Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
Tindak Pidana Pajak dan Money Laundry Oleh: Santi Indriani Abstract Gayus Tanbunan’s Cases is Public debate right now, it’s be new people talk in mechanisms of law corridor in Indonesia. The Issues of MARKUS which act by the public servant is not foreign again when the problem of century is not finished yet. Tax Criminal Perpetration was once of crimination in tax dimension which involve many people, Tax Criminal perpetration it’s not do by personal and the characteristic of this criminal Perpetration is do by corporation by other people. There is compromise by assumes it’s good corporation between other side ,which tax officer will win in the tax of court, and tax obligatory will give present to tax officer. The present that given by tax obligatory possible causes money laundry. Actually tax reformation for many times is symbol of a corrupt resistance for tax institution was something that impossible to do, like cool mount, tax perpetration most of them still “hide”. Key words: Tax perpetration, money laundry
Pendahuluan Kasus Gayus Tambunan yang menjadi topik hangat dalam setiap pemberitaan tentunya mengalihkan pandangan publik terhadap kasus century. Kejahatan Pajak merupakan kejahatan kerah Putih (white colour crime), maksudnya adalah kejahatan ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki keahlian dibidangnya sehinga dalam melakukan kejahatan tidak hanya dilakukan sendiri melainkan melibatkan pihak-pihak tertentu. Pajak merupakan sumber utama pendanaan suatu Negara, baik dengan tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Faktor dominan dari pajak tersebut, menyebabkan banyak kepentingan ada di dalamnya. Mulai dari kepentingan orang pribadi, pengusaha, badan usaha hingga kepentingan politik. Banyaknya kepentingan yang mendominasi perpajakan, menyebabkan timbulnya perilaku yang menyimpang berupa “kepatuhan yang semu” atas pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sebaliknya adanya kepentingan tersebut merupakan suatu “peluang emas” bagi pejabat perpajakan untuk menjadikan pajak sebagai suatu objek untuk mendapatkan apa yang diharapkannya. Dua kepentingan dari pihak-pihak yang berbeda, namun pada inti tujuannya sama, menghasilkan persamaan persepsi tentang bagaimana menggunakan peraturan perpajakan sebagai suatu sarana untuk melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal perpajakan. Penyelesaian tindak kriminal di bidang perpajakan belum mendapatkan solusi seperti yang diharapkan pemerintah maupun masyarakat. Disisi lain belum adanya perbaikan mental dari para pegawai dilingkungan perpajakan yang disebabkan oleh pengaruh dari para wajib pajak tertentu yang mengarah kepada penyuapan dan pemerasan, sehingga kepatuhan terhadap ketentuan peraturan yang ada tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Dari tahun ke tahun target yang harus dicapai oleh bidang perpajakan mengalami kenaikan yang signifikan.Beberapa kali aparat perpajakan menyesuaikan kondisi dan keadaan tersebut dengan cara ekstensifikasi pajak, yang berarti mencari sumber-sumber
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA
82
Santi Indriani, 82 – 89
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
baru bagi pajak. Pencapaian target dan ekstensifikasi akan menyebabkan terdapat “loop holes”, berupa kebijakan-kebijakan yang dapat menggrogoti penerimaan negara dari sektor perpajakan. Tindak Pidana Pajak dalam Ketentuan Undang-Undang
Tindak Pidana atau menurut istilah adalah ”het strafbare feit” jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia; a) Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; b) Peristiwa Pidana; c) Perbuatan Pidana, dan; d) Tindak Pidana. Mengenai apa yang diartikan dengan strafber feit ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli antara lain: Simons merumuskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, bertentangan dengan hukum (onrechmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Van Hammel merumuskan strafber feit hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Simons hanya saja ditambahkan dengan kalimat: ”tindakan mana bersifat dapat dipidana”. Pompe merumuskan bahwa strafbare feit adalah suatu pelanggaran kaidah (pengganguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesehjateraan umum (dalam