TIGA TAHUN SEKOLAH JURNALISME INDONESIA
Kutipan Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Republik Indonesia tentang HAK CIPTA: Tentang Sanksi Pelanggaran Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang HAK CIPTA, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997, bahwa: 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyakRp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidanapenjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
TIGA TAHUN SEKOLAH JURNALISME INDONESIA
Disusun oleh Tim SJI-PWI: Marah Sakti Siregar Encub Soebekti Artini Suparno
TIGA TAHUN SEKOLAH JURNALISME INDONESIA Disusun oleh Tim SJI-PWI: Marah Sakti Siregar Encub Soebekti Artini Suparno Pewajah Isi Apat (
[email protected]) Desain Sampul Junaidi Munaf Cetakan I, Februari 2013 ISBN: 978-602-898668-1-0 Hak Cipta © pada Sekolah Jurnalisme Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia Diterbitkan oleh: Penerbit RMBOOKS PT. Wahana Semesta Intermedia Anggota IKAPI Graha Pena Jakarta, Lt.1 Jln. Kebayoran Lama No.12 Jakarta Selatan 12210 Telp. 021-53651495, Fax. 021-53671716 Bekerjasama dengan: Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2013 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Dicetak Oleh: PT. Semesta Rakyat Merdeka Hak cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved
Sambutan
BUKU: Membangkitkan Energi Bangsa
HARI Pers Nasional (HPN) adalah cetusan kehendak masyarakat pers untuk menetapkan satu hari yang bersejarah guna memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.HPNlaluditetapkandiselenggarakansetiaptanggal9 FebruariberdasarkanKeputusanPresidenRINo.5tahun1985. Pelaksanaannya dilaksanakan di berbagai ibukota provinsi secara bergiliran. Seperti komponen bangsa lainnya, pers Indonesia ingin berkontribusi terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Melalui HPNini,persIndonesiaberusahamengkomunikasikanberbagai momentumkeberhasilan–jugakritikataskegagalan–kontribusi pers terhadap kemajuan bangsa.
vii
Pers sudah saatnya memberi hasil yang nyata bagi kehidupan bangsa. Pers tidak boleh hanya hidup dan berkembang hanya semata-mata untuk pers. Pers harus eksis dan berkembang untuk kemajuan bangsa. Karena itu, pers harus selalu meningkatkan kemampuan dirinya agar mampu mengimbangi dinamika masyarakat dan terus menjalankan fungsinya menjaga energi bangsa menuju era emas Indonesia. Buku adalah produk intelengensia yang mampu membuka pikiran manusia. Melalui buku, manusia mampu melewati batas-batas ruang dan waktu untuk mencari kesempurnaan dirinya sebagai khalifah di muka bumi. Melalui buku pula kita dapat bercermin terhadap langkah-langkah yang sudah kita lakukan, sekaligus melakukan pembelajaran terhadap langkahlangkah yang akan kita siapkan untuk masa depan. Buku-buku karya jurnalis yang khusus diterbitkan dalam rangka HPN 2013 ini mencoba menjawab tantangan tersebut. Buku-buku ini mencoba menjawab tantangan-tantangan yang sedang dihadapi bangsa ini dari perspektif pers. Berbicara tentangbangsa tentunya tidak sama dengan berbicara tentang pemerintah. Bangsa bagi pers adalah seluruh umat manusia– dari pengemis sampai presiden–yang punya komitmen, dalam berbagai bentuknya masing-masing, tentang negaranya. Berkontribusi bagi kemajuan bangsa tentunya bukan berarti harus selalu memberikan pujian terhadap apa yang sudah dilakukan berbagai elemen bangsa ini. Kritik–yang terpedas sekalipun–adalah ungkapan perhatian dan kecintaan dari pers demi kemajuan bersama. Melalui pujian dan kritik, kami juga ingin membangkitkan energi bangsa. Kami tahu Indonesia punya potensi sebagai bangsa yang
viii
besar, seperti diramalkan banyak pihak, bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi no.7 terbesar dunia tahun 2030. Maka, kami merasa punya kewajiban untuk memberikan warisan terbaik bagi anak-anak dan cucu-cucu kita di masa depan. Jakarta, 9 Februari 2013 Muhamad Ihsan Ketua Panitia Pelaksana HPN 2013
ix
Prakata
BUKU TIGA TAHUN SEKOLAH JURNALISME INDONESIA Alhamdulillah. Dengan memanjatkan rasa syukur yang tiada putuskehadiratTuhanYangMahakuasa,kamipersembahkan bukukecilini:“TigaTahunSekolahJurnalismeIndonesia,”untuk semua insan pers dan anak bangsa Indonesia. Melalui buku ini, secara tidak langsung, kami ingin melaporkan kepada publik—terutama komunitas wartawan serta media—berkaitan dengan telah terselenggaranya tiga tahunprogrampelatihanjurnalistikwartawanprofesional:SJI. SJI atau Sekolah Jurnalisme Indonesia adalah program kerjasama PWI Pusat-Kementerian Pendidikan dan KebudayaanUNESCO-Pemerintah Provinsi (yang diawali oleh Pemrov Sumatera Selatan) dalam wujud program pelatihan intensif bagi para wartawan. Program ini dimulai dengan peresmian SJI yang dilaksanakan bertepatan dengan puncak peringatan HariPersNasionalpadatanggal9Februari2010diPalembang, Sumatera Selatan.
