TIJAUAN KASUS: PETUGAS „NAKAL‟ Oleh: Ir. Sri Sayekti, MSc (Widyaiswara Madya, Pusdiklat BPS)
ABSTRAKSI Ketidak jujuran, ketidak disiplinan mentaati peraturan dan ketidak profesionalan pencacah dalam melakukan pendataan apalagi bila bisa mengisi kuesioner sendiri tanpa mendatangi responden, maka akan menghasilkan data yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan (tidak akurat) karena sangat dimungkinkan telah terjadi perubahan pada kondisi responden saat pencacahan. Hal tersebut akan sangat merugikan kredibilitas BPS sebagai instansi penghasil data statistik yang berkualitas. Terlebih lagi bila data yang tidak tepat akan digunakan sebagai dasar kebijakan Pemerintah maka akan menghasilkan kebijakan yang kurang tepat dan merugikan masyarakat sebagai sasaran kebijakan. Perbuatan „petugas nakal‟ dengan etos kerja yang rendah seperti itu tidak boleh dibiarkan terus menerus dan menjamur di kalangan pencacah, maka perlu ditegakkan adanya sistem pengawasan dan pemberian sangsi yang lebih ketat (reward and punishment). Disamping itu harus selalu dilakukan pembinaan dengan menanamkan nilai-nilai yang dianut agar tetap mempunyai etos kerja yang tinggi untuk mencapai profesionalisme dalam melakukan pendataan.
Kata kunci : akurasi data, etos kerja, disiplin, professional, reward and punishment A. Kondisi yang Terjadi (kasus ) „Pelopor Data Statistik Terpercaya untuk Semua‟ merupakan visi Badan Pusat Statistik (BPS) yang harus dapat dipedomani bagi semua pegawai BPS dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka BPS harus dapat
menghasilkan data yang berkualitas.
Salah satu syarat data yang berkualitas adalah
ketepatan data yang benar-benar merupakan cermin keadaan sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Dalam pelaksanaan survei rutin biasanya sebagai , BPS menggunakan petugas lapangan adalah unsur BPS sendiri yang bias staf atau Koordinator Statistik Kecamatan
(KSK). Salah satu survei rutin yang biasanya dilakukan BPS antara lain adalah survei ubinan tanaman pangan yang akan menghasilkan data produksi tanaman pangan (seperti padi, jagung dan kedelai).
Survei ini selalu diawali dengan pendaftaran/pendataan
rumahtangga yang akan melakukan panen pada bulan yang akan dilaksanakannya survei. Hasil pendaftaran/pendataan tersebut sangat diperlukan untuk dasar pengambilan sampel rumahtangga terpilih. Berdasarkan Daftar Rumahtangga yang akan panen kemudian dipilihlah sampel rumahtangga yang panen yang kemudian akan diukur tingkat produksi tanaman pangannya.
Hasil survei tersebut kemudian dilakukan pengolahan untuk
selanjutnya dapat menghasilkan data produksi tanaman pangan baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Data produksi tanaman pangan sangat diperlukan bagi pemerintah untuk melihat tingkat
ketahanan
pangan
nasional,
sebagai
dasar
penyusunan
kebijakan
bagi
kesejahteraan petani maupun untuk menjaga stabilitas pangan karena sebagai dasar penentuan besarnya jumlah impor beras yang diperlukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Demikian pula bagi pelaku usaha (produksi dan distributor hasil pertanian tanaman pangan), data produksi tanaman pangan sangat diperlukan dalam perencanaan produksi maupun pemasaran hasil produksinya. Berdasarkan pengalaman penulis pernah mendapatkan beberapa petugas (“petugas
nakal”) yang tidak melaksanakan survei tersebut sesuai dengan pedoman yang harus diikuti.
“Petugas nakal” tersebut tidak melakukan pendaftaran/pendataan rumahtangga
survei ubinan tanaman pangan dengan benar yaitu dengan tidak mengunjungi responden, tetapi langsung mengisi kuesioner daftar rumahtangga diatas meja berdasarkan survei sebelumnya. Perbuatan ini akan mengakibatkan terjadinya kesalahan pengambilan sampel rumahtangga yang akan panen pada periode pelaksanaan survei.
