh siswa kepada gurunya. Jelas tuturan tersebut tidak menunjukkan kesantunan berbahasa. Hal ini dikarenakan tuturan tersebut tidak menggunakan bentuk sapaan, seperti Pak dan Bu. Seharusnya kalimat di atas diubah sebagai berikut agar terdengar santun. (30a) ”Saya sudah mengumpulkan kok, Pak.” (30b) “Buku yang mana Bu?” Tujuan utama kesantunan berbahasa, termasuk bahasa Indonesia adalah userpemakaian bahasa yang sengaja memperlancar komunikasi. Olehcommit karenatoitu,
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena segan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di sebagian masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkan. Brown dan Levinson (dalam Gunarwan, 1994: 90) menjelaskan bahwa prinsip kesantunan berbahasa berkisar atas nosi (face) yang dibagi menjadi dua jenis ‘muka’, yaitu muka negatif (negative face) dan muka positif (positive face). Muka nagatif itu mengacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sebaliknya, muka positif mangacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan sebagainya. Selain itu ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan (Suharsih, 2009). Kesantunan bahasa, Cruse (dalam Gunarwan 2007: 164) menyarankan bahwa kita harus menghindari beberapa hal atau bentuk berikut. (a) memperlakukan petutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur, yakni dengan menghendaki agar penutur melakukan sesuatu yang menyebabkan ia mengeluarkan “biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dan sebagainya); (b) mengatakan hal-hal yang jelek mengenai diri penutur atau orang atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan penutur; (c) mengungkapkan rasa senang atas kemalangan penutur; (d) menyatakan ketidaksetujuan dengan petutur sehingga petutur merasa commit to user namanya jatuh; dan
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
(e) memuji diri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri penutur. Berdasarkan penjelasan di atas, penutur harus menghindari kelima hal tersebut apabila ingin dikatakan santun dalam berbahasa. Namun, apabila kelima hal tersebut tidak dihindari atau justru digunakan, maka si penutur akan dikatakan tidak santun dalam berbahasa. Berdasarkan kelima hal di atas mengindikasikan bentuk ketidaksantunan berbahasa. Pranowo (2009: 37-39) mengemukakan tujuh prinsip yang dapat mengukur santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (a) kemampuan mengendalikan emosi agar tidak “lepas kontrol” dalam berbicara. Keadaan emosi tersebut sangat menentukan kesantunan seseorang dalam melakukan tindak tutur, yaitu sangat menetukan gaya berbicara, tingkat tutur, dan penggunaan kata-katanya. (b) kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. Hal tersebut dapat diperlihatkan melalui kemauan seseorang mendengarkan dengan sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan oleh orang lain. (c) gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. Berbahasa dikatakan santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur mudah dipahami oleh mitra tutur, misalnya: (1) tuturannya lengkap, (2) tuturannya logis, (3) sungguh-sungguh verbal, dan (4) menggunakan ragam bahasa sesuai dengan konteksnya. (d) kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan situasi. Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra tutur adalah tuturan yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat mitra tutur. (e) kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun tidak harus seperti bahasa proposal. Untuk menjaga kesantunan, tujuan hendaknya diungkapkan dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Apalagi bila tujuan tuturan itu berkenaan dengan kebutuhan pribadi penutur. (f) penutur hendaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan diucapkan dengan enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak pula. commit to user terlalu keras, tetapi juga jangan Jangan suka menggurui, jangan berbicara
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
terlalu lembut, jangan berbicara terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu lambat. (g) perhatikan norma tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur) dan urutan tuturan. Jika ingin menyela, katakana maaf. Hindari keseringan menyela pembicaraan orang. Mengenai gerakan tubuh (gestur) pada saat berbicara, tunjukkan wajah berseri dan penuh perhatian terhadap mitra tutur. Tunjukkan sikap badan dan tangan yang sopan saat berbicara. Nababan (1987: 67) menunjukkan empat cara mengatur tata cara bertutur yang juga merupakan prinsip atau dasar bertindak tutur, yaitu faktor waktu dan keadaan, ragam bahasa, giliran bicara, dan saat harus diam atau tidak bicara. Berikut ini penjelasan keempat faktor tersebut secara singkat. (1) Faktor Waktu dan Keadaan Faktor waktu dan keadaan menentukan apa yang seharusnya dikatakan oleh seseorang. Misalnya, pada waktu siang hari seseorang dapat bertutur lebih keras dari pada malam hari. Contoh lain, yaitu pada keadaan kesusahan atau kesedihan, tidak pantas sekiranya kita membuat humor atau banyolan. (2) Ragam Bahasa Pemilihan ragam bahasa hendaknya tepat dan wajar dalam situasi linguistik tertentu, artinya pemakai bahasa hendaknya memilih ragam bahasa berdasarkan kepada siapa ia bicara, dalam suasana apa, untuk keperluan apa, bagaimana tempat dan waktunya, apakah ada kehadiran orang ketiga atau tidak, dan sebagainya. (3) Giliran Bicara Penutur sering tidak mengetahui tata cara giliran bicara. Orang jawa menyebut ‘nyathek’ bagi orang muda yang tidak mengerti menggunakan giliran bicara secara tepat atau menyela semaunya sendiri. Hal ini juga berlaku jika seseorang harus menyela pembicaraan orang lain. Orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya, tuturan bicaranya harus mengalah dan jika akan menyela pembicaraan harus menunggu diberi kesempatan oleh orang yang lebih tuatoatau commit userlebih tinggi kedudukannya.
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
(4) Saat Harus Diam atau Tidak Bicara Apabila seseorang tidak mengetahui secara tepat suatu permasalahan, lebih baik ia diam atau tidak ikut bicara. Di depan orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya, sikap lebih banyak diam kiranya lebih baik dari pada kesan ‘nyinyir’, kecuali jika orang tersebut diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa keasantunan berbahasa atau bertutur tersebut bertalian erat dengan norma tutur. Norma tutur yang dimaksud adalah aturan-aturan bertutur yang mempengaruhi alternatif-alternatif pemilihan bentuk tutur Hymes (dalam Suwito 1997: 141). Lebih lanjut Hymes membedakan norma tutur menjadi dua macam, yaitu (1) norma interaksi (norm of interaction) dan (2) norma interpretasi (norm of interpretation). Norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh tidaknya sesuatu dilakukan oleh masing-masing penutur ketika interaksi verbal berlangsung. Norma ini menyangkut hal-hal yang merupakan etika umum dalam bertutur sehingga sifatnya relatif objektif. Norma interpretasi merupakan norma yang didasarkan pada interpretasi sekelompok masyarakat tertentu terhadap suatu aturan, yang dilatarbelakangi oleh nilai sosiokultural yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal ini senada dengan pendapat Brown dan Levinson (dalam Aziz 2003: 172) yang menyatakn sebagai berikut. Before taking a particular action, a speaker must determint seriouseness of face-threatening act. They thus posit three independent and culturallysensitive variables, with they claims subsume all others that play principal role: (1) the social distance (D) of S and H (a symmetric relation), indicating the degree of familiarity and solidarity shared by the S and H, (2) the relative “power” of S and H (a symmetric relation) indicatingthe degree to which the S can impose will on H, (3) the “absolute ranking (R) of impositions in particular culture” both in term of the expenditure of goods and/or service by the H, the right of the S to perform the act and the degree to which the H welcomes to imposition. Norma interaksi tampak apabila terjadi interaksi verbal langsung antarpenutur. Untuk dapat mencapai komunikasi seperti itu, kedua belah pihak harus selalu menjaga apa-apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa-apa yang commit to user sebaiknya tidak dilakukan pada waktu mereka saling bertutur. Norma interaksi
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
member batas-batas apakah yang sebaiknya dilakukan terhadap mitra tutur dan apa pula yang sebaiknya tidak dilakukan terhadap mitra tutur. Norma ini juga berlaku pada bahasa Indonesia. Sebagai contohnya, berbicara terus-menerus tanpa memberi kesempatan kepada mitra tutur untuk ganti bertutur atau sikap acuh tak acuh dalam menanggapi pembicaraan mitra tuturnya merupakan sikap yang tidak santun. Demikian juga kebiasaan memotong tuturan orang lain sebelum selesai berbicara, termasuk pelanggaran norma tutur yang perlu dihindari (Markhamah, dkk., 2009: 121). Norma-norma interpretasi berkaitan dengan latar belakang sosial budaya yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan. Norma-norma semacam itu bersifat unik karena didasarkan penafsiran (interpretasi) suatu masyarakat tertentu terhadap perilaku tutur tertentu dalam proses komunikasi (Suwito, 1997: 144). Adanya keterkaitan antara bahasa dan masyarakat ini juga diungkapkan oleh Trudgill (1983: 14), yaitu “…it is clear that both these aspects of linguistic behavior are reflections of the fact that there is a close interrelationship between language and society.” Termasuk dalam masyarakat itu adalah pola-pola perilaku dan budaya yang ada pada masyarakatnya. Misalnya, masyarakat yang menganut budaya patrilinial, pemakaian bahasanya menunjukkan adanya perbedaan pola, yaitu pemakaian bahasa perempuan memiliki kecenderungan lebih sopan dibandingkan dengan bahasa laki-laki. Hal itu sejalan dengan pernyataan Holmes (1993: 320), yaitu sebagai berikut. “Women put more emphasis than men on the polite or effective functions of tags, using them as facilitative positive politeness devices. Men, on the other hand, usere more tags for the expression of uncertainly.” Hal tersebut juga disampaikan oleh Ledagard (2004) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki dalam hal pemakaian bahasa pada dasarnya sudah terbentuk sejak usia kanak-kanak. Anak-anak perempuan cenderung menampakkan kesantunan berbahasa yang lebih daripada anak laki-laki ketika sedang bermain dengan kelompoknya. Berdasarkan penjelasan dari para pakar bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip kesantunan berbahasa merupakan sebuah kaidah atau norma commit tomaupun user berkomunikasi, baik norma interaksi interpretasi untuk menjaga
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur. Berbagai kaidah atau norma yang telah dipaparkan di atas sebaiknya ditaati oleh masyarakat tutur karena berlaku secara umum dan hampir semua bahasa memilikinya. Beberapa pakar yang mengkaji kesantunan berbahasa antara lain: Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983). Teori mereka pada dasarnya beranjak dari pengamatan yang sama, yaitu bahwa di dalam komunikasi yang sebenarnya, penutur tidak mematuhi Prinsip Kerja Sama Grice, yang terdiri atas maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara (Gunarwan, 2007: 187). Perbedaannya antara lain terletak pada bagaimana pakar-pakar tersebut melihat wujud kesantunan. Lakoff dan Leech melihat sebagai penerapan kaidah (kaidah sosial), sedangkan Fraser serta Brown dan Levinson melihatnya sebagai hasil pemilihan strategi. Fraser (dalam Gunarwan 2007: 188) mendefinisikan kesantunan, dalam hal ini kesantunan berbahasa adalah “property associated with neither exeeded any right nor failed to fulfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan berbahasa adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar atau penutur, si penutur tidak melampaui hakhaknya atau tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya. Sementara itu, menurut Lakoff (dalam Gunarwan 2007: 187), sebuah ujaran dikatakan santun jika ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, ujaran itu memberi pilihan tindakan kepada lawan bicara, dan lawan bicara itu menjadi lebih senang. Muslich (2006: 1) menyatakan bahwa kesantunan (politiness), sopan santun, atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa ini juga disebut “tata krama” berbahasa. Kesantunan berbahasa tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipola oleh para pemeran sertanya commit to user penting diperhatikan para peserta (Leech, 1993: 219). Tata cara berbahasa sangat
