PerkumpulanHAK
21
MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA
Edisi 21 - Januari 2003
Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili - Timor Lorosae. Telp.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail:
[email protected]
Timor Lorosae Tidak Perlu Pengadilan Internasional? Keluaga korban pembantaian di Liquica Foto: Rogério Soares/Direito
DAFTAR
ISI
DIREITO UTAMA: Tidak Perlu Pengadilan Internasional? Hal. 1 - 2 Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia dan Rwanda Hal. 3 Bagaimana Mendirikan Pengadilan Internasional untuk Timor Lorosae Hal. 4 - 5 DIALOG: Korban Membutuhkan Pengadilan Internasional Hal. 6 JUSTIÇA: Hukuman Yang Tidak Adil Hal. 7 PEMBERDAYAAN RAKYAT: Yayasan Raimaran Hal. 8 - 9 TEROPONG KEBIJAKAN: Peran Lembaga Keuangan Internasional Hal. 10 Aparat Melanggar HAM Hal. 11 HAK ASASI: Serious Crime Unit Hal. 12 INSTRUMEN HAM: Konvenan Hak Sipil dan Politik Hal. 13 Hak Anak Menurut Aturan Internasional Hal. 14 GUGAT: Program Alfabetização Hal. 15 SERBA-SERBI Hal. 16 AMI LIAN: Pengadilan Bukan Prioritas Hal. 16
T
imor Lorosae perlu pengadilan internasional untuk kejahatan 1999 atau tidak? Ini pertanyaan penting tidak hanya bagi para pemimpin pemerintah, termasuk para anggota Parlemen Nasional, tetapi juga bagi rakyat. Terlebih bagi para korban kekerasan dan keluarga mereka. Sejak awal, kalangan aktivis hak asasi manusia di Timor Lorosae menginginkan pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku kekerasan 1999. Ada dua alasan utama. Pertama, badan peradilan Indonesia begitu korup dan rendah kualitasnya. Kedua, para pelaku utama kekerasan tersebut adalah pejabat-pejabat TNI sementara TNI sendiri masih dominan posisinya dalam rezim yang berkuasa di Indonesia. Ketiga, Timor Lorosae tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk mengadili mereka dan para pelaku itu berada di Indonesia. Alasan ini diperkuat oleh jenis kejahatan itu sendiri. Kekerasan-kekerasan yang terjadi di Timor Lorosae 1999 itu menurut hukum internasional tergolong “kejahatan terhadap umat manusia” (crime contra humanidade). Untuk kejahatan ini berlaku yurisdiksi universal. Artinya, jika terjadi kejahatan jenis ini, masyarakat internasional punya tanggungjawab untuk mengadili. Namun, masyarakat internasional memberikan kepercayaan kepada pemerintah Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan 1999. design by nobodycorp.
DIREITO UTAMA
Sikap Pemimpin
A
da perbedaan sikap di antara pe mimpin Timor Leste mengenai keadilan bagi kejahatan terhadap umat manusia di Timor Leste. Berkali-kali Xanana Gusmão – sejak sebelum menjadi Presiden Republik – mengatakan bahwa pengadilan internasional bukanlah prioritas bagi Timor Leste. Ia seolah mengkompromikan kebutuhan keadilan rakyat dengan bantuan luar negeri yang diharapkan datang untuk “menolong” Timor Leste memenuhi kebutuhan lain yang menurutnya lebih mendesak, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Sikap lain dikemukakan oleh Perdana Menteri Marí Alkatiri. Ketika ditanya oleh seorang aktivis Indonesia dalam pertemuan dengan gerakan solidaritas internasional sehari setelah penyerahan kedaulatan 20 Mei 2002, ia menjawab, “Saya akan senang sekali kalau kalian menyuarakan ini [pengadilan internasional] di dunia internasional!” Sikap ini sejalan dengan sikap mantan Uskup Dili Dom Carlos Filipe Belo. Uskup Belo beberapa kali menyatakan perlunya pengadilan internasional. Terakhir, ketika menolak bersaksi pada Pengadilan Hak Asasi Manusia di Jakarta, ia mengatakan bahwa dirinya hanya mau bersaksi di sidang pengadilan internasional. Pemimpin lain yang mengemukakan pendapatnya adalah Wakil Menteri Kehakiman beberapa hari setelah keluarnya vonis pengadilan untuk Eurico Guterres dan Abílio Osório Soares. Menurutnya, Timor Leste akan mengupayakan pembentukan pengadilan internasional agar rakyat bisa mendapatkan keadilan. Tetapi Menteri Luar Negeri José Ramos-Horta justru belum pernah secara terbuka menyatakan sikapnya. Departemen Luar Negeri sepertinya juga tidak menjadikan pembentukan pengadilan internasional sebagai agenda kerja diplomasinya. Padahal departemen ini yang seharusnya memperjuangkan ini, karena keputusan pembentukan pengadilan tersebut berada di Dewan Keamanan PBB!
2
Tampak sekali ada ketidakmauan untuk mendukung pembentukan pengadilan internasional, termasuk dari dalam negeri sendiri. “Banyak komentar yang mengatakan bahwa pengadilan internasional tidak perlu. Mereka mengutamakan hubungan diplomatik antara kedua negara ini [Timor Leste dan Indonesia, Red.] Presiden Xanana sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berbicara tentang pengadilan internasional,” kata Filomena Reis dari Aliansi Nasional untuk Pengadilan Internasional (ANPI), suatu gabungan organisasi-organisasi Timor Leste yang memperjuangkan pengadilan internasional untuk kejahatan 1999. Mungkin banyak yang tidak memperhatikan, bukan sekali saja Xanana Gusmăo menolak pengadilan internasional. Pada saat berkampanye untuk Pemilihan Umum Presiden 2001, ia menyatakan bahwa pengadilan untuk kejahatan 1999 bukan prioritas. Hal yang sama dikatakannya ketika berkunjung ke New York. Alasannya, banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak bagi rakyat Timor Leste, seperti kesehatan, lapangan kerja, dan pendidikan. Seolah menentang pendapat Xanana Gusmăo, dalam himbauan pastoral yang dikeluarkan Juni 2002, Uskup Dili saat itu, Dom Carlos Ximenes Belo menyatakan bahwa memang banyak kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. “Tetapi harus diingat bahwa keadilan adalah salah satu kebutuhan dasar yang mendesak … dan bahwa salah satu tujuan perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae adalah untuk mendapatkan keadilan,” tegasnya (Amnesti dan Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Himbauan Pastoral Uskup Dioses Dili Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, halaman 6). Tentang pengadilan internasional, sikap Uskup Belo jelas. “Saya hanya bersedia untuk menghadiri serta memberi kesaksian di hadapan suatu pengadilan internasional yang dapat diorganisir oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri dan digelar di Bumi Timor Leste,” tulisnya dalam surat terbuka pada 20 Desember 2002. Bahwa pengadilan internasional bukan perkara yang mudah itu disadari oleh para aktivis hak asasi manusia. “Negara kita kecil, tetapi dengan berjuang selama 24 tahun lebih, kita berhasil merebut kemerdekaan. Untuk pengadilan internasional pun kita harus berjuang keras melalui jalan yang berliku-liku. Bukankah dulu penguasa pendudukan Indonesia mengatakan bahwa kemerdekaan Timor Leste ‘mimpi di siang bolong’? Sekarang mimpi itu sudah menjadi kenyataan!” kata Filmomena Reis. Olandina Caeiro Alves, direktur organisasi penegakan hak perempuan dan anak-anak ET-WAVE (East Timor Women Against Violence and for Children Care) menegaskan perlunya organisasiorganisasi non-pemerintah bersatu dan mendekati pemerintah dan para pemimpin. “Untuk meyakinkan mereka bahwa penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste hanya bisa dicapai melalui pengadilan internasional,” katanya kepada Direito. Selain itu, masih menurut Olandina Caeiro, organisasi-organisasi non-pemerintah harus mulai menyusun strategi dan mencari jalan untuk mendapatkan dukungan dari luar. “Jangan berpikir bahwa kita beberapa organisasi yang ada di sini berteriak, kita akan menang. Kita harus kembali menggalang solidaritas internasional, mencari dukungan dari organisasi-organisasi hak asasi di luar negeri,” katanya. Kata-kata ini seakan mengingatkan pada satu hal yang belakangan agak dilupakan banyak pihak. Yaitu, bahwa perjuangan kemerdekaan Timor Leste bisa tetap menjadi agenda di PBB justru karena dukungan dari organisasi-organisasi solidaritas internasional, bukan dari negara-negara besar yang justru berkepentingan mendukung pemerintah militeris Indonesia. edisi 21 - Januari 2003
DIREITO UTAMA
Pengadilan Internasional itu Seperti Apa? Setelah pengadilan Nuremberg yang dibentuk untuk mengadili kejahatan perang pada masa Perang Dunia II, ada dua pengadilan pidana internasional, yaitu Pengadilan Pidana Inter nasional untuk bekas Yugoslavia dan Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda. engadilan Pidana Internasi onal untuk Bekas Yugosla via (PPIBY) dibentuk setelah terjadinya konflik serius pada 1991-1995 menyusul perpecahan Republik Federal Yugoslavia. Komisi Pakar PBB (Komisi Balkan) yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB bekerja selama dua tahun dan menemukan bukti terjadinya genosida, kejahatan terhadap umat manusia, dan pelanggaran berat hukum humaniter internasional (Konvensi Jenewa mengenai perang). Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (PPIR) dibentuk setelah Komisi Pakar PBB (Komisi Rwanda) menyimpulkan terjadinya pembunuhan sistematis terhadap setengah sampai satu juta orang etnis Tutsi di Rwanda dari 6 April 1994 sampai 15 Juli 1994. Komisi ini menyimpulkan terjadinya genosida, kejahatan terhadap umat manusia, dan pelanggaran hukum humaniter internasional. PPIBY bertempat di Den Haag ( Belanda). Wewenangnya mengadili pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di dalam wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991. Sedang PPIR bertempat di Arusha (Tanzania), dengan wewenang dibatasi pada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi antara 1 Januari 1994 dan 31 Desember 1994 yang dilakukan dalam wilayah Rwanda dan di wilayah negara-negara tetangga. Dua pengadilan ini terdiri dari tiga organ, yaitu Majelis Hakim, Kantor Panitera, dan Kantor Penuntut Umum. Majelis Hakim terdiri dari tiga Majelis Persidangan dan satu Majelis Banding. Majelis Persidangan beranggotakan tiga orang hakim dan Majelis Banding lima orang hakim. Setiap hakim dipilih oleh Majelis Umum PBB dan bekerja untuk waktu empat tahun. Kantor Panitera menjalankan
P
edisi 21 - Januari 2003
tiga fungsi: membantu Majelis Hakim dalam pekerjaan yudisial; mengurus pengadilan; dan menjalankan administrasi. Tugasnya termasuk penjadwalan kasus dan ruang sidang, memberikan penerjemahan, transkripsi, keputusan dan perintah resmi, penelitian dan penyusunan rancangan, serta perlindungan saksi dan korban. Karena tugasnya banyak, Kantor Panitera menggunakan 70-75% dari selu-
dan 16 Pembela. Sebuah Tim Persidangan terdiri dari satu orang Pembela Hukum Senior, dua orang Pembela, seorang Pejabat Hukum, seorang asisten pendukung, dan seorang Manager Kasus. Kantor Penuntut Umum juga dilengkapi dengan Unit Informasi dan Bukti yang terdiri dari 60 staf. Tugasnya adalah memproses dan menyimpan bukti, dokumen, dan informasi lainnya.
