Efektivitas Penggunaan Metode Penghitungan Kotoran Untuk Menilai Distribusi dan Kelimpahan Relatif Monyet dan Musang di Taman Nasional Komodo, Indonesia. Tim S. Jessop, David M. Forsyth, Deni Purwandana, dan Aganto Seno. TS Jessop, Center for Conservation and Research of Endangered Species, Zoological Society of San Diego, 15600 San Pasqual Valley Road, Escondido, CA 92027, USA. Alamat saat ini: Department of Wildlife Conservation and Science, Zoos Victoria, PO BOX 74, Parkville, Vic 3052, Australia. Email:
[email protected]. DM Forsyth, Arthur Rylah Institute for Environmental Research, Department of Sustainability and Environment, 123 Brown Street, Heidelberg, Victoria 3084, Australia. D Purwandana, Center for Conservation and Research of Endangered Species, Zoological Society of San Diego, 15600 San Pasqual Valley Road, Escondido, CA 92027, USA. A Seno, Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, Flores, NTT, Indonesia.
Kata Kunci: Monyet, Macaca fascicularis sublimitis, Musang, Paradoxurus hermaphroditus, Penghitungan kotoran, sampling populasi, Taman Nasional Komodo. Topik utama yang dibahas : Pemantauan Kotoran pada Monyet dan Musang. Abstrak Manajemen hidupan liar di taman nasional di Indonesia seringkali terkendala dengan keterbatasan data hasil monitoring. Oleh karena itu, perlu untuk menguji kegunaan metode monitoring populasi yang secara teknis layak dilakukan oleh staf taman nasional di Indonesia. Dalam laporan ini kami menyajikan hasil penggunaan penghitungan kotoran di sepanjang transek yang ditempatkan secara acak untuk menilai distribusi dan kelimpahan relatif Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis sublimitis) dan Musang (Paradoxurus hermaphroditus) secara bersamaan di 11 lokasi di 5 pulau utama d Taman Nasional Komodo, yang terletak di bagian tenggara kepulauan Indonesia. Koefisien Variasi (CV) perkiraan kelimpahan kotoran kedua spesies untuk setiap lokasinya sangat bervariasi, berkisar antara 32-54% untuk Monyet dan 36-64% untuk Musang. Penghitungan kotoran berhasil mendeteksi kehadiran Monyet di lima lokasi yang diyakini ada, sementara Musang hanya terdeteksi di dua lokasi dari 8 lokasi yang diyakini ada. Terdapat perbedaan yang nyata untuk kepadatan kotoran monyet di antara pulau-pulau dan keberadaan mereka terdapat di pulau-pulau yang saling berdekatan. Disimpulkan bahwa metode penghitungan kotoran bermanfaat untuk mendeteksi perubahan distribusi dan kelimpahan relatif untuk populasi Monyet, akan tetapi tidak berlaku bagi populasi Musang. Metode penghitungan kotoran disepanjang garis transek mungkin berguna untuk teknik monitoring hidupan liar bagi satwa terestrial lainnya di Taman Nasional Komodo. Diterjemahkan oleh Achmad Ariefiandy, Deni Purwandana, dan M Jeri Imansyah (2006) dari artikel Jessop et al. 2006. Effectiveness of faecal counts for monitoring Long tailed Macaques and Palm Civets in Komodo National Park Indonesia. Submitted to Australian Mammalogy. Article in press. Kutipan: Jessop, T.S., Forsyht, D.M., Purwandana, D., Seno, A. 2006. Efektivitas Penggunaan Metode Penghitungan Kotoran Untuk Menilai Distribusi dan Kelimpahan Relatif Monyet dan Musang di Taman Nasional Komodo, Indonesia. Terjemahan. Ariefiandy, A., Purwandana, D. Imansyah, M.J. CRES-ZSSD/BTNK/TNC. Labuan Bajo, Flores, Indonesia.