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
komunikasi demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tata cara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajarmengajar bahasa. Menurut Muslich (2006: 3-4) menyatakan bahwa dengan mengetahui tata cara berbahasa, diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tata cara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut. 1) apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu; 2) ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu; 3) kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan; 4) bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara; 5) bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara; dan 6) kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan. Banyak orang Indonesia yang tidak pernah belajar kaidah bahasa, tetapi mereka dapat berbahasa secara baik dan benar. Begitu juga banyak orang Indonesia yang tidak pernah belajar kesantunan berbahasa tetapi mereka dapat berbahasa secara santun. Kaidah bahasa yang baik, benar, dan santun dapat dipelajari secara formal, informal, ataupun nonformal. Karena kaidah bahasa yang santun belum ada acuan baku, kaidah kesantunan kebanyakan dikuasai secara informal ataupun nonformal (Pranowo, 2009: 52). Krishen (dalam Pranowo 2009: 52-53) mengemukakan bahwa penguasaan kaidah kesantunan dapat dikuasai melalui pemerolehan. Berkaitan dengan pemerolehan kesantunan tersebut, dapat diidentifikasi ciri-cirinya sebagai berikut. 1) dikuasai secara informal (melalui keluarga) maupun nonformal (melalui lingkungan masyarakat); 2) setiap orang dapat berbahasa secara santun sesuai dengan pranata kesantunan yang berkembang dalam lingkungannya; 3) tidak mengetahui kaidah kesantunan secara formal, tetapi setiap berbahasa berusaha santun; 4) belum ada guru yang mengajarkan kesantunan secara formal; 5) belum ada rumusan kaidah kesantunan secara baku; dan commit 6) tidak ada rumusan tujuan secara pasti.to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berkaitan dengan hal di atas, jika masyarakat Indonesia selalu memerhatikan
kesantunan
dalam
pemakaian
bahasa
Indonesia,
niscaya
kepribadian bangsa pun akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Meskipun bahasa Indonesia belum memiliki kaidah kesantunan berbahasa secara baku, tetapi beberapa prinsip umum dari berbagai budaya dan bahasa lain dapat diserap sebagai dasar untuk mengembangkan kaidah kesantunan berbahasa Indonesia (Pranowo, 2009: 53). Prinsip umum dalam komunikasi yang dapat dikembangkan dalam kaidah kesantunan berbahasa, antara lain sebagai berikut. 1) setiap komunikasi harus ada yang dikomunikasikan (pokok masalah); 2) setiap berkomunikasi harus menggunakan cara-cara tertentu agar dapat diterima oleh mitra tutur dengan baik (cara); dan 3) setiap berkomunikasi harus ada alasan-alasan tertentu mengapa sesuatu harus dikomunikasikan (alasan). Menurut Pranowo (2009: 74-75) mencatat beberapa gejala penutur yang bertutur secara santun, yaitu dengan bentuk sebagai berikut. 1) berbicara secara wajar dengan menggunakan akal sehat; 2) mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan; 3) selalu berprasangka baik kepada mitra tutur; 4) penutur bersifat terbuka dan menyampaikan kritik secara umum; 5) menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir; dan 6) mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius. Adapun gejala penutur yang bertutur secara tidak santun, yaitu dengan bentuk sebagai berikut. 1) menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa yang kasar; 2) didorong rasa emosi ketika bertutur; 3) protektif terhadap pendapatnya; 4) sengaja ingin momojokkan mitra tutur dalam bertutur; dan 5) menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
Tata cara berbahasa secara santun memang dipengaruhi oleh normanorma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tata cara orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tata cara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya di samping mempelajari bahasanya karena tata cara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Senada dengan pendapat Sumarlan (1995: 3) yang menyatakan bahwa kesantunan berbahasa bergantung pada sosial budaya, norma, dan aturan suatu tempat sehingga nilai atau aturan satu budaya dapat berbeda dengan budaya lain. Sebagaimana orang Jawa yang sangat memerhatikan tuturan yang santun atau sopan. Misalnya, seorang guru yang bermaksud siswanya untuk mengambil spidol di kantor, dia dapat memilih salah satu di antara tuturan berikut: (31) Ambilkan spidol! (32) Di kelas ini tidak ada spidol. (33) Bapak memerlukan spidol. (34) O, ternyata tidak ada spidol. (35) Di sini tidak ada spidol, ya? (36) Mengapa tidak ada yang mau mengambil spidol? Berdasarkan tuturan di atas maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan tindakan, dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (31), kalimat deklaratif seperti tuturan (33-34), atau kalimat interogatif seperti tuturan (35-36). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk memberitahukan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif dan direktif). Geertz (dalam Suseno 2001: 38) menyatakan bahwa ada dua kaidah yang commit user paling menentukan pola pergaulan atautohubungan interaksi dalam masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
Jawa. Dua kaidah itu sangat erat hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Suseno menyebut kaidah ini sebagai prinsip kerukunan. Prinsip kerukunan tersebut dijabarkan menjadi empat bidal, yaitu kurmat (hormat), andhap-asor (rendah hati), empanmapan (sadar akan tempat), dan tepa-slira (tenggang rasa). Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Suseno menyebut kaidah kedua ini sebagai prinsip hormat. Menurut Mulder (dalam Suseno, 2001: 65) menyatakan bahwa keadaan rukun terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Pendapat Mulder ini diperkut oleh pernyataan Geertz (dalam Suseno, 2001: 65), yaitu bahwa berlaku rukun tersebut berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sebagai hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik, dalam kaitannya dengan prinsip hormat, Geertz menjelaskan ada tiga perasaan yang harus dimiliki masyarakat Jawa dalam berkomunikasi dengan tujuan untuk menciptakan situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat. Individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat atau sopan, sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak (Suseno, 2001: 65). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesantunan berbahasa itu adalah tata cara atau etiket berbahasa yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu dengan memerhatikan kaidah (kaidah sosial) dan pemilihan strategi agar komunikasi berjalan lancar dan harmonis. Kesantunan berbahasa tersebut bergantung pada sosial budaya, norma, dan aturan di suatu tempat sehingga nilai atau aturan satu budaya dapat berbeda dengan commit to user budaya lain.
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
Retorika interpersonal terdapat prinsip kejasama, prinsip kesopanan, serta prinsip ironi. Prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kearifan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim pujian (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kesepakatan (agreement maxim), dan maksim simpati (sympathy maxim) (Leech, 1993: 132; Mey, 1994: 67; Wijana, 1996: 55). Wijana (1996: 55) mengungkapkan bahwa di dalam mengungkapkan maksim-maksim dalam prinsip kesopanan memerlukan bentuk ujaran, yang meliputi: ujaran komisif, yaitu ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau tawaran, misalnya You must borrow my bicycle, if you like ‘Kamu dapat meminjam sepeda saya, kalau mau’ (Leech, 1993: 211). Ujaran imposif, yaitu ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan, misalnya You must come and have dinner with us ‘Kamu harus datang untuk makan malam di rumah kami’ (Leech, 1993: 209). Ujaran ekspresif, yaitu ujaran yangdigunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap suatu pembicaraan, misalnya What a amarvellous meal you cooked! ‘Masakanmu enak sekali’ (Leech, 1993: 212) dan ujaran asertif, yaitu ujaran yang digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya George isn’t sometimes late ‘George tidak kadang-kadang terlambat/berarti, George sering atau selalu terlambat’ (Leech, 1993: 255). Di dalam percakapan, penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar mitra tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Dalam hal ini, prinsip kesopanan dapat dipakai sebagai tutunan cara bertutur sopan. Teori kesantunan itu pada dasarnya beranjak dari pengamatan yang sama, yaitu bahwa di dalam berkomunikasi yang sebenarnya, penutur tidak selalu mematuhi prinsip kerjasama Grice, yang terdiri atas maksim-maksim kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara perbedaannya antara lain terletak pada bagaimana pakar-pakar itu melihat wujud kaidah kesantunan (kaidah sosial). Teori kesantunan berbahasa menurut Leech (1993: 123), ada tiga skala yang perlu kita pertimbangkan untuk menilai derajat kesantunan sebuah ditrektif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Ketiga skala itu, yang kesemuanya terangkum dalam skala pragmatik, adalah skala untung-rugi (the cost-benefit scale), skala kemanasukaan (the optinality scale), dan skala ketaklangsungan (the indirectness scale). Skala untung-rugi memperkirakan keuntungan atau kerugian bagi penutur atau mitra tutur dengan adanya suatu satuan pragmatis atau implikasi pragmatis. Skala kemanasukaan mengurutkan ilokusi menurut jumlah pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur. Skala ketaklangsungan dipandang dari sudut penutur mengurutkan ilokusi-ilokusi berdasarkan panjang jarak antara tindak ilokusi dan tujuan ilokusi dalam analisis cara tujuan. Dia juga mengatakan “It is assumed that politenes to be an abstract quality, residing in individual particular expressions, lexical items or morphemes, without regard to the particular circumstances that govern their use” Leech (dalam Mey, 1994: 68) Keenam maksim beserta submaksimnya masing-masing berikut. 1) maksim kearifan, maksim ini digunakan dalam ujatan imposif dan komisif: a. Minimeze cost to other. ‘Minimalkan kerugian bagi orang lain.’ Contoh: Kalau tidak keberatan datanglah anda ke rumah saya. b. Maximize benefit to other. ‘Maksimalkan keuntungan bagi orang lain.’ Contoh: Mari saya bawakan tas Anda. 2) maksim kedermawanan, maksim ini digunakan dalam ujaran impositif dan komisif: a. Minimize benefit to self. ‘Minimalkan keuntungan bagi diri sendiri.’ Contoh: Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam. b. Maximize cost to self. ‘Maksimalkan kerugian bagi diri sendiri.’ Contoh: Saya dapat meminjamkan mobil saya pada Anda. 3) maksim pujian, maksim ini digunakan dalam ujaran ekspresif dan asertif: commit to user a. Minimize dispraise of other.