Keluarga korban pembantaian St. Cruz 1991. Foto: Rogério Soares
ruh anggaran pengadilan. Kantor Penuntut Umum bertugas menyelidiki kejahatan dan menuntut kejahatan. Kantor Penuntut Umum di Den Haag mempunyai 346 staf yang dibagi ke dalam Bagian Penyidikan dan Penuntutan. Bagian Penyidikan dilengkapi oleh Unit Forensik, Tim Analisis Militer, Tim Riset, Unit Intelijen dan Unit Pelayanan Sensitif. Bagian Penuntutan terdiri dari Seksi Persidangan yang terdiri dari delapan orang Pembela Hukum Senior, delapan orang Pejabat Hukum, delapan orang asisten pendukung, delapan orang manager kasus,
Anggaran dua pengadilan ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB. Anggaran tahunan PPIBY untuk 2000-2001 besarnya USD 96.443.900. Selain itu, PPIBY menerima sumbangan sukarela sebesar USD 32 juta. Stafnya berjumlah 968. Sementara anggaran tahunan PPIR 2000-2001 adalah USD 86.154.900. Stafnya berjumlah 810. Anggaran tahunan dua pengadilan tersebut merupakan 10 persen dari seluruh anggaran PBB. Untuk menyelesaikan tugas masing-masing, kedua pengadilan tersebut memerlukan waktu sepuluh tahun lagi dan anggaran USD 2 milyar. 3
DIREITO UTAMA
LANGKAH MENUJU PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL Bagi para aktivis gerakan hak asasi manusia di Timor Lorosae maupun di Indonesia, pengadilan pidana inter nasional merupakan satu-satunya pilihan yang masuk akal untuk mengadili kejahatan terhadap umat manusia di Timor Lorosae. Bagaimana cara untuk membentuk pengadilan ini? engadilan internasional un tuk mengadili kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap umat manusia yang ada hingga saat ini adalah suatu pengadilan ad hoc (sementara, tidak tetap) yang dibentuk untuk mengadili satu kasus tertentu yang merupakan kejahatan internasional. Misalnya Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia dibentuk untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia yang terjadi di negara-negara pecahan Yugoslavia sejak 1991. Pengadilan tetap yang ada adalah Mahkamah Keadilan Internasional (International Court of Justice) yang berkedudukan di Den Haag (Negeri Belanda), yang wewenangnya adalah mengadili sengketa antar negara. Pengadilan ini tidak punya wewenang mengadili kasus pidana seperti kejahatan perang, genosida atau kejahatan terhadap umat manusia. Badan yang berwenang membentuk suatu pengadilan pidana internasional adalah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan memiliki wewenang eksklusif untuk “menentukan keberadaan setiap ancaman terhadap kedamaian, pelanggaran kedamaian atau tindakan agresi, dan harus membuat rekomendasi atau memutuskan tindakantindakan apa yang harus diambil … untuk memelihara atau memulihkan kedamaian dan keamanan internasional.” Jika terjadi tindakan-tindakan seperti disebutkan itu, Dewan Keamanan berwenang melakukan berbagai jenis tindakan ter-
P
4
Menuntut pengadilan pelaku kekerasan. Foto: Rogério Soares
masuk membentuk pengadilan pidana intenasional. Sebelum membentuk pengadilan internasional, Dewan Keamanan lebih dulu membentuk komisi untuk mempelajari apakah telah terjadi tindakan yang merupakan “ancaman terhadap keamanan dan kedamaian internasional, pelanggaran kedamaian internasional atau tindakan agresi.” Setelah komisi bersangkutan menyampaikan laporannya, Dewan Keamanan bisa mengeluarkan resolusi untuk membentuk pengadilan pidana internasional khusus mengadili kasus bersangkutan. Misalnya, sebelum mengeluarkan resolusi pembentukan Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, Dewan Keamanan membentuk Komisi Pakar PBB untuk mempelajari bukti-bukti terjadinya genosida dan pelanggaran hukum internasional mengenai perang. Setelah terbentuk suatu pengadilan pidana internasional, setiap negara anggota PBB
memiliki kewajiban mematuhi setiap keputusannya. Karena resolusi Dewan Keamanan bersifat mengikat bagi semua anggota PBB. Biaya pengadilan tersebut berasal dari dana sumbangan wajib PBB. Selain itu, pengadilan tersebut bisa menerima sumbangan sukarela dari negara mana saja yang bersedia. Jadi pengadilan pidana internasional adalah pengadilan yang dibentuk oleh PBB berdasarkan resolusi Dewan Keamanan. Agar terbentuk pengadilan seperti itu, pertama harus ada negara yang mengajukan usulan agar masalah ini menjadi agenda Dewan Keamanan. Supaya usulan bisa diterima, negara tersebut harus mencari dukungan dari negaranegara anggota Dewan Keamanan. Harap dicatat bahwa tidak semua negara anggota PBB menjadi anggota Dewan Keamanan. Anggota Dewan Keamanan berjumlah 15 negara, lima adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, edisi 21 - Januari 2003
DIREITO UTAMA Republik Rakyat Cina, dan Russia, dan sepuluh anggota tidak tetap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB. Sebenarnya sejak akhir Juni 2002 telah berlaku Statuta Roma, suatu perjanjian internasional tentang pembentukan pengadilan pidana internasional tetap, yang disebut Mahkamah Pengadilan Pidana Internasional. Dengan adanya pengadilan tetap ini, jika terjadi genosida, kejahatan terhadap umat manusia, dan kejahatan perang, tidak lagi perlu dibentuk pengadilan pidana internasional ad hoc melalui Dewan Keamanan PBB. Mahkamah Pengadilan Pidana Internasional yang berkedudukan di Den Haag bisa langsung turun tangan mengadili kasus tersebut. Tetapi Statuta Roma hanya berlaku untuk kejahatan yang terjadi setelah terbentuknya Mahkamah Pengadilan Pidana Internasional. Pengadilan ini tidak bisa mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia di Timor Leste yang terjadi pada 1975-1999.