1
Pendahuluan Manajemen hidupan liar di beberapa taman nasional di Indonesia seringkali dibatasi oleh tidak tersedianya data monitoring karena terbatasnya dana, logistik dan kemampuan teknis staf lokal (Jessop et al., 2004). Oleh sebab itu diperlukan adanya metode monitoring yang secara teknis cocok untuk diterapkan bagi staff taman nasional di Indonesia. Penghitungan kotoran dengan menggunakan metode transek terpisah-pisah (strip transect) (Plumtre & Harris, 1995), pencuplikan kuadrat (Bailey & Putman, 1981; Putman, 1984), atau metode pencuplikan garis transek (Barnes et al., 1995; Marques et al., 2001) telah digunakan secara luas untuk menduga kelimpahan absolut maupun kelimpahan relatif beberapa satwa mamalia, seperti Rusa (Forsyth et al., in press), Kangguru (Vernes, 1999), Kelinci (Mills et al., 2005), Gajah (Young et al., 2005) dan Babi (Hone, 2002). Penghitungan kotoran berguna untuk memantau perubahan distribusi dan kelimpahan beberapa satwa mamalia di taman nasional di Indonesia. Dengan metode ini staf lokal dapat dilatih untuk menggunakan metode tersebut dengan hanya sedikit sumber daya yang dibutuhkan. Selain itu metode ini juga memungkinkan untuk memantau beberapa satwa secara bersamaan pada saat yang sama. Keuntungan lainnya adalah metode penghitungan kotoran tidak terpengaruh oleh sifat satwa yang tidak terduga dan cenderung menghindar (sebagai contoh, beberapa mamalia mempunyai perilaku menghindari manusia). Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan taman nasional yang terdaftar sebagai situs warisan dunia, terletak di bagian tenggara kepulauan Indonesia, memiliki keanekaragaman hayati lautan tropis yang luar biasa dan merupakan satu-satunya habitat populasi reptil endemik biawak Komodo (Varanus komodoensis). Secara umum informasi dasar mengenai status hidupan liar daratan TNK yang dapat diandalkan belum cukup tersedia (Jessop et al., 2004). Penelitian kuantitatif terhadap sumber daya biologi sangatlah dibutuhkan, terlebih hingga saat ini taman nasional ini masih mendapatkan gangguan terhadap ekosistem laut (penangkapan ikan yang merusak) dan ekosistem daratan (pemburuan rusa secara haram). Sebagai program latihan untuk jagawana di taman nasional ini, kami mengadakan program monitoring dengan menggunakan metode penghitungan kotoran untuk memperkirakan kelimpahan relatif dua satwa mamalia, yaitu Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Musang (Paradoxurus hermaphroditus), di Taman Nasional Komodo. Keduanya merupakan spesies semi arboreal, omnivora (namun lebih menyukai buah-buahan) dan tersebar di kepulauan sepanjang Asia Tenggara hingga daratan Asia.
2
Meskipun tidak terancam, kedua spesies tersebut memiliki karakteristik yang dapat dijadikan model untuk menerapakan penggunaan metode penghitungan kotoran dalam mendeteksi perubahan distribusi dan kelimpahan mamalia ukuran sedang, yang biasanya tergantung kepada hutan, berada dalam kondisi terancam kepunahan, dan sering kali menjadi korban akibat penggundulan hutan, fragmentasi habitat, perkebunan, atau pembalakan liar di beberapa kepulauan di Indonesia. Lebih lanjut karena beberapa populasi Monyet merupakan satwa eksotis, mereka sering menjadi spesies invasif yang dapat menimbulkan dampak negatif di lokasi di mana mereka diintroduksi (Poirier and Smith 1974). Di Mauritius, mereka menimbulkan proses ancaman yang cukup besar terhadap beberapa satwa endemik (Stanley 2003). Sejarah alami mereka juga cukup beragam dan berpotensial menjadikan kemungkinan pendeteksian keberadaan memereka menjadi bervariasi. Genus Macaca merupakan kelompok satwa yang sangat sosial, ketika mereka mencapai ukuran medium (2.5-8.3 kg) dalam satu kelompok jumlahnya dapat mencapai hingga 58 individu (Cawton & Lang, 2006), sementara musang sangatlah soliter, tapi kemungkinan terdapat tumpang tindih wilayah jelajah di antara mereka, tergantung kelimpahan sumber daya yang tersedia (Joshi et al., 2005). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji metode dalam menduga perubahan spasial dan temporal kelimpahan Monyet dan Musang. Metode yang diuji harus dapat diimplementasikan dengan sumber daya yang terdapat di TNK (Jessop et al., 2004), dan memiliki akurasi serta presisi yang baik (Thompson et al., 1998). Secara spesifik,: penelitian ini; 1. Mengumpulkan data kepadatan kotoran dari dua spesies ini di 11 lokasi dalam 5 pulau di Taman Nasional Komodo. 2. Menilai kegunaan dan kekuatan statistik metode pengitungan kotoran untuk menyimpulkan kecenderungan kelimpahan dengan menguji ketepatan ukuran data. 3. Mencoba untuk menentukan tingkat ketepatan dari penghitungan kotoran dengan membandingkan data yang diperoleh dengan informasi tentang kehadiran Monyet dan Musang di lokasi studi. Metode Area penelitian Penelitian dilakukan di 11 lokasi pada lima pulau di TNK, yang terletak di bagian tenggara kepulauan Indonesia (Gambar 1; 8º 39’ 20” LS, 119º 42’ 57”BT); Komodo (343 km2; empat lokasi), Rinca (232 km2; empat lokasi), Padar (20.4 km2; satu lokasi), Gili Motang (13.4 km2; satu lokasi), dan Nusa Kode (11.0 km2; satu lokasi). Lokasi-lokasi tersebut tidak dipilih secara acak, akan tetapi dipusatkan 3
di areal lembah tempat dilaksanakannya penelitian dengan menggunakan metode mark-recapture tahunan terhadap biawak Komodo yang telah dilakukan sejak tahun 2002 (Jessop et al., data tidak dipublikasikan). Lokasi lembah bervariasi dalam ukuran, dari 8,99 km2 hinga 1,83 km2 (rata-rata: 4.06 ± 0.87 km2). Auffenberg (1981) mendeskripsikan terdapat tiga tipe habitat, yaitu Lembah pesisir pantai yang di dominasi oleh hutan monson gugur (deciduous monsoon forest). Di tepi lembah terdapat habitat transisi hutan hujan tropis (pada area dengan curah hujan yang tinggi) dan Savana hutan/Savana rumput (pada area dengan curah hujan rendah). Metodologi survey Metode penghitungan secara langsung (Thompson et al., 1998) untuk Monyet dan Musang tidak mungkin untuk dilakukan di lokasi penelitian ini karena habitatnya berupa hutan (lihat diatas). Metode survey langsung lainnya (dalam hal ini metode jarak) juga tidak cocok karena kedua spesies cenderung menghindari kontak dengan manusia dan dapat menimbulkan beberapa bias sangat negatif pada pendugaan kelimpahannya. Oleh karena itu kami memilih untuk menggunakan metode penghitungan secara tidak langsung (ulasan lihat Thompson et al., 1998) berdasarkan penghitungan kotoran: pendugaan dengan menggunakan metode ini seharusnya yang paling sedikit terpengaruh oleh tendensi Monyet dan Musang yang menghindari pertemuan dengan manusia. Meskipun penghitungan kotoran telah digunakan untuk menduga kelimpahan absolut maupun reatif dari beberapa jenis spesies mamalia, menurut metode penghitungan kotoran belum pernah digunakan sebagai indeks kelimpahan Monyet ataupun Musang. Kotoran dapat dihitung di dalam kuadrat plot atau area yang telah dientukan dan diasumsikan semua kotoran terhitung, dan dikonversikan menjadi kepadatan kotoran per unit area. Metode sampling jarak telah digunakan untuk menduga kepadatan kotoran mamalia (seperti contoh dalam Marques et al., 2001) akan tetapi mengharuskan kotoran di dalam transek garis terhitung semua (Buckland et al., 2001). Observasi awal mengindikasikan bahwa dibawah serasah hutan dan di rerumputan tinggi savana terdapat kotoran Monyet dan Musang.