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
‘Perkecil rasa tidak hormat kepada orang lain.’ Contoh: Permainan Anda sangat bagus. b. Maximize praise of other. ‘Pujilah orang lain sebanyak mungkin.’ Contoh: Masakan Anda sungguh enak! 4) maksim kerendahan hati, maksim ini digunakan dalam ujaran ekspresif dan asertif: a. Minimeze praise of self. ‘Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.’ Contoh: Mereka begitu baik kepada kami. b. Maximize dispraise of self. ‘Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.’ Contoh: How stupid of me. ‘Alangkah bodohnya saya.’ 5) maksim kesepakatan, maksim ini digunakan dalam ujaran asertif: a. Minimize disagreement between self and other. ‘Usahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin.’ Contoh: + Bahasa Inggris sukar, ya? - Ya. b. Maximize disagreement between self and other. ‘Maksimalkan kecocokan antara diri sendiri dan orang lain.’ Contoh: a. A referendum will statisfy every body. ‘Referendum akan memuaskan setiap orang’ b. Yes, definetely. ‘Ya, tentu saja.’ 6) maksim simpati, maksim ini digunakan dalam ujaran asertif: a. Minimize antipathy between self and other. ‘Kurangi rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain sebanyak mungkin.’
commitJon. to user Contoh: + Aku lolos di UMPTN,
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
- Selamat, ya! b. Maximize sympathy between self and other. ‘Tingkatkan rasa simpati terhadap orang lain setinggi mungkin.’ Contoh: I’m terribly sorry to hear that your cat died. ‘Saya ikut bersedih atas kematian kucing Anda.’ Berkenaan dengan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan, Nababan (1987: 34) mengemukakan bahwa kedua prinsip yang menghasilkan implikatur itu dalam pergaulan sosial sama-sama bekerja. Situasi prinsip kesopanan lebih dominan, terapi dalam situasi lain prinsip kerja sama lebih dominan untuk menentukan apa yang sewajarnya diucapkan oleh penutur dan mengarahkan bagaimana seharusnya mitra tutur menafsirkan suatu tuturan yang diucapkan oleh penutur. c. Prinsip Ironi Retorik interpersonal prinsip ironi mengambil tempat di sisi prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan juga menjadi parasit bagi kedua prinsip tersebut dalam arti bahwa kefungsionalan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan langsung tampak pada peranan mereka dalam mengembangkan komunikasi interpersonal yang efektif; tetapi prinsip ironi hanya dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip lain. Leech (1993: 224) menyatakan bahwa prinsip ironi menempati urutan kedua, yang memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak sopan melalui sikap yang seakan-akan sopan; caranya dengan memberi kesan melanggar prinsip kerjasama tetapi sebetulnya menantinya. Jadi prinsip ironi dysfungsional; yaitu prinsip kesopanan mendorong terwujudnya hubungan yang ramah dan menghindari konflik dalam hubungan-hubungan sosial, sedangkan prinsip ironi, dengan memungkinkan kita untuk bertindak tidak sopan, memupuk penggunaan bahasa yang ‘antisosial’. Orang dikatakan bersikap ironis bila menggunakan sopan santun yang tidak tulus sebagai pengganti sikap tidak sopan, dan dengan perilaku ini orang itu bertujuan merugikan dan menyudutkan orang lain. Ketidaktulusan dalam sopan santun ini kadang-kadang tampak dengan commit to user jelas, kadang-kadang tidak, dan dapat berupa pelanggaran maksim kuantitas dari
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
prinsip kerja sama, atau lebih sering lagi dapat berupa pelanggaran maksim kualitas. Daya ironi sebuah pernyataan sering ditandai oleh pernyataan yang berlebihan atau pernyataan yang mengecilkan arti, sehingga menjadi lebih sulit bagi mitra tutur untuk menafsirkan pernyataan tersebut dengan cepat. Daya ironi sebuah pernyataan sering ditandai oleh pernyataan yang berlebihan atau pernyataan yang mengecilkan arti, sehingga menjadi lebih sulit bagi mitra tutur untuk menafsirkan pernyataan tersebut dengan cepat. Leech (1993: 227) menyatakan bahwa daya ironi sangat beragam; ada yang menggelikan, ada juga yang memnyinggung perasaan melalui perintahperintah yang sarkastik, seperti dalam kalimat Do help yourself, won’t you? ‘Silakan ambil sendiri’ yang dikatakan kepada seseorang yang memang sedang sibuk melayani dirinya sendiri. Selain mempunyai fungsi negatif, prinsip ironi mempunyai fungsi positif. Melalui ironi sikap-sikap agresif dapat disalurkan dalam bentuk-bentuk verbal yang tidak berbahaya daripada dalam seranganserangan langsung seperti kritik, penghinaan, ancaman, dan sebagainya. Penghinaan dengan mudah dapat dibalas dengan penghinaan sehingga mengakibatkan konflik, sedangkan pernyataan ironis tidak mudah dibalas dengan ironi.
B. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut. 1.
R. Irwan Nurdin (berupa skripsi) yang berjudul Aplikasi Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesantunan dalam Percakapan Bahasa Inggris Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UNS (sebuah kajian pragmatik) pada tahun 2004. R.
Irwan Nurdin dalam penelitiannya tersebut
menyimpulkan bahwa percakapan bahasa Inggris yang dilakukan mahasiswa program pendidikan bahasa Inggris fakultas FKIP UNS cenderung mematuhinya. Adapun presentase yang mematuhi prinsip kerjasama, yaitu 87.2%, sedangkan yang tidak mematuhi sebesar 21.8%. Demikian juga commit to user dengan prinsip kesantunan berbahasa, menunjukkan kecenderungan untuk
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mematuhinya. Presentase yang mematuhi prinsip kesantunan sebesar 60.5%, sedangkan yang tidak mematuhi prinsip kesantunan berbahasa sebesar 39.5%. 2. Penelitian tentang ”Tindak Tutur Direktif Pejabat dalam Peristiwa Rapat Dinas:
Kajian
Sosiopragmatik
Berperspektif
Jender
di
Lingkungan
Pemerintahan Kota Surakarta” oleh Harun Joko Prayitno (2009). Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus tentang tindak tutur direktif dalam peristiwa rapat dinas di lingkungan kota Surakarta, meliputi kegiatan yang dimulai membuka sampai menutup rapat. Hasil penelitian secara umum mereka mengawali rapat dinas dengan tuturan religius, salam kewaktuan, dan salam ekspresif kemudian dilanjutkan dengan pemakaian tindak tutur direktif. Secara keseluruhan kesetaraan perempuan dan laki-laki yang menjadi PNS di lingkungan pemkot Surakarta dapat dinyatakan sejajar. 3.
Penelitian tentang ”Tindak Tutur dalam Kampanye Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia 2004” oleh Djoko Wijono (2007). Penelitian ini merupakan penalitian studi kasus tentang pemakaian tindak tutur dalam kampanye pemilu presiden 2004. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jenis tindak tutur yang dominan dalam kampanye pemilu presiden RI 2004 ialah tindak tutur direktif terdapat 18 subtindak tutur. Dari kedelapan belas subtindak tutur tersebut yang paling dominan ialah subtindak tutur ’menyuruh’. Beberapa penelitian tersebut dianggap relevan karena sama-sama
mengkaji tentang tindak tutur. Perbedaannya terletak pada fokus kajian, ada yang meneliti tindak tutur mahasiswa, tindak tutur pejabat, dan tindak tutur dalam kampanye pemilu presiden 2004. Penelitian ini memiliki kesamaan sumber data dengan penelitian nomor satu, yaitu mahasiswa sebagai objek penelitian, yang membedakan penelitian tersebut adalah fokus kajian. Jika dalam penelitian tersebut dikaji masalah bagaimana penerapan tindak tutur guru dalam strategi membuka sampai menutup pelajaran, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis mengkaji masalah yang lebih khusus yaitu tindak tutur direktif yang dipakai guru SMA dalam pembelajaran di kelas. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Kerangka Berpikir Kesantunan berbahasa merupakan tata cara atau aturan perilaku berbahasa yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tutur tertentu dengan mempertahankan kaidah (Kaidah sosial) dan pemilihan strategi agar kominikasi berjalan lancar dan harmonis. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi (Penutur dan mitra tutur), dengan mengetahui tata cara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi dengan baik, tanpa adanya ketergantungan di antara peserta tutur. Analisis data yang diamati berdasar masyarakat tutur/peserta tutur tersebut menghasilkan tuturan bahasa, dalam hal ini masyarakat tutur yang diteliti adalah guru dan siswa di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Guru dan siswa SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar tersebut di dalam komunikasi/peristiwa tutur menghasilkan berbagai bentuk tuturan, dalam hal ini yang diambil adalah tuturan direktif baik tuturan yang santun maupun yang tidak santun. Analisis ini akan mencermati fenomena kesantunan berbahasa tuturan direktif yang dilakukan pada peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Analisis selanjutnya, yaitu mengenai prinsip dan strategi kesantunan berbahasa tuturan direktif yang digunakan/diterapkan oleh guru dan siswa di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar berdasarkan penelitian yang dilakukan di lapangan akan ditemukan prinsip-prinsip dan pemilihan kesantunan berbahasa oleh guru dan siswa yang kemungkinan berbeda atau tidak ditemukan di kelompok masyarakat tutur lain. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan kemudian dipaparkan dan diterangkan atau dibahas secara jelas dengan kajian sosiopragmatik. Hal ini yang menjadi pemikiran peneliti untuk meneliti bagaimanakah penerapan prinsip kesantunan dan penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur yang digunakan dalam pembelajaran di SMA yang dapat dilihat dari aspek direktif agar selain komunikatif, siswa juga dapat meningkatkan kesantunan dalam bertutur.
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Secara visual pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Masyarakat tutur (guru dan siswa)
Peristiwa Tutur Guru
Deklarasi
Komisif
Direktif
Representatif
Penerapan Prinsip Kerja Sama
Penerapan Prinsip Kesantunan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Memerintah Mengajak Menyarankan Menjelaskan Memohon Pernyataan Memuji Menasehati
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir
commit to user
Ekspresif
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di sebuah SMA, tepatnya di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Waktu penelitian dilakukan antara bulan JuniSeptember 2010, dengan rincian kegiatan seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Rincian Kegiatan dan Waktu Penelitian No
1.