kan oleh para diplomat perjuangan kemerdekaan Timor Leste, mulai Delegasi Luar Negeri FRETILIN, kemudian Frente Diplomatica CNRM sampai CNRT. Karena dulu dunia internasional belum mengakui Timor Leste sebagai negara merdeka, maka para diplomat frente diplomatica kita berjuang melalui negara-negara lain, seperti Angola, Moçambique, Republik Rakyat Cina, Portugal, dan lain-lain. Untuk memperkuat usulan tersebut, para diplomat Timor Leste harus mencari dukungan dari negara-negara anggota PBB. Pengalaman perjuangan Timor Leste membuktikan bahwa sikap negara-negara besar tidak ditentukan oleh pertimbangan keadilan dan kebenaran, tetapi oleh kepentingan ekonomi-politik masing-masing. Oleh karena itu, para diplomat Timor Leste harus mengerahkan segala kemampuannya untuk meyakinkan negara-negara besar bahwa pengadilan pidana internasional untuk kejahatan yang terjadi di Timor Leste di masa pendu-
Keluarga korban pembantaian di Gereja Suai. Foto: Fokupers
Jalan bagi Timor Leste Jika apa yang harus dilakukan agar bisa dibentuk pengadilan pidana internasional untuk Timor Leste? Pemerintah RDTL, dalam hal ini wakil tetapnya di PBB, harus mengupayakan agar masalah ini menjadi agenda Dewan Keamanan PBB. Upaya seperti inilah yang dulu dilakuedisi 21 - Januari 2003
dukan Indonesia itu sejalan dengan kepentingan mereka. Meskipun ini sulit, tetapi bukan tidak mungkin. Perjuangan kemerdekaan kita sendiri membuktikan, apa yang sepertinya tidak mungkin hari ini ternyata menjadi kenyataan beberapa tahun kemudian. Dukungan juga harus dicari
dari negara-negara kecil. Mereka bisa membantu kita dalam mendesak negara-negara besar. Untuk mendukung upaya tersebut, banyak hal yang bisa dilakukan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO). Sikap negara-negara besar hanya bisa berubah jika di dalam negeri mereka ada desakan yang kuat dari masyarakat. Organisasi-organisasi solidaritas yang dibentuk oleh masyarakat di negara-negara tersebutlah yang melakukan desakan dan tekanan kepada pemerintah masing-masing, sehingga mengubah sikap pemerintah mereka menjadi mendukung kemerdekaan Timor Leste. Kerjasama dengan organisasi-organisasi seperti ini yang telah terjalin sejak dulu perlu dilanjutkan dan bahkan diperkuat sekarang. Organisasi-organisasi Timor Leste juga perlu melanjutkan kerjasama dengan organisasi-organisasi hak asasi regional dan internasional, seperti Amnesty International. Sebagian dari mereka memiliki hak untuk berbicara di sidang-sidang badan PBB seperti Komisi Hak Asasi Manusia. Dengan kerjasama organisasi-organisasi ini, organisasi-organisasi Timor Leste bisa menyuarakan tuntutan pembentukan pengadilan internasional di badan-badan PBB. Kegiatan seperti itulah yang dulu dilakukan untuk perjuangan kemerdekaan Timor Leste, baik oleh para diplomat FRETILIN, CNRM, CNRT, dan organisasi-organisasi non-pemerintah Timor Leste. Ini juga yang harus dilakukan untuk memperjuangkan pengadilan pidana internasional bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia di masa pendudukan Indonesia. Yang juga perlu dilakukan oleh adalah mendukung pengorganisasian para korban kejahatan terhadap umat manusia di Timor Leste dan keluarga mereka. Tuntutan akan keadilan akan menjadi sangat kuat kalau para korban sendiri yang menyuarakannya. Karena para korban adalah pihak yang secara langsung dirugikan. 5
DIALOG 1999.
Flaviano Lemos: Korban Membutuhkan Pengadilan Internasioal Asosiasi Keluarga Korban Orang Hilang menolak pendapat Presiden RDTL Xanana Gusmão tentang tidak perlunya pengadilan internasional. Flaviano Magno Lemos, dilahirkan di Ermera, 5 Juli 1960, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara. Ayahnya, Sebastião Lemos, salah satu komandan Falintil di Fronteira Norte, meninggal saat invasi. Dua saudaranya juga meninggal ketika invasi, dan satu lagi meningal dibunuh milisi anti-kemerdekaan pada 1999. Lulusan quarta classe Colegio Maliana ini melanjutkan sekolah di Sekolah Teknik Dili tapi tidak sampai selesai karena golpe UDT dan invasi Indonesia. Berikut ini wawancara Koordinator Umum Asosiasi Keluarga Korban Orang Hilang dengan Rogério Soares dari Direito. Bagaiman proses mendirikan AKKOH? AKKOH didirikan pada 30 Agustus 2000 oleh para keluaga korban pada salah satu pertemuan di Aula CNRT
di Balide, Dili, bertepatan dengan Kongres Nasional CNRT. Karena bertepatan dengan kongres CNRT, kami tidak bisa membuat acara untuk memperkenalkan asosiasi ini. Asosiasi ini sudah berjalan selama dua tahun di 13 distrik. Selama dua tahun saya menjadi kordinator di distrik Ermera. Saya menjadi kordinator karena anggota keluarga saya ada yang hilang dalam kekerasan setelah Referendum 1999. Saya menghimpun data dan informasi tentang keluarga yang hilang di distrik Ermera secara sukarela tanpa bantuan dari siapa pun. Saya menjalin kerjasama dengan beberapa organisasi non-pemerintah nasional yang bekerja di bidang hak asasi manusia. AKKOH berada di bawah naungan Comissão dos Direitos Humanos de Timor Leste (CDHTL, sebuah organisasi non-pemerintah hak asasi manusia yang berdiri setelah Referendum 1999, Red.). Pada 6 Agustus 2002 kami mengadakan pertemuan seluruh kordinator AKKOH dari 13 distrik. Dalam pertemuan ini saya dipilih sebagai Kordinator Umum AKKOH berkedudukan di Dili. Karena itu saat ini saya bekerja di Dili dalam mengkoordinasikan hubungan keluarga korban dengan pemerintah.
Apa tujuan AKKOH? Para keluarga korban yang berkumpul mendirikan asosiasi ini, menganggap bahwa asosiasi perlu dibentuk untuk mencari keadilan bagi para korban kekerasan. Kalau berbicara sendiri-sendiri akan sulit mendapat tanggapan. AKKOH bekerja mencari dan mengumpulkan semua data tentang korban kejahatan kemanusiaan yang dialami rakyat selama dan setelah referendum 30 Agustus Flaviano Lemos. Foto: Rogério Soares 6
Apa yang dilakukan AKKOH untuk mendapatkan keadilan? Kami berpendapat bahwa keadilan bagi para korban hanya bisa tercapai dengan terbentuknya sebuah pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan terhadap umat manusia yang terjadi di Timor Lorosae. Hanya pengadilan internasional yang bisa memberikan keadilan kepada kami. Oleh karena itu kami meminta kepada sesama organisasi non-pemerintah Timor Lorosae maupun di luar negeri untuk bersama-sama memperjuangkan terbentuknya pengadilan internasional. Kami juga meminta kepada pemerintah Timor Lorosae untuk mencari jalan agar pengadilan internasional bisa didirikan oleh PBB.