xi
Tak kurang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut menyambut gembira dimulainya program pendidikan dan latihan wartawan profesional itu. Ia secara khusus bahkan sempat memberikan “Kuliah Umum Perdana” untuk 30 orang wartawan yang menjadi siswa peserta pelatihan SJI Angkatan Pertama. Di tengah ratusan undangan yang terdiri atas wakil komunitas pers dari seluruh Indonesia, Presiden SBY memaparkan materi kuliahnya bertajuk: “Mengapa Indonesia Harus Berhasil.” Topik kuliah itu pada intinya mengajak para wartawan, komunitas pers, dan segenap anak bangsa untuk tetap optimistis menghadapi semua tantangan masa depan. “Ada banyak masalah dan ujian yang dihadapi bangsa Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini (1998-2008). Tapi, apa pun masalah itu, bangsa Indonesia,” kata Presiden, “telah berhasil lulus mengatasinya.” Dia menekankan, ”dalam bentuk apa pun tantangan di masa depan, bangsa Indonesia juga harus mampu menghadapinya guna menuju Indonesia yang lebih maju di abad ke-21.” Kuliah perdana Presiden itu, selain membesarkan hati kami, juga telah ikut memotivasi pengelola SJI untuk bergerak mengejar sasaran peningkatan kompetensi dan profesionalitas wartawan kita, yang harus diakui jujur, relatif masih rendah— terutama di berbagai pelosok tanah air. Medan yang mau ditangani SJI memang luar biasa besar dan berat. Penelitian yang dikutip Dewan Pers tahun 2001 menyebutkan, dari semua media yang eksis saat ini, diketahui hanya 30 persen saja yang sudah sehat secara usaha dan redaksional. Kalau data itu dikonversikan ke komunitas
xii
wartawan, maka baru 30 persen saja sebenarnya wartawan Indonesia yang memiliki kompetensi dan profesionalitas yang cukup. Jika, anggota PWI tahun 2010 tercatat sekitar 14.000, maka paling banyak baru 4.200 wartawan anggota PWI yang sudah profesional. Sisanya, kurang lebih 9.800 wartawan yang tersebar di 34 cabang PWI, tentulah belum profesional. Mereka itulah sasaran atau bidikan SJI. Tak begitu banyak yang faham dan peduli dengan urusan ini. Kami bersyukur akhirnya bisa berdialog dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr. Ir. M. Nuh, dan juga Gubernur Sumatera Selatan Ir Alex Noerdin. Dari dialog dengan kedua pejabat itulah, kami kemudian mendapat komitmen partisipasi dan akhirnya diwujudkan dalam kesepakatan (MOU) untuk mendirikan SJI. Agar tujuan pembelajaran SJI bisa lebih mengenai sasaran, kami pun mengajak UNESCO, badan PBB yang mengurusi ihwal pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dalam suatu MOU yang ditandatangani bersama di depan Presiden SBY beberapa saat sebelum peresmian SJI. Puji syukur, kerjasama itu berjalan lancar. Selama tiga tahun ini, secara bertahap SJI bisa didirikan dan membuka pelatihan di sembilan kota provinsi. Yaitu: Palembang, Semarang, Samarinda, Bandung, Banjarmasin, Bandar Lampung, Jambi, Banjarmasin, Makassar dan Palangkaraya. Secara keseluruhan semua SJI itu telah melaksanakan 23 kali pelatihan jurnalistik dan mendidik 812 wartawan/peserta. Dari jumlah itu, 632 siswa/wartawan telah dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat profesional dari SJI-PWI. (Lihat: Tiga Tahun SJI, Harapan Baru Profesionalitas Wartawan). Secara kuantitas hasil itu masih sangat kecil. Tapi, terus
xiii