Rincian waktu
Juni’01
Jenis Kegiatan
3
4
Persiapan survey awal
X
X
Juli ‘10
1
2
3
Agust‘10
4
1
2
Sept ‘10
3
4
X X X X
X
X
X
1
2
X
X
sampai penyusunan 2.
X X
proposal Pengurusan surat izin
3.
penelitian
4.
Pengumpulan data
5.
Analisis data
X X X X
Penyusunan laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan kenyataan yang ada berdasarkan konsep, kategori, dan tidak berdasarkan angka. Peneliti mencatat data yang berwujud tindak tutur yang digunakan dalam proses pembelajaran di SMA. Penulis
melakukan
penelitian
melalui
pendekatan
studi
kasus
dengan
menggunakan strategi tunggal terpancang. Tunggal artinya hanya ada satu ruang lingkup penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu penelitian yang dilakukan di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Terpancang maksudnya yaitu penelitian commit to user
43
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dilakukan ini terpancang pada satu pokok permasalahan, yaitu tentang tindak tutur direktif yang dipakai guru di SMA tersebut.
C. Sumber Data Data yang diambil dalam penelitian ini adalah tindak tutur, sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga macam, yaitu transkip, peristiwa, dan informan. Dokumen berupa catatan maupun rekaman yang disampaikan guru dalam proses pembelajaran di kelas XI ICT 1 dan XI IPS SK 2. Data yang berupa peristiwa di sini adalah proses pembelajaran yang terjadi di SMA, sedangkan yang menjadi informan adalah guru yang melakukan proses pembelajaran di SMA tersebut.
D. Teknik Pengumpulan Data Ada tiga teknik pengumpulan data yang diterapkan sebagai alat untuk menjaring data secara lengkap dan akurat sehubungan dengan masalah yang diteliti. 1. Analisis dokumen, peneliti menganalisis data yang berupa bahasa yang telah dicatat maupun direkam sehubungan dengan tindak tutur direktif. 2. Observasi, peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap proses pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, dalam hal ini peneliti berperan sebagai partisipan pasif, kehadiran peneliti diketahui dan disadari namun tidak mempengaruhi proses pembelajaran, observasi dilakukan empat kali. 3. Wawancara, peneliti melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada informan untuk mendapatkan data yang tidak bisa didapatkan melalui teknik observasi. Informan yang dipilih adalah dua guru yang mengajar di kelas XI. Peneliti hanya melakukan wawancara kepada guru karena disesuaikan dengan data yang akan diambil, yaitu berupa tindak tutur direktif. Dalam hal ini guru berperan secara dominan dalam interaksi pembelajaran sehingga pihak yang banyak mengeluarkan ujaran adalah guru. Pertanyaan commitbersifat to user open-ended atau terbuka. Jadi, dalam wawancara yang dilakukan
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak terstruktur (Sutopo, 2002: 59). Isi wawancara diharapkan diperoleh data mengenai fenomena kesantunan tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
E. Validitas Data Untuk menguji validitas data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi (sumber/data dan metode). 1. Triangulasi data, yaitu peneliti menggunakan beberapa sumber untuk mendapatkan dan mengumpulkan data yang sama. Untuk menjaga validitas data berupa tindak tutur direktif, peneliti menggunakan beberapa sumber, yaitu dokumen (hasil rekaman maupun catatan ujaran-ujaran
yang
disampaikan guru dan siswa dalam pembelajaran), peristiwa (proses pembelajaran), dan informan (guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar). 2. Triangulasi metode, yaitu peneliti menggunakan metode yang berbeda untuk mendapatkan data yang sama. Untuk menjaga validitas data berupa tindak tutur, peneliti menggunakan metode yang berbeda. Misalnya dalam penelitian ini penulis mengambil data berupa tindak tutur direktif. Agar tindak tutur direktif yang diperoleh tersebut valid, maka peneliti menggunakan metode rekam catat dan observasi sehingga data makin kuat dan saling melengkapi. Selain menggunakan metode observasi dan analisis dokumen, peneliti juga menggunakan metode wawancara untuk menjaga validitas makna dari tuturan yang muncul secara khusus, yaitu dengan bertanya kepada guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interaktive model of analysis). Menurut Miles & Huberman (dalam Sutopo, 2002: 91) dalam analisis data kualitatif ada tiga komponen utama yang harus diperhatikan oleh peneliti. Analisis model interaktif ini merupakan commit to user interaksi dari tiga komponen tersebut, yaitu: reduksi data, penyajian data (display
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
data), dan penarikan kesimpulan (verivikasi). Pada saat melakukan tahap pengumpulan data, peneliti sudah melakukan reduksi dan display data sekaligus sesuai dengan kemunculan data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah analisis interaktif adalah sebagai berikut: 1. Reduksi Data Pada bagian ini peneliti melakukan pengurangan dan penyeleksian data. Seluruh data yang diperoleh tidak serta merta disajikan semua. Peneliti memilih data-data mana yang dianggap tepat untuk disajikan dan dianalisis lebih lanjut. Misalnya untuk memperoleh data berupa tindak tutur, peneliti merencanakan akan melakukan perekaman selama tiga kali. Melalui beberapa pertimbangan, peneliti menyeleksi semua data yang diperoleh. Berdasarkan hasil seleksi, penulis menetapkan dua rekaman yang diangap paling layak diambil untuk disajikan. 2. Display Data Pada bagian ini, data yang telah diseleksi kemudian disajikan. Data hasil seleksi pun tidak serta merta disajikan apa adanya. Data hasil seleksi tersebut dikelompokkan dan dipilah-pilah sesuai dengan permasalahannya sehingga mudah untuk dianalisis. Dalam penelitian ini penulis mengelompokkan data berupa tindak tutur ke dalam lima jenis. Apabila ada kelompok yang masih dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang ruang lingkupnya lebih sempit, maka penulis mengelompokkannya kembali. Setelah data dikelompokkan kemudian dianalisis. Pada saat penulis menganalisis data, penulis juga melakukan konfirmasi kepada informan untuk mendapatkan kelengkapan dan ketepatan analisis. 3. Penarikan Kesimpulan Setelah melakukan konfirmasi kepada informan yang bersangkutan, peneliti dapat mengambil kesimpulan yang tepat tentang pemakaian ujaran dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Visualisasi proses analisis tersebut sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Display Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 2. Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2002: 96)
G. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan rangkaian tahap demi tahap kegiatan penelitian dari awal sampai akhir. Tahap penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Tahap Persiapan a. Menentukan masalah penelitian dan mengajukan judul penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan survey awal untuk mendeteksi masalahmasalah yang muncul di lokasi penelitian, khususnya terhadap penggunaan bahasanya. Setelah menemukan hal yang menarik untuk diteliti, maka peneliti merumuskan berbagai permasalahan yang kemudian akan dicari judul yang sesuai dengan permasalahan tersebut. Dalam penelitian ini peneliti mengajukan judul “Tindak Tutur Direktif Guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar (dalam Pembelajaran di Kelas).” b. Melakukan prapenelitian untuk mendapatkan gambaran tentang objek penelitian. Peneliti melakukan prapenelitian ke SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dengan mengamati kejadian yang terjadi di lapangan untuk mendapatkan to user gambaran tentang objek commit penelitian, serta untuk menentukan bagaimana
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cara untuk mendapatkan data yang diperlukan dan siapa yang akan menjadi informan. c. Membuat proposal penelitian. Judul yang telah diajukan kemudian dikembangkan menjadi sebuah proposal untuk ijin penelitian selanjutnya. Pada tahap ini peneliti mencari teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang telah dirumuskan. Peneliti berkonsultasi kepada pembimbing untuk mendapatkan susunan proposal yang baik. d. Mengurus perizinan. Setelah mendapatkan persetujuan dari kedua pembimbing, selanjutnya peneliti mencari pengesahan dari Ketua program, Ketua Jurusan, Tim Skripsi, Pembantu Dekan I dan Pembantu Dekan III. Langkah terakhir dalam
mengurus
perizinan
adalah
mengajukan
izin
ke
SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar. e. Mempersiapkan perlengkapan penelitian. Pada tahap ini peneliti mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengadakan penelitian. Hal-hal yang perlu disiapkan antara lain adalah alat tulis, hand record dan kaset rekaman. 2. Tahap Pelaksanaan a. Pengumpulan data. Peneliti mengobservasi kegiatan pembelajaran yang terjadi di kelas dengan cara ikut masuk ke dalam kelas. Pada saat itu peneliti merekam segala bentuk ujaran yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Selain dengan cara merekam, peneliti juga mengumpulkan data dengan cara mencatat, hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi jika ada ketidakjelasan data yang diperoleh melalui teknik rekam. Selain melakukan observasi, peneliti juga melakukan wawancara kepada informan guna mendapatkan data-data lain yang diperlukan.