Presiden RDTL Xanana Gusmão di New York yang mengatakan bahwa pengadilan internasional bukan prioritas bagi rakyat Timor Lorosae. Apa tanggapan Anda? Karena Presiden berbicara atas nama bangsa dan negara, menurut saya ucapan itu tidak benar. Apakah selama ini pemerintah sudah memperhatikan nasib para korban yang mengorbankan nyawa mereka demi bangsa ini? Selama ini luka hati mereka belum diobati. Bahkan tambah disakiti lagi oleh politik rekonsiliasi yang didengungkan oleh pemerintah. Demi rekonsiliasi, milisi yang dulu membunuh dan memperkosa orang, saat ini ada yang sudah kembali tetapi dibiarkan begitu saja, tidak diadili. Para korban dan keluarga diam menahan rasa sakit hati. Ini semata-mata hanya karena menghargai rekonsiliasi. Para korban memerlukan pengadilan internasional supaya bisa mendapatkan keadilan. Karena itu apa yang dikatakan oleh Presiden Xanana itu saya tidak setuju. Para pelaku yang dulu terlibat dalam kejahatan saat ini ada yang sudah kembali. Tetapi mereka dibiarkan begitu saja. Kalau begitu terus maka rasa sakit hati tidak pernah akan berakhir. Selama rakyat merasakan sakit hati maka semua proses pembangunan bangsa ini tidak berjalan dengan baik. edisi 21 - Januari 2003
JUSTIÇA
PENGADILAN AD HOC TERBUKTI TIDAK ADIL ejak awal, kalangan organisasi hak asasi mau pun para korban kekerasan 1999 di Timor Leste meragukan Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia yang dibentuk pemerintah Indonesia bisa memberikan keadilan. Pasalnya, pengadilan Indonesia dikenal korup dan tidak kompeten, serta tidak independen terhadap TNI. Putusan hukum terhadap Bupati Covalima Kolonel Herman Sediono dan Komandan Koramil Suai Letnan Satu Sugito membuktikan ketidakmampuannya. Terdakwa yang semuanya perwira militer itu diputus bebas. “Kami tidak percaya pengadilan yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia. Kami tahu sifat Indonesia selama 24 tahun. Pengadilan di Indonesia hanya berpihak pada mereka yang berkuasa dan golongan yang kaya. Mereka yang mempunyai uang akan menang dan kita yang tidak punya uang akan kalah walaupun kita benar,” kata Eliza dos Santos, yang salah satu anggota keluarganya mati dalam pembantaian oleh milisi dan TNI di Gereja Liquiça. Pengadilan terhadap para pelaku kekerasan 1999 terkesan sebagai sandiwara. Bupati Covalima dan Komandan Koramil Suai dibebaskan karena pengadilan menganggap mereka sudah melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghentikan kekerasan. Tuduhan yang diberikan dalam surat dakwaan untuk mereka memang lemah. Mereka hanya dituduh tidak melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghentikan bentrokan antara dua kelompok (pro-otonomi dan pro-kemerdekaan). Padahal tindakan mereka jauh lebih besar daripada itu. Merekalah yang membentuk dan mengarahkan aksiaksi kelompok bersenjata pro-otonomi yang dikenal sebagai “milisi.” Tentu saja ini mengecewakan keluarga korban yang meninggal dalam pembantaian di Gereja Suai. “Yang melakukan pembunuhan dan pembakaran rumah rakyat adalah milisi. Tetapi mereka melakukannya karena disuruh dan diberi uang oleh militer Indonesia. Jadi sebenarnya militer Indonesia yang mengadu domba antara kita, mereka yang menciptakan permusuhan antara kita sesama orang Timor Lorosae,” kata Rosa, seorang ibu dari tiga anak, yang suaminya dibawa pergi oleh anggota milisi dan TNI setelah Referendum 1999 dan tidak kembali sampai sekarang. “Mereka harus bertanggungjawab atas semua kejadian kekerasan di Timor Lorosae, tidak hanya tragedi Suai,” katanya. Karena para pelaku kekerasan adalah militer Indonesia, pengadilan Indonesia tidak akan bisa bersikap adil. ”Mengapa yang mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas pembantaian di Gereja Suai dan di tempat-tempat lain di Timor Lorosae adalah pengadilan yang di Jakarta itu?” kata Rosa dengan keheranan. “Pembunuh tidak akan bisa
S
edisi 21 - Januari 2003
menghukum dirinya sendiri,” tegasnya. Menurutnya, Karena para pelaku melakukan kekerasan yang berat itu di Timor Lorosae, maka untuk mengadili mereka harus dibentuk pengadilan internasional di Timor Lorosae. “Jika pengadilan internasional dilakukan di Timor Lorosae, menurutnya, korban dan keluarga mereka bisa memberi kesaksian,” lanjutnya. Sementara itu, Domingas dos Santos, salah seorang yang pernah memberikan kesaksian pada Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta menyatakan penyesalannya. “Saya pergi ke Jakarta untuk memberikan kesaksian mengenai kekerasan yang terjadi di Suai. Tetapi setelah kembali, kami mendengar berita di radio bahwa mereka [para terdakwa] tidak dikenai hukuman, malah dibebaskan. Saya sendiri tidak tahu apakah Pengadilan Ad Hoc itu memberikan keputusan yang adil sesuai kebenaran atau hanya untuk melindungi pelaku,” katanya kesal. Menurut Domingas dos Santos, sekarang setelah memberikan kesaksian di Jakarta, sebagai keluarga korban ia merasakan beban pikiran yang semakin bertambah. Sebab anggota-anggota milisi yang ia sebutkan namanya di Pengadilan Ad Hoc, ada yang sudah kembali ke Timor Lorosae. “Kami keluarga korban yang jadi saksi merasa takut dan tidak aman. Sebab mereka yang kami sebutkan namanya di pengadilan pada waktu itu, kemungkinan besar akan mencelakakan kami untuk menghilangkan bukti kesaksian dan mereka ini sekarang sudah ada di sini,” katanya dengan nada sedih. Domingas dos Santos juga heran bahwa di Timor Lorosae sudah ada hukum, tetapi para anggota milisi yang terlibat kekerasan mesih belum diadili. “Mereka sekarang berkeliaran, bahkan ada yang mempermainkan kami,” katanya dengan sedih. Ia sangat berharap agar para pemimpin negeri ini segera menegakkan hukum. “Kalau hukum dan keadilan tidak ditegakkan, di masa depan kekerasan dan pembunuhan akan terus berulang di Timor Lorosae. Ini akan terus menyuburkan budaya balas dendam,” katanya. Ia sangat mengkhawatirkan bahwa kalau tidak dilakukan pengadilan, akan ada orang yang mencari cara sendiri-sendiri untuk mendapatkan keadilan menurut pengertian mereka sendiri. “Ini akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kita,” katanya. Senada dengan itu, Rosa mengatakan bahwa pemerintah Timor Lorosae berkewajiban menciptakan keadilan. “Kami akan terus menunggu sampai kapan hukum dan keadilan bisa ditegakkan,” katanya. Jika pemerintah belum menegakkan keadilan seperti sekarang ini, menurutnya, keluarga para korban akan melakukan tuntutan kepada pemerintah. Rogério Soares
7
PEMBERDAYAANRAKYAT
YAYASAN RAIMARAN (MAUBARA)
UPAYA PETANI MEMAJUKAN DIRI Membangun negeri yang baru merdeka ini tidak selamanya dibutuhkan sarjana yang bertaburan dengan gelar. Yang dibutuhkan adalah semangat ukun rasik aan dan kemampuan mewujudkannya dalam tindakan sehari-hari sesuai dengan keadaan dan kebutuhan rakyat. al inilah yang dibuktikan oleh sejumlah petani di Maubara, Distrik Liquiça. Wilayah yang kering kekurangan air ini produk utamanya adalah jagung, padi, dan kopi. Para petani di sana yang seharihari hidup sederhana telah melakukan tindakan yang sangat patut dipuji. Sadar bahwa negeri yang kecil ini harus mengandalkan pertanian sebagai sumber kehidupan yang utama, mereka menerapkan dan mengembangkan metode pertanian organik. Yaitu pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia untuk pupuk maupun pestisida, tetapi menggunakan bahan-bahan dari alam. Metode pertanian seperti inilah yang sekarang
H
Augusto da Costa, Ketua Yayasan Raimaran. Foto: Rogério Soares/Direito.
ini banyak dikembangkan di negeri-negeri lain, termasuk negeri-negeri maju, karena selain tidak merusak lingkungan juga murah biayanya, serta membuat petani mandiri tidak tergantung pada bahan-bahan dari luar negeri. Karena itu metode pertanian ini sering juga disebut pertanian berkelanjutan, karena memungkinkan petani terusmenerus bertani dengan hasil yang bisa meningkatkan penghidupan mereka. Organisasi petani bernama Yayasan Raimaran ini diketuai oleh 8
Augusto da Costa, seorang petani yang tidak sempat menikmati pendidikan formal. “Kegiatan kelompok kami prioritaskan pada kehidupan petani yang tertinggal,” kata Augusto kepada Jaime Soares dari Direito. Yayasan Raimaran terdiri dari 17 kelompok petani. Dari 17 kelompok itu, 14 kelompok mengolah sawah (pertanian lahan basah) dan kebun (pertanian lahan kering), sedang tiga kelompok memelihara sapi perah. Untuk pertanian lahan basah mereka mengolah tanah di kawasan Sungai Loes. Loes adalah pusat produksi padi para petani yang tergabung dalam Yayasan Raimaran. Sekarang luas seluruh lahan mereka adalah 370 hektar. Jumlah hasil gabah pada musim panen tahun lalu adalah 5.550 ton. Jadi setiap hektar sawah rata-rata memproduksi 15 ton gabah. Suatu jumlah yang besar, apalagi jika kita ingat bahwa para petani ini sama sekali tidak menggunakan bahan kimia. Ini membuktikan bahwa kita tidak perlu tergantung pada bahan masukan pertanian kimia produksi pabrik-pabrik besar di luar negeri seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Para petani anggota kelompok-kelompok yang tergabung dalam Yayasan Raimaran memberikan bukti bahwa pertanian organik di Timor Lorosae bisa memberikan produksi yang memuaskan, dan jelas tanpa merusak lingkungan. Kelompok yang memelihara sapi perah dua bertempat di Fatuvou dan satu di MaubaraLisa. Awalnya masing-msaing kelompok mendapatkan dua ekor sapi, yang merupakan bantuan dari Pemerintah Hongkong.