terang, kami, dan para pengajar lain ingin tahu juga apakah ada pengaruh hasil pelatihan SJI terhadap para wartawan yang sudah mengikuti program ini? Adakah juga pengaruhnya di media tempat mereka bekerja? Di buku kecil ini, kami memaparkan hasil survei sederhana yang telah disusun dan diolah Artini Suparmo, salah seorang pengajar SJI dan juga dosen di STIKOM London School of Public Relations Jakarta. Dia telah membagikan lembar kuisioner pada para alumni SJI, para redaktur media dan juga komunitas pers lainnya. Hasil survei itu ikut dipaparkan di dalam buku ini. Pembaca, Untuk melengkapi informasi tentang aktivitas SJI, kami juga menyertakan di buku ini catatan tulisan beberapa personalia yang terlibat dalam kegiatan SJI sejak awal berdiri. Mereka adalah; *Artini Suparmo. Wartawati senior LKBN Antara ini adalah pengajar tetap sejak awal berdiri SJI. Dia kini dosen tetap di STIKOM London School of Public Relations, Jakarta. Pengajar materi Feature Writings di SJI ini rajin dan tekun belajar sampai bisa menyelesaikan kuliah S2 di Universitas Indonesia dan S3 di Universitas Negeri Jakarta ini. Pernah memenangkan lomba penulisan Feature Adinegoro, Artini aktif mengikuti perkembangan SJI. Dia dekat dengan murid-muridnya. Pengajar yang sedang mengupayakan gelar profesornya ini, amat antusias ketika diminta melakukan survei terbatas tentang manfaat SJI bagi wartawan/siswa SJI dan media. Selain menurunkan laporan hasil survei berjudul: Kontribusi Pelatihan SJI Bagi Alumni dan Media, dia juga menuliskan pandangan pribadinya tentang SJI berjudul: Makna SJI dan Wartawan Masa Depan.
xiv
*Arya Gunawan. Mantan wartawan senior dan kini menjadi staf UNESCO di Teheran, Iran. Pernah bekerja sebagai jurnalis di Kompas, BBC dan kini bekerja di UNESCO, Arya sering terlibat aktif dalam diskusi mengenai pers dan upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja jurnalis Indonesia. Mewakili UNESCO, dia kerap bertemu dengan para wartawan senior dan tokoh media serta para akademisi bidang Komunikasi/Jurnalisme terutama ketika mendapat tugas menyosialisasikan kurikulum model UNESCO 2007. Kurikulum ini kemudian diadopsi SJI untuk jadi panduan materi pelatihannya. Arya terlibat sejak awal dalam diskusi penggodokan SJI bersama sejumlah rekan wartawan senior lainnya. Berkat kegigihannya juga kerjasama PWI-UNESCO bisa dipadukan dalam SJI. Dari Teheran, dia menuliskan catatannya berjudul: “Merayakan Tiga Tahun Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI); Memetakan Tantangan dan Peluang.” * Ashadi Siregar. Pensiunan dosen UGM dan pernah sangat populer sebagai penulis novel Cintaku Di Kampus Biru. Pengajar senior ini lama mengajar sambil menjadi pelatih dalam pelatihan jurnalistik. Ia bersama tema-temannya pernah menggagas lahir lembaga pendidikan dan pelatihan wartawan namanya Lembaga Pendidikan Pers Yogyakarta (LP2Y). Melalui lembaga ini, dia aktif melatih para wartawan dalam bidang jurnalistik. Ashadi adalah pengajar SJI sejak awal berdiri dan hingga kini menjadi pengajar tetap. Sejak awal kariernya, ia memang menyukai dunia pendidikan. Ranah ini terus digelutinya meski sudah resmi pensiun sebagai dosen. Selain mengajar, dia aktif menjadi pembicara dalam berbagai forum seminar dan diskusi. Ayah dua anak ini senantiasa antusias jika diajak berdiskusi soal
xv
pendidikan wartawan. Ia menulis catatannya bertajuk: Mencari Jurnalis yang Kompeten. * Encub Subekti. Wartawan senior ini pernah bekerja di harian KAMI dan harian Terbit, Jakarta. Sejak awal kariernya di dunia pers, dia sudah aktif mengajar. Dimulai sejak menjadi mahasiswa dia aktif dalam kegiatan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI ) Jakarta. Subekti atau biasa dipanggil juga Encub, sejak awal ikut dalam perintisan pendirian SJI. Direktur Program Pendidikan PWI Pusat ini juga adalah Pelaksana Harian SJI Pusat. Dialah—sambil ikut juga mengajar—yang selalu berada di tempat pelatihan SJI, mulai dibukanya pelatihan sampai dengan wisuda. Motor penggerak SJI ini menurunkan laporan panjang tentang perkembangan SJI selama tiga tahun dalam tulisannya berjudul:Tiga Tahun Sekolah Jurnalisme Indonesia: Harapan Baru Profesionalisme Wartawan. * Iman Handinan. Pemimpin redaksi surat kabar Berita Pagi di Palembang. Posisinya sejak awal berdiri SJI adalah Kepala Sekolah SJI Palembang. Dia dipercaya teman-temannya Pengurus PWI Sumatera Selatan menjadi kepala sekolah karena sosoknya yang mengayomi, sabar, tekun dan gigih. Itu semua dibuktikan Iman tatkala merintis pendirian SJI Palembang. Ia mencarikan ruang untuk belajar, mengatur admistrasi pembelajaran, menyeleksi siswa, melayani keperluan pengajar, sampai membereskan semua fasilitas belajar mengajar. Iman bersemangat dan bertekad agar SJI yang dipimpinnya di Palembang bisa mengemuka dibanding SJI lain yang terus bermunculan. Dia menuliskan semua suka duka pengalaman
xvi
dan harapannya pada SJI dalam tulisan bertajuk: Tiga Tahun SJI: Tantangan dan Harapan. * Marah Sakti Siregar. Wartawan senior ini cukup lama malang melintang di majalah berita: Tempo, Editor dan Tajuk di Jakarta. Ia terakhir bekerja di Tempo sebagai redaktur Ekonomi Bisnis (1987), lalu redaktur eksekutif Majalah Berita Editor sampai majalah ini dibreidel bersama Tempo dan Tabloid Detik (Juni 1994). Ia kemudian memimpin majalah Tiras, pengganti Editor, sebelum kemudian memimpin Majalah Berita Investigasi dan Entertainmen Tajuk. Aktif di PWI, posisi terakhir Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Marah menjadi bidan yang melahirkan SJI dan sampai kini ikut menjadi pengajar tetap. Dia kini menjadi Dewan Redaksi dan Penasihat Ahli di Bintang Group, grup media infotainmen yang didirikannya bersama Ilham Bintang. Marah menurunkan tulisannya berjudul: Banjir Wartawan, Banjir Informasi, dan Tantangan Baru Wartawan Profesional. Kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada semua pihak yang selama ini telah ikut membantu dan berpartisipasi dalam semua kegiatan SJI. Baik yang berada di pusat maupun di berbagai daerah. Semoga buku ini dapat menjadi perantara penghubung yang baik dan akrab antar kita. Antara kami, pengelola SJI dan Anda semua. Selamat membaca. Dirgahayu SJI dan Dirgahayu Pers Nasional. Marah Sakti Siregar Ketua Umum Yayasan SJI
xvii
Sekapur Sirih
Ketua Umum PWI Pusat H. Margiono SELAMATulangtahunSJI.Dirgahayupersnasional.Ucapan ini rutin kita sampaikan setiap tanggal 9 Februari. Tahun ini, tatkala kita berkumpul merayakan puncak Hari Pers Nasional di Manado, secara bersamaan “sekolah wartawan”—Sekolah JurnalismeIndonesia(SJI)—memasukiyangketiga. Alhamdulillah, saya senang mengikuti perkembangan “sekolah wartawan” kita. Sebab, berkat kerja keras para pengelolasekolahdanparapengajarnya,SJIdalamtigatahun ini,sudahberhasilmerampungkan23kalipelatihanjurnalistik di sembilan kota provinsi. Dalam pelatihan itu, “sekolah wartawan” ini sudah melatih secara intensif sebanyak 812 wartawan/siswaSJI.Sebanyak635wartawandinyatakanlulus danmendapatsertifikatsebagaiwartawanprofesional.Cukup banyak wartawan yang tidak lulus, menunjukkan SJI bukan sekolah atau pelatihan seremonial. Ia merupakan program pendidikandanpelatihanyangterkonsepbaikdenganpengajar pilihan yang sengaja dilaksanakan untuk bisa menjadikan
xix
pesertanya menjadi wartawan profesional. Langkah untuk mendidik dan melatih wartawan profesional memang sudah digaungkan sejak pengurus baru PWI Pusat (1998-2013) mulai bekerja. Kami mengumumkan Bidang Pendidikan menjadi motor bagi program utama organisasi. Dan SJI menjadi salah satu pilarnya dalam rangka mengentaskan kompetensi sekitar 14.000 wartawan anggota PWI yang tercatat sampai tahun 2010. Pada tahun itu pula, sama waktunya dengan puncak peringatan Hari Pers Nasional kali ini, SJI diluncurkan di Palembang. Waktu itu, saya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Ir. M. Nuh, Wakil Direktur UNESCO Mr. Robert Lee, Gubernur Sumatera Selatan Ir. Alex Noerdin samasama menandatangani memorandum kesepakatan kerja sama untuk SJI di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden cukup memahami masalah kekurangprofesionalan wartawan, menyambut gembira kerja sama dan sekaligus peluncuran SJI. Beliau kemudian bersedia tampil sebagai pengajar pertama, yang memberi kuliah umum perdana kalau tak salah berjudul: Mengapa Indonesia Harus Berhasil atau dalam bahasa Inggris: Failure is not An Option. Kuliah itu berisi ajakan bagi para siswa angkatan pertama SJI dan juga kita semua, agar tetap optimis menghadapi masa depan. PWI menyikapi ajakan itu dengan ikhtiar yang tak kunjung putus. Kami terus bergerak menggencarkan program pendidikan buat para wartawan yang mayoritas memang masih lemah kompetensi profesionalnya. Mengutip lagi penelitian Dewan Pers tahun 2001: hanya 30 persen saja dari wartawan yang ada di Indonesia, sudah bisa dianggap kompeten dan profesional.
xx
Selebihnya, harus diakui, banyak wartawan masih bekerja amatiran. Mereka inilah yang kemudian kerap menimbulkan kecemasan kolektif pada publik. Itu tentu karena kinerja mereka yang seadanya dan seenaknya. Antara lain, sering melanggar kode etik jurnalistik, norma hukum, bahkan tata nilai yang berlaku di masyarakat. Di tengah iklim kemerdekaan pers nyaris tak terbatas, dan di tengah meruaknya digitalisasi media yang pada akhirnya menimbulkan tumpah ruahnya informasi saat ini, ihwal kelemahan kompetensi wartawan, merupakan masalah serius yang perlu segera diatasi. Sebab, kalau tidak, ia secara pasti akan dapat menjatuhkan kredibilitas pers dan wartawan secara keseluruhan di depan publik. Dan pers bakal sepenuhnya kehilangan kekuatannya sebagai wahana pembentuk dan pengelola pendapat publik. Terus terang, kondisi itulah yang menyebabkan PWI segera menyusun program pendidikan intensif buat wartawan, bekerjasama dengan mitra kerjanya. Apa pun tantangannya, program pendidikan lewat SJI dan juga lewat program lainnya, seperti Safari Jurnalistik, harus terus jalan. Memang, capaian program itu jika dilihat dari angka, belum begitu maksimal jika dikomparasikan dengan beban target. Namun, itulah kemampuan dan itulah juga keterbatasan PWI, terutama dalam anggaran. Tapi, dari pada cuma menggerutu melulu, toh, Safari Jurnalistik dengan dukungan mitra kerja seperti PT Nestle Indonesia dan PT Astra international, Tbk, tiap tahun bisa melatih sekitar 500 wartawan di berbagai pelosok tanah air. Kami tetap berpandangan seperti yang sering kami utarakan
xxi
dalam berbagai forum, bahwa kemerdekaan pers yang membuncah di alam demokrasi kita sekarang mesti disikapi dengan mengedepankan etika profesional dan tanggung jawab profesional. Pers Indonesia tidak boleh menjadi masalah. Pers Indonesia harus menjadi pers yang cerdas dan mencerdaskan. Karena itu, ia juga harus terus “disekolahkan.” Dengan kata lain, pers Indonesia juga harus terus belajar. Puji syukur, maksud dan langkah kami mendapat sambutan dan dukungan kuat dari teman-teman seprofesi, yaitu para wartawan senior, para pemimpin redaksi, para akademisi, dan mitra kerja di seluruh Indonesia. Berkat dukungan kuat mitra kerja utama seperti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNESCO, dan pemerintah provinsi di seluruh Indonesia, kami, Insya Allah akan meneruskan program SJI. Sebab, dari masukan langsung yang kami terima dan juga Survei sederhana yang baru dibuat Pengelola SJI, terbukti bahwa program ini baik, dan amat bermanfaat bagi siswa peserta dan juga media tempat mereka bekerja. Sesuai rencana, Insya Allah program SJI tahun 2013 tetap bisa diteruskan. Kami memang harus mengakui karena terbatasnya anggaran, belum bisa memenuhi permintaan beberapa cabang PWI yang ingin di kota mereka dibuka SJI. Pengurus PWI dan Yayasan SJI sedang berusaha untuk mendapatkan bantuan dari mitra kerja swasta, agar program SJI—dan jargon semua wartawan Indonesia: profesional, berwawasan, dan beretika-dapat disebarluaskan juga ke cabang-cabang yang belum punya SJI. Akhirnya, melalui penerbitan buku: “Tiga Tahun SJI ini”, kami ingin mengucapkan apresiasi dan terima kasih kepada Yayasan
xxii
SJI, Pengelola SJI di pusat dan daerah, para pengajar, mitra kerja utama, para gubernur dengan staf di berbagai daerah, dan semua wartawan baik yang sudah ikut maupun yang belum ikut SJI, atas segala perhatian, bantuan dan kerjasamanya selama ini dalam membantu kegiatan SJI. Semoga semua menjadi amal ibadah buat kita semua. Dan semoga SJI serta program PWI lainnya, dapat dilaksanakan menjadi semakin berarti buat masyarakat pers dan semua anak bangsa. Dirgahayu SJI! Dirgahayu Pers Nasional! Jakarta, 17 Januari 2013 H. Margiono
xxiii
DAFTAR ISI
SAMBUTAN KETUA PANITIA PELAKSANA HPN 2013 ..... vii PRAKATA: BUKU TIGA TAHUN SEKOLAH JURNALISME INDONESIA ............................................. xi SEKAPUR SIRIH DARI KETUA UMUM PWI PUSAT ....... xxiii DAFTAR ISI ................................................................ xix • Makna SJI dan Wartawan Masa Depan Oleh Artini Suparmo .................................................. 1 • Merayakan Tiga Tahun SJI: Memetakan Tantangan dan Peluang Oleh Arya Gunawan Usis .......................................... 17 • Mencari Jurnalis yang Kompeten Oleh Ashadi Siregar ................................................. 29 • Tiga Tahun SJI, Mengabdi Publik Oleh Encub Soebekti ................................................ 37
xxiv
• Tiga Tahun SJI-PWI: Haarapan Baru Profesionalisme Wartawan Oleh Iman Handiman .............................................. 83 • Banjir Wartawan, Banjir Informasi dan Tantangan Baru Wartawan Profesional Oleh Marah Sakti Siregar ....................................... 93 • Kontribusi Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Terhadap Profesionalisme Wartawan dan Penampilan Media Oleh Tim Lembaga Riset Artini Suparmo ................ 108 • Daftar Alumni Sekolah Jurnalisme Indonesia ........... 127
xxv
Makna SJI dan Wartawan Masa Depan Oleh Artini Suparmo Instruktur SJI
TULISAN ini merupakan hasil renungan terhadap pendidikan dan pelatihan yang diikuti sejumlah wartawan di Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) di beberapa daerah. Bukan suatu hasil riset ilmiah, oleh sebab itu nada tulisan ini lebih menekankan pada hasil pengamatan dan pengalaman sebagai pengajar di SJI dan di kampus, serta sebagai praktisi wartawan, sehingga menjadi suatu renungan mendalam. Lazimnya suatu pendidikan, apa pun tingkatan dan modelnya, tentulah mengandung suatu harapan tertentu di baliknya, baik oleh peserta didik, pengajar atau instruktur dan masyarakat pers. Bagi wartawan peserta, mengikuti SJI berarti ingin menjadi
1
wartawan profesional. Mereka ingin berkarir sebagai wartawan secara utuh. Namun, setiap kali pendidikan di setiap angkatan SJI, maka ada saja wartawan yang tidak lulus dengan berbagai alasan. Dari hasil pre-test dan post-test pada setiap materi ajar, menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Bahkan untuk pre-test saja, ada kecenderungan pengajar untuk memberi nilai berdasarkan upah menulis saja, karena peserta belum atau tidak tahu sehingga jawabannya asal-asalan. Sedih memang, namun itulah faktanya. Setelah mengikuti pelatihan, lalu melakukan tugas dan menjawab post-test, barulah tampak perubahannya meski tidak semuanya dapat berhasil gemilang. Ini artinya, wartawan itu dengan kesadaran sendiri perlu mengubah sikap untuk terus belajar. Di sisi lain, secara statistik dokumentasi, perjalanan SJI cukup sukses, terbukti dari lembaran hasil kuesioner penilaian siswa terhadap pengajar yang rata-rata mencapai nilai 3,5 ke atas yang artinya bagus. Di mata peserta, wartawan senior yang menjadi pengajar di kelas SJI, agaknya adalah segala-galanya. Apa yang disampaikan guru di kelas, itulah yang benar, sehingga jarang sekali ada kritikan terhadap pengajar. Selama tiga tahun menjadi instruktur dengan power point warna-warni, maka terasa sekali proses belajar mengajar di kelas yang terjalin seolah-olah hanya sepihak. Dimulai dari masuk kelas, peserta duduk diam menunggu, lalu mereka pun mulai mencatat-catat ketika pengajar mulai menyampaikan materi. Padahal, di depan mereka sudah ada makalah dan power point yang nantinya bisa dikopi. Dari sini saja, peserta tidak memposisikan dirinya sebagai wartawan. Bahwa mereka adalah peserta yang berbeda, yakni wartawan, bukan murid
2
di kelas konvensional. Mengapa mereka tidak seperti seorang wartawan yang sedang mengikuti jumpa pers yang dengan suara lantang dapat mengajukan pertanyaan dan pernyataan yang mengeritik sumber. Beberapa narasumber, menurut peserta, ada yang berhasil membuat kelas menjadi hidup, sehingga waktu belajar yang hanya dua sesi terasa cepat sekali. Di kelas penulisan features, misalnya, mereka menyebut beberapa nama narasumber tersebut sebagai favorit mereka untuk menjadi topik tulisan profil. Ini tentu saja menggembirakan, karena kelas-kelas pendidikan yang dinilai berhasil, menurut pakar pendidikan Prof. Dr. Arif Rachman, adalah kelas di mana pengajarnya berhasil membangun suasana gembira dan menyenangkan selama proses belajar mengajar. Materi yang disampaikan tidak perlu banyak dan berat seolah-olah semuanya perlu ditumpahkan di kelas, karena kuncinya adalah cukup sedikit materi, tetapi sarat makna bagi peserta didik.