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang mendukung. Peneliti mencari dan mengumpulkan bahan pustaka yang mendukung untuk menjadi teori yang akan digunakan untuk melakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan. c. Menganalisis data yang terkumpul. Pada tahap ini, data yang telah terkumpul tersebut direduksi kamudian dianalisis berdasarkan pendekatan teori yang telah ditentukan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. 3. Tahap Akhir a. Membuat kesimpulan. Dari hasil analisis data tersebut dibuat kesimpulan-kesimpulan yang bermanfaat bagi kepentingan peneliti, SMA, dan bidang keilmuan. b. Menyusun laporan. Langkah terakhir peneliti adalah menyusun laporan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar yang beralamat di Jalan Brigjen Slamet Riyadi Karanganyar. Lokasi SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar sangat strategis, yaitu terletak di pinggiran kota dan jauh dari tempat-tempat hiburan maupun keramaian. Letaknya bersebelahan dengan SMA Negeri 1 Karanganyar, tepatnya berada di depan MI Karanganyar. Di sekitar SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar terdapat tempat kost yang mudah didapat bagi siswa yang berasal dari luar kota dengan biaya yang cukup ringan. Lokasinya juga mudah dijangkau karena dekat dengan jalur bus dari solo ke Jatipuro. Selain itu, keadaan lingkungan sekitar SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar cukup bagus. Di depan SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar terdapat tempat foto kopi dan toko kecil yang menjual peralatan sekolah, sedangkan di sebelah kiri SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar terdapat SMA Negeri 1 Karanganyar, warung makan dan tempat kos untuk siswa yang rumahnya jauh. SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar fasilitas belajar cukup memadai, seperti adanya ruang komputer, perputakaan, laboratorium yang terdapat tiga ruang, yaitu Laboratorium Fisika, Laboratorium Kimia, dan laboratorium bahasa, serta ruang kelas yang terdapat 20 ruang yang masing-masing
ruang kelas
luasnya kurang lebih 63 meter persegi. Kelas X terdapat 8 kelas, kelas XI terdapat 7 kelas, kelas XII terdapat 5 kelas. Lingkungan sekitar SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar sangat nyaman dan teduh karena banyak ditumbuhi pohon-pohon besar dan tanaman-tanaman dalam pot yang indah. Peneliti sengaja memilih kelas XI ICT 1 dan IPS SK 2 karena kelas tersebut memungkinkan untuk mengadakan penelitian, karena letaknya berada di lantai atas yang jauh dari suara keramaian atau kebisingan di lantai bawah. Di bawah lantai kelas tersebut adalah ruang BK (Bimbingan Konseling) dan masjid sehingga untuk mengontrol siswa untuk tidak to ICT user 1 sebanyak 19 siswa, sedangkan ramai lebih mudah. Jumlah siswacommit kelas XI
50
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
jumlah siswa kelas XI IPS SK 2 sebanyak 27 siswa yang semuanya terdiri dari putra dan putri. Ruang kelas XI ICT 1 terlihat bersih dan tertata rapi. Pada sisi sebelah kiri berderet kaca dengan letak pintu terdapat di sebelah kiri, tepatnya di sudut pojok. Di depan kelas terdapat pagar tembok. Di sebelah kiri kelas terdapat kamar kecil dan di bawah kelas terdapat kelas X ICT 1, kursi dan meja diatur dalam posisi menghadap ke barat, terdiri dari 4 baris dan 5 deret meja kursi untuk siswa dengan satu buah meja kursi untuk guru yang menghadap ke timur yang terdapat 1 unit komputer untuk guru. Di depan kelas terdapat papan tulis yang memakai boardmaker (whiteboard) dan di atas papan tulis terdapat sebuah gambar Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Di tengah-tengah gambar Presiden dan Wakil presiden Republik Indonesia terdapat patung Garuda Pancasila. Tepat di atas patung Garuda Pancasila ada sebuah speaker yang berfungsi sebagai alat untuk memberikan pengumuman atau informasi penting bagi siswa. Di sebelah kiri papan tulis terdapat daftar regu piket dan daftar pengurus kelas. Di sebalah kanan papan tulis ada sebuah LCD. Ruang kelas XI IPS SK 2 terlihat bersih dan tertata rapi. Pada sisi sebelah kanan dan kiri berderet kaca dengan letak pintu terdapat di sebelah kiri, tepatnya di sudut pojok. Di depan kelas terdapat pagar tembok. Di sebelah kiri kelas terdapat ruang kelas XI IPS SK 1 dan di sebelah kanan kelas terdapat ruang kelas XI IPS 1, kursi dan meja diatur dalam posisi menghadap ke timur, terdiri dari 4 baris dan 7 deret meja kursi untuk siswa dengan satu buah meja kursi untuk guru yang menghadap ke barat. Di depan kelas terdapat papan tulis yang memakai boardmaker (whiteboard) dan di atas papan tulis terdapat sebuah gambar Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Di tengah-tengah gambar Presiden dan Wakil presiden Republik Indonesia terdapat patung Garuda Pancasila. Tepat di atas patung Garuda Pancasila ada sebuah speaker yang berfungsi sebagai alat untuk memberikan commit to user pengumuman atau informasi penting bagi siswa. Di sebelah kiri papan tulis
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdapat daftar regu piket dan daftar pengurus kelas. Di sebalah kanan papan tulis ada sebuah LCD, tetapi untuk sementara belum difungsikan karena baru proses perbaikan. Adapun sarana penunjang yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah adanya buku-buku yang berkaitan dengan pembelajaran. Salah satu buku penunjang kegiatan pembelajaran adalah buku pegangan guru buku paket, LKS, buku-buku lainnya yang dapat ditemukan di perpustakaan sekolah. Perputakaan yang terdapat di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ternyata merupakan sarana yang memadai dalam kegiatan pembelajaran karena para siswa biasanya mengunjungi perpustakaan setiap istirahat pelajaran. Terkadang apabila ada tugas dari guru yang harus dikerjakan dengan mencari referensi di perpustakaan, siswa juga pergi ke perpustakaan. Mengingat letak perpustakaan yang relatif strategis, yaitu di bawah laboratorium, di sebelah kiri adalah kamar kecil dan sebelah kanannya adalah ruang BP. B. Hasil Penelitian Penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan lancar karena mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Mereka memiliki kesepakatan bersama terhadap situasi dan sesuatu yang dipertuturkan. Hal ini dalam pragmatik dikenal sebagai prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama tersebut dijabarkan dalam empat maksim, yaitu maksim
kuantitas,
maksim
kualitas,
maksim
relevansi,
dan
maksim
pelaksanaan/cara. Prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa penutur sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. Selain itu, prinsip kerja sama juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara makna dan daya maka dibutuhkan prinsip kesantunan. Dalam prinsip kesantunan terdapat maksim-maksim, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, maksim kesimpatian.
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian ini, tuturan-tuturan yang terdapat dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ada yang mematuhi dan ada yang melanggar maksim-maksim prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Hal ini akan dideskripsikan sebagai berikut.
1.
Penerapan Prinsip Kesantunan Penerapan prinsip kesantunan berbahasa di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar memiliki kesamaan atau kesesuaian dengan prinsip-prinsip kesopanan atau kesantunan yang dikembangkan oleh Leech yang terdiri atas maksim kearifan, maksim kerendahan hati, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim keesepakatan, dan maksim simpati. Berikut ini pemaparan maksimmaksim
tersebut
yang
disesuaikan
dengan
fakta
berbahasa
di
SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar. (1) Maksim Kearifan (Tack Maxim) Maksim kearifan tersebut menekankan pada pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekspresi kepercayaan yang memberikan keuntungan untuk orang lain dalam kegiatan bertutur. Penutur yang berpegang teguh pada maksim kearifan atau kebijaksanaan ini, akan dapat menghindarkan diri dari sikap dengki dan iri hati kepada mitra tuturnya. Di bawah ini beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan kepatuhan si penutur terhadap maksim kearifan. (1) “Bisa mengikuti wawancara orang lain, bisa kamu sendiri selaku pewawancara.” (G, 36). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya untuk memberikan saran dalam mengerjakan tugas wawancara. Tuturan tersebut dituturkan dengan nada santun. (2) “Kalau bukunya ketinggalan, nanti bisa gabung dengan temannya.” (G, 27). Konteks tuturan:
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya di kelas pada saat mengerjakan tugas latihan. Pada waktu itu siswanya ada yang tidak membawa buku. Kedua contoh tuturan di atas, yaitu tuturan (1) dan (2) menunjukkan bahwa si penutur selalu memberikan keuntungan pada mitra tuturnya ketika bertutur. Pada tuturan (1) penutur memberikan pilihan mengenai tugas wawancara. Pada tuturan (2) penutur menyarankan siswa yang tidak membawa buku untuk gabung dengan temannya. Dengan berprinsip pada maksim kearifan atau kebijaksanaan tersebut, penutur telah menghindarkan diri dari sikap dengki dan iri hati kepada mitra tuturnya. Selain itu, penutur juga mengerti keadaan mitra tuturnya dengan memberikan bantuan atau respon baik. (2) Maksim Kerendahan Hati atau Kedermawanan (the generosity maxim) Maksim kedermawanan ini menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain. Apabila setiap orang melaksanakan maksim ini pada saat bertutur, hal-hal yang tidak diinginkan akan terhindar, seperti kedengkian, iri hati, dan sakit hati antarsesama perbedaan mencolok dengan
maksim
kearifan
atau
kebijaksanaan
adalah
bahwa
maksim
kedermawanan menawarkan suatu perbuatan atau tingkah laku, tetapi penerima (mitra tutur) dimungkinkan untuk menolak apa yang menjadi tawarannya. Perhatikan beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan maksim kedermawanan berikut ini. (3) “Maka pakailah dengan bahasa yang benar.” (G, 44) Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat salah satu siswa membacakan hasil wawancara dengan bahasa yang kurang tepat. (4) “Dah itu untuk PR di rumah, kalau pertemuan besok hari sabtu bisa kita bahas bersama-sama.” (G, 28) Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya ketika siswa mengerjakan di ruang kelas, tetapi jam pelajaran sudah usai. commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh data tuturan di atas, yaitu tuturan (3) dan (4) menunjukkan bahwa si penutur mau merugi kepada mitra tutur. Pada tuturan (3) penutur menyarankan untuk menggunakan bahasa yang benar. Pada tuturan (4) memberikan tugas rumah yang seharusnya tuagas sekolah. Berprinsip pada maksim kedermawanan atau kemurahan hati tersebut, penutur telah member bantuan atau respon baik dan juga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti sikap dengki, iri hati, dan sakit hati antarsesama. (3) Maksim Pujian atau Penghargaan (the approbation maxim) Maksim
tersebut
menuntut
kita
untuk
meminimalkan
ekspresi
ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekspresi persetujuan kepada orang lain. Maksim pujian atau penghargaan ini memiliki kekuatan lebih. Suatu
kegagalan
mengikat
diri
sendiri
kepada
suatu
pendapat
yang
menguntungkan justru mengimplikasikan bahwa seseorang tidak melakukan hal itu. Dengan perkataan lain, bahwa maksim tersebut diperlukan untuk memberikan dorongan yang tulus kepada orang lain agar tidak patah semangat. Di bawah ini beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan maksim pujian atau penghargaan. (5) “Pinter…..” (G, 48). Konteks tuturan: Tutran dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya pada saat siswa bisa menjawab pertanyaan guru. Tuturan dituturkan dengan nada memuji. Tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur memberikan pujian atas ejekan salah satu teman. Pada tuturan (5) memuji siswanya karena bisa menjawab pertanyaan guru. Dengan berprinsip pada maksim pujian atau penghargaan tersebut, penutur telah memberi respon baik kepada mitra tuturnya dan juga memberikan dorongan yang tulus kepada mitra tuturnya agar terus bersemangat. (4) Maksim Kerendahan Hati atau Kesederhanaan (the modesty maxim) Maksim kerendahan hati atau kesederhanaan ini dimaksudkan agar peserta tutur tetap bersikap rendah hati, dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Maksim ini menuntut kita untuk tidak membanggkan diri commitdiri to user
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