Sekarang sapi yang mereka miliki jumlahnya lebih dari 15 ekor. Kegiatan pertanian dan pemeliharaan sapi perah dikelola secara saling mendukung oleh kelompok-kelompok petani ini. Misalnya sapi perah yang dipelihara tidak hanya menghasilkan susu bagi kelompok peternak, tetapi juga memberikan tahi yang dioleh untuk dijadikan pupuk organik bagi para petani yang menanam sayur-sayuran atau tanaman lainnya. Sementara makanan untuk ternak diperoleh dari tanaman penahan seperti samtuku (alvezia) dan turi yang ditanam oleh para petani yang mengolah kebun. Para petani anggota kelompok juga patut dipuji karena kesadaran lingkungan mereka sangat tinggi. Lahan pertanian di kawasan Maubara, terutama untuk kebun, kebanyakan terletak di tanah-tanah miring di perbukitan. Dalam mengolah lahan miring di lereng ini mereka membuat petak bertingkat (terasering) untuk menjaga agar tidak unsur hara tidak terangkut oleh aliran air. Dengan cara ini, erosi juga bisa dicegah. Cara lain yang mereka lakukan untuk mencegah erosi adalah dengan menanam tanaman pelindung seperti lamtoro, waru, dan turi. Tanaman pelindung ini berfungsi ganda, selain pencegah erosi juga sumber makanan bagi ternak. Untuk mencegah erosi, Yayasan Raimaran tidak hanya menerapkan sistem pengolahan tanah yang sesuai dengan kondisi kemiringan tanah dan menerapkan terasering, tetapi juga mengadakan penghijauan kembali (reboisasi) wilayah atau hutan yang menjadi gundul akibat perbuatan manusia. Untuk itu Yayasan Raimaran saat ini melakukan pembibitan sebanyak sekitar 50.000 bibit dari berbagai jenis pohon. Taedisi 21 - Januari 2003
PEMBERDAYAANRAKYAT
Pembibiatan oleh anggota kelompok petani untuk penghijauan kembali. Foto: Yayasan Raimaran
naman untuk penghijauan kembali itu merupakan tanaman produktif yang bisa meningkatkan pendapatan petani, seperti nangka, kemiri, jati, trembesi, samtuku (alvezia), jeruk, mangga, lamtoro, gamal, kaliandra, dan kayu merah (ainaa). Agar kegiatan tersebut behasil seperti yang diinginkan, para anggota kelompok melakukan persiapan dengan mengikuti pelatihan mengenai cara penanaman kembali tanah yang gundul. Pelatihan ini diselenggarakan bekerjasama dengan organisasi pertanian berkelanjutan Permaculture Timor Lorosae. Keberhasilan Yayasan Raimaran ini tak terlepas dari cara kerja mereka. Supaya kegiatan yang dilaksanakan mengenai sasaran, terlebih dahulu dilakukan identifikasi tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh petani. “Kami harus melihat kesulitan yang dihadapi petani mulai dari teknik bertani sampai pada pemasaran hasil,” kata Augusto. Pendidikan juga unsur kunci dalam kegiatan Yayasan Raimaran. Selain latihan-latihan mengenai metode pertanian dalam kerangka pertanian berkelanjutan, kegiatan yang dilakukan adalah alfabetização (pemberantasan buta huruf). “Bisa membaca dan menulis itu sangat penting untuk memajukan keedisi 21 - Januari 2003
hidupan kita,” kata Augusto. Yayasan yang sukses mengorganisir petani di Maubara itu secara resmi berdiri di Timor Lorosae khususnya Subdistrik Maubara, Distrik Liquisa sejak tanggal 10 Oktober 1998. Inisiatif mendirikan yayasan itu berasal dari Augusto da Costa yang saat itu masih belum bisa membaca dan menulis. Awalnya putra Bikinlau, Maubara yang dilahirkan pada 12 Agustus 1968 itu mendirikan satu kelompok petani yang diberi nama Fo Liman Ba Malu (Mengulurkan Tangan Kepada Sesama) pada 1991 dengan anggota 12 orang. Dalam perkembangannya, pada 1992 mereka membentuk kelompok kredit kecil (Credit Union, CU) untuk membantu sesama petani di wilayah itu. Pada saat itu, kelompok ini mendapat dukungan dari ETADEP, organisasi non-pemerintah di Timor Lorosae yang bergiat di bidang peningkatan pendapatan kelompok masyarakat miskin. Modal awal kelompok kredit ini besarnya mencapai Rp 57.000.000 yang seluruhnya berasal dari para anggota. Pada tahun yang sama, anggota Fo Liman ba Malu bertambah mencapai 375 orang. Bertambahnya jumlah anggota dan modal yang berputar membuat datangnya dukungan
dari CIDA, suatu badan bantuan pembangunan dari Canada. Pada 1998, kelompok Fo Liman ba Malu diubah menjadi Yayasan Raimaran. Kegiatannya bertambah luas, mencakup pertanian dan lingkungan hidup. Tetapi kekerasan yang dilancarkan oleh milisi anti-kemerdekaan dan militer Indonesia untuk mencegah orang memilih kemerdekaan membuat seluruh peralatan Yayasan Raimaran habis dibakar. Anggota-ang gota milisi Besi Merah Putih bahkan sempat merampok uang organisasi ini yang jumlahnya cukup besar pada saat itu. Setelah merdeka, walaupun tidak memiliki peralatan dan modal, Augusto tidak kehilangan inisiatif. Ia kembali mengorganisir sesama petani dan mengaktifkan kembali Yayasan Raimaran. Untuk memperlancar kegiatan, Yayasan Raimaran bekerjasama dengan organisasi-organisasi Timor Lorosae seperti CDEP dan Perkumpulan HAK. Mereka juga mendapatkan bantuan dari luar negeri seperti dari Oxfam Australia dan JICA (badan bantuan pemerintah Jepang). Tetapi dalam seluruh kegiatannya, Yayasan Raimaran tetap berpegang teguh pada prinsip percaya pada kekuatan sendiri. Rogério Soares
9
TEROPONGKEBIJAKAN
Peran Lembaga Keuangan Internasional Di Timor Lorosae Timor Lorosae harus melihat kembali keanggotaannya dalam Bank Dunia dan IMF. Jangan sampai menjebak kita dalam ketergantungan ekonomi maupun politik.
L
embaga Keuangan Interna sional (LKI) yang terdiri dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasionl (IMF) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memberikan pinjaman kepada negara-negara yang menjadi anggotanya untuk program pembangunan infrastruktur dan pemberantasan kemiskinan, perbaikan ekonomi serta moneter. Belakangan semakin banyak kritik terhadap LKI. Lembaga ini dinilai bukannya membantu memperbaiki perekonomian suatu negara, malah memperparah dan lebih menguntungkan pihaknya sendiri. Seperti di Indonesia, ketika IMF menganjurkan swastanisasi perusahan-perusahaan negara serta pengurangan subsidi pemerintah atas pelayanan publik, ekonomi rakyat bukannya membaik, malah semakin parah. Pengalaman se-
macam ini terjadi di semua negara berkembang yang menjadi anggota IMF dan Bank Dunia. Untuk mencegah pengalaman tersebut terulang di Timor Leste, dan membuka wawasan masyarakat umumnya tentang LKI, Kelompok Kajian Lembaga Keuangan Internasional (yang dibentuk oleh Kdadalak Sulimutuk Institute, La’o Hamutuk, Instituto Sahe, dan Yayasan HAK) pada 7 Oktober lalu menyelenggarakan seminar untuk mengkaji keanggotaan Timor Leste dalam LKI. Dalam seminar itu, Perwakilan Bank Dunia untuk Timor Leste, Elizabeth Huybens, selalu menganjurkan kepada para peserta yang bertanya tentang program apa saja yang dilakukan oleh Bank Dunia di Timor Leste, supaya bertanya kepada pemerintah. Bank Dunia, katanya, hanya bisa memberi bantuan dana. Hal itu mengisyaratkan bahwa yang bertanggungjawab atas program Bank Dunia di Timor Leste adalah pemerintah. Dengan panjang lebar Huybens menguraikan kebaikan program-program Bank Dunia. Ketika pembicara lain dalam seminar ini mengungkapkan akibat buruk Bank Dunia, ia seperti tidak mau mendengarkan. Wakil IMF di Timor Leste dalam seminar ini juga bersikap sama dengan wakil Bank Dunia. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, ADB) adalah semacam Bank Dunia khusus untuk kawasan Asia. Lembaga ini memberikan dua jalur pinjaman. Pertama, jalur Ordinary Capital Resources (Sumberdaya Modal Biasa). Kedua, Asian Development
Micro Finance: Programnya ADB. Foto: Rogério Soares 10