Ey Kanter dan SR. Sianturi, 2002:208). Selanjutnya Utrecht menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena menurutnya istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (handelenatau doen, positif) atau melalaikan (verzium atau nalaten atau niet doen, negatif) maupun akibatnya. Menurut Moelyatno, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar perbuatan tersebut dan perbuatan tersebut harus pula betulbetul dirasakan oleh oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Makna perbuatan pidana secara mutlak harus termaktub unsur formil yaitu mencocoki rumusan undang-undang (tatbestandmaszigkeit) dan unsur materil yaitu sifat bertentanagannya dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (rechtswirdigkeit). Sedangkan Wirjono Prodjodikoro merumuskan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana (dalam Ey Kanter dan SR. Sianturi, 2002:209). Tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi dalam arti sempit dan tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Pengertian tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam arti luas tindak pidana korupsi yang selain menyebabkan kerugian negara, juga akan merusak tatanan hidup masyarakat dan kekacauan ekonomi. Sebagai sumber yang sangat potensial, korupsi di bidang perpajakan mempunyai dampak yang sangat luas, seperti merusak sistem dan prosedur yang ada dan berakibat pembangunan yang direncanakan tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Edwin H. Sutherland (dalam Rukiah Komariah, 2010), yang disebut dengan “ Symbolic Interactionisme“ sebagai berikut: “…. tindak kriminal dapat dilakukan oleh seseorang yang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi serta menjadi bagian dari pekerjaannya.“ Pakar ini dalam teori yang disebutnya sebagai Differential Association Theory, mengatakan bahwa perilaku tindak pidana dapat dipelajari dari interaksi antar
83
Santi Indriani, 82 – 89
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
pribadi dengan lainnya. Tindak kriminal kerah putih (white collar crime) tumpang tindih dengan tindak kriminal korporasi. Di dalam kriminologi tindak pidana korporasi dikaitkan dengan korupsi dan dilakukan oleh orang yang mengelola aktivitas atau oleh individual. Tipe dari tindak pidana dimaksud meliputi: a) kejahatan white collar crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh profesional dari kelas sosial yang lebih tinggi dan mewakili kepentingan korporasi; b) tindak pidana yang terorganisir (organized crime), disebabkan tindak pidana ini dapat menjadikan korporasi sebagai tujuan tindak kriminal atau sarana untuk pencucian hasil sebagai tindak lanjut perbuatannya, dan; c) Tindak pidana dalam korupsi pemerintah (BUMN), disebabkan dalam banyak Di bidang pajak yang dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal perpajakan atau tax crime, misalnya penggelapan pajak, penyimpangan, pemerasan, pemalsuan dokumen, kerjasama antara Wajib Pajak dan petugas pajak untuk memperkecil pajak terutang dan lainnya. Pada umumnya tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri. Hal-hal inilah yang menyebabkan distorsi dalam perekonomian negara. Tindak pelanggaran, baik yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran maupun tindak pidana, sudah diatur di dalam Undang-undang perpajakan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 tahun 2000, Undang-Undang No. 10 tahun 1995 dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, mengatur tindak pidana perpajakan di bidang perpajakan meliputi perbuatan: (1) Yang dilakukan oleh seseorang atau oleh Badan yang diwakili orang tertentu pengurus; (2) tidak memenuhi rumusan undang-undang; (3) diancam dengan sanksi pidana; (4) melawan hukum; (5) dilakukan di bidang perpajakan, dan; (6) dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara. Dalam ketentuan UU No. 16 Tahun 2000 perubanah kedua dari UU No. 6 tahun 1983 tentang cara perpajakan ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana perpajakan sebagaimana dalam ketentuan "Pasal 39” yang berbunyi: (1) Setiap orang yang dengan sengaja : a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau di pungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. (3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang di mohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak."
