File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
TIM PROMOTOR DAN PENGUJI DISERTASI JUDUL DISERTASI: VISUM AKUNTANSI FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Nama Mahasiswa
: M. Achsin
NIM
: 0530200042
Program Studi
: Program Doktor Ilmu Akuntansi
KOMISI PROMOTOR Promotor
: Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak, M.Ec., Ph.D
Ko-Promotor 1
: Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., Ph.D
Ko-Promotor 2
: Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH
TIM DOSEN PENGUJI Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., Ak., MM Prof. Dr. Sutrisno, SE., Ak., M.Si Prof. Dr. Made Sudarma, SE., Ak., MM Dr. Ali Djamhuri, SE, Ak., M.Com, CPA Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., M.Si
Tanggal Ujian
: 13 Agustus 2010
ii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
HALAMAN PERUNTUKAN
Tesis ini kupersembahkan untuk : Bapak dan Ibu tercinta Terima kasih atas Curahan kasih sayang dan do’a Istri-istri dan anak-anak tersayang
iii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
RIWAYAT HIDUP
M. ACHSIN, lahir di Bojonegoro pada 11 Mei 1958, meraih gelar Sarjana Ekonomi (SE) dari Jurusan Akuntansi (Ak), Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya pada 1985, meraih gelar Magister Manajemen (MM) dari Program Pascasarjana Universitas Brawijaya pada 1997, memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada 2001, mendapatkan Certified Public Accountant (CPA) yang terdaftar di Kementerian Keuangan Indonesia pada 2009, dan memperolah Sertifikasi Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM tahun 2009. Penulis
sekarang
sedang
menyelesaikan
pendidikan
Magister
Kenotariatan (M.Kn) di Pascasarjana Universitas Brawijaya dan Magister Ekonomika Pembangunan konsentrasi bidang Penilaian (MEc.Dev., MAPPI (Cert.)) pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
iv
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak, M.Ec., Ph.D 2. Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., Ph.D 3. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH yang telah membimbing penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada: 1. Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., Ak., MM 2. Prof. Dr. Sutrisno, SE., Ak., M.Si 3. Prof. Dr. Made Sudarma, SE., Ak., MM.,CPA 4. Dr. Ali Djamhuri, SE, Ak., M.Com, CPA 5. Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., M.Si atas kesediaannya menjadi penguji disertasi ini serta atas saran-saran yang diberikan untuk disertasi ini dalam Ujian Akhir Disertasi pada 13 Agustus 2010. Di samping itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan seting-tingginya kepada: 1. Bondan Gunawan (Mantan Menteri Sekretaris Negara) 2. Erry Riyana Hardjapamekas (Mantan Komisioner KPK), 3. Iswan Elmi (Direktur Penyelidikan KPK), 4. Yunus Husein (Ketua PPATK) 5. Budi Handaka (Kejaksaan Agung) 6. Syamsul Bahri (Anggota KPU Pusat dan Mantan Ketua LPM UB) 7. Theodorus M. Tuanakotta (Ahli Akuntansi Forensik dan Akuntan Publik mantan partner DTT Indonesia), 8. Adami Chazawi (Ahli Hukum Korupsi) 9. Haris Fajar Kustaryo (Advokat),
v
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
10. Mustofa (Akuntan Publik), 11. Jusuf Wibisana (Managing Partner PWC Indonesia), 12. Yanuar Rizki (ICW) 13. Andik Ma‘ruf (BPKP Jawa Timur) 14. Khairiansyah Salman (Mantan Auditor BPK) 15. Jose Rizal Joesoef (Sobat karib di S-3 FE UB) Atas bantuan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan disertasi ini Last but not least, terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada kedua orang tua Bapakku H. Slamet Mansyur dan Ibuku Hj, Nasrifah Ahmad, juga kepada istri-istri dan anak-anakku, serta kepada teman-temanku, atas dukungan tenaga dan pikiran demi terwujudnya disertasi ini. Malang, 13 Agustus 2010 Mahasiswa,
M. Achsin NIM: 0530200042
vi
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ABSTRAK
M. ACHSIN, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010. Visum Akuntansi Forensik Dalam Tindak Pidana Korupsi, Promotor: Iwan Triyuwono, Ko-Promotor: Gugus Irianto, Jamal Wiwoho Dalam proses penanganan tindak pidana korupsi, alat bukti dan pembuktian pada umumnya dilakukan pada audit investigatif, penyelidikan, dan penyidikan. Kekuatan alat bukti dan pembuktian yang dihasilkan dari ketiga proses tersebut menentukan seseorang dapat dinyatakan sebagai tersangka korupsi dan dapat dibawa ke pengadilan. Dalam persidangan tindak pidana korupsi, alat bukti dan pembuktian senantiasa menjadi basis utama bagi putusan hakim. Bukti dan pembuktian merupakan sarana kepastian apakah seseorang dapat diputuskan sebagai koruptor atau tidak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari, menemukan, mengumpulkan dan membangun visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensic merupakan suatu bentuk bukti akuntansi yang memiliki kriteria hukum yang berguna bagi proses litigasi di pengadilan.Dengan menggunakan metodologi grounded theory, studi ini menyimpulkan bahwa visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi, harus memuat paling tidak dua dari lima macam alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan kata lain, visum akuntansi forensik tersebut telah mampu memberikan jawaban kongkrit terhadap tujuh hypothetical construction of crime secara cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Tujuh hipotesis itu adalah 2H +5W (how, how much, what, why, when, where, who). Kata kunci:
Visum, akuntansi, audit, forensik, korupsi, dan hypothetical construction of crime
vii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ABSTRACT
M. ACHSIN, Doctoral Program of Accountancy, Postgraduate Program of Faculty of Economics, Brawijaya University, 2010; Forensic Accounting Visum in Corruption Case; Supervisor: Iwan Triyuwono, Co-Supervisor: Gugus Irianto, Jamal Wiwoho In coping with corruption cases, an evidence basis and a process of proving usually are held in phase of investigative audit, pre-investigation, and investigation. The strength of the evidence basis and the process of proving determine whether or not one will have to be a corruption accused and then put on trial. In the trial of corruption case, the evidence basis and the process of proving are important for judge decision. Both will determines whether one to be judged as corruptor or not. This dissertation attempts to search, to collect, and to construct a forensic accounting visum in corruption cases. The forensic accounting visum is a kind of an evidence basis based on law crirteria for litigation process in a trial. With using methodology of grounded theory, this dissertation concludes that forensic accounting visum in the corruption case has to have at least two of five evidence bases, that are explanation of the witness, explanation of the expert, documentary or written evidence, indicative evidence, and explanation of the accused. In other words, the forensic accounting visum has to answer clearly seven hypothetical constructions of crime or 2H + 5W (how, how much, what, why, when, where, who). Key words:
Visum, accounting, audit, forensic, hypothetical construction of crime
corruption,
viii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
RESONANSI
AVANT-PROPOS: PERJALANAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK SUDAH hampir lima tahun ini saya melakukan studi bidang akuntansi mencari bentuk dan rupa ―visum Akuntansi forensik‖. Tiba-tiba Sang Promotor mengatakan: segera selesaikan disertasi, atau menunggu upaya paksa! Saya terhenyak, inikah bentuk motivasi [?], provokasi [?] ancaman [?] atau ekspresi ketulusan dari sang guru bijak bestari [?]. Wallahu a‟lam bisshowab, Sejujurnya, studi ini terformulasikan atas munculnya kegalauan yang menerpa benak, saat saya melihat dan memperhatikan fenomena penanganan tindak pidana korupsi. Kegalauan itu lebih disebabkan karena, saya melihat pada penanganan tindak pidana korupsi pada satu kasus si terdakwa dapat dijebloskan ke dalam penjara, namun pada penanganan kasus yang lain si terdakwa dapat berlenggang dengan bebas. Mengapa ketidakkonsistenan seperti itu terjadi? Padahal untuk menyeret terdakwa kasus korupsi itu ke sidang pengadilan, Negara telah mengeluarkan biaya penanganan yang tidak kecil, dan mengapa si terdakwa bisa bebas? Pertanyaan dan fenomena seperti itulah yang menggugah ketertarikan saya untuk melakukan penelitian ini. Fenomena membingungkan seperti itulah yang oleh Erving Goffmann dalam Filsafat Dramaturginya sebagai adanya acting para actor dalam ―front stage‖ dan ―back stage‖ Suatu peran penuh hipokrisi yang dengan entheng diperagakan sang pelaku, suatu bentuk representasi yang mendua dan sarat dengan ketidakjujuran. Itulah dunia keculasan, dongenge wong culiko, suatu dunia yang banyak dihuni oleh para koruptor.
ix
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Saya memang masih optimis, keadilan tetap bisa ditegakkan meskipun langit runtuh (fiat justitia et pereat mundus) karena saya yakin bahwa untuk menjadikan masyarakat tertib dan teratur, eksistensi suatu aturan yang didukung oleh substansi, struktur dan kultur yang baik menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan. Di samping itu, saya juga masih percaya bahwa mewujudnya aturan, eksistensinya lebih disebabkan karena masyarakat itu sendirilah yang memerlukan suatu aturan yang mengatur dirinya, orang lain dan lingkungannya (ibi ius ibi societas). Kembali pada penelitian ini, untuk menjawab kerisauan yang saya ungkapkan pada sebelumnya, kemudian saya terjun dan menceburkan diri untuk melakukan penelitian dengan membawa dua pertanyaan utama, yaitu: (1) bagaimanakah auditor investigatif, penyelidik dan penyidik mencari, menemukan dan mengumpulkan alat-alat bukti dan barang bukti yang siap dibawa ke pengadilan. (2) bagaimana wujud dari alat bukti dan barang bukti yang dibawa ke pengadilan itu?. Dua pertanyaan itu, untuk tahap pertama, saya tujukan pada auditor investigatif, baik auditor BPK maupun BPKP. Kenapa pertanyaan tidak ditujukan kepada akuntan publik? Karena auditor pada lembaga BPK dan BPKP itulah yang sering melakukan audit investigatif dan diminta untuk menghitung dugaan angka kerugian keuangan negara pada perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan akuntan publik sampai dengan hari ini belum mengatur mengenai jasa audit investigatif yang sarat dengan perburuan eksistensi fraud, kejahatan keuangan dan tindak pidana korupsi. Pertanyaan yang sama, pada gilirannya juga saya ajukan kepada penyelidik dan penyidik, Karena dari tangan-tangan merekalah suatu perkara tindak pidana korupsi dapat ditindaklanjuti hingga menjadi dakwaan, atau kasus itu dihentikan karena tidak diperoleh bukti yang cukup.
x
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dua pertanyaan itu membawa saya untuk melakukan pencarian jawaban yang terkontruksikan secara cermat, jelas dan lengkap atau a beyond reasonabale doubt. Suatu jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime, suatu hipotesis yang dibangun untuk mengarahkan fokus pencarian jawaban pada pertanyaaan: How Much, How, What, Why, Who, When, and Where (2H+5W). Saya sadar bahwa dalam penelitian ini, saya harus memiliki alat untuk menangkap dan melakukan analisis serta melakukan sintesis terhadap fenomena tindak pidana korupsi itu. Kemudian dengan sengaja saya pilih metodologi grounded theory yang mensyaratkan bekal theoretical sensitivity, creativity dan imagination. Grounded theory, bergerak layaknya spionase dengan pengumpulan bahan bukti mirip kayak akumulasi snow-ball. Pilihan grounded theory karena ia sangat ideal, handal dan efektif untuk diterapkan manakala teori-teori tidak lagi mampu memberikan jawaban secara seragam terhadap fenomena yang ada, atau jika ada jawaban maka jawaban yang diberikan akan menelorkan hasil yang berbeda-beda. Karena alasan inilah grounded theory menjadi bagian yang tak terpisahkan dan keniscayaan dalam penelitian ini (untuk lebih jelas dan detilnya, silahkan membaca bab II). Kemudian, saya secara terus menerus bergerak, kadang saya mengintip kesempatan, saat lain saya harus mencuri dengar, dan pada situasi tertentu saya juga diharuskan untuk memburu bahan-bahan penelitian. Semua itu saya lakukan demi dan untuk selalu menambah dan memperkaya perbendaharaan bahan-bahan penelitian. Saya berharap, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, koleksi bahanbahan penelitian menjadi semakin lengkap dan dapat membantu saya untuk membangun :‖proposisi‖ (hipotesis teori) yang merupakan jawaban atas kerisauan yang menerpa yang telah saya ungkapkan pada sebelumnya.
xi
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kebosanan dan kejenuhan kadang menerpa serta mengiringi perjalanan penelitian ini. Namun, saya selalu membangunkan semangat juang agar selalu tegar dan terjauh dari rasa putus asa. Hanya dengan cara itu – saya yakin seyakin-yakinnya – pada saatnya, disertasi ini pasti selesai, dan pada saatnya pula ―keindahan‖ menyandang gelar akademik tertinggi akan saya raih dan menjadi bagian hidup untuk selamanya. Kegigihan dan keuletan yang saya bangun membawa hasil. Perlahan-lahan tetpi pasti bahan-bahan penelitian mengalir. Kadang deras sekali, namun pada saat yang lain kucurannya mampet dan seret. Meski data masih terbatas, saya mencoba menulis abstraksi atau proposisi sementara atas apa yang telah saya peroleh, meskipun bentuknya masih ―buram‘ dan jauh dari sempurna. Saya tunggu data tambahan, lalu saya poles kembali abstraksi penelitian dengan data tambahan yang masuk. Demikianlah upaya dan perjuangan yang saya lakukan. Manakala ada tambahan bahan-bahan lagi yang masuk, maka bahan itu akan saya gunakan untuk menambal mana yang kurang dan atau tidak ―pas‖. Bahan-bahan itu juga saya dayagunakan untuk memperkuat mana yang masih lemah, mengikat mana yang masih kendor. Secara gradual, perlahan tetapi pasti, pada akhirnya terbentuklah ―visum akuntansi forensik‖ yang saya idam-idamkan. Di tengah-tengah perjalanan eksplorasi itu, hal menarik dan menantang adalah munculnya pertanyaan baru, yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan dan duga. Pertanyaan itu adalah, bahan-bahan yang saya peroleh tersebut harus golongkan dalam ketegorisasi versi disiplin ilmu apa? Apakah pemilahan harus saya lakukan berbasiskan ilmu akuntansi, atau berlandaskan ilmu auditing atau versi ilmu hukum? Karena, pada dasarnya terdapat perbedaan kategorisasi bukti dalam tiga bidang ilmu pengetahuan tersebut.
xii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Pertanyaan kategorisasi bahan penelitian itu, menggugah kreativitas, imajinasi, dan sensitivitas teoritik yang saya miliki. Saya harus mengambil keputusan. Bagi pandangan saya, meskipun penelitian ini berada dalam ranah atau domain pengetahuan akuntansi, namun akuntansi forensik adalah suatu disiplin pengetahuan akuntansi yang telah menerobos batas demarkasinya dan kemudian ―berkolaborasi‖ dengan ilmu auditing dan hukum. Atas perkenan pembimbing dan budi baiknya dari sang arif dan bijaksana itu, selanjutnya saya klasifikasikan data, fakta, informasi dan keterangan serta bahan-bahan yang saya peroleh dengan basis jenis alat-alat bukti yang terdapat dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Dalam KUHAP, terdapat lima macam kategorisasi alat bukti, yakni alat bukti keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan alat bukti keterangan terdakwa. Karena itu, pada bab III, IV, V dan VI semua uraian penelitian mengacu pada pola lima macam ketegorisasi alat bukti tersebut. Pilihan pola klasifikasi itu juga saya maksudkan, agar semua data, fakta, informasi dan keterangan serta bahan bukti, terdapat sinkronisasi dan match and link dengan pola klasifikasi bukti dalam penegakan hukum di Indonesia. Suatu format pengklasikasian alat bukti yang telah membatin (internalized) pada subjek (informan) penelitian ini.
AUDIT INVESTIGATIF (AI) DAN PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) Berbasis fenomena penanganan perkara tindak pidana korupsi, pertanyaan spesifik yang saya lontarkan pada level AI (Audit Investigatif) dan PKKN (Perhitungan Kerugian Keuangan Negara) adalah, bagaimanakah auditor investigatif melakukan eksplorasi dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan bahan bukti? Pertanyaan
xiii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
berikutnya adalah, bagaimanakah wujud bangunan rekonstruksi sejarah fakta/bukti yang dibuat auditor investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi itu? Studi yang saya lakukan, ternyata dapat menjawab pertanyaan atas kerisauan saya pada fenomena penanganan tindak pidana korupsi. Dalam AI atau PKKN, yang merupakan salah satu proses penanganan tindak pidana korupsi, prosedur utama yang menjadi acuan dan menjadi tumpuan auditor investigatif, pertama-tama adalah harus dapat memastikan dan menemukan adanya penyimpangan. Penyimpangan akan terjadi bilamana terdapat jarak (gap) antara yang sebenarnya (de-facto) dengan yang seharusnya (de-jure). Bilamana penyimpangan telah dapat ditemukan, maka auditor akan menindak lanjuti dengan melakukan penghitungan atas berapa jumlah atau nilai penyimpangan itu. Hitungan rupiah pada angka penyimpangan itulah yang disebut dengan angka kerugian keuangan negara (uraian lebih lengkapnya dapat dilihat pada bab IV). Demikian juga, prosedur-prosedur audit lain, seperti tracing, footing/cross footing, documenting, reconciling, vouching, konfirmasi, reperforming, observasi dan prosedur audit lainnya tentu akan mengikuti dan selaras dengan adanya temuan penyimpangan itu. Prosedur ini merupakan standar baku untuk memperkuat temuan penyimpangan yang diperpleh tersebut Pelaksanaan PKKN, pada umumnya dilakukan oleh auditor investigatif berdasarkan permintaan dari penyidik. Permintaan PKKN penyidik, biasanya pada perkara yang telah matang. Artinya perkara dugaan tindak pidana korupsi itu telah dilakukan penyidikan oleh penyidik. Dengan demikian, permintaan PKKN ke instansi BPKP itu pada umumnya data, fakta dan informasi relatif telah lengkap, tinggal menghitung berapa besar kerugian keuangan negaranya. Artinya modus operandi, siapa yang berbuat, dan di mana perbuatan itu dilakukan, kapan terjadinya dan lainnya
xiv
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
telah dihimpun oleh penyidik dalam berkas penyidikan. Karena itu, penugasan PKKN ini dalam komunitas auditor BPKP sering disebut sebagai tugas yang telah ―masak pohon‖. Tidak demikian halnya dengan penugasan AI. Penugasan AI mengharuskan auditor investigatif untuk melakukan upaya ekstra, yakni auditor harus masuk pada kedalaman persoalan. Hypothetical construction of crime menjadi radar utama dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan bahan bukti hingga tercipta visum akuntansi forensic level audit investigatif. Visum akuntansi forensik level ini, pada umumnya digambarkan dalam bentuk chart and matrix, yang merupakan rangkaian alat bukti dan barang yang terjalin secara berkelindan. Dalam AI versi BPKP, simpulan akan diformulasikan dalam bentuk penyebutan nama seseorang yang ―bertanggung jawab‖ atas penyimpangan yang terjadi dan disertai dengan besarnya jumlah angka kerugian keuangan negara. Namun, dalam laporan hasil AI versi BPK, umumnya akan menyebut nama seseorang (orang-orang) yang ―patut diduga atau diindikasikan‖ terlibat perkara tindak perkara korupsi, yang disertai dengan jumlah perhitungan angka kerugian keuangan negara. Laporan AI versi BPK itu menguraikan tentang 2H+5W juga secara jelas dan transparan mengungkap unsur-unsur pelanggaran undang-undang tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, dalam Laporan AI versi BPK chart and matrix lebih tergambarkan secara jelas dibandingkan laporan hasil AI versi BPKP. Uraian atas AI dan PKKN di atas, telah menjawab dua pertanyaan terhadap kerisauan saya. Dari proses dan hasil AI dan PKKN itu, saya simpulkan bahwa jika eksplorasi yang dilakukan auditor investigatif terhadap bahan bukti yang tersaji telah dapat memberikan jawaban hypothesis construction of crime secara cermat, jelas dan
xv
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
lengkap (a beyond reasonable doubt), maka rekonstruksi sejarah fakta/bukti atau konstruksi Visum Akuntansi Level Audit Investigatif telah terwujud dengan sempurna.
PULBAKET LIDIK (PENGUMPULAN BAHAN BUKTI DAN KETERANGAN PENYELIDIKAN) Perjalanan harus saya teruskan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang belum tuntas, yakni bagaimanakah pulbaket lidik (pengumpulan bahan bukti dan keterangan tahap penyelidikan) untuk mencari dan menemukan bahan bukti atas dugaan tindak pidana korupsi itu? Bagaimanakah wujud bangunan rekonstruksi sejarah fakta/bukti dari penyelidik atas dugaan tindak pidana korupsi? Ternyata dalam pulbaket lidik prosedur utama yang menjadi acuan dan panduan Penyelidik sama persis dengan apa yang menjadi pedoman auditor investigatif, yakni memastikan dan menemukan penyimpangan antara yang sebenarnya (de-facto) dengan yang seharusnya (de-jure). Bilamana terdapat penyimpangan antara yang sebenarnya dengan seharusnya, maka penyelidik akan mencari persesuaian antara perbuatan dengan unsur-unsur aturan hukum yang telah dilanggar oleh si pelaku (bestendelen). Kemudian untuk menambah kekuatan alat bukti, umumnya penyelidik akan meminta keterangan dari saksi-saksi yang didokumentasikan dalam Berita Acara Permintaan Keterangan atau BAPK (untuk uraian lebih lengkap dan menarik dapat dilihat pada bab IV).
PULBAKET SIDIK (PENGUMPULAN BAHAN BUKTI DAN KETERANGAN PENYIDIKAN) Perjalanan masih harus saya lanjutkan. Pertanyaan yang belum terjawab adalah, bagaimanakah pulbaket sidik (pengumpulan bahan bukti dan keterangan tahap penyidikan) yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan bahan bukti atas sangkaan tindak pidana korupsi itu?. Pada tahap
xvi
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ini, Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana wujud bangunan rekonstruksi sejarah fakta/bukti yang dibuat penyidik atas sangkaan tindak pidana korupsi itu? Ternyata dalam pulbaket sidik juga menggunakan acuan yang persis sama dan tidak
berbeda
dengan
pulbaket
lidik,
yakni
memastikan,
menemukan
dan
mengumpulkan penyimpangan antara yang sebenarnya (de-facto) dengan yang seharusnya (de-jure). Bilamana terdapat penyimpangan antara yang sebenarnya dengan seharusnya maka penyidik akan mencari persesuaian atau kesepaduan antara perbuatan dengan aturan hukum yang telah dilanggar oleh si pelaku. Kemudian untuk menambah kekuatan alat bukti, umumnya penyidik akan meminta keterangan dari saksi-saksi, ahli dan tersangka yang didokumentasikan dalam Berita Acara Pemeriksan atau BAP (untuk uraian lebih lengkap dapat dilihat pada bab V). Sementara itu, bantuan PKKN akan segera diminta penyidik ke instansi BPKP, pada saat mana penyidik telah dapat mengantongi alat bukti dan barang bukti yang cukup serta telah terdapat kesepaduan antara perbuatan dengan fakta-faktanya. Suatu persesuaian atau kesepaduan antara perbuatan dengan pelanggaran unsur-unsur yang terdapat pada aturan hukumnya. Perbedaan utama antara pulbaket lidik dengan pulbaket sidik adalah, pada dalam pulbaket sidik undang-undang memberi ruang kepada penyidik untuk melakukan upaya paksa seperti penahanan, penangkapan, penggeledahan dan lainnya. Upaya paksa seperti ini tidak dimiliki oleh penyelidik. Selanjutnya, salah satu perbedaan lain antara sidik dan lidik adalah adanya kata ―Projustitia‖ atau ―Demi Keadilan‖, suatu kalimat yang biasa ditulis/dicetak pada ―kiri atas‖ pada setiap administrasi persuratan. Artinya dengan surat-surat yang telah berlabel ―Projustitia‖ itu akan mengubah semua bukti, data, fakta, informasi dan keterangan menjadi telah ―bernilai hukum‖
xvii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Untuk sementara perjalanan penelitian ini saya hentikan sampai di sini, sampai tahap penyidikan saja. Sebenarnya perjalanan visum akuntansi forensik masih jauh dan panjang. Untuk sampai pada jawaban komprehensif dan memuaskan dahaga atas kerisauan yang melanda, seharusnya visum akuntansi forensik itu harus saya ikuti terus hingga titik akhir pemberhentian, yakni di Mahkamah Agung. Visum akuntansi forensik itu akan menempuh perjalanan berikutnya, seperti: tahap pembuatan berkas Dakwaan, tahap pemeriksaan di persidangan pengadilan (cross examination), tahap putusan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), tahap putusan tingkat kedua (tingkat banding pada Pengadilan Tinggi), dan proses kasasi pada Mahkamah Agung, di mana putusan MA ini, akan memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Perjalanan visum akuntansi forensik juga masih dapat dimungkinkan karena masih adanya upaya hukum lain, yakni Peninjauan Kembali (PK).. Uraian atas proses dan hasil audit investigatif, penyelidikan dan penyidikan, pada langkah berikutnya adalah saya harus membangun proposisi. Proposisi pertama sebagai berikut: mutatis mutandis, visum akuntansi forensik merupakan rekonstruksi sejarah fakta, yang terdiri dari paling tidak dua dari lima macam alat bukti, menjadi dasar bagi penetapan status seseorang menjadi terperiksa, tersangka atau terdakwa. Visum akuntansi foreensik itu dapat berbentuk rangkaian chart and matrix yang merupakan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W yang cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Visum akuntansi forensik berfungsi sebagai bahan bukti bagi pendalaman level/tahap pemeriksaan selanjutnya. Proposisi kedua adalah mutatis mutandis, visum akuntansi forensik dapat dikatakan sebagai suatu hasil sinergi oposisi-biner (sinergi dari on-off). Sinergi antara satu sisi dengan sisi lainnya, antara sudut satu dengan sudut lainnya dan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Artinya, visum akuntansi forensik itu dapat
xviii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
berbentuk potongan-potongan bahan bukti yang boleh jadi bertentangan antara satu dengan lainnya kemudian dihubungkan kembali sehingga menjadi suatu ikatan ―Bukti dan Pembuktian‖ yang utuh, holistik dan komprehensif. Masing-masing bagian berdiri sendiri namun tidak dapat melepaskan diri dalam rangkaian hubungan secara integral dengan bagian-bagian lainnya. Hubungan dalam rangkaian visum akuntansi forensik itu akan terjalin secara berkelindan dengan bagian-bagian lainnya. Jika bagian-bagian itu berdiri secara sendiri-sendiri maka tidak akan mempunyai arti apa-apa di luar kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Pertautan dan persesuaian, antara bukti akuntansi, bukti auditing dan bukti hukum melalui terobosan paradigma lintas ilmu dan holistik itulah yang akan membentuk konstruksi wujud visum akuntansi forensik harus berkriteria cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt).
REKOMENDASI Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, alat bukti keterangan ternyata memainkan peranan sangat menentukan. Alat bukti keterangan yang terdiri dari; keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa dihasilkan dari kepiawaian auditor investigatif, penyelidik dan penyidik dalam melakuan berbagai teknik dan strategi dalam interview maupun interogasi. Keberhasilan mengorek keterangan saksi dapat berakibat positif yakni diperolehnya berbagai informasi dan keterangan baik mengenai apa, siapa, mengapa, di mana, kapan, bagaimana, dan berapa banyak dampak negatif berupa kerugian negara yang ditimbulkan atas tindak pidana korupsi. Dengan diperolehnya berbagai keterangan saksi, tentu mempunyai dampak positif yakni pada tahap selanjutnya akan dengan mudah untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti serta mendapatkan informasi mengenai motif perbuatan dan data lainnya yang diperlukan.
xix
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kesuksesan mendapatkan keterangan dari ahli, juga akan menunjukkan mengenai berbagai hal rinci tentang perkara yang ditangani dengan berbagai permasalahannya sesuai dengan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh ahli tersebut. Misalnya dari keterangan ahli akuntansi dan keuangan, akan diperoleh secara rinci tentang cara-cara si pelaku mengambil uang negara secara melawan hukum, misalnya data manipulasian, dokumen palsu, laporan keuangan rekayasaan, mark-up, kontrak fiktif, letter of credit (L/C) bodong, pekerjaan asal-asalan, dan keterangan-keterangan berharga lainnya. Demikian juga, kelengkapan dalam menguak keterangan terdakwa akan didapatkan informasi mengenai perbuatan apa yang telah dilakukan oleh si pelaku, alibi yang dibangun, justifikasi dan rasionalisasi atas perbuatannya, bahkan boleh jadi, akan memperoleh pengakuan jujur dan komprehensif atas perbuatan dan cara-cara melakukan perbuatan serta motif yang mendasari si pelaku. Oleh karena itu, ada baiknya elaborasi terhadap teknik hypnosis, mungkin saja dan boleh jadi, dapat memberikan penguatan terhadap alat bukti keterangan. Pertanyaannya adalah apakah hipnosis dapat didayagunakan untuk menguak keterangan para saksi? Menurut Adrie Gunawan (2010,77) pada konsteks hukum indonesia, teknik hipnotis dapat didayagunakan hanya untuk mengungkap keterangan saksi dan/atau saksi korban saja. Bagi Gunawan, berbasis teknik regresi dan hypernesia baik saksi atau korban akan dapat dengan leluasa menceritakan mengenai kejadian-kejadian di sekitar peristiwa yang ia saksikan, ia dengar dan/atau ia alami. Saksi atau korban dapat menjelaskannya secara sangat rinci, gamblang dan komprehensif.
Namun sayangnya, teknik hipnotis itu tidak akan bisa digunakan
untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan yang jujur dari pelaku tindak pidana. Hipnotis tidak bisa digunakan karena pertama si pelaku tidak akan pernah bersedia
xx
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dirinya untuk di hipnotis, dan kedua dalam kondisi hipnosis seseorang masih dapat melakukan kebohongan atas keadaan yang sebenarnya.
REFLEKSI DIRI Setelah saya mencermati serta melakukan kajian komprehensif, saya mengambil simpulan bahwa pada akhirnya kasus-kasus tindak pidana korupsi, meskipun kasus telah diselesaikan hingga tahap akhir (inkraht), dalam keyakinan saya, kasus tersebut masih tetap menyisakan ruang yang masih memiliki interpretasi dari masing-masing pihak yang berkepentingan dan terlibat pada kasus tersebut. Pada penelitian ini, saya juga menemukan banyak hal yang menjadi penyebab esensial atas kasus-kasus korupsi. Tidak semua persoalan dapat terjawab hanya dengan keberhasilan rekonstruksi sejarah fakta/bukti atau mewujudnya visum akuntansi forensik. Demikian juga, pada putusan hakim yang membebaskan atau memasukkan terdakwa ke dalam penjara, masih menyiasakan pertanyaan atas kebenaran hakikinya. Kenyataan ini makin menguatkan keyakinan pada diri saya bahwa ―meaning, understanding, and sense‖ yang banyak dikaji dalam filsafat hermeneutika menjadi realitas yang nyata. Proses penegakan hukum yang diolah melalui interpretasi secara subjektif dan intersubjektif atau diklaim sebagai suatu argumentasi objektif oleh pihakpihak yang berperkara, hingga putusan akhir, bagi saya masih merupakan discource yang mengandung kebenaran nisbi. Bahkan putusan Majelis Hakim di Mahkamah Agung menurut pandangan saya masih berbentuk discource dan juga mengandung kebenaran nisbi. Sejujurnya dapat saya katakan bahwa tulisan ini masih berstatus ―koma‖ dan belum ―titik‖, dan masih banyak kekurangan yang perlu upaya penyempurnaanpenyempurnaan.
Harapan
saya
pada
penelitian-penelitian
selanjutnya
dapat
xxi
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan agar kasus-kasus korupsi dapat terkuak secara holistic, baik formal, material maupun hakikinya. Perkenankanlah saya untuk mengingatkan kembali kepada diri saya sendiri, para akuntan forensik dan/atau financial criminalist dan/atau para penegak hukum atau siapa saja atas statement yang pernah dilontarkan oleh Abraham Lincoln, yakni ―You can fool some people, but you can not fool all the people‖.
xxii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... I TIM PROMOTOR DAN PENGUJI DISERTASI ....................................... II HALAMAN PERUNTUKAN..................................................................... III RIWAYAT HIDUP ................................................................................... IV UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... V ABSTRAK .............................................................................................. VII ABSTRACT .......................................................................................... VIII R E S O N A N S I................................................................................... IX DAFTAR ISI ....................................................................................... XXIII DAFTAR TABEL ................................................................................ XXVI DAFTAR GAMBAR ........................................................................... XXVII
Bab 1
PENDAHULUAN........................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Permasalahan dan Fokus Penelitian ................................................... 17 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 25 1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 26
Bab 2
METODOLOGI PENELITIAN ................................... 27
2.1. Pengantar............................................................................................ 27 2.2. Obyek dan Setting ............................................................................... 30 2.3. Grounded Theory ................................................................................ 31 2.4. Operasionalisasi Grounded Theory ..................................................... 34 2.5. Pengumpulan Data.............................................................................. 37 2.5.1. Wawancara ................................................................................... 37 2.5.2. Observasi ..................................................................................... 38 2.5.3. Sumber Data................................................................................. 40 2.5.4. Analisis Data ................................................................................. 40
Bab 3
VISUM AKUNTANSI FORENSIK AI DAN PKKN ....... 42
3.1. Pengantar............................................................................................ 42 3.2. Pelaksanaan Audit Investigatif ............................................................ 46 3.3. Peranan dan Kontribusi Hasil Audit Investigatif ................................... 55 3.4. Menemukan Alat Bukti – Level Audit Investigatif ................................. 63
xxiii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 4 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN ................................................................ 116 4.1. Pengantar.......................................................................................... 116 4.2. Menemukan Alat Bukti – Level Penyelidikan..................................... 125 4.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 133 4.2.2. Alat Bukti Keterangan Terdakwa ................................................ 138 4.2.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 142 4.2.4. Alat Bukti Petunjuk...................................................................... 158 4.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka ............................................... 159 4.3. Catatan Akhir dan Proposisi .............................................................. 160
Bab 5
VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN 167
5.1. Pengantar.......................................................................................... 167 5.2. Menemukan Alat Bukti – Level Penyidikan ....................................... 174 5.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 183 5.2.2. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................................... 188 5.2.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 192 5.2.4. Alat Bukti Petunjuk...................................................................... 196 5.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka ............................................... 202 5.3. Catatan Akhir dan Proposisi .............................................................. 217
Bab 6 VISUM AKUNTANSI FORENSIK SEBAGAI BUKTI PENDUKUNG LITIGASI .................................................... 229 6.1. Pengantar.......................................................................................... 229 6.2. Akuntansi Forensik, Bukti dan Pembuktian ....................................... 231 6.3. Visum Akuntansi Forensik ................................................................. 236 6.3.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 240 6.3.2. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................................... 246 6.3.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 251 6.3.4. Alat Bukti Petunjuk...................................................................... 254 6.3.5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa ................................................ 256 6.4. CATATAN AKHIR.............................................................................. 266
Bab 7
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN CATATAN AKHIR ... 270
7.1. SIMPULAN ........................................................................................ 270 xxiv
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
7.1.1. Visum Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif ...................... 271 7.1.2. Visum Akuntansi Forensik Level Lidik ........................................ 271 7.1.3. Visum Akuntansi Forensik Level Sidik ........................................ 273 7.2. Implikasi ............................................................................................ 275 7.3. Catatan Akhir .................................................................................... 276 DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 279
xxv
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
DAFTAR TABEL TABEL 1-1 COMPARATIVE CLASSIFICATION OF 16 TABEL 1-2 PERBANDINGAN SIFAT ANTARA EVIDENTIAL MATTER DAN EVIDENCE 19 TABEL 2-1 PERBANDINGAN METODE PENELITIAN 28 TABEL 2-2 DAFTAR INFORMAN, ASAL LEMBAGA DAN JABATAN 38 TABEL 3-1 INDIKASI AWAL ATAS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP 54 TABEL 3-2 PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF (AI) YANG DILAKSANAKAN BPKP TAHUN 2003 – 2007 58 TABEL 3-3 PELAKSANAAN PERRHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) YANG DILAKSANAKAN BPKP 58 TABEL 3-4 PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA KASUS PENGADAAN BARANG DAN JASA KPU PUSAT ERA KEPEMIMPINAN NAZARUDDIN SJAMSUDDIN 63 TABEL 3-5 MATRIKS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI JEMBER 2000 – 2005 94 TABEL 3-6 JENIS- JENIS ALAT BUKTI DAN BEBERAPA PERBEDAAN ANTARA INDONESIA DAN AMERIKA 109 TABEL 4-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYELIDIKAN DAN AUDIT INVESTIGATIF 122 TABEL 4-2 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI BPKP ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG 129 TABEL 4-3 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI PT. SUCOFINDO APPRAISAL UTAMA ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG 131 TABEL 4-4 PENGELUARAN INVESTASI PEMKAB MALANG PADA PABRIK GULA MINI PT. KIGUMAS 134 TABEL 4-5 DAFTAR REKANAN PT. KIGUMAS 154 TABEL 4-6 PERHITUNGAN PPN PT SUMBER SARANA MITRA SEJATI 155 TABEL 4-7 DAFTAR SURAT PERINTAH MEMBAYAR UANG (SPMU) 156 TABEL 5-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYIDIKAN (SIDIK) DENGAN PENYELIDIKAN (LIDIK) 170 TABEL 6-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA, SIDIK, LIDIK, DAN AI 237 TABEL 6-2 NAMA TERSANGKA, JUMLAH SAKSI DAN ANGKA PKKN 245 TABEL 6-3 NAMA TERSANGKA, NAMA AHLI BPKP ANGKA PKKN 250 TABEL 6-4 KONSEP ATAU METODA PKKN 251 TABEL 6-5 NAMA TERSANGKA, BARANG BUKTI ANGKA PKKN 253 TABEL 6-6 NAMA TERSANGKA, ALAT BUKTIDAN BARANG BUKTI ANGKA KERUGIAN NEGARA 255 TABEL 6-7 NAMA TERSANGKA, KETERANGAN DAN PENGAKUAN ANGKA PKKN 262 TABEL 6-8 PERTIMBANGAN DAN POSISI PARA PIHAK YANG BERPERKARA DALAM SUATU PERISTIWA HUKUM 266
xxvi
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
DAFTAR GAMBAR GAMBAR 3-1 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF GAMBAR 3-2 BENTUK VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF GAMBAR 4-1 PROSES PENEMUAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK GAMBAR 4-2 WUJUD VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN GAMBAR 5-1 POLA SPIRALISASI PENCARIAN DAN PENEMUAN BUKTI DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) GAMBAR 5-2 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN GAMBAR 5-3 WUJUD RANGKAIAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN GAMBAR 6-1 RANGKAIAN INTEGRATIF PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK GAMBAR 6-2 VISUM AKUNTANSI FORENSIK
114 115 165 166 212 227 228 238 239
xxvii
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 1 PENDAHULUAN
Wolak-walik ing jaman Kalabendhu… Wong bener tan saya thenger-thenger; Wong apik bakal ditampik; Wong salah tan saya bungah; Wong jahat bakal munggah pangkat; Wong ala kapuja; Wong pinter diinger-inger; Angkara murka tan saya ndadi… (Prabu Jayabaya)
1.1. LATAR BELAKANG Membangun Grand Design Dalam Mencari Visum Akuntansi Forensik
Studi ini berkait erat dan terjalin secara berkelindan dengan bagaimana auditor investigatif, penyelidik dan penyidik mencari, menemukan serta mengumpulkan alatalat bukti dan barang bukti terhadap tindak pidana korupsi hingga terbentuk visum akuntansi forensik yang berfungsi sebagai dukungan litigasi atau ―berperkara‖ dii pengadilan. Kata ―forensik‖ itu biasanya diasosiasikan dengan dokter bedah atau otopsi mayat guna menentukan penyebab dan kapan kematian si korban terjadi. Otopsi dokter forensik itu akan menghasilkan apa yang disebut dengan visum et repertum1. Pada tahap berikutnya, pengetahuan forensik ini telah menjadi bagian yang niscaya dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk menjadi dukungan bagi
pencarian
dan
penemuan
alat
bukti
dan
pembuktian
proses
litigasi.
Visum Et Repertum mempunyai arti Visum = something seen, Et = and dan Repertum = invention, find out, jadi arti visum et repertum merupakan something seen and invention or find-out. Dengan demikian arti Visum Et Repertum adalah sesuatu atau apa-apa yang dilihat pada si korban (Tuanakotta, 2007, 5 dan Abdussalam, 2006, 6).. 1
1
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Pengembangan ilmu pengetahuan ini terjadi pada misalnya fisika forensik, kimia forensik, metalurgi balistik forensik, antropologi forensik, psikologi forensik dan ilmu pengetahuan lainnya termasuk di dalamnya adalah akuntansi forensik. Berbasis dialog sebelumnya, dapat saya nyatakan bahwa akuntansi forensik merupakan suatu disiplin ilmu akuntansi yang telah menerobos batas-batas demarkasi yang kemudian didayagunakan untuk kepentingan hukum (as support for a litigation). Terobosan ilmu akuntansi ini kemudian berkolaborasi dengan ilmu auditing dan ilmu hukum. Jadi, inheren dalam akuntansi forensik adalah ilmu akuntansi, ilmu auditing dan pengetahuan hukum. Untuk lebih memperjelas uraian sebelumnya, berikut ini saya gambarkan mengenai implementasi dan daya kerja akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, bagi saya, penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) berada pada domain ilmu akuntansi. Mengapa? Karena, untuk menghasilkan sebuah angka PKKN itu, dilakukan dengan cara yakni berbasis dokumen-dokumen dan data akuntansi yang terkumpul, kemudian dilakukan konstruksi angka PKKN. Langkah konstruktif atas angka-angka semacam itu merupakan karakteristik utama dan niscaya bagi disiplin ilmu akuntansi. Pada upaya mencari dan mengumpulkan dokumen dan data, termasuk mengenai mencari tahu siapa pelakunya, bagaimana pelaku melakukannya, kapan kejahatan itu terjadi, di mana kejadiannya, mengapa kejahatan ini dilakukan oleh si pelaku tentu akan masuk pada wilayah audit investigatif. Karena itu tracing, vouching, reperforming, reconciling, interviewing, inquring dan prosedur serta teknik-teknik audit lainnya yang terdapat dalam domain ilmu auditing merupakan bagian yang niscaya dan tidak terhindarkan dalam ilmu akuntansi forensik.
2
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Arsitektur akuntansi forensik yang merupakan kolaborasi atas tiga macam ilmu pengetahuan itu disetujui oleh Lorie (1998, 6) dengan mengatakan bahwa forensic accounting may be difined as the practice of accounting in connection with administration of justice. Forensic accounting, like forensic chemistry, might properly include examination for the purpose of obtaining evidence; however, auditing includes this subject. The preparation of fiduciaries report for submission to courts, is included in estate accounting… both written and oral evidence by the accountant. Pada akhirnya dalam litigasi, baik laporan PKKN, bukti akuntansi maupun bukti audit investigatif harus terklasifikasikan ke dalam salah satu dari lima macam alat bukti yang diatur oleh KUHAP. Jadi, dari diskusi sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dan kejahatan keuangan, keniscayaan atas elaborasi atas akuntansi forensik merupakan hal yang tidak terbantahkan. Akuntansi forensik merupakan suatu kolaborasi antara pengetahuan akuntansi, auditing dan ilmu hukum akan menjadi dasar utama bagi dukungan proses dan penyelesaian litigasi. Selanjutnya, fokus studi ini lebih saya tekankan pada bagaimana pencarian mendalam dilakukan oleh auditor investigatif, penyelidik dan penyidik hingga terwujudnya suatu potret ―visum akuntansi forensik‖. Bentuk visum akuntansi forensik dapat saya gambarkan sebagai suatu pertautan antara bukti akuntansi, bukti auditing dan bukti hukum yang terpecah-pecah dan tersebar (fragmented). Bukti yang terfragmentasi itu kemudian diikat dalam suatu ikatan yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Visum akuntansi forensik inilah yang pada gilirannya akan menjadi basis pembuktian pada seluruh proses litigasi dalam perkara tindak pidana korupsi.
3
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Visum akuntansi forensik juga menggambarkan jejaring alat bukti tindak pidana korupsi berdasarkan teknik, metoda, strategi, dan cara pandang, serta persepsi yang telah membatin (internalized) pada diri auditor investigatif, penyelidik dan penyidik. Visum akuntansi forensik sebagai jejaring alat bukti, dapat saya artikan sebagaimana bangunan alat bukti yang disebut Mautz dan Sharaf2 (1963, 83) sebagai ―rational argumentation” atau ―rational basis for forming judgement” melalui an extremely convincing “case” based on a number of established facts and great deal of rationalization. Bentuk visum akuntansi forensik akan direpresentasikan dalam suatu jejaring chart and matrix3 yang di dalamnya berupa alat-alat bukti dan barang bukti. Sebuah representasi yang dapat memberikan gambaran cermat jelas, dan lengkap (a beyond reasonable doubt) atas eksistensi tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, visum akuntansi forensik adalah sebuah uraian komprehensif mengenai unsur-unsur pelanggaran yang disangkakan yang dipadukan dengan perbuatan hukum si pelaku disertai dengan dukungan alat bukti dan barang bukti atas pelanggaran tersebut. Jejaring chart and matrix yang terajut dalam layaknya suatu mozaik4 yang tertata dalam satu gambar yang indah dan mempesona.
Dalam American Accounting Association Monograph No. 6, Mautz and Sharaf (1993,82-83) menyatakan evidence dapat dikategorikan dalam bentuk natural, created, and rational argumentation. “Natural evidence” exist all around us and it relied upon commonly in every mental activity we perform. Natural evidence is the most convincing evidence available. “Created Evidence” is not naturally existent in the world about us; some effort is required to bring it forth. When scientiest performs an experiment he is creating evidence. “Rational Argumentation”, in legal proceedings, for example, a skilfull of attorney may develop and extremely convincing “case” based on number of established facts and great deal of rationalization 2
Chart merupakan uraian mengenai modus operandi perbuatan yang dilanggar si pelaku berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku, sedangkan matrix merupakan hubungan relasional yang berkait erat dengan perbuatan si pelaku yang berupa rangkaian satu fakta dengan fakta lainnya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, serta antara satu dokumen dengan dokumen lainnya sehingga terbentuk suatu gambaran kepastian yang kuat bahwa eksistensi kejahatan korupsi telah terjadi Lilik Mulyadi (2007, 150) 3
Mozaik merupakan potongan-potongan gambar, kemudian dihubungkan kembali sehingga menjadi sebuah gambar yang utuh. Masing-masing bagian gambar berdiri sendiri-sendiri namun tidak tidak lepas hubungannya secara integral dengan bagian-bagian yang lainnya. Hubungan tersebut terjadi berkait erat dan terjalin secara berkelindan 4
4
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Studi ini bersifat eksploratif beraliran paradigma konstruktivis. Langkah eksploratif dilakukan dengan melakukan kajian mendalam atas kasus-kasus tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van bewijs) ditambah dengan kajian berupa pandangan, doktrin serta sumber-sumber lain yang berkaitan secara erat dengan kasus tindak pidana korupsi. Kajian akan saya mulai sejak dari informasi awal yang dapat menggambarkan dari mana sumber-sumber informasi awal itu diperoleh, bagaimana formulasi indikasi tindak pidana korupsi diyakini hingga visum akuntansi forensic dalam tindak pidana korupsi itu dapat terwujud secara pasti dan nyata. Metodologi yang saya gunakan dalam studi ini adalah grounded theory. Suatu metodologi penelitian yang ditemukan oleh Glasser dan Strauss. Grounded theory merupakan suatu cara membangun teori berbasis data empirik dengan bekal theoritical sensitivity, creativity and imagination. Grounded theory adalah suatu cara membangun teoritisasi data berbasiskan apa yang diungkap subjek (informan) yang diperkaya dengan sumber-sumber teoritik. Peneliti secara kontinyu akan memoles temuantemuan yang didapatkan hingga menjadi sebuah proposisi (hipotesis teori). Selanjutnya, berkaitan dengan bangunan dan penciptaan proposisi, pada dasarnya saat manusia berhadapan dengan kompleksitas realitas kehidupan dapat dipastikan bahwa manusia itu akan menderita apa yang disebut dengan a bounded rationality. Untuk mengatasi keterbatasannya itu, manusia kemudian membangun abstraksi dan gagasan berupa simbol (penanda atau metafor) yang dapat dijadikannya sebagai bentuk representasi kehendak dan pikiran atas wujud realitas itu sendiri. Abstraksi atau label tersebut akan mewujud dalam bentuk simbol-simbol berupa bahasa atau konsep atau proposisi. Oleh karena itu, adanya perbedaan preconception
dengan bagian-bagian lainnya. Bagian-bagian itu, bilamana berdiri secara sendiriantidak mempunyai arti di luar kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Bilamana terjadi konflik atau kontradiksi akan dan harus diselesaikan oleh dan dalam sistem mozaik itu sendiri.
5
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yang dimiliki pada setiap manusia membawa konsekuensi atas simbol yang dibuat tersebut, dan boleh jadi serta mungkin saja akan memiliki bentuk yang berbeda-beda serta dimaknai secara berbeda oleh manusia lain. Jadi, pemaknaan atas realitas sosial senantiasa cenderung berpola variatif. Keanekaragaman pola membawa konsekuensi pada sudut pandang dan hasil pemikiran yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila ada manusia yang sangat antusias pada masalah politik, lalu membuat label zoon politicon. Label itu mengasumsikan pada stigma bahwa manusia senang pada kekuasaan, suka mengejar kekuasaan dan cenderung mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya (Machiavellian). Dari stigma ini kemudian muncul gagasan, ide, konsep maupun teori yang mengisi cakrawala dalam khasanah ilmu politik dan kekuasaan. Di samping pada masalah politik, ada juga manusia yang tertarik pada masalah ekonomi, yang kemudian berusaha untuk mencari dan mewujudkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan orang lain, lalu lahirlah label homo economicus. Label ini mengasumsikan bahwa manusia sebagai hewan ekonomi (economic animal) yang akan selalu mengejar kepuasan materi belaka. Homo economicus mempunyai ciri utama yakni di satu sisi dia adalah pemburu tangguh benefit maximizer, dan pada sisi yang lain ia merupakan sosok reduksionis tulen yang senantiasa berfikir atas terciptanya cost minimizer. Kesadaran, kreasi, kreativitas dan imajinasinya terpateri kuat untuk selalu berupaya mewujudkan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Namun, ada juga manusia yang mengarahkan sudut pandangnya pada bagaimana pola perilaku dan interaksi antar individu serta proses sosial masyarakat berlangsung. Dari sini muncullah kajian di bidang sosiologi yang menekankan pada understandings, meanings and sense-nya terhadap sistem sosial serta fenomena
6
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dalam realitas sosial masyarakat. Bagi yang mengandaikan masyarakat menguasai individu tentu akan menekankan studinya pada pentingnya sistem sosial, yang pada akhirnya melahirkan berbagai teori mengenai struktur dan fungsi dalam masyarakat. Lalu muncullah tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim, Talcott Parsons, Anthony Giddens, dan lainnya. Namun, bagi mereka yang menekankan studi dan tilikannya pada manusia dalam masyarakat akan selalu mengedepankan proses konstruksi individu atas dunia sekitarnya. Pandangan demikian itu kemudian menelorkan karyakarya besar semisal adikarya hasil kreasi Max Weber, Herbert Mead, Georg Simmel, Erving
Goffman
maupun
kalangan
interaksionis
simbolik,
fenomenologis,
etnometodologis dan kaum konstruktivis lainnya (Maliki, 2003, viii dan Hidayat, 2004, 19]). Konfigurasi-konfigurasi berbagai macam titik pandang itulah yang kemudian memunculkan pembagian garis demarkasi pengetahuan secara tegas namun parsial. Pembelahan itu kemudian menciptakan blok-blok dan sekat-sekat pada berbagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri. Kondisi seperti di atas itu juga diungkapkan oleh Max Scheler yang dikutip oleh Abidin (2006,6) sebagai berikut: “Tidak ada periode lain dalam pengetahuan manusia, di mana manusia menjadi semakin problematis, seperti pada periode kita ini… kita tidak lagi memiliki gambaran yang jelas dan konsisten tentang manusia. Semakin banyak ilmu-ilmu khusus yang terjun untuk mempelajari manusia, tidak semakin menjernihkan konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya malah semakin membingungkan dan mengaburkan... mereka (para ilmuwan) itu tidak ubahnya seperti seorang seniman yang menyambung-sambungkan antara tangan, kaki, kepala, dan anggota-anggota tubuh secara tidak pas, sehingga hasilnya lebih menyerupai monster ketimbang manusia.”
Karena perbedaan sudut pandang itulah tak pelak lalu terhampar panorama beragam atas cabang dan ranting ilmu pengetahuan yang menghegemoni pikiran manusia. Konfigurasi fragmentasi itu kemudian dapat kita lihat pada lahir, muncul dan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan seperti: fisika, kimia, biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, astronomi, bahasa dan lainnya termasuk hukum, akuntansi dan
7
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
auditing. Fragmentasi itu, secara historis membangun komunitas-komunitas sempalan atau sekte-sekte sendiri yang mengkonstruksi dan mengabstraksi konsepsi yang dibatinkan (internalized) dalam kesadaran dan nalar-budinya, yang dalam pemahaman Marxian disebut sebagai memiliki ―suprastruktur‖ yang berbeda baik dalam perspektif, pola pikir (paradigm) dan sudut pandang (mindset) yang variatif dan berpuspa ragam. Kondisi semacam itu juga menjadi bagian dari pemikiran fiosofis Gramcian. (Wahid, 2005, 18). Antonio Gramci mengungkapkan bahwa dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya refleksi struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan juga sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Hubungan yang ideal dan material berlangsung tidak searah, melainkan saling bergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi dan sekaligus ideologi. Kemampuan gagasan yang menguasai lapisan kesadaran masyarakat itulah yang disebut sebagai ―hegemoni‖ (Wahid, 2005, 18). Eksistensi hegemoni atas kesadaran pada benak dan nalar, menjadikan manusia tidak lagi menjadi ―agen-aktif‖ melainkan sosok ―agen-pasif‖ yang tidak lagi bebas melakukan kreativitas baru, ide-ide cemerlang dan gagasan-gagasan menantang. Penguasaan kesadaran secara hegemonik membawa cara pandang bahwa apa yang telah mereka miliki merupakan sesuatu yang niscaya benar dan menjadi ideologi yang harus dianut oleh manusia lain. Klaim-klaim kebenaran akan senantiasa berlandaskan dan bermuara pada ideologi yang diyakini dan menghegemoni pikiran mereka itu. Selanjutnya, pada aliran paradigma kritikal (critical paradigm) yang mewarnai pandangan Gramci merupakan era postpositivist yang memiliki ciri utama yakni menolak
ketidakadilan
dan
menuntut
eksistensi
keadilan
dan
emansipasi
(Udiyaningsih, 2007,1). Teori kritik tradisional yang biasa disebut sebagai teori kritik strukturalis menuntut perubahan total sosial yang adil yang mengambil inspirasi dari
8
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ajaran Karl Marx yang dikembangkan secara matang yang bermetamorfosis dalam wujud gerakan New-left dengan Althusser dan Dahrendorf sebagai tokohnya. Selanjutnya, Udyaningsih (2007, 2) mengatakan bahwa ajaran New-left memiliki ciri khas yakni mengendepankan human conciousness. Ajaran inilah yang kemudian dikembangkan oleh Georg Lucacs, Antonio Gramci dan Theodore Adorno serta Jurgen Habermas5. Mereka melihat dan meyakini bahwa realitas sosial tidak diciptakan oleh alam tetapi oleh manusia. Realitas sosial itulah yang berkuasa dan selalu
mengkondisikan
dan
mencuci
otak
manusia
agar
memahami
atau
menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Habermas dan kawan-kawannya itu sangat meyakini bahwa realitas yang nampak bukan realitas itu sendiri. Apa yang nampak dipermukaan merupakan illusi dan distorsi (nemona di balik fenomena). Para penganut teori kritis akan senantiasa berusaha untuk membuat realitas yang ada menjadi seimbang, tidak ada yang dikalahkan, disisihkan dan tidak ada diskriminasi. Dalam pandangan paradigma kritis, diyakini bahwa manusia memiliki potensi besar untuk berkreasi. Namun, karena mereka ditekan dan dibatasi oleh kondisi dan faktor sosial lainnya serta dieksploitasi untuk meyakini bahwa destinasinya telah benar, lalu keyakinan terhadap illusi yang dianggap benar tersebut (hegemonik), yang pada ujungnya menciptakan kesadaran yang tidak benar dan mencegah serta membatasi manusia dalam merealisasikan potensi dirinya secara penuh dan utuh. Oleh karena itu, Triyuwono (2000, 56) menyatakan bahwa manakala seseorang memandang dirinya sebagai ―agen pasif‖ yang tak berdaya untuk menciptakan dunianya sendiri, dia akan masuk dan terperangkap dalam sistem sosial yang ada, Mereka adalah penganut ajaran Karl Mark. Karl Marx dalam materialisme historisnya, mengungkapkan sebuah proposisi: “bukan kesadaran yang membentuk keadaan, melainkan keadaanlah yang membentuk kesadaran”. Proposisi ini merupakan buah sintesis dari ajaran dialektika Hegelian, Materialisme Feurbach dan teori evolusinya Charles Darwin. (Dawan Rahardjo, 1992, Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, hal. 5-6) 5
9
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
layaknya kehidupan ikan yang tak tahu kehidupan di darat. Triyuwono melanjutkan bahwa dengan persepsi manusia adalah ―agen aktif‖ tentu dia akan mampu mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang ditandai maraknya riset etnografik, historik, fenomenologik, studi kasus, observasi partisipasi dan termasuk grounded theory guna mendapatkan penjelasan ilmiah, temporer, kontekstual tentang kehendak manusia dan realitas sosial secara komprehensif. Seirama dengan yang diungkap Triyuwono, bagi pandangan Michel Foucault, yang ditulis kembali oleh Boulatta (2001, 194) mengatakan bahwa ‗pemikiran‘ dapat mengendalikan realitas, seberapa pun tingkatan penguasaan itu. Pandangan Foucault ini merupakan sebuah pengakuan terhadap kekuatan pengetahuan yang hegemonik. Pengakuan atas sebuah sistem pengetahuan yang tumbuh, berakumulasi, dan berputar dalam masyarakat akan menjadi sebuah wacana kultural yang menyebar, memberi ciri dan membentuk dunia sosial, institusi, nilai, dan perilaku kepada anggotaanggotanya. Wacana itu akan terdiri dari pemikiran yang diungkapkan dalam pembicaraan, pernyataan, teks dan cara-cara komunikasi kebahasaan lainnya, dan umumnya mereka berpegang dan meyakini bahwa wacana tersebut memuat ―kebenaran‖. Bagi Foucault, di mana pun terdapat wacana (discourse), niscaya di sana kekuasaan akan diterapkan. Agar wacana mengandung kebenaran, maka wacana harus mampu melakukan konstruksi makna secara verbal dalam suatu cara yang dapat diterima oleh orang tertentu dan persepsinya terhadap realitas. Dengan kata lain, ―makna‖ tidak hanya ditemukan dalam pemikiran yang diungkapkan secara verbal, tetapi juga direpresentasikan dalam masyarakat yang institusinya termasuk dalam praktik-praktik sosial dan teknik-teknik institusional. Oleh karena itu, fragmentasi ilmu pengetahuan yang telah didiskusikan sebelumnya membawa konsekuensi logis dalam komunitas-komunitas pengikutnya.
10
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Misalnya, dalam komunitas akuntansi mengartikan suatu teori, asumsi dan simbol yang dibangun boleh jadi tidak sesuai dan sebangun (tidak berartikulasi) dengan komunitas lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep, teori-teori dan asumsi-asumsi pada komunitas akuntansi bisa jadi dan boleh saja tidak sesuai dengan asas-asas atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu hukum. Hal itu terlihat pada misalnya accrual basis concept dalam komunitas akuntansi telah digunakan begitu luas dan diyakini mampu menangkap dan merepresentasikan realitas objektif secara holistik, namun accrual basis concept itu tidak sesuai dengan pola pikir pada komunitas hukum yang lebih dapat memahami dan menerima secara penuh cash basis concept. Contohnya saja, depreciation expenses yang merupakan bagian dari cost allocation serta bad debt expenses yang merupakan wujud implementasi conservatism concepts yang masingmasing merupakan hasil analisis, estimasi dan perhitungan (suatu biaya yang tidak berupa uang tunai) kemudian masuk dalam laporan laba rugi dan menjadi pengurang laba (accounting income) tentu agak sukar untuk dapat diterima dan dipahami oleh pola pikir komunitas hukum. Laba dalam pola pikir hukum akan senantiasa dipersepsikan sebagai laba tunai, dan bukan sebagai konsep laba akuntansi atau lainnya. Komunitas hukum, akan mengalami kesulitan untuk dapat menerima terjadinya pengurangan laba tanpa adanya uang tunai yang keluar (cash-out flow). Demikian juga, konsep materialitas (materiality) yang sangat akrab dan selalu menjadi pegangan komunitas auditor, di mana konsep itu senantiasa akan mentolerir (excuse) ―jumlah tertentu‖ atas errors and irregularities yang biasa disebut sebagai misstatement dan/atau misappropriation, boleh jadi konsep materialitas akan mengandung ketidaksepahaman dengan komunitas hukum. Dalam soal materialitas itu, komunitas hukum lebih menekankan materialitas pada hubungan antara nilai bukti dengan persangkaan atau klaim yang dipersengketakan.
11
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tedapat contoh yang dapat kita lihat secara jelas, yakni kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp.100 Milyar. Kasus aliran dana BI itu, saat audit umum (general audit) atas laporan keuangan BI, penyimpangan angka Rp.100 miliar itu oleh BPK dinyatakan tidak material, dan karenanya opini atas laporan keuangan BI menjadi wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion). Namun terhadap kasus aliran dana yang sama, pada perkara hukumnya (tindak pidana korupsi) ternyata Dewan Gubernur BI seperti Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin, Roswita Roza, dan pejabat BI lainnya seperti Rusly Simanjutak dan Oey Hoey Tiong terjaring dalam jeratan kasus hukum. Demikian juga dalam mengartikan ―kesalahan‖ (wrongs, errors), komunitas hukum (aliran legalistis positivis-normatif) pada umumnya mengarahkan makna kesalahan pada isi, maksud dan semangat yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang, yakni apakah dalam kesalahan (pidana) itu terdapat perbuatan yang mengandung unsur-unsur pelanggaran yang sudah diabstraksikan dalam ketentuan undang-undang? Dengan demikian, titik tekan kesalahan dalam komunitas hukum bukan pada nilai materialitas atau signifikansi nilai rupiah kesalahan, melainkan lebih pada unsur perbuatannya yang melanggar hukum (ketentuan), misalnya bukti notulen rapat boleh jadi akan mengandung nilai signifikan meski secara nominalitas rupiah atas bukti ini memiliki nilai yang sangat kecil. Perbedaan sudut pandang dalam komunitas akuntansi, auditing dan hukum sudah tentu membawa konsekuensi terjadinya celah (gap) yang menganga. Kerumitan akan hadir saat mana komunitas itu dihadapkan secara langsung pada problema mengenai bagaimana membangun bukti tindak pidana korupsi. Bilamana tidak dilakukan pertautan atau integrasian diantara komunitas-komunitas tersebut maka
12
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
komunitas akuntansi yang memiliki tradisi berbeda dengan komunitas hukum tentu mengalami kerancuan (gagap [?]) dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti atas tindak pidana korupsi. Komunitas akuntansi dan auditor akan membangun bukti dari jejak-jejak terjadinya transaksi keuangan seperti keluar-masuknya uang, kontrak-kontrak yang dibuat dan ditandangani, dan/atau komitmen-komitmen keuangan yang telah dan akan ditindaklanjuti. Dengan kata lain, bukti akuntansi lebih bersifat konstruktif. Demikian juga, komunitas auditing, bukti akan dibangun melalui prosedur dan teknik penelusuran melalui inspeksi, observasi, konfirmasi, wawancara, vouching, tracing, reconciling, reperforming dan teknik-teknik audit lainnya (lebih bersifat analitik). Sedangkan pada komunitas hukum, dalam membangun bukti tindak pidana korupsi akan sarat dengan sifat legal-formalnya di mana bukti akan dihimpun dan diarahkan terhadap kesesuaian dan
kesepaduannya
dengan
ketentuan
yang
ada
dalam
pasal-pasal
yang
terformulasikan dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Perbedaan terhadap ketiga bangunan bukti itu akan sangat terasa kental manakala kita melihat pada fakta-fakta empiris atas berbagai kasus penanganan tindak pidana korupsi. Banyak para koruptor yang dilepas begitu saja dengan dalih kurang atau lemahnya alat bukti atau tidak terbuktinya perbuatan melawan hukum si pelaku (koruptor), atau tidak adanya nilai kerugian keuangan Negara (PKKN). Di sinilah letak permasalahannya, fragmentasi ilmu pengetahuan telah melahirkan pandangan rabun jauh (myopic) dan sikap chauvisnistic yang menegasikan dan mencoba mengeliminasi bidang ilmu lain atau tidak sejenis. Mereka lupa, sejatinya ilmu pengetahuan adalah sebuah bentuk human science, yakni suatu ilmu pengetahuan yang berguna bagi hidup dan kehidupan manusia, bukan ilmu pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri.
13
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Pandangan sempit seperti itu dapat kita lihat misalnya pada pengetahuan akuntansi yang lebih tunduk pada tyranny of numbers. Angka-angka menjadi berhala dan sumber kebenaran. Padahal realitas masyakat tidak mungkin hanya dapat dideskripsikan, dieksplanasi dan/atau diprediksi melalui angka-angka an sich, hal itu mengingat luasnya rentang dimensi dan variasi yang berada dalam hidup dan kehidupan manusia. Karena itu, sudah seharusnya akuntansi juga harus sanggup menoleh pada ilmu pengetahuan lain dan mengembalikan kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia dan memberikan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian problema hidup dan kehidupan manusia yang kompleks ini. Demikian juga halnya pada ilmu pengetahuan hukum, sudah seharusnya tidak lagi memiliki sifat normatif, doktrinal, formal, dan legalistik semata. Ilmu hukum harus memiliki corak responsif dan progresif6 serta berada pada aras hubungan yang berkait erat antara manusia dengan hukum. Ilmu hukum sebagai human science, seharusnya dibuat, dirumuskan, diabstraksikan, dipahami dan dijalankan oleh manusia serta dapat mengayomi dan melayani kepentingan manusia dan terbuka serta menyentuh atas jejaring sosial kemanusiaan. Karakter responsif akan menggambarkan suatu kapasitas adaptasi yang bertanggung jawab, selektif dan tidak serampangan. Responsif, adalah sebuah bentuk bukti yang mampu mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya, sembari tetap memperhatikan eksistensi kekuatan-kekuatan baru dalam lingkungannya (Nonet, 2007, 91). Karakter responsif ala Nonet tersebut akan dibangun melalui tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus peluang bagi koreksi-diri, mengedepankan pertimbangan tujuan (result-oriented) daripada peraturan (legisme) 6
“Progresif“ berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mengikuti perkembangan zaman dan sekaligus mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri (Susanto, 2007, 28-29).
14
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
belaka. Karakter responsif akan mengandung kekangan erat untuk tidak dikonstruksi melampaui batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Doktrin tersebut sering dikenal dengan “ultra-vires doctrine” 7. Karakter progresif akan dikonstruksi dengan ciri holistik tentu memiliki sifat yang selalu begerak baik secara evolutif maupun revolusioner. Sebuah sifat pergerakan yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan namun sesuatu yang eksis dan prinsipil (Satjipto Rahardjo, 2006, 18). Dengan demikian, esensi dan substansinya adalah ―pemaknaan‖ yang tak pernah
berhenti,
dan
senantiasa
melakukan
upaya
pendewasaan
sekaligus
pematangan bagi pembebasan serta selalu melakukan searching for the thruth. Bila perlu, dalam visum akuntansi yang baru tersebut memiliki respons dalam melakukan pergeseran paradigmatik (shifting paradigm) dan dapat dilakukan ―referendum‖ secara terus menerus dalam rangka untuk membangun konsep, teori, asas, prinsip, standar, treatment yang boleh jadi baru yang mengedepankan rasa keadilan, dimensi kegunaan serta menciptakan ketertiban atas hidup dan kehidupan manusia. Dengan mencuatnya perbedaan sudut pandang terhadap bukti dalam penyelesaian kasus korupsi misalnya, ditambah dengan kedekatan akuntansi, auditing dan hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi tentu merupakan sebuah kajian menarik dan menantang. Studi mengenai akuntansi forensik yang fokus utamanya mengarah pada bagaimana proses membangun hingga terbentuknya visum akuntansi forensik merupakan sebuah studi yang promising and bridging the gap.
Dengan diakuinya badan hukum sebagai badan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah dengan para pribadi-pribadi dilandasai oleh berbagai dasar dan filosofi hukum. Akan tetapi eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum. Dengan demikian, eksistensi suatu perseroan terbatas sebagai suatu badan hukum mandiri hanya dapat terlaksana dengan suatu konsesi khusus dari negara. Salah satu cara untuk menjaga agar perseroan tidak menyimpang dari misinya semula, sehingga selalu dapat diawasi adalah dengan membatasi dan mengawasi secara ketat kewenangankewenangannya, yang harus ditulis secara tegas dalam anggaran dasarnya. Dalam melaksanakan kewenangannya suatu perseroan tidak diperkenankan ke luar dari kewenangan yang sudah ditulis dalam anggaran dasar tersebut. Dari latar belakang filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin ultra vires (Fuady, 2002, 114115) 7
15
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Visum akuntansi forensik ini menjanjikan solusi dan sekaligus dapat menjembatani kesenjangan yang menjadi kendala utama dalam praktik mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, barang bukti dan pembuktian bagi proses litigasi atas kasuskasus tindak pidana korupsi. Terkait dengan combat to corruption, yang masalah utamanya adalah bagaimana proses mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, barang bukti dan pembuktian merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan bagi berkurangnya tindak pidana korupsi. Namun, banyak auditor yang berlatar pendidikan akuntansi an sich mengira bahwa bukti dalam auditing sama dengan bukti yang digunakan di pengadilan. Padahal, terdapat perbedaan karakteristik signifikan antara bukti audit dengan bukti yang dipergunakan dalam proses litigasi di pengadilan . Tabel 1-1 COMPARATIVE CLASSIFICATION OF EVIDENCE IN THREE FIELDS SIGNIFICANT CHARACTERISTICS Special purpose of area to which evidence pertinent
LAW
AUDITING
ACCOUNTING
Maintenance of justice
Protection of statement readers
Protection for stockholders, creditors and stakeholders
Subject matter to which evidence is pertinent
Occurences at given times and places
Financial statement propositions
Financial statement propositions
Method of collection or development
Presentation by opposing parties; rational deduction and inference.
Submission by interested and disinterested parties; Collected and developed by independent party; Rationalization
Submission by management; standarized by GAAP or/and IFAC i.e. IAS, IFRS and ICQS.
Role of judgement formation and evidence collection or development
Passive
Both positive and passive
Both positive and passive
Nature of rules governing the study of evidence
Logical presumptions; Rules of admissibility and relevance
Professional standards
Professional standards
Importance of time in judgement formation and evidence collection
A controlling factor
A controlling factor
A controlling factor
Compulsiveness of Persuasive Varies from absolute to Absolute evidence in judgement persuasive formation Sumber: Mautz dan Sharaf (1993, 92) dan Tuanakotta, (2007, 225), yang telah saya tambah dan olah
16
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 1.1. bukti hukum akan senantiasa berkait-erat dengan hal-hal yang spesifik. Dalam proses litigasi, bukti hukum akan disampaikan kepada hakim untuk membangun keyakinannya sendiri (hti nurani) dalam memberikan keputusan hukum. Dengan demikian, dalam perkara pidana, bukti hukumnya itu harus memiliki kriteria a beyond reasonable doubt. Sedangkan pada sisi lain, bukti akuntansi dan auditing (dapat dilihat pada tabel 1.1.) Jadi, bukti hukum, bukti audit dan bukti akuntansi memang berbeda. Perbedaan lebih disebabkan karena memiliki tujuan yang berbeda. Artinya, bukti hukum akan digunakan untuk meyakinkan (to convince) kepada hakim dalam mengambil putusan hukum, sedangkan bukti akuntansi digunakan untuk mengkonstruksi suatu asersi dan bukti audit ditujukan membangun opini atau laporan yang menghasilkan suatu kepastian bahwa asersi telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan atau suatu aturan yang niscaya berlaku umum.
1.2. PERMASALAHAN DAN FOKUS PENELITIAN Membangun Arah menuju Visum Akuntansi Forensik
―Kecurangan tidak selalu menyisakan bukti yang cukup laiknya smoking gun‖ kata Douglas W Squires (2003, 43) dalam ―Problems solved with forensic accounting: a legal perspectives‖. Kalimat Squires itu menyiratkan bahwa kejahatan keuangan atau tindak pidana korupsi, boleh jadi tidak banyak menyisakan jejak kejahatannya. Para penjahat keuangan itu telah membungkus perbuatan jahatnya secara berlapis-lapis sehingga sulit untuk dilacak dan ditemukan alat bukti dan barang buktinya. Seirama dengan hal di atas, dalam rangka perang melawan tindak pidana korupsi tentu kehadiran akuntan forensik atau financial criminalist merupakan keniscayaan yang tak terpungkiri. Lebih-lebih, seperti pada kondisi dan situasi tekanan resesi keuangan global seperti yang terjadi saat ini, tentu memunculkan creative (negative) accounting bahkan financial shananigan berupa cooking the book secara
17
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
gila-gilaan. Munculnya financial shananigan, mungkin saja menjadi bagian dari strategi culas dari para pengelola, direktur dan manajemen baik perusahaan swasta, BUMN maupun
aparatur
Pemerintah
untuk
melakukan
othak-atik-gathuk
pada
sisi
perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban keuangan. Akibatnya, fraud and corruption akan mengemuka seiring dengan perilaku jahat tersebut. Manakala kejahatan keuangan itu eksis, maka pertanyaan besarnya adalah bagaimanakah auditor, penyelidik dan penyidik melakukan eksplorasi untuk mencari alat bukti dan barang atas tindak pidana yang mereka lakukan itu? Di samping itu, pertanyaan strategik berikutnya adalah bagaimana bentuk alat bukti yang mereka temukan itu? Berbasis pengalaman panjang sebagai auditor (sejak 1990), dapat saya katakan bahwa keabsahan dan relevansi bukti itu akan sangat tergantung pada keadaan dan situasi yang berkait-erat dengan pemerolehan atas bukti tersebut. Jika bukti itu berkaitan dengan audit laporan keuangan maka bukti audit akan lebih banyak mengandalkan pada bukti yang bersifat mengarahkan (persuasive evidence) daripada yang bersifat meyakinkan (convincing evidence). Namun untuk audit investigatif, bukti akan lebih berfokus pada bukti yang dapat meyakinkan dan memastikan eksistensi fraud, kejahatan keuangan atau tindak pidana korupsi . Sejalan dengan bukti audit, kritik tajam (self critic) telah dilakukan oleh Bambang Sudibyo (2001, 3). Sudibyo mengatakan bahwa antara apa yang dimaksud dengan keterjadian bukti (evidential matter) dengan bukti (evidence) itu mempunyai makna yang berbeda. Evidence lebih mengarah pada makna hukumnya (form over substance), sedangkan evidential matter lebih menekankan pada makna substansinya (substance over form). Dengan demikian, menurut Sudibyo, bukti akuntansi seharusnya tidak mereduksi pemahaman bukti sebagai substance over form dan kemudian mengubahnya menjadi form over substance. Reduksi semacam itu
18
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
membawa dipertanyakannya atau diragukannya integritas auditor dalam menerbitkan opini atas laporan keuangan auditan. Evidential matter harus diperoleh auditor dengan mendayagunakan basis intelektual dan moral bagi penerbitan opini akuntan. Opini seharusnya tidak hanya dilandaskan pada evidence semata. Hal itu disebabkan karena, evidence lebih menekankan pada sisi formal legalnya belaka, sedangkan evidential matter lebih memiliki dan juga mengedepankan makna sisi subtansinya, lebih punya isi dan mampu mencerminkan realitas secara komprehensif (a double mirror
image).