sendiri. Penutur akan akan dikatakan sombong dan congkak apabila di dalam bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam pandangan masyarakat kita, kerendahan hati dan kesederhanaan ini banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Berikut ini contoh tuturan yang memperlihatkan kepatuhan terhadap prinsip kerendahan hati atau kesederhanaan. (6) “Kalau bukunya ketinggalan, nanti bisa gabung dengan temannya.” (M, 27). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya pada saat untuk membuka buku pelajaran. Tuturan dituturkan dengan nada merendah. Contoh data tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur bersikap rendah hati, dengan cara mempersilakan untuk gabung dengan teman. Pada tuturan (6) guru mempersilakan siswa yang tidak membawa buku dengan temannya. Berprinsip pada maksim kerendahan hati atau kesederhanaan ini, penutur telah berusaha menjaga keharmonisan dan kesantunan dalam bertutur. (5) Maksim Kesepakatan atau Persetujuan (the agreement maxim) Maksim kesepakatan tersebut menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri sendiri dan orang lain, memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dan orang lain. Ada kecenderungan atau tendensi untuk membesar-besarkan persetujuan atau kesepakatan denga orang lain dan ada juga yang memperkecil ketidaksetujuan dengan cara menyatakan penyesalan, memihak pada kemufakatan, dan sebagainya. Di dalam masyarakat tutur kita, penututur diharapkan tidak membantah atau memotong pembicaraan secara langsung, terutama apabila umur, jabatan, dan status penutur berbeda denga mitra tutur. Di bawah ini contoh tuturan yang memperlihatkan kepatuhan terhadap maksim kesepakatan atau persetujuan. (7) G : “Di sini muridnya berapa to?” M : “Sembilan belas” commit to user G : “Kalau dua-dua berarti sisa satu”
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
M : “Yang satu ndobel wae” G : “Ok ya udah untuk tugasnya ini nanti tetap pribadi, satu orang satu.” (G & M, 52) Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh guru dan siswa pada saat guru memberikan tugas kelompok. Jawaban si mitra tutur dituturkan dengan nada menyetujui pernyataan si penutur. Kedua tuturan di atas, yaitu data (7) menunjukkan bahwa penutur berusaha menyepakati mitra tuturnya, misalnya dengan ungkapan “iya”. Dengan berprinsip pada maksim kesepakatan atau persetujuan tersebut, penutur penutur telah memberi respon baik kepada mitra tuturnya dan menjaga keharmonisan hubungan dengan mitra tutur agar komunikasi tetap berjalan lancar. (6) Maksim Simpati (sympathy maxim) Maksim simpati ini menuntut diri kita untuk mengurangi rasa antipasti antara diri dengan orang lain dan tingkatan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain. Sikap antipasi atau bersikap sinis terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan yang tidak santun. Di bawah ini contoh tuturan yang memperlihatkan kepatuhan terhadap maksim simpati pada saat bertutur. (8) G : “Problem punya pacar, dah punya semua?” M : “Belum.” G : “Alhamdulilah…kalau belum itu bisa sampai kelas dua belas nanti Amin….” (G & M, 13) Kontek tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat membahas tentang wawancara dan guru menyinggung tentang pacaran. Jawaban si mitra tutur dituturkan dengan nada simpatis. Contoh tuturan data di atas menunjukkan bahwa penutur memberikan apresiasi positif terhadap apa yang dituturkan mitra tuturnya. Pada contoh di atas penutur tidak menunjukkan sikap sinis to, user tetapi justru si penutur memberikan commit
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
tanggapan yang enak didengar atau berkenan bagi mitra tuturnya. Dengan berprinsip pada maksim simpati ini, penutur telah menjaga keharmonisan dengan mitra tutur pada saat bertutur. Selain itu, peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar pada proses pembelajaran di kelas juga ditemukan dua prinsip untuk mengupayakan komunikasi yang santun, yaitu penghindaran pemakaian kata tabu dengan penggunaan eufimisme dan penggunaan pilihan kata honorifik sebagai prinsip hormat dalam bertutur. Berikut penjelasan kedua prinsip kesantunan tersebut. (7) Prinsip Penghindaran Kata Tabu dengan Penggunaan Eufimisme Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada oragan tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” atau “ kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi seharihari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Penutur sering menggunakan eufimisme atau ungkapan penghalus untuk menghindari bentuk tabu tersebut. Penggunaan eufimisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh tuturan yang tergolong tabu, tetapi akan menjadi ungkapan yang santun apabila diubah dengan penggunaan eufimisme, misalnya sebagai berikut. (9) “Garis besar, kalau pacar itu membangkitkan semangat belajar dan beribadah itu mungkin bagianmu, tapi kalau pacar itu sebaliknya membikin kumat semangat sesuatu itulah setan, iblis dalam tingkatan ilmiah.” (G, 14). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat menjelaskan problem punnya pacar. Siswa siswa merespon dengan tertawa bersama, karena memang pada saat itu siswa juga memperhatikan penjelasan guru. Pemakaian ungkapan membikin kumat semangat sudah tepat untuk menghindari bentuk tabu patah semangat. (8) Prinsip Hormat dengan Penggunaan Kata Honorifik Penggunaan pilihan kata honorifik merupakan bentuk ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak commit to user hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa), tetapi
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa karma inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri, seperti Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita gunakan untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seorang pemuda menanyakan menanyakan seorang pria yang lebih tua. (10a) “Engkau mau ke mana?” (10b) “ Saudara mau ke mana?” (10c) “Anda mau ke mana?” (10d) “Bapak mau ke mana?” Dalam konteks tersebut, kalimat (10a) dan (10b) tidak santun atau kurang santun diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (10d) yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat (10c) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih pantas penggunaan kalimat (10d). contoh tuturan lain yang ditemukan dalam peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, yaitu sebagai berikut. (11) ” Ayo silahkan jika anda pidato, langkah pertama apa?” (M, 06) Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat guru menjelaskan materi tentang pidato. Contoh data tuturan di atas, yaitu tuturan (11) penutur menggunakan bentuk ungkapan hormat pada saat bertutur dengan mitra tuturnya, yaitu dengan menggunakan benttuk sapaan Bu, Pak, dan Ibu. Pemakaian bentuk-bentuk honorifik tersebut sudah tepat karena status mitra tutur memang lebih tinggi dari
to user pilihan kata honorifik tersebut, penutur. Dengan berprinsip padacommit penggunaan
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penutur telah memberi penghormatan kepada mitra tuturnya agar kelangsungan komunikasi berjalan dengan lancar. 2.
Penerapan Prinsip Kerja Sama Dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar terdapat
tuturan-tuturan yang mematuhi dan ada yang melanggar maksim-maksim dalam prinsip kerja sama. Deskripsi lebih lanjut tentang penerapan prinsip kerja sama dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dapat dillihat pada tuturan-tuturan berikut ini. (12) “Di sini muridnya berapa to?”(G, 52) (13) “Sembilan belas” (M, 52) (14) “Kalau dua-dua berarti sisa satu.” (G, 52) Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswa pada saat guru memberikan tugas kelompok. Jawaban si mitra tutur dituturkan dengan nada menyetujui si penutur. Tuturan (12), (13), dan (14) yang merupakan tuturan asertif mengumumkan, mematuhi maksim kualitas, relevansi dan pelaksanaan, namun melanggar maksim kuantitas. Dilihat dari maksim kualitas, tuturan tersebut memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dan mitra tutur, kerena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Demikian juga, jika dilihat dari maksim relevansi, tuturan (12), (13), dan (14) memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Tuturan ini dituturkan oleh penutur sebelum melanjutkan materi berikutnya. Sebelum membagi kelompok, guru harus menanyakan jumlah murid di kelas tersebut. Tuturan ini secara langsung, jelas, tidak kabur, dan tidak taksa sehingga mematuhi maksim pelaksanaan. Namun demikian, tuturan (12), (13), dan (14) ini melanggar maksim kuantitas. Hal ini dapat dilihat pada tuturan tersebut bahwa tuturan itu mengungkapkan jumlah murid di kelas tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
(15) “Kalau tujuan jelas, ya itu tujuannya adalah mencari solusi. Buatlah rangkuman! Ini PR, PS juga boleh. Buatlah rangkuman dari isi wawancara yang kamu lakukan, terserah kamu wawancarai siapa, narasumbernya siapa terserah. Besok pon itu akan saya tanyakan (guru sambil tertawa). Nah di situ ada itu romawi dua tinggal melingkari, nomor tiga juga ada sampaikan hasil rangkuman secara lisan kemudian beri penilaian atau tanggapan, besok hasil rangkuman dari teman-temanmu. Ada masalah? Interview bisa kamu laksanakan, narasumbernya bisa kamu pilih siapa yo cepat! Bapakmu boleh, kakek nenekmu boleh, ketua RT boleh, kadus boleh, mantan pacar yo entuk, pejabatpejabat juga boleh kamu datang ke kantor. Tapi sebentar, langkahlangkah laporan hasil interview sudah tahu belum?”(G, 56). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika PBM di kelas. Siswa pun mendengarkan tuturan Pak guru dengan antusias. Pada tuturan (15), yang merupakan tuturan asertif menyatakan, penutur mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja sama. Dilihat dari maksim kuantitas, tuturan tersebut memberikan keterangan secukupnya yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Dilihat dari maksim kualitas, tuturan tersebut memberikan fakta yang nyata, tidak dibuat-buat. Dilihat dari maksim relevansi, tuturan tersebut memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Demikian juga, jika dilihat dari maksim pelaksanaan, tuturan (15) tersebut tidak memberikan keterangan yang berlebihan. (16) “Tulis! Langkah-langkah laporan hasil wawancara. satu hari, tanggal terus waktu, waktu itu pukul jangan sampai jam, watch salah. Tiga narasumber, terus isi wawancara atau pokok-pokok isi wawancara, terus di bawah sana tertulis penulis atau pembuat laporan boleh. Berkemas-kemas yang pakai jaket nanti dulu, ya sambil tata-tata diperhatikan PR tadi dikerjakan kemudian LKS yang belum, dilanjutkan. Anak SMA itu jangan seperti anak SD. Pelajaran kali ini saya cukupkan sekian, kebetulan seperti hari kamis ini jam siang terus. Mari kita akhiri dengan berdoa. Yuk ketua disiapkan!” (G, 19). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika user memerintah untukcommit menulisto laporan hasil wawancara. Siswa pun
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
merespon tuturan guru dengan cara langsung melaksanakan perintah guru. Pada tuturan (16), yang merupakan tuturan asertif menyampaikan, penutur menyampaikan fakta yang sebenarnya kepada mitra tutur sehingga penutur mematuhi maksim kualitas. Pada tuturan tersebut penutur juga memberikan kontribusi yang relevan kepada mitra tutur. Tuturan tersebut dituturkan oleh penutur pada waktu pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, penutur mematuhi maksim relevansi. Selain itu, penutur juga mematuhi maksim pelaksanaan, artinya penutur menyampaikan keterangan kepada mitra tutur secara jelas dan tidak taksa. Namun demikian, penutur melanggar maksim kuantitas. Hal ini ditunjukkan dengan dituturkannya klausa kebetulan seperti hari kamis ini jam siang terus. (17) “Kelincahan dan kepandaian anda dalam berkomunikasi untuk menentukan bahasa termasuk bagaimana anda mencerna suatu taktik wawancara itu diperlukan keterampilan berbahasa Indonesia terdiri dari keterampilan mendengarkan, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara bahkan nanti kalau laporan hasil wawancara itu nanti dinamakan keterampilan menulis.” (G, 32). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika memberi masukan mengenai keterampilan berbahasa. Siswa memperhatikan dengan serius. Seperti halnya yang terjadi pada tuturan (17), pada tuturan (17) ini penutur juga melangar maksim kuantitas. Pada tuturan tersebut terdapat frasa kelincahan dan kepandaian sebenarnya, tuturan yang mengandung pengertian dalam berkomunikasi untuk menentukan bahasa termasuk bagaimana anda mencerna suatu taktik wawancara itu diperlukan keterampilan berbahasa Indonesia terdiri dari keterampilan mendengarkan, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara bahkan nanti kalau laporan hasil wawancara itu nanti dinamakan keterampilan menulis. Tidak perlu dituturkan karena seluruh mitra tutur adalah siswa yang sudah pasti mengetahui apa yang dimaksud dengan commit to user kelincahan dan kepandaian.