84
Santi Indriani, 82 – 89
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
Sedangkan kriteria pelanggaran yang merupakan tindak pidana bagi pejabat perpajakan adalah karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan atau memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui, seperti: (1) Surat Pemberitahuan, laporan keuangan; (2) data yang diperoleh dalam rangka pemeriksaan; (3) dokumen atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia, dan; (4) dokumen atau rahasia wajib pajak. Jika dianalisa dan dikaji secara mendalam terkait dengan ketentuan UU perpajakan ada satu ketentuan yaitu pada Pasal 36 A yang menetapkan bahwa: ”Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku." Undang-Undang pada dasarnya juga membedakan antara dasar-dasar pemberatan Pidana Umum dan dasar-dasar pemberatan pidana khusus. Dasar Pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada didalam kodifikasi maupun yang berlaku diluar KUHP. Dasar pemberatan Pidana khusus adalah dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana yang lain. Undang-Undang mengatur tentang tiga dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana umum ialah: a) Dasar pemberatan karena jabatan; b) Dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaaan, dan; c) Dasar pemberatan karena pengulangan (recidive). Berdasarkan kasus kejahatan tindak pidana perpajakan pada dasarnya dapat juga dikenakan pemberatan karena jabatan sebagaimana dalam ketentuan pasal 52 KUHP yang rumusannya secara lengkap adalah : Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan,atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”. Dasar pemberatan tindak pidana tersebut dalam Pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat ( Pejabat atau Pegawai Negeri) mengenai empat hal ialah dalam melakukan tindak pidana dengan; a) Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya; b) Mamakai kekuasaan jabatannya; c) Menggunakan kesempatan karena jabatannya, dan; d) Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah sepertiga adalah adalah bagi seorang pejabat atau pegawai negeri (ambtenaar)yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan atau menggunakan empat keadaan tersebut diatas. Walaupun kualitas pegawai negeri dalam pasal ini sama dengan kualitas subjek hukum pada kejahatan-kejahatan jabatan dalam Bab XXVIII Buku II dan pelanggaran jabatan dalam Bab VII buku III, tetapi pemberatan pidana berdasarkan Pasal 52 ini maupun pelanggaran jabatan tidak berlaku bagi kejahatan-kejahatan jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut, melainkan berlakunya padake jahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena kualitasnya sebagai PNS telah diperhitungkan (Schravendijk dalam Adam Chazawi, 2002:74). Jadi Pemberatan pidana berdasarkan Pasal 52 ini berlaku umum seluruh jenis dan bentuk tindak pidana kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang dijelaskan diatas. Walaupun subjek tindak pidana ini adalah Pasal 52 dengan subjek hukum kejahatan dan pelanggaran jabatan adalah sama yaki PNS tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat atas dasar atas dasar pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelangaran jabatan yaitu:Tindak pidana yang dapat diperberat dengan menggunakan pasal 52 ini pada dasarnya adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
85
Santi Indriani, 82 – 89
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
Sedangkan tindak pidana kejahatan dan pelanggaran jabatan hanyalah dapat dilakukan oleh subjek hukum yang berkualitas Pegawai Negeri Sipil saja. (Adam Chazawi; 2002;75:). Selain undang-undang perpajakan sendiri yang mengatur mengenai tindak pidana perpajakan, juga terdapat undang-undang yang terkait dengan hasil kejahatan yang dilakukan di bidang perpajakan, seperti Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003. Di dalam pasal 2 ayat (1) huruf u, dinyatakan:“Hasil Tindak Pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana di bidang perpajakan”. Dengan demikian undang-undang termaksud secara nyata mengisyaratkan bahwa tindak pidana pajak merupakan suatu hal yang serius dan hanya dapat diatasi dengan tindakan pencegahan, penyelidikan, penyidikan untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana, termasuk ke dalamnya hasil dari tindak pidana perpajakan berupa pencucian uang. Ketentuan Delik Pencucian Uang (Money Laundry) Pencucian Uang (money laundry) baru dinyatakan sebagai tindak pidana oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 17 April 2002. Sebagai undang-undang yang baru sudah barang tentu memuat permasalahan yang baru pula bagi negara kita Indonesia. Sejak Juni 2001 oleh kelompok negara maju yang tergabung dalam Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundry menyatakan bahwa Indonesia termasuk kedalam daftar hitam yaitu dikategorikan sebagai negara yang tidak kooperatif; menurut istilah mereka