Karena
itu,
pereduksian
evidential
matter
menjadi
evidence
berkonsekuensi atas kurang dapatnya laporan keuangan auditan mencerminkan dan berartikulasi dengan realitas objektif (perbandingan antara evidential matter dengan evidence dapat dilihat pada tabel 1.2). Tabel 1-2 PERBANDINGAN SIFAT ANTARA EVIDENTIAL MATTER DAN EVIDENCE DALAM BUKTI AUDIT LAPORAN KEUANGAN
No
EVIDENTIAL MATTER
EVIDENCE
1.
Ada di dalam benak atau kesadaran intelektual dan mental (hati) auditor
Ada di luar benak auditor
2
Abstrak
Konkrit, empiris
3
Realitas subyektif
Realitas obyektif
4
Realitas substantive
Realitas bentuk
Sumber: Sudibyo (2001, 8) Tabel 1.2. menjelaskan empat perbedaan utama antara evidential matter dengan evidence. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tebaran bukti-bukti akuntansi yang menjadi basis laporan keuangan dan atau asersi lainnya boleh jadi lebih bersifat evidence belaka, yang mengandung formalitas saja dan tidak mencerminkan evidential matter yang memiliki kandungan substansi dan keterjadiannya. Bisa jadi, bukti-bukti tersebut hanya kamuflase dan disebut juga sebagai ―bukti-buktian‖ yang hanya
19
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
memiliki kandungan asal ada bukti, atau hanya sekedar memenuhi syarat formal semata. Selanjutnya, berkaitan dengan proses mencari dan membangun alat bukti dan pembuktian bagi dukungan proses litigasi, ilmu akuntansi forensik ternyata menjadi rujukan dan keniscayaan yang tidak terhindarkan. Sebagai akibatnya, dengan ilmu akuntansi forensik menjadi rujukan utama, telah menggugah ketertarikan para akademisi untuk lebih mendalami dan memperkaya isi pengetahuan ini. Ketertarikan para akademisi itu tercermin dari salah satunya adalah Mary-Jo Kranacher et. al (2008) mengajukan a model curriculum for education in fraud and forensic accounting yang dimuat dalam issues in accounting education. Tulisan Mary Jo berisi mengenai apa saja yang harus dimasukkan dalam bahan ajar dalam akuntansi forensik. Dalam hal pengembangan akuntansi forensik, West Virginia University juga telah melakukan kerja sama dengan National Institute of Justice yang kemudian membentuk a planning panel dan technical working group (TWG) yang akhirnya membuat suatu rekomendasi yang berisi antara lain bahwa isi materi mata kuliah akuntansi forensik seharusnya meliputi antara lain: (1) criminology, (2) fraud prevention, detection, investigation and remediation, dan (3) forensik and litigation advisory service, termasuk di dalamnya adalah materi mengenai valuation of losses and damage, dispute investigation, conflict resolution serta materi mengenai arbitrase dan mediasi (mediation). Jadi, rekomendasi atas materi akuntansi forensik itu tidak lebih adalah sebuah gabungan lintas ilmu, yakni antara ilmu akuntansi, auditing, appraisal/valuation, hukum, kriminologi serta psikologi. Yang menarik pada salah satu isi tulisan rekomendasi itu adalah adanya interrelasi dinamis antara auditing, fraud examination, dan forensic
20
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
accounting. Artinya, dalam pekerjaan auditor, fraud professionals dan akuntan forensik akan senantiasa memiliki hubungan sinergis dan terjalin secara berkelindan di antara ketiganya Sridhar Ramamoorti (2008) memiliki pandangan berbeda dengan Mary-Jo Kranacher. Ramamoorti mengemukakan bahwa dalam kurikulum fraud and forensic accounting harus mengandung muatan komponen aspek psikologi dan sosiologi bahkan antropologi, di mana ketiganya merupakan rumpun Behavioral Sciences. Ramamoorti meyakini bahwa disiplin-disiplin ilmu tersebut akan menjadi dukungan kuat dan bekal bagi kerja akuntan forensik. Ramamoorti menjelaskan pentingnya behavioral science dalam kurikulum akuntansi forensik mengingat kerja akuntan forensik harus selalu memahami dan sanggup menyibak motif perbuatan jahat si pelaku. Di samping itu akuntan forensik akan senantiasa berhadapan dengan berbagai bentuk karakter manusia yang beraneka ragam berikut modus operandi dari kejahatan keuangan. Di samping dua yang telah saya sebut terdahulu, Lester and Heitger (2008) mengharapkan adanya incorporating forensic accounting and litigation advisory service into the classroom. Demikian juga George E Curtis mengatakan bahwa legal and regulatory environments and ethics merupakan essential components of a fraud and forensic accounting curriculum. Jadi, dengan semakin penting peranan akuntansi forensik dalam membangun alat bukti dan pembuktian dalam litigasi menjadikan para akademisi tergugah untuk membangun gagasan terhadap pengkayaan bahan ajar dan kurikulum bagi materi akuntansi forensik. Materi yang komprehensif dalam mata kuliah akuntansi forensik diharapkan dapat membekali para calon akuntan bahan-bahan yang cukup sebagai bekal dalam praktek mereka kelak.
21
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Di samping itu terdapat beberapa tulisan mengenai akuntansi forensik. Adalah seperti Leonard W Vona (2008) yang menulis mengenai fraud risk assessment yang berfokus pada bagaimana membangun audit program untuk melakukan fraud audit., Vona secara cantik dan rinci memberikan kisi-kisi tentang bagaimana seharusnya menulis sebuah laporan hasil fraud audit yang baik dan benar bagi kebutuhan litigasi di pengadilan. Menurut Vona, kesalahan penulisan dapat berakibat fatal dalam putusan akhir proses litigasi. Salah satu ciri tulisan bagi hasil fraud audit adalah tulisan itu harus sederhana, tidak bertele-tele dan tidak mengandung kalimat yang multi tafsir. Vona menyarankan agar tulisan lebih mengedepankan pada fakta-fakta dan tidak memuat opini-opini yang dapat membangun tafsir yang bermacam-macam. Tidak ketinggalan, Thomas W Golden et.al (2006) yang menulis mengenai a guide to forensic accounting investigation. Yang menarik Tulisan Golder ini, adalah uraiannya mengenai teknik-teknik interviu dan data mining dalam computer-aided forensic accounting investigation techniques. Golden mengingatkan bahwa forensic technology techniques telah menjadi sebuah keniscayaan dalam banyak kasus investigasi atas kasus kejahatan keuangan dan tindak pidana korupsi. Tulisan lain mengenai akuntansi forensik dan fraud investigation dilakukan seperti Hopwood et.al (2008), Linquist et. al ( 2008), Silverstone dan Sheet (2004 & 2007), Joseph T Wells (2007), Singelton et.al (2006), Tuanakotta (2008, 2009 dan 2010) dan para akademisi lainnya. Tulisan mereka memberi andil besar pada perkembangan dan pematangan akuntansi forensik. Misalnya saja pada tulisan Tuanakotta (2008 dan 2009) yang menguraikan dan mencoba mengkaitkan antara dimensi fraud investigation dengan arah akhir dari tujuan forensic accounting. Tuanakotta telah mencoba mengkaitkan antara teknik-teknik audit investigatif dengan wilayah hukum yang berlaku di Indonesia. Tulisan Tuanakotta itu juga telah
22
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
mengkaitkan antara perbuatan melawan hukum si pelaku dengan akibat perbuatannya tersebut, yang kemudian bagaimana cara menghitung perbedaan antara yang seharusnya dengan yang sebenarnya dalam angka kerugian keuangan negara, terutama dalam tindak pidana korupsi. Perkembangan akuntansi forensik itu juga menggugah hati peneliti Malaysia Ibrahim dan Mazni (2006). Ibrahim dan Mazni melakukan penelitian kepada para praktisi (direktur dan manajer) pada the big accounting firms, medium accounting firms, professional bodies and regulatory bodies, senior executives dari Bursa Malaysia, Securities Commissions, The Association of Chartered Certified Accountants/ACCA) dan The Malaysian Institute of Certified Public Accountants (MICPA). Hasilnya adalah bahwa perkembangan akuntansi forensik di Malaysia sangat lamban. Kelambanan perkembangan akuntansi forensik di Malaysia disebabkan oleh yang pertama adalah bahwa jasa akuntansi forensik sangat mahal karena hanya bisa dilakukan oleh the big accounting firms; dan biaya akan menjadi lebih mahal manakala kasus dibawa ke pengadilan yang menyertakan akuntan forensik sebagai saksi ahli. Kedua adalah di Malaysia belum adanya regulasi yang mengharuskan mendayagunakan akuntansi forensik manakala perusahaan-perusahaan masuk dalam kategori distress company. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa peran akuntan dan akuntansi forensik sangat diperlukan bagi penanganan kasus keuangan dan korupsi. Seirama dengan uraikan sebelumnya, studi ini akan berangkat melakukan eksplorasi pada kasus korupsi. Research question yang dibangun adalah bagaimana proses auditor investigatif, penyelidik dan penyidik dalam mencari, menemukan, mengumpulkan dan kemudian membangun visum akuntansi forensik sebagai alat dukung bagi proses litigasi.
23
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dalam hubungannya dengan alat bukti dan pembuktian, sebuah dakwaan dapat dinyatakan jelas, cermat dan lengkap manakala telah memenuhi syarat-syarat mengenai bentuk atau jenis tindak kejahatan yang dilakukan, yakni siapa pelakunya, di mana dilakukan (locus delicti), kapan dilakukan (tempus delicti), bagaimana melakukannya (modus operandi), apakah yang mendorongnya (motif atau niat), apa ketentuan yang dilanggarnya (Chazawi 2006, 44). Hal-hal itu adalah sederetan pertanyaan yang harus masuk dalam alat bukti yang akan menjadi dasar pembuktian. Berkait dengan bagaimana proses membangun bukti kejahatan korupsi, khususnya pada soal bagaimana mencari, menemukan, mengumpulkan dan membangun alat bukti, studi-studi berikut ini juga menjadi referensi berharga bagi penelitian ini. Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi, penelitian Daniel (2001) menyimpulkan
bahwa aparat penegak hukum relatif tidak berdaya, atau tidak
mempunyai kekuatan untuk menghadapi jenis tindak pidana korupsi. Hal itu dapat terjadi karena dua alasan pokok yaitu: (a) kedudukan ekonomi dan politik yang kuat dari si pelaku, (b) keadaan-keadaan di sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa, sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan. Kesulitan membangun bukti juga menjadi simpulan studi Soemarto (2004) bahwa banyak kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti sah khususnya dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti keterangan saksi dan surat. Akibatnya adalah seringkali sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan, penuntut umum sudah menyerah dan menyimpulkan bahwa perkara tersebut kurang atau tidak cukup bukti. Sedang dalam hal menguak motif korupsi, studi Indrawati (2001) menemukan bahwa motif-motif tindak pidana korupsi salah satunya adalah ketidaksiapan mental dan manajemen penerima dana dalam mengelola utang tersebut, kemudian memicu timbulnya penyimpangan dana KUT.
24
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Di samping uraian terdahulu itu, kita juga dapat menyaksikan bahwa banyak kasus-kasus korupsi ditangani dengan susah payah dan berbiaya besar kemudian pada akhirnya dibebaskan oleh Majelis Hakim. Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang kemudian si pelaku dibebaskan, membangunkan keingintahuan untuk kemudian tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi. Dari uraian sebelumnya itu, fokus studi ini akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan penelitian (research question) yang saya formulasikan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah auditor investigatif, penyelidik dan penyidik melakukan proses eksplorasi dan integrasi untuk membangun visum akuntansi forensik pada kasus tindak pidana korupsi korupsi?
2.
Bagaimanakah bentuk visum akuntansi forensik pada kasus tindak pidana korupsi?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Bentangan Horison dalam Mencari Panorama Wujud Visum Akuntansi Forensik
Alat Bukti dan barang bukti merupakan cara efektif untuk membuktikan kebenaran, apakah si terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Namun, dalam mencari alat bukti dan barang bukti dalam rangka untuk membuktikan suatu kejahatan tindak pidana korupsi, kita sering menjumpai beberapa kerumitan dan banyaknya kendala dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti tersebut. Kerumitan dan kendala dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti serta membuktikan eksistensi tindak pidana korupsi, telah mengarahkan tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan eksplorasi mendalam terhadap realitas obyektif mengenai bagaimanakah pola auditor investigatif, penyelidik dan penyidik mencari, menemukan, mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, yang
25
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
kemudian untuk membangun wujud dan deskripsi atas visum akuntansi forensik as a support for a litigation.
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN Upaya Membangun Monumen Bagi Anak Bangsa
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat antara lain: (a)
Mengetahui proses mencari, menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi forensik;
(b)
Menemukan wujud visum akuntansi forensik, sebagai bahan bagi penentuan kebijakan dan perencanaan dalam membangun alat bukti dan pembuktian pada kasus kejahatan keuangan (fraud) atau tindak pidana korupsi.
26
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 2 METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan penelitian kualitatif, bila dilihat dari aktivitasnya mirip dengan gerak kegiatan spionase. Karena peneliti mencari, memata-matai, meneropong, mengintai untuk mengambil data mentah dan kemudian menemukan pengetahuan dari lapangan...
2.1. PENGANTAR Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory
Penelitian Ilmiah adalah proses memecahkan masalah dengan menerapkan metode ilmiah. Dalam penelitian akuntansi, ada dua poros utama yakni kuantitatif dan kualitatif. Pada kegiatan penelitian kualitatif, terutama pada aliran kritis dan posmodern, bila dilihat dari aktivitasnya mirip dengan gerak kegiatan spionase. Karena peneliti akan selalu mencari, memata-matai, meneropong, mengintai dan kemudian menemukan pengetahuan dari lapangan (raw data). Meskipun demikian, temuan Ilmu pengetahuan harus tetap dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah-kaidah ilmiah agar gejala yang diteliti dan data yang diperoleh benar-benar cermat, andal, dan sahih. Tuntutan atas keharusan penelitian dalam memenuhi kaidah-kaidah ilmiah membawa konsekuensi bahwa, proyek penelitian harus memiliki asumsi-asumsi mengenai apa itu ilmu pengetahuan (ontologi), bagaimana cara kita mengetahuinya
27
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
(epistemologi), apa nilai-nilai yang masuk ke dalamnya (aksiologi), bagaimana kita menulis mengenai hal itu (retorika), dan bagaimana proses mengkajinya (metodologi). Kegiatan penelitian kualitatif mirip tindakan subversif, karena dalam penelitian kualitatif sering kali ilmu pengetahuan yang sudah mapan diprovokasi, digoyang, digedor, dibongkar dan dipertanyakan kebenarannya. Tindakan provokasi semacam itu dapat diibaratkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Galileo Galilei pada ratusan tahun yang lalu, yakni membongkar total keyakinan bahwa matahari mengelilingi bumi. Galileo membalik paradigma secara revolusioner dan dramatik terhadap paradigma ―geosentris‖ yakni bumi sebagai pusat pergerakan bintangbintang, lalu diubahnya menjadi paradigma ―heliosentris‖, yang berarti matahari sebagai pusat pergerakan bintang-bintang dan bumi. Suatu perubahan paradigma yang membalik total paradigma yang telah mapan dan diyakini kebenarannya oleh semua orang, termasuk keyakinan yang dimiliki gereja. Karena itu, sebagai imbalannya Galileo Galilei bersama kawan seperjuangannya Copernicus harus membayar dengan harga yang sangat mahal, mati di tiang gantungan! Tabel 2-1 PERBANDINGAN METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KUALITATIF
KUANTITATIF
Mendasarkan diri pada kekuatan narasi dan deskripsi
Mendasarkan diri pada angka dan kalkulasi matematis
Studi dalam situasi alamiah (natural)
Mengambil jarak dari situasi alamiah
Kontak langsung di lapangan
Menjaga jarak dari yang diteliti
Cara berfikir induktif
Cara berfikir deduktif
Perspektif holistik (mengungkap seluruh persoalan)
Perspektif reduktif (menyederhanakan persoalan)
Berorientasi pada kasus-kasus unik
Berorientasi pada universalitas, generalisasi
Memiliki fleksibilitas desain
Desain ditentukan dari awal
Peneliti instrumen kunci
Desain penelitian adalah instrumen kunci
Sumber: Widoyoko, et.al (2006, 11-12)
28
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 2.1. menggambarkan perbedaan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam berbagai sudut dan dimensi. Karena itu penelitian kualitatif itu memiliki beberapa ciri yang khas. Ciri yang dimiliki penelitian kualitatif antara lain adalah banyak mendasarkan pada kekuatan narasi. Artinya, untuk mengungkapkan realitas sosial yang kompleks, peneliti akan senantiasa bertumpu pada kekuatan narasi yang ditulisnya. Hal mana dilakukan untuk menunjukkan kedalaman persoalan dengan segenap aspek interpretasi terhadap realitas. Ciri lainnya adalah, penelitian kualitatif tidak selalu mendasarkan pertanyaan penelitian (research question) dari awal. Pertanyaan penelitian awal boleh jadi akan berubah setelah data terkumpul atau setelah peneliti telah dapat memahami dan menyelami fenomena yang diteliti itu. Karena itu, pertanyaan penelitian dapat saja diganti atau direformulasi dalam perjalanan penelitian. Dalam soal pengumpulan data, penelitian kualitatif tidak memanipulasi dan/atau membuat perlakuan khusus dan mengelompokkan data seperti penelitian kuantitatif. Data diperlakukan sebagaimana adanya secara alamiah, dan data dikumpulkan sepanjang proses penelitian. Peneliti secara terus menerus juga melakukan penambahan dan melakukan pembaharuan data, baik melalui observasi dan/atau wawancara mendalam, maupun studi pustaka. Dalam soal analisis, penelitian kualitatif melakukan analisis dengan membuat sintesis dari data yang telah terkumpul. Sedangkan dalam pengambilan simpulan akhir, peneliti melakukan pengambilan keputusan secara terus-menerus dalam proses penelitian sehingga terbuka kemungkinan simpulan berubah manakala ditemukan data yang baru dan berbeda dengan data awal, yang dapat mengubah simpulan awal. Bab dua ini akan menguraikan mengenai apa, bagaimana dan mengapa grounded theory digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini saya lakukan dalam
29
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
perspektif konstruktivis. Strategi penelitian saya letakkan dalam hubungan antara subjek dengan realitas. Demikian juga halnya, orientasi penemuan bukan pada proposisi-proposisi yang sistematis sebagai good science melainkan lebih kepada pemahaman (understandings). Sebuah pemahaman atas makna realitas yang terhampar dalam realitas penelitian. pembentukan pemahaman lebih pada daya refleksivitas dan indeksikalitas. Daya refleksivitas akan mengacu pada kemampuan menemukan dan merefleksikan dunia pengalaman, sedangkan indeksikalitas mengacu pada kemampuan membahasakan kembali refleksi dunia pengalaman ke dalam lambang-lambang kebebasan guna memahami pertalian maknanya dengan objek pemahaman (verstehen8) yang bercorak asosiatif.
2.2. OBYEK DAN SETTING Lahan Eksplorasi Bahan Dasar Bagi Visum Akuntansi Forensik
Obyek studi saya lakukan pada kasus-kasus tindak pidana korupsi yang relevan dengan agenda penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview) dan kajian kritis atas berbagai dokumendokumen, berkas-berkas yang berkaitan dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Selanjutnya, pengkayaan atas penelitian ini saya bangun melalui tambahan informan dari Kejaksaan, Advokat, auditor BPKP dan BPK, Penyelidik dan Penyidik, Dosen serta
Verstehen adalah sebuah istilah dalam bahasa Jerman yang memiliki arti dalam bahasa Inggris adalah understanding. Istilah ini dalam bahasa jerman untuk menunjukkan pemahaman dari dalam dengan cara empati, intuisi atau imajinasi sebagai oposisi dari pengetahuan dari luar, dengan cara observasi dan kalkulasi. Istilah ini khususnya digunakan oleh sosiolog Jerman Max Weber dan juga oleh filsuf-filsuf aliran neo-kantian seperti Dilthey dan Rickert. Beberapa ilmuwan menganggap verstehen merupakan karakteristik ilmu-ilmu sosial sebagai lawan dari ilmu-ilmu alam. Ada yang menyebut bahwa verstehen itu diperoleh atau berasal dari metode “hermeneutika”. Hermeneutika adalah sebuah pendekatan untuk memahami pemikiran pengarang dan struktur dasar dari suatu “teks” (Maryaeni, 2005, 33). Sementara itu, hal yang sama juga dinyatakan oleh Jujun Suriasumantri (1999, 144) bahwa Verstehen adalah suatu metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan, yang secara harfiah akan berarti “pengertian”, suatu kontras dengan apa yang disebut wissen yang berarti “mengetahui”. Dalam hal ini tujuan ilmu-ilmu sosial bukan untuk “mengetahui” namun harus “mengerti” terhadap suatu kejadian sosial. Oleh sebab itu metode untuk ilmu pengetahuan sosial hatus berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Sebuah “pengertian” akan didapat dengan jalan menempatkan diri kita (peneliti) pada tempat obyek yang ditelitinya. 8
30
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. Wawancara mendalam saya lakukan sebagai upaya untuk menambah, memperdalam dan memperkaya data yang telah terkumpul.
2.3. GROUNDED THEORY Metode Penjelajahan Dalam Mencari Visum Akuntansi Forensik
Grounded theory ditemukan oleh dua orang ahli sosiologi yaitu Barney G. Glasser dan Anselm L. Strauss pada tahun 1960-an. Berbeda dengan para teoritikus a priori, mereka berdua memegang teguh pandangan bahwa teori-teori harus diasah dalam data dari lapangan, khususnya dalam tindakan, interaksi dan proses sosial seseorang (Creswell, 1994, 56). Meskipun masing-masing berasal dari latar filsafat dan penelitian yang berbeda, mereka memberi sumbangsih yang sama-sama besar dan sama-sama pentingnya. Glasser berasal dari Universitas Columbia yang mempunyai tradisi intelektual kental pada penelitian empiris dalam pengembangan teori. Glasser sangat terpengaruh pola kerja dan pikiran induktif
9
yang pada awalnya dikembangkan oleh
Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (murid Talcott Parsons). Glasser lalu pindah ke University of California Medical Center at San Fransisco. Di sini, Glasser bertemu dengan Anselm L. Strauss yang membawa tradisi intelektual kualitatif versi Chicago School. Aliran Chicago adalah aliran yang sarat dengan pengaruh pemikiran interactionist yang dikembangkan oleh Robert E Park, W.I. Thomas, John Dewey, dan George Herbert Mead, Everest Hughes dan Herbert Blumer. Latar belakang Strauss
Penalaran induktif berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan berakhir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi (perampatan) dari keadaan khusus tersebut. Berbeda dengan penalaran deduktif, kebenaran premis menjamin kebenaran konklusi yang bersifat perampatan atau generalisasi. Kebenaran konklusi hanya dapat dijamin dengan tingkat keyakinan (confidence level atau coeffecient) tertentu, misalnya 95% atau 99% (Suwardjono, 2005, 35). Sementara itu, Evans (2003, 17) juga menyatakan: “the inductive method attempt to bring order to a disorderly, cahotic world. It attempt to see the overall structure in seemingly unorganized phenomena. It involves reasoning from the specific to the general and has been very useful in the physical sciences. 9
31
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
seperti itu kemudian memberikan sumbangsih yang besar pada pendekatan grounded theory (Strauss & Corbin, 1990, 25). Hal itu dapat kita lihat pada ungkapannya yang terdapat dalam pernyataan sebagai berikut: “The need to get out into the field, if one wants to understand whats to understand what is going on; the importance of theory, grounded in reality, to the development of a discipline; nature of experience and undergoing as continually evolving; the active role of persons in shaping the worlds they live in; an emphasis on change and process, and the variability and complexity of life and; interrelationship among conditions, meanings, and actions.”
Selanjutnya, Strauss & Corbin (1990, 25) mengungkapkan atas perlunya teori beralas pada data yang bermuara pada interaksi simbolis. Jadi, interaksi simbolis menjadi landasan utama dalam membangun teori berbasiskan data. Mereka juga mengatakan hal menarik tentang penelitian grounded theory sebagai berikut: “When referring to the analytical process, “Like any set of skills, the learning involve hard work, persistence, and some, not always entirely, pleasurable experinces.” To be sure, it is often immensely exciting and enjoyable too. Furthermore, these experience are requisite to discovering how to use and adapt any method―including grounded theory. The use and adaptation will inevitably be a ”composite of situational contexts, and for [developing] biography, astuteness [in doing the work], plus theoritical and social sensitivity. On top of this, to complete any research project, one needs a bit of luck and courage”
Keasyikan metodologi grounded theory pasti muncul pada tahapan analisis dalam temuan-temuannya. Suasana itu akan terus menjadi bagian dalam diri sang peneliti, karenanya peneliti grounded theory pada umumnya akan kecanduan untuk selalu meng-grounded-kan fenomena dengan menyelami kedalaman realitas yang terhampar dihadapannya. Suasana bahagia itu akan membawanya untuk selalu tergoda melakukan penelitian-penelitian berdasarkan grounded theory. Sanafiah Faisal (yang pernah menggunakan grounded theory dalam penelitian disertasinya) dari Universitas Negeri Malang (UM) mengatakan bahwa:
32
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Grounded theory sangat ideal untuk diterapkan manakala teori-teori tidak mampu memberikan jawaban yang seragam terhadap fenomena yang ada, atau memberikan jawaban namun dengan hasil yang berbeda-beda. Dengan kata lain, teori yang ada tidak mampu lagi memberikan explanation and prediction atas realitas. Anomali seperti itulah yang menjadi kerisauan Glasser dan Strauss yang kemudian mengembangkan grounded theory, yakni membangun teori berbasiskan data lapangan.”
Sebagai tambahan, kita juga dapat melihat pandangan dari Menteuffel (2006) yang dikutip Emzir (2008,190) atas metodologi grounded theory itu sebagai berikut: “Grounded theory methodology is a general method of comparative analysis to discover theory with four central criteria. i.e. work (generality), relevance (understanding), fit (valid), and modiviability (control). Grounded Theory methodology is one of the interpretive methods that share the common philosophy of phenomology.”
Jadi, bagi saya, grounded theory termasuk dalam domain paradigma konstruktivis. Hal ini saya dasarkan bahwa hasil penelitian dengan menggunakan grounded hheory akan merupakan ‗konstruksi‘ teoritisasi data yang berupa simpulan akhir atas hasil analisis dan sintesis data lapangan (raw data) dalam bentuk ‗proposisi‘ yang dapat menggambarkan realitas objektif secara holistik. Hidayat (2004, 9) mengatakan bahwa dalam paradigma konstruktivis, secara ontologis akan mempersepsikan realitas sebagai konstruksi sosial yang bersifat relatif dan berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (relativism). Hal ini juga berarti bahwa, realitas sosial akan tampil dan hadir sebagai konstruksi mental serta dipahami secara beragam berdasarkan pengalaman serta konteks lokal dan spesifik para individu yang bersangkutan (relativist). Secara epistemologis, terdapat anggapan bahwa pemahaman suatu realitas sosial atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang diteliti yang biasa disebut sebagai transactionalist-subjectivist. Artinya, peneliti dan realitas sosial yang diteliti menyatu sebagai satu entitas. Dengan kata lain, temuan penelitian merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Hal itu juga bermakna bahwa, konstruksi mental individu digali dan dibentuk dalam setting alamiah
33
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dan dilakukan secara hermeneutik serta diperbandingkan secara dialektik. Dalam hal ini, penekanan empati dan interaksi dialektis antara peneliti-responden (informan) untuk secara bersama akan melakukan rekonstruksi realitas sosial yang diteliti (reflective-dialectical).
Artinya,
secara
epistemologis,
kriteria
penelitian
akan
mempertanyakan sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik yang dihayati oleh para pelaku sosial. Pada sisi aksiologisnya, paradigma konstruktivis menyatakan bahwa nilai, etika dan pilihan-pilihan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penelitiannya. Peneliti
berperan
sebagai
passionate
participant
dan/atau
fasilitator
yang
menjembatani keragaman subjektivitas para pelaku sosial. Tujuan penelitian adalah untuk merekonstruksi realitas sosial secara ‗interaktif-dialektis-hermeneutis‘ antara peneliti dan objek yang diteliti, sebuah interaksi yang bersifat interaktif antara researcher dengan informannya.
2.4. OPERASIONALISASI GROUNDED THEORY Membangun Pola Sebagai Titik Berangkat Visum Akuntansi Forensik
Studi ini disusun dengan tujuan untuk membangun proposisi dengan pendekatan teoritisasi data. Teoritisasi data merupakan sebuah cara yang dilakukan guna membangun teori yang membumi dengan basis sekumpulan data empirik. Arti dari teori yang membumi (grounded) ini adalah sebuah teori yang diperoleh dari penelitian induktif yang berkaitan dengan penjelasan fenomena. Karenanya, teori dalam arti dan bentuk ini ditemukan, disusun dan dibuktikan melalui pengumpulan data secara sistematis melalui analisis yang berkaitan dengan fenomena. Dengan demikian, pengumpulan data, analisis, dan teoritisasi data akan saling terkait dan berjalan terjalin secara berkelindan dalam suatu hubungan timbal-balik. Peneliti tidak memulai penelitian ini dengan suatu teori tertentu lalu membuktikannya, namun penelitian akan
34
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dimulai pada ketertarikan peneliti atas suatu bidang kajian tertentu dan hal-hal yang terkait dengan kajian bidang tersebut. Cara induktif dalam grounded theory dikatakan Strauss & Corbin (2003, 15-23) sebagai berikut : “The grounded theory approach is a qualitative research method that uses a systematic set procedures to develop an inductively derived grounded theory about phenomenon. The research findings constitute a theoritical formulation of the reality under investigation, rather than consisting of a set of number, or a group of loosly related themes. Through this methodology, the concept and relationships among them are not only generated but they are also provisionally tested.” ... a grounded theory is one that is inductively derived from study of phenomenon it represents. That is, it is discovered, developed, and provisionally verified through systematic data collection, analysis of data pertaining to that phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory stand in reciprocal relationship with each other. One does not begin with a theory, than prove it. Rather, one begins with an area of study and what is relevant to that area is allowed to emerge.”
Oleh karena itu, hasil penelitian grounded theory akan dapat dinyatakan baik bilamana teori yang dimunculkan sangat sesuai dengan kenyataan sehari-hari, dalam bidang yang nyata, dan diatur secara cermat dari beragam data lapangan. Dengan kata lain, teoritisasi data itu harus relevan dengan bidang nyata (realitas riil). Relevansi teoritisasi data itu bisa diukur dengan dapat atau tidak dapatnya teori itu dijadikan sebagai kendali (control) dan perlakuan (treatment) terhadap realitas sosial terhadap fenomena tersebut. Jadi, penelitian dengan pendekatan grounded theory mempunyai tujuan untuk membangun teori yang dapat dipercaya. Peneliti yang bekerja dalam tradisi ini juga berharap teori-teori mereka pada akhirnya akan berhubungan dengan teori-teori lainnya di dalam disiplin-disiplin yang mereka perhatikan dalam suatu cara kumulatif, dan bahwa teori tersebut akan memiliki implikasi yang bermanfaat bagi masyarakat pada masa mendatang.
35
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dalam grounded theory teknik dan prosedur sistematisnya memungkinkan peneliti untuk mengembangkan teori mendasar yang memenuhi kriteria metode ilmu pengetahuan yang baik yakni adanya kebermaknaan, kebersesuaian antara teori dan observasi, dapat digeneralisasi, dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta dapat dibuktikan. Walau prosedur ini dirancang agar proses analisisnya tepat dan ketat, namun kreativitas merupakan unsur yang sangat penting. Kreativitaslah yang memungkinkan peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan (how and why) yang berhubungan dengan data dan melakukan pembandingan antara pandangan yang baru tentang fenomena dengan rumusan teori yang baru pula. Pendekatan penelitian dalam tradisi grounded theory merupakan suatu bentuk penelitian yang berusaha membangun horison cakrawala pemahaman yang lebih mendasar. Fenomena objek yang diteliti akan dipahami secara holistik. Pemahaman yang dilakukan mencakup hubungan antar konsep yang membentuk proposisiproposisi baru. Peluang membangun ―teori baru‖ itu dilakukan dengan memperjelas model, postulat dan merangkainya dalam bingkai yang terjalin secara berkelindan guna menemukan konsep yang baik, hingga muncul teori baru. Penataan konsep, dalil dan proposisi merupakan upaya untuk melihat seberapa jauh suatu ‗bangunan teori‘ itu dapat dilihat dengan jelas, sederhana dan memiliki konsistensi dengan data empiriknya. Selanjutnya, kualitas penelitian grounded theory, akan banyak ditentukan oleh langkah-langkah yang baik, benar dan dengan disiplin tinggi. Proses yang benar akan menjamin ditemukannya teori yang benar. Oleh karena itu, dalam tradisi penelitian ini harus terdapat koherensi antara input, process dan output. Kualitas suatu teori dapat diuji berdasarkan proses pembangunan teoritisasi itu sendiri. Sebab itu, grounded theory menuntut peneliti mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dan benar-benar
36
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
mengerti segala permasalahannya, memiliki kreativitas tinggi serta mempunyai kehandalan sensitivitas teoritis dan imajinasi komprehensif.
2.5. PENGUMPULAN DATA Mencari Data Terserak Dalam Upaya Visum Akuntansi Forensik
Metoda pengumpulan data merupakan jembatan yang menghubungkan peneliti dengan realitas dunia sosial yang diteliti. Melalui metodologi yang dipilih, peneliti mengumpulkan data yang diperlukan guna menjawab pertanyaan penelitian (research question). Pengumpulan data, saya lakukan melalui wawancara mendalam (indept interview),
dan kemudian
melakukan
analisis
dokumen secara cermat
dan
komprehensif. Wawancara dipergunakan untuk mendapatkan tambahan data tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh subjek (informan).
2.5.1. Wawancara Menangkap Meanings dan Understanding
Wawancara merupakan percakapan dengan tujuan tertentu. Wawancara dalam penelitian ini saya lakukan kepada informan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, advokat dan lainnya yang dapat memperkuat, memperdalam dan memperkaya penelitian ini. Wawancara-wawancara yang telah saya lakukan kepada informan (daftar informan dapat dilihat pada tabel 2.4.) Wawancara yang saya lakukan kepada informan itu, sebenarnya bertujuan untuk mendapatkan data dan/atau informasi serta berbagai penjelasan yang berhubungan dengan pengalaman, pemikiran, perilaku, percakapan, perasaan, dan persepsi yang berkait erat dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Wawancara saya lakukan untuk memperoleh data tentang suatu aktivitas baik yang telah usai maupun yang sedang berlangsung.
37
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 2-2 DAFTAR INFORMAN, ASAL LEMBAGA DAN JABATAN No.
NAMA INFORMAN
ASAL LEMBAGA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13 15 15
Erry Ryana Hardjapamekas Iswan Elmy Bambang Herman Miftah Iguh Icha Budi Handaka Chandra Prima Nurhadi Pujo Endra Thoyyib Mulyani Mulyosudarmo Khairiansyah Salman Soekardi Hoesodo Andik Ma’ruf
KPK KPK KPK KPK KPK KPK Kejaksaan Agung Kejaksaan Agung Kejaksaan Agung Kejaksaan Negeri Kepanjen Kejaksaan Negeri Kepanjen Kejaksaan Tinggi Jatim BPK BPKP BPKP
16.
Rasjidi
BPKP
17
Thomas Sulistyo Budi
BPKP
18 19 20 21 22 24 25 26 27 28
Oka Mahendra Syarifuddin Haris Fajar Kustaryo Fauzi Tulus Agus Adami Chazawi Azhar Ismail Navainto Theodorus M Tuanakotta
Polri Pemda Sulteng Law Firm Law Firm Law Firm Law Firm FH UB FH UB FH UB FE UI dan Kantor Akuntan Publik
29
Ahmad Erani Yustika Sanafiah Faisal Yunus Husein Bambang Soesatyo Syamsul Bahri Yanuar Ryzky Lutfi Kurniawan Soekrisno Agus Koento Adji Koerniawan
FE UB FE UM Malang PPATK DPR Univ Brawijaya ICW MCW FE Tarumanegara Akuntan Publik
30 31 32 33 34 35 36 37
JABATAN Wakil Ketua (komisioner KPK) Direktur Penyelidikan Direktur Penyidikan Staff Penyeldikan Staff Penyelidikan Staff Administrasi Penyelidikan Staff Penyidik Staff Penyidik Staff Penyidik Kasi Pidsus Kajari Kepanjen Jaksa Pidus Kajari Kepanjen Mantan Penyidik Tindak Pidana Khusus Mantan Auditor Mantan Deputy analisis dan Perencanaan BPKP Pengendali Teknis Audit Investigatif BPKP Jawa Timur Tim Quality Assurance BPKP Perwkilan Jawa Timur Auditor Investigatif BPKP Perwakilan Jawa Timur Reserse Kriminal Mabes Polri Bidang Ekonomi Bawasda/inspektorat Advokat Advolkat Advokat Advokat Dosen dan BKBH UB Dosen dan Mantan Jaksa Dosen Hukum Pidana Dosen, Akuntan Publik, penulis buku Audit Investigatif dan akuntansi Forensik serta Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Ekonomi Politik dan Kelembagaan Dosen dan ahli Grounded Theory Ketua PPATK Anggota Komisi III Mantan Ketua LPM UB Relawan dan Penggiat anti Korupsi (ICW) Ketua MCW Malang Professor bidang Auditing Partner KAP Koento Adji
2.5.2. Observasi Menelisik Fenomena Untuk Mencari Tempat Sembunyi Visum Akuntansi Forensik
Observasi tidak dapat saya lakukan pada saat berlangsungnya kasus tindak pidana korupsi itu terjadi (on going). Observasi itu tidak dapat saya lakukan karena terdapat kendala yuridis, waktu dan biaya. Kendala yuridis karena semua kasus pada saat on-going tidak boleh diteliti karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi proses
38
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
litigasi. Kendala waktu dan biaya, untuk mengikuti proses awal hingga akhir diperlukan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Untuk waktu boleh jadi proses itu bisa bertahun-tahun dan akan berakibat pada biaya yang besar pula. Namun, kendala-kendala itu dapat saya minimalkan dengan melihat hasil BAK (Berita Acara Konfirmasi/Klarifikasi), BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan) dan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang telah dilakukan oleh Auditor Investigatif, Penyelidik dan Penyidik yang tertuang dalam bendel dan bundel surat dakwaan, putusan hakim, dan lainnya. Oleh karena itu, saya dapat memperoleh bahan-bahan penelitian berbasis berkas-berkas kasus tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrackt), antara lain adalah, kasus KPU (Nazaruddin Sjamsuddin), Kasus percetakan buku-buku KPU (Bambang Budiarto), kasus pembelian helikopter (Puteh) dan Kasus Pengadaan Bus-way (Sidabutar) dan yang paling lengkap adalah kasus Bahri Mantan Ketua LPM UB tentang perkara sangkaan tindak pidana korupsi pada proyek PGM Kigumas, seperti Laporan Hasil PKKN, Berkas Dakwaan, Pledoi, legal opinion, gugatan praperadilan, putusan Pengadilan Negeri Malang, Kontra memorie kasasi dan lainnya. Di samping itu, saya juga memperoleh dari BPKP seperti laporan hasil perhitungan keuangan negara (PKKN) dan audit investigatif. Dari BPK RI, saya memperoleh bahan seperti beberapa laporan hasil audit investigatif. Observasi ideal seharusnya saya arahkan pada pengamatan secara langsung atas segala tindakan dan interaksi sosial yang relevan yang bertujuan serta simbolsimbol yang muncul pada masing-masing individu (pelaku, saksi, ahli, auditor, penyelidik, dan penyidik). Namun, dalam studi ini, observasi secara langsung (pada saat si terdakwa dalam proses didakwa atau disidangkan) tidak mungkin untuk dilakukan. Oleh karena itu, observasi hanya dapat saya lakukan bukan secara
39
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
langsung, tetapi dari hasil Laporan AI dan PKKN, BAK, BAPK maupun BAP. Kemudian bahan-bahan penelitian itu saya lakukan kajian mendalam, lalu lakukan penafsiran apa yang terjadi pada saat, sedang dan akhir proses tersebut. Bilamana terdapat kekurangjelasan atas beberapa hal yang berkaitan dengan pertanyaan dan jawaban dalam BAK, BAPK, maupun BAP, saya akan meminta penjelasan pada penyelidik dan penyidik atau sumber lain yang dapat menjelaskannya.
2.5.3. Sumber Data Meretas Jalan, Membangun Bentuk Visum Akuntansi Forensik
Penetapan sumber data tentu akan berkait dengan research question yang telah saya tetapkan pada sebelumnya. Dalam penelitian ini, untuk membangun visum akuntansi forensik, di samping berbasis wawancara, saya juga mengambil data berupa tulisan-tulisan (artifac) seperti berkas Dakwaan, putusan kasus korupsi, pembelaan (pledoi) laporan hasil AI dan PKKN, BAK, BAPK, BAP, laporan keuangan tahunan (annual report), dan data-data lain yang berguna dan dapat memperkaya bagi penelitian ini.
2.5.4. Analisis Data Melakukan Refleksi Diri Untuk Membangun Pola Visum AkuntansiForensik
Proses analisis data saya mulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang saya peroleh, yaitu dari berkas-berkas, hasil wawancara, catatan-catatan, dan rekaman dari lapangan. Setelah saya baca, pelajari, dan telaah, langkah berikutnya ialah saya lakukan reduksi data dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi adalah usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan.. Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah menyusun dalam satuansatuan kategorisasi. Tahap akhir dari analisis data itu kemudian saya adakan pemeriksaan atas keabsahan data. Lalu saya lakukan penafsiran data dan mengolah
40
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
hasil sementara menjadi teori substantif. Proses analisis data itu mencakup reduksi data, kategorisasi data, sintesisasi, dan diakhiri dengan menyusun proposisi (hipotesis). Dengan demikian, dalam penelitian ini data yang saya hasilkan kemudian saya olah dan saya analisis dengan cara: pertama menemukan makna-makna (meanings) atau konsep-konsep yang terkandung dalam data (konseptualisasi). Hal ini saya lakukan dengan cara memberi interpretasi terhadap data-data verbal berupa kata-kata dan atau kalimat-kalimat. Kedua, saya kelompokkan konsep-konsep sejenis atau berkaitan (kategorisasi). Ketiga, saya mencari hubungan (connection) di antara berbagai kategori tersebut. Keempat, saya hubungkan antara berbagai kategori itu dengan uraian dan penjelasan yang diperlukan. Penjelasan saya lakukan dengan menggunakan perspektif pemikiran teroritis para sarjana akuntansi, auditing dan hukum. Kelima, saya lakukan refleksi diri (self-reflection) untuk menemukan sebuah proposisi.
41
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 3 VISUM AKUNTANSI FORENSIK AI DAN PKKN
I may never find all the answers I may never understand why I may never prove What I know to be true, But I know that I still have to try…. (Audifax) 3.1. PENGANTAR Perjalanan Awal Mencari Visum Akuntansi
Eksplorasi data dan fakta untuk membangun visum akuntansi forensik, yang dalam budaya BPKP dan BPK sering disebut sebagai ―AI‖10 dan ―PKKN‖11 merupakan suatu kegiatan paling awal dalam pembentukan bangunan visum akuntansi forensik. Aktivitas audit investigatif dilakukan sejak munculnya Aduan, Keluhan dan Petunjuk (AKP). Meskipun, hasil audit investigatif ini masih berupa suatu ‗dugaan‘ atau berbentuk ‗indikasi-indikasi‘ tetapi dugaan yang memiliki dukungan alat bukti dan barang bukti. Meskipun demikian, dugaan itu (dalam konstruksi hukum Indonesia) belum berkualifikasi hukum sehingga masih memerlukan upaya pendalaman dan pengembangan
pada
tahap
penyelidikan
dan
penyidikan.
Pendalaman
dan
AI merupakan singkatan dari Audit Investigatif. Pelaksanaan audit investigatif lebih disebabkan data, fakta dan keterangan yang dimiliki Penyelidik atau penyidik pada perkara dugaan tindak pidana korupsi masih mentah. AI bisa juga dilakukan berdasarkan tindak lanjut dari temuan dari hasil general audit atau compliance audit. 10
“PKKN” merupakan singkatan dari Penghitungan Kerugian Keuangan Negara. PKKN juga merupakan jenis audit investigative yang dilakukan auditor manakala data, fakta dan keterangan yang diperoleh penyidik atau penyelidik sudah “masak pohon”. Jadi auditor investigative tinggal menghitung berapa kerugian keuangan negaranya. 11
42
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pengembangan itu bertujuan agar alat bukti dan barang bukti yang berupa fakta dan data ini dapat menjadi suatu alat bukti yang berkriteria hukum dan layak serta dibutuhkan dalam sidang di Pengadilan. Pemilahan barang bukti, informasi, pengakuan, keterangan, data dan fakta dari hasil audit investigatif, dapat kita belah ke dalam dua ranah, yakni ranah hukum dan ranah akuntansi (auditing). Dalam ranah hukum, barang bukti, fakta, data dan informasi dapat dikelompokkan dalam lima macam, yakni jenis alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (KUHAP pasal 184). Sedangkan dalam ranah akuntansi, bukti dapat kita kelompokkan dalam dua kategori, underlying financial evidence dan corroborating financial evidence (Konrath, 2001, 114), artinya bukti audit dalam underlying financial evidence itu akan berbentuk bukti konstruksian seperti jurnal, buku besar, dan neraca saldo. Sedangkan corroborating financial evidence itu akan berupa bukti penguat yang berupa faktur, dokumen dan bukti penguat lainnya. Karena pentingnya alat bukti untuk keperluan litigasi di muka pengadilan, maka pada pembahasan dalam bab III ini dan bab-bab berikutnya, saya sengaja mengklasifikasikan barang bukti, fakta, data, informasi, keterangan tersebut dalam ranah hukum. Klassifikasi itu dimaksudkan agar kajian dan pembahasan menjadi lebih relevan dengan tujuan dari penelitian ini, yakni eksplorasi bukti akuntansi, bukti audit dan bukti hukum menuju visum akuntansi forensik yang merupakan bukti yang menyertai dan mendukung seluruh proses pembuktian di pengadilan Perkara tindak pidana korupsi, meskipun wujudnya adalah peristiwa hukum namun peristiwa itu senantiasa berkait erat dan terjalin secara berkelindan dengan angka-angka keuangan. Bukan perkara tindak pidana korupsi kalau tidak bertaut dengan angka keuangan dan akuntansi. Visum akuntansi forensik ini memiliki arti
43
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
penting atas penyelesaian kasus-kasus korupsi. Arti penting visum akuntansi forensik juga diungkapkan oleh informan Kustaryo yang berprofesi sebagai advokat yang menangani kasus Bahri sebagai berikut: “Bilamana unsur kerugian keuangan negara telah dapat dihitung secara benar, maka untuk menemukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum akan sangat mudah untuk diungkapkan. Karena dalam realitas penyelenggaraan Negara kita, akan sangat mudah menemukan berbagai penyimpangan prosedural yang dilakukan para aparat penyelenggara Negara,. Namun apakah penyimpangan itu merugikan keuangan Negara atau tidak? itu bukan pekerjaan yang mudah…
Ungkapan Kustaryo di atas dapat diartikan bahwa dalam kasus-kasus penanganan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum akan lebih mudah mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan lainnya. Eksistensi angka kerugian keuangan/kekayaan Negara, akan memudahkan dalam mencari siapa yang diuntungkan dan bagaimana soal penyalahgunaan wewenang itu terjadi, serta prosedur apa yang dilanggar. Selanjutnya, penelitian ini diarahkan untuk melakukan kajian secara mendalam mengenai alat bukti, barang bukti, fakta, data, keterangan dan informasi yang pada ujungnya akan mengkonstruksi visum akuntansi forensik. Kajian saya fokuskan pada perkara dugaan tindak pidana korupsi yang pernah disangkakan Jaksa Penuntut kepada mantan Ketua LPM UB. Perkara Bahri itu lalu saya perkaya dengan kasuskasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kasus-kasus tindak pidana korupsi lainnya yang relevan, baik yang kasusnya baru berupa AKP (Aduan, Keluhan, Petunjuk) maupun yang telah dilakukan audit investigatif, maupun yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu mulai bab ini dan bab-bab berikutnya, ilustrasi Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Bahri akan saya gunakan sebagai dasar utama uraian (plotting) mengenai pencarian, penemuan dan bentuk visum akuntansi forensik untuk diikuti
44
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pola-pola dan penguatan buktinya pada setiap level dan tahapannya. Hal ini sengaja saya lakukan, karena dalam penelitian saya ini, data yang paling lengkap dan dapat diikuti pada alur, fase, data, fakta, keterangan dan informasi dan informannya terdapat pada kasus Bahri. Namun, kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi lain yang dapat memperkuat dan/atau setara dan/atau berbeda, baik kontek maupun substansinya, saya uraikan juga dalam rangka untuk pengkayaan bagi penelitian ini serta untuk membangun visum akuntansi forensik as a support for a litigation. Langkah yang saya uraikan itu juga dalam rangka untuk memenuhi persyaratan metodologis yang diminta dalam penelitian grounded theory. Bab tiga ini juga akan menjelaskan mengenai konstruksi visum akuntansi level audit investigatif. Bab ini akan menekankan pada bagaimana auditor investigatif merangkai dan membangun alat bukti, barang bukti dan pembuktian bukti pada kasus tindak pidana korupsi Dakwaan yang tercantum dalam kotak 3.1. merupakan titik kulminasi keyakinan bagi Jaksa penuntut umum (JPU) untuk membawa Bahri ke sidang di pengadilan. Berkas Dakwaan akan berisi visum akuntansi forensik yang merupakan representasi jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W berupa temuan alat-alat bukti, barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan yang telah dirangkai dan diikat dalam chart and matrix. Suatu keyakinan yang memiliki tiga kriteria utama yakni cermat, jelas dan lengkap atau a beyond reasonable doubt.
45
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 3.1. KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Kejaksaan Negeri Kepanjen ―Untuk Keadilan‖ Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: Uraian singkat perkara: Bahwa Tersangka Prof. Dr. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor : 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PG. KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar. Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp.645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara DRS. H.ACHMAD SANTOSO No. 525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H.M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan addendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003. Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Propinsi Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp. 645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp. 489.334.493,- (empat ratus delapan puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007
3.2. PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF Membangun Visum Berbekal Aduan, Keluhan dan Petunjuk
Audit Investigatif (AI) merupakan kegiatan yang dilakukan auditor investigatif untuk mencari dan menemukan cukup tidaknya konstruksi visum akuntansi forensik yang berupa alat-alat bukti atas dugaan eksistensi tindak pidana korupsi atau kejahatan keuangan lainnya. Pelaksanaan audit investigatif bisa jadi merupakan tindak
46
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
lanjut dari AKP (Aduan, Keluhan, Petunjuk), temuan dan rekomendasi hasil audit umum (general audit), temuan dan rekomendasi hasil audit ketaatan (compliance audit), dan juga bisa dilakukan atas permintaan penyidik dan/atau perintah pengadilan. Selanjutnya, suatu temuan audit, baik general audit maupun compliance audit, dapat ditindak lanjuti dan kemudian dikembangkan serta didalami dengan audit investigatif yang pada gilirannya diharapkan dapat menemukan visum akuntansi forensik. Secara jelas pada Buku Pedoman Penugasan Bidang Investigatif (PPBI) pada instansi BPKP (2009, hal 18), memberikan arahan dalam melakukan audit investigatif secara jelas sebagai berikut: “Hasil audit yang dapat dikembangkan menjadi penugasan bidang investigasi adalah yang memuat temuan berindikasi dapat menimbulkan kerugian Negara, dan/atau menghambat pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan, dan/atau menimbulkan kekurangan penerimaan Negara… Hasil telaah atas Laporan Hasil Audit yang memenuhi kriteria sebagaimana yang dimaksud di atas... dipaparkan/ekspose secara internal dengan menghadirkan Kepala Bidang Teknis/Pejabat Eselon III terkait serta Tim Audit yang bersangkutan dan pejabat fungsional auditor lainnya… Tujuan ekspose internal adalah untuk meyakini layak tidaknya penyimpangan yang diinformasikan dalam Laporan Hasil Audit untuk dapat dikembangkan atau ditindaklanjuti dengan penugasan bidang investigasi..”
Dengan demikian, hasil ekspose internal akan menentukan tindak lanjut, pengembangan
dan
pendalaman
atas
AKP
tersebut.
Ekspose
juga
akan
menyimpulkan ada atau tidak indikasi kecukupan bahan bukti tindak pidana korupsi. Hasil ekspose itu juga akan digunakan dasar untuk menentukan siapa tim auditornya, bagaimana hypothetical construction of crime yang akan diuji coba buktikan, apa program auditnya, teknik audit, metodologi audit yang dianggap sesuai dengan keadaan, berapa anggaran biaya audit, berapa sumber daya pendukung dan lainnya yang cocok dengan peristiwa hukum tersebut.
47
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dalam telaah dan/atau evaluasi atas sebuah kasus, Andik Ma‘ruf, Informan BPKP Perwakilan Jawa Timur yang sedang menjabat sebagai Anggota Tim Pengendali Audit Investigatif menyatakan bahwa: “Dalam hal melakukan evaluasi dan analisis terhadap bukti-bukti yang diperoleh atau untuk memastikan kecukupan bukti-bukti, dapat dilakukan klarifikasi atau konfirmasi secara langsung kepada pihak-pihak yang diduga/bertanggung jawab atau kepada pihak-pihak lain yang relevan. Hasil klarifikasi tersebut akan dituangkan dalam Berita Acara Klarifikasi (BAK)”
Evaluasi terhadap bukti-bukti yang diperoleh, dan dalam rangka pengujian, analisis dan sintesis hypothetical construction of crime akan mengidentifikasi antara lain jenis penyimpangannya, fakta dan proses keterjadiannya, kriteria apa yang seharusnya dipatuhi, penyebab dan dampak apa yang ditimbulkan serta pihak-pihak mana saja yang patut diduga terkait/terlibat dan/atau bertanggungjawab atas kejadian/peristiwa hukum tersebut. Kualitas penugasan audit investigatif di BPKP akan dilakukan melalui review berjenjang, review meeting, dan pembahasan internal agar tercipta sebuah jaminan mutu, kecepatan dan percepatan proses audit serta untuk mencari jalan keluar (bila ada) atas permasalahan-permasalahan yang timbul dan yang mungkin akan timbul selama penugasan audit investigatif berlangsung. Sejalan dengan apa yang dimaksud dengan audit investigatif, Rasjidi informan yang menjabat sebagai audit quality assurance pada BPKP perwakilan Jawa Timur menyatakan bahwa pada dasarnya, audit investigatif itu adalah suatu cara untuk mencari, menemukan dan memastikan jawaban atas siapa melakukan apa, dan buktinya apa. Kalimat Rasjidi itu dapat saya terjemahkan bahwa audit investigatif adalah sebuah aktivitas audit yang akan senantiasa berupaya mencari dan menemukan alat bukti berupa jawaban atas hypothetical construction of crime terhadap kejahatan di bidang keuangan. Oleh karena itu, audit investigatif akan senantiasa mengarahkan aktivitasnya pada upaya untuk mencari dan menemukan bukti atas: ―siapa pelakunya‖ dan ―apa
48
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
niat‖ yang mendasari perbuatan yang dilakukannya itu. Sebuah upaya yang mengarahkan aktivitasnya pada upaya mencari bukti dan/atau alat bukti berupa jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime berupa: how much, how, what, why, who, when, where atas suatu peristiwa hukum. Untuk mengejar 2H+5W harus disimpulkan adanya predication. Khairiansyah Salman, informan yang mantan auditor BPK-RI dan pernah melakukan praktik surveilance and covert operation secara sukses dalam gaya western detective kepada Mulyana Wira Kusuma – KPU Pusat) mengatakan sebagai berikut: “Predication atau predikasi itu adalah suatu keseluruhan kondisi yang mengarahkan atau menunjukkan adanya keyakinan kuat yang didasari oleh professionalisme dan sikap kehati-hatian yang telah terlatih lama dalam memahami kejahatan korupsi. Predikasi adalah kristalisasi pengetahuan dan pengalaman tentang pemahaman tipologi tindak pidana korupsi yang telah sering ditanganinya...”
Jadi, predikasi (predication) merupakan sebuah pemahaman naluriah (intuitif) yang dimiliki seorang investigator bahwa tindak korupsi telah terjadi, sedang terjadi dan/atau akan terjadi. Dengan demikian, predication bukan sebuah formula baku, namun lebih berupa professional feeling yang dimiliki oleh seseorang yang lama berkecimpung dalam bidang yang digelutinya. Bagan alur pada kotak 3.2. dapat memberikan arah dan/atau petunjuk yang lebih pasti kepada auditor investigatif tentang bagaimana predication dibangun, yang kemudian dapat dijadikan pedoman bagi pengambilan keputusan terhadap dapat atau tidak dapatnya dilakukan audit investigatif. Simpulan predication, dapat membimbing auditor investigatif untuk dapat mencari bukti dan alat bukti dan menjawab hypothetical construction of crime.
49
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 3.2.
BAGAN ALUR PENGUJIAN PREDICATION
Sumber: Tuanakotta, (2007, 220)
Selanjutnya, di Indonesia, pengaduan-pengaduan masyarakat dan LSM atau siapapun yang bermaksud mengadukan tindak pidana korupsi sangat terbuka. Karena itu kadang kita jumpai adanya laporan yang masih sumir dan tidak mengindikasikan eksistensi tindak pidana korupsi secara meyakinkan. Pengaduan yang tidak meyakinkan dan asal-asalan itu diungkapkan oleh Kustaryo sebagai berikut: “Saya pernah berdebat sengit dan marah dengan aktivis LSM yang mengadukan dugaan tindak pidana korupsi. Mereka telah membuat laporan yang tidak memiliki dasar pijakan yang kuat. Laporan mereka sumir dan hanya bersifat analisis dan menduga-duga belaka. Padahal, konsekuensi berat bagi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi akan diikuti dengan stigma-stigma buruk. Mestinya, mereka seharusnya lebih fair dan mencoba
50
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
lebih memahami kasus tersebut secara lebih mendalam dan komprehensif dan tidak asal-asalan”
Pengaduan yang tidak akurat itu kemudian saya tanyakan kepada Lutfi Kurniawan mengenai bagaimana dan tata cara MCW (Malang Corruption Watch) dalam melakukan watching terhadap tindak pidana korupsi. Kurniawan menjawab sebagai berikut: “Kami ini khan bukan aparat penyelidik atau penyidik. Kami khan juga bukan polisi atau jaksa. Kami hanya mampu membuat laporan atas indikasi adanya korupsi, umumnya berdasarkan analisis atau sumber-sumber yang layak kami percaya. Untuk masalah bukti-bukti korupsi, itu tugas mereka sebagai aparat penegak hukum. Akses kami ke kedalaman persoalan substansial juga terbatas. Kami mengadukan berdasarkan hasil rapat internal yang kami selenggarkan dengan mengundang pakar-pakar lintas ilmu. Hasil keputusan rapat itulah yang kami gunakan dasar sebagai pengaduan ke aparat penegak hukum”
Dengan demikian, sangat wajar bilamana laporan pengaduan masyarakat boleh jadi masih banyak mengandung kelemahan dan kemudian tidak dapat ditindaklanjuti dan/atau dihentikan oleh aparat penegak hukum karena kurangnya bukti yang kuat atas indikasi korupsi. Selanjutnya, manakala hypothetical construction of crime tersebut dapat dijawab dan ditemukan alat-alat buktinya, maka akan dapat dibuat simpulan mengenai adanya indikasi atau dugaan tindak pidana korupsi. Suatu dugaan atau indikasi yang tidak hanya sekedar menduga-duga belaka atau mengira-ngira an sich, namun suatu dugaan atau indikasi yang telah memiliki basis alat bukti, barang bukti, fakta dan data yang memiliki kualifikasi relevan, kompeten, cukup dan material (rekocuma) dan memiliki kesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti, kesaksian, fakta serta data yang kemudian dirangkum dalam sebuah ikatan chart and matrix yang kemudian saya sebut sebagai visum akuntansi forensik level audit investigatif‘. Rasjidi Informan yang merupakan staff ahli BPKP bidang pengendalian kualitas audit Investigatif menambahkan bahwa:
51
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
―Dalam Audit investigatif auditor juga harus mencari bukti yang relevan, kompeten, cukup, dan material. Di samping itu, auditor harus menemukan modus operandi yang merupakan bagian penting dalam audit investigatif.
Relevan akan berarti auditor harus dapat mencari persesuain antara bukti dengan perbuatan dan kasus yang diaudit, kompeten akan mengarah pada apakah bukti yang digunakan itu memiliki kompetensi dalam mengungkap dan membuktikan fakta-fakta terhadap kasus yang ada. Kecukupan bukti sangat tergantung pada professional judgment yang dimiliki auditor. Sedangkan Materialitas akan bermuara pada seberapa banyak bukti yang dapat mendukung simpulan audit investigatif yang dilakukan tersebut. Kemudian, modus operandi akan menjadi jawaban atas mengapa si pelaku melakukan perbuatan jahat tersebut, apakah bermotif ekonomi, tujuan kekuasaan, atau mengarah pada motif lainnya. Motif akan memegang peran penting dalam justifikasi dan rasionalisasi perbuatan si pelaku pada saat di sidang pengadilan. Demikian juga halnya, pada kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, kajian atas informasi awal lazimnya akan dilakukan hingga mendapatkan simpulan atas adanya ‗predication‟ yang kemudian dapat menghadirkan indikasi tindak pidana korupsi. Miftah dan Iguh – auditor KPK menyatakan sebagai berikut: “Pada kasus Nazaruddin Sjamsuddin Ketua KPU Pusat misalnya, kasus ini berawal dari laporan LSM dan kemudian ditindaklanjuti dengan compliance audit yang dilakukan BPK atas dana pemilu. Dengan audit itu, lalu ditemukan beberapa hal yang tidak comply, audit kemudian ditindak lanjuti dengan audit investigatif. Dari hasil audit investigatif itu ditemukan penyimpangan yang mengarah pada indikasi adanya tindak pidana korupsi… Temuan-temuan BPK atas indikasi tindak pidana korupsi menjadi lebih meyakinkan lagi, saat Mulyana Wira Kusuma tertangkap tangan, sewaktu menyuap auditor BPK – Khariansyah Salman - di Hotel Ibis Jakarta… Setelah penangkapan itu, berdasarkan hasil interogasi kepada Mulyana memberi arah yang jelas dan mempermudah tugas KPK untuk mencari, mengumpulkan dan menemukan alat bukti dan bukti tindak pidana korupsi serta menemukan aktor-aktor yang terlibat dan motif yang menyelimutinya”.
Karena itu, dalam pengejaran alat bukti dan barang bukti, yang perlu kita sadari adalah bahwa sifat tindak pidana korupsi akan selalu tersembunyi, berjamaah,
52
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
mengandung tipuan dan dibungkus secara rapi. Karena itu, adagium ―tarik ekornya, tentu akan kau dapatkan kepalanya”, artinya para auditor investigatif, penyelidik dan penyidik harus selalu mencari titik terlemah dari serangkaian mata rantai yang telah terindikasi tindak pidana korupsinya. Karena itu, audit investigatif yang bertujuan utama mencari dan menemukan alat bukti, barang bukti, fakta dan data senantiasa mencari celah dan peluang atas rantai terlemah yang bisa dibidik untuk mengeksplorasi temuan (alat bukti) secara maksimal. Hal mana juga sesuai dengan maxim yang mengatakan bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, setiap kajahatan pasti meninggalkan jejak. Pada kasus dugaan tindak pidana pada KPU Pusat periode Nazaruddin Sjamsuddin, dengan penangkapan atas Mulyana Wira Kusuma menjadi bekal utama bagi penyidik, namun laporan hasil audit investigatif tetap menjadi bekal penting bagi bangunan alat bukti dan pembuktian di pengadilan Tipikor. Ajaran atas apa yang dimaksud dengan bukti awal dalam ranah hukum dapat memiliki pengertian seperti yang diungkapkan oleh Prodjohamidjojo (1982, 35) sebagai berikut: “Bukti permulaan (prime facie evident) berarti adanya sedikit bukti untuk menduga ada tindak pidana, misalnya, pada seseorang yang kedapatan benda/barang curian, maka petugas penyidik dapat menduga keras bahwa seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian ataupun penadahan.”
Dengan demikian, bukti awal dalam perspektif hukum adalah bukti yang sudah dapat menggambarkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Namun bukti awal tersebut masih akan memerlukan upaya tambahan dan pendalaman, yakni upaya penyelidikan untuk lebih menambah kekuatan alat bukti tersebut. Berkaitan dengan bukti awal, Andy Hamzah (1982) yang dikutip kembali oleh Rukmini (2003, 124-125) membedakan antara ―diduga telah terjadi tindak pidana‖ dengan ―diduga melakukan tindak pidana‖. Hamzah memberikan ilustrasi dalam bentuk
53
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ceritera yang dapat dijadikan ―inspirasi‖ dalam mengartikan apa yang disebut dengan ―dugaan awal‖ atas terjadinya tindak pidana. Pada suatu hari di suatu desa terjadi kecurian sepeda. Sebetulnya di desa itu tidak pernah terjadi demikian. Pada hari terjadinya pencurian itu lewat lah seorang gelandangan, yang sebelumnya telah diketahui melakukan pencurian. Maka gelandangan tersebut “patut diduga” telah melakukan pencurian sepeda itu. Selanjutnya, jika dalam ceritera itu dilengkapi dengan fakta-fakta atau kejadian-kejadian, bahwa gelandangan tersebut masuk desa itu dengan jalan kaki, sedangkan sewaktu meninggalkan desa ia naik sepeda, maka di sini “sangat diduga” dialah (gelandangan itu) yang melakukan pencurian...
Lebih-lebih, manakala dalam kejadian tindak pidana tersebut sudah ada laporan saksi korban yang kecurian, atau saksi lain yang melihat tersangka masuk rumah korban dan seterusnya. Dengan bukti permulaan tersebut akan timbul suatu ―dugaan keras‖ bahwa tersangkalah pelaku tindak pidana (delict) tersebut. Tabel 3-1 INDIKASI AWAL ATAS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP NAZARUDDIN, ABDULLAH PUTEH, RUSTAM EFENDI, BAMBANG BUDIARTO PIHAK-PIHAK YANG TERSANGKUT PERKARA
INDIKASI AWAL (AKP)
PERKARA
Penerimaan discount Asuransi atas premi asuransi aparat KPU/KPUD/KPPS yang tidak dimasukkan ke kas negara
Abdullah Puteh
Berasal dari laporan LSM mengenai adanya dugaan penyimpangan pengadaan logistik dan laporan hasil audit kinerja BPK yang dilanjutkan dengan audit investigatif Berasal dari laporan hasil audit kinerja BPK dan dilanjutkan dengan audit investigatif
Rustam Efendi Sidabutar
Berasal dari laporan hasil audit kinerja BPK dan dilanjutkan dengan audit investigatif
Pengadaan bus-way Trans-Jakarta yang melampaui batas plafond (penyalahgunaan anggaran)
Berasal dari laporan LSM dan laporan hasil audit kinerja BPK, audit investigatif yang merupakan pengembangan dari tertangkapnya Mulyana Wira Kusuma
Pengadaan Buku-buku di KPU
Nazaruddin Sjamsuddin
Bambang Budiarto
Pembelian helikopter dengan menyalahgunakan bantuan dana alokasi khusus dari pusat
Sumber: Putusan MA (Nazaruddin), Putusan PT (Puteh), Putusan PN (Rustam,) dan Surat Dakwaan (Bambang)
Tidak jauh berbeda dengan hal yang diuraikan dalam dialog sebelumnya, bahwa pada masalah bukti awal, beberapa kasus yang saya peroleh dari KPK, yakni
54
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
kasus Nazaruddin Sjamsuddin, Abdullah Puteh, Rustam Efendi Sidabutar dan Bambang Budiarto (lihat tabel 3.1.) menunjukkan bahwa informasi yang didapat KPK dari sumber-sumber ―terpercaya‖ dan kemudian dikaji oleh Pusat Informasi dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) memberikan simpulan bahwa kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi telah memberikan ―dugaan‖ atas adanya eksistensi kejahatan korupsi.
3.3. PERANAN DAN KONTRIBUSI HASIL AUDIT INVESTIGATIF Kontribusi Visum Akuntansi Forensik Di Pengadilan
Peranan dan konstribusi visum akuntansi forensik level audit investigatif di pengadilan sangat besar dalam membuat terang benderangnya perkara tindak pidana korupsi. Chazawi, informan yang berprofesi sebagai dosen FH UB dan seringkali diminta memberikan keterangan ahli pada kasus-kasus tindak pidana korupsi serta menjadi bagian dari Tim Bantuan Hukum kasus Bahri mengungkapkan kepada saya mengenai peranan hasil audit investigatif dengan mengatakan sebagai berikut: “Peran hasil audit investigatif pada dasarnya adalah untuk menghitung kerugian Negara. Audit ini umumnya dilakukan oleh BPKP. Dalam perkara pidana korupsi. Angka kerugian negara merupakan angka riil yang ditemukan Tim audit Investigatif. Angka itulah yang senantiasa digunakan sebagai dasar penentuan angka kerugian negara. Angka ini akan digunakan jaksa untuk mengembalikan kerugian Negara melalui penjatuhan pidana penggantian kerugian negara kepada terdakwa. Hampir pasti angka hasil audit investigatif itulah yang selalu digunakan sebagai dasar menentukan jumlah riil kerugian dalam surat dakwaan dan dalam hal penuntutan pengembalian kerugian keuangan negara.”
Dalam peranannya sebagai alat bukti, konstruksi visum akuntansi forensik level audit investigatif yang merupakan rekonstruksi sejarah fakta, yang kemudian digunakan dalam sidang-sidang di pengadilan. Pernyataan Chazawi sebelumnya, menurut saya lebih mengarah pada jenis hasil audit investigatif dalam ‗jenis kedua‘, yakni PKKN. Hasil audit yang dimaksud adalah hasil audit investigatif yang sering dilakukan BPKP berdasarkan permintaan penyidik atau penetapan pengadilan yang
55
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
bertujuan untuk melakukan PKKN. Dalam posisi ini, Auditor BPKP akan berperan sebagai pembantu penyidik untuk membantu dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN). Dalam audit jenis PKKN ini, pelaksanaan dapat dilakukan melalui tahapan yang antara, pertama instansi penyidik atau penetapan oleh pengadilan yang harus disampaikan secara tertulis kepada instansi BPKP, kemudian dilakukan ekspose dan penelaahan atas kecukupan informasi yang memenuhi hypothetical construction of crime. Manakala terdapat informasi yang masih sangat minimal, penugasan masih tetap dapat dilakukan, asalkan informasi itu masih mengandung 3 W yakni What, Where, When, meskipun Who, why, How and how Much belum terungkap dalam kasus tersebut. Meskipun demikian, kondisi tersebut masih harus ditambah dengan keyakinan kuat yang berbasis pertimbangan professional serta hati nurani auditor Investigatif. Maksud dari pertimbangan professional itu adalah suatu pendapat reviewer itu harus didasarkan pada data empiris atas kasus sejenis dan/atau dapat juga didasarkan pada informasi lain yang dapat mendukung dan terjalin secara berkelindan dengan informasi minimal yang diberikan oleh penyidik atau penetapan pengadilan tersebut. Namun, bilamana dalam informasi minimal berupa 3 W tersebut tidak terdapat sebuah keyakinan kuat dari reviewer dan tidak juga terdapat data empiris pada kasus sejenis, langkah yang akan ditempuh adalah meminta penyidik untuk melakukan ekspose atau meminta ringkasan perkara tersebut kepada pejabat pengadilan. Proses kehati-hatian dan keseksamaan semacam itu dilakukan BPKP agar konstruksi visum akuntansi forensik level audit investigatif dapat menjadi dukungan dan berkonstribusi besar bagi proses sidang di pengadilan. Budi, Auditor investigatif BPKP Jawa Timur yang melakukan PKKN atas Bahri mengatakan sebagai berikut
56
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Untuk dapat menindak lanjuti permintaan tugas PKKN akan selalu berdasarkan keputusan seluruh staff BPKP bidang Investigasi yang hadir pada saat paparan kasus dilakukan oleh Penyidik. Hasil paparan itu akan diputuskan apakah permintaan PKKN bisa ditindaklanjuti atau tidak. Jika dapat ditindaklanjuti, maka pimpinan BPKP akan membuat surat tugas atas pelaksanaan PKKN itu”
Kalimat Budi itu menyiratkan bahwa penugasan PKKN dilakukan berbasis dueprofessional care. Karena keputusan awal atas dapat atau tidaknya perkara dilanjutkan dengan bantuan PKKN tidak diputuskan oleh individu atau Tim Auditor, namun dari seluruh staff bidang investigasi pada BPKP Perwakilan Jawa Timur. Selanjutnya,
bilamana
dalam
pelaksanaan
PKKN
terdapat
hambatan
pengumpulan bukti, auditor akan meminta bantuan penyidik untuk membantu mencari dan mengumpulkan bukti tersebut. Bilamana hambatan tidak dapat terselesaikan, maka auditor investigatif akan menuliskannya dalam laporan hasil audit investigatifnya dalam sub judul ‗Hambatan Pemeriksaan‘. Jika sudah tidak ada lagi hambatan yang berarti,
artinya
semua
bukti
telah
cukup,
kompeten
dan
relevan,
maka
pembahasan/ekspose akan dilakukan untuk menangkap persesuaian, sinkronisasi dan/atau koherensi perkara agar terpenuhi suatu hasil audit investigatif dengan aspekaspek hukumnya. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut saya tambahkan AI maupun PKKN yang dilakukan BPKP di seluruh Indonesia sejak 2003 hingga 2007. Tabel 3.2. menyajikan pelaksanaan AI yang dilakukan BPKP yang kemudian digunakan oleh penyelidikan dan penyidikan oleh kejaksaan, kepolisian dan KPK. Tabel 3.2. dan 3.3. menyajikan pelaksanaan AI dan PKKN yang dilakukan BPKP. Hasil AI dan PKKN akan digunakan sebagai bahan bukti bagi Kejaksaan, kepolisian dan KPK untuk melakukan pendalaman-pendalaman atas dugaan tindak pidana korupsi. Selama tahun 2003 hingga 2007, terjadi kenaikan permintaan untuk
57
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
melakukan tugas AI maupun PKKN, baik itu berasal dari permintaan Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Dengan data seperti paparan 3.2. dan 3.3. di bawah ini, kita dapat mengartikan dan memperkirakan bahwa tugas BPKP pada masa yang akan datang akan cenderung meningkat. Perkiraan peningkatan tugas itu terjadi akan seirama dengan meningkatnya kasus dugaan tindak pidana korupsi. Jadi, dapat saya simpulkan perkara bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia, pada masa mendatang pada setiap tahunnya tidak menurun, melainkan malah cenderung untuk tambah meningkat.