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Namun demikian, tuturan (17) ini mematuhi maksim kualitas, relevansi dan pelaksanaan. Pada tuturan tersebut penutur menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta yang sebenarnya, relevan dengan topik yang sedang dibicarakan, dan jelas. (18) “Pekerjaan itu urusan Tuhan, rejeki itu urusan Allah, tugas kita mencari ilmu, nanti Allahlah yang mengaturnya.” (G, 55) Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat PBM di kelas. Siswa pun mendengarkan dengan antusias. Pada tuturan (18) tersebut penutur melanggar maksim kuantitas karena penutur menyampaikan yang berlebihan ketika dia ingin menyampaikan pesan kepada mitra tutur berkaitan dengan kekuasaan Allah. Penutur juga melanggar maksim kualitas karena penutur menyampaikan keterangan yang tidak nyata. Tuturan (18) tersebut juga tidak memberikan keterangan yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Pelaksanaan tuturan tersebut disampaikan secara tidak langsung, tidak jelas dan berlebih-lebihan sehingga melanggar maksim pelaksanaan. (19) “Itu biasanya tidak menyimpang dari permasalahan tapi kalau wawancara terbuka seperti kamu pacaran itu wawancara terbuka. Mau teko ki arep takok nggowo buku pora lha kok nggrambyang teko mbahe akeh-akeh itu namanya melebar atau lari dari pokok permasalahan, tetapi kalau yang tertutup sudah ditentukan nanti yang akan saya tanyakan pak lurah akan menanyakan tentang jumlah penduduk dan itu jumlahnya tinggal menulis, ditulis bisa dicentang bisa tinggal milih. Terus pekerjaan penduduk tinggal memberi lingkaran atau pun tanda silang juga boleh.” (G, 18). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika menjelaskan tentang wawancara. Siswa pun memeperhatikan tuturan guru. Pada tuturan (19) penutur melanggar maksim kuaititas. Bagian tuturan Mau teko ki arep takok nggowo buku pora lha kok nggrambyang teko mbahe akeh-akeh itu namanya melebar atau lari dari pokok permasalahan, tetapi kalau commit to user yang tertutup sudah ditentukan nanti yang akan saya tanyakan pak lurah akan
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
menanyakan tentang jumlah penduduk dan itu jumlahnya tinggal menulis, ditulis bisa dicentang bisa tinggal milih. Terus pekerjaan penduduk tinggal memberi lingkaran atau pun tanda silang juga boleh. Mestinya tidak perlu ada karena bagian tuturan ini memberikan keterangan yang berlebihan. Tanpa bagian tuturan ini pun tuturan (19) tersebut sudah jelas. Namun demikian, dengan tuturan tersebut penutur mematuhi maksim kualitas, relevansi dan pelaksanaan. Pada tuturan tersebut penutur menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sebenarnya. Oleh karena itu tuturan tersebut mematuhi maksim kualitas. Isi tuturan itupun relevan dengan sesuatu yang sedang dipertuturkan sehingga tuturan tersebut mematuhi maksim relevansi. Selain itu, tuturan (19) tersebut menyatakan sesuatu secara langsung, tidak kabur dan tidak taksa sehingga mematuhi maksim pelaksanaan. (20) “Pokok-pokok isi wawancara MUI mengeluarkan fatwa bahwa infotaiment haram. MUI menganggap persoalan yang diatasi itu tidak sesuai dengan bidang jurnalistik. MUI menghimbau sebaiknya para pekerja bidang jurnalistik infotaiment tidak terlalu mengekspose kehidupan selebriti terlalu jauh karena dianggap akan mempengaruhi masyarakat. Rangkuman kesimpulan, MUI menganggap infotaiment haram karena tidak sesuai dengan kenyataan.” (M, 41). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh siswa kepada Pak guru ketika disuruh membacakan hasil wawancara. Siswa pun membaca tugasnya dengan antusias. Pada tuturan (20) mitra tutur melanggar maksim kuantitas karena dalam memberikan respon atas pernyataan penutur, mitra tutur mengulang pernyataan yang dituturkan oleh penutur. Hal ini tidak perlu karena pernyataan pada hakikatnya membutuhkan respon dan bukan pengulangan pernyataan. Namun demikian, baik penutur maupun mitra tutur mematuhi maksim kualitas karena masing-masing tuturannya menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tetapi, tuturan (20) tersebut mitra tutur melanggar maksim relevansi commit to user karena tidak memberikan kontribusi yang relevan dengan apa yang dituturkan
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh penutur. Namun demikian, baik penutur maupun mitra tutur mematuhi maksim pelaksanaan karena dapat dilihat dengan jelas bahwa mereka menyampaikan sesuatu yang sedang dipertuturkan secara langsung, jelas, tidak kabur dan tidak taksa. (21) “Pokok-pokok isi wawancara harga cabai meningkat tiga kali lipat per kilonya. Cara warga mengantisipasi kebutuhan dengan sedikit mengurangi mengkonsumsi cabai.” (M, 40). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh siswa kepada Pak guru ketika disuruh membacakan hasil wawancara. Siswa pun membaca tugasnya dengan antusias. Tuturan (21) di atas melanggar maksim kuantitas karena apabila dilihat dari pertanyaan yang diajukan oleh penutur, mitra tutur seharusnya hanya menjawab ya atau tidak. Namun demikian, seperti dapat dilihat pada tuturan di atas mitra tutur memberikan jawaban yang jauh lebih panjang dan jauh melebihi yang dibutuhkan oleh penutur. Jika dilihat dari maksim kualitas, tuturan (21) tersebut memberikan keterangan yang nyata dan sudah sesuai fakta. Atau dengan kata lain tuturan (21) di atas memenuhi maksim kualitas. Jika dari dua maksim yang lain, yaitu maksim relevansi dan maksim pelaksanaan, tuturan (21) di atas telah memberikan kontribusi tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan dan disampaikan dengan jelas. Dengan kata lain tuturan (21) di atas mematuhi maksim relevansi dan maksim pelaksanaan. (22)
“Pengalaman kalian berkunjung ke objek wisata itu ditulis ke dalam bentuk karya ilmiah, tulisan itu bisa dimasukkan ke dalam artikel personal eksperiment contoh yang lain? Karya ilmiah laporan hasil percobaan, laporan pengamatan. Iya… itu berarti mengenai pengalaman pribadi yang dialami penulisnya. Ketika kalian besok ke Bali kalian diminta untuk membuat karya ilmiah. Nah dari karya ilmiah itu nanti sebagai pertanggungjawaban kalian sudah melaksanakan study tour ke Bali, itu bisa dimasukkan ke dalam laporan atau personal eksperiment.” (G, 22).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan guru kepada siswanya dengan nada santai ketika menjelaskan tentang artikel experiment. Siswa pun memperhatikan dengan santai. Pada tuturan (22) tersebut penutur menyampaikan pertanyaan secara berlebihan dan tidak langsung pada tujuannya. Demikian pula, mitra tutur menjawab pertanyaan yang diajukan penutur secara berlebihan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (22) tersebut melanggar maksim kuantitas. Tuturan (22) tersebut tidak memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Yang diminta penutur adalah pandangan mitra tutur terhadap telah diterimanya laporan hasil kunjungan. Namun demikian, mitra tutur memberikan keterangan tentang catatan-catatan yang dihasilkan penutur. Jadi tuturan (22) melanggar maksim relevansi. Ide tuturan (22) tersebut tidak bisa dengan mudah ditangkap oleh penutur memberikan keterangan secara tidak langsung, kabur, dan berlebih-lebihan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (22) tersebut melanggar maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama. (23) “Nah di situ ada itu romawi dua tinggal melingkari, nomor tiga juga ada sampaikan hasil rangkuman secara lisan kemudian beri penilaian atau tanggapan, besok hasil rangkuman dari temantemanmu.” (G, 54). Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika menjelaskan cara mengerjakan tugas di buku LKS. Tuturan dituturkan dengan nada menyuruh. Pada tuturan (23) melanggar maksim kuantitas karena menyebutkan romawi dua tinggal melingkari. Yang dimaksud dengan melingkari, mitra tutur sudah mengetahui bagaimana dalam mengerjakan tugas tersebut. demikian juga, penutur menyampaikan penjelasan mengenai cara mengerjakan tugas di buku LKS secara berkepanjangan sehingga dapat dikatakan bahwa penutur melanggar maksim kuantitas. jika dilihat dari maksim kualitas, penutur juga melanggar maksim commit to user tersebut, karena yang seharusnya menyampaikan atau menyebutkan melingkari,
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penutur juga menyampaikan penilaian atau tanggapan. hal ini tentu melanggar maksim kualitas. lebih lanjut, apabila dicermati masing-masing tuturan pada masingmasing tindak tutur hamper semuanya mematuhi dan melanggar maksim dalam prinsip kerja sama. pematuhan dan pelanggaran maksim-maksim tersebut dapat ditemukan pada tindak tutur asertif, performatif, verdiktif, ekspresif, direktif, dan komisif. C. PEMBAHASAN Penerapan prinsip kesantunan dan prinsip kerja sama dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar akan dibahas berikut ini satu per satu. 1. Penerapan Prinsip kesantunan Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang sudah dikumpulkan, diidentifikasi, dan diklasifikasi, menunjukkan bahwa bentuk tuturan direktif yang dituturkan baik siswa maupun guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan yang sudah menerapkan atau mematuhi prinsip kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan yang dimaksud, yaitu mengacu pada maksim sopan santun yang dikemukakan Leech (1993). Maksim-maksim yang dipatuhi oleh penutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, antara lain (1) maksim kearifan, yang menekankan pada pengurangan beban untuk orang lain, (2) maksim kemurahan hati atau kedermawanan, yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain, (3) maksim pujian atau penerimaan, yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain, (4) maksim kerendahan hati atau kesederhanaan, yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri, (5) maksim kesepakatan atau persetujuan, yang menuntut kita untuk mengurangi ketidak setujuan antara diri sendiri dengan orang commit to lain, (6) maksim simpati, yang menuntut diriuser kita untuk mengurangi rasa antipasti
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya atara diri dan orang lain. Selain itu, penutur juga menerapkan (7) prinsip penghindaran kata atau istilah tabu dengan penggunaan eufimisme, serta (8) prinsip hormat dengan menggunakan pilihan kata honorifik, yang memang sesuai dengan pranata budaya masyarakat setempat (lingkungan budaya Jawa). Pematuhan terhadap prinsip-prinsip kesantunan bertutur tersebut terjadi antara guru dan murid (dalam pembelajaran di kelas). Dalam melakukan setiap peristiwa tutur, baik dalam posisi sebagai penutur maupun mitra tutur memang harus memperhatikan betul prinsip-prinsip di atas. Apabila dilanggar, dapat menimbulkan terjadinya ketidakharmonisan komunikasi, bahkan kegagalan komunikasi. Oleh karena itu, untuk menciptakan interaksi sosial yang baik dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, salah satunya dengan pematuhan terhadap prinsip-prinsip kesantunan berbahasa dalam setiap peristiwa tutur. Jika prinsip kerja sama dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya, prinsip kesantunan dibutuhkan untuk menjaga kesopanan antara penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Di dalam percakapan, penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar mitra tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Dalam hal ini, prinsip kesantunan dapat dipakai sebagai tuturan cara bertutur secara santun Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Jika dibandingkan dengan penerapan prinsip kerja sama, maksimmaksim dalam sopan santun lebih dipatuhi dari pada dilanggar. Memang tidak mungkin dalam tuturan yang panjang seorang penutur selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip sopan santun. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, secara konversasional seorang penutur dimungkikan untuk tidak selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip sopan santun. Ada kalanya seorang penutur melanggar salah satu prinsip, prinsip kerja sama atau prinsip sopan santun. Berdasarkan data yang disediakan dalam penelitian ini mengatakan to user di SMA Muhammadiyah 1 bahwa tuturan-tuturan dalam commit pembelajaran
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karanganyar dipatuhi atau dilanggar. Tidak ada tuturan yang mematuhi sekaligus melanggar maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Hal ini dimungkinkan terjadi karena data yang diperoleh dari pembelajaran di kelas yang berkaitan dengan penyampaian materi pembelajaran yang disampaikan oleh gutu kepada murid. Namun demikian, juga ditemukan pematuhan dan pelanggaran maksimmaksim dalam prinsip sopan santun ini pada tindak tutur asertif, performatif, verdiktif, ekspresif, direktif, dan komisif. Tuturan-tuturan yang berkaitan dengan penilaian terhadap tuturan guru dimungkinkan tuturan-tuturan yang ada mematuhi atau melanggar maksim dalam prinsip sopan santun. Dalam proses penilaian atas tuturan guru, murid hanya memiliki dua pilihan, yaitu menerima atau menolak. Jika akan menerima materi yang disampaikan guru, tentunya penutur yang dalam hal ini adalah guru mematuhi
maksim-maksim
dalam
prinsip
sopan
santun.
Sebaliknya,
dimungkinkan apabila harus menolak, penutur cenderung melanggar maksimmaksim dalam prinsip sopan santun. Namun demikian, dimungkinkan juga dalam proses penilaian seorang penutur menyampaikan kelemahan-kelemahan tersebut perlu penutur sampaikan sebelum akhirnya menerima atau menolak materi yang disampaikan. Tidak selalu berarti bahwa jika penutur menyampaikan kelemahankelemahan kemudian akhirnya menolak materi yang disampaikan. Hal ini akan mempengaruhi dalam penerapan maksim-maksim dalam prinsip kesantunan. 2. Penerapan Prinsip Kerjasama Komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar berjalan lancar. Hal ini menunjukkan bahwa guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar telah menerapkan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kesepakatan bersama tentang ikhwal yang dibicarakan, yaitu saling berhubungan dan berkaitan antara apa yang disampaikan oleh penutur dan apa yang diinginkan oleh mitra tutur. Secara konversasional, dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksimcommit to user memang dimungkinkan dalam maksim dalam prinsip kerja sama. Hal demikian
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunikasi. Seorang penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Pematuhan dan pelanggaran maksimmaksim dalam prinsip kerja sama terjadi pada tindak tutur asertif, performatif, verdiktif, direktif, ekspresif, dan komisif. Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah maksim kuantitas. Penutur memberikan keterangan lebih banyak dari pada yang dibutuhkan dalam komunikasi. Ha ini terjadi karena dalam menyampaikan materi penutur cenderung mengemukakan sesuatu yang akan dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini wajar karena dalam berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Sedangkan maksim yang dipatuhi dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat keterangan yang diberikan dalam komunikasi haruslah sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sesungguhnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kesantunan bentuk direktif di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar berdasarkan penerapan prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun bentuk tuturan direktif yang telah dikemukakan di depan, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. 1.
Penerapan prinsip kesantunan bentuk tuturan direktif oleh guru dan siswa dalam peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, antara lain (a) maksim kearifan, (b) maksim kemurahan hati atau kedermawanan, (c) maksim pujian atau penghargaan, (d) maksim kerendahan hati atau kesederhanaan, (e) maksim kesepakatan atau persetujuan, dan (f) maksim simpati. Selain itu juga prinsip penghindaran pemakaian kata tabu dengan penggunaan eufimisme dan penggunaan pilihan kata honorifik.
2.
Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturantuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kerja sama. Hal demikian memang dimungkinkan dalam komunikasi. Seorang penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama adalah maksim kuantitas. Penutur memberikan keterangan lebih banyak dari pada yang dibutuhkan dalam komunikasi. Ha ini terjadi karena dalam menyampaikan materi penutur cenderung mengemukakan sesuatu yang akan dipertuturkan
secara
panjang
lebar.
Hal
ini
wajar
karena
dalam
berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus memperhatikan maksimmaksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip kesantunan. Sedangkan maksim yang paling banyak dipatuhi adalah maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat keterangan yang diberikan dalam komunikasi haruslah sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sesungguhnya. commit to user
71
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Implikasi Berdasarkan simpulan di atas, dapat diajukan beberapa implikasi penelitian sebagai berikut. 1.
Hasil
penelitian
mengenai
kesantunan
tuturan
direktif
di
SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar ini dapat juga dijadikan sumbangan modal, baik bagi guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia maupun bidang studi kewarganegaraan ataupun budi pekerti, khususnya dalam mengajarkan berbahasa yang santun, agar lebih variatif dalam memberikan contoh-contoh bentuk kesantunan berbahasa. Selain itu, dapat dimanfaatkan bagi masyarakat tutur sebagai tambahan acuan untuk mempermudah membina relasi dan menjalin hubungan kerja sama di dalam membangun komunikasi yang harmonis dengan mitra tutur sesuai dengan konteksnya. 2.
Praktik kebahasaan dalam peristiwa tutur di sekolah merupakan fenomena yang menarik dalam perkembangan bahasa, dalam hal ini pemakaian bahasa yang santun. Kajian mengenai kesantunan bentuk tuturan direktif di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ini dapat memberi tambahan ilmu bagi peneliti bahasa Indonesia yang ingin mengembangkan lebih lanjut mengenai kajian kesantunan bentuk tuturan direktif dengan pendekatan sosiopragmatik. Selain
itu,
hasil
penelitian
ini
dapat
membantu
memperkaya
pengidentifikasian bentuk kesantunan berbahasa. 3.
Kajian mengenai kesantunan bentuk tuturan direktif di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ini dapat dijadikan salah satu alternatif pertimbangan pemilihan bahan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi. Pemilihan bahan pengajaran yang diambilkan dari seleksi aturan-aturan di lingkungan sekolah tersebut sekaligus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa yang santun. Kondisi demikian, kiranya perlu dipikirkan kembali karena fenomena kesantunan berbahasa di dalam peristiwa tutur di sekolah tersebut mempunyai beberapa sisi positif, yaitu menambah atau meningkatkan kreativitas berbahasa dan untuk tetap mempertahankan penggunaan bahasa commit to user formal maupun nonformal. Indonesia yang santun, baik dalam komunikasi
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.
Kesantunan berbahasa juga merupakan salah satu kajian pendidikan umum, yang dapat dijadikan jembatan pertama menuju pemaknaan lebih mendasar pada tujuan, peran, dan fungsi pendidikan umum dengan mengambil nilainilai dari agama dan budaya. Pendidikan umum mengarahkan tujuannya kepada perwujudan manusia yang berkepribadian. Sosok manusia yang memiliki kepribadian baik ditampakkan secara nyata melalui bahasa yang ditampilkannya secara santun.
C. Saran Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut. 1.
Hendaknya diadakan pengajaran kebahasaan yang lebih variatif mengenai pemakaian bahasa yang santun di semua aspek keterampilan berbahasa, yaitu membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Hal ini mengingat kesantunan berbahasa Indonesia cukup penting, salah satunya dalam membentuk kepribadian generasi muda yang lebih baik.
2.
Apabila ingin memelihara kelangsungan bahasa Indonesia agar tetap santun, alangkah baiknya siswa dan guru, khususnya di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar tetap mempertahankan menggunakan bentuk-bentuk tuturan yang santun pada saat bertutur, baik dalam situasi formal maupun nonformal.
3.
Mencari penyebab pelanggaran dan pematuhan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama dan sopan santun dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
4.
Hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif contoh bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa di sekolah, khususnya mengenai bentuk kesantunan dalam tuturan direktif.
commit to user