Fund (ADF, Dana Pembangunan Asia) yang merupakan pinjaman lunak. Saat ini Timor Leste sudah mendapatkan ADF, karena dikategorikan sebagai negara dengan tingkat penghasilan terendah. Terdapat kekhawatiran dari sementara peserta seminar bahwa ADB dan institusi lainnya hanya mengunakan kesempatan itu untuk kepentingan negaranegara besar dan perusahaanperusahaan transnasional. Bantuan yang ditawarkan selintas sepertinya baik, tetapi sebenarnya adalah perangkap. Misalnya seperti yang dikatakan oleh Dr. Tim Anderson dari Aid Watch (Australia). Di Filipina ADB memberikan bantuan untuk program air minum, yang dalam jangka waktu tertentu perusahaan air minum harus diswastakan. Alasannya, swasta akan bisa menyediakan air minum dengan efisien dan harga yang lebih murah. Tetapi setelah program berjalan, harga air minum tidak terjangkau oleh rakyat miskin di sana. Tim Anderson, yang selama ini melakukan penelitian terhadap program-program ADB, juga menyoroti dana yang dikelola oleh ADB di Timor Leste semasa transisi. Menurutnya, untuk setiap proyek, ADB mengusulkan pembayaran USD 600,000 dari Trust Fund untuk empat orang konsultan internasional dalam jangka waktu 48 bulan. Ini berarti pembayaran USD 150.000 per tahun. Ini jelas merupakan pemborosan yang tidak seharusnya terjadi. Padahal, selama ADB melakukan kegiatan di Timor Leste, tidak ada perbaikan berarti dalam kehidupan masyarakat. “Dana bantuan yang diberikan selama masa transisi lebih banyak kembali ke luar negeri, melalui konsultan-konsultan yang didatangkan dari luar oleh ADB,” kata Anderson. Karena itu sangat keliru kalau pemerintah menaruh harapan penuh kepada LKI. Pada dasarnya LKI adalah lembaga pencari keuntungan, yang tujuan utamanya adalah mengumpulkan keuntungan untuk diri mereka sendiri! Julino Ximenes edisi 21 - Januari 2003
TEROPONGKEBIJAKAN
Mencari Cara Penyelesaian Masalah Tanah Pemerintah Portugis dan Indonesia meninggalkan persoalan tanah dan harta benda yang harus segera dicarikan jalan keluar nya. anyaknya persoalan tanah dan perumahan yang seka rang muncul di negeri kita, menjadi beban berat bagi pemerintah. Persoalan ini sangat sulit diselesaikan karena merupakan persoalan yang tertumpuk secara dari zaman kolonialisme Portugis dan pendudukan Indonesia dan diperumit oleh pembumihangusan 1999. Untuk mencari solusi, Yayasan HAK bersama Kadalak Sulimutuk Institute (KSI), mengorganisir satu diskusi publik tentang tanah dan harta benda di Knua Buka Hatene, Dili, 5 Oktober lalu. Diskusi tersebut melibatkan semua kalangan baik dari masyarakat, pemuda, parlemen dan pemerintah. Tujuan diskusi adalah melibatkan masyarakat dalam mencari alternatif penyelesaian masalah tanah dan harta benda. Dari diskusi diharapkan muncul usulan-usulan tentang mekanisme penyelesaian yang tepat untuk dijadikan kebijakan nasional. Dalam diskusi ini, Direktur Pertanahan dan Harta Benda (Land and Property) Pedro de Sousa menguraikan sejarah persoalan tanah di Timor Lorosae. Menurutnya, persoalan tanah begitu kompleks sehingga diperlukan identifikasi yang teliti sebelum bisa ditentukan metode penyelesaian dan dibuat peraturan mengenainya. Selain itu, perlu diselenggarakan dialog yang intensif dengan berbagai pihak. Hal senada diungkapkan oleh Jose da Costa, Hakim Pengadilan Negeri Dili. Ia mengemukakan bahwa pengadilan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa tanah. Ini disebabkan belum adanya undangundang yang mengaturnya. Sekarang ini, bedasarkan regulasi UNTAET, masih diberlakukan hukum Indonesia, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. “Undang-undang ini sebenarnya tidak cocok untuk menyelesaikan persoalan
B
edisi 21 - Januari 2003
Lahan sawah yang harus jelas kepemilikannya. Foto: R. Soares
pertanahan kita,” katanya. Sementara Anggota Parlemen Nasional Manuel Tilman (dari partai KOTA) mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengajukan kepada Parlemen rancangan peraturan mengenai harta kekayaan yang tidak bergerak. “Peraturan itu akan segera disahkan untuk mengatur harta dan kekayaan kita. Tetapi tidak tertutup kemungkinan akan dibuat amandemen apabila ada kekurangan,” katanya. Dalam diskusi yang sama, Ketua Dewan Solidaritas Mahasiswa Timor Lorosae Natalino de Jesus mengungkapkan perlunya tanahtanah yang kosong dan bebas supaya diserahkan kepada pemerintah, agar pemerintah bisa mengaturnya untuk kepentingan umum. “Tetapi dalam melakukan ini, pemerintah harus melibatkan masyarakat,” ujarnya. Para peserta diskusi banyak mengungkapkan persoalan tanah. Misalnya, ada tanah yang sudah dijual oleh pemiliknya pada zaman pendudukan Indonesia, oleh pemilik kedua tanah ini dijual lagi kepada orang lain. Sekarang pemilik pertama mengaku bahwa tanah tersebut masih miliknya ka-
rena dulu tanah tersebut hanya dipinjamkan. Ada tanah yang memiliki dua sertifikat yang berasal dari dua zaman yang berbeda. Sertifikat pertama dari pemerintah Portugis, yang kedua dari pemerintah Indonesia. Dua sertifikat itu dimiliki oleh orang yang berbeda sehingga sekarang timbul sengketa. Persoalan lain adalah adanya orang-orang yang menempati tanah dan bangunan milik orang lain yang terjadi setelah pembumihangusan 1999. Di antara mereka ada yang menguasai lebih dari satu rumah dan disewakan kepada orang lain. Umumnya para peserta menyatakan perlunya pemerintah melibatkan masyarakat dalam pembahasan rancangan peraturan pertanahan. “Sebaiknya Parlemen Nasional menciptakan satu mekanisme dengar pendapat, sebelum menetapkan peraturan yang menyangkut persoalan publik,” kara Rui Viana dari Yayasan HAK. “Parlemen dan Pemerintah bisa membentuk satu kelompok kerja di luar Parlemen untuk mendiskusikan penyelesaian masalah bersama rakyat,” katanya. Amado Hei 11
HAK ASASI
Penegak Hukum Melanggar Prosedur Penahanan Proses penahanan dan pemenjaraan adalah salah satu tugas bagi penegakan hukum. Untuk menjalankan tugas ini, secara konstitusional negara memberikan kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan dapat memenjarakan jika pengadilan telah membuktikan kesalahannya, tentu saja dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Untuk menjamin penghormatan pada hak asasi manusia tersebut, pada bulan Juli dan September 2002 Yayasan HAK melakukan pemantauan proses penahanan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) pada tahanan di penjara Gleno. Dari pemantauan tersebut, kami menemukan terjadinya tindakan pelanggaran terhadap prosedur penahanan para tahanan (tersangka pelaku tindak pidana). Pelanggaran prosedur berupa penahahan yang melebihi batas waktu yang ditentukan. Ini merupakan akibat dari proses persidangan yang berlarut-larut. Di penjara Gleno terdapat 21
orang narapidana dan 51 orang tahanan. Jadi jumlah orang yang dikurung di penjara Gleno adalah 72 orang. Dari para tahanan, 32 orang telah menjalani tahanan lebih dari empat bulan, bahkan ada yang telah ditahan selama lebih dari satu tahun tanpa diajukan ke pengadilan. Ini melanggar peraturan hukum (Regulasi No. 25/2000). Menurut ketentuan ini, polisi bisa menahan seorang tersangka untuk waktu paling lama 72 jam. Setelah kasusnya disampaikan kepada pengadilan untuk dilakukan sidang pendahulun (hearing), penahanan yang bersangkutan bisa diperpanjang selama satu bulan dan ini bisa diperpanjang lagi sampai lima kali, jika diperlukan untuk menyelesaikan investigasi kasusnya. Sehingga maksimum seseorang hanya bisa ditahan selama enam bulan. Dalam waktu itu, pokok perkaranya harus sudah disidangkan oleh pengadilan. Jika tidak, pengacara orang yang ditahan berhak mengajukan pembebasan bersyarat. Penahanan yang melebihi batas waktu tersebut dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang
sah. Juga tidak ada kejelasan sama sekali tentang kapan sidang pengadilan akan dilakukan. Dengan demikian banyak orang berada dalam tahanan tanpa suatu kepastian hukum. Pelaku pelanggaran tersebut adalah aparat penegak hukum negara RDTL seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara publik. Mereka bisa dikatakan telah melakukan “kelalaian dan penyimpangan yang serius” dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Karena mereka adalah aparat negara, maka pemerintah bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut. Kondisi para tahanan tersebut bertentangan dengan Konstitusi RDTL yang dalam pasal 1 menyebutkan bahwa negara ini didasarkan antara lain pada kehormatan martabat manusia. Dari sudut hak asasi manusia, telah terjadi pelanggaran hak tahanan atas persidangan yang efektif, untuk diperiksa atau diproses tanpa penundaan yang tidak perlu, serta hak untuk dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang tetap. Aniceto Guró Berteni Neves