Tabel 3-2 PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF (AI) YANG DILAKSANAKAN BPKP TAHUN 2003 – 2007 INSTANSI YANG MEMINTA
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah AI
Kejaksaan
27
34
69
76
75
281
Kepolisian
17
53
60
68
77
275
KPK
0
7
28
37
38
110
Jumlah
44
94
157
181
190
666
Sumber: Tuanakotta (2007, 201) Tabel 3-3 PELAKSANAAN PERRHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) YANG DILAKSANAKAN BPKP TAHUN 2003 – 2007 INSTANSI YANG MEMINTA
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah AI
Kejaksaan
76
85
103
172
177
613
Kepolisian
75
100
111
170
164
KPK
0
2
5
8
13
28
Jumlah
151
187
219
350
354
1.261
620
Sumber: Tuanakotta (2007, 201)
58
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dengan demikian, pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan BPKP atas permintaan instansi kepolisian, kejaksaan maupun KPK dapat berupa pelaksanaan audit berupa permintaan melakukan audit investigatif (AI), penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) atau permintaan untuk memberikan keterangan ahli di pengadilan. Jadi, maksud pernyataan Chazawi, sebenarnya mengarah pada bentuk audit jenis kedua, yakni hasil penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN). Pada sisi lain, khusus untuk audit dalam rangka penghitungan keuangan Negara (seperti yang dimintakan penyidik pada kasus Bahri), ketentuan standar yang seharusnya diikuti Tim auditor BPKP, sesuai dengan Pedoman Penugasan Bidang Investigasi (2009, hal 39) mengharuskan hasil ekspose atau hasil penelaahan memenuhi kriteria bahwa penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara telah cukup jelas, pihak-pihak yang diduga terkait dan bertanggungjawab atas penyimpangan telah cukup jelas, bukti-bukti yang diperlukan untuk menghitung kerugian negara sudah diperoleh secara lengkap, dan BPK-RI atau Inspektorat lain belum melakukan audit investigatif untuk kasus yang sama. Namun, dalam penanganan kasus Bahri tersebut, bagi saya kriteria-kriteria itu masih belum jelas (samar/obscuur libel) dan bukti-bukti perkara masih terbatas pada bukti yang dipasok dari penyidik, tanpa langkah kreatif dan konstruktif untuk melakukan pendalaman dan pengembangannya. Selanjutnya, dalam pelaksanaan audit atas permintaan penyidik, bukti-bukti yang diperoleh dari penyidik akan direkonstruksi sehingga akan merupakan rangkaian fakta yang terjalin secara berkelindan dan proses kejadian akan dapat menunjukkan adanya suatu penyimpangan yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Karena itu, metode penghitungan kerugian keuangan negara prosedur yang lazim dikembangkan oleh BPKP sudah seharusnya dalam lingkup akuntansi dan auditing
59
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yang dapat diterima secara umum, dan bukan metoda yang merupakan disiplin ilmu lain, seperti metoda penilaian yang ada pada profesi penilai (valuer/appraisal). Profesi Penilai biasa melakukan penilaian dengan metoda integratif dari yakni kombinasi antara cost method, market dan income capitalization. Kompetensi yang dimiliki para appraisal itu tentu bukan merupakan kompetensi utama auditor BPKP. Jadi, menurut saya, penghitungan kerugian negara yang dapat dilakukan BPKP itu sudah seharusnya menggunakan cost method saja, dan bukan menggunakan nilai pasar (mark to market) atau nilai kapitalisasi pendapatan (income capitalization) yang sering dipakai bagi profesi penilai. Namun, jika BPKP memerlukan suatu nilai yang tidak berbasis cost method, BPKP harus meminta bantuan kepada profesi penilai untuk melakukannya, atau bisa juga meminta bantuan kepada profesi lain yang sesuai dengan konteks dan substansi perkara yang ditanganinya. Persepsi pencatuman angka yang terlalu tinggi pada audit hasil penghitungan kerugian keuangan Negara, juga dapat kita temukan seperti yang disampaikan Chazawi sebagai berikut: “Dalam banyak kasus yang saya saksikan, penentuan angka nilai kerugian negara yang digunakan Jaksa Penuntut Umum cenderung pada angka yang lebih besar, walaupun menurut logika tidak dapat dibenarkan. Kebiasaan membesar-besarkan nilai kerugian Negara atau mematok angka-angka yang lebih besar, mungkin saja dipengaruhi oleh fungsi dan tugas pekerjaan jaksa sebagai penuntut umum. Dengan pertimbangan, toh majelis hakimlah yang pada nantinya akan mempertimbangkan dan memutuskan nilai angka kerugian Negara tersebut”
Penghitungan kerugian keuangan negara yang tidak akurat, juga disampaikan oleh informan Koestaryo, advokat yang sering menangani kasus tindak pidana korupsi. Koetaryo mengatakan sebagai berikut:
60
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Saya juga menjumpai kasus perhitungan kerugian negara yang tidak akurat. Misalnya dalam hal yang sangat sepele saja, seperti dalam penjumlahan angka ke bawah pada kasus korupsi di Kabupaten Pasuruan dan Kodya Batu yang saya tangani, penjumlahannya tidak benar, perkalian juga tidak benar, sangat ceroboh dan tidak akurat”
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa pencatuman angka kerugian keuangan negara, yang angkanya dapat dipersepsikan berlebihan itu, bisa saja karena auditor investigatif yang berperan sebagai pembantu penyidik dan melakukan tugas penghitungan kerugian keuangan negara, hanya memperoleh bukti yang berasal dari jaksa semata dan kemudian tidak bebas dalam mengembangkan prosedur audit investigatif sebagaimana mestinya. Oleh karena keterbatasan supply data dan/atau akses data yang hanya bisa dilakukan melalui penuntut umum atau penyidik, yang tentu hasilnya tidak bisa diharapkan secara optimal. Dalam kasus Bahri misalnya, auditor hanya diberi data yang disiapkan penyidik an sich dan tidak mengembangkan bukti, data dan fakta itu hingga ke bukti, data dan fakta yang berada di LPM UB dan tempat serta lembaga lain yang berkait dan dipandang perlu serta dapat memperkaya hasil akhir penghitungan angka kerugian keuangan negara (PKKN). Keadaan semacam ini, boleh jadi akan berakibat pada hasil perhitungan nilai angka kerugian keuangan negara tidak sesuai dengan fakta-fakta yang semestinya. Akibat hal seperti ini dapat kita lihat pada hasil nilai perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak akurat misalnya kasus sangkaan pada Bahri Ketua LPM UB Malang, kasus Puteh Gubernur NAD dan kasus tindak pidana korupsi lainnya. Dalam kasus Pabrik Gula Mini (PGM) Kigumas, tersangka Bahri dalam pembelaannya (pledoi) menyatakan sebagai berikut: “BPKP dalam melakukan audit hanya berdasarkan dari bahan-bahan yang diajukan JPU yang notabenenya adalah alat-alat bukti yang disita dari Pemkab Malang dan tidak meminta data maupun keterangan dari pihak LPM Universitas Brawijaya. Padahal LPM telah nyata-nyata ada pekerjaan disain dan mesin sipil 2003 dan semua itu lengkap dengan dokumen-dokumennya”.
61
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Uraian dan pernyataan di atas akan menjadikan ketidakpastian terhadap perhitungan kerugian keuangan Negara. Padahal hasil perhitungan kerugian keuangan negara itu sangat penting dan terpenting dari unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana korupsi. Karena estimasi atas adanya jumlah kerugian keuangan negara sangat menentukan bagi formula adanya tindak pidana korupsi. Tanpa adanya kerugian keuangan negara, meskipun telah terjadi salah prosedur, tentu tidak bisa dikategorikan sebagai adanya tindak pidana korupsi. Manakala kerugian Negara tidak muncul, tentu peristiwa salah prosedur itu hanya akan dikategorikan sebagai kesalahan administratif belaka dan masuk dalam ranah hukum administratif serta bukan menjadi
domain
hukum pidana (sebagai misal adalah kasus Dana Non-Budgeter Bulog, yang di MA terdakwa Akbar Tanjung diputus bebas karena perkara itu dinyatakan sebagai kesalahan administratif dan bukan kesalahan pidana (meskipun putusan MA itu tidak bulat/dissenting opinion). Karena itu, adanya kesalahan administratif belum tentu akan mengarah pada telah terjadinya tindak pidana korupsi. Pada sisi lain, audit investigatif yang dilakukan BPK-RI pada umumnya merupakan tindak lanjut atas hasil temuan atau rekomendasi dari general audit atas laporan pertanggungjawaban Pengelolaan Pemda atau Institusi Milik Pemerintah yang menghasilkan opini selain Unqualified Opinion (seperti Pemda Jember, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kotamadya Batu dan lainnya). Audit Investigatif yang dilakukan BPK-RI ini, boleh jadi merupakan tindak lanjut hasil compliance audit, dimana dalam institusi yang menjadi objek audit ditemukan audit findings yang tidaktaatan (uncompliance) terhadap aturan yang berlaku. Misalnya hasil compliance audit atas KPU Pusat pada Era Kepemimpinan Nazaruddin Syamsuddin dengan temuan prosedur yang tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya mencapai jumlah 54 temuan.
62
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Untuk sebagian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi yang melanda KPU Pusat pada era kepemimpinan Nazaruddin Sjamsuddin dapat dilihat pada tabel 3.4. Tabel 3-4 PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA KASUS PENGADAAN BARANG DAN JASA KPU PUSAT ERA KEPEMIMPINAN NAZARUDDIN SJAMSUDDIN
1
Asuransi Petugas Pemilu
Nazaruddin Sjamsuddin
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Rp.5,03 miliar
2
Pengadaan Buku
Bambang Budiarto dan Safder M Yussac
Rp.20,76 miliar
3
Pengadaan Tinta Pemilu
Rusadi Kanta Prawira
Rp.4,661 miliar
4.
Pengadaan Segel Pemilu
Daan Dimara
Rp.3.540 miliar
5.
Pengadaan Kotak suara
Mulyana Wira Kusuma
Rp.15,5 miliar
NOMOR
KASUS PENGADAAN
PENANGGUNG JAWAB
Sumber: berbagai sumber KPK yang saya olah sendiri
Jadi, audit investigatif dari BPKP dapat dikategorikan dalam dua jenis yakni: pertama adalah pelaksanaan audit investigatif yang dilaksanakan atas permintaan penyidik atau perintah pengadilan, dan kedua adalah pelaksanaan audit Investigatif yang merupakan tindak lanjut dari hasil general audit atau temuan dari compliance audit atau Aduan, Keluhan dan Petunjuk (AKP). Hasil audit BPK maupun BPKP, yang merupakan alat bukti surat, baik dilakukan dengan tujuan penghitungan kerugian keuangan Negara yang dilakukan atas permintaan penyidik maupun hasil audit investigatif yang merupakan tindak lanjut dari general audit maupun compliance audit, keduanya sama-sama memiliki peran sentral dan berkontribusi besar terhadap putusan hakim atas bersalah atau tidak bersalahnya si terdakwa.
3.4. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL AUDIT INVESTIGATIF Pembentukan Janin Visum Akuntansi Forensik
Pelaksanaan audit investigatif (sering disebut AI atau PKKN) akan dilakukan berbasis bukti awal. Basis itu dapat berupa aduan, keluhan, dan petunjuk awal (AKP).
63
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Basis bukti AKP itu setelah melalui analisis dan sintesis akan membangun suatu predication (Tuanakotta, 2007, 219). Sintesis akan dilakukan manakala persesuaian telah didapat, sedangkan eliminasi data dilakukan manakala terdapat ketidaksesuaian antara satu bukti dengan bukti lainnya dan/atau antara satu perbuatan dengan perbuatan lainnya dan/atau antara perbuatan dengan alat bukti yang diperoleh. Manakala sudah terjadi kesesuaian dengan bukti maka alat bukti, barang bukti, fakta dan data akan dirajut dalam bentuk chart and matrix yang merupakan wujud konstruksi visum akuntansi forensik as a support for a litigation. AKP bisa juga berupa tindak lanjut hasil temuan dari general audit. AKP dari general audit dapat saya berikan contoh misalnya adalah laporan keuangan Kementerian Kesehatan yang diaudit BPK RI dan menghasilkan disclaimer opinion atau no opinion atau tidak menyatakan pandapat, yang terbit berkali-kali, sejak tahun 2006. Untuk pelaksanaan audit investigatif, BPK akan menggandeng KPK yang tujuannya untuk menelsuri kemungkinan adanya kerugian keuangan Negara (Kompas, 1 Juli 2010).Salah satu temuan yang serius dari BPK adalah adanya 24 rekening liar atas nama pribadi dan instansi yang off-budget senilai Rp.503 miliar. Selain itu, terdapat saldo dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi Masyarakat Miskin yang sampai dengan tanggal 31 Desember 2009 tercatat dana sebesar Rp.479 miliar. Dana tersebut di simpan di Kantor Pos. dan tidak dicairkan bagi masyarakat miskin yang sangat memerlukannya. Pertanyaannya adalah, berapa bunga dari simpanan itu dan bunga itu untuk apa dan untuk siapa? Siapa yang bertanggung jawab atas penempatan dana itu? Mengapa menyimpannya dananya di Kantor Pos? Mengapa tidak dimanfaatkan bagi masyarakat miskin? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu pendalaman-pendalaman yang mengarah pada pencarian jawaban hypothetical construction of crime.
64
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
AKP seperti di atas itulah yang biasanya dapat menjadi amunisi awal bagi tindak lanjut untuk melakukan audit investigatif bagi BPK RI. AKP seperti itu seperti pada kasus Bupati Jember, Bupati Situbondo, Bupati Kolaka, Bank Century dan lainnya.
3.4.1. ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI Keterangan saksi dapat berupa suatu keterangan dari seseorang mengenai suatu peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖ dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Mulyadi, 2007, 61 dan Chazawi, 2006, 37). Jadi, seorang saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan investigasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan cross examination di pengadilan tentang suatu perkara pidana. Keterangan saksi itu juga harus dikuatkan dengan sumpah pada saat di pengadilan. Sunaryo (2005, 414) menambahkan bahwa keterangan saksi itu harus dikuatkan dengan sumpah. Di samping itu suatu keterangan saksi yang terdiri dari hanya satu orang saja tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, karena satu saksi saja akan dinyatakan sebagai bukan saksi (unus testis nulus testis). Selanjutnya, sebuah keterangan yang diberikan satu saksi dengan saksi lainnya atas suatu perbuatan harus bersangkut paut dan berkesuaian serta terjalin secara berkelindan antara satu dengan lainnya dalam rangkaian rekonstruksi suatu peristiwa yang dapat mengungkapkan alur perkara berbasis bukti secara terang benderang. Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) atau katanya atau ujarnya atau hersay evidence orang akan tidak dapat dimasukkan sebagai keterangan. Testimonium de auditu atau hearsay evidence ini adalah suatu bentuk keterangan saksi yang berasal bukan dari kesaksiannya sendiri melainkan yang sumbernya diperoleh dari orang lain, yakni ada orang yang mengatakan atau
65
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
menceritakan sesuatu. Sebuah kesaksian yang bersumber dari kisah-kisah atau celoteh yang didengar dari orang lain. Dalam soal mengungkap dan mengumpulkan keterangan saksi-saksi bisa saja terjadi berbagai kompleksitas. Oleh karena itu, Silverstone
(2004,
134)
mengingatkan
method
of
questioning
vary
in
complexity─depending on the subject and purpose of the interogation─from simple question and answer to a veritable game of psychological survivor. Lebih lanjut, menurut Silverstone (2004,155) mengatakan bahwasanya interviews with witnesses in financial crimes differ from interviews with witnesses in other type of crimes, certain key interview techniques can help you as an investigator develop as much information as possible. Jadi, dalam kompleksitas dalam mencari dan mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi untuk dapat memberi penjelasan gambaran konkrit mengenai perkara dugaan kejahatan keuangan dan/atau tindak pidana korupsi sangat kompleks dan memerlukan teknik yang berbeda dengan cara memperoleh keterangan dari tipe tindak pidana lainnya. karena itu tidak akan pernah ada suatu daftar pertanyaan manjur (magical list of questions) yang dapat dirancang investigator sebelumnya. Efektivitas hasil interview yang dilakukan para investigator akan sangat tergantung pada kreativitas, imajinasi, sensitivitas dan pengalaman panjang yang diperolehnya. Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditimpakan kepada Bahri, keterangan saksi yang digunakan auditor investigatif dalam menghitung PKKN berasal dari BAP hasil penyidikan Jaksa, dan tidak melakukan permintaan keterangan langsung kepada saksi-saksi. Kondisi dan fakta itu dapat kita lihat dari laporan penghitungan kerugian keuangan negara, yang tertulis pada angka 3 huruf (a) yang menguraikan prosedur penugasan yang dilakukan BPKP adalah sebagai berikut:
66
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Dalam prosedur penugasan, untuk menghitung kerugian keuangan Negara tersebut dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (a) mempelajari resume dan memperhatikan pemaparan kasus yang dilakukan Penyidik Kejaksaan... dan seterusnya...”
Audit BPKP itu memiliki tujuan untuk membangun alat bukti surat, yang akan diperuntukkan sebagai kelengkapan alat bukti penyidikan. Dengan alat bukti surat yang dibangun dengan hanya berlandaskan pada data, informasi dan resume yang dipasok dan hasil pemaparan penyidik, boleh jadi dan mungkin saja, masih mengandung potensi kelemahan. Dengan adanya potensi kelemahan yang melekat itu bisa saja akan menjadi titik kritis dalam kriteria bangunan alat bukti. Kelemahan itu tentu akan berdampak besar pada saat dilakukan cross examination di pengadilan (ternyata kelemahan inilah yang membebaskan Bahri dkk dari jeratan hukum). Menurut saya, prosedur audit yang dilakukan BPKP itu sudah semestinya juga meminta tambahan data, informasi, barang bukti, keterangan kepada saksi-saksi dan/atau lembaga lain yang terkait (LPM UB, CV. Sami Jaya dan lainnya) dalam rangka untuk lebih memperkaya informasi dan kemudian dapat digunakan untuk lebih memastikan penghitungan angka kerugian keuangan negara. Dalam perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi terhadap Bahri, keterangan, informasi dan penjelasan diperoleh dari 22 orang saksi, seperti saksi: Guritno (Mantan Rektor UB), Sujud (Bupati Malang), Santoso (mantan Sekda Malang), dan lainnya termasuk Bahri (mantan ketua LPM UB). Saksi-saksi inilah yang memberikan petunjuk dan arah bagi proses penyelidikan dan penyidikan. Namun, entah karena apa Auditor Investigatif hanya berbasis pada data yang dipasok dari penyidik serta hasil paparan penyidik belaka. Sayangnya, dalam audit Tim Pemeriksa yang terdiri dari lima orang, yakni Yustra Iwata (Pembantu Penanggung jawab), A.Rasyid Usman (Pengendali Teknis), Tri Agung Sumartono (Ketua Tim), Thomas Sulistyo Budi (Anggota Tim), dan Rr. Sri
67
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Hartanti (Anggota Tim) tidak melakukan prosedur permintaan klarifikasi kepada si Tersangka Bahri dan/atau kepada saksi lainnya. Padahal langkah klarifikasi atau konfirmasi ini merupakan sebuah keniscayaan yang sudah seharusnya dilakukan, yang dalam Pedoman Penugasan Audit Investigatif hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita Acara Klarifikasi (BAK). Boleh jadi, bilamana hal ini dilakukan, mungkin saja Tim Audit investigatif akan menemukan fakta, data, informasi dan keterangan lain dan mungkin saja hasilnya bisa berbeda dengan simpulan yang dihasilkan. Menurut Ma‘ruf, informan yang menjabat sebagai salah satu tim teknis audit BPKP Jawa Timur menyatakan bahwa penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan dengan menggunakan basis data yang disiapkan penyidik itu disebabkan karena: Dalam bantuan untuk Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam kasus Syamsul Bahri itu, lebih disebabkan karena kami melaksanakan tugas audit itu berdasarkan isi surat tugas yang kami terima dari pimpinan... audit penghitungan keuangan kerugian negara kami laksanakan berdasarkan pasokan data dan resume penjelasan dari penyidik... sederhananya begini: „ini lho buktinya dan ini penjelasannya, tolong hitung berapa nilai kerugian keuangan negaranya‟... karena itu tugas semacam ini, kami dari BPKP tidak mengembangkan data yang kami peroleh kepada sumber lain... tidak sebagaimana kalau kami melaksanakan tugas audit investigatif yang mencari ke pucuk-pucuk, ranting-ranting hingga akar-akar permasalahan...“
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa dengan prosedur yang dilakukan tidak meminta klarifikasi atau konfirmasi terhadap si terdakwa boleh jadi masih mengandung kelemahan signifikan. Oleh karena itu, salah satu kalimat dalam pembelaan (pledoi) yang dibuat Bahri dan dibacakan pada saat sidang di Pengadilan Negeri Malang menyayangkan hasil audit BPKP tersebut. Kalimat Bahri dalam pledoinya menyatakan sebagai berikut: “Ternyata tim audit BPKP Jawa Timur tidak memeriksa Surat Perintah Pelaksanaan… yang berisis tentang perintah untuk melaksanakan kegiatan desain dan pengawasan pada pembinaan Kigumas TA 2003. Demikian juga, Tim audit BPKP tidak memeriksa LPM sebagi pihak konsultan perencanaan dan pengawasan, yang diperlukan data-data yang menyangkut produkproduknya terutama desain mesin dan sipil. Hasil audit yang demikian itu menjadi tidak objektif…”
68
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Hasil audit Kantor Akuntan Publik Drs. Kunto Aji dan juga dalam kesaksian Saudara Kunto Aji yang dibuat secara tertulis yang ditunjukkan oleh Hakim Anggota yang berisi mengenai desain 60% untuk di PAK – kan, merupakan dasar bagi addendum nomor 05 dan 06 karena adanya perubahan tugas pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan kontrak nomor 525/2003 di mana dalam kontrak tersebut juga dinyatakan bahwa pada pasal 14 bahwa segala sesuatu yang belum diatur dalam isi surat perjanjian ini atau perubahan yang dipandang perlu oleh kedua belah pihak, akan diatur lebih lanjut dalam Surat Perjanjian Tambahan (addendum) dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Surat Perjanjian ini… ”
Jadi, menurut Bahri jelas-jelas bahwa kontrak 05 dan 06 yang menjadi masalah utama dalam perkara PGM Kigumas ternyata pekerjaan telah dilakukan. Dengan telah dilaksanakannya pekerjaan tentu tidak ada pekerjaan yang fiktif. Semua pekerjaan dalam addendum telah dikerjakan sesuai dengan kontrak. Hasil pekerjaan telah diterma dan dibayar oleh Talahatu selaku Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Tuduhan pekerjaan fiktif tersebut, menurut Bahri, adalah suatu bentuk ketidakcermatan Tim Audit BPKP Jawa Timur. Dengan demikian, alat bukti surat yang berupa laporan penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) menjadi titik lemah perkara Bahri. Dengan kelemahan yang melekat pada alat bukti surat ini, pada akhirnya dapat membebaskan Bahri dari jeratan hukum. Karena unsur tindak pidana korupsi harus meliputi tiga unsur, di mana salah satu unsurnya adalah adanya kerugian keuangan negara. Jika salah satu unsur tidak terbukti, maka tindak pidana korupsi itu tentu bukan delict tindak pidana korupsi. Pada sisi lain, bukti keterangan saksi ini, dalam domain auditing akan merupakan hasil dari wawancara. Hasil wawancara dapat direkam terlebih dahulu dalam media elektronik kemudian di script dalam bentuk tulisan yang kemudian ditandatangani oleh pemberi keterangan bersama petugas. Bisa juga, keterangan itu langsung dicatat dan kemudian ditandatangani oleh para pemberi keterangan. Uttuk memberikan gambaran perbandingan antara seseorang yang member keterangan (saksi) yang terdapat dalam aturan di Indonesia dengan di Amerika adalah,
69
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
di Amerika Serikat, keterangan saksi disebut sebagai ―Testimony‖. Dalam aturan hukum Amerika, terdapat tiga jenis saksi, yaitu ―Lay witness‖, ―Expert witness‖ dan ―Character witness‖. Lay witness adalah saksi biasa, adalah orang yang melihat peristiwa yang terjadi dan mampu menggambarkan apa yang ia lihat. Di Indonesia lay witness ini akan dikategorikan sebagai alat bukti keterangan saksi (fakta). Expert Witness, adalah seorang spesialis, yakni seseorang yang ahli dalam suatu bidang dan memberikan kesaksian berdasarkan bidang keahliannya itu. Di Indonesia expert witness secara spesifik tidak ada, yang ada adalah keterangan ahli, yakni suatu permintaan keterangan yang berbasis keahlian yang dimilikinya. Karena itu, bisa jadi keterangan ahli dalam perspektif Indonesia boleh jadi akan menuai protes dan perdebatan di pengadilan Dengan demikian, keterangan ahli dari BPKP atas PKKN yang dibuatnya, boleh jadi masih akan menuai protes (objection) dan keberatan dari advokat saat mereka dihadirkan dalam persidangan. Karena dalam konstruksi hukum Indonesia, yang disebut expert adalah seseorang ahli, yang hanya akan diminta keterangannya atas keahliannya, dan bukan seseorang ahli yang telah masuk dalam penguraian atas fakta dan perkara tindak kejahatan keuangan atau tindak pidana korupsi (KUHP pasal 184). Sedangkan character witness adalah seseorang yang mengenal korban, karakter si pelaku atau orang lain yang terlibat dalam kasus tersebut12. Di Indonesia character witness ini tidak dikenal. Karena KUHAP hanya mengenal tiga macam alat bukti keterangan yakni alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti keterangan terdakwa. Masih di Amerika, manakala Jaksa (attorneys) telah merasa memiliki informasi dan data kasus yang kuat, dengan beberapa orang saksi yang mendukung, serta US Departement of Justice, Criminal Division, Management of The Prosecutional Function, yang ditulis kembali oleh Effendi Marwan (2005, 79-84) 12
70
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
bersedia memberi kesaksian melawan terdakwa, maka jaksa kemudian akan memberitahukan kepada terdakwa bahwa ia diyakini telah melakukan tindak pidana. Surat dakwaan akan berisi informasi yang membantu terdakwa untuk memahami atau mengerti tindak pidana yang telah ia lakukan. Simpulan itu akan diambil Jaksa, manakala seluruh fakta yang ada itu telah mengarah pada seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Pertimbangan jaksa akan sangat berkait erat dengan bukti yang diterimanya, baik langsung maupun bukti yang tidak langsung. Bukti langsung adalah informasi yang diberikan oleh saksi yang melihat, atau dari video atau audio tentang seseorang yang melakukan tindak pidana. Sedangkan alat bukti tidak langsung adalah pernyataan-pernyataan atau informasi yang bukan berasal dari orang pertama. Alat bukti tidak langsung meliputi kesan-kesan dari orang-orang tentang tindak pidana yang telah terjadi yang tidak mereka saksikan sendiri (circumtantial evidence) Salah satu tahap akhir saat akan dimulainya persidangan adalah, apa yang disebut sebagai ―motion in time‖, yakni suatu tahapan untuk menentukan tempat persidangan (venue) atau dikenal juga sebagai jurisdiksi, kemudian alat-alat bukti, dan soal kesaksian. Dalam hal ini, hakimlah yang akan memutuskan motion in time tersebut. Jadi, di Amerika Serikat dalam soal membangun kesaksian untuk memastikan eksistensi kejahatan, lebih banyak menyandarkan kepada kepiawaian agen-agen dari FBI dan/atau DEA dan/atau agen sejenis lainnya. Jaksa hanya akan menerima dan menilai kekuatan bukti-bukti kesaksian dari hasil kerja mereka. Dengan model seperti ini, di Amerika Serikat tentu peranan penting akuntan forensik dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi forensik dan/atau bekerja sama dengan agen-agen FBI menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
71
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Berbeda
dengan
di
Indonesia,
peranan
mencari,
menemukan
dan
mengumpulkan alat bukti, kewenangan itu lebih banyak diberikan kepada kepolisian, kejaksaan atau KPK. Instansi itulah yang bertanggungjawab atas visum akuntansi forensik as support for a litigation..
3.4.2. ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI Keterangan ahli adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat terang dan jelasnya suatu perkara (Chazawi, 2006,62). Pemberi keterangan adalah seseorang yang mempunyai ‖keahlian khusus‖ yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
yang
telah
dipelajarinya
tentang
sesuatu
apa
yang
dimintai
pertimbangannya. Seorang ahli adalah seseorang yang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu, yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui suatu bidang ilmu pengetahuan secara khusus, mendalam dan komprehensif. Keterangan ahli (expert testimonium) boleh jadi akan dilakukan oleh auditor investigatif. Mengapa auditor investigatif dapat disebut sebagai ahli? Pengertian ahli menurut Andy Hamzah (1988, 282) adalah a person who is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualification of him as an expert on the subject to which his testimony related. Dengan demikian, seorang ahli akan diminta keterangan keahlian yang dimiliki untuk menjelaskan duduk perkara atas kasus yang sedang disidangkan agar kasus yang disidangkan menjadi terang benderang. Seperti yang saya uraikan sebelumnya, pemberi keterangan ahli ini, di Amerika Serikat disebut sebagai expert witness.
72
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Informan Ismail Navianto, saat saya tanya mengenai apa peran penting seorang ahli pada kasus tindak pidana korupsi. Navianto menjawab: “Dalam perspektif hukum Indonesia, akuntan misalnya, akan menyatakan fakta-fakta berdasarkan audit yang dilakukannya. Peran utama akuntan adalah membuat terang dan jelasnya perkara berdasarkan audit yang dilakukannya. Temuan-temuan itu akan disampaikan dalam bentuk laporan yang kemudian akan disebut sebagai “alat bukti surat”.
Dengan demikian, bukti yang dibangun auditor investigatif niscaya memiliki peran sentral dalam memberikan terang dan jelasnya perkara. Ia bukan penyelidik dan bukan pula penyidik, namun ia adalah auditor. Peran seperti inilah yang sering dilakukan oleh BPK maupun BPKP dalam bentuk audit investigatif (Soejono Karni (2000,106). Namun, dalam hal-hal tertentu, penyidik dapat juga meminta bantuan tenaga ahli13 untuk memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya, dan bukan masuk pada pokok perkaranya. Permintaan kepada auditor pada umumnya akan menyangkut dua hal pokok, yakni sebagai ahli keuangan dan akuntansi untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta, peristiwa dan dokumen yang berkaitan dengan perkara, atau dia akan diminta menghitung besarnya nilai kerugian keuangan negara yang terjadi pada perkara tersebut 14. Namun, Soejono Karni (2000, 230) terdapat kondisi ketidakjelasan penegakan hukum di Indonesia. Berkait dengan soal suap misalnya, Karni berujar: “Alat bukti surat─berdasarkan pengalaman saya di sidang pengadilan─harus sah menurut hukum, artinya alat bukti surat tersebut harus memenuhi syarat formal dan materiil. Lalu akan timbul pertanyaan besar, yakni sepanjang tidak ada kwitansi tanda terima suap, boleh jadi Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak akan pernah berani untuk mengajukan perkara tersebut ke sidang pengadilan.”
Dalam soal penyalahgunaan wewenang, konstruksi aturan hukum Indonesia sungguh mengenaskan seperti yang dikatakan Karni (2000, 230) sebagai berikut:
13
KUHAP pasal 120 ayat (1)
14
Lihat pasal 183 dan pasal 187 butir (d) KUHAP
73
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Dalam kasus penyalahgunaan wewenang, misalnya harus ada bentuk perintah tertulis dari atasan agar bawahannya melaksanakan tugas yang menyimpang. Menurut advokat, barangkali surat perintah (bila ada) juga harus sah demi hukum. Kalau sistem pembuktian tetap seperti sekarang, sulit digunakan untuk memberantas korupsi. Jaksa bersama auditor telah bekerja berbulan-bulan dengan biaya yang tidak sedikit, apalagi kalau dalam rangka pembuktian perlu ke luar negeri, lalu di sidang pengadilan disanggah oleh advokat yang disiapkan hanya dalam beberapa jam belaka. Di negara kita sangat terbuka lebar untuk menyanggah Dakwaan Jaksa dengan hanya menggunakan pembenaran hukum semata”.
Tuduhan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara menggunakan penyalahgunaan kekuasaan adalah mudah bagi advokat untuk menyanggah Dakwaan jaksa. Misalnya saja, atas perintah lisan dari ―Atasan‖, sang petugas gudang (bagian logistik) menandatangani berita acara penerimaan barang gudang yang fiktif. Dengan demikian, saja sang atasan tentu tidak meninggalkan jejak tanda tangan atas perinahnya tersebut. Sebagai akibatnya akan sangat sulit untuk menuntut atau memperkarakan sang atasan, meski perintah menandatangani penerimaan barang fiktif itu datangnya dari perintah lisan sang atasan. Sedangkan yang akan kena getah dan mempertanggungjawabkan penerimaan barang fiktif adalah sang bawahan. Seirama dengan perintah atasan di atas, dapat saya uraikan suatu ilustrasi tentang kasus riil yang sama, yakni pada kasus PGN (Perusahaan Gas Negara) yang menimpa Joko Pramono. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Umum dan SDM PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Pramono sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pungutan uang proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas dan atau penyuapan ke sejumlah anggota DPR RI. Pramono diduga terlibat dalam kasus yang juga menjerat mantan Direktur Utama PT. PGN, Washington Mampe Parulian Simanjuntak. Ketika kasus ini terjadi pada saat Pramono menjabat sebagai Direktur Keuangan PGN. Nama Pramono disebut di dalam surat dakwaan terhadap Simanjutak.
74
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tim penuntut umum KPK menyatakan bahwa dana pungutan kontraktor PT. PGN sebesar Rp1,6 miliar mengalir ke sejumlah anggota DPR RI pada 2003. Simanjuntak memerintahkan pengumpulan dana dari sejumlah kontraktor PGN dalam proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas. Sebagian uang itu diberikan kepada anggota DPR RI yang telah mengegolkan anggaran PGN 2003. Atas perbuatan itu, Simanjuntak dijerat dengan pasal 12 huruf e dan atau pasal 11 dan atau pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP. Kasus berawal dari Simanjuntak menerima telepon dari anggota DPR RI Agusman dan Hamka Yandhu. Pada saat itu, Agusman meminta dana sebesar Rp.1 miliar yang akan dibagikan kepada anggota Komisi VIII DPR RI. Sedangkan Hamka Yandhu meminta dana Rp.600 juta, yang separuhnya akan diteruskan kepada pimpinan DPR, sedangkan sisanya untuk Yandhu sendiri. Atas permintaan itu, Simanjuntak kemudian memerintahkan Direktur Keuangan PGN, Pramono dan beberapa bawahannya untuk mengumpulkan uang dari para kontaktor proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas di beberapa daerah di Indonesia. Pengumpulan dana itu mencapai Rp3,6 miliar Kemudian Simanjuntak memerintahkan penyerahan uang kepada anggota DPR Agusman dan Hamka Yandhu. Penyerahan uang sebesar Rp.1 miliar kepada Agusman dilakukan melalui orang bernama Tohir Nur Ilmani dan Darmojo. Penyerahan uang sebesar Rp.1 miliar itu dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam tas dan diserahkan kepada Agusman di sebuah rumah makan di Jakarta. Setelah mengambil uang, Agusman mengembalikan tas itu. Sementara itu, penyerahan uang kepada Yandhu dilakukan oleh Pramono. Secara keseluruhan, Yandhu menerima uang dalam bentuk cek senilai Rp.600 juta.
75
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Separuh dari uang itu dinikmati Yandhu sendiri sebagai imbalan karena keluarnya izin inisiatif penawaran saham PGN, yang separuh sisanya diteruskan kepada pimpinan DPR RI. Sisa dana hasil pungutan terhadap kontraktor dinikmati oleh Pramono sebesar Rp.700 juta, Simanjuntak sebesar Rp.300 juta, dan sisa yang lain dinikmati oleh beberapa pejabat PGN lainnya. Kasus itu merupakan pengembangan pengusutan kasus korupsi yang menjerat mantan General Manager PGN Jawa Timur, Trijono. Dalam persidangan Trijono terungkap bahwa aliran uang dari PT PGN kepada sejumlah anggota DPR. Ketika bersaksi di persidangan, mantan Direktur Keuangan PT PGN, Pramono mengaku telah menyerahkan cek senilai Rp.200 juta kepada Yandhu. Pramono juga mengatakan telah membagikan cek senilai Rp.50 juta sampai Rp.75 juta kepada sejumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat dengan PT PGN. Menurut Pramono, anggota DPR yang menerima antara lain Ferial, Agusman, dan Asawi. Masih menurut Pramono, PT PGN telah menerima setoran uang sebesar Rp.700 juta dari Trijono ketika menjabat sebagai General Manager PGN Jawa Timur. Pramono mengaku diperintah oleh Direktur Utama PGN, untuk membagikan uang itu kepada sejumlah anggota DPR. Dalam kasus ini, KPK juga sudah memeriksa mantan anggota DPR Hamka Yandhu, Achmad Ferial Husein dan Agusman (TVone.com, tanggal 19 Januari 2010, berita jam 22:32) Bagi saya, uraian sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa perbuatan Pramono telah dapat dimasukkan dalam perbuatan tindak pidak korupsi dan diklasifikasikan sebagai tindak pemerasan dan penyuapan. Pemerasan kepada suppliers PGN dan penyuapan kepada anggota DPR. Selanjutnya, terdapat beberapa kendala bagi auditor dalam membantu penyidik pada sidang pengadilan. Bilamana permintaan audit investigatif itu berasal dari
76
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
penyidik Kepolisian, dan kemudian hasil penyidikan diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hasil AI atau PKKN, JPU pada umumnya masih akan meminta tambahan-tambahan keterangan dari auditor investigatif, dalam rangka untuk lebih menguraikan dan menambah kejelasan laporan AI atau PKKN tersebut. Permintaan tambahan keterangan itu akan timbul persoalan baru, yakni akan terjadi pemberian keterangan secara berulang-ulang. Keadaan itu terjadi, karena salah satu ciri tindak pidana korupsi adalah eksistensi kerugian negara sebagai akibat adanya penyalahgunaan wewenang yang melibatkan tidak hanya satu pelaku. Dengan pelaku yang banyak, tentu auditor investigatif harus selalu siap untuk datang bolak-balik untuk memberikan keterangan ahli atas laporan AI dan PKKN pada setiap persidangan terhadap masing-masing pelaku yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Bilamana yang terlibat 5 orang, maka auditor akan hadir untuk pemberian keterangan ahli atas 5 orang tersebut, demikian seterusnya. Di samping persoalan atas bolak-balik untuk hadir dalam pemberian keterangan ahli, dalam persidangan tindak pidana korupsi, auditor investigatif juga akan mengalami kesulitan untuk mampu meyakinkan hakim atas konfigurasi, konsep dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam arsitektur akuntansi dan keuangan. Di samping berhadapan dengan kompleksitas dalam memberikan penjelasan hasil AI dan PKKN, auditor juga akan berhadapan dengan argumentasi advokat yang cenderung dan mencoba mematahkan laporan hasil AI atau PKKN yang dibuat auditor. Misalnya saja, dalam soal menghitung kerugian keuangan negara yang melekat pada perbuatan melawan hukum. Karni (2000, 238) mengungkapkan sebagai berikut:
77
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Dari pengalaman siding di pengadilan yang pernah saya ikuti, masih terdapat advokat yang mempermasalahkan soal menghitung kerugian negara yang melekat pada perbuatan melawan hukum. Pertanyaan advokat akan menggiring auditor kepada masalah hukum… biasanya advokat akan mempermasalahkan mengapa auditor masuk ke pokok perkara, padahal seorang ahli hanya diminta pendapat dan bukan penjelasan. Di sisi lain, untuk dapat menghitung kerugian keuangan negara yang melekat pada perbuatan melawan hukum harus terlebih dahulu melakukan audit. Tanpa melakukan audit terlebih dahulu, tidak mungkin auditor dapat membuat keterangan ahli.
Jadi, dari dialog sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa di samping auditor investigatif harus mampu membangun laporan AI dan PKKN, dia harus juga mempersiapkan diri untuk mampu mempresentasikan laporan hasil AI dan PKKN dalam bahasa yang sederhana namun tidak mengurangi isi substansi dari laporan tersebut. Kepiawaian dalam berkomunikasi verbal menjadi keniscayaan yang tidak terhindarkan. Karena perkara akan dapat menjadi terang benderang manakala auditor investigatif sanggup memberikan keterangan yang lengkap, jelas dan cermat serta keterangan tersebut dapat ditangkap secara sempurna oleh para pihak yang berperkara. Selanjutnya pada sisi lain, yang perlu kita ketahui adalah, pada umumnya dalam perkara tindak pidana - apapun jenis pidananya - bukti surat di bawah tangan akan mempunyai nilai tinggi bilamana surat di bawah tangan tersebut memiliki hubungan dengan isi dari alat pembuktian lain. Misalnya, terdapat pertautan antara bukti surat di bawah tangan dengan keterangan saksi yang telah menyerahkan sejumlah uang itu kepada terdakwa yang dilampiri dengan sebuah kwitansi. Pertautan antara surat di bawah tangan dengan keterangan saksi itu dapat kita simpulkan sebagai alat bukti surat. Proses pertautan semacam itu, dalam hukum pembuktian dapat diklasifikasikan sebagai suatu bentuk pembuktian minimum. Kembali pada soal ker, Informan Azhar (mantan jaksa) saat saya tanya mengenai apa arti kerugian keuangan negara. Azhar mengatakan bahwa:
78
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Manakala dalam suatu dugaan kasus tindak pidana korupsi, misalnya kasus Bahri, dinyatakan terdapat kerugian negara, maka sudah seharusnya ditemukan juga fakta lain, yaitu pihak-pihak yang diuntungkan. Bilamana terdapat keterangan ahli yang menyatakan mengenai kerugian negara, namun tidak ada pihak yang diuntungkan, lalu kerugian itu artinya apa? Khan tidak jelas makna kerugian negara itu?”
Dengan demikian, pemberi keterangan ahli dalam kasus tindak pidana korupsi, harus dilakukan oleh seseorang yang berkriteria ―ahli‖. Artinya, seorang ahli itu harus memberikan penjelasan yang berorientasi dan mengarah pada penjelasan profesional yang memiliki ilmu pengetahuan dan atau ketrampilan di bidangnya secara mendalam dan komprehensif. Pengetahuan itu bisa saja dalam bidang akuntansi, keuangan, auditing, hukum atau bidang lain yang relevan dengan konteks dan substansi perkara. Penjelasan yang diberikan harus berkorelasi dan berkait erat serta terjalin secara berkelindan dengan perkara tindak pidana korupsi. Selanjutnya, dalam hal alat bukti keterangan ahli, pada kasus Bahri mantan ketua LPM UB, ternyata Auditor BPKP telah meminta keterangan kepada pihak yang secara kriteria tidak memenuhi syarat sebagai ‗ahli‘. Keterangan ahli yang dimintakan dari PT. Boma Bisma Indra (BBI) yang dianggap independen bisa dibaca dalam laporan penghitungan kerugian keuangan negara BPKP Perwakilan Jawa Timur pada halaman 8 yang menyebutkan sebagai berikut: “Pembayaran kepada CV. Teknika Utama untuk pengadaan peralatan Pabrik PG Kigumas atas kontrak … tanggal … sebesar Rp.981.877.600,00 yang prosedur pengadaannya hanya formalitas... Hasil audit yang kami lakukan bersama dengan ahli independen PT. Boma Bisma Indera (cetak tebal dari saya) menunjukkan selisih kontrak dibanding hasil audit. Selisih tersebut merupakan Kerugian Keuangan Negara yang besarnya adalah Rp.109.851.950,00
Dengan dasar kalimat seperti itu, tentu dapat kita simpulkan bahwa kriteria PT Boma Bisma Indera (BBI) yang disebut sebagai ‗ahli independen‘ menjadi persoalan serius. BBI tidak memenuhi kriteria sebagai pihak independen juga
79
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
disebabkan karena BBI adalah pesaing dari PT Weltes yang dikalahkan dalam lelang pengadaan mesin PG Kigumas. Di samping tidak independen, PT BBI juga tidak memiliki kewenangan dan kompetensi, karena BBI adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengadaan mesin-mesin pabrik yang tentu saja tidak memiliki kompetensi dan kewenangan dalam melakukan penilaian asset/properti. Penunjukan BBI sebagai perusahaan yang diminta penilaiannya tentu tidak punya kewenangan memberikan penilaian. BBI bukan KJPP (kantor jasa penilai publik) yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian suatu asset/properti. Kesalahan besar dan fatal seperti ini tentu akan membawa dampak besar terhadap keyakinan hakim terhadap angka perhitungan kerugian keuangan Negara (PKKN). Kesalahan lain yang dilakukan tim BPKP, dapat kita temukan pada laporan laporan PKKN halaman 7 berbunyi sebagai berikut: “Pembayaran kepada CV. Samijaya sebesar Rp.994.392.647,00 hasil penghitungan kami bersama Dinas Kimpraswil Kabupaten Malang atas pekerjaan yang dibayar tersebut terdapat selisih harga kontrak dibanding hasil audit berupa kerugian Keuangan Negara sebesar Rp.259.630.481,41”
Padahal dalam struktur organisasi Pemkab Malang berdasarkan PERDA Pemkab Malang Nomor 3 Tahun 2003 juncto Nomor 4 Tahun 2004, dalam dua perda tersebut, kita bisa melihat bahwa tidak ada satker (satuan kerja) pemda yang namanya Dinas Kimpraswil. Lalu BPKP menyebut laporan itu berbasis penghitungan bersama Dinas Kimpraswil, pertanyaannya adalah sebenarnya lembaga mana? Inilah bentuk ketidakcermatan yang dilakukan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Sebagai dampak atas ketidakkcermatan tersebut akan memiliki dampak serius, kepada semua terdakwa. Mereka tentu akan ―berdarah-darah‖. Artinya para terdakwa harus menjadi pesakitan terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan segala
80
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
perbuatan yang ―diduga salah‖ tersebut di pengadilan hingga munculnya putusan hakim yang membebaskan tersangka. PKKN dari BPKP yang tidak akurat dan tidak cermat seperti itu juga pernah ditemui Kustaryo pada kliennya yang dijerat dugaan tindak pidana korupsi. Kustaryo, mengatakan sebagai berikut: “Nilai kerugian yang dihitung oleh BPKP untuk objek yang sama namun dalam tahun yang berbeda menghasilkan angka yang berbeda. Artinya perhitungan BPKP tahun 2005 menghasilkan laporan yang wajar, artinya angka tukar guling itu wajar dan tidak ada kerugian negara). Namun pada tahun 2007 untuk objek yang sama oleh BPKP setelah dihitung ulang terdapat angka kerugian negara sebesar Rp 5,3 milyar. Yang lebih aneh lagi adalah bahwa, pada tahun 2008 manakala PT.Sucofindo menghitung objek yang sama, hasilnya malah menunjukkan adanya keuntungan senilai Rp.300 juta, lalu nilai manakah yang paling akurat?”
Jadi, menurut saya penghitungan kerugian keuangan Negara (PKKN) dalam tindak pidana korupsi harus pasti dan benar karena hal itu berkait erat dengan masalah pembuktian. Karena itu, pada soal pengalian, pembagian, penjumlahan, dan penambahan (ping-poro-lan-sudo atau disingkat dengan pipo londo) niscaya benar dan pasti. Dalam pipo londo tidak boleh ada yang salah dan atau mengandung ketidakcermatan. Surat dakwaan adalah mahkota bagi jaksa penuntut umum. Karena itu surat dakwaan harus dihindarkan baik kesalahan bahasa, angka-angka maupun kesalahan pencantuman unsur dalam pasal-pasal yang dilanggar terdakwa. Di samping itu, keakuratan angka PKKN, sesuai dengan asas konstitusionalitas yang berarti adanya perlindungan hak untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti (asas lex certa disebut juga sebagai bestimmheitsgeboot)), yang dalam hukum pidana diterjemahkan sebagai ―asas legalitas‖ (tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP) yang berisi mengenai atas adanya kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang
81
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
tertulis (lex scipta). Selanjutnya orang juga dapat dipidana sesuai dengan rumusan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya ia dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta atau biasa disingkat dengan lex stricta (sesuai apa yang terdapat dalam tulisan). Dalam hukum pidana juga dikenal luas adanya asas geen straaf zonder schuld, yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Untuk membuktikan adanya unsur kesalahan (sculd) maka harus dilihat mens rea dari si pelaku, yakni apakah perbuatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan dikehendaki dan diketahui oleh si pelaklu (witten en waten).
3.4.3. ALAT BUKTI SURAT Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah (Chazawi, 2006,68). Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis seperti: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, laporan hasil audit investigatif, laporan penghitungan kerugian keuangan negara termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Laporan hasil perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dari BPKP, yang dalam ranah hukum dapat dikategorikan sebagai ‗Alat Bukti Surat‘ merupakan salah satu acuan utama bagi hakim dalam pengambilan putusan hukumnya. Dalam konteks penanganan perkara tindak pidana korupsi di pengadilan, bukti surat yang berisi adanya angka kerugian keuangan Negara akan dapat membangun keyakinan hakim
82
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
atas kepastian eksistensi tindak pidana korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, unsur kerugian keuangan negara mutlak harus eksis dan benar-benar terjadi serta dengan jumlah rupiah yang harus memunculkan angka riiil dan pasti. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bagian sebelumnya, pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan oleh BPKP perwakilan Jawa Timur ini berjenis audit investigatif dalam area penghitungan kerugian keuangan negara yang pelaksanaanya atas permintaan Kejaksaan Negeri Kepanjen No: R.01/0.5.43/Fd1/2005 tertanggal 24 Maret 2005 perihal bantuan investigasi audit keuangan. Kemudian surat tersebut ditindaklnjuti dengan surat tugas kepala perwakilan BPKP Jawa Timur dengan Nomor Surat Nomor: ST-2978/PW.13/5/2005 tertanggal 29 April 2005 perihal Bantuan perhitungan kerugian keuangan negara dan Nomor: ST-4120/PW.13/5/2005 tertanggal 22 Juni 2005 terhadap perpanjangan waktu penugasan bantuan penghitungan kerugian keuangan negara. Dalam keterangan ahli, institusi BPKP perwakilan Jawa Timur diwakili oleh SUMARTONO.
Untuk
pemerolehan
keterangan
ahli,
penyidik
melakukan
penyidikannya berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen Nomor: Print-.04.5.43/Fd.1/4/2006, menyatakan dalam salah satu isi berita acara pemeriksaan (BAP) menyatakan (lengkapnya lihat dalam Dakwaan JPU): “Biaya jasa tenaga kerja non pegawai Rp.496.343.493 yang merupakan nilai pekerjaan penyempurnaan perencanaan yang fiktif kepada LPM Universitas Brawijaya Malang dari nilai total Rp.645.987.000. Pembiayaan fiktif dapat dirinci sebagai berikut: nilai addendum kontrak 05 Tahun 2003 Rp.380.047.250, nilai addendum kontrak 06 Tahun 2003 Rp.265.939.850 (total Rp.645.987.000) kemudian dikurangi dengan pekerjaan pengawasan yang dilaksanakan yaitu: addendum nomor 05 tahun 2003 Rp.143.700.667 dan ditambah nilai addendum nomor 6 tahun 2003 Rp.12.951.840 (total Rp.156.652.507).
Perhitungan nilai kerugian negara yang dihasilkan adalah Rp.645.987.000 dikurangi Rp.156.652.507= Rp.496.343.493. Angka nilai kerugian Negara ini kemudian
83
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
di justifikasi dengan kutipan beberapa aturan yang dilanggar. Kutipan aturan yang dilanggar itu antara lain adalah sebagai berikut: “Pola pendanaan “pre financing” dalam kegiatan KIMBUN berbasis tebu tidak dapat dibenarkan karena melanggar pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 Kepres 80 Tahun 2003. Di samping itu, dana yang tercantum dalam DASK Tahun 2004 dengan pendanaan pre-financing direkayasa supaya uang Negara dapat dibayarkan.
Bilamana kita kaji secara seksama, pada dasarnya dalam pasal 10 ayat (3) tersebut mengatur mengenai soal pelarangan terhadap pengeluaran uang atas beban APBD. Aturan itu lengkapnya adalah sebagai berikut: ―Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut‖. Pada dasarnya, kegiatan apapun dilarang untuk dibayarkan. Artinya jika anggaran tidak ada dalam APBD dan/atau dalam perubahan anggaran keuangan (PAK), dilarang melakukan pembayaran apapun. Aturan pelarangan pembayaran ini dimaksudkan sebagai bagian dari implementasi pola anggaran yang berbasis kinerja yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari praktik-praktik manajemen keuangan daerah secara keseluruhan. Pelarangan pembayaran seperti di atas itu juga diatur dalam pasal 9 ayat (4) Kepres 80 Tahun 2003 tentang aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat/daerah. Oleh karena itu, aturan ini juga menjadi acuan bagi auditor BPKP dalam menjustifikasi terjadinya kerugian keuangan negara. Pasal 9 ayat (4) dalam Kepres 80 Tahun 2003 tercantum aturan yang mengatur tentang bagaimana pembayaran atas pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan. Aturan itu berbunyi sebagai berikut: ―Pengguna barang/jasa dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang
84
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
akan
mengakibatkan
dilampauinya
batas
anggaran
yang
tersedia
untuk
kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBN/APBD. Jadi, meskipun simpulan auditor BPKP atas adanya jumlah kerugian keuangan negara tersebut sangat logis dan berbasis legal formal (sesuai peraturan hukum yang berlaku), hasil tersebut dapat dijadikan dasar bagi penyelidik untuk lebih memperdalam dan lebih memperkaya perkara tersebut. Pengertian kerugian keuangan negara, yang diambil BPKP adalah dari bunyi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi 31/1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi No. 20/2001 dapat diartikan sebagai berikut: (1) Berkurangnya kekayaan negara dan atau bertambahnya kewajiban negara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kekayaan negara merupakan konsekuensi dari adanya penerimaan pendapatan yang menguntungkan dan pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara (pendapatan dikurangi kerugian negara); (2) Tidak diterimanya sebagian dan atau seluruh pendapatan yang menguntungkan keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Sebagian atau seluruh pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara lebih besar atau seharusnya tidak menjadi beban keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Setiap perubahan kewajiban negara yang diakibatkan oleh adanya komitmen yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalam kasus Bahri, penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP Perwakilan Jawa Timur mengarahkan arti kerugian keuangan negara pada poin 3 di atas. Bahan-bahan yang diaudit oleh Tim BPKP perwakilan Jawa Timur merupakan materi hasil penyidikan tim penyidik yang telah menyimpulkan atas adanya perbuatan melawan hukum terhadap penggunaan dana kegiatan pembinaan KIMBUN TA 2004. Dalam laporan BPKP pada kasus ini secara tegas dan jelas menyatakan bahwa tanggung jawab BPKP dalam penugasan ini hanya menghitung
jumlah kerugian
85
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
keuangan negara/daerah, dan bukan memberikan opini hukum atas kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka. Alat bukti surat, pada kasus Bahri yang salah satu bentuknya berupa Laporan Penghitungan Kerugian keuangan negara yang dibuat BPKP Jawa Timur bertanggal 14 September 2005. Laporan itu dibuat berbasis data dan paparan jaksa penyidik kepada tim auditor BPKP. Simpulan Laporan itu berbunyi sebagai berikut: “Berdasarkan hasil audit sebagaimana diuraikan di atas, serta bukti-bukti yang ada dan dapat kami peroleh, jumlah kerugian keuangan Negara/Daerah sekurang-kurangnya sebesar Rp.1.180.210.082,41 yang menjadi tanggung jawab Freddy Talahatu sebesar Rp.873.432.482,41 dan Hendro Soesanto sebesar Rp.306.777.600,00”
Padahal dalam laporan BPKP pada halaman 3 mengungkapkan bahwa data yang dipergunakan sebaga dasar untuk menghitung kerugian keuangan negara oleh tim auditor BPKP adalah sebagai berikut: a. b. c. d.
DASK, SPP, SPMU tahun 2004 beserta bukti pendukungnya; Surat Perjanjian Pemborongan /Kontrak dan addendum kontrak Laporan/resume hasil pemeriksaan tersangka/saksi dari penyidik; Hasil penghitungan volume pekerjaan bangunan oleh Dinas Kimpraswil Kabupaten Malang dan hasil penghitungan nilai pengadaan/pemasangan peralatan/mesin pabrik oleh PT Boma Bisma Indra.
Dengan data yang terbatas semacam itu, tentu saja tuduhan pekerjaan fiktif menjadi problematik. Karena itu bisa terperangkap dalam ketidakcermatan atau kurangan prosedur audit. Hasil audit yang mengandung ketidakcermatan itu juga menjadi bagian uraian pembelaan (pledoi) Bahri yang menyakan sebagai berikut: “Kesimpulan inilah yang menyebabkan tuduhan fiktif karena ketidakcermatan saudara Soemartono dkk sebagai Tim Audit BPKP Jawa Timur yang telah beraninya menyimpulkan bahwa telah terjadi pekerjaan fiktif yang hanya berdasarkan analisis atas data-data yang diterima dari penyidik… “Padahal berdasarkan ketua tim proyek PG Kigumas, Sudjito dan wakil ketua Bisri serta saksi-saksi lain yang dihadirkan dalam persidangan terbukti menyatakan: 1. Kontrak dilakukan secara bertahap, artinya hak dan kewajiban jelas ada batas waktunya; 2. Desain tahun 2001 hanya merupakan desain untuk menghitung investasi yang disesuaikan dengan pagu anggaran Pemerintah Kabupaten Malang;
86
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
3. Desain yang dibuat konsultan dengan pelaksanaan yang dilakukan kontraktor tahun 2003 baik mesin maupun sipil dilaksanakan secara parallel; 4. Tugas pekerjaan pengawas berbeda dengan tugas desain; 5. Pekerjaan desain sudah disepakati oleh kedua belah pihak dalam addendum nomor 05 dan 06.
Dari uraian sebelumnya itu dapat disimpulkan bahwa tuduhan BPKP bahwa pekerjaan konsultan desain mesin dan sipil itu fiktif tentu saja tidak benar. Karena Tim Konsultan LPM UB telah bekerja sejak dikeluarkannya surat perintah oleh kepala dinas perkebunan Kabupaten Malang (Tuharto) tertanggal 20 Januari 2003. Terdapat laporan lengkap dan berita acara serah terima pekerjaan dan penyerahan sesuai dengan addendum nomor 05 dan 06, Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alat bukti surat yang dibangun BPKP Jawa Timur mengandung ketidakcermatan yang parah. Ketidakcermatan seperti ini pada gilirannya juga akan memperlemah visum akuntansi forensik secara keseluruhan, karena terdapatnya alat bukti yang tidak akurat, tidak jelas, tidak lengkap dan tidak cermat. Karena itu dalam akuntansi dan auditing, bukti harus mengandung sifat competence, relevance, material Seirama dengan persoalan bukti yang didialoglan sebelumnya, Singleton et. al, (2006, 300) menyatakan sebagai berikut: “To be legally acceptable as evidence, however, testimony, documents, objects, or facts must be relevant, material, and competent to the issues being litigated, an gathered lawfully. Otherwise, on motion by the opposite side, the evidence may be exclude…we should elaborate on relavancy, materiality, and competency.”
Jadi, bukti yang kompeten, relevan, cukup dan material (rekocuma) menjadi keniscayaan bagai visum akuntansi forensik. Empat syarat yang melekat pada bukti itu harus secara terus menerus dimunculkan dan menjadi mind-set dalam perjalanan akuntan forensik atau investigator dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan serta membangun visum akuntansi forensik.
87
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Untuk melengkapi alat bukti surat, berikut saya uraikan contoh lain bentuk laporan hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI. Audit investigatif yang dilakukan BPK RI dalam kasus ini merupakan pelaksanaan audit investigatif atas kekurangan Kas dan Belanja Daerah Kabupaten Jember (Nomor 167/R/XIV.3/08/2005). Pada kotak 3.2. gambaran bahwa hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI menghasilkan sebuah simpulan adanya indikasi atau dugaan terjadinya kerugian keuangan
negara
(bukti
awal
adanya
selisih
kurang
kas
daerah
sebesar
Rp.11.758.082.865) dan menguntungkan pihak-pihak lain yang terjadi sebagai akibat dari penyalahgunaan wewenang (perbuatan melawan hukum). Pemunculan suatu dugaan atas eksistensi tindak pidana korupsi menjadi auditor investigatif untuk menemukan dan meninjau kembali bukti-bukti yang menguatkan atau melemahkan sangkaan itu. Karena dugaan yang belum terbukti dapat berdampak fatal terhadap reputasi orang-orang yang diduga atau diindakasikan terlibat kasus tindak pidana korupsi. Proses pengumpulan bukti awal ini harus dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Bukti-bukti ini harus dikumpulkan dan disimpan sedemikian rupa agar memenuhi standar-standar pembuktian yang berlaku di persidangan. Inilah standar ―forensik‖ yang harus dipatuhi dalam investigasi bidang akuntansi dan keuangan. Dalam kasus-kasus pidana, bukti-bukti harus mampu membuktikan atas kesalahan tersangka serta dapat mengalahkan atau mengungguli keraguan yang masuk akal terhadap kesalahan tersangka. Sebuah bukti yang berkriteria a beyond reasonable doubt. Berkaitan dengan proses pematangan bukti awal, informan Iguh (auditor KPK) mengatakan sebagai berikut:
88
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Lembaga peradilan akan bergerak untuk melakukan penyidikan bilamana ada laporan indikasi korupsi yang masuk, baik laporan itu berasal dari pengaduan masyarakat maupun dari sumber lainnya, dengan syarat bahwa laporan pengaduan tersebut memang telah memenuhi kriteria tertentu yang dapat kita tindak lanjuti…
Bentuk sumber informasi awal memang memiliki wujud yang berpuspa-ragam. Bukti-bukti itu dapat saja berupa pengaduan masyarakat, baik bersumber dari whisleblower, LSM, laporan hasil audit umum (LHAU), laporan inspektorat, atau lainnya. Laporan itu dapat juga hasil operasi intelejen dan informasi khusus atau secara ―kebetulan‖ ditemukan. Pada umumnya bukti awal, juga tidak dapat dipercaya 100%. Boleh jadi banyak motif yang terkandung di dalamnya, baik itu motif ekonomi, politik atau motif lainnya. Dalam suatu pengaduan yang baik harus telah memiliki kriteria tertentu (lihat kotak 3.3.). Salah satu contoh pengaduan masyarakat yang pernah ditindak lanjuti KPK adalah, pengaduan LSM atas indikasi penyimpangan pengadaan logistik pemilu 2004. Pengaduan LSM itu dilakukan kajian secara serius dan komprehensif pada direktorat pengaduan masyarakat di bawah kendali deputi pengawasan internal dan pengaduan masyarakat KPK (Deputy of Internal Monitoring and Public Complaints) atau sering disebut sebagai deputi PIPM (pelaporan informasi dan pengaduan masyarakat). Hasil kajian disampaikan pada direktur penyelidikan (Directorat of PreInvestigations) pada deputi penindakan (Deputy of Repression)15. Selanjutnya berbekal pengaduan, aparat KPK bergerak untuk melakukan kajian dan telaah untuk memastikan apakah laporan tersebut terdapat indikasi kejahatan korupsi. Kajian, verifikasi dan pengembangan serta pendalaman dilakukan dengan
Deputi penindakan KPK, membawahi tiga direktorat, yakni: Direktorat Penyelidikan (Directorat of PreInvestigations), Direktorat Penyidikan (Directorat of Investigations) dan Direktorat Penuntutan (Directorat of Prosecution) di mana pada ketiga direktorat inilah bahan bukti berupa alat bukti dan barang bukti diteliti, dicari, diolah, dan dikumpulkan. 15
89
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
berbasiskan pada teknik-teknik analisis dengan mencermati apakah indikasi-indikasi (red flags) atau gejala-gejala (symptoms) tersebut dapat dikaitkan dengan logika rasional dapat membangun profiling, predication dan hypothesis construction of crime.
Kotak 3.3:
KRITERIA PENGADUAN MASYARAKAT YANG DAPAT DITINDAK LANJUTI Uraikan kejadiannya. Uraikan sedetail mungkin kejadian yang anda curigai sebagai bentuk perbuatan korupsi. Sebaiknya uraian dibatasi pada hal-hal yang berdasarkan fakta dan kejadian nyata, hindari hal-hal yang mendasarkan pada perasaan kebencian, permusuhan atau fitnah. Usahakan keseluruhan uraian dapat menggambarkan SIABIDIBA (Siapa, Apa, Bilamana, Di mana, Bagaimana) dari kejadian yang dilaporkan; Pilih pasal-pasal yang sesuai. Cocokkan kejadian tersebut dengan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kira-kira pasal mana saja yang sesuai dengan kejadian tersebut (boleh lebih dari satu pasal); Penuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi. Lihat unsur-unsur yang terdapat dalam undang-undang pemeberantasan tindak pidana korupsi (UU-PTPK) yang sesuai dengan kejadian tersebut, kemudian pastikan bahwa informasi dalam uraian yang dibuat dapat memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal atau pasal-pasal UUPTPK tersebut. Semaksimal mungkin dapatkan informasi mengenai setiap unsur yang ada. Bilamana terdapat unsurunsur yang tidak bisa dipenuhi, jelaskan mengapa unsur tersebut belum dapat dilengkapi; Sertakan Bukti awal (bila ada). Apabila ada copy dokumen atau barang lain yang memperkuat uraian kejadian di atas dalam pengaduan yang dibuat tersebut. Sertakan identitas anda. Akan sangat baik apabila identitas, alamat atau nomor telepon pelapor, sehingga bilamana masih dibutuhkan keterangan tambahan akan mudah untuk dihubungi. Fokus pengaduan pada korupsi kelas kakap. Pengaduan atau laporan yang dibuat, fokuskan pada korupsi yang bukan kelas teri. Pengertian korupsi kelas kakap adalah: Melibatkan orang dengan jabatan level tinggi atau memiliki pengaruh besar; Terkait dengan aspek yang strategis atau menyangkut hajat hidup orang banyak; Menyangkut nilai uang yang besar (lebih dari satu milyar rupiah). Sumber: KPK (2006 hal.131 -132)
Selanjutnya, bukti dalam perkara pidana ini biasanya berbasis dua sumber, yakni pertama adalah dari arsip-arsip akuntansi, dokumen dasar dan data pendukung yang tersedia. Pengalaman yang dimiliki auditor investigatif akan menentukan profil ‖penyimpangan‖, yakni mana yang sudah mendapatkan bukti cukup dan mana yang masih perlu memperoleh bukti-bukti tambahan. Sumber kedua adalah informasi yang didapatkan dari wawancara. Wawancara bisa dilakukan baik dengan pegawai internal obyek audit, pelaku, atau pihak-pihak luar yang terkait seperti pemasok atau kontraktor
90
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dan lainnya. Kapan dan bagaimana wawancara ini dilakukan akan tergantung pada konteks perkaranya. Kembali pada kasus mantan bupati Jember. Kasus ini bermula dari temuan dan rekomendasi hasil general audit atas pertanggung jawaban keuangan periode 20002005, Tim BPK RI Perwakilan Yogyakarta melakukan eksplorasi dan mengintegrasikan alat bukti, barang bukti, fakta dan data yang dirangkum dalam chart and matrix yang berupa konstruksi visum akuntansi forensik level audit investigatif. Tim audit investigatif mengkonstruksi visum akuntansi forensik tersebut dengan menempuh teknik audit investigatif antara lain adalah sebagai berikut: (1) menelaah informasi awal dari temuan hasil audit keuangan (general audit), (2) mengumpulkan informasi tambahan berupa laporan realisasi, bukti-bukti pengeluaran dan penerimaan, buku besar penerimaan dan pengeluaran, data dari bank atas penerimaan, pengeluaran dan perhitungannya, surat perintah membayar (SPM), cek pengeluaran, dan rekening giro/tabungan dan dokumen keuangan lainnya yang terkait dengan kasus, dan (3) menemukan tambahan informasi dari hasil pelaksanaan wawancara (interview) dengan pelbagai pihak (keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan keterangan tersangka) yang terkait dengan kasus yang ditangani tersebut. Dengan langkah-langkah seperti di atas, audit investigatif yang dilakukan BPK RI telah dapat memberikan simpulan atas indikasi tindak pidana korupsi, yang kemudian membuat rekomendasi agar kasus tersebut ditindak lanjuti dengan proses hukum, yakni berupa penyelidikan (lidik) dari aparat penegak hukum. Dalam pandangan saya, simpulan dan rekomendasi itu telah dapat merekonstruksikan visum akuntansi forensik yang dapat saya sebut juga as tool of justice and communication yang berupa chart and matrix dalam tindak pidana korupsi. Bukti-bukti itu telah mampu memberikan jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime 2H+5W.
91
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Demikian juga, mengenai masalah empat unsur yang melekat dalam kriteria sebuah tindak pidana korupsi secara cermat, jelas dan lengkap dapat terjawab secara meyakinkan. Sebuah jawaban hypothetical construction of crime berbasis bukti, informasi, fakta dan data. Dengan kata lain simpulan yang dibuat auditor investigatif tidak menyisakan keraguan atas indikasi dugaan eksistensi tindak pidana korupsi (a beyond reasonable doubt).
Kotak 3.4: LAPORAN HASIL AUDIT INVESTIGATIF BUPATI JEMBER JAWA TIMUR a.
b.
c.
d.
Penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu tidak melalui penganggaran dalam APBD dan pengeluaran tidak melalui prosedur SPP/SPPMU tersebut adalah merupakan Kerugian Daerah, sebesar Rp.128.759.374.669 yang menjadi tanggungjawab Pemegang Kekuasaan Umum Pengelola Keuangan Daerah. Pemalsuan dokumen untuk tujuan pemeriksaan BPK-RI atas Rekening Koran Giro Nomor 0031090008 yang menunjukkan adanya selisih kurang atas saldo kas sebesar Rp.11.759.082.865 Kegiatan pengurusan pemindahan ijin Radio Kendedes dari Banyuwangi ke Jember tidak dapat diyakini kebenaran penggunaannya dan menimbulkan kerugian sebesar Rp.700.000.000 Pemotongan dana bantuan keuangan untuk pembinaan kecamatan merugikan keuangan daerah sebesar Rp.3.348.000.000
REKOMENDASI Berdasarkan penyimpangan, modus operandi, pihak yang diindikasikan terlibat serta indikasi untuk tindak pidana yang telah diindikasikan dan telah didapatkan alat bukti serta yang kemudian dapat disimpulkan bahwa cukup bukti adanya indikasi tindak pidana korupsi, Tim audit investigatif merekomendasikan agar hasil audit investigatif ini ditindaklanjuti dengan penyerahan laporan ini kepada pihak Kejaksaan Agung dan atau Komisi Pemberantasan Korupsi agar segera ditindaklanjuti dengan proses penyidikan oleh jaksa Penyidik Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, hal. 45, No. 167/R/XIV.4/08/2005, tanggal 30 Agustus 2005
Dalam kasus Bupati Jember yang tampak pada kotak 3.4. dan 3.5. serta tabel 3.5., konstruksi visum akuntansi forensik yang terdiri dari bukti akuntansi berupa financial evidence (rekapitulasi, buku besar, laporan realisasi, APBD dan bukti lainnya) serta corroborating evidence (rekening koran, bukti-bukti transaksi, lembaran cek, kuitansi tanda terima dan lainnya) dan dan alat bukti keterangan saksi yang tersangkut dan/atau terlibat dengan kasus (seperti Joewito, Sahuri, Mulyadi dan 33 orang lainnya).
92
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Pengembangan dan pengkayaan atas seluruh alat bukti dapat dirangkai dalam suatu rangkaian dengan apa yang sering disebut sebagai ―chart and matrix” yang merupakan visum akuntansi forensik level audit investigatif.
Kotak 3.5. KASUS POSISI TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI JEMBER 2000 – 2005 Kasus Posisi Akibat kerugian keuangan Negara (how much)
:
Rp.132.807.374.669,36
Bagaimana (how)
:
Dimana/Locus delictie (Where) Apa yang terjadi (What)
: :
Siapa (Who) Motivasi (Why) Bilamana/tempus delictie (when)
: : :
Lihat pada tabel 3,5 matriks dan laporan hasil Audit Investigatif BPK Di Pemda Kabupaten Jember Pengeluaran Kas di luar APBD (Non Budgeter) untuk Kepentingan di luar APBD SAMSUL HADI SISWOYO Ekonomi Kurun Waktu 2001 – 2005
Pasal 3 Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, halaman 45, Nomor 167/R/XIV.4/08/2005, tertanggal 30 Agustus 2005
Demikian juga, hasil kajian saya atas berbagai laporan hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI terhadap kasus korupsi, seperti kasus DPRD Kabupaten Badung Bali, kasus Pemda Kabupaten Kolaka Sulawesi Selatan, kasus Pemda Kabupaten Agam Sumatera Barat dan lainnya, ternyata bukti akuntansi, bukti audit dan bukti hukum berintegrasi menjadi visum akuntansi forensik, sehingga gambaran (chart) indikasi tindak pidana korupsi serta matriks unsur-unsur perbuatan yang mendasari tindak pidana korupsi dapat diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap.
93
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 3-5 MATRIKS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI JEMBER 2000 – 2005 NO 11. 1. 2
3.
4.