ialah Non Cooperative Countries and Territories (NCCT). Meskipun lahirnya UU No 15 Tahun 2002 yang mengatur tentang Tindak Pidana pencucian uang FATF tetap menyatakan bahwa Indonesia tidak serius dalam menangani permasalahan money laundry, hal ini terbukti dengan tidak pernah terselesaikannya kasus money laundry di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Suwarsono bahwa Label NCCT yang diberikan FATF ini sesungguhnya membawa konsekwensi besar terutama apabila terkena sanksi, maka seluruh transaksi keuangan dari dan keseluruh negara tersebut akan dikategorikan sebagai transaksi yang patut dicurigai (suspicious transaction) dan juga pembekuan rekening. BagiIndonesia dampaknya apabila dikenai sanksi antara lain; a) Kegiatan ekspor impor terancam terganggu apabila L/C (Letter of Credit) perbankan nasional ditolak keluar negeri; b) Naiknya biaya pendanaan yang berasal dari luar negeri karena dianggapmemiliki resiko tinggi; c) hubungan korespondensi perbankan nasional dengan perbankaninternasional akan terputus; d) pemerintah akan dipersulit untuk mendapatkan bantuan internasional, baikhubungan bilateral maupun multilateral, dan; e) Keengganan investor untuk menanamkan modalnya. Oleh sebab itu pada akhirnya tepatnya pada tanggal 13 Oktober 2003 Pemerintah Indonesia kembali mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang. Mengapa pencucian uang harus dilawan? Karena pencucian uang merupakan suatu kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang sangat besar atau asal usul harta kekayaan itu merupakan hasil kejahatan, kemudian lalu disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal dengan pencucian uang. Kejahatan ini semakin lama semakin meningkat oleh karenanya harus dicegah bahkan harus diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian negara dan keamanan negara terjaga. Pencucian ini merupakan kejahatan transnasional karena melintasi batas wilayah negara-negara. Pemberantasannya tidak dapat dilakukan
86
Santi Indriani, 82 – 89
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
sendiri, tetapi agar efektif harus dilakukan kerjasama internasional melalui forum bilateral atau multilateral dan harus memenuhi standar internasional. Menurut pendapat Iza Fadri bahwa money laundry sebagai suatu kejahatan lapis kedua (predicate crime) yang merupakan kejahatan yang menyertai kejahatan asal, kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan yang dapat bersembunyi didalam sistem keuangan dan perbankan di suatu negara, sehingga kejahatan atau tindak pidana ini menjadi perhatian karena adanya beberapa hal yang menyangkut kekhususan di bidang keuangan dan perbankan. Kekhususan ini adalah adanya rahasia bank dan rahasia transaksi perbankan yang dijamin dalam undang undang,sehingga sistem perbankan sebagai suatu industri merupakan suatu bentuk pelayanan kepada masyarakat, namun disisi lain adanya semangat penegakan hukum yang bersifat universal, bahwa tidak ada tempat untuk menyembunyikan dan bersembunyinya kejahatan. Pengertian Pencucian Uang Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan, membelanjakan, mengibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Dalam ketentuan UU ini juga menjelaskan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a) Korupsi; b) Penyuapan; c) Penyelundupan barang; d) Penyelundupan tenaga kerja; e) Penyelundupan imigran; f) Dibidang perbankan; g) dibidang pasar modal; h) Dibidang asuransi; i) Narkotika dan sikotropika; j) Perdaganga manusia; k) Perdagangan senjata; l) penculikan; m) Terorisme; n) Pencurian; o) Penggelapan; p) Penipuan; q) Pemalsuan uang; r) Perjudian; s) Prostitusi; t) Dibidang perpajakan; u) Dibidang kehutanan; v) Dibidang lingkungan hidup; w) Dibidang kelautan, dan; x) Tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara empat tahun atau lebih yang dilakukan dalam wilayah NKRI dan di luar NKRI dan tindak pidana tersebut merupan tindak pidana menurut Hukum Indonesia. Pada Kasus Tindak Pidana Pajak dimana disinyalir Dana yang patut dicurigai pada rekening Gayus Tambunan yaitu sebesar Rp.25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah), tentunya hal ini sudah dapat kita kategorikan bahwa aliran dana dengan jumlah yang besar seperti itu patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan dan menyamarkan hasil asal-usul harta kekayaan sehingga pencucian uang yang dilakukan Gayus tidak lain adalah untuk membuat uang tersebut sebagai harta kekayaan yang sah. Delik Pencucian uang Tindak Pidana Pencucian Uang dirumuskan di dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja: a) Menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalamPenyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atasnama pihak lain; b) Mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatuPenyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendirimaupun atas nama pihak lain;
87
Santi Indriani, 82 – 89