Para tahanan di penjara Becora, Dili. Foto: Rogério Soares/Direito. edisi 21 - Januari 2003
12
INSTRUMEN HAM
KONENAN HAK SIPIL DAN POLITIK Kovenan Inter nasional Hak Sipil dan Politik yang merupakan turunan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin hak sipil dan politik telah diratifikasi oleh pemerintah RDTL. eklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah hukum internasional tertinggi yang mengandung nilai-nilai hak asasi universal. Salah satu turunan yang tertua adalah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang disepakati dunia internasional pada 1966. Konvenan ini ditetapkan sebagai hukum kebiasaan internasional yang mengatur hubungan antara individu dan negara, dalam hal ini menjamin hak individu dan menetapkan kewajiban negara. Nilai dasar yang dikandung Kovenen ini sebagai berikut. 1. Hak untuk menentukan nasib sendiri, artinya hak untuk hidup dan berkembang sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dikuasai, dimiliki dan digunakan sesuai dengan keinginan sendiri, tidak tergantung pada orang lain, pemerintah atau donor. Prinsip tercantum dalam pasal 1 Kovenan ini. 2. Persamaan dan nondiskriminasi, ini menekankan pada hakekat manusia sebagai makhluk ciptaan yang berkuasa. Semua orang yang dilahirkan di muka bumi ini sama kedudukan, harkat, dan martabatnya. Untuk itu tidak boleh dilakukan pembedaan antara individu yang satu dengan yang lain. Prinsip ini menentang segala bentuk perbedaan dan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kekayaan, agama, umur, asal-usul daerah atau kebangsaan, jenis kelamin, keyakinan dan pandangan politik. Berdasarkan prinsip ini, perbudakan dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan. Nilai-nilai ini tercantum dalam pasal 3, 4, dan 8. (3) Hak hidup, ini adalah hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Berdasarkan nilai ini, tidak boleh ada pembatasan hidup seseorang oleh siapa pun, dilarang mem-
D
edisi 21 - Januari 2003
Demostrasi salah satu kelompok politik di Dili. Foto: R. Soares
bunuh dan usaha-usaha lain untuk menghilangkan nyawa atau membatasi kehidupan seseorang. Termasuk dilarang adalah hukuman mati. Hak hidup tercantum dalam pasal 6. 4. Kebebasan, ini juga merupakan hak yang paling mendasar bagi kehidupan manusia. Setiap orang dilahirkan harus hidup dan berkembang secara bebas. Mereka harus memiliki kebebasan dasar untuk berkumpul dengan orang lain, berorganisasi dan menyatakan pendapat. Pasal mengenai hal ini adalah pasal 10, 12, 17, 18, 19, 21, dan 22. Termasuk dalam kebebasan ini adalah hak untuk membentuk keluarga dan perlindungan pada lembaga keluarga, serta kebebasan untuk menikah. Ini sesuai dengan pasal 23. 5. Keadilan, prinsip ini sangat penting terutama dalam kerangka kewajiban untuk menjamin penegakan hak asasi manusia. Semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Negara harus menjamin hak setiap orang atas keadilan, baik keadilan dalam arti sosial, politik maupun hukum. Prinsip ini me-
nempatkan hukum dalam kedudukan yang tertinggi dalam negara. Prinsip keadilan tercantum dalam pasal 7, 9, 11, 14, dan 15. Di samping prinsip-prinsip tersebut, ditegaskan mengenai pentingnya penghormatan dan pengakuan pada keberadaan dan hak kelompok-kelompok yang khusus dalam masyarakat seperti anak, etnik/ras, agama, bahasa. Kelompok-kelompok ini memiliki hak untuk dilindungi oleh negara karena posisinya yang rentan dalam masyarakat. Kovenan Hak Sipil dan Politik ini telah diratifikasi oleh Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) pada Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember 2002. Dengan ratifikasi tersebut, berarti kovenan ini menjadi instrumen hukum nasional yang menjamin hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik. Harapan kita, pemerintah tidak hanya secara resmi meratifikasinya, tetapi harus menjalankannya dalam tindakan. Aniceto Guró Berteni Neves (Kepala Divisi Pencari Fakta & Dokumentasi Perkumpulan HAK) 13
INSTRUMEN HAM
GUGAT
an bagi perkembangan anak dengan mengambil langkahlangkah hukum yang mengakui HAK ANAK MENURUT ATURAN aturan internasional dalam konstitusi dan undang-undang nasiINTERNASIONAL onal. Hak anak yang harus dilinHak anak bagi Timor Lorosae adalah sesuatu yang dungi itu mencakup golongan baru dipermasalahkan dalam masyarakat. Tetapi hak: secara inter nasional sudah ada ketentuan yang 1. Sipil politik, antara lain: (a) melindungi hak anak. hak untuk memperoleh dan ebelum menguraikan hak merlukan perlindungan khusus. mempertahankan identitas diri, anak, perlu dijelaskan siapa Inilah inti dari Konvensi ini. Di- (b) hak untuk bebas berekspreyang digolongkan sebagait sebutkan bahwa, “anak karena si, (c) hak untuk bebas berpikir, anak. Dalam pandangan masya- ketidakmatangannya dalam hal beragama dan berhati-nurani, rakat Timor Lorosae, anak ada- jasmani dan mental, memerlu- (d) hak untuk bebas berserikat, lah manusia yang karena belum kan pengamanan dan pemeliha- (e) hak untuk mendapatkan mandiri sehingga masih tergan- raan khusus termasuk perlin- perlindungan dalam kehidupan tung pada bantuan dan perto- dungan hukum yang layak se- pribadi, (f) hak untuk memperlongan orangtua. Mereka ini bi- belum dan sesudah kelahiran- oleh informasi secara layak, (g) asanya digolongkan lagi menja- nya.” hak untuk memperoleh perlidi anak usia di bawah lima taBagi masyarakat Timor Loro- ndungan dari penganiayaan dan hun (Balita) dan anak umur Se- sae agaknya hak anak merupa- perenggutan atas kebebasan. kolah Dasar (6-12 tahun), dan kan sesuatu yang baru diperma2. Sosial, ekonomi dan budaanak umur Sekolah Menengah salahkan di dalam masyarakat, ya, mencakup: (a) lingkungan (12-18 tahun). Di dalam pasal 1 terutama setelah adanya pendi- keluarga, yaitu anak-anak harus Konvensi Internasional tentang dikan hak asasi yang dilakukan dapat berkembang dalam lingHak Anak, yang disebut anak organisasi-organisasi non-peme- kungan keluarganya secara beradalah setiap manusia yang rintah baik melalui lokakarya, tanggungjawab, (b) pengasuhan berusia di bawah 18 tahun, ke- maupun kampanye informasi alternatif, anak-anak yang tidak cuali jika undang-undang dalam melalui media massa. Pendidik- mendapat perlindungan dalam negeri yang berlaku menentukan an tentang hak asasi anak da- keluarga, berhak mendapat kebahwa usia dewasa lebih ren- lam masyarakat Timor Lorosae luarga baru atau lembaga asuh dah dari ini. sesungguhnya adalah sebuah pengganti agar anak dapat berSelanjutnya Konvensi ini me- proses yang penting bagi per- kembang sebagaimana layaknyatakan bahwa anak me- kembangan anak khususnya nya, (c) kesehatan, setiap anak dan perkembangan bangsa berhak untuk mendapatkan pepada umumnya. layanan kesehatan, (d) kesejahPerlindungan hak anak teraan dasar, yaitu setiap anak demi perkembangan anak memiliki hak untuk memperoitu sendiri adalah sesuatu leh kehidupan yang layak secayang universal. Negara ra fisik, mental, spiritual, dan RDTL yang didirikan untuk sosial, (e) pendidikan, setiap mensejahterakan rakyat itu, anak memiliki hak untuk mengberkewajiban untuk menja- ikuti pendidikan baik formal min pengakuan dan peng- maupun non-formal termasuk hormatan yang efektif da- pelatihan dan pendisikan dasar lam proses nation building harus diberikan secara cuma(pengembangan bangsa). cuma, (f) waktu luang, setiap Konstitusi RDTL pasal 18 anak harus diberi kebebasan menjamin kondisi bagi per- meluangkan waktu untuk reklindungan secara isitimewa reasi, (g) kegiatan budaya, yakkepada anak, baik anak ni setiap anak harus diberi kehasil perkawinan sah mau- bebasan untuk menikmati dan pun anak di luar perkawin- mengikuti kegiatan yang mengan. Perlindungan ini bertu- arah pada pegembangan kebujuan menghindarkan anak dayaan. dari bahaya keterlantaran, Jaminan perlindungan bagi diskriminasi, kekerasan, pe- anak-anak ini penting bagi kenindasan, eksploitasi seksu- majuan bangsa Timor Lorosae al dan ekonomi. dan masa depannya. Karena itu Menurut Konvensi ini, pemerintah harus segera pemerintah berkewajiban meratifikasi Konvensi ini dan untuk menjamin perlindung- menjalankan isinya.