UNSUR TINDAK PIDANA Setiap orang Dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabayan atau kedudukan
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
INDIKASI INDIKASI YANG DITEMUKAN DALAM AUDIT INVESTIGATIF DRS H. SAMSUL HADI SISWOYO, MSi,
Jabatan Bupati Jember Periode 2000-2005 Terdapat kerugian Negara dari : - Rekening giro pemkab jember nomor 0031004000/0031000008/0031000007 sebesar Rp 14.287.000.657,79 - Rekening giro bupati (DAU) Nomor 0031050000 sebesar Rp 105.450.086.667,57 - Rekening SIMPEDA Nomor 0032020020 sebesar Rp 9.022.297.344,00 - Biaya Pengurusan Pemindahan ijin radio Kendedes sebesar Rp 700.000.000,00 - Pemotogan dana bantuan kecamatan sebesar Rp 3.348.000.000,00 - Memerintahkan kepala para pejabat pengelola keuangan daerah untuk mengeluarkan kas daerah kabupaten jember di luar APBD sejak tahun 2001 s.d 2005 dari rekening Kas Daerah; - Memerintahkan untuk menyimpan dan mengelola/mengeluarkan dana kas daerah di rekening yang tidak dimasukkan sebagai bagian dari rekening kas daerah - Memerintahkan ... - Memerintahkan ... - Menggunakan uang kas daerah tidak melalui prosedur - Menguasai dan menggunakan rekening penampungan 0031050000 untuk kegiatan di luar APBD - Menguasai dan menggunakan rekening simpeda nomor 0032020020 untuk kegiatan dan kepentingan yang cenderung untuk kepentingan pribadi - Dan lainnya
ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI YANG DAPAT DIIDENTIFIKASI Kartu Penduduk Nomor: …. SK Mendagri Nomor: …. - Aliran dana yang tertera dalam rekening giro / tabungan bank jatim cabang jember nomor 200.03.00/15.20, 0031050000, 0032020020 - B-IX BUku Besar penerimaan dan pengeluaran - Lembaran Cek Rekening giro nomor 00.1090008 dab 0031090007 - Kuitansi tanda terima
-
Disposisi bupati jember kepada kepala bagian keuangan pada setiap pengeluaran yang dilakukan di luar APBD Laporan realisasi pengeluaran non budgeter yang dibuat oleh kepala bagian keuangan secretariat daerah kabupaten jember Hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat (38 orang saksi)
1. Rekening Koran giro bendahara umum pemerintah kabupaten jember bulan desember 2004 yang dikeluarkan oleh Plt Kepala bagian keuangan 2. Pernyataan kepemilikan rekening yang dikeluarkan oleh plt kepala bagian keuangan 3. Rekening Koran giro bendahara umum pemerintah kabupaten jember yang dikeluarkan oleh bank jatim 4. Pernyataan saldo rekening giro bendahara umum pemkab dikeluarkan bank jatim 5. Rekening Koran giro bupati (DAU) jember 6. Rekening SIMPEDA Drs H. Samsul Hadi Siswoyo MSi 7. Bukti bukti transaksi dari Bank Jatim cabang Jember tahun 2002-2005 8. APBD Tahun Anggaran 2004 9. Dan lainnya
Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, halaman 45-49, Nomor 167/R/XIV.4/08/2005, tertanggal 30 Agustus 2005
Namun dalam laporan hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI pada kasus lain simpulan hasil auditnya berbeda dengan yang saya utarakan sebelumnya. Meskipun pada kasus tersebut alat bukti dan barang bukti, fakta dan data telah
94
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
diperoleh secara lengkap dan komprehensif. Di mana bukti-bukti tersebut sebenarnya dapat diikat dalam visum akuntansi forensik Laporan hasil audit investigatif lain yang tidak lazim dilakukan BPK RI dapat kita lihat misalnya pada laporan hasil audit investigatif Bank Century. Bilamana kita lakukan analisis atas laporan hasil investigatif kasus Bank Century yang menerima bail-out (talangan) berupa FPJP (fasilitas pinjaman jangka pendek) dari Bank Indonesia yang kemudian diubah menjadi PMS (penanaman modal Sementara) dari LPS (lembaga penjamin simpanan) sebesar Rp.6.762.361.000.000 (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta rupiah), ternyata dalam laporan hasil audit investigatif BPK RI tersebut menyajikan laporan yang tidak standar. Artinya, dalam laporan BPK RI itu tidak tampak simpulan kasus posisi dan matriks atas unsur-unsur indikasi tindak pidana korupsi simpulan dan rekomendasi yang umumnya menyertai laporan hasil audit investigatif tidak terlihat secara jelas. Artinya hypothetical construction of crime 2H+5W tidak terdiskripsikan secara cermat, jelas, lengkap, kongkrit dan terang benderang. Laporan hasil audit investigatif Bank Century, dapat dikatakan hanya sekedar menyimpulkan temuan-temuan yang menjadi masalah sentral seperti: (1) proses merger dan pengawasan BC (Bank Century) oleh Bank Indonesia, (2) pemberian FPJP (fasilitas pinjaman jangka pendek), (3) penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik
dan
penanganannya
oleh
LPS
(Lembaga
Penjamin
Simpanan),
(4). penggunaan dana FPJP dan PMS, dan (5) praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan pihak-pihak dalam pengelolaan BC yang merugikan BC itu sendiri. Simpulan laporan hasil audit investigatif semacam itu dapat dikatakan sebagai laporan yang bersifat normatif atau mengambang. Kondisi simpulan semacam ini, tentu
95
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
masih menyisakan pekerjaan lanjutan bagi penyelidik dan penyidik untuk membangun hypothetical construction of crime 2H+5W dengan mencari, menemukan dan mengumpulkan kembali alat bukti, barang bukti, fakta dan data yang kemudian akan dirangkum dalam visum akuntansi forensik as a support for a ligation. Dalam kasus Bank Century mengenai soal merger misalnya, audit investigatif BPK menyatakan secara jelas-jelas bahwa persetujuan merger yang diputuskan oleh Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 27 Nopember 2001, walaupun PT. Chinkara (sebagai pemilik Bank Danpak dan CIC) tidak memenuhi persyaratan administratif sebagai bank yang layak merger, hasil pemeriksaan BI juga menemukan adanya beberapa pelanggaran, bahkan dalam pengujian fit and proper test yang merupakan persyaratan utama bagi pemilik bank, juga tidak lulus, namun ternyata Ijin merger tetap ditandatangani pada tanggal 5 Juli 2002. Fakta itu, BPK hanya mengambil simpulan bahwa BI tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan dalam proses akusisi dan merger atas Bank Danpac, Bank Pikko serta Bank CIC yang kemudian berubah nama menjadi Bank Century. Dengan demikian Bank Century ini dapat kita katakan sebagai Bank yang cacat sejak dalam kandungan. Seharusnya, dengan simpulan seperti itu dapat dilanjutkan dengan sebuah Chart and Matrix yang dapat mengarah pada konstruksi visum akuntansi forensik as a support for a litigation. Dalam wawancara saya dengan Bambang Susatyo (Panitia Angket dari Fraksi Golkar) saat saya mengikuti seminar di Fakultas Hukum Universitas Trisaksi yang bertopik ―Menguak Skandal Bank Century Dalam Teropong Hukum‖, hasil audit investigatif semacam itu saya tanyakan kepada Susatyo, mengapa konklusi audit BPK RI tidak dibangun seperti biasanya? Soesatyo menjawab: ―Saya menduga bahwa laporan hasil audit investigatif BPK tersebut telah disertai adanya kompromi-kompromi tertentu‖. Dengan demikian, jika statement Susatyo benar maka patut diduga bahwa
96
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
tidak terwujudnya chart and matrix terhadap unsur-unsur tindak pidana yang biasanya muncul dalam laporan hasil audit investigatif BPK RI, boleh jadi dan siapa tahu terdapat variabel atau unsur lain yang mengganggu. Oleh karena itu, dengan laporan hasil audit investigative semacam ini tentu masih memerlukan kerja keras para aparat penegak hukum untuk dapat mewujudkan konstruksi visum akuntansi forensik. Pada akhirnya, boleh jadi penyelesaian terhadap kasus BC masih jauh panggang dari apinya. Hal lain yang dapat diuraikan adalah, pada dasarnya FPJP seharusnya hanya dapat diberikan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas atau kalah kliring. Demikian juga, sesuai PBI (Peraturan BI) Syarat pemberian CAR tersebut Bank Penerima harus memiliki skor CAR (Capital Adequacy Ratio) minimal harus berangka 8%. Namun Saat direksi BC minta FPJP sebesar Rp.1 triliun pada tanggal 30 Oktober 2008, posisi CAR BC adalah 2,35%. Posisi CAR itu berbasis laporan keuangan BC pada bulan sebelumnya yakni per 30 September 2008. Sebenarya pada tanggal 30 Oktober 2008 itu – saat meminta FPJP - posisi CAR BC sudah minus 3,54%. Hal yang harus menjadi perhatian utama adalah pada tanggal 14 Nopember 2008 BI telah dengan sengaja mengubah persyaratan CAR. Persyaratan untuk memperoleh FPJB tidak lagi sebesar 8% namun persyaratannya menjadi asal CAR positif bisa diberi FPJP dengan jaminan (collateral) harus 150% dari plafond FPJP. Meskipun demikian, pertanyaannya adalah, pada saat cairnya FPJP CAR BC pada bulan oktober 2008 CAR telah minus dan jaminan FPJP hanya 83% dari dana yang diberikan bahkan jaminan tersebut tidak aman (unsecure) alias banyak yang bolong dan bodong. Selanjutnya, pada tanggal 6 Nopember 2008, BC dinyatakan sebagai bank dalam pengawasan khusus (SSU – Special Surveilance Unit) dan karenanya sesuai
97
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
PBI (Peraturan Bank Indonesia), BC dilarang melakukan transaksi, kecuali ada ijin BI dan diberi waktu 6 (enam) hingga 9 (sembilan) bulan untuk memperbaiki kinerjanya. Bilamana waktu tersebut dilalui, dan ternyata tetap tak bisa memperbaiki kinerjanya, maka bank tersebut akan ditetapkan sebagai ‗Bank Gagal‘. Namun, pada tanggal 20 Nopember 2008 jam 19.44 secara tiba-tiba RDG (Rapat Dewan Gubernur BI) menyatakan bahwa BC sebagai Bank Gagal. Pernyataan RDG ini dapat dikatakan sebagai inkonsistensi penegakan peraturan BI. RDG menyatakan bahwa BC dinyatakan sebagai Bank Gagal didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: (1) dampak pada institusi keuangan, (2) dampak pada sistem pembayaran, (3) dampak pada pasar keuangan, (4) dampak pada sektor riil, dan (5) psikologi pasar/masyarakat. Putusan RDG bahwa BC adalah bank gagal berdampak sistemik disampaikan ke Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK (Komisi Stabilitas Sistem Keuangan) tanggal 20 Nop 2008. Lebih aneh lagi, sebelum putusan RDG tersebut dibuat, ternyata KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) telah melakukan rapat yang membicarakan BC pada tanggal-tanggal 14, 17, 18 dan 19 Nopember 2008 di Departemen Keuangan. Padahal pernyataan BC sebagai Bank Gagal yang dibuat RDG ditetapkan pada tanggal 20 Nopember 2008. Galibnya lagi, pada tanggal 21 Nop 2008 jam 04.25 KSSK (Ketua KSSK Menkeu, anggota KSSK Gubernur BI dan Sekretaris KSSK Sdr Raden Pardede) menetapkan BC sebagai Bank Gagal yang harus di bail-out oleh LPS (keputusan itu sesuai UU 24/2004 tentang LPS dan Perpu tentang JPSK No. 4/2004) dan pada 21 Nopember 2008 jam 05.30 KK – Komite Koordinasi (Menkeu, Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner LPS) menyerahkan BC sebagai Bank Gagal yang harus di bail-out kepada LPS. Bail-out yang seharusnya Rp.632 M (saat putusan itu adalah hari jum‘at, 20 Nop 2008) ternyata pencairan membengkak menjadi sebesar Rp.2,7 Triliun (pada
98
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
sabtu dan minggu 22 sampai 23 Nop 2008). Perubahan jumlah rupiah bail-out tersebut bukan karena transaksi, namun lebih disebabkan karena kesalahan asumsi BI yakni adalah SSB (surat-surat berharga valas yang bodong). Dan pada saat itu, ternyata CAR BC telah menjadi minus 35,9 % dan terus dan terus bertambah hingga bail-out membengkak menjadi Rp. 6,7 triliun. Kondisi semacam itu, BPK menyimpulkan, bahwa BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap dan mutakhir tentang kondisi BC yang sesungguhnya, karena itu patut diduga terdapat itikad tidak baik atas berbagai kebijakan yang diberikan kepada BC, artinya Bank Century dapat dikatakan sebagai bank terlalu dimanjakan oleh BI dengan berbagai fasilitas yang ada. Temuan-temuan atas alat bukti, bukti, informasi, fakta dan data semacam ini, pada Laporan Hasil Audit Investigatif BPK lainnya tentu akan dilakukan pengejaran hingga Konstruksi visum akuntansi forensik itu dapat terwujud, artinya pertanyaan hypothetical construction of crime akan mendapat jawaban yang lebih pasti, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah simpulan akhir atas indikasi atau dugaan tindak pidana korupsi. Untuk gambaran yang semacam itu, saya tanyakan kepada Yanuar Rizky (dari Indonesia Corrruption Watch) mengapa audit BPK-RI itu bersifat normatif dan kurang menggigit? Rizky menjawab: “Seharusnya BPK lebih mempertajam langkah-langkah audit investigatifnya pada pengejaran bukti dan jawaban atas 5W dan 2H nya, dan tidak hanya bersifat normatif dan memunculkan temuan-temuan yang masih memerlukan pendalaman-pendalaman selanjutnya. Follow the money masih kurang dilakukan oleh BPK RI.
Jadi, menurut saya, chart and matrix tidak bisa dibuat BPK itu, boleh jadi lebih disebabkan auditor investigatif tidak melakukan prosedur follow the money – atau boleh jadi karena terkendala oleh sesuatu (?) – sehingga BPK tidak melakukan pengejaran kemana saja penggunaan aliran dana bail-out itu. Namun, mungkin saja
99
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dan boleh jadi data itu akan dapat diperoleh pada saat PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memberikan laporan aliran dana bail-out tersebut. Namun, setelah saya tanyakan kepada Ketua PPATK Husein, lalu menjawab sebagai berikut: Karena rekening Bank Century atas dana bail-out tersebut - waktunya sudah melebihi delapan bulan, karena kejadian pada tahun 2008 maka yang harus ditelusuri jumlahnya cukup banyak yakni tidak kurang dari 65.000 (enam puluh lima ribu) rekening
Husein menambahkan bahwa: Sistem perbankan Indonesia akan masih “on-line” dan follow the money dapat dengan cepat dilakukan, manakala kasus itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari delapan bulan, karena setelah delapan bulan on-line system perbankan akan dilakukan up-dating data”.
Pertanyaan saya lanjutkan, apakah benar bila telah 7 layer kejadian pentransferan dana maka dana akan sulit dilacak? Husein menjawab: “Kasus follow the money di Indonesia tidak sampai 7 atau delapan layer, umumnya hanya pada 3 layer saja. PPATK selama ini tidak mengalami kesulitan dalam follow the money asal waktunya tidak kurang dari 8 bulan.
Jadi dari uraian terhadap kasus Bank Century,
laporan hasil audit
investigatifnya dapat saya katakan sebagai bentuk laporan yang bukan standar BPK. Demikian juga, pengejaran atas follow the money, yang meskipun dikatakan oleh Ketua PPATK terkendala oleh ribuan data, tentu ini tidak menjadi alasan yang kuat atas tidak terlaksananya follow the money. Karena BPK pada waktu yang lalu telah pernah menyewa Kantor Akuntan Publik PricewaterhouseCoopers untuk melakukan follow the money pada kasus Cessie Bank Bali dan sukses hanya dalam waktu 20 (dua puluh) hari saja. Jadi, sebagai uraian akhir dari alat bukti surat ini, dapat saya simpulkan bahwa alat bukti surat pada perkara tindak pidana korupsi akan senantiasa mencari dokumendokumen, surat, rekening koran, faktur, kontrak dan lainnya yang berisi angka-angka keuangan yang mendukung penyimpangan yang dilakukan si pelaku. Angka-angka
100
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
keuangan yang ditemukan itu merupakan bukti konkrit atas eksistensi tindak pidana korupsi. Berkait alat bukti surat yang terjalin secara berkelindan dengan persoalan penghitungan kerugian Negara, Soejatna Soenoesoebrata (mantan deputy BPKP) dalam persidangan tanggal 11 Mei 2006 di Mahkamah Konstitusi memberikan keterangan ahli sebagai berikut, bahwasanya tindak pidana korupsi itu merupakan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan ―penggunaan wewenang‖ di dalam suatu sistem lembaga (birokrasi). Untuk dapat membuktikan adanya tindak pidana korupsi, penyidik harus meneliti jejak-jejak perbuatan para pejabat dalam melaksanakan tugasnya. Penyelidik harus menguji dan meneliti rekam jejak yang terdapat pada unsur kendali manajemen yang dimiliki lembaga birokrasi tersebut sebagai acuan (referensi) kerjanya. Unsur kendali manajemen berupa kebijakan, struktur dan sistem. Kebijakan, akan merupakan pernyataan niat dari setiap kegiatan yang dilakukan (arah dan tujuan). Struktur merupakan organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas yang menggambarkan wewenang yang dimiliki setiap pejabat dan prosedur kerja yang terkait
dengan
cara
pencatatan/pelaporan
penggunaan yang
wewenang
dapat
tersebut.
mengabadikan
sistem
merupakan
(memotret)
semua
langkah/perbuatan setiap pejabat dan hasil-hasilnya. Uraian Soenosoebrata di atas dapat saya simpulkan bahwa, auditor (dalam kapasitas sebagai pembantu penyelidik), untuk membangun PKKN harus meneliti dan menguji rekam jejak berupa asersi serta bukti pendukungnya. Karena tanpa masuk dalam fakta dan data, tentu auditor tidak akan dapat menguraikan berbagai kejadian dan fakta-fakta di sekitar peristiwa tindak pidana korupsi tersebut. Hal yang menarik dalam keterangan ahli yang disampaikan Soenoesoebrata dalam Mahkamah Konstitusi itu bahwa, dalam proses audit investigatif yang berkaitan
101
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dengan tindak pidana korupsi, prosedur audit wajib (mandatory procedures) harus dijalankan. Bilamana mandatory procedures diabaikan maka laporan bisa menjadi cacat. Karena akuntan adalah jabatan profesional, dan sebagai akibat kelalaian menerbitkan laporan yang cacat itu, akuntan dapat dituntut balik oleh para terdakwa, Berkaitan dengan kerugian Negara, Romli Atmasasmita, pada tanggal 26 Juni 2006 di persidangan yang sama menyatakan bahwa kalimat ―dapat‖ merugikan keuangan Negara harus ditafsirkan secara holistic, artinya pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kalimat ―setiap orang yang secara hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sedniri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara‖, harus dibaca dalam satu nafas, tidak terpisah dan tidak parsial. Dengan demikian, bilamana pembacaan dilakukan dalam satu nafas, maka rumusan dalam pasal itu telah memenuhi asas lex scrita (ketentuan harus tertulis), lex certa (ketentuan itu harus jelas), dan lex scripta (ketentuan itu tidak boleh ditafsirkan secara analogi atau harus ditafsirkan secara sempit atau sesuai dengan yang tertulis). Dengan demikian, aspek lain yang harus diperhitungkan dalam penerapan hukum adalah aspek dapat diperkirakan akibatnya dari suatu perbuatan (requirement of causality) yakni hubungan kasulaitas (causal verband), dipenuhinya aspek dapat diketahui langsung (requirement of forseeability) dan mudah dipahaminya suatu ketentuan undang-undang (requirement of accessibility). Jadi, dari disdkusi di atas dapat saya simpulkan bahwa laporan PKKN harus menunjukkan angka yang nyata dan pasti. Angka PKKN tidak boleh ada kesalahan jumlah, kali, bagi dan kurang. Cacatnya angka PKKN dapat berakibat dakwaan ditolak oleh Majelis Hakim.
102
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
3.4.4. ALAT BUKTI PETUNJUK Bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Penilaian hakim atas kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan dilakukan hakim dengan cara mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dengan demikian, hakekat fundamental alat bukti petunjuk ini adalah identik dengan ―pengamatan hakim‖ karena pada akhirnya penilaian atas kekuatan pembuktian akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan kearifan hakim. Pengamatan itu akan dilakukan hakim pada saat berlangsungnya persidangan. Berkaitan dengan hal di atas, visum akuntansi forensik dalam bentuk alat bukti petunjuk dalam kasus Bahri adalah berkesesuain dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditimpakan terhadap Talahatu dan Soesanto (sebagai pihak pemberi kerja dan pengeluar dana), sedangkan Bahri adalah pihak penerima dananya. Dengan demikian, munculnya dugaan korupsi terhadap Bahri lebih dikarenakan eksistensi dugaan tindak pidana korupsi terhadap Talahatu dan Soesanto. Keterkaitan tersebut dapat dilihat juga pada analisis yuridis yang dilakukan Penyidik berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi: Saksi Soeparto, Saksi Pratjoyo, Suwignyo dan Widjonarko. Dalam keterangannya kepada penyidik, Widjonarko (Kasi Pengolahan Hasil dan Pemasaran Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang) penyidik menyimpulkan sebagai berikut: “Bahwa proses pencairan dana yang diterima tersangka Bahri, sebesar Rp.645.987.000 dalam tahun 2004 karena adanya addendum kontrak 05 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 tentang pekerjaan konsultan pengawasan pengadaan mesin pabrikasi PG Kigumas tahap II dan Addendum Kontrak Nomor 06 Tahun 2003 Tanggal 09 Agustus 2003 tentang konsultan pengawasan pembangunan gedung dan sumur bor PG Kigumas Tahap III ... berdasarkan Nota Kesepakatan antara Ketua Tim Anggaran Pemerintah
103
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kabupaten Malang yang ditandatangani oleh Santoso selaku Seketraris Daerah Kabupaten Malang dengan Hasan selaku Ketua DPRD Malang sekaligus ketua panitia anggaran (panggar) DPRD Malang...”
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan alat bukti lainnya, kemudian perbuatan Bahri tersebut, menurut penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang, dapat diklasifikasikan sebagai ‗bersama-sama dan/atau turut serta‖. Perbuatan seperti itu diformulasikan dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berbunyi: ―mereka yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan.‖ Artinya dapat dijelaskan bahwa pada pasal itu merupakan sebuah ketentuan yang mengatur dan membedakan peranan/kedudukan masing-masing pelaku perbuatan pidana yang dilakukan bersama lebih dari 1 (satu) orang. Manakala pasal itu dirinci atau dikelompokkan maka akan dijumpai yang dianggap sebagai pelaku suatu perbuatan pidana. Dengan pasal itu, kemudian kejaksaan mengambil simpulan berburu dalam kasus PG Kigumas Malang bahwa yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan adalah (1) Talahatu, (2) Bahri, (3) Santoso, dan (4) Sami‘an. Simpulan tersebut diambil oleh JPU Kejaksaan Negeri Kepanjen sesuai dengan domain Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. Sebagai tambahan, dalam perkara tindak pidana korupsi, alat bukti petunjuk ini telah dikembangkan sedemikian rupa dan oleh pembuat undang-undang, yang kemudian dicantumkan dalam pasal 26A undang-undang Nomor 20 /2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
104
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Perubahan dalam alat bukti petunjuk itu membawa dampak signifikan pada relevansi penguatan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan pada sidang di pengadilan. Lebih-lebih dalam penjelasan pasal 26 UU 20/2001 juga dinyatakan secara jelas bahwa penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan (wiretaping) untuk kasus-kasus kejahatan korupsi. Praktek penyadapan dapat kita saksikan pada penyadapan terhadap Iqbal (Komisioner KPPU) yang menerima uang suap dan ditangkap tangan oleh KPK. Selasa petang tanggal 16 September 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Iqbal dan Billy Sundoro (Direktur First Media, Tbk) ditangkap petugas KPK. Mereka diduga terlibat penyuapan dengan barang bukti berupa pecahan Rp.100 ribuan yang totalnya sejumlah Rp.500 juta. Sebelum ditangkap, iqbal dan Billy turun bersama dari lantai 17 Hotel Aryaduta dengan menggunakan lift. Dalam lift, Billy menyerahkan tas berisi uang Rp.500 juta kepada Iqbal. Mereka ditangkap KPK yang menunggu di lobbi hotel. Menurut wakil ketua KPK, Chandra M Hamzah, pemberian uang itu terkait perkara PT. Indosat Mega Media, Indonesia Tele Media dan MNC Sky Network kepada KPPU pada September 2007. Mereka melaporkan televisi berbayar Asro TV dan Direct Vision yang perkaranya ditangani oleh KPPU dengan tuduhan telah melakukan monopoli siaran Liga Inggris. Kasus penyuapan ini pada akhirnya bermuara pada Iqbal harus mendekam di penjara karena menerima suap dari Billy. Kasus penyadapan lain adalah terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dengan Arthalyta Suryani. Gunawan menerima uang sekitar Rp.6,1 milyar dari Suryani dalam bentuk dollar US $660,000 dalam kotak yang terbungkus rapi. Demikian juga halnya, penyadapan terhadap Mulyana Wira Kusuma di Hotel Ibis yang menyuap Khairiansyah
105
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Salman (Auditor BPK) sebesar Rp.300.000.000 yang sedang melakukan tugas audit di KPU Pusat. Jadi, sebagai akhir dari dialog mengenai alat bukti petunjuk ini, dapat saya simpulkan bahwa alat bukti petunjuk ini akan berupa suatu analisis dari berbagai alat bukti dan barang bukti yang kemudian disintesiskan lalu dibangun suatu simpulan bahwa tindak pidana korupsi telah eksis dan dilakukan oleh si pelaku. Alat bukti petunjuk ini juga merupakan salah satu variabel visum akuntansi forensik yang sangat menentukan bagi putusan auditor investigatif, penyelidik, penyidik hingga hakim untuk memastikan eksistensi atau tidak eksisnya tindak pidana korupsi. Karena di dalam alat bukti petunjuk ini mengandung suatu kreativitas, imajinasi, logika rasional dan nurani yang pada ujungnya dapat memberikan keyakinan kuat bagi keputusan dan putusan yang mereka buat.
3.4.5. ALAT BUKTI KETERANGAN TERINDIKASI/TERDUGA
Keterangan terindikasi/terduga ini lebih dikenal sebagai keterangan terdakwa. Namun karena masih dalam proses audit investigatif, keterangan yang dibuat mereka saya sebut alat bukti keterangan terindikasi/terduga. Alat bukti keterangan terindikasi adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terindikasi yang pada nantinya akan menjadi terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Mulyadi, 2007, 102 dan Chazawi, 2006, 87). Meskipun demikian, terdapat juga keterangan terdakwa yang diberikan di luar pengadilan asalkan
106
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Berkaitan dengan alat bukti, Andy Hamzah (1996, 266) memberikan suatu perbedaan menarik mengenai alat bukti yang berlaku di Indonesia dan di Amerika Serikat. Di negara Paman Sam (uncle Sam) dalam hal alat bukti dan pembuktian menurut criminal procedure law (KUHAP-nya Amerika) yang disebut juga sebagai form of evidence terdiri dari empat macam bukti yakni real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice. Perbedaan dengan KUHAP adalah pada adanya real evidence. Bukti jenis ini tidak dikenal dalam aturan dalam KUHAP Indonesia. Real evidence adalah bukti yang berupa obyek materiil (materiel object) yang meliputi namun tidak terbatas pada buktibukti seperti: peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi dan lainnya yang merupakan aneka benda berwujud. Real evidence biasa disebut sebagai ―bukti yang berbicara untuk diri sendiri‖ (speak for its self). Sebaliknya, dalam konstruksi KUHAP real evidence ini termasuk dalam klasifikasi sebagai barang bukti semata. Real evidence mempunyai kekuatan pembuktian paling tinggi dibanding dengan alat bukti lainnya. Padahal di Indonesia, bukti-bukti semacam itu hanya disebut sebagai ―barang bukti‖ saja yang mempunyai kekuatan pembuktian rendah atau sebagai pendukung (corroboroting evIdience) belaka. Bahkan, di Indonesia barang bukti semacam itu tidak mempunyai nilai tinggi jika tidak diidentifikasi atau diakui oleh saksisaksi dan/atau terdakwa. Karena itu, dalam konstruksi hukum Indonesia, barang-barang bukti berupa deposito, surat berharga (obligasi), rekening koran, mobil, gedung, tanah, uang tunai, traveler cheque dan lainnya harus memperoleh pengakuan terlebih dahulu dari saksi dan/atau terdakwa barulah memiliki nilai tinggi dan dapat memperkuat keyakinan
107
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
hakim atas keberadaan barang bukti yang ada tersebut. Di Amerika Serikat, tidak menyebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Keterangan ahli akan digabungkan dengan bukti kesaksian (testimonial evidence). Testimonial evidence adalah bukti yang dihasilkan dari interview, interogasi dan test kejujuran. Sedangkan, documentary evidence adalah bukti yang dihasilkan dari bukti kertas, computer dan segala sesuatu yang dicetak dari sumber buktinya. Bukti dokumen ini dapat diperoleh melalui document examination, public record searchs, audits, computer searches, net worth calculation and financial statement analysis (Albrecht, 2003, 71). Selanjutnya, physical evidence termasuk fingerprints, tire-marks, weapons, stolen property, identification numbers or marks on stolen objects, and other tangible evidence that can be associated with the act. Sedangkan bukti personal observation adalah bukti-bukti yang diumpulkan investigator seperti invigilation, surveillance and covert operation, dan lainnya. Fuady (2007, 4) menambahkan bahwa dalam doktrin Teori Hukum Pembuktian mengajarkan agar suatu alat bukti dapat dipakai di pengadilan diperlukan beberapa syarat, yakni: (1) diperkenankan oleh undang-undang sebagai alat bukti, (2) realibility, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu), (3) Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta, dan (4) relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan. Selanjutnya, menurut Fuady—jika dilihat dari kedekatannya antara alat bukti dengan fakta yang akan dibuktikan—terdapat dua macam alat bukti yakni alat bukti langsung (direct evidence) dan tidak langsung (indirect evidence). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bukti langsung adalah alat bukti di mana saksi melihat
108
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
langsung fakta-fakta yang akan dibuktikan sehingga dengan adanya fakta tersebut terbukti secara langsung ―dalam satu tahap saja‖ dapat menggambarkan secara jelas apa yang terjadi. Sedangkan alat bukti tidak langsung (circumtantial evidence) merupakan alat bukti di mana antara fakta yang terjadi dengan alat bukti tesebut hanya dapat dilihat dari hubungan atau relasi keduanya setelah dilakukan simpulan-simpulan tertentu. Perbedaan aalat bukti antara Indonesia dan Amerika Serikat dapat dilihat pada tabel 3.6. Tabel 3-6 JENIS- JENIS ALAT BUKTI DAN BEBERAPA PERBEDAAN ANTARA INDONESIA DAN AMERIKA NEGARA INDONESIA
JENIS-JENIS ALAT BUKTI
PERBEDAAN
Keterangan saksi, keterangan ahli, Keterangan saksi memiliki nilai paling tinggi surat, petunjuk, keterangan terdakwa Dalam pembuktian, hakim merupakan pemutus akhir salah atau tidak salahnya terdakwa Dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan bukti senantiasa bertumpu pada rule based law
AMERIKA
Real evidence, documentary Real evidence memiliki nilai paling tinggi evidence, testimonial evidence dan judicial notice Dalam pembuktian, jury merupakan pumutus akhir guilty or not guilty Dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan bukti senantiasa bertumpu pada rule base precedence
Sumber: Fuady (2007, 231)
Selanjutnya, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga peradilan manakala menerima Informasi permulaan maka akan melakukan kajian-kajian mendalam untuk memastikan apakah informasi tersebut mengandung indikasi korupsi yang layak untuk ditindaklanjuti. Indikasi itu harus mengarahkan secara rasional pada langkah-langkah upaya pencarian bukti korupsi dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan surat, petunjuk dan/atau keterangan terdakwa.
109
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dalam kasus Bahri, pada alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu visum akuntansi forensik level audit investigatif, tergambar pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Metoda dialektika Sokrates yang digunakan penyidik (Jaksa Timbul Tamba) untuk mengorek keterangan Bahri (Tersangka) yang dilakukan pada tanggal 04 Oktober 2006 antara lain adalah sebagai berikut: Penyidik (P): apakah sebelum penandatanganan kontrak 05 dan 06 tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 telah membaca dan mengetahui isi addendum kontrak tersebut? Bahri : saya telah mengetahui dan membaca isi addendum kontrak -5 dan 06 tersebut. Penyidik: Berdasarkan DASK Disbun 2004 (penyidik menunjukkan DASK kepada Bahri) tertera kegiatan jasa konsultan untuk penyempurnaan perencanaan dan pengawasan, apakah dalam tahun 2004 ada kegiatan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan? Bahri: Tidak tahu, karena tidak ada kontrak dalam tahun 2004 yang menyangkut kegiatan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan Penyidik:
sehubungan
dengan
selesaianya
pekerjaan
penyempurnaan
perencanaan dan pengawasan dalam tahun 2003, apakah ada berita acara penyerahan pekerjaan penyempurnaan perencanaan kepada pengguna anggaran (Disbun) Malang? Bahri: ada (bukti menyusul) Penyidik: sesuai dengan addendum 05 dan 06, apakah LPM UB ada membuat gambar perencanaan sehubungan adanya penyempurnaan perencanaan yang terdapat dalam addendum 05 dan 05 dan apakah gambar tersebut ditandatangani oleh pihak yang berwenang?
110
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bahri: Lupa Penyidik: apakah dalam tahun 2003, sebelum diadakannya addendum 05 dan 06 telah diadakan pertemuan di kantor akuntan publik Koenta Adji (sekitar 23 Juni 2003),
sehingga
adanya
addendum
kontrak
tersebut
menambah
anggaran
Rp.645.987.000? Bahri: lupa, kami pernah hadir di KAP Koento Adji bersama Soedjito dan M. Bisri membicarakan mengenai pekerjaan yang belum ada perikatannya terhadap penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pembangunan PG Kigumas. Demikianlah interogasi dengan model dialektika Sokrates dilakukan penyidik untuk mengorek keterangan dan pengakuan dari Bahri. Dengan menggunakan pola spiraling, penyidik menggiring keterangan dan pengakuan Bahri. Pola spiralling adalah pola yang mengurut keterangan dan pengakuan dari saksi-saksi, kemudian diikuti pencarian yang mirip snow-ball yang pada ujungnya menuju kepada si tersangkanya. Dengan demikian, uraian atas alat bukti keterangan terdakwa ini, akan menjadi salah satu dari visum akuntansi forensik. Mengapa? Karena tujuan utama pencarian alat bukti dan barang bukti pada alat bukti keterangan terdakwa, akan mengarah pada berapa angka kerugian keuangan Negara. Karena itu, kalau kita ikuti seluruh BAP terhadap Bahri, yang ingin diraih penyidik adalah pengakuan angka kerugian keuangan negara yang telah dihitung oleh BPKP Jawa Timur yakni Rp.489.334.493.
3.5. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI Seiring dengan masalah alat bukti, barang bukti dan pembuktian. Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya mencari, menemukan dan membangun alat bukti dari barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan bagi kasus tindak pidana korupsi?
111
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Fauzi seorang informan yang berprofesi sebagai advokat yang juga terlibat dalam pembelaan terhadap kasus Bahri mengatakan sebagai berikut: “Menurut saya, dalam kasus-kasus korupsi, sebenarnya tidak ada standar baku dalam membangun bukti yang kuat. Bukti akan sangat tergantung pada variasi kasusnya. Misalnya, kasus KPU Jakarta lebih banyak berkaitan dengan pelanggaran Kepres 80 Tahun 2003. Sedangkan kasus Samsul Bahri Malang merupakan perkara penyimpangan yang berkaitan dengan anggaran. Demikian juga, pada kasus korupsi yang saya tangani di Surabaya, merupakan kasus korupsi yang berkaitan UU Kesehatan dan Sekuritas. Dengan demikian, membangun bukti yang kuat akan sangat tergantung pada kemampuan penyelidik, penyidik dan/atau jaksa dalam memahami berbagai peraturan yang terkait dengan kasus-kasus korupsi. Saya berpendapat bahwa kekuatan dan kelemahan SDM-lah yang sangat menentukan kuat tidaknya bukti yang dihasilkan. Namun, saya menengarai bahwa lemahnya alat bukti yang dibawa ke pengadilan lebih kepada lemahnya aparat yang hanya mumpuni pada bidang hukum belaka. Dengan kelemahan seperti tentu banyak menyebabkan bebasnya para terdakwa korupsi.”
Ungkapan Fauzi di atas menunjukkan bahwa dalam soal membangun alat bukti dan mencari barang bukti banyak tergantung pada keandalan sumber daya manusia. Kecerdasan, kreativitas dan luasnya pengetahuan yang dimiliki aparat penegak hukum. Demikian juga, model due process of law yang mewujud dalam KUHAP mencerminkan sebuah prosedur kaku-ketat (sensu-stricto) yang oleh para pembuat undang-undang dimaksudkan untuk memberikan arah pada sikap batin para penegak hukum untuk senantiasa menghormati hak-hak warga negara. Pada dasarnya, syarat ideal yang seharusnya dimiliki auditor investigatif (akuntan forensik) adalah memiliki pengetahuan mendalam di bidang akuntansi, auditing dan hukum serta piawai melakukan komunikasi baik lisan maupun tulisan. Syarat seperti itu sebagaimana yang dikatakan Crumbley (2006): . A qualified forensic accountant is like a three-layered wedding cake. The largest, bottom layer is a strong accounting background. A middle, smaller layer is a thorough knowledge of auditing, internal controls, risk assessment and fraud detection... The smallest top layer of the cake is a basic understanding of the legal environment. The icing on the cake is a strong set of communication skills, both written and oral. In general, a forensic accountant is engaged in combination of fraud detection and litigation support.
112
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Metafora wedding cake atas pengetahuan yang seharusnya dimiliki akuntan forensik itu, menurut saya masih perlu ditambah dengan pengetahuan lain yang juga memiliki urgensi tinggi, yakni ilmu psikologi. Bekal Ilmu pengetahuan ini penting karena akuntan forensik akan senantiasa berinteraksi dengan berbagai persoalan manusia, dengan segala karakter dan variasi perilakunya. Apalagi, dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, yang banyak mengandalkan pada teknik wawancara dan interogasi untuk membongkar dan menemukan keterangan, pengakuan dan barang bukti serta informasi di sekitar peristiwa, tentu ilmu pengetahuan psikologi itu sangat besar peranan dan kontribusinya. Dengan demikian, restriksi, konstrain dan kompleksitas permasalahan yang boleh jadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kreativitas, sensitivitas, imajinasi, dan kegigihan merupakan bekal utama bagi auditor investigatif dalam proses mencari dan menemukan alat bukti dan barang bukti atas indikasi tindak pidana korupsi. Dalam kaitan dengan grounded theory sebagai metodologi, grounded theory mensyaratkan dilakukannya suatu constant comparative analysis untuk menghasilkan kategorisasi dan membangun proposisi. Di samping itu, grounded theory juga meminta dilakukannya upaya theoritical maturation dalam rangka lebih memperkuat bangunan proposisi (the second order understanding of scientist). Teori-teori yang ada juga harus menunjukkan kesesuaian dan penguatan atas bangunan proposisi tersebut (Emzir, 2008, 203). Jadi, bangunan proposisi harus logis (masuk akal) dan layak untuk diterima serta dapat dilakukan penelitian dan pengujian lebih lanjut. Dengan demikian, grounded theory dapat dikatakan sebagai suatu usaha rekonstruksi sejarah fakta yang berorientasi pada masalah di mana teori-teori secara induktif diturunkan dari pola data yang kuat, dielaborasi melalui konstruksi model yang
113
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
masuk akal, dan dijustistifikasi dalam koherensi penjelasannya dengan teori yang ada. Inilah yang disebut dengan ―abductive explanatory inferentialism‖. Batasan yang mengatur penurunan teori ilmiah secara abduktif meliputi sejumlah besar heuristik untuk menjelaskan fenomena. Pekerjaan terakhir pada grounded theory menekankan sentralitas heuristik pada metodologi dan memperhitungkan komposisi batasan permasalahan secara strategis yang diposisikan di dalam metoda abductive explanatory inferentialism untuk memudahkan operasi heuristiknya. Setelah saya menguraikan bagaimana auditor investigatif mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, data, fakta, informasi dan keterangan atas tindak pidana korupsi kemudian memadukannya dengan aturan-aturan yang melingkupi perkara tersebut. Berikut ini konstruksi visum akuntansi forensik level audit investigatif, proposisi baik dalam gambar maupun formula naratif adalah sebagai berikut:
Gambar 3-1 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF
PROPOSISI: Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik level audit investigatif merupakan hasil temuan auditor investigatif terhadap paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang dapat menjadi dasar utama bagi penetapan status terduga/terindikasi tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensik tersebut terangkai dalam suatu chart and matrix
114
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W. Visum akuntansi ini berisi rangkaian keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka yang diikat dalam Berita Acara Klarifikasi/Konfirmasi (BAK) yang berfungsi sebagai bahan bukti bagi tahap penyelidikan.
Gambar 3-2 BENTUK VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF
115
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 4 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN
I keep seven honest serving-men They taught me all I Knew Their names are “How Much, How, What, Why, When, Where, and Who” (Tuanakotta) 4.1. PENGANTAR Mencari Persembunyian Mozaik Bukti Akuntansi Forensik
Penyelidikan merupakan langkah lanjutan dari audit investigatif dan/atau tindak lanjut terhadap diterimanya Aduan, Keluhan dan Petunjuk (AKP). Bahan bukti yang digunakan dalam penyelidikan dapat berasal dari laporan hasil audit investigatif. Tujuan penyelidikan adalah pendalaman terhadap bahan bukti yang berupa visum akuntansi forensik level audit investigatif dan/atau bisa saja bahan bukti berasal dari AKP. Hasil penyelidikan bisa dipakai bahan bukti bagi penyidik untuk melakukan pendalaman dan mengumpulkan bahan bukti yang berkriteria hukum. Hasil penyelidikan akan dilaporkan ke penyidik untuk dilakukan pendalaman-pendalaman berikutnya. Untuk soal AKP, semisal AKP kasus Bank Indonesia dapat saya uraikan bahwa AKP berawal dari laporan Ketua BPK Anwar Nasution yang masuk ke KPK pada sekitar akhir tahun 2006. Laporan tersebut mengungkapkan sejumlah dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh Direksi Bank Indonesia. Aliran dana tersebut merupakan keputusan sejumlah Rapat
116
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dewan Gubernur (RDG) selama 2003. Laporan itu juga menyebutkan bahwa RDG yang pertama dilakukan pada tanggal 3 Juni 2003. Rapat itu dihadiri Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin dan Roswita Roza yang meminta YPPI menanggulangi kebutuhan Bank Indonesia dalam membiayai kegiatan insidental dan mendesak. Dalam rapat berikutnya tanggal 22 Juli 2003 disepakati pembentukan Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) untuk mengelola dana Rp.100 miliar yang berasal dari YPPI. Ketua PPSK Rusli Simanjuntak dan wakil ketua Oey Hoey Tiong, Dana banttuan hukum dialirkan melalui Tiong dan dana disseminasi melalui tangani Simanjutak. Dari dana yang mengalitr Rp.100 Miliar ke YPPI, yang sebesar Rp. 31,5 Miliar diberikan kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 1999-2004. Mengalirnya dana itu diduga untuk memuluskan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 yang menguntungkan BI. Dana itu diterima dua anggota DPR yakni Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin. Sisa Dana YPPI yang sebesar Rp.68,5 miliar, untuk menyelesaiakan masalah hukum kasus BLBI yang menjerat mantan petinggi BI, antara lain Soedradjad Djiwandono (gubernur), Iwan R Prawinata (Deputi Guberneur), serta tiga direktur lainnya, yakni Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo. Dana yang mengalir untuk urusan perkara lima orang itu disebut-sebut juga mengalir ke polisi, jaksa dan hakim. Pada akhirnya, mantan pejabat tinggi BI tersebut terbebas dari jerat hukum. Dari AKP yang dilaporkan Nasution tersebut, KPK menangani kasus ini dipecah dalam tiga bagian, yaitu pertama adalah dugaan penyelewengan dana oleh direksi BI, kedua adalah dugaan aliran dana kepada anggota DPR, dan ketiga adalah aliran dana
117
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ke aparat penegak hukum. Demikianlah bagaimana suatu AKP ditindaklanjuti dengan pulbaket lidik oleh KPK. Pulbaket lidik merupakan pengumpulan bahan bukti dan keterangan atau operasi yustisial atau operasi reserse yang bersifat mendalam dan komprehensif. Operasi ini biasa dilakukan oleh bagian penyelidik, intelejen Kejaksaan, reserse polri maupun KPK. Operasi yustisial ini dilakukan dalam rangka untuk mengumpulkan informasi, data, fakta, informasi dan keterangan yang tujuannya untuk membuktikan hypothetical construction of crime serta memastikan apakah konstruksi visum akuntansi forensik level audit investigatif dapat ditingkatkan statusnya pada peringkat berikutnya yakni level penyidikan (sidik). Karena itu, aktivitas penyelidikan juga disebut sebagai ‗operasi intelejen yustisial‘. Pada institusi Polri, aktivitas penyelidikan akan dilakukan oleh Reserse. Penyelidikan oleh reserse ini juga bertujuan untuk mencari barang bukti, data, fakta, informasi dan keterangan guna menentukan apakah suatu peristiwa yang dilaporkan, dikeluhkan atau diadukan (AKP) merupakan tindak pidana atau bukan? Di samping itu, operasi Reserse juga untuk melengkapi keterangan-keterangan yang telah diperoleh sebelumnya atau menambah bukti baru agar perkara menjadi lebih jelas bagi proses penindakan atau persiapan penindakan atau memberikan petunjuk-petunjuk tambahan bagi pemeriksaan selanjutnya. Karena itu, penyelidikan disebut juga sebagai ‗operasi reserse‘. Petugas reserse pada umumnya terlibat dalam operasi penyamaran, pengumpanan, penjebakan dan pengintaian untuk menyelidiki kegiatan kejahatan yang berkelanjutan. Data awal biasanya diterima dari operasi intelejen. Posisi sebagai reserse merupakan posisi dambaan. Karakter dasar reserse adalah cerdik, rajin, pintar,
118
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
street smart, terampil melakukan wawancara, dan bijak dalam menanggapi informaninforman. Selanjutnya, pencarian konstruksi visum akuntansi forensik level penyelidikan ini diharapkan bisa menemukan minimal dua alat bukti sah dari lima macam alat bukti dan mengungkap modus kejahatan serta menyibak ‗niat‘ jahat si terperiksa (opzet atau mensrea). Dalam konteks tindak pidana korupsi, hasil akhir penyelidikan akan dipakai sebagai bahan bukti dan dasar pengambilan keputusan apakah sebuah ‗dugaan‘ terjadinya tindak pidana korupsi dapat ditingkatkan menjadi ‗sangkaan‘ yang ―berkualitas hukum‖ atas eksistensi tindak pidana korupsi tersebut. Keputusan penting itu akan menjadi sebuah primary starting point dan pegangan utama bagi proses litigasi pada tahap-tahap berikutnya. Bilamana dugaan tindak pidana korupsi (level audit investigatif) tetap tidak berubah, artinya hanya tetap sekedar dugaan belaka dan tidak dapat ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan, maka upaya penyelidikan akan dihentikan, kemudian penyelidik akan mengeluarkan surat penghentian pemeriksaan perkara (SP-3). Sangkaan berkualitas hukum tersebut, yang di dalamnya melekat sebuah uraian cermat, jelas dan lengkap atas suatu peristiwa hukum, akan memberikan suatu gambaran komprehensif terhadap keadaan yang telah berkesuaian dengan fakta-fakta. Fakta-fakta itu juga terjalin secara berkelindan dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh si terperiksa. Kesesuaian dan kesepaduan antara fakta dengan perbuatan akan dirangkai dalam suatu chart and matrix yang merupakan wujud konstruksian visum akuntansi forensik level penyelidikan. Persamaan dan perbedaan antara ‗penyelidikan‘ dengan ‗audit investigatif‘, akan saya paparkan sebagaimana terlihat pada tabel 4.1.
119
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kembali pada masalah alat bukti dan pembuktian atas tindak pidana korupsi, mencari jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime, di satu sisi memiliki kendala dan kesulitan namun pada sisi yang lain menyimpan peluang. Kesulitan dan peluang itu diungkapkan oleh Miftah penyelidik KPK mengatakan sebagai berikut: “Untuk menemukan bukti tindak pidana korupsi yang harus kita cari terlebih dahulu adalah dimana letak rantai terlemahnya. Bila berhasil ditemukan, pendobrakan harus segera dilakukan, dan dari sana baru dilakukan penelusuran dan penyelidikan pada rantai-rantai, ranting-ranting lain sehingga akhirnya menuju pada si tersangkanya. Sebagai misal adalah, kasus Asuransi KPU, yang kita panggil pertama kali adalah bagian pembukuan perusahaan Asuransi. Jawaban-jawaban yang diperoleh ternyata mampu mendobrak kebuntuan dan memberikan arah penyelidikan dengan sukses…”
Kalimat Miftah itu menyiratkan adanya “Profiling”. Profiling ini dalam domain general audit lebih dikenal dengan istilah understanding of the client business. Profiling akan sangat menentukan kecepatan dan keberhasilan penyelidikan. Berkaitan dengan understanding of the client business, Alvin A Arens et.al (2003, 297) mengatakan bahwa sebuah pemahaman menyeluruh terhadap bisnis dan industri klien serta pengetahuan secara mendalam atas operasional perusahaan adalah penting untuk melakukan suatu audit yang memadai. Karena itu understanding of the client business menjadi keniscayaan sebelum audit dilaksanakan. Selanjutnya, profiling itu dalam pandangan Tuanakotta (2010, 145) adalah FOSA (Fraud Oriented System Audit) atau COSA (Crime/Corruption Oriented System Audit). FOSA atau COSA merupakan sebuah profiling yang menjadi keniscayaan (conditio sine quanon) sejak dimulainya proses penyelidikan tindak pidana korupsi. FOSA atau COSA harus sudah menjadi instrumen dan bekal strategik yang inheren dengan mind set serta pegangan awal bagi penyelidik pada aktivitas-aktiivitas penyelidikannya.
120
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Tuanakotta sebelumnya, Sullivan dan Marie (2010, 499) mengatakan bahwa pada saat ini di Amerika Serikat profiling itu telah dikembangkan secara intensif. Pengembangan dan penelitian itu dibantu oleh FBI (Federal Bureau of Investigation). Saat ini, Amerika Serikat telah memiliki ―reserse profiler‖ yang tersebar di kepolisian. Profiling penjahat merupakan pengetahuan baru yang diberi nama sebagai ―psikologi forensik‖. Psikologi forensik bertujuan untuk mengetahui karakteristik pelaku kejahatan dan perilaku melalui analisis forensik profesional terhadap pola-pola kejahatan dan tempat yang menjadi lokasi kejadian kejahatan. Dengan demikian, profiling merupakan suatu aktivitas yang mendahului dari proses penyelidikan itu sendiri. Kepiawaian dalam melakukan FOSA atau COSA juga akan dapat berkontribusi besar dalam membangun instink atas gambaran eksistensi ‗predication‘. Kemampuan melakukan Profiling menjadi sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh seorang penyelidik handal. Jadi, proses penyelidikan itu dapat saya simpulkan sebagai sebuah cara yang dapat menjamin sebuah prosesi dapat berkesesuaian atau berkorelasi dengan agenda ―acara‖ yang telah disusun. Penyelidikan juga dapat saya metaforakan sebagaimana layaknya sebuah jadual agenda acara atau susunan tata-tertib untuk dapat terselenggaranya suatu perhelatan/seremonial tertentu. Artinya, agenda acara penyelidikan itu akan disusun secara bertahap dan berlanjut dengan tujuan utama untuk mengambil simpulan akhir secara meyakinkan atas sebuah peristiwa hukum mengenai apakah ‗dugaan‘ tindak pidana korupsi itu dapat berubah bentuknya menjadi sebuah ‗sangkaan‘ yang berkualitas hukum atau tidak?.
121
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 4-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYELIDIKAN DAN AUDIT INVESTIGATIF KETERANGAN
PENYELIDIKAN
AUDIT INVESTIGATIF
PERSAMAAN
1. Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa visum akuntansi forensik
1. Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa visum akuntansi forensik
2. Menemukan lima macam alat bukti pidana korupsi
2. Menemukan lima macam alat bukti pidana korupsi
tindak
3. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi 4. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih bersifat AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk)
tindak
3. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi 4. Dapat dilaksanakan dari yang masih bersifat AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk)
1. Hanya dapat dilakukan oleh penyelidik Polri atau Kejaksaan atau KPK
1. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih bersifat AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk dapat dilakukan oleh auditor investigatif BPK atau BPKP atau Akuntan Publik atau expert.
2. Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan)
2. Hasil Permintaan Keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAK (Berita Acara Klarifikasi/Konfirmasi)
3. Dalam mencari dan menemukan konstruksi Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyelidikan, Penyelidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
3. Dalam mencari dan menemukan konstruksi Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif akan mendasarkan pada metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif auditing (due professional care).
4. Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan atas ijin penyidik
4. Tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan atau penangkapan, meskipun terdapat bukti permulaan yang cukup.
5. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyidikan., Laporan hasil audit investigatif didayagunakan bagi penyelidikan yang berperan sebagai bukti permulaan.
5. Audit Investigatif merupakan bagian yang berdiri sendiri (terpisah) dari fungsi penyidikan. Namun, hasil audit investigatif berperan dan berkorelasi dengan penyelidikan.
6. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik
6. Menyampaikan Laporan Hasil Audit Investigatif kepada instansi peminta audit investigatif.
7. Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terperiksa”
7. Sebutan bagi objek yang dilakukan pengauditan disebut dengan “auditee”
PERBEDAAN
Pada sisi lain, prosesi penyelidikan dalam institusi Kejaksaan dapat saya uraikan dengan langkah “P”. Langkah “P” yang dilakukan penyelidik Kejaksaan tersebut adalah sebagai berikut: Aduan, Keluhan, Petunjuk (AKP) atau informasi awal akan dimasukkan dalam dokumen yang disebut formulir P-1. Hasil penyelidikan awal (operasi intelejen yustisial) akan menentukan apakah perkara pidana itu bisa dilanjut
122
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
atau tidak? Jika hasil pra-ekspose itu menyimpulkan bahwa perkara dapat diteruskan, maka akan dibuat Surat Perintah Penyelidikan yang didokumentasikan dalam bentuk P-2. Selanjutnya Penyelidik akan membuat rencana penyelidikan dalam bentuk P-3.
Kemudian
didokumentasikan
Penyelidik dalam
akan
bentuk
meminta P-4.
Hasil
keterangan
saksi-saksi
penyelidikan
itu
akan
yang dibuat
simpulan/pendapat dan saran dalam formulir P-5. Tahap selanjutnya, penyelidik akan membuat chart berupa uraian modus operandi perkara dan matrix yang menguraikan unsur-unsur pasal (delict) yang disangkakan, yang didokumentasikan dalam P-6. Jika ekpose internal tersebut menyimpulkan terdapat cukup bukti untuk dilakukan peningkatan status tersangka ke tahap penyidikan, maka akan dibuat Surat Perintah Penyidikan yang didokumentasikan dalam formulir P-7. Tujuh langkah dalam tujuh formulir inilah yang merupakan kertas kerja standar bagi penyelidikan. Kertas kerja semacam ini dalam ranah audit dikenal dengan sebutan audit working paper. Dengan P-7 kemudian penyelidik dapat menyimpulkan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani itu bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan maka formulir P-8 dan formulir P berikutnya (sesuai dengan tempatnya) akan saya jelaskan seirama dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat saya menguraian proses penyidikan. Uraian dalam bab IV ini akan saya lakukan masih tetap dengan basis perkara dugaan korupsi PGM Kigumas Malang kepada Mantan Ketua LPM UB. Sangkaan tindak pidana korupsi dapat dilihat kotak 4.1.
123
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 4.1. KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Kejaksaan Negeri Kepanjen ―Untuk Keadilan‖ Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: URAIAN SINGKAT PERKARA: Bahwa Tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor : 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PG. KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar. Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof.DR. Ir.H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO No. 525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H. M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan addendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003. Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Propinsi Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp. 645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp. 489.334.493,- (empat ratus delapan puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007
124
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dari kotak 4.1 dapat saya simpulkan bahwa laporan akhir atas penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi terhadap Syamsul Bahri pada dasarnya adalah bagaimana penyelidik mampu mendayagunakan taktik, teknik, strategi, kreativitasnya atas serangkaian pertanyaan yang lazim dikenal dengan ―LANGKAH DELAPAN KAH‖. Jawaban atas 8-kah itu kemudian menjadi dasar pijakan utama bagi penyelidik untuk membuat simpulan apakah seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka atau tidak. Pertanyaan ‗8-Kah‘ tersebut adalah sebagai berikut: (1). Apakah persoalan (kejadian) yang melekat dalam peristiwa itu? (2) Dimanakah (tempat) perbuatan itu dilakukan? (3) Kapan (waktu) perbuatan itu dilakukan? (4) Dengan (alat) apakah perbuatan itu dilakukan? (5) Bagaimanakah (cara) perbuatan itu dilakukan? (6) Mengapakah (alasan) perbuatan itu dilakukan? (7) Siapakah (orang/pelaku) yang melakukan? langkah (8) Berapakah (jumlah) kerugian keuangan/perekonomian Negaranya? Pengungkapan jawaban terhadap “8-KAH” akan menggiring dan mengubah ‗dugaan‘ menjadi ‗sangkaan‘ yang memiliki kualitas hukum. Dengan jawaban tersebut, pada gilirannya, proses pencarian konstruksi visum akuntansi forensik level penyelidikan ini dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya yakni tahap penyidikan (sidik).
4.2. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL PENYELIDIKAN Langkah Kedua, Membangun Mozaik Bukti Akuntansi Forensik
Penyelidikan atau Pulbaket Lidik adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur Undang-undang (Tuanakotta, 2007, 442). Tata cara mengenai apa dan bagaimana penyelidikan ini di atur KUHAP bab XIV pada pasal 102 sampai dengan pasal 105.
125
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Penyelidik, pada dasarnya mempunyai kewenangan yang besar dalam menerima laporan atau pengaduan atas adanya tindak pidana korupsi, mencari keterangan pada saksi-saksi dan meminta barang bukti dan data pendukungnya. Bahkan atas perintah penyidik, penyelidik juga dapat melakukan penangkapan, pelarangan meninggalkan tempat (cegah), penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan dan membawa seseorang kepada penyidik. Jika hasil operasi intelejen yustisia atau operasi reserse ini menemukan kesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti, lalu barang bukti itu berkorelasi positif dengan keterangan yang diperoleh dari para saksi, maka penyelidik dapat menyimpulkan bahwa eksistensi tindak pidana korupsi telah nyata-nyata ada. Berkaitan dengan proses penyelidikan perkara Bahri ini, kepada Kustaryo, advokat Malang pembela hukum bagi kasus Bahri, saat saya tanyakan mengenai bagaimana penyelidikan itu dilakukan? Kustaryo menjawab sebagai berikut: “Proses penyelidikan itu ya persis sama dengan ketika auditor melakukan audit. Caranya ya para terperiksa itu dipanggil penyelidik dan diminta membawa laporan dan data pendukung… Untuk kasus Syamsul Bahri seingat saya yang dipanggil sebagai terperiksanya untuk pertama kali ada tiga orang… Laporan dan data yang dibawa terperiksa tersebut dicocokkan, diuji dan kemudian ditanyakan kepada terperiksa terhadap hal-hal yang tidak jelas dan perlu tambahan keterangan. Pemeriksaan difokuskan pada laporan pengaduan yang telah masuk ke penyelidik… Jika dalam pemeriksaan itu kemudian ditemukan bahwa laporan, data dan keterangan sesuai dengan pengaduan tindak pidana korupsi lalu penyelidik dapat memastikan bahwa terperiksa terlibat dalam perkara tersebut, maka penyelidik akan menetapkan status terperiksa tersebut menjadi status tersangka...”
Uraian Haris tersebut, menyiratkan secara jelas bahwa proses penyelidikan terhadap kasus Bahri (atau kasus-kasus lain) harus sampai pada suatu simpulan atas terbukti atau tidaknya suatu dugaan menjadi sangkaan yang berkualitas hukum. Demikian juga, simpulan peningkatan status ‗terperiksa‘ menjadi ‗tersangka‘, merupakan putusan penyelidik yang mendasarkan pada persesuaian antara temuan,
126
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
informasi, bukti, fakta, dan data yang telah diterima dan dikumpulkan pada tahap sebelumnya. Temuan atas informasi, bukti, data, fakta, keterangan yang merupakan hasil upaya pencarian yang memakan waktu, tenaga, energi yang boleh jadi sangat melelahkan itu akan dirangkai dalam bentuk chart and matrix yang memuat jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W. Oleh karena itu, jika dalam tahap ini harus digunakan kata ―mencari‖ maka arti kata ―mencari‖ itu adalah pencarian atas alat bukti dan barang bukti yang masih tersembunyi, masih gelap, belum terungkap, belum jelas dan tidak terang. Jadi, mencari dalam penyelidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk menelusuri segala tapak-jejak atas peninggalan dan sisa-sisa petilasan (artifak), tanda-tanda, dan alatalat dan barang-barang yang digunakan dalam peristiwa tindak pidana korupsi. Mencari juga aktivitas untuk memburu keterangan dari saksi-saksi yang telah melihat, mendengar dan menyaksikan peristiwa tindak pidana korupsi itu agar ditemukan kebesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti dan antara fakta dengan perbuatan yang terjalin secara berkelindan. Sejalan dengan uraian di atas, pencarian visum akuntansi forensik ini akan dilakukan ke mana saja, kepada siapa saja, di mana saja terhadap semua alur dan semua arah serta semua peristiwa yang saling berhubungan dan terkait. Pengejaran akan terus dilakukan (semacam snow ball method), artinya jika terdapat adanya hubungan yang berkesesuaian antara peristiwa itu dengan peristiwa lain maka peristiwa lain itu harus dikejar, termasuk ke semua tempat yang tersembunyi atau yang sengaja disembunyikan. Berbeda dengan kasus Bahri, pada kasus tukar guling (ruislag) tanah eks bengkok kelurahan Lawang Malang tahun 2004 yang di tangani Polwil Malang. Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi ini dilakukan dua kali PKKN oleh BPKP. Anehnya,
127
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
hasil PKKN yang pertama menyimpulkan bahwa proses tukar guling itu tidak terjadi kerugian keuangan negara, namun laporan hasil PKKN yang kedua bahwa proses ruislag terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp.5.313.383.500. Satu obyek terdapat dua simpulan yang berbeda, yang mengakibatkan Sulistyadi Tikno (mantan kabag hukum Pemkab Malang) harus bolak-balik ke Polwil Malang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Laporan PKKN BPKP Jawa Timur yang pertama, terbit pada tanggal 21Juli 2006, antara lain menyimpulkan bahwa (1) terdapat penyimpangan penggunaan dana kompensasi yang tidak disetor ke Kas Daerah, tetapi langsung dipergunakan oleh kelurahan Lawang untuk berbagai keperluan, (2) perbandingan antara NJOP tanah ganjaran yang ditukargulingkan (ruislag) dengan NJOP tanah pengganti dari PT.
Permata
Imperium
Abadi
(PIA)
ditambah
dana
kompensasi
sebesar
Rp.600.000.000 adalah ―wajar”, (3) tukar guling telah disetujui oleh komisi A DPRD Kabupaten Malang tanggal 31 Mei 2004 dan persetujuan DPRD tanggal 1 Juni 2004. Tim PKKN BPKP Jawa Timur yang pertama, bertugas dengan
basis surat
tugas Kepala Perwakilan BPKP Jawa Timur Nomor ST-8084/PW.13.5/3/2005 tertanggal 17 Nopember 2005. Surat tugas ini dikeluarkan berdasarkan Surat Direktur Investigasi Instansi Pemerintah Nomor: S-410/D6.1/1/2005 tanggal 15 September 2005. Tim PKKN terdiri dari 2 (dua) orang, yaitu Bernard Pasaribu (Ketua tim) dan Yustra Iwata Alsa (Pengendali Mutu). Laporan Nomor: LHAI-6586/PW13/5/2006 yang diterbitkan pada tanggal 21 Juli 2006 merupakan laporan PKKN yang dibuat BPKP Jawa Timur Versi pertama yang menyatakan bahwa tukar-guling (ruislag) itu wajar.. Selanjutnya, pada laporan PKKN yang kedua, No: SR.10463/PW.135/2007 yang terbit tanggal 06 Nopember 2007 atau sekitar satu setengah tahun setelah laporan PKKN yang pertama, menyimpulkan hal berbeda. Sesuai dengan metoda yang
128
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
digunakan oleh BPKP, hasil perhitungan kerugian keuangan Negara (PKKN) atas ruislag tersebut sebesar Rp.5.313.383.500. Rincian PKKN adalah sebagai berikut:
Tabel 4-2 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI BPKP ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG NOMOR 1.
2.
KETERANGAN
JUMLAH RUPIAH
Nilai tanah kelurahan lawang yang dilepas: Rp.158.000. x 43,016 meter
6.796.844.000
Dikurangi dengan nilai tanah pengganti: - Dana tunai diterima Lurah Lawang Rp.600.000.000 - Nilai beli tanah pengganti ……….. Rp.799.000.000 - BPHTB atas tanah pengganti……. Rp 75.390.000 - Biaya sertifikasi tanah …………….. Rp. 9.070.500 1.483.460.500
3.
Nilai kerugian Negara (keuangan Pemkab Malang)
5.313.383.500
Sumber: Laporan hasil PKKN BPKP Jawa Timur, Tanggal 06 Nopember 2007
Tim PKKN BPKP Jawa Timur yang kedua tersebut dibentuk berdasarkan surat tugas kepala perwakilan BPKP Jawa Timur No: ST-13025/PW13.5/2006 tanggal 08 Desember
2006.
Surat
tugas
didasrkan
pada
surat
Kapolwil
Malang
No:B/1488/XI/2006 tertanggal 29 Nopember 2006. TIM PKKN terdiri dari 4 (empat orang) auditor investigatif, yaitu: Djoko Wirawan (selaku pengendali mutu), Kushandoyo (selaku pengendali teknis), Sugeng Widiyanto (selaku ketua tim), dan Eko Cahyono (anggota tim). Metoda yang digunakan dalam PKKN adalah menghitung selisih antara nilai tanah yang dilepas dengan nilai penggantinya yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan. Sedangkan prosedur pemeriksaan yang digunakan adalah (1) mengidentifikasi penyimpangan, (2) menelaah dasar hukum,(3). Meneliti apakah kasus
129
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yang diaudit masuk kategori keuangan negara, (4) melakukan review bukti, rekonstruksi bukti, verifikasi bukti, dan melakukan analisis atas bukti-bukti yang berhubungan dengan PKKN atas kasus penyimpangan yang diaudit serta prosedur lain yang dianggap perlu. Dalam PKKN kedua ini juga tidak dijumpai hambatan yang berarti atas pelaksanaan audit PKKN tersebut. Dengan dua laporan PKKN dari BPKP Jawa Timur yang berbeda tersebut, kemudian PT. Permata Imperium Abadi (PIA) meminta kepada PT. Sucofindo Appraisal Utama (SAU) untuk melakukan penilaian independen atas tukar guling tersebut. Tim penilai lapangan terdiri dari 2 (dua) orang yaitu: (1) Trimartono Irawan (MAPPI: 96 - T – 0878) dan (2) IB Adhika Wirananda (MAPPI: 05 – P – 081840) Dalam rangka untuk menentukan pendapat (opini) atas review yang dilakukannya, PT. SAU melakukan prosedur penilaian dengan langkah-langkah sebagai berikut:(1) survey lapangan serta pengumpulan data primer, (2) survey terhadap data pasar baik berupa penawaran maupun transaksi, (3) analisis terhadap tanah dengan menggunakan pendekatan market data approach, (4) melakukan adjustment dan verifikasi sampai diperoleh harga pasar saat ini kemudian melakukan review dengan mempertimbangkan NJOP dari tahun 2004 sampai dengan 2008 untuk mendapatkan indeks yang akan digunakan sebagai perhitungan harga pasar tahun 2004. Ikhtisar hasil penilaian PT. SAU tersebut menyatakan bahwa berdasarkan metoda data pasar (market data approach), review harga pasar aktiva tetap: (1) tanah kosong desa Lawang, Malang, (2) tanah sawah desa Sumber Ngepoh, Lawang, Malang pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:
130
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 4-3 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI PT. SUCOFINDO APPRAISAL UTAMA ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG
NOMOR
KETERANGAN
1.
Harga Pasar tanah Desa Lawang tahun 2004 berdasarkan perhitungan tanggal 12 Februari 2008: Rp.36.281 x 43,016 meter
1.589.761.000
Nilai pengganti: - Dana tunai diterima Lurah Lawang Rp. 600.000.000 - Nilai beli tanah pengganti ……….. Rp.1.074.308.000 - BPHTB atas tanah pengganti……. Rp 75.390.000 - Biaya sertifikasi tanah …………….. Rp. 9.070.500 - Jasa pnguerusan Sertifikat ………. Rp. 175.000.000 - Jumlah Nilai Pengganti
1.933.768.500
Nilai keuntungan Negara
344.007.500
2.
3.
JUMLAH RUPIAH
Sumber: Laporan No. 003/SA-ADV/SBA-II/2008, tanggal 13 Februari 2008
Dari paparan sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa dalam perkara tukar guling (ruislag) tabnah bengkok di Lawang malang itu, terdapat tiga nilai (angka) yang berbeda-beda pada satu obyek yang sama. Dua nilai (angka) dari BPKP Jawa Timur dan satu nilai (angka) dari PT. Sucofindo Appraisal Utama. Lalu manakah angka yang benar dan dapat dipakai sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan? Ternyata, dengan keluarnya hasil penilaian dari PT. Sucofindo Appraisal Utama menjadikan kasus tindak pidana korupsi atas ruislag tanah bengkok di Lawang Malang itu menjadi tidak jelas (obscuur) berapa kerugian negaranya secara riil dan nyata. Kemudian, dengan keluarnya laporan atau opini review hasil penilaian PT. SAU itu, lalu terbitlah Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3) yang secara lengkap dapat dilihat pada kotak 4.2.
131
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 4.2. KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAWA TIMUR WILAYAH MALANG JL. P. Sudirman No. 181-a Singosari Malang, 65135 Malang, 7 Mei 2008 No.Pol Klasifikasi Lampiran Perihal
: B/170.b/V/2008 : BIASA : Satu Bendel : Pemberitahuan Penghentian Penyidikan
Kepada Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen Di Kepanjen 1. Rujukan: a. Pasal 109 ayat 2 KUHAP b. UU Nomor 2 2002 Tentang Kepolisaian Negara Repuublik Indonesia c. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No.Pol: B/170/XII/2008/Reskrim, tanggal 28 Desember 2007 d. Surat Ketetapan Kapolwil malang No. Pol: S-Tap/41.b/V/2008/Reskrim, tanggal 7 Mei 2008, tentang Penghentian Penyidikan e. Berita Acara Pendapat (Resume) hasil penyidikan tanggal Mei 2008 (sebagaimana terlampir) 2. Dengan ini diberitahukan bahwa terhitung mulai tanggal 7 Mei 2008, penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi Ruislag tanah eks bengkok Kel. Lawang Kab. Malang, sebagaimana dimaksud dalam pasdal 2 dan atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 199 atas nama tersangka: Nama : AM SULISTYADI TIKNO, SH., MH Tempat tanggal lahir : Jenis Kelamin : Agama : Pekerjaan : Alamat : Dihentikan penyidikannya oleh karena Tidak cukup bukti 3. Demikian untuk menjadi maklum Kepala Kepolisian Wilayah malang Selaku PENYIDIK ttd YAHRIZAL AHIAR, SH.,MH Komisaris Besar Polisi NRP 56090578 Tembusan: 1. Ketua PN Kepanjen 2. Tersangka / Keluarga Tersangka
Sumber: Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3), tanggal 7 Mei 2008
Jadi, dari uraian sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa fungsi pokok dan fokus utama penyelidikan (pulbaket lidik) pada intinya adalah mencari dan menemukan segala macam alat-alat bukti dengan cara melakukan pemeriksaan kepada
132
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
terindikasi/terduga dan saksi-saksinya. Bilamana dianggap perlu, pencarian bukti dapat pula dilakukan dengan meminta keterangan kepada ahli dan melakukan cara-cara lain yang dianggap perlu agar perkara dugaan tindak pidana korupsi menjadi lebih jelas dan lebih terang benderang. Pada sisi lain, pada proses penyelidikan ini, dapat saja tersangka meminta kehadiran advokat untuk mendampingi dan membela hak-haknya agar dapat menjamin bahwa proses penyelidikan adalah sesuai dengan koridor hukum (due process of law).
4.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi Keterangan saksi itu akan dapat berupa suatu keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖ dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sebelum sampai pada alat bukti keterangan saksi, terlebih dahulu akan saya uraikan berbagai kondisi yang menyertai sehingga terjadinya penyelidikan terhadap kasus Bahri selaku Ketua LPM UB Malang Kasus ini berawal dari temuan dan rekomendasi hasil audit umum (general audit) BPK RI BPK RI Perwakilan Yogyakarta tahun buku 2004 atas laporan keuangan Pemkab Malang bernomor 70/R/XIV.4/04/2005 tertanggal 26 April 2005. Dalam laporan tersebut, BPK menemukan adanya penyertaan modal Pemkab Malang ke PGM Kigumas yang aliran jumlah uangnya mencapai sebesar Rp.27.225.853.500 yang merupakan akumulasi dari pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Pemkab untuk investasi PGM Kigumas sejak tahun 2001. Jumlah angka itu
terdiri dari
akumulasi pengeluaran-pengeluaran yang terinci sebagai berikut:
133
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 4-4 PENGELUARAN INVESTASI PEMKAB MALANG PADA PABRIK GULA MINI PT. KIGUMAS DIP/DASK/TAHUN ANGGARAN DIP 2001 DIP-L 2001 DIP 2002 DASK 2003 DASK 2004 Jumlah
ANGGARAN Rp. 2.311.003.000,00 Rp. 6.890.842.000 Rp.15.872.000.000 Rp. 3.032.200.000 Rp. 28.106.045.000
REALISASI Rp. 1.209.593.000 Rp. 1.101.500.000 Rp. 6.656.747.500 Rp.15.872.000.000 Rp 2.386.013.000 Rp.27.225.853.500
Sumber: Hasil Pemeriksaan BPK RI Nomor : 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005
Angka Realisasi Rp.27.225.853.500 tersebut tidak termasuk biaya-biaya bagi jasa konsultan yang dilakukan LPM UB yang jumlahnya sebesar Rp.645.987.000. Angka inilah kemudian menyeret dan menjerat Bahri ke perkara dugaan tindak pidana korupsi. Laporan hasil audit BPK RI itu juga menyebut adanya piutang kepada Pihak Ketiga sebesar Rp.1.000.000.000. Tagihan itu ternyata adalah jumlah pinjaman keuangan yang diberikan Pemkab Malang kepada PT Kigumas. Sebagai tambahan informasi, saat itu PT.Kigumas telah memiliki akta pendirian dengan akta Notaris Nomor 157 yang dibuat tanggal 10 Desember 2003 di depan Notaris Benediktus Bosu. Sedangkan pengesahan Badan Hukum telah diterima dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 15 Juli 2004. Pemilihan status Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) ini dimaksudkan agar biaya operasional PT Kigumas tidak senantiasa membebani APBD Pemkab Malang. Meskipun telah berbadan hukum Perseroan Terbatas, pada kenyataannya status badan hukum PG Kigumas tersebut tidak bisa didayagunakan untuk membantu kesulitan keuangan yang dihadapinya. Kesulitan yang dihadapi PT. Kigumas itu antara lain karena mengalami kekurangan dana atau kesulitan likuiditas sehingga tidak bisa beroperasi secara normal. Di samping itu ketidaklayakan teknis atas beberapa
134
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
komponen mesin pabrik juga menjadi penyebab tidak beroperasinya PG Kigumas secara normal. Pada saat itu, modal kerja yang tersedia jumlahnya sangat minim sekali, yakni hanya sebesar Rp.1,5 milyar (6 % dari modal tetap). Kondisi itu diperparah lagi dengan tenaga kerja yang dimiliki PGM Kigumas yang sebagian besar (90%) tergolong tenaga kurang atau tidak memiliki pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan dalam menjalankan proses pembuatan gula atau bagaimana memproduksi gula yang berbahan baku tebu itu. Lebih lanjut, Tim Auditor BPK juga menemukan pengeluaran Pemkab Malang untuk investasi pada PT Kigumas yang belum tercatat dalam laporan keuangan tahun buku 2004. Belum tercatatnya pengeluaran Pemerintah Kabupaten Malang sebagai investasi (dan pelanggaran atas alokasi dana Kimbun ke Kigumas), dapat disimpulkan sebagai telah bertentangan dengan pertama adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 mengenai Kebijakan Akuntansi Aktiva berupa Investasi Jangka Panjang yang menyatakan bahwa Investasi jangka panjang adalah penyertaan modal yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomis dalam jangka waktu lebih dari satu periode akuntansi. Kedua adalah, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan investasi dalam bentuk penyertaan modal adalah penyertaan modal Pemerintah Daerah yang dilakukan melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Langkah antisipatif untuk memastikan ada atau tidaknya persoalan pada PGM Kigumas dilakukan Pemda Kabupaten Malang adalah melakukan audit ketaatan (compliance audit). Pemkab Malang menunjuk KAP Koenta Adji Koerniawan untuk melakukan audit tersebut. Hasil audit ketaatan terhadap PT.Kigumas mengungkapkan
135
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
adanya temuan (audit findings) berupa 17 item pekerjaan mesin dan 22 item pekerjaan sipil yang belum ada perjanjiannya. Saran auditor adalah agar pekerjaan-pekerjaan tersebut dibuatkan addendum kontraknya. Hasil audit KAP bernomor: 10/ATS.GA10/240603/S/2003 tanggal 24 Juni 2003 yang mencakup periode tahun 2001 sampai tanggal 13 Juni 2003 (tanggal cut-off), antara lain menyatakan bahwa hasil audit atas Investasi Pemerintah Kabupaten Malang pada Proyek PT. Kigumas di Desa Ganjaran Gondanglegi Malang tersebut adalah sebagai berikut: “.… kegiatan investasi Kigumas sampai dengan tahun 2003, kecuali atas halhal yang dimuat dalam uraian hasil audit (terlampir), telah dilaksanakan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam perundang-undangan…perubahan dan penambahan volume desain berakibat pada bertambahnya dana yang harus dianggarkan maupun dikeluarkan oleh pihak manajemen dalam hal ini Pemkab Malang…”
Temuan dalam general audit BPK RI dan hasil audit ketaatan merupakan modal awal yang dimiliki penyelidik Kejaksaan Negeri Kepanjen. Pemanggilan atas terperiksa dilakukan penyelidik kepada terperiksa yang antara lain adalah: Pratjojo, Sutarto, dan Talahatu yang dilakukan penyelidik serta berdasarkan pada data, fakta, bukti, keterangan dan informasi yang ada telah berkesesuaian dengan perbuatan Bahri lalu terbentuklah visum akuntansi forensik level penyelidikan. Dengan demikian penyelidik dapat menyimpulkan bahwa Konsultan Pengawas dan Perencanaan untuk pekerjaan Pabrik Gula Kigumas yang dalam hal ini adalah Bahri selaku Ketua LPM UB dapat disangka terlibat tindak pidana korupsi. . Sebagaimana tertulis dalam Dakwaan, Penyelidik dapat menyimpulkan keterangan Pratjoyo sebagai berikut:
136
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bahwa Pratjojo ikut dalam menyusun RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) sehinggan menjadi DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) Kimbun (Kawasan Industri Perkebunan) berbasis tebu Tahun 2004… Keikutsertaan Pratjoyo tersebut karena dalam penyusunan RASK itu adalah karena jabatan Pratjojo sebagai Kepala Seksi Dinas Produksi dan Perlindungan tanaman. Tim penyusunan RASK adalah Kepala Dinas, para Kasubdin, Kabag TU, dan para Kasi… Bahwa dalam tahun 2004 tidak ada pekerjaan yang dilakukan LPM UB yang diketuai oleh Tersangka Bahri … Bahwa proses pencairan yang diterima tersangka Bahri sebesar Rp.645.987.000 dalam tahun 2004 karena adanya addendum kontrak No. 05 Tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 tentang pekerjaan pengawasan keadaan mesin pabrikasi PGM Kigumas tahap II dan addendum No. 06 Tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 tentang Konsultan Pengawasan Pembangunan Gedung dan Sumur Bor PG Kigumas tahap III..” “Bahwa dasar sehingga diketahui bahwa pekerjaan perencanaan LPM UB tidak ada lagi adalah karena dalam addendum pekerjaan bangunan sipil dan mesin pabrikasi dibuat pada tanggal 6 Agustus 2003, dengan demikian kontraktor bangunan sipil dan bangunan mesin pabrikasi bekerja lebih dahulu daripada pekerjaan konsultan. Bahwa pada bulan Juni 2003 LPM UB Malang telah menerbitkan leaflet hasil pengawasan pelaksanaan pekerjaan bangunan mesin dan bangunan pabrik yang didalamnya berisi saran penyempurnaan pabrikasi dan penambahan 1 (satu) unit gilingan dan 1 (satu) unit Bagase Drier. Sedangkan 11 (sebelas) pekerjaan dalam addendum kontrak bangunan sipil sudah direncanakan dan masuk dalam justifikasi penentuan biaya investasi dan rencana penyelesaian pembangunan pilot proyek PG. Kigumas.
Sedangkan berdasarkan keterangan Sutarto Kepala Seksi Penyiapan Lahan, sekaligus menjabat sebagai Pelaksana Kegiatan (PK) pemantau pelaksanaan perkembangan kegiatan PGM Kigumas, dalam sebagian keterangannya dapat disimpulkan sebagai berikut: “Bahwa dalam tahun 2004 tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan oleh LPM Universitas Brawijata Malang… “Bahwa dana kimbun berbasis tebu TA 2004 telah dipertanggungjawabkan oleh Ketua LPM Universitas Brawijaya Malang Syamsul Bahri pada tanggal 12 Februari 2004 selanjutnya dari Kasda pada tanggal 4 Maret 2004 yang diterima Bendaraha LPM UB sebesar Rp.645.987.000. Bahwa proses pencairan yang diterima Bahri sebesar Rp.645.987.000 dalam TA 2004 karena adanya addendum kontrak Nomor 5 ... Bahwa sisa Rp.948.859.800 dikurangi Rp.645.987.000 = Rp302.872.800 sudah dicairkan dan diterima oleh pihak LPM UB
137
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bahwa permintaan biaya perencanaan yang dilakukan LPM UB sebagaimana yang dimaksud dalam addendum tersebut Tidak ada lagi Bahwa sesuai dengan Keppres 18 Tahun 2000 bahwa pekerjaan konsultan pengawasan tidak boleh digabungkan dengan konsultan perencanaan dalam addendum kontrak karena konsultan pengawas dan konsultan perencanaan mempunyai spesifikasi keahlian yang berbeda.
Dari dua keterangan yang diperoleh penyelidik dari Pratjoyo dan Purnomo dan keterangan saksi-saksi lainnya, penyelidik sudah dapat meyakinkan dirinya bahwa Bahri selaku Ketua LPM UB terlibat/tersangkut perkara PGM Kigumas. Persesuaian dan korelasi adanya keterlibatan tersebut dapat kita lihat pada konsitensi keterangan yang digaris bawahi dan dihitamkan tersebut. Karena itu Bahri kemudian dipanggil untuk diminta keterangannya yang pada akhirnya dijadikan tersangka dalam tindak pidana korupsi PGM Kigumas.
4.2.2. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Keterangan ahli adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat terang dan jelasnya suatu perkara. Pemberi keterangan adalah seseorang yang mempunyai keahlian pada suatu bidang ilmu pengetahuan khusus, mendalam dan komprehensif yang berguna bagi terang benderangnya perkara. Dari hasil keterangan ahli Sugitario yang merupakan seorang yang ahli di bidang Filsafat Hukum, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang dalam sebagian keterangannya dapat disimpulkan sebagai berikut: “Bahwa apabila dana APBD TA.2004 untuk kegiatan KIMBUN berbasis tebu digunakan untuk PGM Kigumas yang telah dinyatakan selesai bulan September Tahun 2003 (dari penggunaan dana APBD tahun 2001, 2002, dan 2003) padahal sejak tanggal 10 September 2003 PG Kigumas telah berbadan hukum Perseroan Terbatas… adalah bertentangan dengan asas spesialitas dalam pengelolaan anggaran. Pelanggaran asas tersebut merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang…
138
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bahwa tidak diperbolehkan kegiatan pekerjaan pada TA 2003 tetapi anggaran untuk kegiatan tersebut tidak cukup tersedia atau tidak ada, sehingga dilakukan dengan pola pre-financing dan dibayar dari dana APBD tahun 2004 dari kegiatan lain. Justru jika dibayarkan maka akan terdapat perbuatan melawan hukum… dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan wewenang… melanggar asas akuntabilitas, asas tahunan dan asas spesialitas… yang dianut UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Bahwa sesuai dengan UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbedaharaan Negara yang menganut asas kesatuan, universalitas, tahunan dan spesialitas… PP Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang mengatur APBD disusun berdasarkan pendekatan kinerja… tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan Peraturan daerah dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah… pembayaran kepada Bahri sebagai Ketua LPM UB… sebesar Rp.645.987.000 dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA 2004 tidak dapat dibenarkan karena tidak ada perubahan anggaran keuangan (PAK) dari DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) Kimbun awal untuk kegiatan PGM Kigumas.
Dengan demikian keterangan ahli yang disampaikan Sugitario, tersebut pada dasarnya menyimpulkan bahwa pembayaran yang dilakukan Pemkab Malang kepada LPM UB tersebut, tidak dapat dibenarkan, karena pembayaran seperti itu tidak memenuhi asas spesialitas, asas akuntabilitas, dan asas-asas lainnya yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 105 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Di samping itu, pembayaran semacam itu juga merupakan pelanggaran hukum karena APBD Pemkab Malang TA 2004 tidak menganggarkan pembayaran pada PGM Kigumas. Lebih lanjut, pembayaran itu juga merupakan kesalahan karena dalam Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) juga tidak ada atau tidak tercantum perubahan terhadap penggunaan dana KIMBUN untuk pendanaan kegiatan Kigumas, Oleh karena itu, pembayaran yang dilakukan Pemkab Malang kepada LPM UB yang dilakukan pada tahun 2004 itulah yang kemudian menjadi salah satu bukti atas perkara tindak pidana korupsi. Salah satu alasannya adalah pembayaran itu dilakukan pada tahun 2004 yang diambilkan dari dana Kimbun, padahal anggaran dana untuk Kigumas telah habis di tahun 2003. Sebagai akibatnya, pembayaran kepada tersangka
139
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bahri yang mewakili LPM UB sebesar Rp.645.987.000,- sebagai jasa konsultan pengawasan, ternyata dalam pelaksanaan pekerjaan perencanaan dan pengawasan tersebut mengandung pekerjaan yang diduga fiktif yang jumlahnya sebesar Rp.489.334.493,- sehingga dianggap dapat menimbulkan akibat terjadinya kerugian keuangan Negara. Berkaitan dengan pentingnya mengungkap niat jahat si pelaku, Tuanakotta (2007, 48) mengatakan bahwa dalam melakukan korupsi (perpetrators‟ intent to commit corruption) lebih banyak disebabkan karena tujuan proses litigasi di pengadilan adalah ‗menilai perbuatan orang‘ dan bukan mendengar celoteh berkepanjangan tentang kejahatan korupsi (the purpose of the court is to judge people not to hear detail-rich stories of the crimes involved). Karena itu, proses penyelidikan harus mampu memberikan gambaran jelas berupa chart and matrix serta deskripsi hubungan antara satu fakta dengan fakta lainnya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, antara bukti satu dengan bukti lainnya yang terjalin secara berkelindan dan komprehensif. Penyelidikan juga harus dapat menemukan bukti-bukti penguat, baik berupa underlying financial evidence maupun corroboroting evidence serta alat bukti lainnya sebagai dukungan atas eksistensi kejahatan yang diperbuat oleh si pelaku. Yang dimaksud dengan underlying financial evidence adalah the book of original entry (journal), ledgers, sub-ledgers and supporting worksheets, sedangkan corroboroting evidence adalah documentation as canceled checks, bank statements, sales invoice, vendor‟s invoices, vouchers, time cards, requisitions, purchase orders, bill of lading, and shipping orders (Konrath, 2001, 114). Gejala atau simptom tindak pidana korupsi dalam underlying financial evidence misalnya adalah dengan ditemukan adanya kegagalan jurnal, tidak akuratnya buku besar (inaccurate ledgers), dokumen-dokumen
140
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
tidak asli (photocopy) dan/atau terjadinya pengubahan dokumen dengan membuat dokumen baru, penulisan cek yang dilakukan secara berulang kali dan lainnya. Berkaitan dengan keterangan ahli, Advokat Kaligis (2008, v) yang sering mendampingi kliennya pada perkara tindak pidana korupsi mengeluh dengan menyatakan dalam tulisannya sebagai berikut: 16
“Di dalam praktik, baik judex factie , judex juris, Jaksa Penuntut Umum, dengan mudahnya mengenyampingkan pendapat ahli, meskipun pendapatnya itu sangat menentukan… Sangat umum kita melihat satu putusan hakim dengan pertimbangan yang menyatakan sebagai berikut: “Pendapat ahli dari penasehat hukum telah dipertimbangkan”,.. padahal, kalau saya melihat konsiderans halaman per halaman, justru pertimbangan itu tidak saya temukan… ”
Pengenyampingan pendapat ahli (yang merupakan alat bukti keterangan ahli) seperti yang dikatakan Kaligis tersebut tentu merugikan para pencari keadilan dan tidak dapat dibenarkan. Bagi saya, pengenyampingan atas pendapat ahli tersebut sudah seharusnya disertasi dengan alasan yang rasional atau berbasis hukum oleh hakim yang memutus perkara atas tidak dimuatnya pendapat/keterangan ahli dalam konsideran-konsideran putusannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka putusan hakim akan jauh dari rasa keadilan.. Dalam praktik persidangan pada perkara tindak pidana korupsi, pada dasarnya saksi dapat kita bedakan dalam dua kategori, yakni saksi yang meringankan (a decharge) dan saksi yang memberatkan tersangka (a-charge). Ungkapan Kaligis menyiratkan bahwa dalam putusan hakim banyak terjadi pengenyampingan pendapat (keterangan) ahli manakala keterangan ahli yang disampaikan di persidangan tersebut adalah saksi yang dibawa oleh terdakwa untuk meringankan atau membebaskannya dari jeratan hukum.
Judex factie adalah sebutan bagi Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama) dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (Majelis Hakim Tingkat Banding. Sedangkan Judex Jurist adalah sebutan bagi Majelis Hakim pada Mahkamah Agung (Majelis Hakim Tingkat Kasasi). 16
141
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
4.2.3. Alat Bukti Surat Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah. Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah seperti: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, Laporan Hasil Audit Investigatif, Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Pada perkara Bahri, fokus penyelidikan lebih diarahkan pada mencari dan menemukan alat bukti surat yaitu memastikan dan menghitung jumlah Kerugian Keuangan Negara, karena, pembuktian yang paling rumit dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pada pembuktian adanya unsur jumlah kerugian keuangan Negara. Laporan hasil penghitungan keuangan Negara itu akan disebut sebagai ‗alat bukti surat‘. Pada perkara Bahri, salah satu alat bukti surat yang penting adalah diperolehnya Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dihitung oleh BPKP Perwakilan Jawa Timur oleh Penyelidik. Mengapa angka kerugian keuangan negara ini penting bagi perkara Bahri? Karena kesalahan prosedur atas perkara ini sangat jelas. Misalnya pekerjaan fisik dan mesin dilakukan tetapi kontrak atas pekerjaan itu tidak ada. Kesalahan lain yang dapat ditemukan adalah penggunaan dana KIMBUN untuk pembayaran KIGUMAS, dan lainnya. Namun adanya pelanggaran semacam itu yang kemudian dilengkapi dengan mewujudnya unsur kerugian keuangan Negara dan ada pihak lain yang diuntungkan bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena itu, dengan sangat percaya diri kemudian Bahri dalam pembelaan (pledoi)-nya mengatakan bahwa tidak semua perbuatan memperkaya itu mengandung
142
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
sifat melawan hukum dan tidak semua perbuatan memperkaya yang melawan hukum itu merupakan tindak pidana korupsi (Lihat Pledoi Bahri, pada hal. 40). Kalimat Bahri itu dapat diterjemahkan bahwa suatu perbuatan memperkaya diri itu akan dapat berkategori sebagai tindak pidana korupsi, manakala perbuatan memperkaya diri yang melawan hukum itu harus dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Adanya kerugian negara tentu akan berdampak pada adanya keuntungan pada pihak lain. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pelanggaran
atas
suatu
ketentuan
tertulis
atau
Undang-undang,
jika
tidak
memunculkan adanya kerugian keuangan negara akan hanya disebut sebagai pelanggaran hukum administrasi semata dan bukan merupakan tindak pidana korupsi. Pelanggaran
administrasi
bisa
dilakukan
perbaikannya
dengan
memperbaiki
administratifnya yang dilanggar hingga administrasi itu menjadi benar. Berbasis Alat Bukti Surat, tuduhan kepada Bahri atas penerimaan dana pembayaran kepada LPM UB sebesar Rp.489.334.493,- (atas tuduhan pekerjaan ―fiktif‖) dimana pembayaran tersebut dilakukan oleh Talahatu (Kepala Disbun Pemkab Malang), menurut Bahri tuduhan itu merupakan tuduhan yang mengada-ada dan tidak logis. Saat saya tanyakan kepada Bahri, apa benar pekerjaan LPM UB itu fiktif? Bahri menjawab: “Saya heran kenapa pekerjaan LPM UB dikatakan fiktif? Padahal pekerjaan LPM UB telah dilakukan secara keseluruhan, Berita Acara Penyerahan Pekerjaan ke Pemkab Malang ada, kemudian pekerjaan LPM UB itu ada dan riil, kok dikatakan fiktif itu bagaimana?, logika macam apa yang dipakai? Ada motif apa dibelakangnya? Apakah karena saya terpilih sebagai Anggota KPU Pusat, kemudian ada orang yang tidak suka atau motif-motif jahat lainnya lalu memperkarakan saya… Pak Djito sebagai Ketua Tim juga telah mengatakan kepada saya bahwa pekerjaan telah dilaksanakan, lalu kok masih juga dikatakan fiktif ini bagaimana? “
Pada dasarnya, menurut Bahri pekerjaan fisik dan mesin itu telah dilakukan oleh LPM UB pada tahun 2003 dan pekerjaan itulah yang kemudian dibayar Talahatu. Pembayaran atas addendum No. 05 dan No. 06 tahun 2003 yang bertanggal sama,
143
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yakni 9 Agustus 2003 itu logis dan wajar, karena addendum pekerjaan penambahan dan perubahan (CCO atau Contract Change Order) Nomor 05 dan 06 itu pertanggungjawaban pekerjaannya telah dibuat Berita Acara Serah Terima pekerjaan pada tanggal 31 Oktober 2003 dengan Nomor: 742-1/J10.3/PM/2003 Perlu kita ketahui bahwa dasar sangkaan kepada Bahri sebenarnya juga berasal dari Dakwaan kepada Talahatu yang didakwa melakukan 3 (tiga) tindak pidana korupsi, yaitu: pertama adalah, membayar Sami‘an (CV.Sami Jaya) sebesar Rp.994.392.647 dengan mark-up atas pekerjaan (hasil audit BPKP Negara dirugikan sebesar
Rp.259.630.481).
Kedua
adalah,
membayar
LPM
UB
sebesar
Rp.489.334.439 atas pekerjaan fiktif, dan ketiga membayar Rp.170 juta kepada Sami‘an atas pinjaman DPRD atas perintah Santoso, Fakta, data dan barang bukti tersebut dapat disimpulkan oleh BPKP bahwa telah terjadi kerugian Negara paling tidak sebesar Rp.259.630.489. Perkara Talahatu inilah kemudian dihubungkan dengan Bahri (bersama-sama dan/atau turut serta) melalui pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP, dimana dalam tuduhan primer, Bahri dituduh menerima pembayaran fiktif, sedangkan Talahatu adalah orang yang melakukan pembayaran fiktif tersebut. Pada tuduhan subsidair, Bahri dituduh dengan menyalahgunakan wewenang sebagai Ketua LPM UB, kemudian mengajukan permohonan pembayaran pekerjaan kepada Talahatu, dimana pekerjaan yang diminta pembayarannya itu adalah fiktif. Perlu diketahui juga bahwa hasil audit investigatif BPKP Perwakilan Jawa Timur menyatakan bahwa produk penyempurnaan (tambahan dan perubahan – dikenal dengan istilah CCO) atas perencanaan LPM UB itu tidak ada (nihil), tetapi produk pengawasan itu ada, yakni senilai Rp.156.625.507. Padahal terdapat pembayaran kepada LPM UB sebesar Rp.645.987.0000. Jadi, menurut simpulan audit
144
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
BPKP, Negara telah dirugikan sebesar Rp.489.334.493,- (hasil dari Rp.645.987.0000 dikurangi dengan Rp.156.625.507). Berkaitan dengan apa kaitan antara kerugian Negara, memperkaya dan melawan hukum, Chazawi yang terlibat dalam Tim Bantuan Hukum atas Perkara Bahri berpendapat sebagai berikut: “Perbuatan memperkaya dan melawan hukum merupakan satu kesatuan, dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pada dasarnya perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi merupakan perbuatan hukum. Singkatnya perbuatan memperkaya diri adalah segala wujud perbuatan bagaimanapun dan apapun caranya – yang dari perbuatan itu seseorang memperoleh kekayaan. Kekayaan merupakan segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Barulah perbuatan memperkaya tersebut dilarang, dan apabila di dalam perbuatan tersebut mengandung sifat melawan hukumnya.”
Dengan demikian, ungkapan Chazawi tersebut dapat diterjemahkan bahwa suatu perbuatan untuk memperkaya (diri sendiri, orang lain atau korporasi) dapat saja mengandung sifat melawan hukum hanya jika perbuatan tersebut tercela atau dicela baik oleh perundang-undangan (biasa disebut sebagai melawan hukum formil) maupun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan masyarakat (biasa disebut sebagai melawan hukum materiil). Artinya sifat melawan hukum memperkaya tersebut, bisa jadi dan mungkin saja terjadi dapat disebabkan oleh perbuatan yang dilakukan si pelaku tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil), dan bisa saja karena bertentangan dengan asas kepatutan dan nilainilai yang hidup serta melekat dan terbatinkan dalam kehidupan masyarakat (melawan hukum materiil). Masih berkaitan dengan alat bukti surat, pada kasus korupsi yang lain, yakni kasus dakwaan tindak pidana korupsi yang menimpa Mantan Gubernur NAD Puteh dilakukan penyelidik dengan bermodalkan AKP dari hasil audit BPK yang menyimpulkan indikasi adanya tindak pidana korupsi terhadap pembelian Helikopter MI-2 buatan PLC Rostov Rusia. Dalam pembelian helikopter yang kemudian
145
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
diserahterimakan sekitar bulan Maret 2003 ini diduga terjadi penggelembungan dana alias mark-up. Rekanan pemerintah NAD adalah PT. Putra Pobiangan Mandiri. Sinyalemen terjadinya mark-up dalam pembelian heli jenis MI-2 ini diketahui setelah dihitung dengan cara membandingkan harga helikopter sejenis yang dibeli oleh TNI Angkatan Laut. Helikopter MI-2 buatan PLC Rostov Rusia dibeli oleh Gubernur NAD sebagai kendaraan operasional Pemerintah Provinsi seharga USD 1,25 juta, atau sebanding dengan Rp 12,6 milyar. Di lain pihak, menurut informasi Kepala Dinas Penerbangan TNI Angkatan Laut (Disnebal) Laksamana Pertama Yayun Riyanto, harga pembelian helikopter dengan spesifikasi militer seperti ini adalah USD 350 ribu, atau sebanding dengan cuma Rp.3,528 milyar. Manakala helikopter yang dibeli ini dimodifikasi menjadi kendaraan VIP anti peluru, maka diperlukan dana tambahan sebesar 50 persen dari harga helikopter. Jadi, harganya menurut hitung-hitungan TNI AL paling banter akan menjadi USD 350 ribu + USD 175 ribu = USD 525 ribu, atau sebanding dengan Rp 5,292 milyar. Artinya, Puteh diduga telah membeli helikopter dengan harga yang terlalu mahal. Tak tanggung-tanggung, selisih harganya mencapai sekitar USD 725 ribu, atau sebanding dengan Rp 7,308 milyar. Selisih harga inilah yang menjadi sumber dugaan korupsi. Kasus Puteh merupakan kasus pengalaman pertama bagi KPK untuk melakukan penindakan terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Pada era ini, banyak pengalaman KPK yang tidak mengenakkan. Salah satunya adalah ketika Sjahruddin Rasul - Wakil Ketua KPK, yang juga Mantan Direktur Pengawasan Khusus BPKP, yang memiliki spesialisasi penanganan terhadap perkara korupsi - mengatakan bahwa di 6 (enam) bulan pertama saat harus berhadapan dengan masyarakat, tak jarang ketika melakukan sosialiasi khususnya kepada mahasiswa, Rasul dicela oleh Mahasiswa: ‖Ah cuma bicara kosong doang nich, nggak pernah menangkap satu pun
146
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
koruptor.‖ Rasul tak bisa menjawab, karena realitasnya adalah seperti itu. ‖Mana koruptor yang sudah ditangkap KPK? Bisanya cuma ngomong doang nggak ada koruptor yang digantung tuh. Sudah gaji besar nggak ada yang ditangkap makan gaji buta lah.‖ Rasul hanya bisa mengelus dada. ‖padahal, waktu itu kami belum terima gaji‖ katanya. Karena kasus Puteh adalah kasus pertama yang ditangani KPK, maka untuk melakukan penyelidikan dan penggalian dan pencarian informasi atas keterlibatan Puteh dalam kasus mark up pembelian helikopter jenis MI-2 itu bukan hal mudah, dan itu merupakan tantangan besar bagi KPK. Dengan tantangan besar seperti itu, penyelidik KPK sengaja melibatkan pimpinan KPK Sjahruddin Rasul untuk terlibat dalam penyelidikan kasus Puteh ini. Bekerja dengan peralatan seadanya, penyelidikan dan penggalian informasi dilakukan dari berbagai sumber, termasuk sambil jalan-jalan untuk sekadar minum kopi Aceh yang terkenal itu. Ketika menyisir untuk menggali informasi, Rasul sempat nyasar sampai ke wilayah kekuasaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, tak sia-sia upaya berani yang dilakukan tim KPK tersebut, berbagai informasi dapat masuk dengan lancar, dan KPK juga bisa mendapatkan bukti kuat atas adanya penggelembungan dana pembelian helikopter jenis MI-2 yang melibatkan Gubernur NAD, Puteh. Tumpak Hatorangan Panggabean (yang biasa dipanggil ―THP‖) mengatakan bahwa dari sekian banyak bukti yang diperoleh itu, yang jelas-jelas dapat menguatkan penyelidikan untuk ditingkatkan menjadi penyidikan serta menyeret ke pengadilan adalah ditemukannya bukti ―transfer uang‖ ke rekening pribadi Puteh. Dengan ditemukannya bukti transfer uang ke rekening pribadi tersebut, sesuai dengan bunyi UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pasal
44
yang
memformulasikan
bahwa
jika
penyelidik
dalam
melakukan
penyelidikannya menemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya dugaan
147
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
tindak pidana korupsi maka dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Bukti permulaan yang cukup tersebut dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah - termasuk dan tidak terbatas - pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun secara elektronik atau optik. Pada kasus Puteh, berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang terkumpul, Jaksa Penuntut Umum membangun Dakwaannya sebagai berikut: “Bahwa terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, M.Si Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik bertindak sendiri-sendiri atau bersama dan bersekutu dengan saksi BRAM HD MANOPPO, MBA Presiden Direktur PT PUTRA POBIAGAN MANDIRI (PPM) yang perkaranya diajukan secara tersendiri, telah melakukan serangkaian perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan yang dilanjutkan, pada hari tanggal yang tak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Pebruari 2001 sampai dengan Juli 2004 atau setidak-tidaknya tahun 2001 sampai dengan tahun 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam atau setidak-tidaknya di temapt-tempat lain yang berdasarkan pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, rangkaian perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut… Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa, telah memperkaya terdakwa sendiri atau saksi BRAM HD MANOPPO, MBA atau orang laian atau PT PUTRA POBIAGAN MANDIRI (PPM) yang telah atau setidak-tidaknya dapat merugikan keuangan Negara Rp13.687.500.000 (tiga belas miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sejumlah Rp.10.087.500.000 (sepuluh miliar delapan ratus delapan puluh juta lima ratus ribu rupiah) yang dihitung dari jumlah pengeluaran uang kas Bendaharawan Umum Daerah Rp.13.687.500.000 (tiga belas miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dikurangi dengan jumlah pengembalian ke rekening Kas Daerah yang disetor kembali oleh terdakwa Rp.3.600.000.000 (tiga miliar enam ratus juta rupiah) sebagaimana hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan sesuai surat nomor SR-548/D6/1/2004 tanggal 9 Nopember 2004, atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut
148
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dalam konstruksi Dakwaan tersebut, masih menyisakan problematika soal penafsiran ―status akuntan BPKP‖ dalam kapasitasnya sebagai penghitung besarnya kerugian keuangan negara. Pertanyaannya adalah, apakah BPKP yang ditugaskan untuk menghitung dan memastikan besarnya kerugian keuangan negara akan dimasukkan dalam kategori sebagai ―saksi fakta‖ (karena auditor telah masuk pada materi perkara, atau sebagai seorang ahli yang memberikan keterangan (yang seharusnya tidak menyentuh materi perkara) ? Kerancuan penafsiran tersebut mengemuka karena sistem hukum Indonesia tidak mengenal ―expert witness‖ sebagaimana negara-negara yang menganut common law (anglo saxon) yang dapat mengemukakan pandangannya mengenai kasus yang ditanganinya. Dalam sistem common law, expert witness dapat membantu menjernihkan persoalan dan/atau membuat terangnya perkara dengan cara dia masuk pada materi perkara yang kemudian melakukan eksplorasi dan mempertautkan apa saja yang dapat memperkuat bukti Dakwaan yang diperlukan di pengadilan. Oleh karena itu, di Indonesia, kerancuan tersebut terjadi lebih disebabkan karena auditor BPKP untuk dapat menghitung kerugian Negara tentu terlebih dahulu harus mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta berupa angka dan dokumen, hal ini dalam perspektif hukum pembuktian, auditor tersebut telah menyentuh materi perkara. Bilamana seseorang telah menyentuh materi perkara tentu dia bukan lagi sebagai pemberi keterangan ahli, namun ia termasuk ―saksi‖ (saksi fakta). Sosok pemberi ―keterangan ahli‖ dalam perspektif hukum Indonesia akan memberikan pandangan atau pendapat ilmiahnya, atau kemampuan akademisnya, atau profesionalitasnya atas hal-hal tertentuyang sangat dikuasainya. Dia tidak menyentuh materi perkara, dia adalah orang yang jauh dari fakta-fakta perkara.
149
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Hal mana juga diungkapkan oleh Kustaryo dengan mengatakan sebagai berikut: “Saat sidang di Surabaya, saat ahli dari BPKP menjelaskan temuannya di Pengadilan atas kerugian Negara yang dihitungnya, saya kemudian bertanya: apakah saudara ini seorang ahli yang memberikan keterangan ahlinya? ataukah saudara ini adalah saksi yang menjelaskan fakta-fakta atas perkara korupsi ini? Karena agenda persidangan saat ini adalah mendengarkan keterangan dari ahli, dan bukan mendengarkan saksi? Kalau saudara memberi keterangan ahli sudah seharusnya saudara tidak mengetahui fakta-fakta dalam perkara ini, dan jika sudara fakta-fakta atau materi perkara, berarti saudara bukan ahli.
Perbedaan penafsiran ―teks‖ aturan seperti ini, manakala tidak segera diselesaikan, tentu akan senantiasa memunculkan perdebatan dan ketidakjelasan atas status auditor penghitung kerugian keuangan negara, apakah dia termasuk menjadi saksi [?] atau pemberi keterangan ahli [?] Karena keduanya memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda dan konsekuensi hukum yang berbeda pula. Sebagai tambahan, dalam perspektif hukum Indonesia, tidak dikenal apa yang disebut dengan ―expert witness‖ seperti yang banyak disebut dalam literatur luar negeri yang mendayagunakan hasil audit forensik yang dilakukan akuntan. Indonesia hanya mengenal ―ahli‖ yakni seseorang yang dimintai keterangan mengenai keahliannya dan bukan orang yang menyentuh materi perkara. Namun, Agus (advokat) mengungkapan hal yang sebaliknya, sebenarnya saat saya tanya, kalau akuntan telah menyentuh materi perkara dalam investigasinya untuk menghitung nilai kerugian keuangan negara, lalu apakah status auditor investigatif BPKP tersebut menjadi ―saksi fakta‖ atau sebagai ―ahli‖? Agus menjawab: ―Sebenarnya status akuntan akan menjadi saksi fakta atau ahli akan terlihat secara jelas dalam pertimbangan hakim saat hakim memutus perkaranya. Di sana hakim akan memilah-milah mana yang masuk dalam keterangan ahli dan mana yang masuk saksi fakta. Karena dalam diri si akuntan, boleh jadi dalam persidangan yakni saat cross examination, boleh jadi akan mengutarakan temuan dan perhitungan kerugian negara maupun beberapa hal yang berkaitan dengan keahliannya. Karena dalam persidangan hakim, jaksa maupun advokat bisa saja bertanya mengenai temuan auditor maupun hal-hal yang berkait dengan keahlian auditor.”
150
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Jawaban Agus sangat normatif, yakni akan terlihat statusnya dalam pertimbangan hakim saat mengambil putusan hukum, padahal status ini penting saat persidangan sedang berlangsung. Artinya, persoalan status itui bukan pada soal pemilahan hakim dalam memilah keterangan auditor tersebut sebagai keterangan dari saksi atau dari seorang ahli, melainkan lebih pada saat persidangan berlangsung. Pada umumnya pertanyaan standar yang disampaikan advokat adalah status auditor tersebut. Lalu pertanyaan saya kepada informan Fauzi, bagaimana halnya dengan dokter forensik, apakah ia dalam kategori saksi fakta atau ahli? Fauzi menjawab: Dokter forensik adalah ahli, karena dia tidak menyentuh materi perkara. Kalau ia melakukan otopsi atau bedah mayat, mayat itu didatangkan penyidik dan bukan oleh dokter forensik. Cara kerja akuntan berbeda dengan dokter, akuntan akan diberi dan mempelajari BAP, kemudian datang ke lapangan dan mencari data-data dan baru kemudian melakukan investigasi atau audit dan ujungnya adalah temuan audit dan puncaknya adalah perhitungan kerugian negara. Dengan demikian, menurut saya, akuntan adalah saksi fakta dan bukan ahli karena itu akuntan masuk keterangan akuntan di pengadilan termasuk dalam jenis alat bukti saksi, sedangkan dokter forensik, akan termasuk dalam jenis alat bukti keterangan ahli”
Menurut saya, sebenarnya kerja dokter forensik dengan auditor investigatif itu sama saja, yakni bahan-bahan untuk dijadikan bukti forensik (bukti yang dibawa ke pengadilan) adalah sama, yakni bahan bukti sama-sama dari penyidik. Perbedaannya adalah pada obyeknya, dokter forensik obyeknya berupa mayat, sedangkan auditor investigatif bahan buktinya berupa sederetan angka-angka, jurnal, buku besar, rekening Koran dan lainnya. Dari dialog di atas, dapat disimpulkan bahwa ―status‖ akuntan sebagai auditor investigatif dan kemudian malakukan perhitungan kerugian Negara, dalam domain hukum acara (KUHAP) di Indonesia masih ―problematis‖. Problematika itu akan dapat diatasi dan memiliki kepastian penafsiran seyogyanya dilakuan suatu permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan judicial review itu penting untuk lebih memastikan terhadap status auditor investigatif dalam persidangan.
151
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Pada sisi yang lain, namun masih terkait dengan persoalan kerugian Negara, yakni vonis hakim di pengadilan banding atas kasus Puteh ditemukan angka riil kerugian negara sebesar Rp.1.714.350.000. Angka ini diperoleh dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: ―Memperhitungkan dari jumlah milik Pemerintah Daerah NAD yang masih ada dalam kekuasaannya (Rp.750.000.000) ditambah dengan uang yang oleh terdakwa diperintahkan diserahkan pada orang lain yang tidak berhak untuk itu yakni TEUKU DJOHAN BASYAR sebesar Rp.964.350.000 di mana uang yang telah dikuasainya oleh terdakwa sudah dibayarkan untuk pembayaran Helikopter M1-2 tersebut dan selebihnya seluruhnya telah dikembalikan ke Kas Daerah Pripinsi NAD… yang harus dijadikan uang pengganti adalah sebesar Rp.750.000.000 ditambah Rp.964.350.000 sama dengan Rp.1.714.350.000.
Sebenarnya dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi Tipikor tersebut tidak terdapat pertimbangan yang dapat ditarik dari penjelasan atau keterangan tentang peranan hasil audit investigatif BPKP (kerugian negara vesi BPKP adalah Rp.13.687.500.000) yang dipakai dasar oleh JPU dalam surat dakwaannya ditambah dengan perhitungan JPU sendiri yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh di persidangan yang kemudian angkanya menjadi Rp.10.087.500.000. Menurut saya, perhitungan kerugian negara yang dbuat oleh hakim Pengadilan Tinggi lebih rasional dibanding dengan perhitungan JPU maupun BPKP. Penentuan kerugian negara oleh JPU maupun BPKP cenderung untuk dibesar-besarkan yang sebenarnya kurang logis. Kebiasaan membesar-besarkan angka kerugian atau mematok angka yang lebih besar mungkin dan boleh jadi dipengaruhi oleh fungsi dan tugas jaksa sebagai penuntut umum. Dengan pertimbangan toh hakimlah yang pada akhirnya akan memutuskan berapa nilai kerugian negara tersebut. Dengan demikian, hasil audit BPKP telah tidak berfungsi maksimal. Hanya JPU yang lebih percaya dan digunakan sebagai landasan dakwaan dan tuntutannya, sedangkan hakim tidak terpengaruh dengan angka perhitungan negara yang dibuat
152
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
oleh BPKP. Hakim pengadilan tinggi telah membuat perhitungan sendiri berdasarkan logika dan kepatutan. Dengan fakta seperti itu, dapat disimpulkan bahwa dalam soal perhitungan negara terjadi gap yang menganga antara auditor BPKP, JPU dan Hakim. Gap itu menjadikan angka kerugian negara yang dibuat oleh ketiganya menghasilkan angka yang berbeda-beda. Menurut saya itu terjadi karena penguasaan pengetahuan hukum yang dimiliki BPKP tidak sejalan dengan JPU dan Hakim, demikian juga sebaliknya pengetahuan akuntansi dan keuangan yang dimiliki JPU dan Hakim juga tidak sesuai dengan yang dimiliki BPKP. Inilah persoalan tafsir menafsir (hermeneutika). Pada sisi lain, dalam alat bukti surat pada perkara dakwaan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Puteh, jumlah Kerugian Keuangan Negara yang dihitung BPKP adalah sebesar Rp.11 Milyar setara dengan harga beli Helikopter itu. Oleh karena itu, Kaligis, Advokat yang menjadi pembela hukum Puteh menyatakan bahwa jumlah perhitungan keuangan Negara yang dilakukan terhadap kasus ini tidak fair dan tidak valid. Kaligis mengatakan sebagai berikut: “Penghitungan kerugian keuangan Negara/Daerah dengan tidak memasukkan dan/atau menghitung dan/atau memperhitungkan harga jual Helikopter dan/atau jumlah pembayaran yang dilakukan… dan kemudian dijadikan dasar tuntutan adalah sangat bertentangan dan sangat keliru serta sangat mengandung kesalahan yang mendasar baik menurut standar akuntansi umum maupun standar akuntansi pemerintah daerah… Dalam perhitungan keuangan… secara umum bahwa sesuatu barang baik yang telah dibeli.. telah memiliki nilai-nilai yang harus diperhitungkan terutama bila pihak pembeli telah mengeluarkan sejumlah uang. Dalam perhitungan keuangan, setiap barang ekonomis pasti memiliki suatu harga dan/atau nilai ekonomis.. dan tidak ada barang ekonomis tidak mempunyai harga dan/atau nilai ekonomis yang dapat diterjemahkan dalam satuan nilai tukar uang... Dalam dakwaan maupun dalam tuntutan.. tidak ada suatu dasar dalam menghitung harga helikopter… padahal fakta-fakta yang terungkap dalam sidang di pengadilan.. helikopter tersebut mempunyai harga dan nilai ekonomis yang dapat dikuantifikasikan ke dalam nilai satuan mata uang sehingga kerugian Negara tidaklah dalam jumlah yang didalilkan Penuntut Umum…”
153
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Ungkapan Kaligis merupakan wujud bentuk protesnya terhadap hasil penghitungan kerugian Negara yang tidak akurat. Artinya, penghitungan kerugian itu harusnya tidak pada harga (net out-flows) pembelian helikopter saja, namun juga harus mempertimbangkan pengurang dari nilai/harga pasar helikopter itu. Perhitungan kerugian negara semacam itu dikatakannya sebagai perhitungan yang tidak fair, tidak akurat dan tidak valid. Kembali ke perkara Bahri, temuan BPK RI dalam general audit atas Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Pemkab Malang, untuk Tahun Anggaran 2003, berdasarkan DASK No. 180/577/KEP/421.012/2003 tertanggal 18 September 2003 Pemerintah Kabupaten Malang telah mengalokasikan Belanja Modal untuk kegiatan Pembangunan Gedung Utama dan Sumur Bor Pabrik Gula KIGUMAS Tahap III jumlahnya adalah Rp.2.315.551.164. Pekerjaan tersebut dilaksanakan melalui pelelangan terbatas yang diikuti oleh 3 (tiga) rekanan sebagai berikut : Tabel 4-5 DAFTAR REKANAN PT. KIGUMAS REKANAN
ALAMAT
CV Sami Jaya
Jalan Adimulyo No 77 Kepanjen Malang
CV Biro Bangunan Abadi
Jalan Keramik No 308 Malang
PT Sumber Sarana Mitra Sejati
Jalan Widodaren No 7 Malang
Sumber: Laporan BPK RI Perwakilan Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal : 26 April 2005
Dalam proses lelang, yang dinyatakan sebagai pemenang lelang adalah PT. Sumber Sarana Mitra Sejati. Setelah ditetapkan sebagai pemenang, Pelaksanaan pekerjaan dilakukan berbasis kontrak Nomor 525/391/Kontrak/429.117/2003 tertanggal 10 Maret 2003 senilai Rp.1.079.320.000. Berdasarkan penelitian terhadap dokumendokumen kontrak, diketahui telah terjadi beberapa kejanggalan, antara lain
154
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
adalah Perhitungan PPN pada kontrak dengan PT. Sumber Sarana Mitra Sejati tersebut tidak benar. Temuan itu adalah sebagai berikut: Tabel 4-6 PERHITUNGAN PPN PT SUMBER SARANA MITRA SEJATI URAIAN URAIAN SEHARUSNYA TERTULIS (Rp) (Rp) Nilai Fisik 981.200.000 989.377.205,82 Nilai PPN 10 % 98.120.000 89.993.382 Nilai Kontrak 1.079.320.000 1.079.320.588 Sumber: Laporan BPK RI Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005
Lebih lanjut, dokumen penawaran dari 3 (tiga) rekanan yang ikut pelelangan sama persis dari segi format dan tampilannya. Hal ini terlihat antara lain dari pilihan jenis huruf dan garis-garis pembatas dalam tabel perhitungan yang terdapat pada Rencana Anggaran Biaya (RAB). Tim audit BPK RI, dalam hasil wawancara dengan wakil LPM UB selaku pengawas lapangan, kemudian memperoleh bukti bahwa semua penawaran rekanan tersebut memang dibuat oleh satu pihak, yaitu LPM UB sendiri. Dalam proses pengajuan penawaran, rekanan hanya diminta menyediakan kertas ber‗kop‘ atas nama masing-masing dan menandatangani kontrak yang sudah jadi. Lebih lanjut, diketahui bahwa selain membuatkan kontrak penawaran atas ketiga rekanan tersebut, LPM UB juga menyusun Engineer Estimate (EE) dan Owner Estimate (OE) yang seharusnya tidak dilakukannya. Uraian tersebut di atas dapat membuktikan bahwa pelaksanaan pelelangan dilakukan tidak sesuai ketentuan, penuh rekayasa atau dengan kata lain hanya sekedar formalitas belaka. Tim Auditor BPK RI menilai bahwa dalam pelelangan ini diduga diwarnai adanya/terjadinya ‗kolusi‘ antara perencana, pelaksana, dan pemberi kerja. Kenyataan ini tidak dibantah baik oleh Panitia Lelang yang mewakili pemberi kerja maupun pihak LPM Universitas Brawijaya selaku perencana. Kolusi dalam pelelangan ini semakin tampak jelas dan nyata dengan adanya addendum kontrak No. 04 Tahun 2003 tanggal 6 Agustus 2003 terhadap kontrak
155
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
nomor 525/391/Kontrak/429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 tersebut di atas. Dari wawancara yang dilakukan Tim Auditor BPK-RI dengan Sami‘an (Direktur CV. Sami Jaya sebagai pemenang Cadangan II), diperoleh pengakuan bahwa sejak kontrak awal, pekerjaan dilaksanakan oleh CV. Sami Jaya, sedangkan PT. Sumber Sarana Mitra Sejati hanya berperan menandatangani kontrak saja. Addendum Kontrak No. 04 tersebut meliputi perubahan volume pekerjaan, jaminan pelaksanaan pekerjaan, jangka waktu pelaksanaan, jaminan pemeliharaan dan tata cara pembayaran. Sesuai dengan Surat Perintah Perubahan Pekerjaan Nomor 525/469/421.108/2003 tanggal 5 Agustus 2003 volume pekerjaan berubah, semula senilai Rp.1.079.320.000 menjadi Rp.3.917.443.000 sehingga nilai pekerjaan tambah sebesar Rp.2.838.123.000 atau 262,95 %. Sesuai dengan bukti-bukti kuitansi pembayaran, pekerjaan tambahan tersebut
telah
dibayar
dengan
jumlah
pembayaran
keseluruhan
sebesar
Rp.2.923.051.164 yang dapat dirinci sebagai berikut:
Tabel 4-7 DAFTAR SURAT PERINTAH MEMBAYAR UANG (SPMU) SPMU TANGGAL (RP) No 1508/DAU//2003 14 Mei 2003 755.524.000 No. 4039/DAU/2003 4 September 2003 1.436.764.373 No. 6522/DAU/2003 12 Nopember 2003 584.610.232 No. 8464/PAD/2003 29 Desember 2003 146.152.559 Jumlah 2.923.051.164 Sumber: Laporan BPK RI Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005
Dengan data pencairan SPMU tersebut diketahui bahwa total realisasi pembayaran pekerjaan melebihi nilai kontrak adalah sebesar Rp.2.923.051.164 minus Rp.2.838.123.000=Rp.84.928.164. Berawal dari kejanggalan ini, Tim BPK RI melakukan
penelitian
terhadap
perhitungan
nilai
komponen
pekerjaan
yang
diperjanjikan dalam kontrak dan konfirmasi harga kepada pihak ketiga. Dari penelitian dan konfirmasi tersebut, ternyata diketahui kelebihan pembayaran yang telah terjadi tidak hanya Rp.84.928.164 melainkan sebesar Rp.223.568.38. Kelebihan pembayaran
156
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ini terjadi pada pekerjaan pemasangan jaringan listrik dan pembelian timbangan, dengan penjelasan bahwa tercantum uraian perijinan PLN jaringan TR 11.000 VA seharga Rp.115.000.000 pada hal dari konfirmasi Tim kepada PLN setempat pada tanggal 14 dan 15 Maret 2005 diperoleh informasi biaya pemasangan baru hanya akan memakan biaya sebesar Rp.20.577.692. Dari uraian di atas, kondisi yang demikian itu tentu tidak sesuai dengan petunjuk Teknis Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/Jasa
Instansi
Pemerintah
manakala
terjadi
perubahan kegiatan pekerjaan menyebutkan bahwa pekerjaan tambah dalam rangka penyelesaian pengadaan jasa pemborongan dan barang/jasa lainnya haruslah dengan pertimbangan satu kesatuan tanggungjawab teknis, yang nilainya tidak boleh lebih dari 10 % (sepuluh per seratus) dari harga yang tercantum dalam surat perjanjian/kontrak asal. Selanjutnya, pada prosedur pelelangan dan evaluasi penawaran antara lain menyatakan bahwa penawaran dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi, apabila syarat-syarat yang diminta menurut dokumen lelang dipenuhi/dilengkapi dan isi setiap dokumen benar serta dapat dipastikan bahwa dokumen penawaran ditanda tangani oleh orang yang berwenang. Ternyata dokumen penawaran yang masuk menunjukkan adanya persaingan yang tidak sehat, di mana telah terjadi pengaturan bersama (kolusi) diantara para peserta dan atau dengan panitia lelang yang dapat merugikan Negara dan atau peserta lainnya. Dalam hasil auditnya, BPK RI juga menyatakan bahwa kondisi-kondisi semacam itu tentu akan dapat mengakibatkan, Pertama adalah tidak tercapainya tujuan dilakukannya pelelangan yaitu memperoleh rekanan yang professional dalam bidangnya dengan harga penawaran terendah tetapi wajar. Kedua adalah, kerugian
157
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pemerintah daerah minimal akan menuju pada angka Rp.223.568.381. Hal tersebut terjadi karena unsur kesengajaan dari panitia lelang, perencana (LPM UB) dan pelaksana (rekanan). Kemudian BPK-RI menyarankan kepada Bupati Malang agar menegur
Panitia Lelang
atas kelalaiannya
dalam
melaksanakan tugas lalu
memerintahkan Kepala Dinas Perkebunan untuk menarik kelebihan pembayaran sebesar Rp.223.568.381. kepada PT Sumber Sarana Mitra Sejati dan menyetorkan hasilnya penagihan tersebut ke Kas Daerah. Temuan-temuan AKP ini yang menjadi bekal penting bagi penyelidik untuk melakukan penyelidikannya. Penyelidikan yang dilakukan merupakan pendalaman dan pengkayaan hingga jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W dapat mewujud dalam bentuk Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyelidikan. Pada perkara Samsul Bahri ini, simpulan akhir yang dibuat penyelidik adalah bahwa perkara ini bisa ditingkatkan ke tahap berikutnya yakni level penyidikan (sidik).
4.2.4. Alat Bukti Petunjuk Bukti petunjuk adalah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (KUHAP pasal 184 ayat (1) pada huruf d). Penilaian atas kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan dilakukan dengan cara mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani. Dengan demikian, hakekat fundamental alat bukti petunjuk ini adalah identik dengan ―pengamatan mendalam dan seksama‖ karena pada akhirnya penilaian atas kekuatan pembuktian akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan kearifan penegak hukum.
158
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari persesuaian antara alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat dan alat bukti keterangan terdakwa. Jadi, alat bukti petunjuk ini dihasilkan dari cara menyimpulkan atas suatu fakta-fakta yang ditarik dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Karena itu, alat bukti petunjuk ini memerlukan prasyarat yakni suatu kejernihan hati (spiritual) dan kecerdasan intelektual (IQ) sehingga penyelidik dapat merangkai dan membuat simpulan atas tiga alat bukti yang telah diperolehnya. Alat bukti petunjuk pada perkara Bahri, dapat dilihat adanya persesuaian antara keterangan saksi dengan barang bukti berupa surat serta keterangan dari Bahri sendiri. Korelasi dan konsitensi menjadi titik temu mewujudnya alat bukti petunjuk yang dapat disangkakan kepada Bahri.
4.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka Keterangan terdakwa (erkentenis) menempati derajat kelima. Alat bukti keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Meskipun demikian, keterangan terdakwa juga bisa yang diberikan di luar pengadilan asalkan keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah dan sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa ini hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain. Alat bukti keterangan terdakwa, Pada level penyelidikan berupa keteranganketerangan yang diberikan oleh tersangka. Dalam hal ini keterangan yang diperoleh penyidik dari penjelasan, uraian dan keterangan Bahri. Keterangan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
159
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
.“Bahwa yang menandatangani kontrak jasa konsultasi pengadaan pabrik (pabrikasi) Kigumas tahap II adalah Pihak I Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Malang … dan Ketua LPM Universitas Brawijaya Malang Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri., MS Bahwa tersangka telah mengetahui dan membaca isi kontrak Nomor 05 dan 06 tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 … Bahwa Nilai Kontrak Nomor 523/388 dan 523/390 tanggal 10 Maret 2003 sudah dibayarkan kepada LPM UB dari Kasda ke rekening LPM UB atas Nama Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri., MS Bahwa pembayaran Kontrak Nomor 523/388 dan 523/390 tanggal 10 Maret 2003 berasal dari dana alokasi umum (DAU) APBD Kota Malang… Bahwa tersangka tidak tahu kapan adanya penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pengadaan mesin Kigumas tahap II serta penyempurnaan perencanaan perencanaan dan pengawasan Pembangunan peningkatan gedung utama dan sumur bor pabrik gula Kigumas tahap III sebagaimana tertuang dalam kontrak no 05 dan 06 tahun 2003. Bahwa tersangka tidak tahu apakah ada atau tidak ada kegiatan penyempurnaan perencanaan atau pengawasan sesuai DSAK Dinas perkebunan Tahun 2004 tertera kegiatan jasa konsultan untuk penyempurnaan perencanaan dan pengawasan karena tidak ada kontrak dalam tahun 2004 menyangkut kegiatan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan. Bahwa tersangka pernah hadir di KAP Koenta Adji bersama dengan Soedjito dan Bisri membicarakan pekerjaan yang belum ada perikatannya terhadap penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pembangunan PG Kigumas…
Dari keterangan yang diperoleh dari Bahri tersebut, tentu saja penyelidik Kejaksaan Negeri Kepanjen dapat mengambil kesimpulan bahwa Bahri dapat disangka dan dipastikan terlibat dalam tindak pidana korupsi PGM Kigumas. Dari hasil keterangan yang digaris bawahi dan dihitamkan tersebut jelas dapat menunjukkan bahwa Bahri mengetahui, dan/atau ikut serta dan/atau bersama-sama dengan tersangka lainnya melakukan tindak pidana korupsi.
4.3. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI Sebelum hasil akhir penyelidikan dinaikkan ke proses penyidikan, sudah menjadi kemestian (conditio sine quanon) bahwa penyelidik harus terlebih dahulu melakukan apa yang disebut dengan gelar perkara (eksaminasi internal). Gelar perkara itu dilakukan dalam rangka untuk lebih memastikan apakah masih ada hal-hal yang masih
160
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
mengandung kelemahan yang perlu dilakukan penyelidikan tambahan agar hasil penyelidikan itu layak untuk diteruskan ke tahap penyidikan. Keharusan melakukan penilaian (internal examination) itu karena penyelidikan merupakan ―tahap pertama penyidikan‖ atau pre-investigation yang merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari proses penyidikan (legal investigation) secara keseluruhan. Jadi, hasil penyelidikan merupakan simpulan untuk membuktikan apakah penyelidik telah mampu membuktikan ada (tidak) nya ―dugaan‖ tindak pidana korupsi. Tolok ukur keterbuktian adalah hasil temuan dari tindakan mencari. Oleh karena itu, bilamana hasil temuan telah mampu membuktikan eksistensi dugaan itu. Dengan demikian, fokus tujuan penyelidikan adalah untuk mengumpulkan bukti-bukti permulaan atau dengan kata lain (dalam bahasa hukum) telah ―cukup bukti‖ untuk dilakukan peningkatan statusnya menjadi proses ‖penyidikan‖. Hal mana juga dimaksudkan agar dalam tahap penyidikan akan menjadi lebih mudah membuktikan eksistensi tindak pidana korupsi karena sudah adanya dasar hukum atas temuantemuan pada proses penyelidikan. Bentuk mind-set dalam mengejar dan membangun alat bukti tindak pidana korupsi yang merupaan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W diungkapkan oleh Direktur Penyelidikan KPK (Iswan Elmi) sebagai berikut: “Upaya mencari dan menemukan bukti atas dugaan korupsi merupakan inti tugas pada Direktorat Penyelidikan KPK. Semua sumber daya yang ada kita arahkan untuk mencari dan menemukan paling tidak dua alat bukti sah atas dugaan korupsi. Bilamana minimal dua alat bukti tersebut telah kita temukan maka status perkara baru dapat ditingkatkan pada tahap berikutnya yaitu proses penyidikan…”
Sebagai konsekuensi atas ungkapan di atas, dapat ditarik suatu benang merah yakni sudah menjadi kemestian (conditio sine quanon) bahwa alat bukti dan barang bukti yang dicari dan ditemukan—secara idealita—harus memiliki fungsi sebagai instrumen fasilitatif dan emansipatoris. Sebagai fungsi fasilitatif, Mozaik Bukti
161
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Akuntansi Forensik niscaya memiliki fasilitas titik-temu dan tidak sekedar hanya bertumpu pada teks peraturan belaka, namun juga harus membangun hubungan kausalitas antara doktrin, teks dan konteks dalam realitas sosial. Emansipatoris artinya adalah dalam proses penyidikan, penyidik juga harus tetap menjunjung tinggi presupmtion of innosence dan bukan presumption of guilty. Presumption of guilty ini adalah ―pembalikan beban pembuktian‖ (reversal burden of proof) atau sering disebut sebagai ‗pembuktian terbalik‘ di mana penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan pembuktian terhadap terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana korupsi, tetapi si terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya bukan seorang koruptor. Karakter emansipatoris juga terletak pada pengedepanan basis nalar-rasional (akal-budi) yang mengarah pada bentuk bukti yang substance over form dan bukan hanya sekedar form over substance, atau dengan kata lain proses mencari dan menemukan visum akuntansi forensik level penyelidikan ini tidak hanya sekedar menonjol-nonjolkan proses prosedural belaka (sensu strickto), namun harus juga tidak melupakan substansinya. Karena dalam kasus penanganan perkara tindak pidana (korupsi) yang lebih ditekankan adalah substansi (materiil) perkara dan bukan hanya formalitas procedural an sich. Dalam penyelidiklan pelacakan (tracing) umumnya dilakukan dengan tiga pola aktivitas korupsi yakni theft, concealment, dan conversion. Tindak pidana korupsi pada umumnya memiliki tiga pola itu. Dengan tiga pola itu tentu penelusuran akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan niscaya dari aktivitas penyelidikan. Soekardi Hoesodo, mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Perencanaan dan Analisis mengatakan bahwa dalam tugasnya saat di BPKP jejak-jejak tindak pidana keuangan pada umumnya dapat ditelusuri dan kemudian ditemukan jawaban 2H+5W itu. Karena itu Soekardi berbasis pengalamannya dapat memastikan bahwa pencarian
162
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
jejak itu pasti dapat menemukan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik dengan mengatakan sebagai berikut: When people enter financial transactions, such as buying assets, they leave „footprint‟. Jadi, tidak ada sentuhan yang tidak meninggalkan tapak-jejak, pasti kita dapat menelisik bekas-bekasnya. Setiap jejak korupsi pasti akan senantiasa diikuti dengan langkah penyembunyian, dan baru pada tahap berikutnya akan dikonversi.”
Dengan demikian jejak-jejak korupsi akan dapat diikuti dalam bentuk rumah, mobil, deposito atau asset-asset lainnya. Dalam kaitan dengan aliran dana berbasis rekening koran milik koruptor, fungsi lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sangat membantu dan banyak berperan strategis dan menentukan dalam memberikan data aliran-aliran dana haram tersebut (follow the money). Pola aliran dana haram ini dapat kita lihat pada semisal aliran dana kasus beras Bulog (Widjanarko Puspojo) atau aliran bank BNI (Adrian Woworuntu). Hasil akhir dari penyelidikan, akan dilakuan sebuah expose atau pemaparan, yang menurut Informan Icha (bagian Sekretariat pada Direktorat Penyelidikan KPK) mengatakan bahwa ekspose pada umumnya dilakukan pada setiap hari Jum‘at. “Expose atau examination dilakukan pada setiap hari Jum‟at, biasanya dihadiri oleh penyelidik dan penyidik serta bagian lain yang sedang tidak bertugas. Expose ini, kalau di fakultas ya mirip dengan ujian komprehensif. Hasilnya adalah apakah kasus dapat ditingkatkan, dihentikan atau dipertajam lagi dengan melakukan proses tambahan-tambahan dan penguatanpenguatan, penekanan-penekanan pada sisi-sisi yang masih lemah.”
Paparan hasil penyelidikan pada akhirnya akan memberikan simpulan atau pendapat terhadap hasil penyelidikan yang dilengkapi dengan chart dan matrix. Chart akan berupa penguaraian atas modus operandi perkara yang memberikan gambaran penjelasan secara rinci dan detail mengenai uraian tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh tersangka berdasarkan peraturan yang berlaku serta pasal-pasal yang dilanggar. Sedangkan matrix akan berisi unsur-unsur atas pasal-pasal yang
163
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
disangkakan kepada tersangka dengan uraian fakta-fakta perbuatan yang dilakukan oleh tersangka dan dukungan alat bukti dan barang buktinya. Semua uraian yang saya paparkan pada sebelumnya, pada dasarnya akan mengerucut pada formulasi ‗proposisi‘. Meskipun, uraian saya juga dapat disebut sebagai bentuk deskriptif atas konstruksi viosum akuntansi forensik level investigatif yang berupa sejarah fakta. Sejarah fakta dalam bentuk deskriptif, boleh jadi dalam pandangan Cliffort Geertz akan disebutnya sebagai bentuk thick description. yang merekonstruksi sejarah masa lalu untuk kemudian dihadirkan pada masa kini mengenai berbagai kejadian, fakta, data, keterangan. Seirama dengan pembentukan proposisi, dan berkait dengan pengujian atas suatu proposisi, seharusnya dilakukan pada soal bagaimana menaksir kecukupan empiriknya terhadap ketepatan pengujian atas sebuah proposisi. Grounded theory meminta penilaian teoritik atas kecukupan empirik. Penilaian itu terletak pada kejelasan, konsistensi, sifat hemat, kepadatan ruang lingkup, pengintegrasian, kecocokan data, kemampuan menjelaskan, sifat prediktifnya, harga heuristik, dan aplikasi atas semua itu sebagai kriteria penilaian. Penilaian teori harus dilakukan pada dimensi evaluatif sebagai tambahan terhadap kecukupan empiris. Metode abductive explanatory inferentialism
dalam
grounded theory mempertimbangkan secara
sistematis teori-teori yang sudah matang yang secara esensial menjadi materi simpulan pada penjelasan yang paling baik, di mana suatu teori atau proposisi diterima manakala diputuskan untuk memberi penjelasan yang lebih baik. Thagat (2002) dalam Emzir (2008, 207) menyatakan bahwa peluang perhitungan penilaian teori dapat dilakukan dengan mengambil kesimpulan terbaik itu akan terkait secara sentral dengan penetapan koherensi yang bersifat menjelaskan. Teori Thagat adalah sebuah teori koherensi eksplanatori di mana proposisinya
164
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
menjaga kesatuan karena relasi eksplanatorinya. Hubungan koherensi eksplanatori, ditetapkan melalui operasi tujuh prinsip yakni: simetris, penjelasan, analogi, prioritas data, kontradiksi, kompetisi, dan keberterimaan. Penentuan koherensi eksplanatori suatu teori dibuat dalam istilah tiga kriteria: consilience (dapat menjelaskan secara luas), penyederhanaan dan analogi. consilience artinya memiliki penjelasan terbaik dan menangkap ide bahwa suatu teori lebih koherensi eksplanatori dari saingannya serta teori tersebut dapat menjelaskan rentang fakta yang lebih besar. Karena itu, pada the first order understanding of lay actors dapat dibuatkan proposisinya. Kemudian, pada tahap berikutnya yakni the second order of social scientist dilakukan theoritical maturation dengan melakukan konfirmasi teoritikal pada tebaran teori-teori. Dari uraian-uraian yang saya kemukakan pada bab IV ini, pada proses penyelidikan dapat saya tarik suatu simpulan dalam bentuk gambar (lihat gambar 4.1. dan 4.2) berupa proposisi naratif sebagai berikut:
Gambar 4-1 Proses Penemuan Visum Akuntansi Forensik
165
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
PROPOSISI: Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik level penyelidikan merupakan temuan penyelidik terhadap paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang menjadi dasar utama bagi penetapan status tersangka. Visum akuntansi forensik level penyelidikan akan terangkai dalam suatu chart and matrix yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W. Mozaik berisi rangkaian keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka yang diikat dalam Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK) yang berfungsi sebagai bahan bukti bagi Penyidikan.
Gambar 4-2 Wujud Visum Akuntansi Forensik Level Penyelidikan
166
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 5 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN
“Kata”... Aku percaya kepada Sang Dzat Sejati Al-Haq karena kata, Aku mencinta dan bahagia karena kata, Aku yakin perubahanku terjadi karena kata, Semua yang kuurai berikut ini karena keterpengaruhanku atas kata…
5.1. PENGANTAR Memburu Mozaik Akuntansi Forensik Level Penyidikan
Penyidikan (opsporing) atau dikenal dengan istilah pulbaket sidik merupakan langkah lanjutan dari penyelidikan (lidik). Bahan bukti yang digunakan dalam penyidikan juga berasal dari penyelidikan. Tujuan penyidikan adalah pendalaman terhadap bahan bukti yang berupa visum akuntansi forensik level penyelidikan. Hasil penyidikan akan menjadi bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk membuat Dakwaan lalu mengirimkannya ke pengadilan yang disertai permintaan untuk segara dilakukan sidang pengujian (cross examination) atas perkara yang didakwakan tersebut. Selanjutnya, pada sidang-sidang di pengadilan, Majelis Hakim akan memanggil semua saksi yang tercatat dalam dakwaan, lalu mendengarkan keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan kemudian melihat, mengkaji, mencermati dan menganalisis alat bukti dan barang bukti yang untuk selanjutnya akan dijadikan dasar putusan hukum terhadap terdakwa. Putusan hakim tersebut berbasis pada minimal dua alat bukti yang sah dari lima macam alat bukti yang ada. Di samping
167
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
berbasis dua alat bukti sah, putusan hakim juga harus mengandung keyakinan yang berbasis hati nurani.. Karena itulah para hakim sering menamai putusan yang dibuatnya dengan suatu sebutan ―putusan yang sah dan meyakinkan‖. Selanjutnya, dalam penyidikan, umumnya para penyidik mengelaborasi dan mengembangkan ilmu forensik. Ilmu forensik merupakan suatu disiplin ilmu yang unik, dengan prinsip kerja dan teknik operasionalisasi yang mengambil-oper ilmu pengetahuan dasar seperti ilmu kimia, biologi, fisika, akuntansi, hukum dan lainnya untuk melakukan analisis dan sintesis terhadap barang bukti, keterangan, informasi, fakta, data dan keterangan untuk memecahkan perkara yang sedang ditanganinya. Metoda Socrates (Socrates Method) sering kali didayagunakan dalam rangka untuk mengembangkan pertanyaan dan jawaban untuk meraih sebuah kebenaran hakiki (Sullivan dan Rosen, 2010, 108). Oleh karena itu, ilmuwan forensik keuangan yang saya sebut juga sebagai Financial Criminalist atau Forensic Accountant bekerja untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan di sekitar peristiwa hukum yang kemudian menganilisis barang bukti, data, fakta, informasi, serta keterangan yang dapat menghubungkan tersangka dengan perbuatannya, mencari motif tindakan, menemukan dan menghitung kerugian yang diderita korban. Jadi, Forensic Accountant/Financial Criminalist akan merekonstruksi semua kejadian tindak pidana korupsi atau kejahatan keuangan, menulis laporan hasil kerjanya dan bersaksi di muka pengadilan mengenai temuan-temuannya tersebut. Rekonstruksi kejahatan keuangan tersebut akan berbentuk chart and matrix yang merupakan visum akuntansi forensik. Selaras dengan visum akuntansi forensik, persyaratan mutlak yang wajib dimiliki akuntan forensik atau financial criminalist, seperti yang dikatakan Allan Pinkerton yang dikutip Tuanakotta (2007, 50) adalah sebagai berikut:
168
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“The detective must posses certain qualifications of prudence, secrecy, inventiveness, persistency, personal courage and above other things; honesty while he must add to these the same qualify of reaching out and becoming possessed of that almost boundless information which will permit of the immediate and effective applicant of his detective talent in whatever degree that might be possessed…
Kemampuan dankepiawaian akuntan forensik dalam berhubungan dengan manusia memiliki peran yang sangat menentukan. Karane ia harus mendapatkan informasi, data, maupun keterangan atau pengakuan dan lain-lainnya dari manusia. Karena itu kepribadian yang menarik, hangat dan mampu memotivasi dan mempengaruhi orang lain akan banyak membantu sukses tugas yang diembannya. Sebagai seorang investigator, dalam tugas-tugasnya akan banyak berjumpa dengan berbagai macam jenis karakter manusia, dengan latar belakang sangat variatif. Oleh karena itu investigator harus memiliki kepercayaan diri (self confidence) yang tinggi. Selanjutnya, dalam membangun visum akuntansi forensik yang digunakan bagi pengungkapan dan penindakan perkara tindak pidana korupsi, tahap penyidikan merupakan tahapan penting dan menentukan. Pentingnya tahapan ini terletak pada putusan untuk menarik simpulan akhir yang tepat, apakah perkara dapat dilanjutkan menjadi bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum untuk membangun sebuah Dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap atau perkara dihentikan sampai di sini saja dan dikeluarkan SP-3 (Surat Pemberitahuan Penghentian Pemeriksaan). Pengeluaran SP3 itu menurut Budi Handaka informan dari Kejagung RI dapat digambarkan sebagai berikut: Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3) tersebut dapat dikeluarkan dengan pertimbangan yang matang dan terukur, yang biasanya merupakan hasil dari pelaksanaan ekspose atau gelar perkara atau eksaminasi internal Kejaksaan.
Rangkaian kalimat di atas tersebut dapat diartikan bahwa semua berkas perkara yang masuk Kejaksaan akan dipresentasikan atau digelar dalam suatu forum internal kejaksaan (ekspose internal) untuk dapat dipastikan apakah pemeriksaan
169
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
perkara bisa diteruskan atau dihentikan. Jika perkara diteruskan dan hasilnya diyakini berkesimpulan ―tidak terbukti‖ maka SP-3 tersebut akan dikeluarkan.
Tabel 5-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYIDIKAN (SIDIK) DENGAN PENYELIDIKAN (LIDIK) KETERANGAN
PENYIDIKAN (SIDIK) 1.
Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 5W+2H berupa Visum Akuntansi Forensik
1. Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 5W+2H berupa Visum Akuntansi Forensik
2.
Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
2. Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
3.
Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK
3. Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK
4.
Dalam mencari dan menemukan konstruksi Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
4. Dalam mencari dan menemukan konstruksi Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level penyelidikan, Penyelidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
5.
Menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)
5. Tidak Menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)
6. Hanya dapat dilaksanakan berbasis pada hasil penyelidikan
6. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih bersifat hasil audit investigative dan atau AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk
7. Memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksisaksi
7. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi
8. Hasil permintaan keterangan tersangjka dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
8. Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan)
9. Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyidik dapat melakukan penahanan, penggeledahan, penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan
9. Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan lain hanya atas ijin penyidik
10. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)
10. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik
11. Sebutan bagi objek penyidikan disebut dengan “tersangka”
11. Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terperiksa”
PERSAMAAN
PERBEDAAN
PENYELIDIKAN (LIDIK)
170
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Penyidikan adalah adalah tindak lanjut langkah dan pendalaman tahap penyelidikan. Untuk kejelasan mengenai kejelasan antara penyidikan dengan penyelidikan mengenai persamaan dan perbedaannya dapat dilihat perbandingannya seperti tampak pada tabel 5.1. Secara naratif persamaan dan perbedaan antara penyelidikan dengan penyidikan adalah bahwa pada sisi persamaan keduanya merupakan sebuah upaya untuk membangun visum akuntansi forensik dalam mengungkap dan mencari alat bukti yang berkualifikasi hukum. Pada sisi lain, perbedaannya adalah bahwa titik berat aktivitas penyelidikan pada ‗pencarian‘ dan ‗penemuan‘, sedangkan pada level penyidikan titik berat aktivitasnya, di samping upaya untuk ‗mencari dan menemukan‘ juga ‗mengumpulkan‘ atas semua pemrosesan alat bukti dan barang bukti. Jadi, dalam penyidikan seluruh alat bukti akan diikat dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), di mana BAP tersebut akan menjadi pegangan utama dalam pembuatan Dakwaan JPU sekali bahan utama pada pemeriksaan di pengadilan (cross examination) yang pada gilirannya akan menjadi landasan utama bagi putusan hakim. Di samping itu, aktivitas yang dilakukan penyidik dalam tindakan penyidikannya akan senantiasa mencantumkan kata ―projustitia‖. Projustitia merupakan sebuah kata berupa simbol atau label yang dapat diartikan sebagai tindakan demi keadilan atau dapat dimaknai sebagai ‗demi tegaknya hukum‘. Label atau title projustitia akan selalu dicantumkan pada “kiri atas” dalam sebuah kertas pada semua administrasi bagi setiap tindakan penyidik. Label itu senantiasa tercantum dalam dokumen-doukumen seperti: Surat Panggilan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan tindakan-tindakan penyidik lainnya. Artinya dengan surat-surat itu akan mengubah semua bukti, data, fakta, informasi dan keterangan menjadi telah ―bernilai hukum‖ dan akan menjadi bagian tidak terpisahkan secara keseluruhan dari visum akuntansi forensik. Alat bukti
171
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yang dikumpulkan penyidik merupakan jawaban riil dan kongkrit atas hypothetical construction of crime yang sekaligus dengan tertempelnya stempel ―projustitia‖ menjadi bukti atas terjadinya proses hukum telah sesuai dengan koridor hukum (due process of law) yang berlaku di Indonesia (KUHAP). Seperti pada bab-bab sebelumnya, dalam bab ini, ilustrasi atau back-bones uraian terhadap fakta, data, informasi dan ketarangan sebagai dasar dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik yang berkriteria hukum masih menggunakan kasus sangkaan korupsi pada Bahri Ketua LPM UB. Dalam ilustrasi ini akan dapat kita lihat bagaimana hypothetical construction of crime dapat dijawab oleh penyidik yang kemudian mewujudkan konstruksi visum akuntansi forensik level penyidikan. Langkah “P” yang dilakukan penyidik Kejaksaan tersebut merupakan langkah lanjutan yang dilakukan oleh penyelidik yang telah saya uraikan pada bab IV, yakni dari P-1 hingga P-7. Langkah penyidik dengan dokumentasi “P” itu adalah: membuat Surat Perintah Penyidikan didokumentasikan formulir P-8. Berikutnya adalah membuat Rencana Jadual Penyidikan (Rendik) yang didokumentasikan dalam P-8A. Membuat Surat Panggilan saksi/ahli dan tersangka yang didokumentasikan dalam bentuk P-9. Membuat Berita Acara Keterangan ahli yang didokumentasikan P-10. Surat Usulan Bantuan Pemanggilan saksi didokumentasikan pada formulir P-11. Membuat Surat Pemanggilan Bantuan saksi/ahli didokumentasikan dalam P-12. Membuat Usul Penghentian Penyidikan/Penuntutan (bila diperlukan) didokumentasikan dalam P-13. Membuat Surat penghentian penyidikan P-14. Membuat Surat Pemberitahuan Berkas Perkara P-15. Membuat Surat perintah jaksa penuntut umum untuk mengakhiri penyidikan P-16. Membuat Surat Permintaan Perkembangan hasil penyidikan P-17. Membuat Hasil Penyidikan berkas lengkap P-18. Melakukan Pengembalian berkas
172
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
perkara untuk dilengkapi di dokumentasikan pada P-19. Pemberitahuan bahwa waktu penyidikan telah habis P-20. Pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap P21 dan seterusnya.