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
c) Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yangdiketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindakpidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupunatas nama pihak lain; d) Menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yangdiketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindakpidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihaklain; e) Menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atasnamanya sendiri maupun atas nama pihak lain ; f) Membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinyaatau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana: atau menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). Upaya Untuk Mengurangi Tindak Pidana Perpajakan dan Money Laundry Menurut pendapat Rukiah Komaria (2010), pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah tindak pidana korupsi, pertamatama adalah pembentukan suatu komisi yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan pada: a) Kepastian hukum, artinya bahwa semua tindakan didasarkan kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku; b) Keterbukaan, sistem ini akan memicu peran masyarakat dalam penilaian kerja komisi dan sumber informasi yang diperlukan; c) Akuntabilitas, semua tindakan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkankepada masyarakat, dan; d) Secara hukum, moral dan etika; kepentingan umum, yang diutamakan dalam pelaksanaan tugas kar proporsionalitas, berarti tindakan yang dilakukan tidak semena-mena, tebang pilih dan sesuai dengan arah dan tujuan yang telah digariskan. Beberapa upaya dari pemerintah untuk menanggulangi tindak kriminal di bidang perpajakan antara lain melalui penerapan kebijakan yang oleh G Peter Hoinagels (dalam Rukiah Komariah, 2010) disebut sebagai criminal policy, berupa: a) Penerapan hukum pidana (criminal law aplication); Dapat dilakukan dengan memberlakukan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas tindak penyalahgunaan kewenangan dan tindak kriminal penyuapan, pemerasan, jika tindak kriminal perpajakan tersebut dilakukan oleh PNS bersama dengan orang pribadi yang berkaitan dengan penetapan pajak terutang yang harus dibayar. Pertanyaannya adalah,”Apakah tindakan yang dilakukan wajib pajak dengan bekerja sama dengan petugas pajak dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. b) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); Hal ini dimungkinkan karena dalam Undang-undang di bidang perpajakan dikenal bahwa kepentingan fiskal didahulukan daripada kepentingan hukum. Atau dengan kata lain, bahwa apabila dimungkinkan kerugian negara dapat ditutup maka yang akan berlaku adalah hukum
88
Santi Indriani, 82 – 89
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899XX
fiskal. Sebagai contoh seperti yang disebutkan di dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 8 ayat (3). c) Mempengaruhi pandangan masyarakat; Mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Penutup Kejahatan pajak merupakan salah satu tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih di mana ada hubungan yang sangat signifikan antara kejahatan pajak dan money laundry. Pada dasarnya ada aturan yang saling keterkaitan antara hasil kejahatan yang diupayakan dengan money laundry, jika aturan-aturan yang telah dibuat ini dilaksanakan dengan fair dan konsisten, maka diharapkan kejahatan-kejahatan yang menggunakan jabatan dan kekuasaan akan bisa ditanggulangi secara bertahap. Hal ini dikembalikan lagi kepada mentalitas dan personaliti dari masing-masing pejabat baik dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya.
DAFTAR PUSTAKA Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada EY. Kenter & S.R. Sianturi 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika Komariah, Rukiah dan Ali Purwito 2006. Pengadilan Pajak, Proses Banding Pajak, Pabean dan Cukai. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI Sumber lain: Iza, Fadri. 1994. “Seminar Nasional Pemutihan Uang Hasil Kejahatan (Money Laundering Crime), www.Legalitas.org Komariah, Rukiah.2010. Artikel “Tindak Pidana Perpajakan dalam Penghindaran, Penyimpangan, Penipuan dan Pemalsuan Pajak”. www.legalitas.org Suwarsono, 9 September 2004. “Peran Kejaksaan dalam Melawan Praktek Pencucian Uang”. Makalah disampaikan pada Acara Pemahaman Tindak Pidana Pencucian Uang. Diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM di Medan. \wamp\www\legweb\incl-php\style.inc on line 16 Undang-Undang: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU Nomor 10 Tahun 1995 dan Undang-undang No. 11 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan UU.No. 31 Tahun 1999 Jo UU. No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor UU No 16 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak UU No 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
89
Santi Indriani, 82 – 89