Dengan demikian terdapat
kemungkinan beberapa kotoran tidak akan teramati di sepanjang garis transek, yang mengakibatkan pendugaan kepadatan kotoran akan mendapatkan bias yang negatif (lihat di Bukland et al., 2001). Oleh sebab itu kami memutuskan untuk menggunakan penghitungan seluruh kotoran di dalam plot yang cukup kecil (3,14 m2), yang memungkinkan seluruh plot dapat diamati pada berbagai jenis habitat.
4
Gambar 1. Lokasi 11 lokasi studi pada Lima Pulau di Taman Nasional Komodo, tenggara Indonesia. Nomor lokasi menunjukkan: Pulau Komodo, 1) Loh Sebita 2) Loh Liang, 3) Loh Lawi, 4), Loh Wau, 5); Pulau Rinca: Loh Buaya, 6) Loh Baru, 7) Loh Tonkir, 8) Loh Dasami; dan tiga pulau kecil 9) Nusa Kode, 10) Gili Motang and 11) Padar. Daerah yang diarsir menunjukkan area studi yang diteliti pada setiap lokasi.
Tabel nomor acak digunakan untuk menentukan titik awal transek, sepangjang 150 meter, secara acak pada peta digital dengan kisi referensi (referenced grid) antara 20 hingga 48 transek pada ke 11 lokasi. Arah kompas setiap transek juga ditentukan secara acak. pada jalur transek sepanjang 150 meter tersebut terdapat 30 plot berbentuk lingkaran yang berukuran 3,14m2 (jari-jari plot 1 m) dengan interval 5 meter. Setiap plot diperiksa secara seksama dan jumlah kelompok kotoran pada tiap plot dicatat. Kotoran Monyet (kelompok kotoran kecil seukuran biji berangan dengan kandungan daun-daunan) dan Musang (kotoran berbentuk silinder yang mengandung biji semaian) sangat mudah di bedakan dengan kotoran mamalia besar lainnya (dalam hal ini satwa ungulata). Penelitian di lapangan dilakukan pada bulan September dan Oktober (akhir musim kemarau) 2004. Kami menentukan setiap titik awal dengan menggunakan alat Sistem Penentu-posisi Global (GPS; Garmin
5
Etrex, USA). Garis transek digambarkan dengan mengunakan tali nilon sepanjang 150 meter yang ditandai dengan pita berwarna setiap 5 meter. Pasak plastik ditancapkan pada pusat plot dan untuk membuat garis tepi plot digambarkan dengan menggunakan tali dengan panjang 1 meter yang diikatkan ke pasak tersebut. Serasah dan rumput di pindahkan dari dalam plot untuk memudahkan menghitung seluruh kotoran yang terdapat di dalam plot. Analisis statistik Kami menggunakan bootstraping (Manly 1997) untuk menghitung rata-rata dan tingkat kepercayaan 95% bagi estimasi kepadatan kotoran berdasarkan plot (per hektar) untuk kedua spesies di setiap lokasi. Penaksiran bootsrap berdasarkan 10.000 sampel.. Koefisien variasi (CV) untuk rata-rata kepadatan kotoran diestimasi dengan rumus:
CV =
σˆ xˆ
× 100% .
Untuk menguji perbedaan kepadatan kotoran di kelima pulau, mula-mula dikumpulkan empat lokasi di masing-masing pulau Komodo dan Rinca, lalu diuji menggunakan analisis variansi nonparametrik. Signifkansi untuk sub grup pulau diuji dengan menggunakan metode Dunn’s post-hoc (Zar, 1999). Keabsahan metode transek plot Cara untuk menyediakan metode kualitatif yang sederhana untuk menilai kehadiran/ketidakhadiran suatu spesies dalam 11 lokasi studi di TNK adalah dengan menggunakan fokal sampling yang intensif berurutan sepanjang garis transek untuk menentukan kehadiran/ketidakhadiran dua spesies target dengan pengamatan langsung atau pengamatan tanda-tanda kehadirannya. Metode ini melibatkan antara 5 hingga 8 pengamat yang berjalan terpisah dengan interval sekitar 25 meter di sepanjang transek paralel yang ditandai dengan GPS. Panjang dan jumlah transek pada setiap lembah disesuaikan dengan topografi umum dari masing-masing lembah. Tujuan transek yang komprehensif ini adalah untuk mengetahui hadir atau tidak hadirnya kedua spesies tersebut. Usaha pencarian terdiri dari periode sampling utama antara 2-9 hari perlokasi tergantung luas lembah.
6
Hasil Kotoran Monyet ditemukan di seluruh lokasi studi di Rinca dan Nusa Kode, dengan kepadatan berkisar dari 14,15 ± 6.70 kotoran/ ha-1 di Loh Buaya, hingga 63 ± 0.20 kotoran/ ha-1 di Nusa Kode, tetapi tidak terdapat di pulau Komodo, Padar dan Gili Motang (Tabel 1). Terdapat perbedaan yang nyata kepadatan kotoran Monyet ekor panjang di antara pulau-pulau (Kruskal-Walis ANOVA: F4, 331 = 57.89, P < 0.001). Analisis post hoc (Dunn’s) mengindikasikan bahwa pulau-pulau dapat dibagi menjadi dua kelompok, dengan kepadatan kotoran yang lebih tinggi di pulau Rinca dan Nusa Kode dibandingkan dengan Pulau Komodo, Padar dan Gilimotang. Kecocokan antara metode plot/transek dengan focal sampling menunjukkan bahwa intensitas sampling terkini adalah cukup dipercaya untuk mendeteksi kehadiran monyet (Table 3). Kotoran Musang tidak ditemukan di Nusa Kode akan tetapi ditemukan di 4 lokasi yang tersebar di 3 pulau lainnya, dengan kepadatan berkisar antara 3.79 ± 3.79 kotoran/ha-1 di Gili Motang hingga 28.31 ± 10.09 kotoran/ ha-1 di Loh Wau di pulau Komodo (Tabel 2). Sebaliknya, estimasi kepadatan kotoran Musang tidak memiliki perbedaan yang nyata diantara ke lima pulau di Taman Nasional Komodo (Krusal-Wallis ANOVA: F4, 331 = 6.29, P = 0.100). Bagaimanapun juga, dapat dibuktikan bahwa metode transek plot, yang kami gunakan tidak dapat mendeteksi adanya musang di lokasi yang menurut metode sampling khusus yang dilakukan sebelumnya menyatakan adanya populasi Musang (Tabel 3).. Tabel 1. Kepadatan kotoran of Monyet (jumlah per ha) pada 11 lokasi di lima pulau di Taman Nasional Komodo. N adalah jumlah transek Pulau/lokasi Rata-rata ± SEM CV% Pulau Komodo Liang 0 41 0 Sebita 48 0 0 Lawi 0 33 0 Wau 30 0 0 Pulau Rinca Buaya 31 11.35 ± .05 46.86 Baru 28 25.75 ± 0.01 54.59 Tongkir 20 34.93 ± 0.13 37.64 Dasami 30 25.41 ± 0.10 41.71 Pulau Padar 30 0 0 Gili Motang 28 0 0 Nusa Kode
20
63.00 ± 0.2
32.05 7
Tabel 2. Kepadatan kotoran of Musang (jumlah per ha) pada 11 lokasi di lima pulau di Taman Nasional Komodo. N adalah jumlah transek Pulau/lokasi N Rata-rata ± SEM CV% Pulau Komodo Liang 0 41 0 Sebita 48 8.81 ± 0.04 41.62 Lawi 33 0 0 Wau 30 22.19 ± 0.08 36.15 Pulau Rinca Buaya 31 11.35 ± .05 46.86 Baru 28 6.13 ± 0.04 63.94 Tongkir 20 0 0 Dasami 30 0 0 Pulau Padar 30 0 0 Gili Motang 28 0 0 Nusa Kode
20
0
0
Tabel 3. Perbandingan Penghitungan kotoran (FC) dan survey khusus (FS) untuk mendeteksi kehadiran (+) atau ketiakhadiran (-) dua spesies pada 11 lokasi studi pada lima pulau di Taman Nasional Komodo. Monyet FC FS
Musang FC FS
Pulau Komodo Sebita Liang Lawi Wau
-
-
+ -
+ + + +
Pula Rinca Buaya Baru Tonkir Dasami
+ + + +
+ + +
+
+ +
+
+
+ -
+ -
Pulau Padar Gili Motang Nusa Kode
+
-
8
Pembahasan Hubungan antara kelimpahan Monyet dan Musang dengan indeks penghitungan kotoran yang dilakukan belum pernah diteliti, akan tetapi, hasil penelitan menujukkan bahwa indeks penghitungan kotoran hewan marsupialia (Harding and Gomez 1996; Hayward et al. 2005) dan Rusa (Forsyth et al. Inpress) berkorelasi positif dengan kelimpahannya. Jadi estimasi dari kepadatan kotoran nampaknya cocok untuk mendeteksi perubahan yang besar bagi kelimpahan satwa. Thompson et al. (1998) menyarankan bahwa untuk studi monitoring hidupan liar
diperlukan
ketepatan ≤ 20%. Ketepatan dari estimasi kepadatan kotoran kami melebihi nilai tersebut pada seluruh lokasi ditemukannya satwa (berkisar antara 32-64%). Metode ini juga gagal mendeteksi Musang pada enam lokasi dari delapan lokasi yang menurut sampling yang lebih intensif disebutkan terdapat populasi Musang. Masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan tingkat efektifitas penghitungan kotoran untuk menduga perubahan dalam distribusi dan kelimpahan relatif Monyet dan Musang dengan cara memperbanyak jumlah transek dan atau memperluas jari-jari plot. Desain sampling bertingkat juga dapat meningkatkan kemampuan metode untuk mendeteksi Musang dibandingkan dengan desain sampling acak: Sampling bertingkat dapat meningkatkan proporsi transek yang terletak di habitat yang disukai oleh Musang (hutan tertutup) dan mengurangi proporsi habitat yang dihindari Musang (habitat yang terbuka dan kering). Pada Monyet, tingginya korelasi antara transek plot dengan pengamatan langsung menunjukkan distribusinya terbatas pada dua pulau (Rinca dan Nusa Kode) dari lima pulau utama di TNK. Distribusi tersebut terlihat berkaitan dengan dekatnya jarak kedua pulau tersebut, juga jarak perairan yang sempit di antara kedua pulau dibandingkan dengan faktor biogeografi seperti luas pulau, topografi maupun komposisi habitat yang seringkali menjadi alasan penting pembentuk komposisi komunitas kepulauan (MacArthur and Wilson, 1967). Pulau kecil Nusa Kode memiliki kepadatan kotoran Monyet tertinggi dibandingkan dengan lokasi lain di pulau besar tetangganya, Rinca. Penyebaran musang, berdasarkan pengamatan secara visual, mengindikasikan bahwa satwa Viverrid ini tersebar di dua pulau besar, dan memberi kesan bahwa faktor biogeografi lebih berpengaruh penting dibandingkan penyebaran secara dispersal dalam mempengaruhi penyebaran dan kepadatan di dalam Taman Nasional Komodo mungkin dipengaruhi faktor biogeografi. Meskipun setelah diuji metode penghitungan kotoran tidak memiliki tingkat ketepatan yang diharapkan (dalam hal ini CV melampaui 20% di semua lokasi), kami optimis bahwa tetap akan menghasilkan informasi mengenai perubahan distribusi dan kelimpahan relatif pada Monyet.
9
Metode tersebut secara teknis sangat cocok untuk kemampuan dan sumber daya staf TNK, hampir seluruh jagawana dapat menggunakan metode ini setelah dilatih selama satu hari dibawah bimbingan penulis. Desain pencuplikan acak mengahruskan staf TNK untuk mengunjungi area yang biasanya tidak pernah dikunjungi, sehingga dapat memberikan informasi lain bagi manajemen Taman Nasional. Oleh karena itu tipe pemantuan ini sangat cocok jika mempertimbangkan ketersediaan pendanaan dan sumber daya teknis TNK, dan taman nasional lain yang terdapat di negara sedang berkembang ini. Kami juga optimis bahwa staf TNK dapat mengimplementasikan metode yang diuraikan disini untuk program monitoring jangka panjang. Ucapan terima kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh jagawana dan teknisi Taman Nasional Komodo yang telah membantu jalannya penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan sebagai program kolaborasi Balai Taman Nasional Komodo dibawah MoU antara Zoological Society of San Diego, The Nature Conservancy (Indonesia program) dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Dukungan dana disediakan oleh Millenium post-doctoral fellowship dari Zoological Society of San Diego (untuk T. S. Jessop), dan dari Offield Family Foundation.
Daftar Pustaka Cawthon, Lang Ka. 2006. Primate Factsheets: Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) Taxonomy, Morphology, and Ecology. Available online http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/long-tailed_macaque/taxon>. Forsyht, D.M, Barker, R.J., Morriss G., Scrooggie, M.P. In Press. Modelling the relationship between faecal pellet indices and deer density. Journal of Wildlife Management. Harding, E.K., Gomez S. 2006. Positive edge effects for arboreal marsupials: an assessment of potential mechanisms Wildlife Research 33: 121–129. Hone, J. 2002. Feral pigs in Namadgi National Park, Australia: dynamics, impacts and management. Biological Conservation 105: 231–242. Jessop, T.S., Sumner, J., Imansyah, M.J., Purwandana, D., RUdiharto, H., Phillips, J.A. 2004. Distribution, use and selection of nest type by Komodo Dragons. Biological Conservation 117: 463-470. Joshi, A., Smith, J. Cuthbert, F.. 1995. Influences of Food Distribution and Predation Pressures on Spacing Behavior in Palm Civets. Journal of Mammology, 76:1205-1212.
10
MacArthur, R.H., Wilson, E.O. 1967. The theory of island biogeography. Princeton University Press: Princeton, USA. Manly, B.F.J. 1997. Randomization, Bootstrap and Monte Carlo Methods in Biology. Chapman and Hall: London. Marques, F.F.C., Buckland, S.T., Goffin, D., Dixson, C.E., Borchers, D.L., Mayle, B.A., Peace, A. 2001. Estimating deer abundance from line transect surveys of dung: sika deer in southern Scotland. Journal of Applied Ecology 38: 349–363. Mayle, B.A., Peace, A., Gill, R.M.A. 1999. How Many Deer? A field Guide to estimating deer population size. Forestry Commission: Edinburgh. Mills, L.S., Griffin, P.C., Hodges, K.E. 2005. Pellet count indices compared to mark-recapture estimates for evaluating snowshoe hare density. Journal of Wildlife Management 69: 10531062. Poirer, F.E., Smith, E.O. 1974. The crab-eating macaques (Macaca fascicularis) of Angaur Island, Palau, Micronesia. Folia Primatol 22: 258-306. Thompsin, W.L., White, G.C., Gowan, G.V. 1998. Monitoring Vertebrate Populations. Academic Press: San Diego. Vernesk. 1999. Pellet counts to estimate Wildlife Society Bulletin 27: 991-996.
density
of
a
rainforest
kangaroo
Young, T.P., Palmer, T.A., Gadd, M.E. 2005. Competition and compensation among cattle, zebras, and elephants in a semi-arid savanna in Laikipia, Kenya. Biological Conservation 122: 351359. Zar, J.H. 1999. Biostatistical Analysis. Prentice Hall: New Jersey.
11
12
13
Keterangan gambar
14