Kotak 5.1. KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS.
Kejaksaan Negeri Kepanjen ―Untuk Keadilan‖ Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: --URAIAN SINGKAT PERKARA: Bahwa Tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor: 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PGM KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar. Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Sebesar Rp.645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDY TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO No. 525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H. M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan Ddendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003. Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp.645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Prop. Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp.645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp.489.334.493,- (empat ratus delapan puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007
173
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bilamana suatu perkara berjalan hingga putusan akhir, maka administrasi dan dokumentasi dengan simbol “P” ini akan terus berlanjut seiring sejalan hingga dokumen P-53. Dokumen “P” ini dapat saya sebut semacam check list atas working paper yang sering dibuat oleh auditor. formulir “P” digunakan untuk lebih memastikan apakah semua prosedur baku (standard operating procedures) telah dijalankan seksama dan hati-hati oleh Petugas Kejaksaan. Sandi “P” merupakan juklah dan juknis atau semacam check list terhadap impplementasi KUHAP. Dari semua ―P‖ itu yang paling dikenal oleh masyarakat, karena sering disebutsebut oleh Jaksa Agung atau jaksa-jaksa penuntut umum (JPU) adalah “P-19” dan P-21. Karena kedua dokumen itu sangat sentral dan menentukan. Dokumen ―P-21” berisi mengenai telah lengkapnya suatu persyaratan dokumen untuk dibuat Dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap bagi si tersangka. Sedangkan “P-19” adalah bahanbahan untuk memberkas Dakwaan masih memerlukan perbaikan-perbaikan.
5.2. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL PENYIDIKAN Menemukan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik as a support for a ligation
Penyidikan atau pulbaket sidik (pengumpulan bahan bukti dan keterangan) berupa serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti dimana dengan alat bukti tersebut akan dapat membuat terang benderangnya kasus tindak pidana korupsi (Mulyadi, 2007, 121, Rukmini, 2003, 112, dan Tuanakotta, 2007,442). Tata cara mengenai apa dan bagaimana penyidikan ini diatur dapat dilihat dalam KUHAP bab XIV pada pasal 106 sampai dengan pasal 136. Penyidikan juga
ditujukan untuk
menemukan
siapa
atau siapa
saja
tersangkanya. Oleh pembuat undang-undang penyidik diberi kewenangan besar agar dapat melakukan penggeledahan, penahanan, penangkapan dan penyitaan barang
174
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
bukti serta tindakan lain yang diperlukan bagi tugas penyidikannya. Semua aktivitas tersebut akan dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Jadi, dapat saya simpulkan bahwa penyidikan pada dasarnya akan mengarah pada tiga aktivitas utama, yakni: (1) mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, (2) membuat sangkaan tindak pidana korupsi menjadi terang benderang, dan (3) ditemukannya si tersangka dan tersibaknya motif yang mendasarinya. Dengan kata lain, tujuan penyidikan adalah untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil (setidaknya mendekati kebenaran) atas perkara tindak pidana korupsi, lalu menemukan pelakunya serta mengungkap motif yang mendasari perbuatan jahat si pelaku. Dengan demikian, dalam rangka mengungkap modus operandi tindak pidananya dan menemukan tersangkanya, maka dalam penyidikan sangat diperlukan teknik dan taktik yang canggih. Untuk itu diperlukan SDM yang memiliki kesigapan tinggi, kecepatan bergerak, memahami ketentuan teknis dan tertib pemeriksaan, dan memiliki persepsi yang tepat tentang permasalahan yang diduga akan timbul serta secara kreatif mencari solusi saat dugaan itu muncul (Mulyadi, 2007, 126). Dalam taktik penyidikan tindak pidana, keterangan saksi menjadi kunci pembuka bagi pencarian alat bukti dan barang bukti lainnya. Oleh karena itu, penyidik sudah semestinya memiliki cara dan taktik untuk mendapatkan keterangan para saksi yang benar dan jujur, sehingga keterangan yang benar dan jujur yang diberikan oleh saksi tersebut dapat menjadi salah satu alat bukti yang tak terbantahkan di pengadilan. Semua
taktik
dan
strategi
yang
dilakukan
penyidik
dalam
aktivitas
penyidikannya hanya mengarah pada tujuan utama yakni mencari, menemukan dan mengumpulkan jawaban atas hypothetical construction of crime. Karena itu penyidik perkara tindak pidana korupsi harus membekali dirinya dengan pengetahuan akuntansi dan keuangan yang mendalam, mempelajari dan memahami berbagai variasi modus
175
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
operandi yang biasa dilakukan koruptor, mengasah kejelian, kreativitas, ketepatan dan kecepatan dalam mengungkap dan mencari alat-alat bukti lain seperti surat-surat (asli maupun fiktif), laporan keuangan dan bukti pendukungnya, dokumen-dokumen keuangan lainnya yang dapat memberi arah ditemukannya perbuatan melawan hukum dari tersangka dalam merugikan keuangan Negara. Aktivitas penyidikan seperti yang saya uraikan di atas, dapat disebut sebagai bentuk pencarian alat bukti yang lebih bernuansa dan menekankan pada penemuan alat bukti yang besifat inderawi belaka, dan tidak mencoba melakukan elaborasi pada dimensi psikologis dan intuitif. Tekanan utama pada pencarian alat bukti yang bersifat inderawi boleh jadi masih akan menyisakan kelemahan dan ketidakakuratan substansial. Elaborasi dimensi psikologi dan intusi dalam pencarian alat bukti akan sangat berguna bagi upaya mencari, menemukan dan mengumpulkan mozaik bukti akuntansi forensik bagi tindak kejahatan korupsi akan menjadi lebih cepat namun juga lebih akurat. Selanjutnya,
dalam
proses
penyidikan
tersangka
berhak
memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik dan boleh didampingi oleh advokat yang ditunjuknya. Penyidikan ini harus due process of law. Bilamana penyidikan dilakukan dengan cara seperti kekerasan (violence) dan/atau penyiksaan (torture) tentu bertentangan dengan due process of law dan bertentangan dengan asas presumption of innosence serta tidak sejalan dengan prinsip non-self incrimination yang pada ujungnya boleh jadi dakwaan JPU bisa saja dibatalkan oleh Hakim
di sidang
pengadilan karena melanggar due process of law dan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika violence and/or torture terjadi dan berakibat mempengaruhi pisik dan/atau psikis tersangka Loebby Loqman (1984) sebagaimana dikutip kembali oleh Rukmini (2003, 115) menyatakan sebagai berikut:
176
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Adanya tindakan yang “menyimpang” dari pejabat penyidik dalam penyidikan terhadap tersangka akan menimbulkan dua pandangan yang saling berlainan. Di satu pihak bahwa tindakan yang “menyimpang” dalam penyidikan terhadap tersangka akan membawa akibat bahwa perkara itu akan dibatalkan dan tersangka akan dibebaskan, meskipun faktualnya ada dugaan yuridis menjurus pada kesalahan tersangka. Pada sisi lain ada pendapat bahwa, bagi si tersangka tidak dengan begitu saja dikesampingkan atau dibebaskan, artinya tersangka tetap diajukan ke pengadilan, sedangkan tindakan yang “menyimpang” dari pejabat penyidik akan diberikan sanksi adminsitratif terhadap dirinya.”
Dengan demikian, apabila keterangan tersangka yang dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik itu yang masuk dalam voisum akuntansi forensik ternyata diperoleh melalui cara-cara yang didasarkan pada tekanan atau paksaan, maka keterangan─sebagai alat bukti keterangan saksi─harus dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum (nul and void). Berkaitan dengan tindakan penyidikan, kita dapat menengok aturan pencarian alat bukti dipraktikkan pada Negara lain. Di Amerika Serikat terdapat aturan yang menyatakan bahwa suatu pemerolehan bukti dilakukan dilarang dilakukan dengan melanggar aturan ‖Exclusionary Rules17. Exclusionary Rules dikembangkan oleh US Supreme Court agar warga negara terhindar dari tindakan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang dan semau-maunya (Rukmini, 2003, 117). Exclusionary Rules ini, menurut saya adalah suatu aturan yang hanya untuk melindungi warga negara US saja Namun bagi warga non US, kita bisa melihat ketidakkonsistenan (baca: kemunafikan) atas aturan ini secara kasat mata. Untuk warga Non US, terutama bagi orang yang diduga teroris, Mujahiddin Afghanistan, pejuang Iraq, atau mereka yang menentang kebijakan US ditangkap, ditahan, disiksa dan diperlakukan semau-maunya dan melampaui batas Hak Asasi Manusia (HAM). Guantanamo Jail merupakan bukti konkrit atas ketidakkonsistenan pelaksanaan Exclusionary Rules. Sungguh ironis, tragis dan munafik. 17
Exclusionary Rules adalah suatu aturan yang mengatur larangan penggunaan alat-alat bukti yang diperoleh penyidik melalui cara-cara yang tidak sah dan melanggar hukum
177
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Berkait dengan penyiksaan dan kekerasan (violence and/or torture), dalam konteks
Indonesia,
tidak
terdapat
aturan
tegas
mengenai
penyidikan
yang
―menyimpang‖ dan melanggar HAM tersebut. Sehingga penyidikan yang dilakukan dengan kekerasan dan penyiksaan terhadap tersangka maupun saksi kadang menimbulkan kerumitan penyelesaiannya. Apalagi bilamana tindakan penyiksaan fisik tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Bahkan akan lebih sulit manakala kekerasan dan penyiksaan tersebut diarahkan pada penderitaan secara psikis. Kondisi seperti itu terjadi misalnya adalah penyidik meminta pengakuan melalui rekayasa dengan cara tersangka dipanggil dan diperiksa secara berulang-ulang hingga sampai pada jawaban akan dinyatakan cukup manakala kesaksian atau keterangan saksi itu sudah sesuai dengan arahan penyidik. Cara-cara seperti ini akan menimbulkan kesan bahwa adanya suatu kesaksian rekayasa (fabricated witnessing). Pada umumnya fabricated witnessing boleh jadi akan mewujud manakala ada keinginan kuat dari petugas penyidik untuk bekerja secara cepat dan efesien sehingga banyak menimbulkan tindakan ―menyimpang‖ dalam proses penyidikannya. Penyidikan akan dilakukan tidak sesuai dengan aturan-aturan KUHAP. Contoh kemungkinan terjadinya penyimpangan pada proses penyidikan, adalah tidak terdapatnya suatu ketentuan hukum yang mengatur secara limitatif (pembatasan) berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik kepada penuntut umum, begitu juga sebaliknya. Implikasinya adalah hak tersangka untuk diadili secara cepat, sederhana dan murah tidak tercipta. Berlarut-larutnya penyidikan dapat membangun stigma bahwa penyidik dan atau penuntut umum telah mempermainkan HAM tersangka. Konflik semacam seringkali terjadi dan kita jumpai antara penyidik dengan penutut umum. Misalnya saja pada kasus Bahri, seperti yang dikatakan Chazawi:
178
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Syamsul Bahri ditetapkan sebagai tersangka dalam jangka waktu yang sangat lama, sekitar satu setengah tahun. Dari tersangka kemudian menjadi terdakwa dalam waktu yang begitu lama adalah tidak rasional. Seorang tersangka, seharusnya tidak boleh dibiarkan dalam kurun waktu sedemikian lama untuk tidak segera diadili. Bilamana memang alat buktinya tidak kuat dan/atau alat buktinya kurang, sudah seharusnya pihak Kejaksaan segera mengeluarkan SP-3 agar tersangka tidak dibiarkan terkatung-katung status hukumnya.”
Sejalan dengan apa yang diungkapkan Chazawi, Yudi Kristiana (2006,101-113) hasil penelitian yang dilakukannya menyimpulkan bahwa adanya dua factor, yakni factor politis dan sosio-kultural telah banyak mempengaruhi independensi jaksa dalam penyidikan korupsi. Dalam kelompok faktor politis adalah, birokrasi kejaksaan yang tidak netral, tidak transparannyaproses penyidikan korupsi, dan terdapatnya kendala persepsi/perilaku/gaya manajerial kejaksaan. Pada kelompok faktor sosio-kultural adalah integritas personal kejaksaan karena faktor ekonomi (kesejahteraan, gaji) dan/atau promosi yang tersendat. Seorang Informan, Budi (Kejaksaan Agung), berkaitan dengan hal di atas mengatakan kepada saya sebagai berikut: “Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, langkah-langkah yang ditempuh oleh Kejaksaan Agung untuk masalah itu, Kejaksaan Agung telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya adalah untuk tindak pidana yang pembuktiannya mudah dan sederhana paling lama tiga hari telah dinyatakan lengkap atau tidak. Sedangkan untuk perkara biasa paling lambat lima hari telah dikirim pemberitahuannya. Dan, untuk perkara yang sudah dinyatakan optimal penyidikannya oleh penyidik, tetapi jaksa memandang masih belum memenuhi syarat formil dan materiil, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan sendiri.”
Manakala berkas telah lengkap, penuntut umum akan membuat surat dakwaan dan kemudian dibuat surat pelimpahan kepada Pengadilan Negeri setempat. Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan di pengadilan. Hakim tidak akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa bilamana perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam dakwaannya. Pembuktian dan fakta-fakta di persidangan yang menentukan (tidak) terbuktinya seseorang melakukan tindak kejahatan sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan penuntut umum. Bilamana dalam pembuktian di persidangan
179
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, maka pengadilan akan menderanya dengan hukuman penjara, demikian juga sebaliknya, bila tidak terbukti maka pengadilan akan membebaskannya. Putusan pengadilan adalah pernyataan atau simpulan yang telah dipertimbangkan dan dinilai secara masak-masak yang diucapkan hakim dalam sidang di pengadilan (dengan melekatkan pertimbangan sebelum putusan dilakukan (ex-ante) dan justifikasi setelah putusan terjadi (ex-ante). Laporan hasil penyelidikan harus dilengkapi dengan kepastian mengenai ―saat‖ dan ―tempat‖ kejadian perkara (dalam ranah hukum dikenal dengan istilah tempus dan locus delicti). Semua uraian hasil penyelidikan itu harus dapat memberi gambaran jelas, detail dan rinci. Dalam uraian itu juga tidak boleh terdapat hal-hal yang mengandung keraguan serta kekaburan (obscuur) sedikitpun. Dengan kata lain, laporan investigasi atau penyidikan itu harus cermat, jelas dan dilengkapi dengan dukungan barang bukti dan alat bukti yang relevan, kompeten, cukup dan material (―rekocuma‖). Laporan tidak boleh terselip kalimat multi-tafsir yang boleh jadi dapat membuat kesalahan interpretasi atas eksistensi tindak pidana korupsi saat pemeriksaan perkara digelar dalam sidang di pengadilan. Selaras dengan penyimpangan terhadap aturan KUHAP Sahetapi (2009, 65) merasa
heran
mengapa
formulasi
yang
terkandung
dalam
KUHAP
tidak
mencamtumkan sanksi kepada penegak hukum yang menyimpang? Atau pada sat penyusunan KUHAP itu dengan sengaja tidak memasukkan kemungkinan adanya pelanggaran KUHAP oleh aparat penegak Hukum? atau para legislator itu menyusun KUHAP dengan asumsi bahwa para penegak hukum pasti tidak akan pernah melanggar KUHAP? Padahal kita tahu bahwa diformulasikannya KUHAP itu dengan memiliki dua tujuan. Di satu sisi, untuk melindungi kepentingan tersangka dan terdakwa dari pelanggaran HAM, pada sisi yang lain untuk memberikan suatu panduan
180
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
(rule of the game) mulai dari kepolisian, kejaksaan, KPKP, Hakim dan aparat penegak hukum lainnya harus tunduk pada aturan main tersebut. Karena itu, berkait dengan Friedman yang dikutip Sahetapy (2007, 66) mengatakan bahwa ―The subtantive law of crimes is intended to control the behavior of people who wilfully injure persons or property., or engage in behavior eventually having such concequence... criminal procedure, by contrast, is intended to control authorities not criminals. Jadi KUHAP sebagai bentuk criminal procedures, pada substansinya harus lebih pada pengontrolan terhadap para aparat penegak hukum yang melanggar KUHAP (abuse of power and authority) dan bukan di titik beratkan kepada perlindungan kepada tersangka atau terdakwanya dari pelanggaran HAM. Dengan demikian, sudah menjadi keniscayaan para aparat hukum juga dapat memperoleh sanksi manakala melanggar prosedur acara pemeriksaan yang tertuang dalam KUHAP. Hilangnya sangsi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penegak hukum agak sulit dijawab karena notulen hasil pembahasan rapat-rapat proses legislasi DPR (notulen/memorie vantoelichting) saat dibuatnya KUHAP itu sulit untuk didapatkan. Jika kita dapat melihat, mempelajari dan menyerap apa yang menjadi perdebatan pada saat itu, tmaka kita akan bisa memperoleh jawaban secara pasti mengapa sanksi kepada aparat nakal yang mempermainkan dan melecehkan KUHAP serta memperjualbelikan perkara itu tidak terdapat dalam KUHAP. KUHAP merupakan produk hukum yang dibuat sendiri oleh anak bangsa, dan ditetapkan sebagai Undangundang pada tahun 1981. Kembali pada realitas yang memungkinkan adanya fabricated witnessing, Herbert L. Pekcer membangun dua model yang dapat digunakan untuk melihat apak proses pencarian bukti pidana dilakukan secara objektif. Dua model itu adalah ―Crime Control Model‖ dan ―Due Process Model‖. Crime control model artinya adalah,
181
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
kehadiran seorang advokat dalam proses penyidikan mutlak ada, karena pada tahap ini yang diperlukan adalah masalah perolehan fakta-fakta tindak pidana (factual-guilt) yang diperoleh tersebut telah dilakukan penyidik dengan cara-cara yang tidak melanggar HAM, Pada due process model adalah untuk memastikan apakah proses penyelidikan yang prosesinya telah sesuai dengan aturan KUHAP. Kehadiran dan kesaksian advokat yang mendampingi tersangka akan dapat memastikan apakah proses penyidikan yang dilakukan itu telah sesuai dengan due crime model dan due process model. Kesaksian itu berperan penting pada saat proses pemeriksaan di pengadilan (cross examination) karena jika pelanggaran dua model itu dinyakan oleh advokat pada saat pemeriksaan di persidangan, maka Dakwaan JPU dapat batal demi hukum. Pada kasus Bahri, pelanggaran juga terjadi atas due process of law. Dengan adanya pelanggaran itu kemudian di lakukan tuntutan pra-peradilan oleh para advokat yang mendampingi Syamsul Bahri ke Pengadilan Negeri Kepanjen. Contoh lain atas pelanggaran due process of law ini juga dapat kita lihat pada kasus penangkapan kepada Susno Duadji (Mantan Kabareskrim Polri) yang menjadi whistle-blower kasus Gayus Tambunan. Dengan adanya pelanggaran atas due process of law itu kemudian para advokat pendamping/pembela Susno Duadji melakukan tuntutan pra-peradilan. Crime control model dan due process model dapat didayagunakan untuk ―check point‖ apakah proses pencarian bukti telah dilaksanakan sesuai aturan-aturan hukum yang berlaku secara benar dan dengan semestinya. Inilah tantangan bagi Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Lembaga penegak hukum lainnya dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi forensik yang merupakan bukti tindak pidana korupsi, di mana alat bukti dan barang bukti yang dikumpulkan harus senantiasa berbasiskan ―due process of law‖. Karena itu elaborasi pendayagunaan
182
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ilmu psikologi dan intuisi semakin patut untuk dipertimbangkan pelaksanaan dalam mencari dan menemukan visum akuntansi forensik as a support for a litigation.
5.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi Keterangan saksi itu akan dapat berupa suatu keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖ dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Berbasis visum akuntansi forensik level penyelidikan, Kejaksaan Negeri Kepanjen memanggil saksi-saksi yang terkait dengan perkara PGM Kigumas. Saksisaksi yang dipanggil antara lain: (1) Soedjito dari LPM UB dengan surat panggilan Nomor: SP-18/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 15 Mei 2006 (2) Talahatu selaku Kepala Dinas Perkebunan dengan surat panggilan Nomor: SP-40/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 24 Juli 2006. (3) Istadi selaku Direktur PT. PGM Kigumas dengan surat panggilan Nomor: SP-88/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 10 Januari 2007. (4) Sujud Pribadi,
selaku
Bupati
2357/0.5.43/Fd.1/10/2006
Malang tertanggal
dengan 11
surat
Oktober
panggilan
2007,
(5)
Nomor:
SP-
Widjonarko
Kasi
Pengolahan Hasil dan Pemasaran Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemda Kabupaten Malang dengan surat panggilan Nomor: SP-107/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 22 Oktober 2007 hingga berjumlah 26 orang. Pemanggilan terhadap tersangka Bahri dilakukan dengan surat panggilan Nomor: SP-76/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 18 September 2006. Keterangan dari saksi-saksi (dan menjadi alat bukti keterangan saksi) oleh penyidik diberkas dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Beberapa keterangan saksi yang penting dapat saya uraikan sebagai berikut, misalnya adalah resume keterangan
183
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dari saksi Widjonarko yang tercantum dalam Dakwaan JPU yang menyakan sebagai berikut:: ―Bahwa PG Kigumas dinyatakan selesai pekerjaan fisik 100% pada tanggal 23 September 2003. Bahwa Kigumas dinyatakan berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) sejak tanggal 10 Desember 2003 berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2003 Tanggal 8 September 2003 dengan pengesahan Badan Hukum PT Kigumas oleh Menteri Kehakiman dan Ham pada tanggal 15 Juli 2004 Bahwa setelah membaca PP 105 tahun 2000 dan Kepmendagri No, 29 Tahun 2002 maka Kegiatan Kimbun berbasis tebu tahun 2004 dan kegiatan yang dilaksanakan dalam DASK 2004 bersifat bangunan sipil yang dikerjakan PT. Sumber Sarana Mitra Sejati dan penyempurnaan alat mesin yang dikerjakan CV. Teknika Utama serta membayar uang jasa konsultan pengawas kepala LPM UB adalah tidak dibenarkan Bahwa tidak dibenarkan kegiatan dalam tahun 2003 yang telah dilaksanakan oleh PT Sumber Sarana Mitra Sejati dan LPM UB dibayarkan dengan dana Kimbun APBD Tahun 2004 dengan alasan pre-financing karena tidak diatur dalam Keppres 80 Tahun 2003 Maupun Keppres 18 Tahun 2000 serta bertentangan dengan sistem penganggaran berbasis kinerja. Bahwa dana Kimbun berbasis Tebu tahun 2004 yang dilakukan pergeseran anggaran menjadi kegiatan Kigumas yang telah berbadan Hukum PT tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan pasal 28 ayat (3) dan ayat (5) UU No 17 Tahun 2004 Tentang Keuangan Negara.
Demikian juga, sebagian keterangan yang diberikan oleh saksi Salamena yang menerangkan kesaksiannya sebagai berikut: “Bahwa sesuai dengan SPM Nomor:515/DAU/2004 tanggal 3 Maret 2004 untuk biaya jasa konsultan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pada kegiatan PG Kigumas Rp.645.987.000 kepada LPM UB dimana uang tersebut ditransfer ke rekening Bank Jatim Cabang Malang Nomor: 004/023222 atas nama Bahri, MS Bahwa pencairan dana Kimbun sesuai Surat Perintah Membayar (SPM) yang terbit melalui bagian keuangan Sekda Pemkab Malang sebanyak 12 SPM … dengan total Rp.2.915.522.600 dicairkan di Kantor Kasda Pemkab Malang Jl, Merdeka Timur No. 12 Malang, yaitu lima kali di masa Freddy Talahatu dan tujuh kali pada masa Hendro Soesanto Bahwa tidak ada persetujuan DPRD terhadap perubahan kegiatan proyek Kimbun menjadi Kigumas… Bahwa perubahan kegiatan proyek kimbun menjadi Kigumas tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Kep.Mendagri 29/2002 Pasal 55 ayat 2) maka hal tersebut tidak dibenarkan
184
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bahwa mengingat Kigumas telah berbadan hukum sejak 10 Desember 2003, maka sesuai undang-undang yang berlaku bahwa ajuan kebutuhan apapun untuk PT Kigumas agar dapat dibiayai oleh APBD itu tidak dapat dibenarkan.
Keterangan yang didapat dari Sujud selaku Bupati Malang yang juga merupakan penandatangan addendum kontrak nomor 05 dan 06 di depan penyidik antara lain sebagai berikut: Bahwa berdasarkan DASK awal dan DASK perubahan TA 2004 di Dinas Perkebunan Kab Malang tidak ada anggaran untuk Kigumas, yang ada adalah dana pembinaan untuk Kimbun.
Dari hasil tiga orang yang memberikan keterangan di depan penyidik itu dan juga berdasakan keterangan-keterangan saksi lainnya, penyidik memiliki keyakinan kuat dan kemudian dapat mengambil simpulan bahwa pembayaran atas pekerjaan dari addendum 05 dan 06 kepada Bahri selaku ketua LPM UB dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Karena perbuatan yang dilakukan Bahri tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi yakni perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi serta merugikan keuangan Negara. Namun, simpulan itu dibantah oleh Bahri dalam pledoi-nya bahwa pelaksanaan pekerjaan tersebut terjadi karena adanya pekerjaan penyempurnaan pabrikasi dan bangunan sipil, yang berarti juga menjadi sebuah kemestian atas adanya perubahan atau penyempurnaan dan penambahan desain pabrikasi bangunan sipil yang terdiri dari 17 item pabrikasi dan 22 item bangunan sipil. Karena itu, Bahri menjustifikasi perbuatannya itu dengan mengutip Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kepres 18 Tahun 2000 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah sebagai berikut: “addendum kontrak adalah ketentuan mengenai perubahan kontrak yang dapat terjadi karena: (1) perubahan pekerjaan yang disebabkan oleh suatu hal yang dilakukan oleh pihak lain dalam kontrak sehingga merubah lingkup pekerjaan dalam kontrak, (2) perubahan jadual pelaksanaan pekerjaan akibat pekerjaan dan perubahan pekerjaan/pesanan…
185
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Jadi, menurut Bahri, simpulan dan kemudian menjadi tuduhan bahwa LPM UB melaksanakan pekerjaan fiktif itu merupakan bentuk ketidakcermatan, dan bentuk kecerobohan yang hanya mendasarkan pada analisis belaka. Mestinya yang diungkap BPKP adalah fakta dan data, dan bukan simpulan berupa tuduhan fiktif. Justifikasi lain yang dikemukakan Bahri bahwa pekerjaan itu tidak fiktif adalah bahwa berdasarkan laporan Tim yang diketuai oleh Sudjito dan Bisri serta saksi-saksi lain mengatakan bahwa (1) kontrak dilakukan secara bertahap, artinya dalam kontrak mengandung unsur hak dan kewajiban, (2) desain awal tahun 2001 hanya merupakan desain untuk menghitung investasi yang disesuaikan dengan pagu anggaran pemerintah
Kabupaten
Malang,
(3)
desain
yang
dibuat
konsultan,
dengan
pelaksanaannya yang dilakukan kontraktor tahun 2003 baik mesin maupun sipil dilaksanakan secara paralel, (4) tugas pekerjaan pengawas berbeda dengan tugas desain, dan (5) pekerjaan desain sudah disepakati oleh kedua belah pihak dalam addendum Nomor: 05 dan 06, Bahri menambahkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa berdasarkan kesaksian dan barang bukti yang disampaikan Widjiastuti (pemegang Kas Uang Muka Kerja/Bendahara LPM UB) pada tahun 2003 total kontrak antara LPM UB dengan Pemkab Malang senilai Rp.948.859.800, dibayar di tahun 2003 sebesar Rp.43.172.800 yang kemudian dipergunakan untuk membayar pekerjaan konsultan bangunan sipil dan yang
sebesar
Rp.259.700.000
untuk
membayar
pekerjaan
konsultan
dan
pabrikasi/mesin. Kekurangan pembayaran Rp.645.987.000 dilunasi pada tahun 2004 sesuai dengan addendum Nomor 05 dan 06 tahun 2003. Dengan demikian, pekerjaan pengawasan telah dilaksanakan sejak tanggal 20 Januari 2003 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2003. Jadi, tuduhan pekerjaan fiktif itu sangat mengada-ada, berlebihan dan mengusik rasa keadilan.
186
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwa persoalan utama dalam perkara Syamsul adalah, pada satu sisi yakni pada sudut pandang Jaksa Penuntut Umum pekerjaan LPM UB adalah fiktif dan atas pekerjaan fiktif itu kemudian dibayar oleh Pemda Kabupaten Malang. Pada sisi yang lain yakni dalam pandangan Bahri, pekerjaan itu riil dan telah dikerjakan serta layak dan wajib untuk dibayar Pemda Kabupaten Malang. Sumber bukti pekerjaan itu fiktif adalah dari Hasil Laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat BPKP Perwakilan Jawa Timur. Sedangkan salah satu sumber utama bahan bukti perbuatan melawan hukum adalah addendum kontrak 05 dan 06 tersebut Jadi, dari uraian sebelumnya dapat saya tarik simpulan bahwa peranan laporan perhitungan kerugian keuangan negara yang isinya sarat dengan angka-angka dan pengetahuan akuntansi serta kepiawaian auditor, ternyata menjadi titik sentral dalam tindak pidana korupsi. Laporan BPKP itulah yang menjadikan Bahri harus mendekam tidak kurang dari 41 (empat puluh satu) hari di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru dan 60 (enam puluh) hari menjadi tahanan kota. Tentang bagaimana teknik dan taktik penyidik untuk memperoleh keterangan dari para saksi, cara KPK untuk menghindarkan dari tindakan violence and/or torture dan akan senantiasa bekerja sesuai dengan due process of law, adalah dengan membangun beberapa teknik interview dan interogasi yang baru. Teknik KPK seperti yang dikatakan Fauzi – Advokat yang sering mendampingi tersangka dalam penyidikan di KPK tergantar sebagai berikut : “Untuk membantu penyidik yang melakukan tugas penyidikan adalah dengan cara menghubungkan ruang penyidikan dengan ruang lain, di mana ruang lain itu akan dapat memantau jalannya penyidikan. Mereka akan memandu dan mengarahkan petugas penyidik pada butir-butir interogasi yang lebih tajam dan menukik pada persoalan fundamental. Karena, bisa jadi petugas penyidik kurang menguasai semua permasalahan secara mendetail. Dengan demikian akan diperoleh alat bukti yang kuat dan komprehensif. Komputer yang digunakan penyidik untuk melakukan pengetikan „pertanyaan dan jawaban‟ dalam rangka menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dihubungkan
187
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dengan ruang lain tersebut. Manakala pertanyaan petugas penyidik menyimpang dan/atau kurang fokus, maka mereka yang berada dalam ruang lain tersebut akan mengirim pertanyaan-pertanyaan via komputer untuk mengarahkan petugas penyidik pada pertanyaan yang tajam, menukik dan menjurus pada substansi perkara yang sedang disidik tersebut.”
Cara KPK itu sangat efektif karena tidak semua penyidik mengusai pengetahuan dan pengalaman atas detail perkara yang ditanganinya. Cara yang sama seperti KPK itu juga dapat kita saksikan di acara ‗Bukan Empat mata‘ di acara yang ditayangkan Trans-7. Dalam acara yang dipandu oleh Tukhul itu sering melontaran kalimat ‗kembali ke laptop‘. Pertanyaan-pertanyaan itu bisa terlontar dengan baik dari Thukul karena host memperoleh panduan yang dibuat oleh tim yang tidak tampak. Tim itu bergerak di belakang layar yang sering disebut oleh si Thukul dengan panggilan ―TIA… TIA..‖.
5.2.2. Alat Bukti Keterangan Ahli Seperti yang telah saya uraikan pada bab terdahulu, keterangan ahli (expert testimonium) adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat terang dan jelasnya suatu perkara. Pemberi keterangan adalah seseorang yang mempunyai ‖keahlian khusus‖ yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Seorang ahli adalah seseorang yang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu,dimana orang tersebut mengetahui suatu bidang ilmu pengetahuan secara khusus, mendalam dan komprehensif. Dalam kapasitas sebagai orang yang diminta keterangan ahli untuk di BAP, Koenta di depan penyidik Qohar pada tanggal 12 April 2006 pada sebagian keterangannya mengatakan sebagai berikut:
188
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Bahwa saksi melakukan audit terhadap investasi Pemkab Malang pada Kigumas untuk periode 2001 sampai dengan 2003 (cut-off). audit dimulai pada tanggal 9 Juni 2003 sampai dengan 24 Juni 2003 Bahwa terdapat pekerjaan yang belum ada perikatannya. Bahwa terdapat pengalihan pekerjaan tambah kurang yang tidak didukung dokumen perubahan kontrak (CCO – contract change order). Bahwa terdapat pekerjaan yang belum ada perikatannya itu berupa pekerjaan sipil 22 item (60,1%) dengan nilai Rp.2,925.005.040 dan pekerjaan engine 12 item (73,87 %) dengan nilai Rp.5.603.637.600 dengan total Rp.8.528.642.640 Bahwa Investasi pemkab Malang tahun 2001 sampai dengan 13 Juni 2003 untuk pembangunan PGM Kigumas totalnya adalah Rp.19.856.865.000. Saat melakukan audit, auditor menemukan pengajuan PAK yang diperuntukkan sebagai tambahan dana kegiatan Kigumas sebesar Rp.10.382.838.562. Dalam jumlah tersebut terdapat pengajuan biaya bagi konsultan LPM UB sebesar Rp.645.987.423. Angka itu didapat dari Lampiran III/INo:10/ATS.GA.10/240603/S/2003 dalam Pengajuan PAK Dinas Perkebunan Kabupaten Malang tahun 2003.
Demikian juga, keterangan ahli dari Sugatario menerangkan mengenai perkara ini sebagai berikut: Bahwa gambar rencana pembangunan pabrik gula mini Kigumas (rencana awal) telah memuat secara lengkap/keseluruhan rencana bangunan pabrik, termasuk gambar detil pekerjaan tambahan (addendum Nomor 4 tanggal 6 Agustus 2003) sehingga tidak perlu lagi ada pekerjaan penyempurnaan perencanaan konsultan. Bahwa adanya pekerjaan penyempurnaan fiktif yang dilakukan oleh Bahri selaku Ketua LPM UB sebagai konsultan perencana dan pengawas PG Kigumas sehingga menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp.489.334.493 merupakan pelanggaran pidana..
Dengan memperhatikan dua keterangan ahli tersebut di atas, penyidik dapat menyimpulkan bahwa eksistensi tindak pidan korupsi telah nyata-nyata ada., dan karenanya Bahri layak untuk ditetapkan sebagai tersangka. Namun, bagi Bahri penetapan dirinya sebagai tersangka adalah tidak logis. Bantahan Bahri itu diperkuat dengan kesaksian ahli Keuangan Daerah yakni dari Khusaini. Khusaeni menerangkan bahwa yang berhak melakukan pengeluaran atas beban APBD adalah Pemerintah Daerah yang diwakili Kepala Satuan Kerja Daeah (KSKD). Demikian juga yang
189
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
bertanggung jawab adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Malang atau Kepala Satuan Kerja Daerah yang bersangkutan sesuai dengan kegiatan unitnya. Konsultan tidak mau tahu uang berasal dari mana, tetapi hak konsultan harus dibayar. Di samping itu, Bahri menolak mentah-mentah atas pernyataan bahwa pekerjaan LPM UB tersebut fiktif. Bahri membantah mati-matian bahwa pekerjaan penyempurnaan (tambahan dan perubahan) desain mesin dan sipil 2003 dengan pelaksanaan pembangunan fisiknya berjalan secara parallel. Pekerjaan itu juga melalui diskusi-diskusi setiap hari Jum‘at yang dihadiri Tim LPM UB, kontraktor mesin dan sipil, Disbun termasuk Kadisbun. Oleh sebab itu tidak semua formalitas terpenuhi, namun sebagian formalitas terpenuhi terutama desain bangunan sipil. Keadaan itu, menurut Syamsul Bahri, membuktikan bahwa owner (pemkab Malang) setuju dengan kondisi itu. Sebab jika owner menghendaki formalitas sudah pasti owner akan meminta formalitasnya dipenuhi. Pada dasarnya, formalitas merupakan aspek kelengkapan administrasi belaka dan tidak menentukan sah atau tidak benarnya isi yang terdapat dalam gambar-gambar tersebut. Selanjutnya, masih menurut Bahri bahwa hubungan hukum antara owner dengan konsultan (Tim LPM UB) dan kontraktor adalah hubungan perdata. Suatu pertjanjian kerja akan selalu mengedepankan dan mendasarkan pada kesepakatan. Kesepakatan
itulah
yang
paling
menonjol
dalam
pelaksanaan
pekerjaan
penyempurnaan (tambahan dan penyempurnaan) desain 2003. Dalam kesepakatan itu, juga terdapat kata
sepakat
atas
pelaksanaan pembangunan fisik
sekaligus
pengawasan lapangan yang berlan secara paralel. Semua kesepakatan itu disadari dan dikehendaki oleh owner dalam rapat-rapat yang dilakukan pada setiap hari Jum‘at. Dengan demikian, pada satu sisi penyidik yakin bahwa Bahri layak untuk dijadikan tersangka, sedangkan pada sisi lain, Bahri yakin bahwa tidak ada pekerjaan
190
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
fiktif dan semua pekerjaan dilakukan atas sepengetahuan dan persetujuan dari owner (Pemkab Malang – Disbun). Perbedaan cara pandang atas realitas dan fenomena seperti ini, senantiasa muncul dalam setiap kasus tindak pidana korupsi. Perbedaan tafsir, persepsi dan cara melihat atas fakta-fakta yang terjadi akan membuat seseorang dapat divonis guilty or not guilty Kembali pada keterangan ahli, pada dasarnya keterangan ahli dihadirkan dalam persidangan tidak mutlak dipedomani oleh hakim dalam pengambilan putusan hukumnya. Ketidakmutlakan memedomani keterangan ahli itu dapat kita lihat pada kalimat Majelis Hakim perkara Bahri sebagai berikut: ―Karena saksi-saksi ahli diajukan ke persidangan demi kepntingan penuntutan dari penuntut umum maupun untuk kepentingan pembelaan terdakwa dan bukan atas permintaan Majelis Hakim, maka segala pendapat para saksi ahli terhadap peraturan perundang-undangan bersifat Novum Notoir tidak mutlak dipedomani oleh hakim (huruf tebal dan garis bawah tambahan dari saya) baik secara yuridis maupun teori hukum, hakim diberi wewenang melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap kata atau rumusan undang-undang. Demikian halnya dengan pendapat yang diberikan saksi-saksi biasa baik yang bersifat memberatkan (a-charge) maupun saksi yang meringankan (adecharge) dan hakim akan menetukan pendapatnya sendiri tentang suatu peristiwa atau keadaan tertentu sesuai fakta yang terungkap di persidangan.. (Putusan perkara pidana No: 330/Pid.B/2007/PN.MLG, hal 129)
Dengan demikian, apabila seorang ahli memberikan keterangan di depan sidang pengadilan pidana, belum tentu keterangan ahlinya itu dielaborasi hakim untuk dijadikan pertimbangan dalam putusan hukumnya. Karena itu subjektivtas hakim sangat tinggi dalam mempertimbangkan apakah keterangan ahli yang didatangkan baik oleh advokat, terdakwa atau JPU di pengadilan akan dipertimbangkan sebagai dasar pertimbangan.
191
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
5.2.3. Alat Bukti Surat Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni surat tersebut harus dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah. Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis seperti: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, Laporan Hasil Audit Investigatif, Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Alat bukti surat yang menyeret Bahri adalah laporan hasil perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) yang dibuat BPKP Perwakilan Jawa Timur. Sebagian Laporan BPKP tersebut dapat dilihat pada kotak 5.2. Dengan alat bukti surat tersebut dan alat bukti keterangan saksi, penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen kemudian menyimpulkan bahwa Bahri telah dapat ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan PG Kigumas. Penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti dari lima macam alat bukti. Dengan demikian, kriteria penetapan Bahri sebagai tersangka telah terpenuhi.
192
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 5.2. DAKWAAN ATAS NAMA TERSANGKA PROF.DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI.,MS Nomor Perkara:PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007
Dari hasil audit investigatif yang telah kami lakukan untuk menghitung kerugian Negara dari penyalahgunaan kegiatan kimbun berbasis Tebu TA 2004 di Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten Malang dari realisasi Rp.3.023.587.647 terdapat kerugian Negara sebesar Rp.1.180.210.082,41 (satu milyar seratus delapan puluh juta dua ratus sepuluh ribu delapan puluh dua rupiah empat puluh sen) dengan rincian sebagai berikut: I.
II.
Masa Ir. HENDRO SOESANTO, MM BOP Rp.196.925.650 Belanja Modal Rp.109.851.950 Total Rp.306.777.600 Masa Ir. FREDDY TALAHATU BOP Rp.613.801.993 Belanja Modal Rp.259.630.489,41 Total Rp.873.432.482,41
Bahwa akibat penyalahgunaan kegiatan Kimbun berbasis Tebu TA 2004 di Dinas Peertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang yang dilakukan Tersangka (Prof.Dr. Ir. Syamsul Bahri MS mengakibatkan kerugian keuangan Negara dengan rincian: Biaya jasa tenaga kerja non pegawai Rp.498.334.493 yang merupakan nilai pekerjaan fiktif kepada LPM UB dari total nilai 645.987.000 Rincian pembayaran yang fiktif kepada LPM UB tersebut adalah: (1) nilai addendum kontrak Nomor 05 Tahun 2003 (2) nilai addendum kontrak Nomor 06 Tahun 2003 Jumlah dibulatkan Dikurangi pekerjaan yang dilaksanakan: (1) Addendum Nomor 05 Tahun 2003 (2) Addendum Nomor 06 Tahun 2003 Total nilai pekerjaan yang dilaksanakan
Rp 380.047.250 Rp.265.939.850 Rp.645.987.000 Rp.143,700.667 Rp. 12.951.840 Rp.156.652.507
Bahwa kontrak yang menggunakan pola pendanaan pre-financing dalam kegiatan Kimbun berbasis tebu tersebut tidak dapat dibenarkan karena melanggar pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003. Bahwa pembayaran kepada Prof.Dr. Ir. H. Syamsul Bahri.,MS (Ketua LPM UB) selaku konsultan perencana dan pengawas pada PG Kigumas TA 2003 dengan menggunakan anggaran Kimbun berbasis tebu TA 2004 (pola pre-financing) tidak dapat dibenarkan karena dana yang tercantum dalam DASK Tahun 2004 dengan pendanaan pola pre-financing direkayasa supaya uang Negara dapat dibayarkan dimana bertentangan dengan pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003. Sumber: Berkas Dakwaan,Nomor Perkara:PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007,tertanggal 31 Oktober 2007 .
.
Selaras dengan bagiamana memastikan penghitungan kerugian keuangan Negara (PKPN), Pada Instansi KPK pun masih terdapat perbedaan pandangan
193
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
mengenai akurasi PKKN tersebut
Direktur Penyidikan KPK, Bambang Herman
mengatakan sebagai Berikut : “Dalam soal kerugian keuangan negara, kadang kita berbeda pendapat dengan Direktur Penyelidikan. Dalam suatu kasus, buat kami gambaran kerugian Negara itu telah nampak nyata, namun bagi Direktur Penyelidikan, gambar kerugian Negara itu masing remang-remang, dan karenanya masih perlu dilakukan penguatan-penguatan dan pendalaman-pendalaman lebih lanjut.”
Ungkapan di atas menyiratkan bahwa memastikan angka kerugian negara mengandung kompleksitas dan dimensi relativitas. Hasil PKKN akan sangat tergantung pada data, fakta, asumsi, prinsip yang dianut dan dipilih. Dengan demikian, boleh jadi hasil perhitungan kerugian keuangan negara pada suatu kasus korupsi dengan kasus lainnya boleh jadi hasilnya bisa berbeda. Berkaitan dengan hal di atas, Suyatna Sunu Soebrata, saat sidang kasus Rustam Efendy Sidabutar mengatakan dalam keterangan ahlinya sebagai berikut: ”Prosedur untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara akan dilakukan audit investigasi. Pemeriksaan akan meliputi seluruh kegiatan dalam suatu instansi dengan tujuan untuk mengidentifikasi bagian mana yang terjadi penyimpangan dan siapa pejabat yang terkait dan bertanggungjawab terhadap penyimpangan tersebut. Bilamana terdapat indikasi penyimpangan maka dilakukan akan dilakukan penghitungan kerugian keuangan Negara... yang membuat laporan perhitungan kerugian negara adalah instansi penyidik itu sendiri dan tim auditor investigatif hanya membuat perhitungan dan disampaikan kepada instansi penyidik... kualifikasi persyaratan seorang auditor untuk menghitung kerugian negara yaitu auditor yang mempunyai keahlian auditing dan accounting. Auditor menghitung berdasarkan dokumen yang diterima dari penyidik dan hanya disampaikan ke penyidik dan hasilnya juga bukan tanggung jawab auditor yang menghitung”
Penghitungan kerugian keuangan negara akan mengandung kelemahan, kalau kerugian itu berkaitan dengan penghitungan atas asset/properti. Auditor akan mudah menghitung besarnya angka kerugian keuangan negara manakala yang dihitungnya berkaitan dengan aliran uang kas (cash flow) semata, karena keahlian auditor adalah di bidang akuntansi dan keuangan. Untuk kerugian yang berkaitan dengan nilai assets,
194
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
di mana auditor investigatif tidak memiliki kompetensi, maka hasil perhitungannya akan menjadi problematik. Hasil PKKN akan menjadi tidak akan problematik, kalau auditor investigatif dapat melibatkan appraisal/valuer independen (KJPP). Karena appraisal-lah yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian asset/property atau penilaian bisnis (corporate). Relativitas ―nilai‖
itu dinyatakan dalam International Valuation Standards
Committee (2005, 71) sebagai berikut: ―At the most fundamental level, value is created and sustained by the interrelationship of four factors that are associated with any product, service, or commodity. These are utility, scarcity, desire, and purchasing power.”
Konsep nilai merepresentasikan sebuah harga yang paling mungkin untuk disepakati baik oleh para pembeli dan penjual atas suatu barang atau jasa yang tersedia untuk diperjualbelikan. Nilai juga harus mencerminkan harga hipotesis (dugaan) yang paling mungkin untuk disepakati. Karena itu nilai berbeda dengan harga. Dengan demikian, nilai bukanlah suatu fakta, melainkan hanya sebuah estimasi harga yang paling mungkin dibayar atas suatu barang atau jasa yang tersedia untuk diperjualbelikan pada periode tertentu, dan waktu tertentu. Lalu bagaimanakah cara kerja prinsip demand and supply dalam keempat faktor utama pembentuk nilai itu. International Valuation Standards Committee (2005, 75) menyatakan sebagai berikut: “The working of economic principle of supply and demand reflects the complex interaction of four factors of value. The supply of good or service is affected by its utility and desirability. The availability of the good or service is limited by its scarcity and effective checks on the purchasing power of likely consumers. The demand for a good or service is, likewise, created by its utility, influence by its scarcity and desirability and restrained by limits on purchasing power. The utility for which a good or service is produced and the scarcity, or limited availability, of the good or service are generally considered supply-related factors. Consumers preferences power, which reflect desire for the good or service and define the affordability of the item, are generally considered demand-related factors.”
195
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
5.2.4. Alat Bukti Petunjuk Seperti yang telah saya uraikan pada bab terdahulu, bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Penilaian atas kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan dilakukan hakim dengan cara mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dengan demikian, hakekat fundamental alat bukti petunjuk ini adalah identik dengan ―pengamatan hakim‖ karena pada akhirnya penilaian atas kekuatan pembuktian akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan kearifan hakim. Pengamatan itu akan dilakukan hakim pada saat berlangsungnya persidangan. Bukti petunjuk ini diambil dari cara menyimpulkan yang hanya dapat ditarik atas keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Bukti petunjuk ini diperlukan jika alat bukti lain belum mencukupi batas minimum pembuktian (Mulyadi, 2007, 239). Pada praktiknya, penerapan atas eksistensi alat bukti petunjuk ini tidak mudah, komplek dan rumit. Peranan alat bukti petunjuk ini sangat penting karena jika bukti ini diabaikan oleh judex factie (Hakim pengadilan tingkat pertama dan banding) bisa saja putusan hukumnya akan dibatalakan oleh judex jurist (Hakim Mahkamah Agung). Alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat seperti dalam putusan Majelis Hakim atas perkara Bahri (lihat Putusan Majelis Hakim pada halaman 154 dan 159) sebagai berikut: “Menimbang bahwa setelah Majelis Hakim melakukan pemeriksaan terhadap pabrik Gula Kigumas dan kemudian dihubungkan dengan alat bukti surat dan keterangan saksi, ternyata terdapat peningkatan pekerjaan fisik baik bangunan sipil maupun mesin, terdapat pembangunan sarana pendukung lainnya yang tidak ada dalam perjanjian awal (garis bawah dan huruf tebal dari saya).
196
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Menimbang bahwa terhadap penyempurnaan perencanaan yang dilaksanakan oleh LPM UB tersebut karena tidak ada ikatan kontrak, maka telah dibuat addendum Nomor 05 dan 06, sehingga dari bukti-bukti tersebut telah membuktikan bahwa pekerjaan Pabrik Gula Mini (PGM) Kawasan Industri Gula masyarakat (Kigumas) yang merupakan suatu hasil rekayasa teknologi … telah terbukti adanya, (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sehingga menurut Majelis Hakim tidaklah mungkin pembangunan pabrik gula yang demikian itu dilakukan tanpa perencanaan (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sebagaimana dimaksud dalam addendum Nomor 05 dan 06 tersebut. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pekerjaan penyempurnaan perencanaan telah terbukti adanya, dengan kata lain tidak ada pekerjaan penyempurnaan yang fiktif (garis bawah dan huruf tebal dari saya) yang dilakukan oleh konsultan perencana, dalam hal ini adalah LPM UB, sehingga dengan demikian pembayaran yang diterima… adalah merupakan haknya atas pekerjaan yang telah dilakukannya oleh karena itu perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sebagai bentuk perbuatan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Dengan perrtimbangan-pertimbangan yang dibuat Majelis Hakim seperti yang saya kutip di atas, maka menjadi sangat beralasan bahwasanya Bahri kemudian dibebaskan dari segala tuntutan. Bunyi putusan itu dapat kita lihat pada kotak 6.3. Di samping itu, perkara Santoso – mantan Sekda Kabupaten Malang yang masih berkait erat dengan kasus Bahri – yakni perkara PG Kigumas, dalam salah satu pertimbangan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malang menyatakan bahwa terhadap Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tentang terdakwa menguntungkan konsultan perencana dan pengawasan pembangunan PG Kigumas yaitu Bahri selaku Ketua LPM UB sebesar Rp.489.334.493, karena proses penganggaran dan pencairan anggaran bukan merupakan tanggung jawab terdakwa, tetapi hal itu merupakan pelaksanaan dari produk hukum yaitu Perda No. 1 Tahun 2004 dimana Perda dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sesuai UU No. 10 Tahun 12004 diakui sebagai produk legislasi daerah yang sah, dan sepanjang Perda tersebut tidak pernah ditolak oleh Gubernur maka Perda tersebut berlaku sah dan mengikat sehingga pelaksanaan pencairan anggaran sesuai dengan Perda tersebut tidak dapat
197
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum baik secara pidana, perdata maupun penyalahgunaan wewenangan secara administratif (de Tournament de Pouvoir) Lebih lanjut, dari fakta yang terungkap di persidangan kasus Achmad Santoso yang berkaitan dengan kasus Bahri, bahwa perhitungan kerugian keuangan Negara yang dibuat oleh BPKP ternyata tidak akurat. Ketidakakuratan perhitungan itu terungkap melalui keterangan ahli dari BPKP Propinsi Jawa Timur sendiri, bahwa yang diserahi tanggung jawab menghitung untuk bangunan sipil PG Kigumas adalah Yudhi Hindarto. Hasil perhitungan itulah kemudian dijadikan dasar dan acuan oleh BPKP untuk menghitung kerugian Negara. Ternyata dalam menghitung kembali atas 13 item bangunan sipil PG Kigumas tersebut Hindarto telah menggunakan harga satuan yang berbeda dengan harga menurut kontrak maupun harga menurut SK Bupati. Dengan demikian, ketidakakuratan perhitungan yang dilakukan oleh Hindarto tentu berakibat pula pada ketidakakuratan perhitungan yang dibuat oleh BPKP. Semua keterangan itu terungkap dalam persidangan atas nama terdakwa Santoso mantan Sekda Malang Selanjutnya, hakim kemudian melakukan penelitian ulang terhadap hasil kerja Yudhi Hindarto, ternyata dari hasil penelitian Majelis Hakim itu ditemukan kesalahankesalahan dalam lembaran kerja Hindarto sebagai berikut: Kesalahan pertama Hindarto adalah pada Item pekerjaan lantai/keramik: 1). Pemasangan keramik 30/30 2), KM + Tempat Wudhu 20/20 lantai . 3) KM + Tempat wudhu 20/25 Di jumlah oleh Yudhi seharusnya jumlah yang benar adalah
Rp.7.324.875; Rp. 606.665; Rp.2.682.120 Rp.7.324.875. Rp10.793650
Kesalahan kedua dari Hindarto adalah pada item pekerjaan lalin-lain yang terdapat 22 item yang penjumlahannya tertulis Rp.1.953.800 padahal yang seharusnya adalah Rp.4.005.297,65. Kesalahan ketiga pada item pekerjaan lantai/keramik terjumlahkan Rp.1.039.980 padahal yang benar Rp.2.998.743,38. Dan keslahan yang
198
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
keempat adalah pekerjaan pasangan terdapat jumlah Rp.1.189.013,50 padahal perhitungan yang benar adalah Rp.16.388.577,50. Di samping perhitungan yang salah tersebut, menurut Majelis Hakim, perhitungan Hindarto juga cacad. Cacat hukum itu dikarenakan perhitungan yang dilakukan Hindarto tidak berpedoman pada item pekerjaan yang telah dilakukan berdasarkan kontrak yang hasil akhirnya terlihat dalam as build drawing. Dalam as build drawing yang ditunjukkan di pengadilan, ternyata as build drawing yang terlihat hanya gambarnya tetapi penanda tangan as build drawing tidak ada sehingga dalam melakukan perhitungan itu saksi Hindarto dianggap membuat Rencana Anggaran Belanja (RAB) sendiri dan baru kemudian melakukan penghitungan. Hasil kerja Hindarto itu dapat disimpulkan bahwa pertama adalah, terdapat penamaan item pekerjaan yang berbeda antara kontrak dengan penghitungan Hindarto. Celakanya. hasil perhitungan Hindarto yang salah itu kemudian dijadikan dasar dalam perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP. Kedua, terdapat item-item baru yang tidak ada dalam kontrak. Ketiga terdapat item-item tertentu yang ada dalam kontrak namun tidak dihitung dalam lembaran kerja perhitungan Hindarto. Keempat, terdapat item-item pekerjaan yang judul atau namanya sama antara dalam kontrak dengan lembaran kerja yang dibuat Hindarto namun baik volume maupun harga satuan berbeda, di mana harga satuan pada kontrak lebih tinggi dari lembaran kerja yang dibuat Hindarto. Dengan perhitungan-perhitungan yang tidak akurat dalam lembaran kerja Hindarto itu kemudian digunakan dasar perhitungan oleh auditor investigatif BPKP Jawa Timur.
199
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 5.3. PENGADILAN NEGERI MALANG PUTUSAN PERKARA PIDANA Nomor: 330/PID.B/2007/PN.ML Tanggal 13 Maret 2007 ATAS NAMA TERDAKWA
Prof. Dr.Ir. H SYAMSUL BAHRI, MS DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Malang yang memeriksa dan mengadili perkara Pidana dengan acara Pemeriksaan Biasa pada Peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa … dan seterusnya Telah membaca berkas perkara; Telah mendengar pembacaan dakwaan Penuntut Umum; Telah mendengar eksepsi… dan seterusnya Telah memperhatikan Putusan Sela … dan seterusnya Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa; Telah melihat surat-surat bukti Telah mendengan tuntutan pidana atas diri terdakwa … dan seterusnya Menimbang… dan seterusnya Mengingat pasa 2 ayat (1) dan pasal 3 ….dan seterusnya MENGADILI - Menyatakan Terdakwa Prof. Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (garis bawah dan huruf tebal dari saya) melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair; - Membebaskan Terdakwa Prof. Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS tersebut dari semua dakwaan; - Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan kota setelah putusan ini diucapkan; - Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. - … dan seterusnya Sumber: Putusan Perkara Pidana, Nomor: 330/Pid.B/2007/PN.ML, Tanggal 13 Maret 2007
Demikian juga halnya, patokan harga satuan yang dipakai Hindarto tidak sama dengan harga satuan yang terdapat pada SK Bupati Malang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Anggaran Satuan Kerja maupun harga satuan yang ditetapkan dalam kontrak. Menurut Majelis Hakim, karena dalam perkara ini terdapat perhitungan yang tidak valid namun kemudian dijadikan dasar atau pedoman BPKP, maka dengan sendirinya perhitungan Auditor BPKP tersebut tentu berakibat tidak valid dan cacad hukum, baik secara materiil maupun secara proseduralnya
200
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
sehingga kualitas keterangan ahli yang disampaikan auditor investigatif BPKP propinsi Jawa Timur patut diragukan kebenarannya dan tidak layak untuk dipedomani.
Kotak 5.4. PENGADILAN NEGERI MALANG PUTUSAN PERKARA PIDANA Nomor: 825PID.B/2008/PN.MLG Tanggal 17 September 2009 ATAS NAMA TERDAKWA
Drs. H. ACHMAD SANTOSO DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Malang yang memeriksa dan mengadili perkara Pidana dengan acara Pemeriksaan Biasa pada Peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa … dan seterusnya Telah membaca berkas perkara; Telah mendengar pembacaan dakwaan Penuntut Umum; Telah mendengar eksepsi… dan seterusnya Telah memperhatikan Putusan Sela … dan seterusnya Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa; Telah melihat surat-surat bukti Telah mendengan tuntutan pidana atas diri terdakwa … dan seterusnya Menimbang… dan seterusnya Mengingat pasa 2 ayat (1) dan pasal 3 ….dan seterusnya MENGADILI - Menyatakan Terdakwa Drs. H. Achmad Santoso tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (garis bawah dan huruf tebal dari saya) melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair; - Membebaskan Terdakwa Drs. H. Achmad Santoso tersebut dari semua dakwaan; - Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan kota setelah putusan ini diucapkan; - Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. - … dan seterusnya
Sumber: Putusan Perkara Pidana, Nomor: 825 Pid.B/2008/PN.MLG, Tanggal 17 September 2009
Sejalan dengan keterangan ahli, menurut Majelis Hakim, doktrin hukum menyatakan bahwa dalam menentukan penilaian apakah sesuatu keterangan dapat dinilai sebagai keterangan ahli, bukan ditentukan oleh faktor keahlian orangnya, melainkan ditentukan oleh ―bentuk keterangan‖ yang dinyatakan oleh ahli itu sendiri
201
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yakni dalam bentuk keterangan menurut ―pengetahuannya secara murni‖ atau keterangan yang mengambil basis hasil kerja orang lain. Jadi, pada ujungnya, laporan perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) yang direkonstruksi BPKP Perwakilan Jawa Timur ternyata tidak akurat, tidak valid dan cacad hukum,. Dengan laporan dengan kualitas semacam itu tentu, Majelis Hakim baik untuk Perkara Bahri maupun Santoso (Mantan Sekda Malang) mengambil putusan hukum dengan membebaskan keduanya dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (lihat kotak 5.3 dan 5.4).
5.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka Keterangan tersangka ini lebih dikenal sebagai keterangan terdakwa (erkentenis), Namun karena masih dalam proses penyidikan, keterangan yang mereka buat akan saya sebut sebagai alat bukti keterangan tersangka. Alat bukti keterangan tersangka adalah apa yang dinyatakan (diberikan) tersangka - yang pada nantinya akan menjadi terdakwa - tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Jenis alat bukti ini merupakan gradasi kelima dari lima macam alat bukti yang ada. Berikut ini adalah sebagian Keterangan tersangka Bahri yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dirangkum dalam Dakwaan JPU, yaitu: “Bahwa tersangka telah mengetahui dan membaca isi addendum kontrak Nomor 05 dan 06 tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 sebelum menandatanganinya; Bahwa addendum kontrak Nomor 05 tanggal 9 Agustus 2003 tentang perubahan tugas, pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan, yang ditanadatangani oleh pihak pertama, Bupati Malang – Sujud Pribadi dan pihak kedua LPM UB. Yang semula pekerjaannya adalah pengawasan pabrik (pabrikasi) berubah menjadi pekerjaan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pengadaan mesin (pabrikasi) yang waktunya semula 150 hari terhitung 11 Maret 2003 sampai dengan 9 Agustus 2003 berubah menjadi 233 hari dengan mulai tanggal 11 Maret hingga 30 September 2003.
202
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bahwa addendum kontrak Nomor 06 tanggal 9 Agustus 2003 tentang perubahan tugas, pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan, yang ditanadatangani oleh pihak pertama, Bupati Malang – Sujud Pribadi dan pihak kedua LPM UB. Yang semula pekerjaannya adalah pengawasan pembangunan peningkatan gedung utama dan sumur bor berubah menjadi penyempurnaan perencanaan dan pengawasan peningkatan gedung utama dan sumur bor pabrik gula Kigumas tahap III dan berdasarkan addendum Nomor 7 tahun 2003 tanggal 26 Agustus 2003 sumur bor diganti menjadi pekerjaan pipanisasi, sanitasi, perpipaan air bersih dan kelengkapannya. Bahwa nilai addendum kontrak Nomor 05 tahun 2003 adalah sebesar Rp.639.748.000 dan nilai addendum kontrak Nomor 06 tahun 2003 sebesar Rp.309.111.800 Bahwa LPM UB dalam melaksanakan pekerjaan Konsultan pengawasan dan penyempurnaan pengawasan pabrikasi dan bangunan sipil telah dilaksanakan 100% dan dinyatakan selesai sesuai Berita Acara Penyelesaian pekerjaan sesuai dengan addendum Nomor 05 dan 06 Tahun 2003 tanggal 31 Oktober 2003 yang ditandatangani oleh Soedjito dan Talahatu.
Meskipun keterangan dari Bahri tidak dapat mengungkapkan adanya pekerjaan fiktif dan kemudian dibayar oleh Pemkab Malang, penyidik mendasarkan sangkaan pada alat bukti dari keterangan saksi lain dan keterangan ahli serta alat bukti surat dari BPKP serta temuan barang bukti lainnya. Masih pada kasus Syamsul Bahri, jaksa penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen dalam mencari jawaban atas hypothetical construction of crime 5W+2H telah melakukan penyidikan yang tidak mendasarkan pada Surat Perintah Tugas (SPT) yang diperintahkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. SPT Kajati Nomor Print: 32/0.5.5/Fd.1/04/2006 (Surat Perintah Tugas dari kejaksaan Tinggi Jawa Timur dapat kita lihat pada kotak 5.5).
203
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 5.5. KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR SURAT PERINTAH TUGAS Nomor Print:32/0.55/Fd.I/04/2006 KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR Dasar
: (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 8 ayat (3), pasal 9, 45, 84,138, 139 (2) ... dan seterusnya
Pertimbangan: (1) Bahwa dari hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri Kepanjen atas adanya dugaan penyimpangan dana kegiatan KIMBUN berbasis tebu pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang TA 2004 yang dilakukan oleh Tersangka H.SAMI’AN, Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan SAMADI telah dtingkatkan ke tahap Penyidikan Pidsus (2) Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Surat Perintah Tugas untuk melakukan penyidikan dugaan dengan Tindak Pidana Korupsi dimaksud, mengingat terjadinya tindak pidana dimungkinkan terjadi didaerah hokum Kejaksaan Negeri Kepanjen ataupun Kejaksaan Negeri Malang MEMERINTAHKAN Kepada
: Jaksa Penyidik: (1) N a m a : Timbul Tamba, SH., M.Hum Pangkat/NIP : Jaksa Muda/230022066 Jabatan : Kasi Datun pada Kejari Kepanjen (2) N a m a … dan seterusnya
Untuk:
(1) Melakukan tugas selaku Jaksa Penyidik atas adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam penyimpangan dana kegiatan KIMBUN berbasis tebu pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang TA 2004 atas Nama Tersangka H.SAMI’AN, Drs. ACHMAD SANTOSO dan SAMIADI. (2) Agar dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab dan membuat laporan pelaksanaannya. Dikeluarkan di : Surabaya Pada tanggal : 11 April 2006
An. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Assisten Tindak Pidana Khusus Selaku Jaksa Penyidik
SUGIYANTO, SH.,MH JAKSA UTAMA PRATAMA NIP. 230018623
Sumber: Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Surat Perintah Tugas, Nomor Print:32/0.55/Fd.I/04/2006
204
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dengan demikian, seharusnya penyidik dari Kejaksaan Negeri (Kajari) Kepanjen tidak dapat melakukan prosedur penyidikan terhadap Bahri. Kenapa? Karena SPT yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur tidak mencamtumkan nama Bahri.
Oleh karena itu, Tim Pengacara Bahri kemudian
melakukan Praperadilan, yang menurut advokat Kustaryo adalah sebagai berikut: “Menurut saya, penyidikan atas perkara Bahri mengandung dua kesalahan subjek hukum, yang pertama adalah, sesuai dengan pasal 20 UU Tindak Pidana Korupsi seharusnya yang diperkarakan itu bukan Syamsul Bahri, tetapi LPM UB. Kedua, dalam Surat Perintah Tugas yang dibuat Kajati tidak menyebut nama Syamsul Bahri. Padahal, berkas penyelidikan itu tentu telah melalui ekspose (eksaminasi/gelar perkara) internal Kajati, kemudian keluarlah Surat Perintah Tugas kepada Jaksa Penyidik. Lalu atas dasar apa penyidik dari Kejaksaan Negeri Kepanjen melakukan penyidikan atas Syamsul Bahri? Karena itu, Tim advokat Syamsul Bahri melakukan perlawanan dengan mengajukan pra-peradilan…”
Maksud pernyataan Koestaryo yang pernah menjadi salah satu tim advokat Syamsul Bahri atas kesalahan ‗subjek‘ pada salah subjek hukum pada point pertama tersebut adalah bahwa dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh/atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi. Dengan demikian, tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, atau bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Kasus Bahri ini, menurut Kustaryo akan lebih ‗pas‘ ditembakkan pada korporasi (LPM) dan bukan pada pribadi Bahri. Manakala hal ini benar, maka visum akuntansi forensik itu akan tidak salah subjek. Undang-undang
Tindak
Pidana
Korupsi
Nomor
31/1999
yang
telah
diperbaharui kembali dengan UU Nomor 20/2001 yang dinyatakan dalam pasal 20 menentukan bahwa dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut akan diwakili oleh pengurus. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dapat diwakili oleh orang lain. Hakim juga dapat
205
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan, dan hakim dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. Yang lebih penting lagi dan perlu kita garis bawahi adalah bahwa dalam deraan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Artinya kerugian yang diderita Negara itu pidananya dapat ditambahkan dengan jumlah sepertiganya lagi. Dengan demikian, menurut Tim Kuasa Hukum Bahri, seharusnya yang diperkarakan adalah LPM UB dan bukan Bahri sebagai Ketua LPM, dan inilah yang Tim Kuasa Hukum menyebutnya sebagai ―salah subjek‖. Andaikan pandangan bahwa korporasi (LPM) yang harus dijatuhi hukuman, lalu siapakah yang akan mewakili LPM UB, tentu Bahri sebagai Ketua LPM-nya. Kita juga dapat menyaksikan bahwa dalam sejarah penegakan hukum pidana di Indonesia kita mengetahui dan menyaksikan bahwa belum pernah terjadi peristiwa penjatuhan hukuman pidana kepada korporasi. Dalam pandangan saya, bahwa korporasi adalah realitas subjek hukum, kita akan mengalami a bounded rationality. Karena korporasi itu dalam bekerjanya akan selalu diwakili oleh para pengurusnya. Jadi, bagi saya formulasi dalam UU TPK itu terdapat penjatuhan hukuman kepada korporasi itu, hanya ada dalam kertasa (das solen) belaka dan tidak pernah akan terjadi dalam realitanya (das sein). Salah subjek yang kedua itu menurut advokat yang memndampingi Bahri adalah, berbasis pada Surat Perintah Tugas Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dengan surat
perintah
tugas
Nomor:32/0.5.5/Fd.1/04/2006
tertanggal
11
April
2006
memerintahkan 8 (delapan) Jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri Kepanjen untuk memeriksa sebagai tersangka terbatas hanya pada tiga orang
yakni SAMI‘AN,
SANTOSO dan SAMIADI dan tidak termasuk BAHRI. Namun ternyata pada tanggal 12
206
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
April 2006 Kejaksaan Negeri Kepanjen telah menerbitkan sendiri Surat Perintah Tugas Nomor: Print-04/0.5.43/Fd.1/4/2006 yang memerintahkan jaksa penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen untuk memeriksa BAHRI. Dengan kejadian ini, dalam pandangan Tim Advokat Syamsul Bahri terjadi kesalahan ‗subjek hukum‘. Dengan kesalahan subjek yang terdapat dalam penetapan dan pemeriksaan Syamsul Bahri Tim Advokat mengajukan pra-peradilan kepada Ketaua Pengadilan Negeri Kepanjen pada tanggal 19 Nopember 2007 bernomor: 008/Pid/TAPH/XI/2007. Penetapan dan pemeriksaan Bahri sebagai tersangka, lebih khusus lagi kemudian adanya perintah penahanan – menurut Tim Advokat - merupakan tindakan yang telah keluar dari hirakhi perintah dan keputusan Kejaksaan Tinggi jawa Timur selaku instansi yang membawahinya. Penggunaan kewenangan penahanan itu benar-benar dan secara mencolok merupakan pelanggaran terhadap asas berlakunya kepastian hukum dan asas proporsionalitas. Namun, sayangnya pengadilan untuk pra-peradilan ini tidak dapat diteruskan, karena telah didahului dengan dilaksanakannya atau digelarnya persidangan atas pokok perkara atas diri Bahri yakni dakwaan melakukan tindak pidana korupsi pada proyek KIGUMAS Gondanglegi Malang. Berbeda dengan Kustaryo, Nurhadi Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Kepanjen mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kepanjen. Penyelidikan (lidik) maupun penyidikan (sidik) adalah wewenang penuh dari Kejaksaan Negeri Kepanjen. Kalau Kajari Kepanjen meminta kepada Kajati itu lebih disebabkan karena si pelaku berada di Kodya Malang, sedangkan perbuatan yang dilakukan adalah dalam wilayah jurisdiksi hukum Kabupaten Malang. Karena itu tidak ada persoalan atas disidiknya Bahri tersebut.
207
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Selanjutnya, mencari, menemukan dan mengumpulkan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik memang bukan perkara mudah. Kesulitan itu juga dikatakan oleh Jeremy Pope (2003, 496) sebagai berikut: “Berbeda dengan tindak pidana lainnya (tetapi sama dengan kejahatan yang dilakukan organisasi kejahatan), tindak pidana korupsi biasanya tidak memiliki korban yang jelas dan melapor. Semua orang yang terlibat mendapat untung, dan semuanya berkepentingan untuk merahasiakannya. Karena itu, bukti-bukti untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan sangatlah sulit diperoleh. Para pelaku, masing-masing, berkuasa atas pelaku lainnya.
Dalam soal saling merahasiakan tersebut, pada kasus tindak pidana korupsi, banyak rantai penghubung yang terputus dan sengaja diputus agar sulit untuk ditelusuri. Misalnya saja untuk menemukan alat bukti surat dalam soal penyuapan – semisal Gayus Tambunan – bukan perkara mudah, karena tidak pernah ada penyuapan menggunakan kwitansi, transfer rekening atau menggunakan traveller check. Dana suap dibawa dengan menggunakan amplop, tas kresek, kardus, dan sejenisnya bahkan bisa juga dalam bentuk karungan. Pada umumnya, mereka itu bisa ditangkap, manakala ada informasi yang cukup meyakinkan dari whistle blowers, dan/atau mereka ―tertangkap tangan‖ saat melakukan transaki. Seperti tertangkap Hakim Ibrahim dengan Advokat Adner Sirait yang melakukan transaksi perkara – yang merupakan covert operation dan surveilance operation yang dilakukan KPK. Sepenggal kisah penangkapan itu adalah sebagai berikut: Hari Senin tanggal 30 Maret 2010, Adner Sirait menemui Hakim Ibrahim di Kantornya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) DKI Jakarta. Dengan berseragam biru, Ibrahim berkata kepada Adner Sirait: ―mana uangnya, serahkan saja‖. Namun, sebelum uang diserahkan, Ibrahim membatalkan, ia memberikan ―kode‖ pembatalan transaksi lantaran situasi kantornya tidak memungkinkan transaksi itu dilakukan. Kemudian keduanya menuju kawasan Cempaka putih Jakarta, dengan menggunakan mobil masing-masing. Di tengah jalan, keduanya menghentikan mobilnya, lalu Sirait keluar dari mobilnya
208
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
membawa tas plastik berisi uang dan menyerahkannya ke Ibrahim. Setelah itu, tidak lama kemudian, di jalan Mardani Raya, Cempaka Putih, keduanya ditangkap oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Petugas menemukan uang 300 juta rupiah dengan pecahan 50 ribu rupiah dan 100 ribu rupiah yang diletakkan di bawah jok mobil hakim Ibrahim. Transaksi itu dilakukan dengan maksud untuk memenangkan perkara PT. Sabar Ganda yang ditangani Sirait (Koran Jakarta, 24 Juni 2010). Demikian juga, kasus Jaksa Urip yang ditangkap petugas KPK saat menerima uang suap dari Artalyta Suryani. Demikian juga halnya, setali tiga uang, saat Mulyana Wirakusuma (Anggota KPU) ditangkap KPK saat melakukan penyuapan kepada Khairiansyah Salman (auditor BPK-RI) di Hotel Ibis Jakarta. Kejadian semcam itu, menurut Ahmad Erani Yustika, Pengamat Ekonomi Politik yang Juga Pengajar Ekonomi Kelembagaan di FE UB mengatakan: ―ciri yang melekat pada birokrat kita adalah kerja santai, ingin gaji tinggi tetapi ber-ethos kerja rendah‖.