S
Anak-anak mengerumuni wartawan. Foto: Atoi Gonçalves edisi 21 - Januari 2003
Aniceto Guró Berteni Neves 14
GUGAT
MASIH RELEVANKAH PROGRAM ALFABETIZAÇÃO? Pada 1974-1975 gerakan pembebasan nasional Timor Leste telah melancarkan program pembebasan rakyat dengan kegiatan seperti pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan. Program yang mendapat dukungan rakyat ini, sekarang berusaha diteruskan oleh Grupo Naroman di Bucoli, Baucau. ejak awalnya, gerakan pem bebasan nasional FRETILIN sudah melancarkan programprogram konkret untuk memajukan rakyat Timor Leste. Programprogram yang dilakukan pada waktu itu (1974-1975) meliputi pengajaran membaca dan menulis (alfabetização), pengorganisasian koperasi pertanian, kesehatan popular dengan obat tumbuhtumbuhan, pengembangan kebudayaan, dan sebagainya. Dalam program-program tersebut para pemimpin FRETILIN tidak hanya berbicara mengenai pembebasan rakyat, tetapi menerapkannya dengan menggabungkan diri bersama rakyat. Mereka sehari-hari bekerja bersama rakyat berusaha mengembangkan sistem kehidupan yang memungkinkan rakyat seluruhnya hidup sejahtera, bebas dari segala bentuk penindasan, penghisapan, kebodohan, dan penyakit. Program yang dimulai oleh Sahe di Bucoli dan Nicolau Lobato di Bazar-Tete ini kemudian berusaha dijadikan program nasional. Silverio da Silva, seorang penduduk Bucoli yang pada masa 1974-1975 aktif dalam program tersebut mengatakan bahwa mereka tidak lama melancarkan program tersebut karena invasi tentara Indonesia. “Program yang paling utama adalah alfabetização dan pengembangan ekonomi. Pada saat itu ada semangat bahwa hanya dengan ilmu pengetahuan kita bisa bikin sesuatu, dan ini harus didukung oleh ekonomi yang seimbang sehingga semua rakyat aktif,” katanya. Hal yang sama dikemukakan oleh Francisco Martins alias TekiLiras di Aileu. “Program kerja itu bukan dibuat setelah merdeka, program kerja sudah disusun sejak berdirinya FRETILIN,” katanya. Menurutnya, dalam keadaan yang
S
edisi 21 - Januari 2003
Para petani sedang belaijar membuat pestisida organik. Foto: R. Soares
sangat sulit FRETILIN sudah membuka sekolah dengan program alfabetização, pertanian, dan kesehatan. “Semua pemuda FRETILIN mengorganisir rakyat di tiap aldeia. Mereka mengajar dan bekerja bersama rakyat,” kenangnya. Teki-Liras juga heran mengapa sekarang tidak ada program seperti dulu. “Saya tidak tahu, mungkin karena tidak ada anggaran. Tetapi FRETILIN yang sekarang memimpin pemerintahan ini harus menciptakan suatu kondisi agar rakyat kembali melakukan program yang dulu diajarkan dan diperjuangkan FRETILIN,” katanya berharap. Harapan seperti itu sangat wajar, karena rakyat sangat merasakan manfaat dari kegiatan yang mengandalkan pada kekuatan sendiri tersebut. Para pemuda yang bersekolah mengajarkan pengetahuannya kepada rakyat. Tetapi mereka sekaligus belajar dari rakyat pengetahuan yang tidak mereka miliki seperti tentang kebudayaan dan cara pengobatan tradisional. “Yang mengajar tidak hanya yang tahu baca-tulis. Orang
buta huruf yang punya keahlian bertukang kayu (laki-laki), menenun tais (perempuan) juga mengajar,” kata Silverio. Camarada Silverio tidak hanya mengenang pengalaman masa lalunya. Setelah penguasa pendudukan keluar, ia bersama rekanrekan sedesanya membentuk Grupo Naroman, untuk meneruskan program pembebasan rakyat yang dulu terhenti karena invasi. Program ini tidak semata-mata memberantas buta huruf, tetapi rakyat saling membagi pengalaman, dan bekerja bersama untuk memajukan kehidupan. Rakyat yang menentukan waktu, kapan harus bekerja dan kapan belajar. “Jadi kegiatan program itu betulbetul milik rakyat, rakyat yang merencanakan dan melaksanakan,” kata Silverio. Baginya, alfabetização masih relevan diterapkan sekarang. Benar, program seperti inilah yang hingga sekarang terus dikembangkan di banyak negara berkembang untuk membebaskan rakyat dari segala bentuk keboRogério Soares dohan. 15
serba-serbi
Yayasan HAK Menjadi Perkumpulan HAK ada 22 November 2002 lalu, Yayasan HAK (Hukum, Hak Asasi & Keadilan) resmi berubah menjadi Perkumpulan HAK. Perubahan ini merupakan bagian dari proses demokratisasi yang telah ditetapkan sejak awal pembentukan Yayasan HAK. Dengan perubahan ini, badan tertinggi pengambilan keputusan di dalam organisasi bukan lagi Dewan Penyantun dan Badan Pendiri, tetapi Rapat Umum Anggota. Jika dulu dalam Yayasan HAK kekuasaan berada di tangan sejumlah kecil orang, sekarang kekuasaan terletak pada seluruh anggota. Misalnya, dulu wewenang untuk mengangkat Direktur berada pada dua badan tersebut, sekarang wewenang itu ada pada Rapat Umum Anggota. Pada Rapat Umum Anggota (RUA) pertama disahkan anggota pertama organisasi ini, yang
P
berjumlah 120 orang. Anggotanya tidak terbatas pada orang Timor Lorosae saja, karena organisasi ini tidak menjadikan kewarganegaraan sebagai salah satu syaratnya. Sejumlah orang dari Indonesia dan Amerika Serikat, yang sebelumnya telah bekerjasama dengan Yayasan HAK menjadi anggota perkumpulan ini. Sejumlah orang terkemuka seperti Ma’hunu, mantan Wakil Menteri Luar Negeri (Kabinet Transisi II) Fernando Araújo, dan Penasehat Perdana Menteri Urusan Promosi Kesetaraan Maria Domingas Fernandes menjadi anggota perkumpulan ini. RUA yang dipimpin oleh Pendeta Francisco Vasconcelos dan Florence Martin ini memilih José Luís de Oliveira (Direktur Sementara Yayasan HAK) menjadi Direktur Eksekutif dan Silverio Pinto Baptista menjadi Wakil Direktur. Mereka berwenang membentuk Badan Eksekutif (BE) yang bertugas menjalankan kegiatan sehari-hari or-
ganisasi. Dalam menjalankan tugasnya, pengurus didampingi oleh satu Majelis Perwakilan Anggota (MPA), yang memiliki wewenang mengesahkan program kerja. Setiap bulan MPA mengadakan rapat bersama BE untuk mengetahui perkembangan kegiatan organisasi. Dalam RUA ini ditetapkan tujuh orang anggota MPA, yaitu Pendeta Francisco Vasconcelos, Jacinta Correia (Hakim pada Pengadilan Tinggi), Aniceto Guterres Lopes (Ketua Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi) John CampbellNelson, Abdullah Hadi Sagran (Sekjen Centro de Comunidade Islamica de Timor Leste), Adalgiza Magno (anggota Parlemen), Remezia de Sousa (Jaksa), Pendeta Arlindo Marçal (sekarang Duta Besar Timor Leste untuk Indonesia), dan Kerry Brogan (mantan aktivis Amnesty International sekarang bekerja pada Unit Hak Asasi Manusia UNMISET).
AMI LIAN
Kalau Pengadilan Internasional Bukan Prioritas
B
eberapa kali Presiden RDTL Xana na Gusmão mengatakan bahwa pengadilan internasional bukan prioritas bagi Timor Lorosae, karena banyak masalah lain yang menurutnya lebih mendesak. Pendapat ini berbeda dengan yang umumnya berkembang dalam masyarakat. Martinho Soares (25 tahun), seorang warga Suku Nazare Aldeia Rainain, memandang bahwa pendapat Presiden tersebut hanya mementingkan mereka yang tidak pernah merasakan kehilangan anggota keluarga. ”Memang pendidikan dan kesehatan itu penting bagi masyarakat. Tetapi bila keadilan tidak ada bagi para pelaku kejahatan maka saya kira para korban tidak akan tinggal diam,“ katanya kepada Jaime Soares dari Direito. ”Sebagai rakyat biasa yang tidak tahu soal politik, saya ingin supaya didirikan su-
atu pengadilan yang bisa mengadili para pelaku pelanggaran hak asasi manusia 1999 dengan adil.“ Menurutnya pengadilan internasional diperlukan karena pengadilan yang di Jakarta sama sekali tidak memberikan hukuman yang adil bagi para pelaku kekerasan 1999. Ia menilai bahwa hukuman tiga tahun untuk eks-Gubernur Timor Timur Abílio Osório Soares, jelas-jelas menunjukkan ketidakadilan pengadilan tersebut. Demikian pula hukuman untuk eks-Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Eurico Guterres. Baginya, pengadilan ini berjalan sangat lamban dalam mengadili para pelaku. Itu pun hanya untuk orang-orang sipil sedangkan pelaku utama dari militer indonesia tidak ada yang diadili. Ada beberapa orang lapangan seperti Danramil Suai, tetapi divonis
PENERBIT: Perkumpulan HAK | PENGELOLA : José Luís de Oliveira, Rui Viana, Rogério Soares, Jaime Soares, Nug Katjasungkana, Oscar da Silva, F.X. Sumaryono | ALAMAT REDAKSI: Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Lorosae. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-mail:
[email protected]
bebas oleh pengadilan tersebut. ”Memang itu adalah pendapat tokoh karismatik, tetapi apakah dengan tidak adanya pengadilan internasional itu bisa menjamin pihak korban untuk melupakan masa lalu?“ kata Joanico Amaral (27 tahun) warga Surik Mas, Dili kepada Jaime Soares dari Direito. Ia sendiri mengaku bahwa sebagai rakyat kecil sulit sekali untuk melupakan para pelaku kekerasan 1999. ”Apalagi yang kehilangan sanak keluarga sampai sekarang belum diketahui di mana kuburannya. Bagaimana mungkin mereka bisa melupakan masa lalu begitu saja?“ katanya. Menurutnya, orang bisa saja bilang ”mari kita melupakan masa lalu dan menatap ke depan,“ tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak demikian. Oleh karena itu harus didirikan sebuah pengadilan yang bisa menghukum para pelaku kekerasan 1999. TERBITAN INI DIDUKUNG OLEH: