TINDAK-TINDAK PIDANA PERBANKAN INDONESIA Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., FCBArb
1. PENGERTIAN TINDAK PIDANA PERBANKAN • Arti luas: TPP adalah perilaku (conduct), baik berupa melakukan sesuatu (commission) atau tidak melakukan sesuatu (omission), yang menggunakan produk perbankan (banking product) sebagai sarana perilaku pelakunya atau produk perbankan (banking product) sebagai sasaran perilaku pelakunya dan telah ditetapkan sebagai tindak pidana oleh undang-undang. • Arti sempit: TPP adalah perilaku (conduct), baik berupa melakukan sesuatu (commission) atau tidak melakukan sesuatu (omission), yang ditetapkan sebagai tindak pidana oleh Undang-Undang Perbankan Indonesia (UU No. 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10/1998). 2. PASAL SAPU JAGAD • Merupakan asas hukum dalam Undang-Undang Perbankan Indonesia bahwa setiap perilaku (conduct) yang bertentangan dengan setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku (khusus) bagi bank adalah tindak pidana. • Peraturan perundang-undangan yang khusus bagi perbankan Indonesia adalah UndangUndang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 10 Tahun 1998 dan berbagai Peraturan Bank Indonesia PBI. • Pasal 49 ayat (2) huruf b a. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). • Pasal 49 ayat (2) huruf b adalah “Pasal Sapu Jagad”. • Pasal tersebut disebut Pasal Sapu Jagat karena menentukan bahwa anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkahlangkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank diancam dengan pidana. • Artinya, Pasal tersebut menentukan sebagai suatu tindak pidana terhadap pelanggaran yang bukan saja terhadap Undang-Undang Perbankan tetapi juga terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. • Dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut, peraturan perundang-undangan lainnya yang dimaksud tidak ditentukan secara spesifik. • Selain itu, dapat merupakan tindak pidana terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank bukan saja yang sudah ada tetapi juga yang masih akan ada (belum ada) ketika Undang-Undang Perbankan berlaku.
3. PASAL SAPU JAGAD BAGI PIHAK TERAFILIASI Sejalan dengan semangat Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50 menentukan: Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 4. PASAL SAPU JAGAD BAGI PEMEGANG SAHAM Sejalan dengan semangat Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50A menentukan: Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). 5. PASAL-PASAL PENTING YANG DAPAT DIANCAM PASAL SAPU JAGAD Pasal 8 • Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. • Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor. • The Five Cs’ of Credit o Character o Capital: Can he pay? o Capacity: How much can he pay? o Conditions (business, legal, politics, dll) o Collateral • Sumber pelunasan kredit: o First way out, dan/atau o Second way out • Penjelasan Pasal 8 bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan/atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Pasal 10 Bank Umum dilarang : • • •
melakukan penyertaan modal kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c ; melakukan usaha perasuransian ; melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7
Pasal 14 Bank Perkreditan Rakyat dilarang: a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; c. melakukan penyertaan modal; d. melakukan usaha perasuransian; e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 11 (1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. (2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberikan kredit, atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada : a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank; b. anggota Dewan Komisaris; c. anggota Direksi; d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; e. pejabat bank lainnya; dan f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. Pasal 11 ayat (4), (4A), (5) (4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). (5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 6. PENGHIMPUNAN DANA SIMPANAN TANPA IJIN BI • Pasal 16 ayat (1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri. • Bagi perbankan Indonesia, berlaku asas bahwa penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tidak boleh dilakukan oleh pihak yang bukan bank. Dengan kata lain, hanya bank yang dapat menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan. Asas ini ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UUP. • Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) tersebut di atas diancam dengan pidana penjara serta denda oleh Pasal 46 UUP yang berbunyi: 1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). 2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. • Apakah yang dimaksudkan dengan simpanan menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 46 UUP tersebut? • Menurut Pasal 1 angka 5 UUP, yang dimaksudkan dengan simpanan adalah: dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. • Berdasarkan pengertian atau definisi tersebut, maka sepanjang bentuknya bukan giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, maka dana itu, yang sekalipun dihimpun dari masyarakat, bukan merupakan “simpanan”. • Pasal 1 angka 5 UUP membatasi pengertian simpanan hanya kepada dana masyarakat yang dihimpun dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. • Ciri khusus dari giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu adalah dana yang dipinjam oleh bank (utang bank) dari nasabah penyimpannya (kreditor bank) dan menjadi sumber kredit yang diberikan oleh bank kepada debitor bank.
• •
•
•
• •
•
•
•
•
• •
Dengan demikian, terdapat perbedaan antara dana masyarakat yang berbentuk simpanan dan dana masyarakat yang tidak berbentuk simpanan. Apabila dana yang dihimpun dari masyarakat oleh siapa pun tetapi tidak perlu dikembalikan kepada pemilik asal dari dana tersebut dan tujuan penggunaannya bukan untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit, maka dana tersebut bukan dana masyarakat yang berbentuk simpanan. Sebagai contoh adalah dana masyarakat yang dihimpun oleh suatu pihak dengan menerbitkan obligasi yang ditawarkan/dijual kepada masyarakat melalui pasar modal atau melalui penawaran langsung dan apabila dana masyarakat yang terhimpun dengan cara seperti itu bukan dimaksudkan untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit tetapi digunakan untuk pengembangan usaha sendiri, maka kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan. Tetapi apabila dana masyarakat yang berhasil dihimpun melalui penerbitan obligasi tersebut digunakan oleh penerbit obligasi untuk disalurkan dalam bentuk kredit atau pinjaman kepada pihak lain, maka dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat melalui penerbitan obligasi itu merupakan dana yang berbentuk simpanan. Karena itu, kegiatan tersebut harus memperoleh izin dari BI sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UUP. Banyak contoh dalam kehidupan masyarakat dimana suatu pihak menghimpun dana dari masyarakat tetapi penghimpunan dana tersebut tidak dapat dikatagorisasi sebagai penghimpunan dana dalam bentuk simpanan karena bukan untuk tujuan pemberian kredit. Contohnya adalah penghimpunan dana dari masyarakat berupa sumbangan tetapi bukan dimaksudkan untuk disalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada pihak lain tetapi, misalnya, untuk keperluan membantu kelompok masyarakat tertentu yang tertimpa musibah (bencana alam seperti tsunami, gunung meletus, dan lain-lain) atau untuk membantu biaya pengobatan seorang anak yang cacat sebagaimana yang sering dilakukan oleh media cetak dan atau elektronik. Contoh lain adalah penerbitan surat utang jangka pendek (surat utang berjangka maksimum satu tahun) yang dikenal dengan istilah commercial paper atau CP yang dijual di pasar uang oleh penerbitnya untuk keperluan modal kerja atau mengatasi kesulitan cash flow dari penerbit CP. Kegiatan penghimpunan dana yang seperti itu bukan merupakan kegiatan penghimpunan dana yang berbentuk simpanan karena bukan untuk disalurkan kembali dalam bentuk kredit tetapi dipakai untuk keperluan sendiri. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan penghimpunan dana masyarakat tetapi tidak untuk disalurkan kembali dalam bentuk kredit seperti contoh-contoh yang dikemukakan di atas, tidak dapat diancam berdasarkan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perbankan sebagai tindak pidana atas pelanggaran ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUP. Ada ciri lain yang perlu dicermati berkaitan dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang itu, yaitu berkaitan dengan pengertian “masyarakat”. Dalam pengertian “masyarakat” terkandung bahwa pengerahan dana harus bersifat terbuka, yaitu berlaku bagi siapa pun yang ingin meminjamkan dananya kepada pihak yang menghimpun dana tersebut sepanjang orang/perusahaan yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh pihak penghimpun dana.
•
•
•
•
Tetapi apabila pengerahan dana tersebut bersifat terbatas hanya menghimpun dari beberapa orang/kelompok tertentu saja, menurut saya penghimpunan dana tersebut bukan merupakan penghimpunan dana dari masyarakat. Sifat keterbukaan dan ketidakterbatasan itulah yang menentukan apakah upaya penghimpunan dana itu merupakan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat atau hanya merupakan kegiatan penghimpunan dana dari beberapa gelintir orang. Kesimpulan dari penjelasan tersebut di atas adalah bahwa tujuan dari kriminalisasi dari perbuatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 jo. Pasal 16 UUP adalah untuk mencegah agar tidak semua orang atau badan hukum dapat melakukan kegiatan usaha sebagai lembaga intermediasi tanpa memperoleh ijin sebagai bank (memperoleh ijin dari Pimpinan Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha sebagai bank). Menjadi tujuan Undang-Undang Perbankan, bahwa hanya bank yang dapat melakukan kegiatan sebagai lembaga intermediasi.
7. PENGAWASAN BANK KEWAJIBAN BANK MEMBANTU BI MENJALANKAN FUNGSI PENGAWASAN BANK Pasal 30 1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. 3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia. 8. KEWAJIBAN PELAPORAN NERACA DAN PERHITUNGAN LABA/RUGI BANK Pasal 34 1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik. 3) Tahun buku bank adalah tahun takwim. 9. TINDAK PIDANA PELANGARAN PASAL 30 & 34 UUP Pasal 48 1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 10. TINDAK PIDANA RAHASIA BANK BANK SEBAGAI LEMBAGA KEPERCAYAAN • Dibandingkan dengan lembaga atau perusahaan lain, bank merupakan lembaga atau perusahaan yang unik, yaitu memiliki sifat yang sangat khusus. • Bank melakukan kegiatan usahanya dengan menggunakan dana/uang yang berasal dari masyarakat yang ditempatkan atau dipinjamkan kepada bank dalam bentuk simpanan. • Bank hanya mungkin menghimpun dana simpanan dari masyarakat apabila masyarakat memiliki kepercayaan kepada banknya bahwa dana yang disimpan akan dapat dikembalikan oleh bank apabila ditagih dan apabila bank merahasiakan baik simpanan maupun identitas nasabah penyimpan dana. 11. BANK MERUPAKAN BAGIAN DARI SISTEM MONETER • Sebagai bagian dari sistem moneter, bank sangat highly regulated. • Apabila suatu bank mengalami rush, maka rush tersebut akan menular terhadap bank-bank lain; Keadaan itu disebut efek domino atau berdampak sistemik. • Terjadinya efek domino akan meruntuhkan sistem moneter. 12. RAHASIA BANK • Pasal 40 1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44 A. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi. 13. TINDAK PIDANA PELANGGARAN RAHASIA BANK Pasal 47 ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) 14. PENGECUALIAN RAHASIA BANK • Untuk kepentingan perpajakan, (Pasal 41) • Untuk kepentingan penyelesaian piutang bank BUMN (Pasal 41A) • Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42) • Untuk kepentingan perkara perdata antara bank dan nasabah (Pasal 43)
• • • • • • •
•
Untuk kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44) Untuk kepentingan nasabah sendiri (Pasal 44A ayat (1)) Untuk kepentingan ahli waris nasabah (Pasal 44A ayat (2)) Untuk kepentingan Bank Indonesia (Pasal 30 dan Pasal 31) Untuk kepentingan akuntan publik (Pasal 31A) Untuk kepentingan PPATK, (Pasal 15 jo. Pasal 13 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang (Pasal 33 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana korupsi oleh KPK (Pasal 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
15. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK KEPADA PETUGAS PERPAJAKAN Pasal 41 1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. 2) Perintah tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. 16. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK KEPADA BUPLN/PUPN Pasal 41 A 1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur. 2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Ketua Panitia Urusan Piutang Negara. 3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan. 17. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK KEPADA PENEGAK HUKUM Pasal 42 1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. 2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa agung, atau Ketua Mahkamah Agung. 3) Permintaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka /terdakwa, alasan diperlukannya
keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan. 18. KEWAJIBAN PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK OLEH BANK Pasal 42 A Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A dan Pasal 42. 19. TINDAK PIDANA RAHASIA BANK BAGI PENEGAK HUKUM, PETUGAS PAJAK & PEJABAT BUPLN/PUPN Pasal 47 ayat (1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). 20. KEWAJIBAN PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK UNTUK KEPENTINGAN PERKARA PERDATA ANTARA BANK DAN NASABAH Pasal 43 Dalam perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, Direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. 21. KEWAJIBAN PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK UNTUK KEPENTINGAN TUKAR MENUKAR INFORMASI ANTAR BANK Pasal 44 1) Dalam tukar menukar informasi antar bank, Direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain. 2) Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia. 22. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK ATAS PERMINTAAN ATAU KEPADA KUASA NASABAH Pasal 44 A ayat (1) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut. 23. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK KEPADA AHLI WARIS NASABAH Pasal 44 A ayat (2) Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan tersebut.
24. TINDAK PIDANA KEWAJIBAN PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK Pasal 47 A Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 25. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK UNTUK KEPENTINGAN BI • Pasal 30 1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. 3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia. • Pasal 31 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. 26. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK UNTUK KEPENTINGAN AKUNTAN PUBLIK YANG DITUGASI BI Pasal 31 A Bank Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. 27. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK UNTUK KEPENTINGAN PEMERIKSAAN DALAM RANGKA TPPU Pasal 72 UU No. 8/2010 1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari: a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik; b. tersangka; atau c. terdakwa. 2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain. 3) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, tersangka, atau terdakwa; c. uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada. 4) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai dengan: a. laporan polisi dan surat perintah penyidikan; b. surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau c. surat penetapan majelis hakim. 28. PENGUNGKAPAN RAHASIA BANK UNTUK KEPENTINGAN PEMERIKSAAN DALAM PERKARA TIPIKOR OLEH KPK UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12 ayat (1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; 29. TINDAK PIDANA PENCATATAN DAN LAPORAN KEUANGAN BANK Pasal 49 ayat (1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). 30. TINDAK PIDANA GRATIFIKASI PEJABAT BANK TINDAK PIDANA TENTANG PENERIMAAN IMBALAN OLEH PEJABAT BANK • Pasal 49 ayat (2) huruf a Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja : a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi
orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank; b. diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 31. SIFAT TINDAK PIDANA PERBANKAN TINDAK PIDANA PERBANKAN ADALAH KEJAHATAN DAN PELANGGARAN Pasal 51 1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47 A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50 A adalah kejahatan. 2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) adalah pelanggaran.