Erani
menyarankan
agar
diciptakannya
suatu
sistem
yang
dapat
mengantisipasi potensi munculnya moral hazard di kalangan birokrat. Sistem itu harus mampu mengontrol para birookrat, terutama yang bekerja di bidang dengan tingkat potensi moral hazard-nya cukup tinggi. Pembenahan birokrasi tidak perlu hanya mengandalkan renumerasi semata, karena renumerasi tanpa diimbangi dengan sistem pencegah moral hazard akan percuma saja. Di samping itu, lanjut Yustika, harus diterapkan terhadap aktivitas birokrat yang bekerja di bidang sensitif, misalnya di bidang pajak. Dalam cara kerja Sistem Pengendalian itu, harus mengadopsi pola kerja intelejen. Selanjutnya, para Birokrat itu juga harus dibuat bangga (esprit of de-corp) dengan jabatan dan tanggung jawab yang diembannya, sehingga memiliki beban moral untuk menghindari penyelewengan. Selain itu, pemakaian seragam juga perlu ditinjau kembali, karena selama ini baju
209
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
seragam
justru
dimanfaatkan
untuk
menakut-nakuti
publik
yang
semestinya
dilayaninya. Sejalan dengan usulan Yustika, namun berbeda konteks, Simanjutak (2009, 71) menggagas atas bagaimana cara kerja efektif dalam mencari dan memburu alat bukti dan barang bukti. Simanjutak mengatakan sebagai berikut: “Untuk hal demikian... sangat penting adanya penyelidikan yang didukung oleh perangkat intelejen berkualitas tingkat tinggi... Praktek dunia spionase atau intelejen mengajarkan bahwa dalam setiap peristiwa akan selalau ada “jejak peninggalan” di tempat kejadian perkara. Cara kerja untuk menemukan itu dikenal dengan „crime scene processing‟ atau pengelolaan rangkaian peristiwa kejahatan. Beberapa teknik, taktik dan scientific crime investigation yang lazim dalam penyelidikan memerlukan observasi, interview, surveilance dan under cover, akan tetapi semuanya harus dilakukan dengan memenuhi aspek legalitas dan legitimasi, dalam arti harus sesuai dengan wewenang di dalam undang-undang sehingga hasilnya memperoleh kepercayaan publik (public trust) dan tidak masuk ke dalam perangkap risiko dituntut balik oleh pihak yang diselidiki...”
Apa yang diungkapkan Simanjutak itu tentu memerlukan eksistensi SDM canggih yang terlatih. Karena ‗setan‘ dan ‗demit‘-nya ada di dalam detil teknik (the devil is in details and technicalities). Dengan demikian, SDM itu harus memiliki kompetensi dalam wujud knowldege, technical know how, personal integrity, professional integrity serta otoritas yang dapat melindunginya secara hukum dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Di samping itu, pertanyaannya adalah mengapa penyidikan itu tidak mudah dilakukan, berbiaya mahal dan memakan waktu panjang? Jawabannya adalah, karena yang mau dicari, ditemukan dan dikumpulkan adalah kebenaran suatu peristiwa yang telah lalu (post-factum). Artinya, penyidikan harus merekam ulang (merekonstruksi) kejadian yang lalu, sebagai sejarah fakta untuk dihadirkan kembali, diungkap kembali, dan diuraikan kembali secara jelas dan terang berbasis alat bukti dan barang bukti, dan bukan hanya sekedar celoteh dan dongeng tanpa bukti serta tanpa saksi. Sejarah fakta itu akan digunakan sebagai bahan bukti formulasi Dakwaan, digunakan dalam
210
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, dan dielaborasi pada nota pembelaan baik oleh terdakwa maupun advokat. Selain dari pada itu, saat pertama kali penyidik melakukan penyidikan, dia harus membuat surat pemberitahuan kepada penuntut umum, surat itu adalah penjelasan mengenai Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Tahap berikutnya penyidik membuat surat panggilan kepada saksi-saksi, terdakwa, dan ahli. Pemanggilan pada umumnya meggunakan pola spiral atau mirip kumparan besar yang menuju ke titik dan target akhir yakni ―terdakwa‖. Artinya, BAP akan dibuat penyidik dimulai dari saksi-saksi lalu mengerucut dan berakhir pada si terdakwa. Dalam penyidikan ini, akan dilakukan interogasi-interogasi (yang menghasilkan pengakuanpengakuan) kemudian akan berakhir pada penanda tanganan BAP oleh saksi maupun terdakwa. Persiapan atas kelengkapan berkas perkara yang menyertakan alat bukti dan barang bukti merupakan tanggung jawab penuh penyidik untuk kemudian diserahkan kepada jaksa penuntut umum (JPU) yang pada tahap berikutnya digunakan sebagai dasar dalam sidang di pengadilan. Proses demikian disebut sebagai tahap prapenuntutan (pretut), yakni persiapan sampai penyerahan semua berkas perkara, alat-alat bukti, dan tersangka dari pihak penuntut pada JPU, sehingga sejak saat itu akan beralih tanggung jawab tersangka dari pihak penyidik menjadi tanggung jawab JPU. Bilamana JPU mempertimbangkan berkas penyidikan belum lengkap untuk diteruskan ke persidangan (dikenal dengan istilah sandi : P-19), maka dalam waktu 7 (tujuh) hari harus diberitahukan lagi kepada penyidik supaya dilengkapi menurut pedoman dan petunjuk JPU. Penyidik hanya memiliki waktu 14 (empat belas) hari untuk melengkapi lagi berkas itu sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Dalam hal
211
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
JPU mempertimbangkan bahwa berkas sudah lengkap, secara teknis yuridis (dikenal dengan
sandi:
P-21,
maka
JPU
segera
memberitahukan
supaya
penyidik
menyerahkan berkas dan segala tanggung jawab dari penyidik beralih kepada JPU. Dengan terjadinya serah terima BAP, segala barang bukti dalam visum akuntansi forensik dan termasuk tersangkanya dialihkan tanggung jawabnya dari pihak penyidik kepada pihak penuntut umum.
Gambar 5-1 POLA SPIRALISASI PENCARIAN DAN PENEMUAN BUKTI DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP)
Di situlah tampak secara jelas mekanisme saling kontrol antara penyidik dan JPU. Karena itu, penyidik harus sejak awal memberitahuakan kepada JPU (SPDP) ketika penyidik memulai penyidikannya: Keputusan JPU melakukan P- 19 atau P- 21 adalah sebagai kelanjutan mekanisme dari SPDP sebelumnya. Dengan kata lain, begitu ada SPDP maka sejak itu JPU sudah wajib memantau dan mengikuti perkembangan penyidikan supaya pada saatnya nanti JPU bisa mengatur jadual kerja dalam menerima dan menangani perkara itu, atau JPU bisa menagih kelanjutan penyidikan kepada penyidik. Proses penyidikan ini menegaskan bahwa setiap berkas perkara yang sudah lengkap akan diserahkan oleh penyidik kepada JPU. Dengan demikan, perkara harus
212
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
diteruskan JPU ke pengadilan. Dakwaan juga berisi permintaan supaya terdakwa segera diperiksa dan diadili di sidang di pengadilan yang digelar secara terbuka. Artinya, karena syarat-syaratnya sudah dipenuhi, semua yang terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi itu harus dihadapkan ke pengadilan. Prosedur yang berjalan seperti itu dikenal sebagai penerapan ‗asas legalitas‘. Asas legalitas yang tertuang dalam pasal 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) merupakan suatu konsekuensi dari ketundukan pada paham rule of law. Paham rule of law ini akan meliputi tiga pemahaman, yakni semua orang akan sama derajadnya di hadapan hukum (equality before the law), semua orang mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the law), dan semua orang akan mendapatkan perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal justice under the law). Tiga hal inilah yang menjadi tumpuan dan arah dari asas legalitas yang dianut dalam madzab hukum Indonesia. Selanjutnya, dalam soal berkas penyidikan yang diserahkan penyidik kepada penuntut umum, hal paling esensial adalah ditemukannya unsur kerugian negara dalam kasus-kasus korupsi. Essensialnya unsur ini diungkapkan oleh Kustaryo mengungkapkan sebagai berikut: “Jika kerugian negara telah ditemukan, maka pekerjaan penyidik pada umumnya akan sangat mudah untuk mencari dan menemukan unsur penyalahgunaan wewenang dan/atau perbuatan melawan hukumnya serta menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau korporasi. Namun, sebaliknya kesulitan akan hadir secara nyata manakala nilai kerugian negara tersebut belum dapat dipastikan. Karena penyalahgunaan wewenang dan/atau perbuatan melawan hukum kita temukan akan tetapi kerugian negara tidak kita temukan maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan korupsi.”
Kalimat Kustaryo tersebut dapat kita buktikan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 995.K/PID/2006, atas kasus Nazaruddin Sjamsuddin (Ketua KPU) yang
213
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
merupakan refleksi kerja keras penyidik KPK yang kemudian menghasilkan simpulan sebagai berikut: “Rangkaian perbuatan terdakwa, Nazaruddin Sjamsuddin… telah menguntungkan terdakwa sendiri atau saksi … atau setidaknya orang lain atau korporasi yaitu PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967; yang telah atau dapat merugikan keuangan Negara sejumlah Rp.14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) atau setidak-tidaknya Rp.14.193.000.000 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) yang dihitung dari seluruh pembayaran yang telah dibayarkan kepada PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu Rp.14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) dikurangi keseluruhan klaim asuransi yang dibayarkan PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp.607.000.000 (enam ratus tujuh juta rupiah) sehingga menjadi Rp.14.193.000.000 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) sebagaimana perhitungan kerugian Keuangan Negara yang dilakukan ahli Slamet Tulus Wahyana, Ak, CFE dari Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan sesuai dengan Laporan Perhitungan Kerugian Negara atas kasus pengadaan jasa penutupan asuransi Komisi Pemilihan Umum tahun anggaran 2004 tertanggal 26 Juni 2005 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut… dan seterusnya…”
Dengan demikian, uraian dalam simpulan yang dibuat penyidik KPK di atas sebenarnya menyiratkan pandangan paling tidak adalah pertama, meskipun alasan Nazaruddin adalah dalam rangka untuk mensukseskan pemilu, namun perbuatan Nazaruddin dengan mengenyampingkan Kepres 80/2003 adalah tidak dapat dibenarkan. Kedua adalah, perjanjian penutupan asuransi dengan PT Bumida tersebut tidak sesuai dengan Kepres 80/2003. Perjanjian penutupan asuransi mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Ketiga kesalahan terdakwa adalah telah menerima tanda terima kasih dari rekanan meskipun uang itu digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai dan anggota KPU yang kemudian dibagibagikan kepada seluruh pegawai. Perbuatan tersebut merupakan bentuk perbuatan melawan hukum sekaligus bentuk perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain. Pada kasus lain. Misalnya adalah Dakwaan dengan No. 12/TUT.KPK/X/2005 kepada Terdakwa I Budiarto dan Terdakwa II Yussac disebutkan hal-hal sebagai berikut:
214
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
“Bahwa terdakwa I DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si, secara bersama-sama atau bertindak secara sendiri-sendiri dengan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si dan saksi FTK HAREFA Als. TJETJEP HAREFA (tersangka yang berkas perkaranya diajukan secara terpisah), telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut (voorgezette handeling), pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Pebruari 2004 sampai dengan bulan September 2004 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2004, bertempat di Kantor Komisi Pemilihan Umum Jl Imam Bonjol No. 29 Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan pasal 54 (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara dan perekenomian Negara yang dilakukan dengan cara-cara… Bahwa terdakwa DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa keperluan Kantor Sekretariat Jenderal KPU yang diangkat berdasarkan SK KPU Nomor:07/SJ/KPU/2004 tanggal 06 Januari 2004, sesuai dengan Nota Dinas Ketua KPU Prof.Dr.NAZARUDDIN SJAMSUDDIN Nomor 35.1/ND/II/2004 tanggal 9 Februari 2004 dan nota dinas nomor 83/ND/II/2004 tanggal 20 Februari 2004 dan Buku Keputusan KPU Nomor 104 Tahun 2003 berikut Panduan Teknis Pemantau Pemilu 2004 serta pekerjaan pencetakan buku panduan KPPS dan calon Daftar Calon Anggota DPR RI dan DPD Tahun 2004 dengan metode pemilihan langsung, yang pembiayaannya bersumber dari dana operasional KPU yang seluruhnya dibebankan pada APBN Bahwa dari rangkaian perbuatan Terdakwa I DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si sebagaimana diuraikan di atas, telah menguntungkan Terdakwa I DRS. R. BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si atau saksi-saksi FTK HAREFA Als. TJETJEP HAREFA, atau orang lain, yaitu; saksi Muslim Hasan, Saksi SURYADI HERTANTO, saksi H. IRSAL YUNUS, Saksi SHE MING MINTARDJA, saksi AGUS SALIM dan saksi YONGKI WIJAYA atau suatu korporasi. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa I DRS. R. BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si tersebut telah merugikan keuangan negara sejumlah Rp.20.076.475.133 (dua puluh miliar tujuh puluh enam juta empat ratus tujuh puluh lima ribu seratus tiga puluh tiga rupiah) yang dihitung dari selisih antara jumlah pembayaran netto yang dikeluarkan oleh Bendaharawan Operasional KPU untuk pencetakan buku-buku dan daftar cetak warna dan hitam putih calon anggota DPR RI dan DPD dengan nilai buku-buku dan daftar cetak warna dan hitam putih calon anggota DPR RI dan DPD, sebagaimana perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh ahli ERNADHI SUDARMANTO, AK, CFE dari BPKP dan sesuai dengan laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Tim BPKP Nomor: SR-577/D6/1/2005 tanggal 23 September 2005 atau setidak-tidaknya dapat merugikan keuangan Negara sekitar jumlah tersebut… Perbuatan Terdakwa I Drs. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 jo pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat(1) ke-1 pasal 64 ayat (1) KUH Pidana ..
Hal-hal yang manarik dari kasus tindak pidana korupsi dalam kasus-kasus KPU, menurut kajian saya, pertama adalah persoalan diskresi. Sebagaimana Keterangan Muchlis Hamdi yang disampaikannya di Pengadilan, sosok ahli bidang
215
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Adminsitrasi Publik menyatakan bahwa ―Keputusan Pleno‖ adalah keputusan tertinggi dalam Organisasi KPU. Jika keputusan pleno masih menimbulkan kerugian Negara maka keputusan itu harus menjadi tanggung jawab pleno. Kedua adalah, bilamana terdapat memo/tulisan ―harap di proses‖ secara inheren akan mengandung makna bahwa ‗agar diproses‘ harus diartikan sebagai dapat dilakukan manakala pelaksanaan memo sesuai dengan peraturan yang berlaku. Memo dalam konteks pengadaan barang/jasa sudah ada peraturannya seperti Keppres 80/2003 tentang tata cara pengadaan barang/jasa. Demikian juga memo dinas yang isinya ―agar diproses‖ maka perintah dinas itu harus dilaksanakan sesuai dengan alamat memo tersebut. Namun, manakala perintah tidak dalam bentuk ―memo‖ tetapi ―lisan‖ tentu tindak lanjut dari perintah lisan itu harus tertulis, dan manakala perintah lisan kemudian ditindaklanjuti maka dapat ditafsirkan sebagai inisiatif pelaksanaan dari bawahan itu sendiri. Dalam organisasi pemerintahan, antara atasan dan bawahan terdapat ―tingkatan-tingkatan (leveling)‖ yang di setiap jenjangnya terdapat wewenang dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Karena itu bilamana ada perintah atasan tidak sesuai dengan aturan maka telaah staf (pertimbangan-pertimbangan bawahan) merupakan salah satu fungsi dari tugas staff. Atasan memiliki fungsi pengawasan namun dari segi substansinya, pelaksanaan suatu perintah merupakan tanggung jawab yang melaksanakan. Demikian juga halnya, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 17/Pid.B/TPK/2006/PN.JKT.PTS, yang di dalamnya terdapat ―Dakwaan‖ yang dibuat oleh penuntut umum tertanggal 25 September 2006 antara lain berisi sebagai berikut: “Bahwa ia, terdakwa Rustam Effendy Sidabutar, SH.,M.Si baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan Budhi Susanto dan Ir. Sylvira Ananda, M.Sc pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi dalam bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Desember 2004, atau setidak-tidaknya dalam waktu-waktu lain didalam tahun 2003 sampai dengan tahun 2004, bertempat di ruang kerja Terdakwa pada kantor Dinas Perhubungan DKI Jakarta Jalan Taman Jatibaru No.1 Jakarta Pusat, atau setidaknya pada suatu tempat yang berdasarkan pasal 54 ayat (2) Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum
216
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut, secara melawan hukum yaitu dalam pengadaan bus untuk penyediaan sarana Bus Way Tahun anggaran 2003 dan tahun 2004 tidak mengindahkan atau bertentangan dengan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 80/2003 serta tidak mengindahkankanatau bertentangan dengan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 175/2003 dan 108.2003 tentang tata cara pelaksanaan APBD, memperkaya diri sendiri yaitu terdakwa atau orang lain yaitu Budhi Susanto, Ir. Sylvira Ananda, Saksi Hadi Wuryandanu, Saksi David Herman Jaya, atau suatu korporasi PT Irama sejuk Sentosa, dan PT. Armada Usaha Bersama, serta PT Mekar Armada Jaya yang dapat merugikan keuangan negara yaitu sebesar Rp.10.621.101.549,32 (sepuluh milyar enam ratus dua puluh satu juta seratus satu ribu lima ratus sembilan puluh empat ribu rupiah tiga puluh dua sen) sessuai dengan perhitungan ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang tertuang dalam laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan negara (PKKN) atau setidak-tidaknya sejumlah itu yang dilakukan terdakwa dengan cara… “
5.3. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI Berkaitan dengan alat bukti pada dasarnya, kehandalan dan kekuatannya alat bukti, barang bukti dan pembuktian masih mengandalkan pada bukti dan pembuktian yang bersifat inderawi. Auditor Investigatif, penyelidik dan penyidik berupaya mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan mereka atas kebersalahan/pelanggaran yang dilakukan tersangka. Analisis pada tempat kejadian perkara (TKP) atau tempus delicti mungkin saja dapat memberikan bukti-bukti fisik berupa barang bukti, tetapi keterangan saksi-saksi dan keterangan terasangkalah yang seringkali dapat menimbulkan keyakinan kuat atas kebersalahan tersangka. Dengan demikian, tujuan wawancara dan interogasilah yang akan mendominasi keyakinan kuat mereka itu. Kemampuan membongkar kebohongan dan mengarahkan pada pengakuan merupakan alat psikologi yang harus dimiliki auditor investigatif, penyelidik dan penyidik. Namun, pada satu saat alat psikologi ini kadangkala dapat didayagunakan untuk membujuk tersangka, pada saat yang lain alat yang sama ini menuntun tersangka yang lemah tetapi tidak bersalah mengakui kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukannya.
217
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Padahal, terdapat beberapa alasan mengapa auditor investigatif, penyelidik dan penyidik lebih menyukai pengakuan bersalah dibanding bukti-bukti lainnya, antara lain pertama adalah pengakuan bersalah menghemat waktu, karena mencari dan mengumpulkan barang bukti, menanyai saksi-saksi lalu melakukan analisis berjalan lamban, memakan banyak waktu, dan membosankan. Di samping pengakuan bersalah dari tersangka seringkali diikuti pemberitahuan atas di mana tempat uang hasil korupsi disembunyikan, kapan dilakukan, bersama siapa melakukannya, bagaimana cara melakukannya dan lainnya. Kedua adalah, pengakuan bersalah adalah hal yang paling terdekat, diyakini serta menguatkan dengan dakwaan tindak kejahatan yang dilakukan terdakwa. Pengakuan bersalah adalah jalur cepat bagi pembuktian, yang juga menempatkan terdakwa menuju putusan bersalah. Karena pengakuan merupakan cara efektif dan efesien dalam putusan hukum, maka pada masa lalu sesuai hasil penelitian Skolnick dan Fyfe (1993) untuk memperoleh pengakuan bersalah itu banyak dilakukan pukulan dan kebutralan, seperti memukul dengan tinju, gagang senjata, pipa karet, penthungan, membakar kulit dengan rokok, menggunakan kejutan listrik dan lainnya hingga cara-cara terselubung dengan menggunakan water cure (terapi air) yakni menekan kepala tersangka ke dalam toilet hingga nyaris terebenam, atau menuangkan air ke dalam lubang hidung yang berbaring terlentang. Siksaan-siksaan fisik itu, bisa juga dikombinasikan dengan deprivasi, diisolasi, dan diintimadasi. Deprivasi adalah cara efektif untuk menurunkan resistensinya, dengan menunda makan, penundaan pemberian air minum, atau tidak memberikan ijin ke toilet dapat membuat tersangka lebih mau mengaku. Isolasi di sel yang gelap (incummunido) dapat juga untuk membujuk tersangka membuat pengakuan. Cara-cara pencarian pengakuan kepada tersangka seperti itu, boleh jadi akan terjadi lomba
218
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
sumpah (swearing contest) di pengadilan, artinya petugas akan bersumpah tidak ada koersi (paksaan) dan terdakwa juga bersumpah telah terjadi koersi, tetapi sumpah petugas yang biasanya lebih dipercaya. Kadang petugas juga mengancam, jika tersangka membuka koersi yang dilakukan petugas di muka pengadilan, pada saat tersangka masuk tahanan, maka dia diancam akan diperlakuan dengan perlakuan yang tak terbayangkan. Bahkan, terhadap terhadap tersangka yang tidak koperatif, dia akan dipegang dengan posisi terbalik, kaki di atas kepala di bawah , di luar jendela gedung atau ujung tangga yang tinggi. Perlakuan kepada tersangka kadang mereka ditumpuki dengan buku-buku yang ditumpuk di kepalanya, jika tersangka tidak menjawab pertanyaan yang diajukan lalu buku-buku itu dipukul berulang-ulang maka akibatnya tersangka akan mengalami kesakitan yang tak terhankan tetapi tidak meninggalkan bekas luka atau lebam sedikitpun. Cara lain adalah, tersangka diminta berdiri tegak selama berjam-jam secara terus menerus atau wajahnya dibenamkan pada muka mayat di kamar mayat. Bisa juga, tersangka diperdengarkan suara jeritan menyayat dan erangan yang menghiba-hiba dari ruang sebelah (meskipun itu sebenarnya hanya suara dari tape-recorder saja) Bisa juga skenario ―god and bad interogator‖ diperankan untuk memancing pengakuan tersangka. Caranya adalah pada pertama kali yang berperan sebagai interogator baik akan menemui tersangka dengan menebar simpati dan mengesankan bahwa dia adalah petugas yang penuh pengertian, tetapi pada akhirnya dia berpurapura kecewa karena tersangka terus menerus melakukan kebohongan atas keterlibatnnya pada tindak kejahatan. Pada saat itu, petugas jahat akan memasuki ruang interogasi dan mencaci-maki petugas yang berbaik-baik dengan tersangka karena yang dilakukan itu membuang-buang waktu dengan tersangka yang terus
219
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
menerus berbohong. Petugas yang berperan baik meninggalkan ruangan sambil menggerutu dan sakit hati terhadap umpatan-umpatan petugas yang berperan jahat. Berada dalam satu ruangan interogasi bersama tersangka, si peran jahat akan memaki-maki tersangka, marah-marah, melempar kursi dan mengata-ngatai tersangka dengan kata-kata yang menyakitkan. Lalu kembalilah si peran baik dan meminta si peran jahat untuk keluar dari ruangan. Kemarahan yang ditunjukkan si peran jahat membuat banyak tersangka mengakui kejahatannya saat berhadapan dengan si peran baik. Semua cara yang saya sebut pada uraian sebelumnya itu merupakan cara-cara dan trik-trik teatrikal, tindakan koersif psikologis ambigu yang digunakan untuk meraih pengakuan dari tersangka, namun cara seperti itu merupakan tindakan illegal telah melanggar KUHAP dan HAM. Pengakuan tersangka yang seharusnya diraih adalah ―pengakuan sukarela‖ . suatu pengakuan yang bermartabat dan mengakui eksistensi hak-hak asasi manusia. Selanjutnya, penelitian Moston, Stephenson, dan Williamson (1992) dan Sofly (1980) yang dikutip Constanzo (2006, 49) menyatakan bahwa sekitar 39% sampai 48% tersangka akan membuat pengakuan bersalah ketika diwawancarai atau diinterogasi, dan 13% hingga 16% tersangka lain membuat pernyataan kacau atau pengakuan bersalah parsial. Selanjutnya, pada dasarnya terdapat perbedaan antara psikologi dan hukum dalam mendekati kebenaran dan keadilan. Psikologi bersifat deskriptif, sedangkan hukum bersifat preskriptif. Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual; hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya berperilaku. Tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, sedangkan tujuan hukum adalah mengatur perilaku
220
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
,manusia. Jika seseorang berperilaku dengan cara yang dilarang hukum, maka hukum akan memberikan hukuman untuk perilaku yang menyimpang dari aturan hukum itu (Constanzo, 2006, 12). Dengan demikian, dalam arti idealis, ilmu psikologi cenderung mengkaji untuk menemukan kebenaran sedangkan hukum cenderung mengkaji pada dimensi keadilan. Sejalan dengan hubungan antara psikologi dan hukum, hasil penelitian Melton, Monahan, dan Saks (1987) yang dikutip Constanzo (2006, 36) mengatakan sebagai berikut: “Meskipun psikolog mungkin tidak selalu mampu menjawab pelbagai pertanyaan hukum tentang perilaku manusia,namun paling tidak mereka itu dapat memberikan apresiasi canggih dan realistis terhadap apa yang dibutuhkan untuk mendapat jawaban yang memadai, dan mereka dapat bersikap hati-hati dalam membuat asumsi mengenai realitas sosial.
Di samping itu, keyakinan atas alat bukti dan pembuktian yang bersifat inderawi merupakan keterpengaruhan dengan paradigma yang dibangun Filasuf Rene Descartes dalam kalimat ―cogito ergo sum‖
18
yakni ―aku berfikir karena itu aku ada‖.
Mind-set atau world view yang dibangun Descartes kemudian menyeruak keseluruh dunia lalu meracuni pikiran dan menjadi pegangan serta keyakinan bahwa semua hal, semua persoalan dan semua realitas harus berasal dan dapat diverifikasi oleh indera, bilamana tidak bisa diverifikasi secara inderawi berarti ia bukan realitas dan tidak perlu dipercaya. Demikian juga halnya, dalam soal alat bukti dan pembuktian tindak pidana korupsi bahan bukti itu harus dapat diverifikasi secara inderawi.
Rene Descartes yang hidup 1596 – 1650, sang filosuf Modern tengah berbaring di ranjang dalam ruangan gelap, saat itu ia melakukan permenungan dan melakukan ekperimen pemikiran mendalam, tiba-tiba ia menemukan jawaban yang ia cari-cari. Ia dapati bahwa ia tidak menyangsikan bahwa pada saat itu ia sedang sangsi. Kesangsian itu eksis tanpa ada yang melakukan penyangsian. Kesangsian merupakan bentuk pemikiran, sehingga menjadi dasar pembuktian atas eksistensinya sendiri. Lalu ia mengajukan ungkapan”cogito ergo sum”. Eksistensi yang “berada yang berpikir” (thingking being) ini merupakan fondasi yang pasti mutlak dan niscaya bagi semua ilmu pengetahuan. Saya atau ego berada di luar sejarah dan kebudayaan sebagai asumsi metafisis dasar, tidak tergantung pada jenis iman apapun, karena ketidakberdayaan itu mustahil selama saya tahu saya berpikir (Palmquis, 2000, 77) 18
221
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Metode Descartes bersifat analitik, suatu metoda yang terdiri atas pemecahan pikiran dan masalah menjadipotongna-potongan kecil dan kemudian menyusun kembali potongan-potongan itu ke dalam suatu tatanan logisnya (Susanto,2010, 43). Metoda penalaran analitik model Descartes ini yang memberikan sumbangan terbesar pada dunia ilmu. Namun sebaliknya, penekanan berlebihan terhadap metoda Cartesian ini juga berdampak pada timbulnya karakteristik fragmentatif pada cara berpikir keilmuan dan sifat reduksionis tulen yang meluas dalam dunia ilmu pengetahuan (Chapra, 1982, 51). Sebuah keyakinan bahwa semua aspek fenomena yang kompleks dapat dipahami dengan cara mereduksinya menjadi bagian-bagian unsur pokok. Dalam pandangan Descartes, alam ini akan bekerja sesuai dengan hukumhukum mekanika, dan segala sesuatu dalam alam materi ini dapat diterangkan baik pada sisi pengertian dan gerakan bagian-bagiannya. Dalil cogito ergo sum merupakan statement bahwa segala sesuatu itu jelas (clearly) dan terpilah (distinctly) dan itu merupakan kebenaran (the truth). Artinya, segala sesuatu yang jelas dan terpilah pasti benar adanya. Dalil ini memiliki konsekuensi bahwa terdapat pembedaan mencolok antara rasio (cogito, think, mind) dengan tubuh (body), karena benak dan badan samasama dipandang sebagai suatu yang nyata. Pandangan ini menempatkan Descartes sebagai penganut madzab dualisme. Substansi rasio adalah res cogitans (pemikiran), sedang substansi tubuh adalah res extensa (berkeluasan). Cogitans merupakan bidang jiwa sedang extensa merupakan bidang materi, bidang ilmu alam. Pikiran adalah kesadaran yang tidak mengambil tempat dalam ruang dan karenanya tidak dapat dibagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tetapi materi adalah perluasan, karena itu ia bisa mengambil tempat dalam ruang dan sehingga bisa dibagi-bagi menjadi bagian kecil dan bagian itu masih dapat dibagi menjadi lebih kecil lagi, tetapi ia
222
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
tidak punya kesadaran. Keduanya berasal dari Tuhan (given, terberi). Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, dan sebaliknya, materi tidak tergantung pada pikiran. Itulah esensi tulisan-tulisan pada tiga buku Descartes yakni Discourse de la Methode (Wacana tentang Metode) tahun 1637, Meditations de Prima Philosophiae (Renungan tentang Metafisika) tahun 1642, dan Principia Philosophiae (Prinsip-prinsip dalam Filsafat) tahun 1644. Tiga buku itu adalah buku yang paling monumental, meski Descartes juga menulis buku lain seperti Essais Philosophiques (1647) yang membahas mengenai ilmu optik dan geometri (Susanto, 2010, 41). Descartes selalu berusaha untuk membuktikan kebenaran-kebenaran dengan dalil matematika yang dikuasainya. Dia mengawalinya dengan menggunakan metoda ―keraguan‖. Sebagai dasar pijakan kuat bagi filsafatnya, segala sesuatu harus meragukan segala sesuatu selama bisa diragukannya. Pandangan Descartes ini melengkapi revolusi ilmiah Isaac Newton (1664) bertepatan dengan tahun kematian Galileo yang dihukum gantung. Newton mengembangkan suatu formulasi pandangan dunia mekanistik yang matematis dan lengkap, sehingga melahirkan sintesis dan karya agung pada babak selanjutnya yakni karya Copernicus, Kepler, dan Bacon. Nweton dengan kekuatan pemahaman atas matematika yang mendalam, menciptakan teknikteknik matematika yang melampaui teknik matematika Galileo dan Descartes. Prestasi intelektual yang luas biasa hingga Einstein-pun memuji bahwa kemajuan terbesar dalam pemikiran dunia yang pernah dibuat manusia pada pribadi tunggal adalah temuan adikarya milik Isaac Newton. Selanjutnya, Filsafat Descartes itu telah memenjara pikiran manusia - sebagai sosok ―agent aktif‖ yang berubah menjadi ―agent pasif‖ - dalam kurun waktu ribuan tahun. Filsafat inilah yang membelah semua realitas obyektif menjadi oposisipasangan (binary-opposition). Sebuah prinsip pertentangan di antara dua istilah dalam
223
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
strukturalisme, yang menganggap yang satu lebih superior dan yang lain adalah inferior, seperti maskulin-feminin, barat-timur, benar-salah, hitam-putih, kuat-lemah dan seterusnya. Sejalan dengan keterpengaruhan pada oposisi-pasangan (binary opposition, yang on-off) tersebut, pemerolehan visum akuntansi forensik mengelaborasi pola ini, artinya penyimpangan yang berdampak pada kerugian keuangan itu diterjemahkan sebagai suatu bentuk sesuatu yang ―salah‖ dari sesuatu yang ―benar‖. Prosedur yang dibangun adalah melakukan perbandingan antara yang ―seharusnya‖ dengan ―sebenarnya‖, antara das-sollen dengan das-sein-nya, antara de-jure dengan de-factonya, dan antara cita dan faktanya. Sejalan dengan penjara pikiran itu, Erchart Tolle menyatakan (2009, 16) bahwa penjara pikiran itu akan berakibat, kita memiliki pemikiran kompulsif. Pemikiran kompulsif menghasilkan suatu formulasi dalam pikiran kita bahwa semua realitas kehidupan ini, kelihatan secara terpisah, terpecah-pesah, terfragmentasi dan tidak merupakan satu kesatuan holistic and wholness. Erchart Tolle melanjutkan dengan mengatakan bahwa bilamana kita mengidentifikasi suatu realitas dengan pikiran, maka kita telah memasang cermin buram yang berupa konsep, label, imaji, kata-kata, definisi-definisi dan lainnya yang kemudian ―memblok‖ diri kita sendiri untuk tidak dapat menerima realitas lain yang tidak sesuai dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah, asasasas dan lainnya yang berada dan bersemayam dalam pikiran kita. Misalnya, suatu perasaan yang mendesir halus dalam persaan atau hati kita tentu akan kita tolak sebagai suatu realitas yang nyata-nyata ada. Realitas itu akan kita ingnkari sebagai suatu self-evidence. Mungkin saja getar hati kita tadi akan dapat kita percayai sebagai sesuatu yang benar, tetapi pikiran kita tidak akan pernah mampu memahami self evidence itu sebagai suatu realitas yang
224
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
benar. Hanya keyakinanlah yang mungkin bisa menolong bahwa realitas itu memang ada dan benar. Untuk contoh lain agar kita dapat memiliki pemahaman yang sama bahwa, kita percaya kepada Sang Maha Pencipta dan Maha Benar itu, karena kita merasakan akan kehadiran-Nya dalam hati dan dalam persaan kita, tetapi pikiran kita tentu akan skesulitan dan boleh jadi tidak akan pernah sanggup membangun bahwa realitas itu ada benar. Pikiran kita akan senantiasa melakukan resistensi atas ada dan kekehadiran Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu, padahal realitas Sang Maha Segalanya itu hadir dalam bathin atau nurani kita. Karena itu dalam agama, dalam soal-soal seperti ini, kita selalu diyakinkan melalui ―dogma-dogma‖ untuk membangun keyakinan pada diri kita. Karena pikiran kita akan mengalami kesulitan (a bounded rationality) dalam menerima sesuatu realitas yang tak tampak dalam indera kita. Dengan demikian, perlu disadari bahwa lima macam alat bukti yang bersifat inderawi dan diagung-agungkan yang mampu menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi, dalam paradigma lain ternyata masih memiliki kelemahan substansial. Nuril Ashuri, ahli Psikologi Transpersonal yang berdomisili di Malang menambahkan dengan mengatakan bahwa kesadaran (conciousness) akal kita yang menguasai dan mengendalikan manajemen tindakan, pengambilan keputusan, mengarahkan gerak langkah kita dan semua hal yang berkait dengan diri kita ini. Namun, pada saat kita dalam kondisi subconcious, di mana dalam kondisi itu kita tidak dipengaruhi dan dipenjara lagi oleh pikiran, saat itulah suatu kejujuran dan keberanian mengatakan apa adanya tercipta. Kondisi subconcious akan melahirkan pengakuan jujur dan transparan, keterbukaan pengakuan terwujud dan sanggup menerangkan kejadian, peristiwa dan apa saja akan muncul ke permukaan tanpa ada beban apapun. Apalagi kita ini memiliki naluri binatang (reptile instink) yang akan senantiasa
225
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
menghela dan membela kita untuk selalu mempertahankan hal-hal yang dapat menguntungkan diri kita. Insting binatang itu membuat kita mampu berbohong dan mengatakan yang tidak sejujurnya dan tidak semestinya atas fakta, data dan informasi yang sesungguhnya, yang menurut pikiran kita akan mampu menyelamatkan kita. Dalam penelitian ini, wawancara mendalam (indepth interview) yang saya lakukan adalah dalam rangka untuk dan demi menyerap (saturate) dan atau menemukan informasi yang kontinyu untuk menambah data hingga tidak ada lagi data yang dapat ditemukan dalam kategori. Suatu kategori adalah untuk mewakili unit informasi yang tersusun dari peristiwa atau kejadian (Strauss and Corbin, 2003, 32 dan Cresswell, 2003,56). Sambil mengumpulkan data, secara simultan analisis terus saya lakukan. Pengumpulan data dalam grounded theory merupakan proses ―zig-zag‖ (Creswell, 2003, 56-57). Proses pengambilan informasi melalui pengumpulan data dan membandingkannya dengan kategori yang muncul disebut constant comparative analysis. Dari uraian-uraian yang saya kemukakan pada sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa penyidikan merupakan tindak lanjut dan pendalaman bahan bukti dari hasil konstruksi visum akuntansi forensik level penyelidikan. Hasil akhir penyidikan, Penyidik menyimpulkan bahwa hypothetical construction of crime 5W+2H telah terjawab atau konstruksi visum akuntansi forensik level penyidikan telah mewujud. Visum
akuntansi forensik merupakan hasil akhir dari penyidikan dan
merupakamn bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk membuat Dakwaan yang cermat, jelas, dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Dakwaan akan menjadi bahan bukti dan landasan utama bagi Majelis Hakim pada pemeriksaan perkara dalam pemeriksaan silang (cross examination) pada sidang-sidang di pengadilan
226
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
PROPOSISI:
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik merupakan temuan pulbaket lidik atas paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang menjadi dasar penetapan status terdakwa.
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik terangkai dalam suatu chart and matrix yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W secara cermat, jelas dan lengkap.
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik berisi rangkaian alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka berfungsi sebagai bahan bukti penyusunan berkas Dakwaan bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Proses eksplorasi visum akuntansi forensik lidik dalam dapat dilihat pada gambar 5.2. Sedangkan pada wujud rangkaian visum akuntansi level penyelidikan terlihat dalam gambar 5.3.
Gambar 5-2 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN
227
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Gambar 5-3 WUJUD RANGKAIAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN
228
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 6 VISUM AKUNTANSI FORENSIK SEBAGAI BUKTI PENDUKUNG LITIGASI
Segala Kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan serta dibenarkan. Padahal, kebenaran itu sendiri tidak memerlukannya, karena kebenaranlah yang akan menunjukkan sendiri apa yang diakui benar dan berlaku benar (Paul Natorp) 6.1. PENGANTAR Uraian bab III, IV dan V menggambarkan perjalanan rekonstruksi sejarah fakta sejak Aduan, Keluhan, dan Petunjuk (AKP) yang ditindaklanjuti dengan audit investigatif (AI atau PKKN), lalu pulbaket lidik dan kemudian pulbaket sidik hingga menjadi visum akuntansi forensik. Pada bab ini, saya akan melakukan sintesis atas tiga bab sebelumnya itu. Dengan demikian, dalam uraian saya ini akan secara spesifik konkritisasi wujud visum akuntansi forensik itu. Seperti ungkapan Natorp yang saya kutip di atas menunjukkan bahwa esensi perjalanan pemikiran manusia hanyalah untuk mencari kebenaran sejati. Suatu upaya yang pada ujungnya membawa konsekuensi pada klaim-klaim si pembawa untuk diakui valid, kredibel dan dipakai pada zamannya. Namun, hal itu tentu saja akan melalui berbagai pertarungan yang melampaui dimensi ruang, waktu, konteks dan lokalitas para pemikir berada. Pencarian kebenaran akan senantiasa terdapat mata rantai tataran praksis yang abadi, yakni sebuah bentuk falsifikasi pada tesis-antitesis, aksi-reaksi, konstruksi-rekonstruksi bahkan dekonstruksi sekalipun (Shaleh, 2003,1).
229
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kebenaran akan selalu bersifat sementara yang pada saatnya akan terfalsifikasi dalam bentuk beragam sesuai dengan parameter dan indikator atau dimensi yang mengelilinginya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena lemahnya jari-jemari cengkeramannya. Munculnya falsifikasi, boleh jadi dan mungkin saja karena sebuah kebenaran lain telah hadir. Kehadiran kebenaran karena muncul dan berkembangnya berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia yang bisa jadi bersifat destruktif bahkan menyesatkan. Yang pasti, suatu kebenaran itu akan selalu mengalami falsifikasi sehingga membentuk lingkaran ilmiah (spesific-circle) yang menghirup nafas esensi dan mencengkeram rantai filosofis. Perubahan kebenaran, tidak selalu mengubah secara radikal, namun bisa jadi hanya sekedar meneguhkan kebenaran lama dengan argumentasi baru, menempelkan justifikasi bersama retorikanya atau mungkin saja hanya sekedar mengoreksi dan menambal kebenaran yang ada kemudian membangun kebenaran dengan wajah baru. Yang pasti, rangkaian falsifikasi akan terus berputar, berjalan, bergelut dan bergulat serta selalu mencari muara pada kebenaran-kebenaran baru. Kebenaran baru itu tidak memerlukan alat justifikasi bagi dirinya dan meminta dibenarkan. Karena kebenaran itu akan tetap sendirian dan menunjukkan apa yang diakui benar dan berlaku benar. Inilah esensi perjalanan kebenaran menuju ke kebanaran yang lain. Karena itu, kebenaran tidak mungkin dapat dicari dalam ranah filsafat aliran apapun, domain teoritik manapun, dan madzab pemikiran dari mana pun. Kebenaran hanyalah masalah penafsiran atas realitas yang dilihat dan kelogisan tafsir yang dibangun. Kebenaran hanyalah soal sudut pandang yang digunakan, asumsi yang dipakai, landasan argumentasi yang dimunculkan, dan seberapa banyak dukungan
230
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
masyarakat ilmiah atas justifikasi berbasis retorika yang dibangun oleh si pengembara kebenaran itu semata. Dengan demikian, hal yang sama akan menjadi keniscayaan yang tak dapat saya ingkari bahwa uraian sintesis sejarah fakta terhadap realitas obyektif atas tindak pidana korupsi hanyalah sekedar mencoba mencari pada kebenaran. Boleh jadi hanya sekedar menambal serpihan semata. Bisa saja, penelitian berikutnya dapat lebih memperbaharui, memperkaya atau difalsifikasi dan diambrukkan lalu dibangun proposisi baru yang merupakan representasi kebenaran baru yang ditemukan..
6.2. AKUNTANSI FORENSIK, BUKTI DAN PEMBUKTIAN “Kebenaran‖ dapat saya artikan sebagai suatu informasi yang sesuai dengan realitas objektif. Kebenaran dalam akuntansi merupakan kesesuaian antara assersi19 dengan bukti-bukti pendukungnya (corroborating evidence), sedangkan kebenaran dalam auditing adalah kesesuaian atau konformitas assersi dengan realitas objektif yang ditemukan auditor dalam proses pengujian yang berbasis bukti (evidence [?] or evidential matter [?]). Kebenaran dalam domain hukum (KUHAP) adalah suatu kesesuaian atau konformitas antara yang seharusnya dengan yang sebenarnya, antara das-sollen dengan das-sein atau antara de-jure dengan de-facto. Kebenaran dalam domain hukum selalu bermuara pada kepastian tidak terjadinya suatu penyimpangan yang terjadi antara cita dan fakta berdasarkan bukti-bukti atau dengan kata lain suatu kebenaran yang berbasis hasil pemeriksaan (penyelidikan, penyidikan dan lainnya). Demi dan untuk kepastian suatu kebenaran itu, UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK memberikan suatu kebenaran dalam bentuk definisi mengenai kalimat Assersi (assertion) adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggung jawab atas deklarasi tersebut. assersi adalah pernyataan (statement) yang dibuat oleh satu pihak yang secara implicit dimkasudkan untuk digunakan oleh pihak lain pihak atau ketiga (SPAP, 326.1). 19
231
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
hasil pemeriksaan. Definisi itu memformulasikan bahwa ―hasil pemeriksaan‖ adalah suatu hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK. Dengan demikian, dari dialog di atas dapat saya simpulkan suatu kebenaran, baik yang melekat pada akuntansi, auditing dan hukum senantiasa beralaskan pada bukti-bukti yang dapat memastikan kebenaran itu sendiri. Suatu bukti yang dapat memberikan keyakinan kebenaran memang faktual dan memiliki evidens. Selanjutnya, bukti merupakan sarana persuasi atau alat pemaksa untuk mempercayai terhadap suatu assersi atau realitas. Pengetahuan tanpa bukti akan disebut sebagai ―kepercayaan‖. Bukti akan mengantarkan kita kepada suatu pemahaman, simpulan atau pendapat atas kejadian-kejadian pada sebelumnya. Dengan demikian, bukti akan meliputi suatu keyakinan terhadap eksistensi suatu peristiwa di masa yang lalu. Jadi, bukti niscaya merupakan evidensi sejarah fakta pada masa lalu, dan berfungsi sebagai basis utama bagi pengambilan simpulan dan putusan. Masih berkaitan dengan persoalan bukti, menurut SPKN (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara), bukti digolongkan menjadi: bukti fisik, dokumenter, kesaksian (testimonial) dan analisis. Bukti fisik diperoleh dari inspeksi langsung, atau pengamatan yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap orang, aktiva, atau kejadian. Bukti tersebut dapat didokumentasikan dalam bentuk memorandum, foto, gambar, bagan, peta, atau contoh fisik. Bukti dokumenter terdiri atas informasi yang diciptakan seperti surat, kontrak, catatan akuntansi, faktur, dan informasi manajemen atas kinerja.
232
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bukti kesaksian diperoleh melalui permintaan keterangan, wawancara, atau kuesioner. Bukti analisis meliputi perhitungan, pembandingan, pemisahan informasi menjadi unsur-unsur, dan argumentasi yang masuk akal. Selanjutnya, pada uraian dan diskusi saya pada bab III, IV dan V, saya dapat menarik
simpulan
bahwa
akuntansi
forensik
merupakan
akuntansi
yang
didayagunakan dalam domain hukum dalam tugas utamanya sebagai alat dukung bagi proses litigasi. Akuntansi forensik merupakan gabungan disiplin pengetahuan akuntansi, auditing dan hukum. Sebagai fungsi akuntansi, akuntansi forensik akan mengkonstruksi bukti-bukti yang diperoleh/ada menjadi suatu laporan (assersi). Fungsi ini dalam tindak pidana korupsi tampak secara jelas dalam bagaimana akuntan forensik (auditor investigatif) melakukan konstruksi perhitungan angka kerugian keuangan negara (PKKN) yang berbasis bukti-bukti dimabil dari raw data. Sebagai akitivitas audit, akuntansi forensik akan melakukan penelusuran, pengujian, melakukan seperti uji bukti (tracing, vouching, reperforming, reconciling), konfirmasi, observasi dan prosedur lain yang dianggap perlu hingga terkumpulnya bukti yang memiliki kriteria relevan, kompeten, cukup dan material (rekocuma). Jadi dalam akuntansi forensik niscaya terjadi hubungan harmonis antara akuntansi, audit dan hukum yang saling tunjang menunjang dan terjalin secara berkelindan. Bukti disebut [re]levan, jika bukti tersebut mempunyai hubungan yang logis dan arti penting bagi temuan audit yang bersangkutan. Bukti disebut [ko]mpeten apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam menilai kompetensi suatu bukti,audit harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti apakah bukti telah akurat, meyakinkan, tepat waktu dan asli.
233
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Sedangkan, dalam menentukan [cu]kup tidaknya suatu bukti, auditor harus yakin bahwa bukti yang cukup tersebut akan bisa meyakinkan seseorang bahwa audit finding adalah valid. Apabila mungkin, metode statistik bisa digunakan untuk menentukan atas cukup tidaknya suatu bukti audit. [Ma]terial adalah signifikansi suatu nilai bukti itu bagi professional judgement yang akan diambil auditor. Jadi, ―rekocuma‖ merupakan suatu prasyarat bagi kriteria bukti yang akan menjadi basis pembuktian suatu kebenaran. Suatu kebenaran yang berbasis bukti akuntansi, audit dan hukum,yang akan dibawa sebagai bekal dalam perjalanan litigasi yang panjang. Karena itu, rekocuma merupakan suatu keniscayaan dalam PKKN. Dalam kotak 6.2. di atas dapat saya gambarkan, suatu contoh mengenai audit investigatif yang biasa dilakukan BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara
(PKKN). Bagan alir (flow chart) itu menggambarkan mulai dari
proses awal, yakni adanya permintaan PKKN baik permintaan dari Kepolisian, Kejaksaan atau KPK. Permintaan itu ditindaklanjuti dengan paparan
kasus dari
instansi peminta yang disebut juga sebagai ekspose atau eksaminasi atau gelar perkara. Ekspose itu bertujuan untuk memastikan dapat (tidak) permintaan tersebut ditindaklanjuti dengan aktivitas audit investigatif (AI). Bilamana permintaan PKKN diterima, pertanyaan berikutnya adalah apakah data yang melekat pada kasus tindak pidana korupsi itu memiliki bukti lengkap (data masak pohon) atau buktinya masih berceceran dan perlu aktivitas audit (pencarian bukti) tambahan yang lebih mendalam lagi? .Jika bukti-bukti perkara tindak pidana korupsi itu memiliki kriteria rekocuma (relevan, kompten, cukup dan material) maka aktivitas PKKN dapat dilakukan yang pada akhirnya terciptalah angka PKKN yang merupakan salah satu alat bukti yang andal yang menyertai dan dukungan pembuktian bagi proses litigasi.
234
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kotak 6.1 PROSES AI DAN PKKN
START
PERMINTAAN PKKN (POLRI, JAKSA, DAN KPK)
EKSPOSE KASUS TIPIKOR?
TIDAK
TOLAK (BUKTI TIDAK REKOCUMA)
YA / DITERIMA
BUKTI REKOCUMA?
TIDAK
AUDIT INVESTIGATIF (DATA MENTAH)
DATA COLLECTING YA
AUDIT INVESTIGATIF (DATA MASAK POHON) TIDAK
DRAFT PKKN
DRAFT PKKN
TIDAK EKSPOSE DRAFT PKKN?
EKSPOSE DRAFT PKKN? YA
YA
PKKN FINAL
FINISH
Selanjutnya, agar kita memiliki pemahaman yang sama, dengan mengelaborasi UU 15/2006, bagi saya definisi pemeriksaan (audit) PKKN di atas adalah suatu proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif,
235
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan (audit), untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sedangkan, kerugian Negara/Daerah adalah suatu kekurangan uang (shortage cash), surat berharga, dan barang yang ―nyata dan pasti‖ jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Selanjutnya, Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban yang melekat pada pelaksanaan tugas yang diembannya itu.
6.3. VISUM AKUNTANSI FORENSIK Seperti yang saya jelaskan pada bab III, IV dan V bahwa aktivitas AI, PKKN, pulbaket lidik dan pulbaket sidik dapat saya katakan sebagai suatu perjalanan eksplorasi mendalam untuk menemukan bahan-bahan bukti. Ia sejatinya adalah sejarah fakta masa lalu yang direkonstruksi menjadi visum akuntansi forensik. Tabel 6.1. merupakan paparan perbedaan antara visum akuntansi forensik pada level audit investigatif, penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian, menurut saya, visum akuntansi forensik akan merupakan suatu kumpulan bukti, fakta, data, informasi dan keterangan atas terjadinya peristiwa penyimpangan keuangan, sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum (penyimpangan prosedur) yang dilakukan si pelaku. Dengan demikian, eksistensi visum akuntansi forensik tidak lain adalah representasi atas mewujudnya tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensik dapat saya sebut sebagai sejarah bukti yang mengurai fakta-fakta yang terjadi di sekitar peristiwa hukum itu.
236
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Tabel 6-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA, SIDIK, LIDIK, DAN AI KETERANGAN
PENYIDIKAN (SIDIK)
PENYELIDIKAN (LIDIK)
AUDIT INVESTIGATIF (AI ATAU PKKN)
PERSAMAAN
Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik
Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik
Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik
Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level Penyidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level Penyelidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level audit investigatif, auditor akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam akuntansi dan auditing (due professional care)
Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK
Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK
Dilakukan oleh Auditor BPK atau BPKP
Menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)
Tidak menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)
Tidak menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)
Dilaksanakan berbasis pada hasil penyelidikan atau temuan langsung dari lapangan (tertangkap tangan)
Dilaksanakan dari hasil audit investigatif dan atau AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk
Dilaksanakan dari bukti AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk
Memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi
Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi
Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi
Hasil permintaan keterangan tersangjka dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan)
Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAK (Berita Acara Konformasi/klarifikasi)
Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyidik dapat melakukan penahanan, penggeledahan, penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan
Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan lain hanya atas ijin penyidik
Auditor tidak dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan hukum lain
Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik
Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik
Sebutan bagi objek penyidikan disebut dengan “tersangka”
Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terperiksa”
Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terduga”
PERBEDAAN
237
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Persoalan utama dalam tindak korupsi, bagi saya adalah, persoalan PKKN. Dengan kata lain, temuan atas eksistensi kerugian keuangan negara merupakan suatu petunjuk atau simpulan akhir yang dapat memastikan bahwa tindak pidana korupsi eksis. Karena dalam perhitungan kerugian Negara itu secara inheren harus ada penyimpangannnya. Eksistensi penyimpangan merupakan hasil dari perbandingan antara prosedur yang seharusnya dengan pelaksanaan yang sebenarnya. Hasil perbadingan itu (bila ada) itulah yang disebut sebagai kesalahan prosedur yang disengaja/lalai, penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merupakan sesuatu unsur yang melekat (embedded) dan diabsorsi dalam laporan PKKN. Untuk memberikan gambaran mengenai penyidikan, penyelidikan, dan audit investigatif, tabel 6.1. pada halaman sebelumnya dapat saya paparkan perbedaan dan persamaannya.
Gambar 6-1 RANGKAIAN INTEGRATIF PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK
Proses pencarian visum akuntansi forensik dapat dilihat pada gambar 6.1. yang memberikan paparan mengenai proses pencarian, sejak dari AKP hingga dan penyidikan yang pada ujungnya terbentuk suatu wujud visum akuntansi forensik. Wujud akuntansi forensik merupakan alat bukti dan barang bukti yang berhasil dikumpulkan untuk membantu dukungan litigasi pada perkara tindak pidana korupsi.
238
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Rangkaian ini dapat memberikan kejelasan mengenai bagaimana proses yang dilakukan baik auditor, penyelidik dan penyidik untuk memburu dan kemudian membangun visum akuntansi forensik. Selanjutnya, wujud visum akuntansi forensik itu akan berisi sejumlah alat bukti dan barang bukti serta keterangan-keterangan atas sejarah mengenai fakta-fakta terhadap peristiwa di masa yang lalu. Suatu sejarah fakta yang dapat dihadirkan rekonstruksinya pada masa kini (lihat gambar 6,2). Alat bukti, bilamana lengkap akan terdiri dari lima macam alat bukti, yakni alat bukti keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk dan alat bukti keterangan terdakwa. Lima macam alat bukti ini akan merupakan suatu kenisacayaan bagi terbentuknya visum akuntansi forensik.
Gambar 6-2 VISUM AKUNTANSI FORENSIK
239
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Unsur-unsur yang melekat dalam lima alat-alat bukti itu akan saya uraikan berikut ini. Uraian akan bisa saja bersifat iterarif, reiterativ maupun interaktif (bolak balik dan redundansi). Uraian semacam itu terjadi lebih disebabkan karena hubungan antara satu alat bukti dengan alat bukti lainnya kadang searah, namun pada situasi yang lain relasi bukti itu bersifat interaktif dan pengulangan (reiterative).
6.3.1. Alat Bukti Keterangan Saksi Alat bukti keterangan saksi, dalam kasus tindak pidana korupsi akan berupa keterangan-keterangan yang diberikan oleh seseorang mengenai penyimpangan keuangan yang dilakukan si pelaku yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan yang ia alami sendiri. Pada tabel 6.1 terlihat jumlah saksi-saksi yang diminta keterangannya. Pada perkara Bahri misalnya, terdapat 22 orang yang diminta keterangan untuk memastikan terhadap eksistensi tindak pidana korupsi itu. Pada kasus Sjamsuddin sebanyak 23 orang, dan pada perkara lain bisa saja jumlahnya pemberi keterangan bertambah atau berkurang, tergantung pada situasi, kondisi dan kompleksitas perkara itu sendiri. Keterangan saksi ini akan selalu mengarah dan diarahkan pada upaya keterangan-keterangan yang dapat memperjelas gambaran terhadap jumlah uang yang disimpangkan si pelaku sebagai akibat dari penyalahgunaan wewenang. Keterangan-keterangan yang diperoleh harus selalu dapat mengarah pada angka rupiah penyimpangan. Karena itu, teknik wawancara dan interogasi yang efektif akan menentukan kualitas dan keberhasilan penggalian keterangan saksi-saksi. Keterangan saksi harus memberikan araha pada angka rupiah penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Keterangan saksi itu harus berkaitan dengan keterangan mengenai di mana
240
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
penyimpangan dilakukan, kapan dan mengapa dilakukan, bersama siapa serta bagaimana cara ia melakukannya, lalu apa bukti penyimpangan itu. Karena seseorang dapat disebut sebagai saksi adalah seseorang yang melihat, mendengar, mengalami dan menyaksikan peristiwa penyimpangan keuangan yang merugikan negara tersebut. Tujuan wawancara adalah mencari keterangan dan informasi penting kepada saksi-saksi dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Dalam wawancara juga harus dievaluasi dan disimpulkan ada hubungan apa saksi-saksi itu dengan si pelaku yang dicurigai menjadi aktor utama dan otak dari tindak pidana korupsi. Hubungan tersebut bisa saja berupa atasan-bawahan, pemasok-pemberi kerja, penyuruh-disuruh, dan lainnya. kapan saksi mengenal si pelaku, dengan cara apa saksi mengenal, dalam hubungan apa perkenalan itu terjadi hingga pewawancara dapat mengambil simpulan bahwa saksi memberikan keterangan yang jujur dan akurat. Dalam wawancara, pewawancara harus juga senantiasa mengamati gerak perilaku saksi mengenai apakah ia memberikan keterangan yang jujur atau saksi telah berbohong atau mencoba mengalihkan perhatian untuk menipu atau membelokkan perkara. Hal yang perlu diperhatikan adalah bilamana si pewawancara telah memiliki bekal yang cukup atas perkara yang ditanganinya, maka hasil wawancara akan memiliki suatu daya guna dan hasil guna yang tinggi. karena itu, di akhir wawancara akan ditutup dengan kalimat khas, apakah saudara bersedia memberi keterangan lagi bilamana dibutuhkan? Apakah saudara perlu memberi keterangan tambahan, sebelum kita akhiri wawancara ini? Berkaitan dengan pertanyaan apakah pemberi keterangan jujur atau berbohong, John Reid mengembangkan instrumen evaluasi yang diberi nama Behavior Symptom Analysis (BSA). Reid yang dikutip kembali oleh Tuanakotta (2010, 505) mengatakan bahwa terdapat beberapa tingkat (level) atau beberapa saluran (channel) komunikasi
241
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yang dilakukan manusia. Makna atau maksud yang sebenarnya dari ucapan-ucapan seseorang akan diperkuat (amplified) atau diubah (modified) oleh berbagai saluran tadi, seperti kegagapan (speech hesitancy), sikap tubuh (body posture), gerak tangan (hand gestures), mimik wajah (facial expression), atau nada suara (tone of voice). Reid atas order dan pembiayaan dari kepolisian Chicago melakukan penelitian mengenai perilaku tersangka yang menceritakan kebenaran (truthful suspects) dan kebohongan (deceptive suspects) di luar pemakaian polygraph. Reid kemudian menyimpulan bahwa terdapat tiga tingkat (level) atau saluran (channel) yang digunakan seseorang dalam berkomunikasi, yaitu verbal channel, paralingustic channel dan nonverbal channel Verbal channel adalah ucapan yang keluar dari mulut seseorang, pilihan kata, dan susunan kata-kata yang digunakannya untuk mengirim pesan (massages). Subjek yang jiwanya sehat dan berinteraksi sosial secara baik dan normal akan mengalami kecemasan (anxiety) ketika ia berbohong. Karena ia didera ketakutan, ia lalu khawatir kebohongannya itu akan terungkap. Apapun penyebabnya, ketika subjek berbohong dalam wawancara, gejala-gejala perilakunya mencerminkan kesadarannya untuk menekan atau menghilangkan kecemasannya itu. Pada dasarnya pikiran dan tubuh kita bekerja bersama-sama untuk mengurangi atau menghilangkan kecemasan tadi. Paralingustic channel, adalah ciri-ciri percakapan (characteristic of speech) di luar ucapan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ucapan yang makna tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Misalnya, darling hari ini masakanmu uueenak sekali, padahal masakan itu sama sekali tidak enak. Ciri-ciri percakapan seperti ini atau paralinguistic behavior yang harus diamati oleh pewawancara. Verbal channel lebih bisa dikendalikan, paralinguistic channel ini sulit dikendalikan dan liar. Saluran ini lebih banyak terkontaminasi oleh faktor-faktor eksternal dibandingkan dengan saluran
242
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
verbal. Karena itu paralingustic behavior merupakan sumber terbaik untuk mendeteksi apakah seseorang itu melakukan kebohongan atau jujur. Ada baiknya, di sini akan saya uraikan hasil penelitian Reid yang sangat berguna bagi evaluasi atas suatu wawancara. Ada beberapa simpulan Reid, bahwa suatu wawancara akan direspon oleh subjek dengan berbagai reaksi. Reaksi itu antara lain adalah response latency, early response, response lenght, response delivery, continuity of the response, erasure respon dan nonverbal response. Hasil penelitian Reid menyatakan bahwa seseorang yang jujur akan merespon jawaban rata-rata dalam 0,5 detik sedang seseorang yang sedang berbohong rata-rata merespon jawaban dalam waktu sekitar 1,5 detik (response latency atau masa keheningan). Karena itu, jika untuk menjawab suatu pertanyaan yang sederhana saja, respon jawaban tersangka itu tertunda lama, atau menjawab dengan mengulang pertanyaan, atau meminta klarifikasi atas pertanyaan yang diberikan kepadanya, atau meminta pertanyaan tersebut diulang kembali, maka patut diduga bahwa ia memberikan jawaban yang tidak sebenarnya (berbohong). Tersangka berpikir keras untuk menjawab pertanyaan yang aman bagi dirinya (reptile instink). Early Response adalah menjawab lebih awal. Ini merupakan salah satu kategori dari paralingusitic behavior yang berkaitan dengan ukuran waktu dari suatu jawaban (response time). Artinya, tersangka tidak menunggu pertanyaan itu selesai, tetapi pertanyaan yang belum selesai langsung dijawab (karena ia gugup). Early responses ini pada subjek yang jujur akan menjawab lagi setelah pertanyaan selesai, namun untuk subjek yang berbohong dia tidak akan mengulangi lagi jawabannya. Suatu jawaban yang merupakan bantahan atas pertanyaan yang memojokkannya atau pertanyaan yang menuduhnya. Jawaban terlalu buru-buru itu merupakan bentuk bantahan (denial response) yang mengandung kebohongan.
243
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Response Lenght (panjang jawaban). Seseorang yang jujur akan menjawab dengan uraian yang panjang bahkan kadang menambahkannya dengan informasi yang tidak ditanyakan. Sebaliknya seseorang yang berbohong akan menjawab dengan jawaban pendek-pendek atau sekedar memnuhi syarat menjawab saja. Namun, pada seseorang yang berbohong bila menjawab panjang, isi jawaban akan cenderung mengalihkan topik pertanyaan atau jawaban ke luar dari konteks pertanyaan. Response Delivery (penyampaian jawaban). Penyampaian jawaban terlihat dari kecepatan (rate), tinggi-rendah nada
(pitch), dan kejelasan (clarity). Hal-hal
semacam itu bisa sejalan, konsisten, berkesesuaian dengan apa yang dikatakan, namun bisa juga bertentangan. Ketika seseorang mengungkapkan secara jujur, rate dan pitch akan meningkat. Bisa juga, tanggapan jujur dengan luapan kemarahan sering disampaikan dalam penggalan kata-kata (clipped words) yang jelas, tegas dan mantap. Selanjutnya, pada subjek yang jujur ingin pewawancara memahami jawabannya sehingga ia akan berbicara dengan jelas dan dengan voume yang tepat. Subjek yang berbohong cenderung menjawab dengan suara pelan, tidak jelas dan menggumam (mumble). Continuity Of The Response (keberlanjutan jawaban). Jawaban yang jujur akan mengalir dengan bebas, jawaban itu merupakan suatu tanggapan spontan dan apa adanya. Jawaban yang mengalir sebagaimana suatu alur pikir. Satu kalimat disusul dengan kalimat yang lainnya secara sambung menyambung, dan tidak meloncat-loncat dari satu alur ke alur lainnya. sebaliknya, dalam jawaban seseorang yang berbohong, jawaban akan berperilaku ―berhenti – kemudian – jalan lagi‖ (―stop – and start” behavior). Erasure Behavior (perilaku penghapusan). Dalam komunikasi paralinguistic, terdapat perilaku yang kedengarannya tidak menyenangkan, lalu ditindaklanjuti atau
244
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dihapus dengan kalimat cuman bercanda, jangan dimasukkan hati ya. Kalimat terakhir ini biasanya diikuti dengan gerakan alis atau senyum yang mengembang. Kalimat cuman bercanda, jangan dimasukkan hati ya merupakan erasure behavior. Bisa juga setelah kalimat itu diikuti dengan tertawa kecil, batuk-batuk kecil, atau berdehem. Nonverbal Behavior (perilaku nonverbal). Dalam berhadapan dengan suatu ancaman yang tinggi, seseorang akan melakukan tiga pilihan, yakni melawan (fight), melarikan diri (flight) atau berdiam diri (freeze). Pilihan reaksi akan sangat tergantung nyali seseorang itu sendiri. Dalam perilaku nonverbal, akan dapat diamati dari postur, gerak tangan, gerak kaki, mimik muka dan tatap mata. Tabel 6-2 NAMA TERSANGKA, JUMLAH SAKSI DAN ANGKA PKKN NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI
JUMLAH SAKSI YANG MEMBERIKAN KETERANGAN
ANGKA PKKN
Syamsul Bahri
22 orang
Rp.489.334.493.
Nazaruddin Sjamsuddin
23 Orang
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh
28 orang
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto
27 orang saksi
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sifabutar
25 Orang
Rp.10.621.101.549
Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber
Selanjutnya, kontak mata merupakan salah satu nonverbal yang penting untuk dievaluasi. Subjek yang jujur, pada umumnya tidak takut menatap mata pewawancara. Dalam hat tatap mata, paling tidak terdapat empat hal untuk menilai apakah seseorang
245
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
itu berbohong atau jujur dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pertama adalah, subjek
yang
tidak
berani
menatap
mata
kepada
pewawancara
biasanya
menyembunyikan sesuatu. Namun perlu dipertimbangkan juga ―kerusakan mata‖ subjek (seperti subjek bermata juling, memiliki rasa rendah diri dan lainnya). kedua adalah pewawancara sebaiknya tidak menantang untuk melakukan tatap mata kepada subjek, karena akan kehilangan kesempatan untuk mengamati perilaku nonverbal subjek. Ketiga adalah, pewawancara cukup mengamati secara casual agar membuat subjek tetap nyaman. Tatap mata casual namun tajam akan dapat memberikan gambaran apakah subjek menghindar dari kontak mata dengan pewawancara. Keempat adalah, baik subjek maupun pewawancara tidak boleh memakai kacamata hitam. Karena kacamata hitam tidak dapat untuk menangkap kejujuran jawaban subjek maupun pertanyaan jujur dari pewawancara. Sebagai penutup dalam alat keterangan saksi, bahwa dalam suatu penanganan tindak pidana korupsi, banyak saksi yang harus diminta keterangan (lihat tabel 6.1). Dengan jumlah saksi yang sedemikian banyak, tentu auditor dan investigator niscaya memerlukan keahlian dan ketrampilan dalam teknik-teknik berwawancara. Tanpa teknik piawai, tentu penanganan tindak pidana korupsi akan mengalami banyak kendala, karena dari keterangan saksi-saksi akan banyak menemukan arah, petunjuk dan kemana pemeriksaan harus dijalankan.
6.3.2. Alat Bukti Keterangan Ahli Alat bukti keterangan ahli merupakan suatu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus (profesional) mengenai sesuatu yang diperlukan dalam rangka membuat terang benderang dan kejelasan suatu perkara tindak pidana korupsi. Keahlian khusus yang dimiliki itu berhubungan dengan ilmu
246
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pengetahuan yang telah dipelajarinya secara mendalam dan komprehensif tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Dengan demikian, keterangan ahli biasanya ditunjukkan dengan sertifikasi dari ilmu pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman atas keilmuan yang pernah dipunyai.misalnya, ahli PKKN biasanya oleh diminta menunjukkan ijasah akuntansinya (akuntan), Certificate Fraud Examiner (CFE), Certificate Public Management Accountant (CPMA), Certificate Financial Analyst (CFA) dan sertifikat lain yang dimilikinya. Kalau ahli bersala dari kantor akuntan publik oleh hakim akan diminta untuk menunjukkan Register akuntan Publik, ijin praktek akuntan publik, Certified Public Accountant (CPA) dan sertifikasi lainnya yang dimiliki. Semua itu untuk mengukur keahlian dan kepakaran serta luas pengetahuan yang dimiliki pemberi keterangan ahli. Keterangan ahli ini bisa berasal dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memperkuat Dakwaannya (sebagai keterangan memberatkan atau getuige a charge). Namun bisa juga keterangan ahli ini berasal dari terdakwa (keterangan meringankan atau getuige a de-charge). Pengalaman saya mengikuti beberapa sidang di pengadilan, bekal seorang ahli yang diminta keterangan ahli-nya di pengadilan itu, tidak hanya cukup dengan bekal kepakaran dan kedalaman ilmu pengetahuan serta profesionalitas yang dimilikinya saja, namun perlu juga memiliki keberanian atau nyali dalam menghadapi tekanan (intimidasi) dan gempuran argumentasi yang dilakukan pihak lawan. Ia niscaya memiliki bekal ketangguhan untuk bisa survive dari perang logika yang biasa dimainkan advokat, serta tidak mudah patah berhadapan dengan pertanyaanpertanyaan rumit yang membombardirnya. Ia harus mempunyai kepercayaan diri tinggi dan berpenampilan elegance tanpa terlihat arogan. Logika keilmuan, konsep-konsep,
247
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
teori-teori yang dikuasainya menjadi senjata andalan dalam menangkis seranganserangan itu. Dalam cross examination di pengadilan, ahli akan menghadapi situasi persidangan yang boleh jadi bersifat konfrontasional. Namun, ahli harus selalu ingat bahwa yang dilayani adalah ―sidang‖ dan bukan lawan yang akan menyeretnya pada arus keterangan yang tidak menguntungkannya. Karena kadangkala keterangan dari ahli, dengan berbagai argumentasi dan cara, advokat atau jaksa akan berusaha mematahkan keterangan yang diberikannya itu. Misalnya, advokat atau jaksa mengatakan bahwa terdapat kasus lain yang mirip dengan perkara yang sedang berlangsung namun keterangan yang diberikan ahli tidak sama dengan keterangan yang diberikan oleh ahli yang lain itu. Bisa saja dengan mencuplik teori tertentu advokat atau Jaksa, menandingkan keterangan ahli dengan teori tersebut, bahkan teori yang diberikan ahli sudah kuno dan tidak lagi dipakai. Pengalaman menarik yang pernah saya alami sebagai pemberi keterangan ahli di pengadilan Negeri Malang adalah, suatu pertanyaan menggelitik. Pertanyaan itu sebenarnya sangat mudah dijawab tetapi sulit memahamkannya, karena saya tahu persis bahwa pertanyaan ini mengarah pada suatu konsep yang berbeda dalam cara memnadang fenomena, artinya terdapat perbedaan antara konsep akuntansi yang digunakan sebagai dasar menyusun laporan keuangan dengan konsep dalam memahami laporan keuangan dalam domain hukum. Kasus itu adalah kasus dugaan terhadap penggelapan uang di sebuah Baitul Maal Wa Tamwil di Malang. Pertanyaan hakim kepada saya adalah: coba saudara ahli jelaskan, di laporan ini terdapat laba Rp.100 juta, tetapi uang kas yang ada di neraca sebesar Rp.30 juta? Sebuah pertanyaan yang mudah saya jawab, kalau saja yang bertanya ini adalah mahasiswa akuntansi, tetapi saat itu saya sedang berperan
248
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
sebagai ahli yang diminta keterangannya dalam cross examination di pengadilan serta berhadapan dengan hakim, jaksa dan advokat yang tidak begitu banyak memahami konsep-konsep accrual basis, concervatism, going-concern, substance over form yang terjalin secara berkelindan dan menjadi bagian tak terpisahkan, inheren serta niscaya dalam laporan keuangan Baitul Maal Watamwil itu. Mereka yang berada dalam persiadangan itu lebih memahami konsep laba tunai. Karena itu, pada akhir sidang, saat Jaksa ditanya Ketua Majelis Hakim mengenai keterangan yang saya berikan, jawaban sang Jaksa secara spontan adalah ―keterangan yang diberikan oleh ahli tidak relevan‖ Selanjutnya, dengan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman, pada umumnya seorang ahli akan cenderung banyak bicara. Ia ingin memberikan keterangan yang mendalam, penjelasan yang mendetail, dan informasi yang sebanyak-banyaknya. Justru dengan jawaban yang panjang dan lebar itu akan membuka peluang untuk membuat kesalahan. Sebaiknya, ahli memberikan keterangan secukupnya, yang ditanyakan saja yang dijawab dengan jawaban singkat dan padat. Karena ahli tidak berhadapan dengan murid-muridnya yang lagi menyimak untk memperoleh pencerahan, tidak sedang mengajar di depan kelas, dan tidak sedang mendemonstrasikan kepiawaian dan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki. Karena itu sifat menggurui harus ditahan, atau over-dosis memberikan keterangan juga tidak menguntungkan, karena pemberian keterangan yang demikian itu mungkin saja dan boleh jadi dapat membuat pihak yang memerlukan keterangan merasa direndahkan, dilecehkan bahkan bisa juga merasa dipermalukan. Di samping ahli bisa dihadirkan ke pengadilan untuk memberikan keterangan terhadap perkara yang disidangkan, ia juga dapat dihadirkan dalam rangka untuk halhal yang bersifat klarifikasi pada istilah-istilah teknis dalam ilmu pengetahuan yang
249
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dkuasainya. Misalnya untuk menjelaskan apa arti restricted fund dan non-restricted fund yang ada dalam Neraca LSM? Apa beda laporan aktivitias LSM dengan perhitungan hasil usaha Koperasi? Dan klarifikasi lainnya yang bersifat teknis semata Pada tabel 6.3 dapat dilihat bahwa dalam kasus tindak pidana korupsi, semua keterangan ahli itu akan mengarah dan memperjelas pada persoalan angka keuangan yang disimpangkan sebagai akibat dari perbuatan hukum. pertanyaan-pertanyaan dan sanggahan-sanggahan dalam pemeriksaan silang (cross examination) di pengadilan, akan senantiasa berfokus dan menegrucut pada persoalan yang berkaitan dengan angka-angka keuangan, meskipun soal penyimpangan aturan hukum juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Tabel 6-3 NAMA TERSANGKA, NAMA AHLI BPKP ANGKA PKKN NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI
NAMA AHLI DARI BPKP
ANGKA HASIL PKKN
Syamsul Bahri
Tri Agung Sumartono
Rp.489.334.493.