Dengan adanya
kesalahan sampel, maka selanjutnya akan terjadi pula kesalahan pencacahan dan pengukuran pada rumahtangga yang panen yang diukur tingkat produksinya.
Bahkan
mungkin yang lebih fatal lagi bila kuesioner hanya diisi diatas meja tanpa mendatangi rumahtangga yang panen dan tanpa mengukur tingkat produksinya. Perbuatan tersebut nampaknya tidak saja ditemukan oleh penulis pada survei ubinan tanaman pangan, namu perbuataan serupa pernah ditemukan pula di beberapa tempat lainnya pada pelaksanaan survei yang lain. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja bagaikan jamur yang sangat mudah sekali menyebar, namun harus ada penanganan yang serius agar tidak berakibat pada skala yang lebih besar yang menyebabkan data BPS menjadi tidak akurat dan pada akhirnya tidak dipercaya dan tidak digunakan oleh para konsumen data.
B.
Identifikasi Masalah Walaupun perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh segelintir petugas, karena kasus
tersebut termasuk kasus yang ekstrem yang hanya ditemukan di beberapa tempat dan tidak dilakukan oleh semua petugas/pencacah namun perlu digali akar permasalahannya supaya tidak menyebar atau diikuti oleh petugas lainnya. Untuk kasus yang ditemui penulis setelah diklarifikasi kepada petugas ternyata salah satu alasan dilakukannya perbuatan tersebut yaitu karena beban kerja yang tinggi yang menyebabkan petugas tidak cukup waktu untuk pergi ke lapangan mengunjungi rumahtangga untuk melakukan pendataan. Namun ada petugas lain yang setelah dilakukan pemeriksaan pekerjaan yang lainnya ternyata itu hanya sekedar alasan untuk menutupi kesalahannya. Dari beberapa cerita kejadian serupa ditempat lain, ternyata perbuatan („petugas
nakal‟) tersebut biasanya dilakukan oleh petugas yang disinyalir kurang mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pekerjaannya, kurang disiplin, tidak jujur dan tidak profesional. „Petugas nakal‟ inipun juga biasanya terjadi karena sudah terlalu lama bekerja ditempat yang sama sehingga „seolah-olah‟ sudah hafal dengan karakteristik responden karena sudah sering disurvei, sudah jenuh dengan pekerjaan rutin yang sama terus menerus atau bahkan sudah terlalu pintar merekayasa data karena pengalamannya yang sudah bertahun-tahun melakukan pendataan yang sama. C.
Analisis Perilaku petugas pencacah yang tidak melaksanakan tugasnya sesuai SOP tersebut
tidak terlepas dari etos kerja yang dimiliki olehnya, dimana menunjukkan etos kerja yang rendah.
Rendahnya etos kerja oleh segelintir „Petugas nakal‟
mempengaruhi lingkungan kerja yang dapat
ini akan sangat
mempengaruhi petugas lainnya untuk
melakukan hal yang sama. Dalam kasus tersebut diatas nampak sekali bahwa dalam diri „Petugas nakal‟ tersebut telah tertanam suatu konsep kerja yang ingin bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cara yang mudah dan cepat sehingga tidak mengikuti prosedur yang harus dipedomani untuk dilaksanakan. Hal ini sesuai definisi etos kerja menurut Jansen H Sinamo dalam LAN-RI (2012), yang diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang diwujudnyatakan melalui perilaku kerja mereka secara khas. Sedangkan menurut kamus Webster, etos didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku
bagi seseorang, sekelompok, atau sebuah institusi (“guiding beliefs of a person, group or
institution”). Tentunya bila tidak ada nilai yang tertanam dalam diri „petugas nakal‟ tersebut yang melekat, maka tidak akan berani melakukan hal yang tidak benar yang menyalahi aturan. Beberapa nilai yang sudah hilang dalam diri „petugas nakal‟ tersebut yang membuktikan rendahnya etos kerja antara lain adalah: 1)
Kedisiplinan Kepatuhan untuk mengikuti aturan yang berlaku adalah disiplin yang seharusnya tertanam dalam setiap diri pegawai negeri sipil (PNS). Kepatuhan mengikuti aturan ini sangat penting dalam pelaksanaan tugas tidak saja dalam hal ketepatan penyelesaian pelaksaan tugas tetapi menyangkut pula ketepatan pelaksanaan tugas yang seharusnya mengikuti metodologi yang sudah ditetapkan. Dalam pelaksanaan survei/pendataan selalu ada buku pedoman yang diikuti. Buku pedoman ini mencakup pedoman pelaksanaan lapangan mulai dari tahapan pelaksanaan yang harus diikuti secara berurutan, petugas yang harus melaksanakan dan bertanggung jawab, konsep dan definisi yang harus dipedomani serta metodologi pelaksanaannya. Buku ini yang menjadi SOP bagi setiap petugas untuk diikuti. Bila petugas tidak melaksanakan sesuai SOP yang ada berarti dia telah melanggar disiplin dalam hal pelaksanaan tugas pokoknya. Pelanggaran terhadap prosedur ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah terlanjur memiliki nilai yang salah bahwa pelanggaran aturan itu suatu hal yang tidak penting, toh hanya dia yang melakukannya saja sehingga tidak akan mempengaruhi yang lain. Kadang-kadang pelanggaran aturan ini dilakukan juga untuk mencari cara yang mudah dan cepat untuk bisa menghasilkan sesuatu, karena dia menganggap bahwa aturan atau prosedur yang ada hanya merupakan pekerjaan yang bertele-tele dan tidak ada manfaatnya untuk diikuti. Keinginan untuk memperoleh hasil dengan serba instan ini yang juga sering mendorong timbulnya perilaku ketidakdisiplinan.
2)
Kejujuran Melakukan pendataan dengan tidak mendatangi responden („pendataan palsu‟) merupakan suatu bukti adanya ketidakjujuran „petugas nakal‟,
Ketidakjujuran atau
kebohongan yang dia lakukan dengan mengisi kuesioner tanpa mendatangi responden merupakan perbuatan yang sangat salah karena sudah pasti tidak sama dengan
kondisi responden pada saat pencacahan. Hal ini akan sangat berbahaya karena akan menghasilkan data yang tidak akurat. Jujur mengisi kuesioner seperti apa adanya sangat diperlukan dalam proses pendataan, karena hasil pendataan harus benar-benar dapat mencerminkan kondisi yang ada di lapangan Seorang „petugas nakal‟ yang telah melakukan „pendataan palsu‟ berarti dia telah melakukan perbuatan yang tidak jujur.
Perbuatan ini hanya bisa dan mungkin
dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai nilai-nilai kebenaran di dalam hatinya. Nilai-nilai kebenaran yang diyakini ini menyangkut moral seseorang yang biasanya dilandasi dengan keyakinannya kepada Tuhan yang Maha Esa. Lemahnya keyakinan seseorang terhadap adanya Tuhan YME yang selalu mengawasi perbuatan makluknya inilah yang biasanya menjadi pendorong seseorang untuk berani melakukan perbuatan yang tidak benar. 3)
Tanggung jawab Menurut kamus besar bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah suatu perbuatan wajib yang menjadi beban untuk menanggung segala sesuatunya. Oleh karena itu bila ada petugas yang sudah dibebani pekerjaan untuk melakukan pendataan tetapi tidak melaksanakannya dengan baik dan benar, berarti petugas tersebut telah meninggalkan tanggung jawabnya. Hal ini juga biasanya hanya berani dilaksanakan oleh seseorang yang sudah terbiasa melepaskan tanggung jawabnya, karena rasa tanggung jawab ini merupakan nilai yang harus ditanamkan sejak kecil dan berlangsung secara terus menerus.
4)
Professional Profesional adalah kepandaian atau keahlian untuk menyelesaikan
sesuatu
dengan baik dan tuntas. Seorang karyawan baik itu negeri (termasuk PNS) maupun swasta selalu dituntut bekerja secara professional. Ketidakprofesionalnya pegawai atau karyawan pasti akan merugikan institusi atau perusahaan tempatnya bekerja. Profesionalisme seorang pegawai BPS adalah bila dia dapat melaksanakan kegiatan statistik dengan baik, benar dan tuntas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengolahan, analisa dan penyajian sampai penyebarluasan kegiatan statistik. Oleh karena itu apabila seorang petugas pencacah sudah tidak melaksanakan pencacahan dengan benar, berarti dia tidak menjaga kode etik profesi statistik yang antara lain adalah
harus
objektif
(sesuai
keadaan
(pengukuran/pencacahan/pendataan yang tepat).
yang
sebenarnya)
dan
akurat
Dalam nilai-nilai inti BPS yang dicanangkan dalam program STSTCAPCERDAS, profesionalisme harus dimiliki oleh setiap insan BPS, yang berarti bahwa setiap pegawai BPS harus KOMPETEN, EFEKTIF, EFISIEN, INOVATIF dan SISTEMIK. Oleh karena itu bila petugas tidak melakukan tugasnya sebagaimana mestinya (sesuai SOP) maka dia sudah menunjukkan ketidak kompetennya dalam melakukan pencacahan atau pengukuran di lapangan.
D.
Saran Perbaikan Sesuai dengan Undang – Undang No. 43 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1 tentang kedudukan
Pegawai Negeri Sipil, bahwa “Kedudukan Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur
negara, yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata” berarti seorang PNS merupakan abdi negara dan pelayan masyarakat, yang harus dapat melaksanakan tugasnya secara professional, jujur, adil dan merata. Untuk dapat melaksanakan amanah UU tersebut, tentunya harus dilakukan pembinaan pegawai mulai dari calon pegawai (CPNS) dan dilakukan secara terus menerus. Pembinaan bisa dalam beberapa bentuk yaitu mulai dari pengawasan, pendidikan dan pelatihan, hubungan baik atasan-bawahan dan system reward and punishment. Dalam kasus “petugas nakal” tersebut diketahui pada saat penulis melakukan pengawasan dan melakukan pengecekan hasilnya dilapangan. Pengawasan yang ketat seperti ini harus terus dilakukan pada setiap pelaksaan survei/pendataan agar tidak terjadi hal serupa dilakukan oleh petugas lain dan di wilayah yang lain.
Pengawasan harus
dilakukan ketat dan intensif dimana pengawas harus melakukan pengawasan pelaksanaan lapangan yang dilakukan oleh petugas pencacah pada periode waktu pelaksaan survei maupun melakukan pemeriksaan dan pengecekan hasil lapangan yang dilakukan oleh petugas. Dengan demikian kualitas hasil survei dapat dijamin keakuratannya. Tidak dilaksanakannya pendataan sesuai SOP dapat terjadi pula bila petugas tidak memahami prosedur yang seharusnya dilaksanakan. Oleh karena itu pendidikan dan/atau pelatihan teknis harus diberikan kepada setiap petugas sebelum melaksanakan kegiatan statistik.
Pelatihan teknis tentang pelaksanaan survei perlu dilakukan selain untuk
memahami SOP juga untuk menyamakan persepsi tentang kasus-kasus yang terjadi di lapangan yang belum tertuang dalam SOP. Selain pelatihan teknis, tentunya pelatihan non teknis juga harus terus diberikan, baik melalui diklat prajabatan atau diklat teknis dan administrasi dalam jabatan.
Pembinaan mental dan moral pun harus terus diberikan baik melalui ceramah keagamaan melalui peringatan hari besar keagamaan maupun kegiatan rutin pembinaan agama.
Kegiatan training pembinaan mental atau motivator seperti tentang „Emotional
Spiritual Quotion‟ (ESQ) sangat baik diberikan untuk menumbuhkan atau menyuburkan nilainilai positif dalam diri petugas agar dapat melaksanakan tugasnya dengan ikhlas, jujur, disiplin dan bertanggungjawab. Penanaman dan pendalaman nilai-nilai inti BPS yaitu Profesional, Integritas dan Amanah harus selalu berada disetiap jiwa insan BPS.
Setiap pegawai BPS dalam
melaksanakan profesi/tugasnya harus secara kompeten; efektif; efisien; inovatif; dan sistemik, sehingga profesionalitas akan tercapai. Integritas yang merupakan sikap dan perilaku kerja yang harus dimiliki oleh setiap pegawai BPS dalam pengabdiannya kepada institusi/organisasi
dengan menunjukkan
sikap dan sifat dedikasi; disiplin; konsisten;
terbuka; dan akuntabel. Sebagai wujud pertanggungjawaban kepada Tuhan YME, maka setiap pegawai BPS harus dapat bersifat terpercaya; jujur; tulus; dan adil menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Hubungan baik antara atasan dan bawahan atau dalam hal ini pencacah dan pengawas juga harus dijaga dengan baik, sehingga diantaranya bisa saling hormat menghormati dan menghargai pekerjaannya masing-masing. Bawahan yang selalu mendapat tegur sapa dari atasannya maka akan merasa dihargai (jawa: „diuwongke‟), sehingga dia akan melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar dan sepenuh hati.
Oleh karena itu
tentunya hubungan baik antara pengawas dan petugas/pencacah juga harus dijaga dengan baik agar terjadi koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan survei dilapangan. Tindak lanjut dari adanya penemuan kasus tersebut adalah adanya peringatan kepada petugas secara tertulis bahwa telah melakukan pelanggaran disiplin kerja. Proses pemberian sangsi ini harus ditegakkan sesuai aturan yang berlaku pada Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Bila aturan tersebut ditegakkan dan setiap melakukan pelanggaran selalu diproses berdasarkan aturan yang ada, maka hal ini akan meminimalisasikan adanya pelanggaran-pelanggaran berikutnya, karena jika secara terus menerus dilakukan akan sampai pada pemecatan statusnya dari PNS.
Sistem
punishment yang lain juga dapat diterapkan misalnya dengan tidak dilibatkannya lagi dalam kegiatan survey selanjutnya atau cara lain yang membuat jera oknum petugas untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Terlalu lama seseorang berada pada posisi dan tempat yang sama biasanya akan membawa kejenuhan dalam melaksanakan tugas rutin yang sama dan berulang-ulang. Oleh karena itu maka sebaiknya dilakukan rotasi atau mutasi ke wilayah yang lain atau diberikan tugas yang lain setelah melewati batas waktu tertentu (misalnya 5 tahun). Dengan demikian akan menghindari kejenuhan petugas, sekaligus juga memperkaya petugas dengan pengalaman lain di tempat tugasnya yang berbeda dengan sebelumnya. E.
Penutup Etos kerja yang rendah yang ditunjukkan oleh adanya ketidakjujuran, kurangnya
tanggung jawab, ketidakdisiplinan dan ketidak profesionalnya petugas pencacah akan sangat merugikan BPS selaku instansi yang sudah dipercaya Pemerintah untuk menjadi instansi resmi penyedia data statistik terpercaya untuk semua pihak. Oleh karena itu perlu sekali dilakukan pengawasan yang melekat, pembinaan dan sistem reward and punishment yang jelas untuk meningkatkan kedisiplinan, kejujuran dan profesionalisme petugas. Teladan yang baik dari atasan juga sangat diperlukan guna membangkitkan etos kerja bawahannya. Tanpa keteladanan maka segala upaya tidak akan tercapai dengan maksimal. Dengan segala upaya yang dilakukan tersebut, mudahan-mudahan „petugas
nakal‟ tidak akan ada lagi dalam semua pelaksanaan kegiatan sensus/survey atau pendataan lainnya.
RUJUKAN
A.R.Mustopadidjaja,Dr.PerananEtosKerja,STIA-LAN, Brisma Rinaldi, Ir. (2009), Modul Diklat Pajabatan Golongan I dan II :"Pola Pikir PNS",Jakarta,LAN-RI. http://www.putra-putri-indonesia.com/pengertian-etos-kerja.html LAN-RI. 2012. Modul Diklat Prajabatan Golongan III: “Etos Kerja PNS”, Jakarta, LAN-RI Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Undang – Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.