Nazaruddin Sjamsuddin
Slamet Tulus Wahyana
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh
Handoyo Sudrajat
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto
Ernadhi Sudarmanto
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sidabutar
Hendri Juliver Sinaga
Rp.10.621.101.549
Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah keterangan akan selalu menjadi pertimbangan hukum bagi penjatuhan hukuman si terdakwa? Jawabannya adalah tidak selalu menjadi bagian pertimbangan bagi putusan hakim. Karena apakah keterangan dimasukkan atau tidak dalam putusan hakim akan berpulang pada keyakinan dan nurani hakim itu sendiri, artinya keterangan ahli bisa dipakai salah satu pertimbangan
250
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
putusan tetapi bisa juga sebagian atau sama sekali diabaikan. Kita akan bisa melihat apakah keterangan ahli dipertimbangkan atau tidak, pada putusan hakim. Apakah dalam putusan tersebut dalam hal ―menimbang‖ dimuat atau ditemukan mengenai keterangan-keterangan yang diberikan oleh ahli atau tidak.
6.3.3. Alat Bukti Surat Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah. Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis seperti: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, laporan hasil audit investigatif (AI), laporan penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dan termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Tabel 6-4 KONSEP ATAU METODA PKKN NOMOR
KONSEP ATAU METODA PKKN
1.
Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian
2.
Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi
3.
Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu
4.
Penerimaan yang menjadi hak negara tetapi tidak disetorkan ke kas negara
5.
Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu
Sumber: Tuanakotta (2009, 144)
251
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dalam hubungannya dengan bukti surat, dalam perkara tindak pidana korupsi yang paling menentukan adalah bukti surat beruipa laporan PKKN. Artinya dengan terformulasikannya angka kerugian keuangan negara (biasanya dilakukan BPKP), perkara tindak pidana korupsi menjadi jelas dan terang benderang. Jelas angka penyimpangannya dan jelas cara-cara yang digunakan dalam penyimpangan tersebut. Tuanakotta (2009, 143) mengatakan bahwa selama periode tahun 2007, KPK telah membuat kajian tentang penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dengan menggunakan 15 kasus tindak pidana korupsi sebagai sampelnya. Lima konsep atau metoda perhitungan seperti terlihat pada tabel 6.4. dielaoborasi. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa pertama adalah penerapan metoda PKKN seringkali tidak konsiten, meskipun secara umum penyimpangannya tidak jauh berbeda. Tidak terlihat adanya suatu pola PKKN yang dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam menghitung PKKN tersebut. Kedua adalah hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, sarana dan kesempatan dengan timbulnya kerugian keuangan negara, sering tidak dapat dilihat dengan jelas. Karena kadangkala tidak mudah mengidentifikasi perbuatan yang benar-benar mengakibatkan kerugian keuangan negara, apalagi jika dikaitkan dengan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunkan wewenang, sarana dan kesempatan yang dipunyainya tersebut. Pertanyaannya adalah apakah hubungan kausalitas harus dibuktikan? Lalu apakah ahli yang menghitung PKKN harus yakin terlebih dahulu adanya hubungan kausalitas antara perbuatan (melawan hukum) dengan kerugian keuangan negara? Dua pertanyaan itu tidak mudah untuk memperoleh jawabanya. Ketiga, pertanyaan sulit berikutnya adalah mengenai apakah suatu kerugian itu menjadi bagian dari kerugian keuangan negara atau bukan? Terdapat tiga pertanyaan
252
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
yang perlu kepastian yakni apakah pengadaan barang suatu Perjan (perusahaan jawatan), pelepasan aset tetap milik BUMN, PNBP yang telah direkayasa menjadi bagian kerugian keuangan negara atau bukan? Tabel 6-5 NAMA TERSANGKA, BARANG BUKTI ANGKA PKKN
NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI
BARANG BUKTI
-
Syamsul Bahri
-
Nazaruddin Sjamsuddin
-
Rustam Efendi Sifabutar
PKKN Bukti pengeluaran uang Kwitansi pembayaran premi asuransi dari BUMIDA Polis asuransi Bumida Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan lainnya
-
PKKN Qanun NAD DIPDA, SKO Surat rekomendasi Gubernur atas PL pengadaan helikopter Surat perjanjian Pembelian helicopter Surat Keputusan Gubernur NAD Saving Account Bukopin Berita Acara Serah Terima Akte Notaris Dan lainnya
-
PKKN Nota Dinas SK KPU tentang pengadaan buku SPK Percetakan buku Dan lainnya
Abdullah Puteh
Bambang Budiarto
PKKN addendum No. 05 dan 06 Nota Dinas Pengajuan Pencairan Anggaran SPP dan SPMU RASK dan DASK TA 2004 Notulen Rapat tgl 5-2-2004
-
PKKN Uang tunai Kwitansi Bukti transfer DASK DKI Tahun 2004 RKS, SPP dan SPMK 60 dokumen lainnya
ANGKA PKKN
Rp.489.334.493.
Rp.14.193.000.000
Rp.10.087.500.000
Rp.20.076.475.133
Rp.10.621.101.549
Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber
253
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Keempat adalah, pertanyaan berikutnya belum ada kepastian jawaban adalah apakah dalam perkara tindak pidana korupsi diperlukan seorang ahli yang khusus menghitung kerugian keuangan negara? Apa kompetensi dan kriteria yang dimiliki ahli tersebut? Profesi apa yang paling tepat bagi penghitungan kerugian keuangan negara? Kelima adalah sebagian besar bukti yang digunakan ahli dalam menghitung PKKN berasal dari penyidik, pertanyaannya adalah apakah ahli tersebut objektif dan independen? Lalu metoda perhitungan seperti apa yang harus digunakan ahli agar hasil PKKN bisa diterima (acceptable) di pengadilan? Pada tulisan lain, Tuanakotta (2010, 178) juga mengatakan bahwa terdapat empat sumber asal usul atas terjadinya kerugian keuangan negara tindak pidana korupsi. Asal usul itu diakronimkan dengan yakni simbol “R-E-A-L”. [R]eceipt kerugian negara yang berasal dari penyimpangan penerimaan negara seperti pada berbagai persoalan PNBP (penerimaan negara bukan pajak). [E]xpenditure kerugian atas pengeluaran pada kegiatan fiktif. [A]ssets kerugian akibat penyimpangan dari pengadaan barang (jasa), pelepasan aset, pemanfaatan aset, dan penempatan aset. Selanjutnya [L]iability kerugian keuangan negara dengan membuat seakan-akan atau seolah-olah ada kewajiban yang kemudian dibayar (Tuanakotta, 2009, 157-182). R-E-A-L yang disebut sebagai ―Pohon Perhitungan Kerugian Keuangan Negara‖ (PKKN trees). Karena itu, taksonomi atas tindak pidana korupsi akan eksistensinya akan mengacu pada salah satu dari empat macam dari PKKN tress tersebut.
6.3.4. Alat Bukti Petunjuk Pada dasrnya, alat bukti petunjuk dihasilkan dari melakukan persesuaian antara alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat dan alat bukti keterangan terdakwa. Persesuaian dan kesepaduan itu membangun suatu sintesis dan
254
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pemahaman terhadap eksistensi tindak pidana korupsi. Alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti yang telah ada, tetapi ia merupakan bentukan hasil sinkronisasi atas berbagai alat-alat bukti dan barang bukti yang menghasilkan suatu simpulan. Jadi alat bukti petunjuk akan berupa simpulan atas adanya tindak pidana korupsi. Tabel 6-6 NAMA TERSANGKA, ALAT BUKTIDAN BARANG BUKTI ANGKA KERUGIAN NEGARA NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI
Syamsul Bahri
Nazaruddin Sjamsuddin
Abdullah Puteh -
Bambang Budiarto
Rustam Efendi Sifabutar
ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI -
Nota Dinas Pengajuan Pencairan Anggaran Surat Permintaan Pembayaran (SPP) RASK dan DASK Tahun 2004 Notulen Rapat 05 Februari 2004 Addendum 05 dan 06 Hasil PKKN Keterangan saksi Keterangan ahli
-
Amplop coklat berisi uang Tas plastik putih berisi uang Traveller cheque Keterangan saksi-saksi Keterangan ahli dan lainnya
- LOI (letter of intent) - Surat Pernyataan Dana Special Treatment atas dana alokasi perlakuan khusus. Bukti transfer - Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya -
SK KPU tentang pengadaan buku SPK Percetakan buku Rekening Koran BRI KCP Cikajang Uang tunai Keterangan saksi-saksi Keterangan ahli dan lainnya
-
Uang tunai Kwitansi Bukti transfer DASK DKI Tahun 2004 Kontrak, SPMK dan RKS STNK, BPKB, Buku kir, Keterangan saksi-saksi Keterangan ahli dan lainnya
ANGKA PKKN
Rp.489.334.493..
Rp.14.193.000.000
Rp.10.087.500.000
Rp.20.076.475.133
Rp.10.621.101.549
Sumber: Berbagai sumber yang saya olah sendiri
255
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Alat bukti petunjuk ini, dalam aturan hukum di Amerika atau negara-negara yang menggunakan aliran common law disebut dengan indirect evidence. Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa dan barang bukti akan membangun alat bukti petunjuk. Wawancara dan interogasi akan memiliki peran signifikan dalam membangun alat bukti petunjuk ini. Logika inferensial (inductive) berbasis fakta-fakta, data-data, keterangan dan informasi serta barang bukti menjadi bahan baku utama bagi terciptanya suatu alat bukti petunjuk. Meskipun demikian, menemukan dan menyimpulkan alat bukti petunjuk juga tak dapat dilepaskan dari logika deduktif. Arsitektur alat bukti petunjuk ini akan banyak mengandalkan pada penggunaan logika rasional, analisis-sentesis, thesis-antithesis, dan opini dari keterangan ahli yang akan memiliki karakter ―sains‖. Dengan jumlah dan bervariasinya barang bukti yang didapat, pemehaman mendalam atas variabilitas modus operandi tindak pidana korupsi, perilaku (behavior) tersangka, rekaman telepon yang disadap, foto, analisis inferential yang rasional, akan membangun peningkatan kualitas dan validitas dari alat bukti petunjuk ini. Kesimpulan akhirnya, alat bukti petunjuk akan dapat meyakinkan hakim bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan terdakwalah si pelakunya itu.
6.3.5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa, pada umumnya dihasilkan dari interogasi. Interogasi adalah tipe wawancara yang khas. Interogasi bertujuan untuk memperoleh pengakuan si tersangka. Kapan suatu wawancara akan berubah menjadi suatu interogasi, tidak selalu mudah untuk dipastikan dan ditentukan.
256
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Interogasi adalah perangkat penting dan sangat menentukan bagi terkuaknya berbagai hal dalam peristiwa perkara tindak pidana korupsi. Seringkali, saksi dan bukti terbaik bagi tindak kejahatan adalah pengakuan dari si pelaku itu sendiri. Dalam hal teknik interogasi, interogator dapat menerapkan berbagai teknik untuk memancing pengakuan, namun dilemma yang dihadapi adalah ―semakin hebat teknik yang dipakai, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan pengakuan dari si pelaku, tetapi semakin besar pula resiko pengakuan itu palsu dan tidak akurat‖. Interogasi biasanya dilakukan saat si pelaku telah ditetapkan statusnya sebagai tersangka atau saat ia ditahan atau saat penyidikan berlangsung. Keberhasilan interogator dalam mengorek pengakuan akan banyak tergantung pada kemampuannya untuk menciptakan dominasi psikologis pada si tersangka.
Metoda Good and bad interogator Metode yang biasa dilakukan interogator adalah menampilkan drama dengan
aktor ―good and bad interogator”. Ini adalah cara yang umum dan biasa dilakukan oleh interogator. Di samping cara itu masih terdapat cara-cara lain yang dapat dilakukan interogator, yakni cara-cara seperti: cara langsung, cara emosional, cara otoriter, dan cara menipu. Cara langsung adalah mengapa interogator berada di ruangan itu dan langsung menanyakan detail-detail dari perkara yang terjadi. Cara emosional adalah interogator mencoba memainkan emosi si tersangka (rasa takut, bersalah, simpati, iri, simpati dan lainnya). Cara otoriter adalah mencoba menggunakan kekuatan atau kekuasaan interogator untuk menekan si tersangka agar mengaku. Cara menipu adalah interogator mengatakan telah mempunyai bukti-bukti yang cukup banyak atas kejahatan yang dilakukan tersangka. Interogator memiliki segudang pengakuan dari teman dan/atau bawahan tersangka. Bahkan interogator juga memperoleh sidik jari si tersangka atas jejak kejahatannya. Bisa juga interogator melakukan kebohongan-
257
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
kebohongan untuk mendapatkan pengakuan si tersangka. Misalnya saja, interogator mengatakan bahwa - sambil menunjuk alat di ruangan interogasi itu, yang sebenarnya hanyalah mesin photocopy biasa - dikatakannya sebagai sebuah alat pendeteksi kebohongan baru yang sangat canggih dan dapat mencatat suara si tersangka telah melakukan kebohongan.
Metoda tertutup-terbuka dan langsung tidak langsung Di samping metoda interogasi yang saya uraikan sebelumnya, terdapat tipe-tipe
pertanyaan interogasi, yakni tipe terbuka-tertutup (open-closed) dan tipe langsungtidak langsung. Pertanyaan tertutup adalah dengan jawaban ―ya‖ dan ―tidak‖, misalnya adalah pertanyaan: apakah anda telah membaca isi addendum kontrak 05 dan 06 sebelum anda menandatanganinya? Jawaban tertutup akan memaksa si tersangka untuk menjawan ―ya‖ atau ―tidak‖. Contoh lain, pertanyaan tertutup adalah: Penandatanganan kontrak 05 dan 06 itu di ruangan bupati ya?
Namun, jika
pertanyaan dilakukan dalam tipe pertanyaan terbuka, pertanyaan yang keluar adalah : ―coba anda bisa jelaskan mengenai addendum kontrak 05 dan 06 itu?‖ pertanyaan terbuka akan menghasilkan jawaban yang panjang dan mengungkapkan banyak informasi dibanding pertanyaan yang bertipe tertutup. Pertanyaan tertutup lebih efektif untuk mengatur dan mengendalikan interogasi dibanding pertanyaan terbuka, tetapi pertanyaan tertutup menghasilkan informasi yang sedikit. Pertanyaan langsung lebih effektif menghasilkan respons khusus dibanding pertanyaan tidak langsung. Pertanyaan langsung juga akan menghasillan banyak ketegangan dan respons yang tidak benar . pertanyaan bisa dikombinasikan, pertamatama dilakukan pertanyaan tidak langsung untuk mengurangi ketegangan dan menciptakan suasana keakraban,
mewujudkan kondisi kedekatan
batin
dan
mengarahkan pengakuan bersalah. Di samping itu pertanyaan tidak langsung juga
258
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
dapat menciptakan suasana dan kondisi agar tersangka lebih rentan terhadap pertanyaan langsung. Pertanyaan langsung, tersangka akan dapat menangkap secara jitu dan menebak secara persis terhadap informasi macam apa yang dicari interogator darinya. Pertanyaan tidak langsung akan menjebak tersangka untuk mengungkapkan informasi yang memberatkan. ―Bukankah anda berada di KAP Koento di jalan Dirgantara, sebelum addendum kontrak 05 dan 06 ditandatangani‖? adalah pertanyaan langsung. ―Siapa saja yang berada di ruang KAP Koento, saat anda di sana‖? adalah pertanyaan tidak langsung. Metoda Psikologikal Teknik yang memakai ukuran respons psikologis sebagai indikator atas deteksi kebohongan. Pendekatan-pendekatan yang memadukan aspek psikologi dan biologi. Thesisnya adalah tindakan kebohongan akan menciptakan konflik yang secara sadar yang memicu kepanikan atau ketakutan dalam diri si tersangka, yang kemudian diikuti dengan perubahan psikologikal yang dapat diukur dan diinterpretasikan. Uji polygraph. Yang sering disebut sebagai uji kebohongan, polygraph merupakan metoda yang paling dikenal luas. Uji poligrap mencakup serangkaian pertanyaan ya/tidak yang direspons tersangka ketika ia dihubungkan ke sensor-sensor yang mengirimkan, via kabel ke instrumen, reaksi fisiologis dari tersangka. Teknologi analog atau digital digunakan untuk merekam perubahan dalam pola kardioviskular, pernafasan dan elektrodermal (kulit) tersangka. Hasilnya kemudian digunakan untuk menentukan penipuan dan didasarkan pada perbandingan yang dilakukan antara respons fisiologis tersangka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang relevan (yang langsung menanyakan apakah tersangka melakukan kejahatan) dan pertanyaan pembanding
(yang
dirancang
untuk
memberikan
respons
kebenaran
atau
kebohongan). Jika tersangka menunjukkan reaksi secara konsitensi terhadap
259
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pertanyaan relevan dibanding dengan pertanyaan pembanding, maka akan dianggap jawabannya jujur. Sebaliknya bilamana tersangka menunjukkan reaksi tidak konsitensi maka akan dianggap berbohong. Kritikan atas uji poligrap menyatakan bahwa respons fisiologis yang diukur tidak berhubungan dengan kebohongan, karena rasa takut ditetapkan sebagai tersangka dan gelisah karena diperiksa juga bisa mempengaruhi respons fisiologis. Demikian juga, perubahan fisiologis dan psikologis bisa saja dikendalikan oleh beberapa tersangka sehingga memberi hasil yang salah. Sebagai konsekuensinya, meskipun uji poligrap dalam hal mendeteksi ketakutan, namun antara kebohongan, konflik dan reaksi tubuh dan emosi terlalu samar untuk mendukung klaim yang tinggi atas akurasinya. Computerized Voice Stress Analyzer (CVSA). CVSA adalah alat yang mengukur tekanan yang diinduksi secara fisiologi tetapi hanya dalam suaranya saja. CVSA itu disebut juga sebagai Psikological Stress Evaluator (PSE). CVSA atau PSE ini didasarkan pada teori bahwa variasi dalam suara akan berubah jika tersangka mengalami tekanan psikologis, dan suara itu dapat dideteksi dengan menganalisis suara yang keluar dari mulut tersangka. Bersamaan dengan pertanyaan yang diberikan kepada tersangka, sebuah mikrofon akan mencatat respon tersangka pada kertas grafik dengan garis-garis melengkung. Puncak lancip mengdentifikasikan kebenaran, sebaliknya puncak datar mengidentifikasikan kebohongan. Modulasi frekuensi yang tak sengaja
atau
―microtremors‖
di
suara
kemudian
diukur
oleh
mesin
dan
mengindikasikan tekanan yang dengan sendirinya akan dapat mengindikasikan kejahatan yang dilakukan subjek. Magnetic Resonance imaging atau disebut juga sebagai ―menyidik jaringan otak‖. Metoda ini didasarkan pada teori bahwa laporan yang teliti mengenai sebuah
260
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
kejahatan tersimpan di otak pelakudan mungkin dapat digali kembali. Pengembalian ini meliputi tiga tipe stimulus yang berbeda atau event-related potenstial (ERPS). Target yang adalah penampakan, suara, atau stimuli lain yang diketahui tersangka; pemeriksaan adalah stimuli yang hanya diketahui tersangka; dan irrelevant adalah stimuli yang tidak diketahui tersangka. Untuk menentukan apakah seseorang tersangka
menyembunyikan
pengetahuan/memori
yang
khusus
mengenai
kejahatannya, elektroda ditempelkan ke kepala untuk mengukur reaksi eletrofisiologis dari otak terhadap kata-kata, ungkapan, atau gambar khusus yang di-sort ke sebuah layar. Gelombang otak yang dipancarkan oleh reaksi tersangka kemudian dibaca dan diinterpretasikan. Para kritikus atas metoda MRI ini mengatakan bahwa, MRI hanya memunculkan sidik jari otak yang mendemokan atau memunculkan hanya validasi eksternal yang terbatas, padahal validasi internal ruangnya masih besar sekali ( seperti pemunculan gunung es). Dalam encyclopedia penegakan hukum yang ditulis Sullivan dan Marie (2010, 63-67) seperti yang uraikan di muka, sebenarnya masih banyak lagi metoda lain yang dapat dileborasi dalam penanganan kejahatan, seperti: Thermal Imaging, Behavior Detection, Facial Action Coding System, Neurolinguistic Programming Di samping itu juga terdsapat beberapa teknik paralungistic seperti penghitungan jumlah kata, grafologi, analisis isi dan lainnya yang sebagian telah saya uraikan pada penjelasan sebelumnya. Namun, apapun metoda ―scientific‖ uji dan evaluasi kebohongan itu dibangun, ternyata sekarang ditemukan suatu terapi suntikan yang dapat melumpuhkan ekspresi wajah. Seseorang yang telah disuntik senyawa botox (botulinum toxin) akan berdampak, wajah seseorang itu akan sulit, menunjukkan ekspresi emosional seperti layaknya orang berbohong, Ketika seseorang berbohong biasanya terlihat ada otot-otot
261
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
wajah yang berubah secara otomatis. Begitu pula ketika kita merasa sedih, marah atau senang, otot-otot wajah akan bergerak untuk menampilkan perasaaan dengan kuat. Otot-otot wajah akan bergerak dan merespon perasaan kuat itu dengan pantulan wajah yang ―sumringah‖ (bila hati bersuasana senang), ―gelisah‖ jika dalam kondisi ketakutan atau berbohong, atau ―muka perang, ditekuk persis kayak onta‖ manakala lagi sedang marah atau jengkel. Dengan demikian, dengan ditemukannya botox, berkonsekuensi bahwa uji dan evaluasi kebohongan secanggih apapun teknik pengejian dan pengevaluasian itu, belum tentu secara efektif untuk dapat memastikan bahwa si tersangka telah berbohong. Pengguna suntikan botox, emosi atau perasaan yang berubah itu tidak dapat ditampilkan secara maksimal. (Majalah Forum, 04 Juli 2010, 72)
Tabel 6-7 NAMA TERSANGKA, KETERANGAN DAN PENGAKUAN ANGKA PKKN TINDAK PIDANA KORUPSI
Syamsul Bahri Malang
PGM Kigumas
KETERANGAN DAN PENGAKUAN
ANGKA HASIL PKKN
Menolak atas sangkaan bahwa kontrak 05 dan 06 pekerjaannya fiktif
Rp.489.334.493.
Nazaruddin Sjamsuddin – KPU Pusat
Menolak atas dakwaan adanya penyimpangan uang kick-back dan pengadaan jasa asuransi PT.BUMIDA
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh – Gubernur NAD
Menolak penyimpangan prosedur helikopter terjadi dan mark-up harganya
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto – KPU Pusat
Menolak pengadaan buku-buku penyimpangan dan mark-up
terjadi
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sifabutar – Pemda DKI
Menolak penyimpangan prosedur pengadaan bus-way dan mark-up harga
Rp.10.621.101.549
pengadaan
KPU
Sumber: Berbagai sumber yang saya olah sendiri
262
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dilemma interogasi Terdapat dilemma yang melingkupi interogasi. Tugas interogator adalah untuk mendorong dan mempengaruhi pengakuan pada tersangka yang enggan mengaku. Interogator harus menawarkan rangsangan untuk mengatakan suatu kebenaran dan menekan agar tersangka mengatakan pengakuan sejujurnya. Makin besar rangsangan atau tekanannya, makin besar pula peluang adanya pengakuan palsu. Selanjutnya pada soal tempat, interogasi biasanya merupakan tempat yang asing bagi tersangka, bisa di kantor polisi, kejaksaan atau KPK. Temapt-tempat itu adalah tempat menakutkan bagi tersangka. Isolasi dari teman dan keluarga akan dapat menyebabkan tersangka lebih mudah dipengaruhi. Semakin lama diisolasi semakin besar derajat kerentanannya. Namun, semakin tinggi derajat konfrontasi yang dilakukan investigator kepada tersangka semakin besar pula munculnya pengakuan palsu. Tanpa tekanan pun, faktor emosional dan psikologis dapat menghasilkan pengakuan palsu. Tekanan pada tersangka, juga dapat menciptakan ingatan palsu. Tersangka bisa mengingat kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi. Ingatan palsu itu bisa tampak sama persis penampakannya di benak tersangka sebagaimana ia teringat pada peristiwa yang sebenarnya yang ia alami sendiri meskipun itu tidak benar. Selanjutnya, pencarian jawaban hypothetical construction of crime, salah satu prosedur eksplorasi tersebut dapat kita lihat dan kita saksikan pada pemeriksaan perkara Bahri, saat saksi Widjonarko, selaku Pejabat Pengendali Pelaksana Kegiatan (PKK) Dinas Perkebunan Pemkab Malang untuk memberikan keterangan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri. Dalam tiga kali permintaan keterangan terhadap Widjonarko, kita dapat melihat bahwa keterangan saksi ini memberikan arah jelas dan simpulan pasti bahwa
263
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
pembayaran atas addendum Nomor 05 dan 06 itu telah merugikan keuangan Negara, menguntungkan pihak lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, dapat diartikan suatu perbuatan yang merugikan keuangan negara sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum. Kutipan pertanyaan penyidik dan jawaban saksi Widjonarko, untuk sebagian pertanyaan dan jawabannya dapat saya uraikan dalam Socrates model sebagai mana saya uraikan pada tanya-jawab berikut ini. Penyidik bertanya: pada tahun 2004, siapa yang menjabat Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (DPP) Pemkab Malang? Saksi menjawab: sampai dengan bulan Juli 2004, yang menjabat Kepala Dinas Perkebunan adalah FREDDY TALAHATU, kemudian digabung dengan Dinas Pertanian mulai 09 Juli 2004 dan Kepala Dinas dijabat oleh HENDRO SOESILO. Pertanyaan penyidik berikutnya adalah: PGM Kigumas sudah berbadan hukum sejak tanggal 8 September 2003, dan berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2003 pekerjaan fisik telah dinyatakan selesai 100% pada tanggal 23 September 2003, apakah kegiatan bangunan sipil, penyempurnaan alat mesin, membayar jasa pengawas kepada LPM UB pada TA 2004 itu sudah benar dan sesuai dengan sistem penganggaran berbasis kinerja? Saksi Widjonarko menjawab bahwa setelah dia membaca PP 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor 25 Tahun 2002, kegiatan bangunan sipil, penyempurnaan alat mesin, membayar jasa pengawas kepada LPM UB itu tidak dibenarkan oleh dua peraturan itu. Untuk lebih memastikan keyakinannya, penyidik lalu menanyakan apakah pada TA 2004 ada perubahan dana Kimbun dan diatur di mana? Jawaban Widjonarko: pada TA 2004 Dana Kimbun sebesar Rp.1.900.000.000 yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2004. Kemudian terdapat Perubahan APBD
264
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
2004 sebesar Rp.3.032.200.000 yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2004 dikelola oleh Kadisbun Freddy Talahatu dan yang sebesar Rp.1.134.000.000 dikelola oleh Kadis Pertanian dan Perkebunan (KPP) Hendro Soesanto (pengganti Kadisbun Freddy Talahatu) sejak tanggal 9 Juli 2004. Interview dan Interogasi terus dilakukan hingga penyidik yakin dan merasa tidak ada lagi tambahan keterangan yang diperlukan dari saksi Widjonarko. Alat bukti keterangan saksi ini dicari, ditemukan dan dikumpulkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) hingga layak dan memenuhi syarat untuk disebut sebagai alat bukti keterangan saksi. Keterangan saksi merupakan mahkota dan petunjuk utama bagi eksplorasi alat bukti dan penemuan barang bukti tindak pidana korupsi. Pada dasarnya, wawancara dengan interogasi mempunyai karakteristik yang berbeda (Tuanakotta, 2009, 338). Wawancara akan bersifat netral dan tidak menuduh (an interview is non accusatory). Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi investigatif (investigative information) dan perilaku terhadap orang yang diwawancarai (behavior information). Wawancara seharusnya dilakukan secara cair, tidak terstruktur dan bisa saja melompat dari satu pokok bahasan ke persoalan lainnya. Wawancara harus bersifat tidak kaku, dinamis dan menyesuaiakan dengan kondisi dan keadaan. Pewawancara juga harus pandai membaca suasana, kapan wawancara itu harus dihentikan meskipun informasi belum lengkap dan kapan wawancara bisa dilanjutkan kembali untuk menambah informasi yang belum lengkap. Tuanakotta menambahkan bahwa sebelum wawancara dilaksanakan pewawancara sudah harus mempunyai gambaran tentang informasi apa saja yang dibutuhkan serta seberapa banyak informasi itu ingin dikumpulkannya. Berbeda dengan interogasi, sifat interogasi adalah menuduh (an interrogation is accusatory). Karena seseorang yang bersalah tidak akan secara sukarela memberi
265
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
keterangan yang bertentangan dengan kepentingan pribadinya (pada posisi terdesak, animal instink akan selalu muncul). Interogasi hanya dapat dilakukan, setelah investigator
mempunyai
keyakinan
memadai
mengenai
salahnya
orang
(an
Interogation is conducted only when the investigator is reasonably certain of the suspect‟s guilt). Interogasi juga bisa dilakukan dengan cara persuasi aktif (an interrogation involves active persuation) atau interogasi dengan cara membujuk. Teknik ini dilakukan karena investigator pada sebelumnya telah melakukan banyak kebohongan. Untuk membujuk menceritakan kebenaran, investigator mengajukan ―pernyataan‖ dan bukan ―pertanyaan‖.interogasi akan mengarah pada apa yang sebenarnya terjadi (the purpose of interrogation is to learn the truth), artinya siapa pelaku sebenarnya, berapa jumlah uang yang dikorupsi itu? Di mana tempatnya melakukannya? Bagaimana caranya dan seterusnya hingga hypothetical construction of crime 2H+5W terjawab.
6.4. CATATAN AKHIR Dalam kasus tindak pidana korupsi, yang perlu kita pahami bersama adalah perbedaan posisi dan pertimbangan para pihak yang terlibat pada perkara. Perbedaan posisi dan pertimbangan itu dapat saya rangkum pada tabel 6.8. Tabel 6-8 PERTIMBANGAN DAN POSISI PARA PIHAK YANG BERPERKARA DALAM SUATU PERISTIWA HUKUM PARA PIHAK YANG BERPERKARA
PERTIMBANGAN SUBJEKTIF
HAKIM JAKSA
SAKSI
SUBJEKTIF
√
√ √
√ √
OBJEKTIF √
√
ADVOKAT TERDAKWA
OBJEKTIF
POSISI
√ √
√
√
√
6.
Sumber: Kaligis (2009, 34) dan Tuanakotta (2010, 243)
266
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Para pihak di atas itu memiliki fungsi yang sama, yakni masing-masing pihak akan berusaha untuk mencari kebenaran dengan memeriksa dan menyelidiki secara jujur atas fakta (sejarah fakta) dan perbuatan terdakwa, maksud dan akibat yang ditimbulkannya, sebagaimana yang dituduhkan. Mereka menilai, apakah fakta-fakta itu memenuhi unsur pidana untuk menghukum terdakwa sebagaimana yang disyaratkan undang-undang, dan mereka juga akan mengukur, hukuman apakah yang dapat dan pantas diberikan kepada si terdakwa dengan seadil-adilnya, atau terdakwa harus dibebakan dari segala Dakwaan. Bagi Trapmann, sosok ahli pidana dari Negeri Belanda, yang pandangannya dikutip oleh Tuanakotta (2009, 213) mengatakan bahwa karena posisi yang berbeda, sudah sewajarnya berkonsekuensi pada pendirian berbeda. Jaksa, advokat, hakim, terdakwa tentu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam soal understanding, meanings and sense. Jaksa misalnya, meskipun selaku pejabat umum (openbaar ambtenaar) mempunyai posisi yang obyektif. Namun, sebagai akibat dari penuntutan (accusatoir) pada proses peradilan pidana, di mana jaksa dan terdakwa saling berhadapan dalam kedudukan yang sejajar, maka jaksa sebagai penuntut (wakil negara) dengan sendirinya akan mempunyai pendirian yang subyektif. Advokat, masih menurut Tuanakotta, oleh karena bukan pejabat umum, dengan sendirinya mempunyai posisi subjektif. Akan tetapi, pada dasarnya advokat berfungsi mengemukakan pendirian mengenai perbuatan-perbuatan tertuduh yang terjadi dirinjau dari sudut aturan hukumnya, abik formil maupun materiil, dengan demikian pendiriannya bersifat objektif. Terdakwa, akan seperti advokat. Dia mempunyai posisi yang subjektif. Dalam menghadapi tuntutan atau Dakwaan Jaksa, pendiriannya tentu juga akan subjektif.
267
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Hakim selaku pejabat umum dengan sendirinya mempunyai posisi yang objektif karena menjalankan fungsi mengadili terhadap masing-masing pendirian subjektif dari pihak-pihak yang bersebarangan. Kedua belah pihak itu adalah Jaksa dengan Terdakwa/advokat. Karena itu Hakim wajib atau setidak-tidaknya diharapkan memegang teguh pendirian yang tidak memihak dengan menerapkan pendirian objektif. Saksi, karena saksi - baik saksi fakta maupun saksi ahli - bisa saja kesaksiannya itu berupa kesaksian yang meringankan (a decharge) maupun saksi yang memberatkan (a charge) maka posisi maupun pendirian bisa objektif dan dapat saja berisfat subjektif. Dengan demikian, dalam posisi bisa obyektif namun bisa juga subjektif. Demikian pula dalam hal pertimbangan saksi dapat obyektif namun dapat juga menjadi subjektif. Di samping itu, pada penanganan perkara tindak pidana korupsi, dialektika Socrates menjadi keniscayaan. Dialektika socrates merupakan uji bukti, uji nalar, uji pemahaman, uji keluasan pengetahuan dan uji lainnya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk mencari dan membangun visum akuntansi forensik. Dengan adanya pertarungan seperti itu, hukum Gresam yang dikutip Agoes dan Hoesada (2009, 6) mengatakan yang rasional akan mengalahkan yang tidak rasional,
yang
memiliki
bukti
akan
mengungguli
yang
tanpa
bukti,
yang
berpengetahuan akan mengeliminasi yang tidak berpengetahuan, demikianlah berlakunya hukum Gresam itu. Demikian juga, adopsi dialektika Socrates dalam membnetruk visum akuntansi forensik merupakan bentuk pencarian kebenaran. Elaborasi dialektika Socrates dapat kita lihat pada adu argumentasi antara auditor, penyelidik, penyidik, jaksa, advokat, hakim, saksi, dan ahli. Adu argumentasi, justifikasi pendapat dalam BAK, BAPK, BAP,
268
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
AI, PKKN, pulbaket lidik maupun sidik merupakan ajang dan temapt rasionalisasi atas bukti-bukti yang melekat dan inheren dengan penanganan perkara tindak pidana korupsi. Prosedur penyelesaian rasional merupakan tempat paling suci dalam penanganan tindak pidana korupsi. Prosedur rasional itulah yang kemudian melandasi dan dasar putusan hakim. Bab VI ini tidak saya tutup baik dengan simpulan maupun proposisi seperti yang saya lakukan pada tiga bab sebelumnya itu. Karena bab ini lebih bersifat mengurai, menganalisis, memperjelas dan memunculkan, serta menambah keterangan, uraian, pandangan, wacana terhadap pernik-pernik dan hal-hal yang masih perlu dimasukkan atau kurang uraiannya pada tiga bab sebelumnya itu. Dalam istilah lain, dapat saya katakan sebagai lebih memunculkan ―sinar mutiara‖ yang masih buram dan kurang sinar kemilaunya pada tiga bab sebelumnya. Perkenankan saya mengakhiri uraian dalam bab ini dengan kalimat Trapmann yang dikutip Agoes dan Hoesada, 2009, 6) sebagai berikut:
“Opini manusia secara universal akan cenderung menyerah kepada suatu bentuk definitif, yaitu “kebenaran”. Biarkanlah setiap manusia itu memperoleh informasi secukupnya, dan memikirkan secara mendalam atas suatu masalah yang menjadi kegalauannya, sehingga ia akan sampai pada suatu simpulan yang jelas dan pasti, yang keadaannya sama dengan apa yang akan dicapai oleh aliran pemikiran lain apapun, oleh siapapun, di manapun... dalam situasi, kondisi, dan kejadian yang sama” .
269
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Bab 7 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN CATATAN AKHIR
Bener ketenger, becik ketitik, ala ketara Sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh Sing salah mesthi owah, sing bener mesthi nggejejer Sura sudira jayadiningrat, lebur dening pangastuti Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo kumowani Yen lali ndang elingo, yen eling ndang makarti, yen makarti kudu ngrumangsani (Disarikan dari: Kearifan Lokal)
7.1. SIMPULAN Mutatis mutandis, dengan basis metodologi grounded theory serta berbekal theoritical sensitivity, creativity dan imagination, setelah saya melakukan studi terhadap beberapa perkara tindak pidana korupsi, dapat saya simpulkan bahwa visum akuntansi forensik - yang merupakan integrasian antara bukti akuntansi, bukti auditing dan bukti hukum - merupakan bukti utama dan terpenting dalam kasus tindak pidana korupsi. Sebaliknya, bilamana visum akuntansi forensik tidak cermat, tidak lengkap dan tidak jelas, maka para terdakwa dapat dibebaskan dari jeratan hukum sebagaimana tampak pada kasus Samsul Bahri dan Ahmad Santoso. Demikian juga, manakala visum akuntansi forensik memiliki kriteria cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt), maka para terdakwa pasti tidak dapat menghindar dari jeratan hukum, seperti pada kasus Nasruddin Sjamsuddin, Abdullah Puteh dan lainnya.
270
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
7.1.1. Visum Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif Berbasis permintaan AI atau PKKN, pencarian visum akuntansi forensik dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi, langkah yang ditempuh BPKP dapat saya bagi dalam
tiga
aktivitas, yakni sebelum
(ex-ante),
pelaksanaan (process),
dan
penyelesaian (ex-post). pertama, sebelum penugasan (ex-ante) atau saat persiapan meliputi: ekspose perkara, simpulan ekspose (penugasan diterima atau ditolak), pembuatan surat tugas (AI untuk data mentah dan PKKN untuk data masak). Langkah kedua, saat pelaksanaan (process) meliputi kajian dan penentuan penyimpangan dengan melakukan perbandingan antara aturan (seharusnya) dengan pelaksanaan (sebenarnya), meneliti bukti-bukti penyimpangan, melakukan pengujian seperti reperforming, konfirmasi, observasi, tanya-jawab, tracing, vouching dan lainnya, meminta bantuan ―ahli‖ dan kemudian menghitung dan membuat laporan perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN). Langkah ketiga (ex-post) meliputi: melakukan ekspose sekaligus memastikan pihak (pihak-pihak) yang bertanggungjawab terhadap dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Dalam simpulan akhir AI atau PKKN, harus menjawab secara konkrit hypothetical construction of crime 2H+5W, yang terangkai dalam chart and matrix dan memuat minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi.
7.1.2. Visum Akuntansi Forensik Level Lidik Berbasis laporan yang masuk, penyelidik atau intelejen yustisia atau reserse kepolisian melakukan pulbaket lidik untuk melakukan pendalamaman atas laporan tersebut. Tindak lanjut ini berupa kajian mendalam dan komprehensif terhadap laporan
271
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
(laporan-laporan) yang masuk, dengan tujuan untuk memastikan apakah laporan atas dugaan tindak pidana korupsi itu dapat ditingkatkan kasusnya ke level penyidikan. Pulbaket lidik juga mencari jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W. Tahap pertama adalah, mengkaji laporan-laporan yang masuk, menambah bahan bukti dengan melakukan operasi intelejen, dan terakhir melakukan pra-ekspose. Jika hasil pra-ekspose menyimpulkan bahwa perkara dapat diteruskan, maka akan dibuat Surat Perintah Penyelidikan. Kedua adalah, membuat rencana penyelidikan (Renlid) dan membangun hypothetical construction of crime. Lalu memanggil dan meminta keterangan kepada saksi-saksi yang terkait kasus. Kemudian mencari dan meneliti barang bukti yang terkait dengan kasus. Selanjutnya, melakukan pengujian terhadap bukti yang terkait kasus, meneliti persesuaian antara barang bukti, keterangan saksi, dan perbuatan si pelaku. Berikutnya adalah membuat chart berupa uraian modus operandi perkara dan matrix yang menguraikan unsur-unsur pasal (delict) yang disangkakan. Langkah terakhir adalah mengadakan ekpose internal yang akan menyimpulkan atau memberikan pendapat akhir apakah terdapat cukup bukti untuk dilakukan peningkatan status terperiksa menjadi tersangka dan ditingkatkan ke tahap penyidikan Dengan kata lain, laporan hasil pulbaket lidik yang merupakan visum akuntansi forensik level lidik berisi mengenai uraian atas rangkaian perbuatan yang dilakukan tersangka. Visum akuntansi forensik lidik juga memuat rangkaian alat bukti dan barang bukti yang menggambarkan rangkaian persesuaian perbuatan dengan alat bukti dan barang dalam bentuk chart and matrix yang merupakan bahan bukti bagi tahap penyidikan (sidik).
272
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
7.1.3. Visum Akuntansi Forensik Level Sidik Pulbaket sidik mempelajari, menganalisis mempertajam hasil dari pulbaket lidik. Prosedur yang dilakukan penyidik adalah berbekal dengan hasil ekspose lidik akan dibuat Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Lalu dibuatlah rencana penyidikan (rendik) dan membangun hypothetical construction of crime. Berikutnya adalah memanggil dan meminta keterangan saksi-saksi yang terkait kasus. Selanjutnya, melakukan penajaman pengujian dan analisis terhadap bukti yang terkait perkara. Hasil penyidikan dibuat simpulan atau pendapat, membuat chart berupa uraian modus operandi perkara dan orang-orang yang terlibat atau terkait perkara, dan matrix yang menguraikan unsur-unsur pasal (delict) yang didakwakan kepada si pelaku. Akhirnya melakukan ekpose internal untuk menyimpulkan apakah terdapat cukup bukti untuk memastikan status tersangka menjadi terdakwa, dan berkas diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dibuat Surat Dakwaan. Sebaliknya, bilamana ekspose internal menyimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi tidak cukup bukti, maka SP-3 (Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara) akan dibuat, perkara dihentikan dan tersangka dilepaskan. Sebagai tambahan, SP-3 ini tidak dikenal pada lembaga KPK. Laporan pulbaket lidik merupakan visum akuntansi forensik level sidik akan berisi mengenai uraian atas rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh yang didakwa pelaku tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensik lidik, merupakan uraian rangkaian alat bukti dan barang bukti serta bukti-bukti pendukung lainnya. Rangkaian itu berisi persesuaian perbuatan dengan alat bukti dan barang bukti yang dirajut dalam chart and matrix dan/atau bisa dalam bentuk narratif atas detil perkara tindak pidana korupsi,
273
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Dalam visum akuntansi forensik lidik, juga akan memuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan pada setiap tindakan penyidik akan ditandai dengan simbol ―Projustitia‖. Simpulan Lidik merupakan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W yang merupakan bahan bukti bagi JPU untuk mengkonstruksi Dakwaan. Simpulan utamanya adalah ada atau tidaknya eksistensi tindak pidana korupsi, yang memuat tiga unsur temuan yakni angka kerugian keuangan Negara, pihak yang diuntungkankan, dan adanya perbuatan melawan hukum.
Temuan-Temuan: Bahwa visum akuntansi forensik merupakan rekonstruksi sejarah fakta, yang terdiri dari paling tidak dua dari lima macam alat bukti, menjadi dasar bagi penetapan status seseorang menjadi terperiksa, tersangka atau terdakwa. Bahwa visum akuntansi itu akan berbentuk rangkaian chart and matrix yang merupakan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W yang cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Visum akuntansi forensik akan berfungsi sebagai bahan bukti bagi pendalaman level/tahap pemeriksaan selanjutnya. Bahwa visum akuntansi forensik adalah suatu hasil sinergi oposisi-biner. Sinergi antara satu sisi dengan sisi lainnya, antara sudut satu dengan sudut lainnya dan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Artinya, visum akuntansi itu dapat berbentuk potongan-potongan bahan bukti yang boleh jadi bertentangan antara satu dengan lainnya kemudian dihubungkan kembali sehingga menjadi suatu ikatan ―bukti dan pembuktian‖ yang utuh, holistik dan komprehensif. Masing-masing bagian berdiri sendiri namun tidak dapat melepaskan diri dalam rangkaian hubungan secara integral dengan bagian-
274
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
bagian lainnya. Hubungan dalam rangkaian visum akuntansi terjalin secara berkelindan dengan bagian-bagian lainnya. Jika bagian-bagian itu berdiri secara sendiri-sendiri maka tidak akan mempunyai arti apa-apa di luar kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Pertautan dan persesuaian, antara bukti akuntansi, bukti auditing dan bukti hukum melalui terobosan paradigma lintas ilmu dan holistik itulah yang akan membentuk konstruksi wujud visum akuntansi forensik yang berkriteria cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt).
7.2. IMPLIKASI Visum akuntansi forensik, yang merupakan alat bukti dan pembuktian yang berguna dan berperan signifikan bagi proses litigasi di pengadilan, membawa implikasi pada antara lain bahwa: Pertama jika visum akuntansi forensik level audit investigatif mengandung ketidakcermatan‘ terutama pada akurasi hasil perhitungan kerugian keuangan negara maka akan berpengaruh secara signifikan pada seluruh proses litigasi pada tahapan berikutnya dan akan dapat memperlemah konstruksi visum akuntansi forensik pada level berikutnya dan memperlemah konstruksi dakwaan JPU. Kedua untuk membangun visum akuntansi forensik niscaya memerlukan pengetahuan mendalam di bidang akuntansi, auditing dan keuangan, serta ilmu hukum. Ketiga dengan visum akuntansi forensik yang masih berfokus pada bukti inderawi belaka, dan tidak melakukan elaborasi pada dimensi psikologi dan intuisi, visum akuntansi forensik hanya memiliki kebenaran inderawi belaka.
275
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
7.3. CATATAN AKHIR Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, alat bukti keterangan memainkan peranan sangat menentukan atas keberhasilan baik level audit investigatif, penyelidikan maupun penyidikan. Alat bukti keterangan yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa yang meruapakan hasil kepiawaian dalam menerapkan berbagai teknik dan strategi interview maupun interogasi. Keberhasilan mengorek keterangan saksi berakibat positif atas diperolehnya berbagai informasi dan keterangan baik mengenai apa, siapa, mengapa, di mana, kapan, bagaimana, dan berapa banyak dampak kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi. Dengan diperolehnya keterangan-keterangan terhadap keterangan saksi, akan memudahkan tahap selanjutnya untuk mencari barang bukti dan informasi mengenai motif perbuatan serta data lainnya. Kesuksesan mendapatkan keterangan ahli juga akan menunjukkan mengenai berbagai hal rinci tentang detail kasus dengan berbagai permasalahannya sesuai dengan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Misalnya dari keterangan ahli akuntansi dan keuangan, Majelis hakim akan memperoleh secara rinci tentang caracara si pelaku mengambil uang negara secara melawan hukum, misalnya pemanipulasian data dan dokumen, laporan keuangan yang telah direkayasa, markup, kontrak fiktif, pekerjaan rekayasaan dan lainnya. Demikian juga, kelengkapan dalam menguak keterangan terdakwa akan didapatkan informasi mengenai perbuatan apa yang telah dilakukan oleh si pelaku, alibi yang dibangun, justifikasi yang dibuat dan rasionalisasi atas perbuatannya, bahkan boleh jadi, akan memperoleh pengakuan jujur dan komprehensif atas perbuatan dan cara-cara melakukannya serta motif yang mendasari perbuatannya.
276
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Oleh karena itu, ada baiknya elaborasi terhadap teknik hypnosis, mungkin saja dan boleh jadi, dapat memberikan penguatan terhadap alat bukti keterangan. Pertanyaannya adalah apakah hipnosis dapat didayagunakan untuk menguak keterangan para saksi? Menurut Adrie Gunawan (2010, 77) pada konsteks keindonesiaan, teknik hipnotis dapat didayagunakan hanya untuk mengungkap keterangan saksi dan/atau saksi korban saja. Bagi Adrie, berbasis teknik regresi dan hypernesia baik saksi atau korban akan dapat dengan leluasa menceritakan mengenai kejadian-kejadian di sekitar peristiwa yang ia saksikan, ia dengar dan/atau ia alami. Saksi atau korban dapat menjelaskannya secara sangat rinci, gamblang dan komprehensif. Sayangnya, hipnotis tidak akan bisa digunakan untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan yang jujur dari pelaku tindak pidananya. Hipnotis tidak bisa digunakan karena pertama si pelaku tidak akan pernah bersedia dirinya untuk di hipnotis, dan kedua dalam kondisi hipnosis seseorang masih dapat melakukan kebohongan atas keadaan yang sebenarnya. Sejujurnya saya katakan bahwa, studi ini masih berstatus ―koma‖ dan belum ―titik‖, dan masih banyak kekurangan yang perlu upaya penyempurnaan-. Harapan saya pada penelitian selanjutnya dapat melakukan penyempurnaan dan perbaikan yang diperlukan bagi lebih sumpurnanya studi ini. Hal
yang
perlu
disempurnakan
dalam
penelitian
selanjutnya
adalah
peningkatan kemampuan investigator dalam mendapatkan bukti di luar bukti inderawi. karena, pada umumnya, para investigator lebih sering mendasarkan tuduhannya pada bukti-bukti yang ada (there), dan bukan pada bukti-bukti yang tidak ada (not there). Dengan kata lain, ―noisy‖ (bukti inderawi) itu dapat dijadikan dasar ekplorasi bukti dan pembuktian. Namun, akurasi bukti dapat juga diperoleh melalui pola ―silence speaks volumes‖, yang artinya manakala bukti-bukti yang ada – seperti bukti akuntansi
277
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
forensik – ternyata tidak cukup kuat untuk memastikan tersangkanya, maka investigator diharapkan untuk lebih dapat mendeteksi seorang tersangka itu dari sudut lain (instink) misalnya dari cara berbicaranya, tingkah lakunya, kecepatan merespon pertanyaan, dan lain sebagainya
278
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, (2006), Forensik, Restu Agung, Jakarta Abidin, Zainal, (2006), Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, PT Remaja Rosdakarya, Bandung ACFE, Association of Certified Fraud Examiners, (2005), Fraud Examiner Manual, Criminology and Ethics, Texas. Achsin, M, Ismail Navianto, dan Abdul Madjid, (2002), Aspek Hukum Pidana Dalam Kaitannya Dengan Opini Akuntan Publik Atas Laporan Keuangan Yang Mengandung Salah Saji material, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Tidak Dipublikasikan Adji, Indrianto Seno, (2007), Korupsi dan Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta. __,____________, (2006), Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta. Agoes, Soekrisno dan Jan Hoesada, (2009), Bunga Rampai Auditing, Penerbit Salemba Empat Jakarta Ali, Achmad, (2000), Wajah Hukum Di Era Reformasi: Dari Reformasi Legalistik Ke Delegislasi¸ Menyambut 70 Tahun Prof. Satjipto Rahardjo, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Albrecht, W Steve dan Chad O Albrecht (2003), Fraud Examination, Thomson SouthWestern Arens, Alvin A, Elder J Randal & Beasley S Mark (2004) Auditing dan Pelayanan Verifikasi - Pendekatan Terpadu, edisi kesembilan, PT Intermasa, Jakarta Ardiwisastra, Yudha Bhakti, (2000), Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung Asyrof, Mukhsin (2006), Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan, Varia Perdilan no. 252 Nopember, 2006 Audifax, (2007), Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan, Pinus Book Publisher, Yogyakara Barda Nawawi Arif, (2003), Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta
279
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Baridwan, Zaki, (2000), Clean Goverment dan Pemberantasan Korupsi, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Edisi Desember, STIE, Yogyakarta Berg, Lawrence Bruce, (2004), Qualitative Research Method for The Social Sciences, Pearson Education, Inc Belkaoui, Ahmed, Riahi (2006), Accounting Theory, Five Edition, Terj: Ali Akbar Yulianto dan Rinawati Dermauli, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. BPKP, (2009), Pedoman Penugasan Bidang Investigasi, Jakarta BPKP, (2009), Laporan Audit Investigatif, LHAI-21210/PW13/5/2009 BPK RI, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, SPKN, Nomor 01 Tahun 2007 BPK RI, Undang-undang Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Nomor 15 Tahun 2006 Boullata, Issa J, (2001), Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, LKIS, Yogyakarta Borgantti, Steve (2005), Introduction to http://www.analytech.com/mb870/introtoGT.html.
Grounded
Theory,
Budiman, Kris (1999), Kosa Semiotika , LKIS, Yogyakarta Buku Pedoman Tesis dan Disertasi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Nomor 20/J10.1.12/SK/2008 Bruggink, JJ, (1996), Refleksi Tentang Hukum, Alih bahasa: B Arif Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung. Chaer, Abdul (2003), Psikolingusitik, PT. Rineka Cipta, Jakarta Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadilah, (2008), Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung Chazawi, Adami, (2006), Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 tahun 1999 Diubah Dengan UU No. 20 Tahun 2001, Alumni, Bandung. Cortanzo, Mark (2006), Psychology Applied to Law, Terj: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Corruption Eradication Commisions, (2006), Gap Analysis Study Report: Identification of Gaps Between Laws/Regulations of The Republic of Indonesia and The United Nations Conventions Againts Corruption, First Edition, Nopember, Jakarta
280
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Clarcson, Peter M, & Crig Emby, and Vanessa W-S Watt (2002) Debiasing The Out Come Effect: The Role of Instructions In an Audit Litigation Setting, Auditing: A Journal of Practice & Theory , Vol 21 No 2, September 2002, p.7-20 Creswell, John W, (2003), Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Tradition. London: Sage Publication Crumbley, D. Larry & Nicholas Apostolou, (2002), Forensic Accounting: A New Growth Area in Accounting, Ohio CPA Journal, July-September 2002 Crumbley, D. Larry, (2006), Journal of Forensic Accounting, Volume VII (2006: 2 semiannual issues of approx) Cushing, Barry E & David L. Gilbertson, (2002), Strategic Analysis of Securities Litigation Against independent Auditor, Auditing: Journal of Practice & Theory Vol 21 no 2, September 2002, p.57-80
Danil, Elwi, Loebby Loqman, dan Harkristuti Harkrisnowo, (2001), Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi – Studi Tentang Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tidak Dipublikasikan Durheim, Emile, (1964), The Division of Labor in Society, New York: The Free Press, New Delhy, Prentice Hall of India, 1969 Darwis, (2006), Refleksi Paradigma Holistik-Ekologis Untuk Merekonstruksi Konsep Kinerja dalam Akuntansi Dan Sosio-Environmental Responsibility, Proposal Penelitian Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang. Dotzur, Mark, (1997), Groundwater Contamination and Residential Property Values, The Appraisal Journal, July, Appraisal Institute, USA, 279-285 East, Laura J (2003), The Role of Forensic Accountant In A Criminal Investigation, Journal of Forensic Accounting, Vol. IV, pp. 321-324, R.T. Edward, Inc, USA. Efferin, Sujoko, Darmadji, Hadi Stefanus dan Yuliawati Tan, (2004), Metode Penelitian Untuk Akuntansi, Sebuah pendekatan Praktis, Bayu Media, Malang Effendi, Marwan (2005), Kejaksaan Republik Indonesia: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Emzir, (2008), Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif: Korelasional, Eksperimen, Ex Post Facto, Etnografi, Grounded Theory, Action Research, PT. Rajagravindo Persada, Jakarta Evans, Thomas G, (2003), Accounting Theory: Contemporary Accounting Issues, Thomson South Western, USA
281
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Eckert, Joseph K, Robert J Gloudemans dan Richard R. Almy, (1990), Property Appraisal and Assessment Administration, The International Association of Assessing Officers, USA. Fletcher, George, (1998), Basic Concept of Criminal Law, Oxford University Press. Frankckh, Pierre, (2009), Law of Resonance, Membangkitkan Getaran Hati Untuk Mereguk Kebahagiaan Sejati, Ufuk Press, Jakarta Fuady, Munir, (2007), Perbandingan Ilmu Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung _____, ____, (2006), Teori Hukum Pembuktian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _____, ____, (2005), Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti, Bandung _____, ____, (2002), Doktrin-doktrim Modern Dalam Corporate Law, Eksistensi Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Glassser, Barney G, & Anselm L Strauss (2003), The Discovey of Grounded Theory, New York, Aldine Publising Company. Hamidi, Jazim, (2006), Revolusi Hukum Indonesia, Makna Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Kenegaraan RI, Penerbit Konstitusi Pers, Jakarta ______, ____, (2005), Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta Hamzah, Andy, (2005), Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta Hardiman, F, Budi (2007), Filsafat Fragmentaris, Kanisius, Yogyakarta Harahap, M Yahya, (2006), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Kedelapan, PT Sinar Grafika, Jakarta Hidayat, Dedy N, (2004), Metodologi Penelitian Klasik dan Hypothetico-DeductiveMethod, Materi Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Tidak Dipublikasikan. Huda, Chairul, (2006), Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana, Jakarta Husein, Harun M, (2005), Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahnnya, Rineka Cipta, Jakarta.
282
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Ikatan Akuntan Indonesia, (2001), Standar Profesional Akuntan Publik, IAI – Kompartemen Akuntan Publik, Jakarta Ikatan Akuntan Indonesia, (1994), Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat, Jakarta Indrawati, (2001), Analisis Yuridis Kriminologis terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana Kredit Usaha Tanai (KUT) – Studi Kasus di Pengadilan Negeri Malang, Tesis, Pascasarjana Universitas Brawaijaya Malang, Tidak Dipulikasikan Jusuf, Al-Haryono, (2001), Auditing (Pengauditan), Buku 1, Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, Yogyakarta Kaligis, Otto, Cornelis, (2007), Antologi Tulisan Hukum, Penerbit PT. Alumni Bandung Khairansyah (2006), Audit Investigatif: Metode Efektif Dalam Pengungkapan Kecurangan, Economic Bussiness Accounting Review. Kizirian, Timothy G, Brian W, Mayhew, and L. Dwight Sneathen, Jr, (2005), The Impact of Management Integrity On Audit Planning and Evidence, Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol 24 No 2, November 2005, pp 49-67. Klitgaard, Robert, (1998), Controlling Corruption, University of California Press, Barkeley, USA Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia, Laporan Tahunan Annual Report Tahun 2006 Konrath, Larry F, (2002), Auditing: A Risk Analysis Approach, South Western, a division of Thomson Learning, Florida, USA. ______, ___, (2007b), Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Koran Jakarta, Tanggal 24 Juni 2010. Kusharyanti, (2003), Temuan Penelitian Mengenai Kualitas Audit dan Kemungkinan Topik Penelitian Di Masa Datang, Jurnal Akuntansi & Manajemen, Edisi Desember 2003, STIE Yogyakarta. Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyalah Gunaan Dana Pada Kegiatan Kimbun Pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Tahun 2004, BPKP Perwakilan Jawa Timur, Surabaya. Laporan Hasil Audit Investigatif Atas Kekurangan Kas dan Belanja Daerah Pada Kabupaten Jember, Nomor 167/R/XIV.3/08/2005, Tanggal 30 Agustus 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan IV, Yogyakarta Laporan Hasil Audit Investigatif Pemberian Kas Bon Atas Hasil Pemriksaan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2003 dan 2004 Pemerintah Kabupaten
283
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Kolaka, Nopember 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan VII Makassar Laporan Hasil Audit Investigatif Atas Bantuan Keuangan Kepada DPRD, Biaya Asuransi, Uang Purna Bakti, Dan Bantuan Keuangan Kunjungan Kerja DPRD Tahun 2004 Pada Kabupaten Badung, Tanggal 30 Agustus 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan V Denpasar Laporan Auditor Independen Atas Investasi Pemerintah Kabupaten Malang Pada Pabrik Gula Mini Kigumas Periode 2001 – Juni 2003, Kantor Akuntan Publik Drs. Keonta Adji. Laporan Akhir Hasil Ruislag Tanah Kas Desa Lawang Denga nTanah Sawah Desa Sumberngepoh dan Desa Sumberporong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, Tahun 2008, PT. Sucofindo Appraisal Utama, Surabaya. Laporan Hasil Investigatif atas Pengaduan Masyarakat Tentang Dugaan adanya Ketidakwajaran Dalam Proses Tukar Guling Tanah Eks Bengkok Desa Lawang yang terletak di Kleuarahan Lawang Kabupaten Malang, Nomor: LHAI6586/PW13/5/2006, tanggal 21 Juli 2006, BPKP Perwakilan Jawa Timur. Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus Tindak Pidana Korupsi Tukar Guling Tanah Kelurahan Lawang Kabbupaten Malang Tahun 2004, Nomor: SR.10463/PW13.5/2007 tanggal 06 November 2007, BPKP Perwakilan Jawa Timur. Lacey, Anna & Donna Luff, (2001), Trend Focus for Research and Development in Primary Health Care: Qualitative Data Analysis, Sheffield: Trend Focus Leyh, Gregory, (2008), Hermeneutika Hukum: Sejarah,Teori dan Praktik, Nusa Media, Bandung Legal Opinion, (1006), Kedudukan Hukum Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Brawijaya Dalam Dugaan Penyertaan Konsultan Perencanaan dan Pengawasan Pembangunan Pabrik Gula Kigumas 2003 Bersama Ir. Freddy Talahatu Mantan Kadisbun Pemkab Malang Yang Didakwa Tindak Pidana Korupsi, Dibuat Oleh Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Lourie, Max, (1998), Forensic Accounting, New York Certified Public Accountant Manan, Baqir, (2008), Due Process of Law, Varia Peradilan, Tahun ke XXIII No.266 Januari 2008. _____, _____, (2007), Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII, Yogyakarta Mautz, R.K dan Hussein A. Sharraf, (1993), The Philosophy of Auditing, Seventeenth Printing, American Accounting Association Monograph No. 6, USA.
284
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Millovanovic, Dragan, (1994), A Primer In The Sociology of Law, Harrow and Heston, New York Majalah Investigasi, tanggal 16 Mei 2007 Maydew, E.I, (1997), Tax Induced Earnings Management Bu Firm With Net Operating Losses. Jurnal of Accounting Research, 35-83-96 Manteuffel, Karl ―Chuck‖ B. Freicherr Von, (2006), An Introduction to Grounded Theory, http://www.gtm.vlsm.org/gnm-gtm.html. Majalah forum keadilan,,Nomor 10/28 Juni -04 Juli tahun 2010 Maliki, Zainuddin, (2003), Narasi Agung: Tiga Sosok Teori Sosial Hegemonik, Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat Mahkamah Konstitusi Indonesia, Putusan Nomor: 003/PPU-IV/2006 Tentang permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan Atas Undangundang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 1999 Terhadap Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Marpaung, Leden, (1992), Tindak Pidana Korupsi – Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta. Maryaeni, (2005), Metode Penelitian Kebudayaan, Bumi Aksara, Jakarta Mason, J, (1996), Qualitative Researching, London UK: Sage Publication Messier, William F, (2000), Auditing and Assurance Service: A Systematic Approach, The Mc Graw Hill Companies, Inc. Mulyana, Deddy, (2006), Metodologi Kualitatif: Paradigma Baru Imu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung Mulyadi, (2002), Auditing, Buku 1, Edisi Keenam, Salemba Empat, Jakarta Mulyadi, Lilik, (2007), Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung Munawir, H.Slamet, (1999), Auditing Modern, Buku I, BPFE, Yogyakarta Nonet, Philipe dan Philip Setznick (2007), Law and Society In Transition: Toward Responsive Law, Terj: Hukum Progresif, Raisul Muttaqin, Nusamedia Jakarta Novianto, Iskandar (2005), Financial Statement Fraud and Internal Investigation, Makalah Seminar Nasional Investigative and Forensik Auditing An Integrated Approach, FE UGM, Yogyakarta, 6 Agustus. Piliang, Yasraf Amir, (2003), Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta
285
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Pope, Jeremy, (20030, Confronting Corruption: The Elements of National Integrity System, Terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Prasetyo, Teguh (2007), Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Pusat Info Data Indonesia (2007), Tindakan/Kebijakan Yang Dianggap Korupsi, Jakarta Putusan Mahkamah Agung, Nomor: 995 K/PID/2006, Atas Nama Nazaruddin Sjamsuddin Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor:01/PID/TPK/PT.DKI, atas Nama Abdullah Puteh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor:17/Pid.B/TPK/2006/PN.JKT.PST atas nama Rustam Efendi Sidabutar Putusan Pengadilan Negeri Malang, Putusan Perkara Pidana, Nomor: 825/Pid.B/2008/PN.MLG, Tanggal 17 september 2009 Atas Nama Drs. H. Achmad Santoso. Putusan Pengadilan Negeri Malang, Putusan Perkara Pidana, Nomor: 830/Pid.B/2007/PN.MLG, Tanggal 13 Maret 2008 Atas Nama Prof. Dr. Ir, H. Syamsul Bahri, MS Rahardjo, Dawan, (1992), Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, Rahardjo, Satjipto, (2009), Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta _______, _______, (1996), Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Jurnal Hukum Progressif, Vol: 1/Nomor 2/Oktober/2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. _______, _______, (1996), Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung Rahardjo, Mudjia (2007), Hermeneutika Gadamerian, Kuasa bahasa Dalam Wacana Politik Gus Dur, UIN Malang Pers. Rosjidi, (1999), Teori Akuntansi: Tujuan, Konsep dan Struktur, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Rawls, John (2006), A Theory of Justice, Terj: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Rahman, Arif, (1999), Auditing Forensik dan Pemberantasan Korupsi, Jurnal Akuntansi
Kontribusi Akuntansi Dalam & Auditing Indonesia (JAAI),
286
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Volume 3 No 1, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta Rukmini, Mien, (2006), Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi – Sebuah Bunga Rampai, Alumni, Bandung ______, ____, (2003), Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, PT. Alumni, Bandung Sahetapy, J.E, (2009), Runtuhnya Etik Hukum, PT KOmpas Media Nusantara, Jakarta Saleh, Ruslan (1983), Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta. Salim, Agus, (2006a), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta _____,____, (2006b), Bangunan Teori Metodologi penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi dan pendidikan, Tiara Wacana, Yogyakarta Salman, Otje dan Anton F Susanto, (2005), Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung Saprudin, Yusuf (2006: 26-27), Money Laudering – Kasus L/C Fiktif Bank BNI, Grafika Mandiri, Jakarta. Santoso, Lystiono (2006), Epistemologi Kiri, Penerbit kelompok Arruzz Media, Jogyakarta Sasangka, Hari (2007), Penyelidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam Teori dan Praktek: Untuk Praktisi, Dosen dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung Sasangka, Hari dan Lily Rosita (2000), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Dengan Komentar, Mandar Maju, Bandung Sawyer, B. Lawrence, Mortimer A Dittenhofer, James H. Scheiner, Anne Graham, and Paul Makosz, (2003), Internal Audiing, 5th Edition, The Practice of Modern Internal Auditing, The Institute of Internal Auditors, Florida. Shidarta, (2006), Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV.Utomo Bandung Silverstone, Howard & Michael Shetz, (2004), Forensic Accounting and Fraud Investigation For Non-Experts, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey Simanjutak, Nikolas, (2009), Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi, Bogor
287
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Singleton, Tommie W, Aaron J Singleton, G Jack Bologna & Robert J Lindquist, (20060, Fraud Auditing and Forensic Accounting, Third Edition, John Wiley & Sons, Inc. Sjamsuddin, Helius, (2007), Metodologi Sejarah, Ombak, Yogyakarta. Strauss, Alselm & Juliet Corbin, (2003), Basic of Qualitative Research, Grounded Theory Procedures and Techniques, Diterjemahkan: Muhammad Sodik & Imam Muttaqien, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sudibyo, Bambang (2001), Telaah Epistemologis Standar Evidential Matter Serta Implikasinya Pada Kualitas Audit dan Integritas Pelaporan Keuangan Di Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi, Universitas Gajahmada, 24 Februari 2001, Tidak Dipublikasikan. Sudirman, Antonius, (2007), Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence), Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Sugiyono, (2005), Memahami Penelitian Kualitatif, Alfa Beta, Bandung Sullivan, Larry, E dan Marie Simonetti Rosen, (2010), Encyclopedia of Law Enforcement, Encyclopedy Penegakan Hukum, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta Sumarto, Soehartono, (2004), Implementasi Pembuktian Terbalik Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi, Tesis, Universitas Brawijaya, Malang, Tidak dipublikasikan. Sumaryono, Euginius, (2002), Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta Sunarso, Siswanto, (2005), Wawasan Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sunaryo, Sidik, (2005), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Ketiga, UMM Press, Malang Susanto, Anthon, Freddy, (2010), Ilmu Hukum Non Sistematik, Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung _______,______,_______, , (2007), Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung _______,______,_______, (2007), Hukum Dari Concilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung ______,______,_______, (2004), Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung
288
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, (1998), Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung Sutiyoso, (2006), Metoda Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Pers, Yogyakarta Sutrisno, Endang, (2007), Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta Suriasumantri, Jujun S, (1999), Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Suryadi, Asep (tanpa tahun), Tinjauan Tingkat Nilai Sewa Pertokoan dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, Studi Kasus: Lingkungan Alun-alun dan Pasar Besar Kota Malang, Jurnal Survey dan Penilaian Properti, Vol.47 Surat Dakwaan, Nomor: 12/TUT.KPK/X/2005 Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, tanggal 07 Mei 2008, Polwil Malang, Jawa Timur kepada: AM Sulistyadi Tikno Surat memorie Kasasi, Nomor 034/AP.VI/2005, tertanggal 1 Juli 2005 Surat Kontra Memorie Kasaso Terhadap Memori Kasasi JPU Kejaksaan Negeri Kepanjen, Perkara Pidana Nomor:830/Pid.B/2007?PN/MLG, Diputus Tanggal 13 maret 2008, dibuat Prof. Dr. Ir, Syamsul Bahri Diserahkan Kepada Kantor Kepaniteraan Pengadilan Malang Hari Rabu Tanggal 21 Mei 2008. Surat Dakwaan, Berkas perkara Tindak Pidana Korupsi, Atas nama Tersangka Prof.DR.Ir. Syamsul Bahri, MS, Kejaksaan Negeri Kepanjen, tanggal 31 Oktober 2008. Surat Pembelaan. Perkara No 830?Pid.B/2007/PN Malang, Judul: Perkara Pidana Tanpa Bukti Yang Cukup Dipakasakan Ke Sidang Pengadilan Adalah Menyerang Hak Pribadi Mengenai Nama Baik dan Kehormatan Orang, Kezaliman Yang Keji dan Pelanggaran Hak Asasi Manuasia, Dibacakan Pada Hari Senin Tanggal 25 Februari 2008. Surat Perintah Tugas, Nomor Print:32/05.5/Fd.I/04/2006, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Surabaya Surat Permohonan Praperadilan, Nomor 008/Pd/TAPH/XI/2007, Tanggal 19 Nopember 2007, Tim Advokat – Penasehat Hukum, Prof.Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS. Surat Tuntutan, Nomor Registrasi PER: BP-12/12/II/2006/KPK atas nama Terdakwa I DRS. R. Bambang Budiarto, M.Si dan Terdakwa II H.Safder Yussac, S.Sos, M.Si. tertatanggal 20 Februari 2006 Suwardjono (2005), Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gajahmada, Yogyakarta
289
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Squires, Douglas W, (2003), Problems Solved With Forensic Accounting: A Legal Perspective, Journal of Forensic Accounting, Vol. IV, pp. 311-320, R.T. Edward, Inc, USA. Tolle, Eckhart, (2009), Panduan Pencerahan Spiritual, Penerbit Mitra Sejati, Yogyakarta Tuanakotta, Theodorus, M, (2007a), Forensic Accounting dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi 2 Tuanakotta, Theodorus, M, (2007a), Forensic Accounting dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi 1 _________, ________, __, (2007b), Setengah Abad Profesi Akuntansi, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta _________, ________, __, (2009), Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta _________, ________, __, (2010), Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Salemba Empat, Jakarta Triyuwono, Iwan (2006b), Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syari‟ah, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Turkel, Gerald (1995), Law and Society: Critical Approach, Allyn and Bacon, Toronto Udiyaningsing, (2007), Paradigma Kritika Ilmu Pengetahuan, Jurnal Ilmu Sosial, Volume 1 Nomor 1 Aril 2007, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, ISSN 1907-1531 Varia Keadilan, Majalah Hukum Tahun XXIII Nomor 266, Januari 2008, ISSN 02150247. Veronica, Sylvia & Yanivi S. Bachtiar (2005), The Role Of Corporate Governance In Preventing Misstated Financial Statement, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Wachid, Abdul, (2005), Membaca Makna: Dari Chairil Anwar ke Achmad Mustofa Bisri, Grafindo Litera, Yogyakarta Weber, Mark, (1954), On Law In Economy and Society, New York: A Clarion Book Weirich, Thomas R and Alan Reinstein (2000), Accounting & Auditing Research, Practical Guide 5 th edition, South Western College Publising, USA. Widayanti dan Imam Subekti (2001), Analisis Keahlian BPK-RI menuju Pelaksanaan Fraud Auditing, Telaah Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (TEMA), Vol.II. No.2, September 2001, hal:97-101
290
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
Widoyoko, Danang, Luki Djani, Ade Irawan, Agus Sunaryanto, Febri Katong Hendri, (2006), Saatnya Warga Melawan Korupsi: Citizen Report Card Untuk Pendidikan, Indonesian Corruption Watch (ICW), Jakarta Widodo, Eko, (2003), Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Pengembangan Akuntansi Menuju Ke Arah Peningkatan Kualitas Profesi Akuntan, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Edisi April 2003, hal: 1-12, STIE, Yogyakarta. Widodo, Eko, (2003), pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Terhadap Konservatisme Akuntansi, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 9. No.1, Januari. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntans Pendidik Wilopo, (2006), Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Pengambilan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi Pada Perusahaan Publik dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 9 No 3, September, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartemen Akuntan Pendidik
Wignyosoebroto, Soetandyo, (2002), Hukum: Paradigma, Metoda, dan Dinamika Masalahnya, Elsam Kerjama dengan Huma, Jakarta
Wisnusubroto, Aloysius dan Gregorius Widiartana (2005), Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung
291