3
Itu sebabnya, Zulkarimen Nasution, pengajar UI, ketika awal pembahasan kurikulum SJI lebih menekankan unsur do and don’t dalam setiap materi, sehingga peserta benar-benar mendapatkan inti atau hakiki setiap materi belajar. Pengajar diminta membuat silabus lengkap dengan pembagian waktu belajar dari menit ke menit. Dalam konteks ini, lagi-lagi terasa sekali bahwa kurikulum yang disusun waktu itu lebih menekankan aspek teknis ketrampilan, sehingga wartawan benar-benar memiliki skill jurnalistik dalam tugasnya sebagai wartawan. Apakah dengan skill tersebut, wartawan mampu berdialog dengan masyarakat melalui medianya masing-masing, dan bagaimana hati nurani wartawan dalam menyikapi suatu masalah? Inilah dimensi penting yang disampaikan setiap pengajar di kelas di SJI, karena yang duduk di depannya adalah orang-orang yang dapat mempengaruhi publik lewat pilihan kata dan kalimat dalam tulisan berita dan artikel serta foto-foto jurnalistik di medianya masing-masing. Makna Pendidikan Dari sisi jumlah peserta, alumni SJI mencapai 600 lebih selama kurun tiga tahun, dan banyak di antaranya berhasil meningkatkan posisi dari wartawan di lapangan menjadi redaktur, bahkan ada yang berhasil mencapai posisi penting dalam manajemen media. Biasanya, kenaikan posisi seorang wartawan di media akan berkorelasi juga dengan tingkat kesejahteraannya. Dalam konteks ini, secara statistik kuantitatif atau dalam hitungan angka, SJI dinilai berhasil meningkatkan taraf profesionalitas wartawan.
4
Lalu, apa tolok ukur untuk menilai kualitas program pendidikan di SJI? Apakah SJI berhasil memberikan makna tersendiri bagi wartawan, terutama wartawan muda dalam menghadapi situasi masa depan? Berbicara mengenai pendidikan atau pelatihan, maka program yang dirancang seyogianya tidak hanya untuk hari ini atau kebutuhan sekarang saja, tapi juga mampu menyiapkan peserta menghadapi situasi masa depan. Inilah yang namanya pendidikan antisipatoris yakni model pendidikan yang mampu menyiapkan peserta menghadapi masa depan. Sekarang saja, wartawan sudah dihadapkan pada pelbagai masalah berat, baik di medianya maupun dalam masyarakat. Media massa kini sudah tumbuh menjadi industri dengan target profit dan wartawan yang ditugaskan dalam suatu liputan tidak hanya dapat membuat berita layak siar, tapi juga laku dijual. Bahkan ada wartawan yang ditugaskan cari berita sekaligus iklan. Persoalan dalam masyarakat juga demikian rumitnya, mulai dari ketidakadilan sampai tindak kekerasan dan konflik berkepanjangan yang menuntut wartawan tidak boleh hanya jadi corong saja, tapi harus arif dalam pilihan kata dan kalimat, sehingga dapat ikut memecahkan persoalan. Bukan jadi kompor. Kurikulum SJI sudah dirancang sedemikian rupa dan sedemikian padat. Selain berangkat dari pengalaman para pengajar, rata-rata wartawan senior, juga mengacu pada kompetensi yang harus dimilliki seorang wartawan profesional. Artinya, secara konseptual dan faktual, maka kualitas pendidikan di SJI dapat dilihat pada efek atau dampak yang ada sebagai hasil pendidikan.
5
Untuk melihat efek atau makna hasil pendidikan dan pelatihan di SJI, dapat digunakan pendekatan dengan model komunikasi Harold D. Lasswell yakni:
Dengan formula tersebut kita dapat menggunakan lima unsur penting dalam menggambarkan efek suatu pembelajaran di SJI, yaitu (1) komunikator yakni para guru dan lembaga pendidikan, (2) pesan atau materi yang disampaikan, (3) siapa para peserta didik yakni wartawan, (4) saluran yang digunakan termasuk metode belajar serta (5) efek apa yang dihasilkan. Unsur pertama, adalah apakah SJI dan siapa komunikator (who) di SJI? Tahap awal, perlu dikaji lebih dulu posisi SJI, sebagai lembaga pendidikan formal atau informal, klinik pelatihan, kursus atau politeknik dengan tekanan materi ketrampilan. Yang jelas, SJI dikelola oleh sebuah yayasan di PWI Pusat. Dengan nama sekolah, maka tentu akan membawa konsekuensi tersendiri terutama dalam proses belajar mengajar. Komunikator SJI adalah para instruktur/guru/sebagai unsur paling menentukan dalam menilai sukses tidaknya suatu program pendidikan. Di SJI, para komunikator yang menjadi pengajar adalah dosen di perguruan tinggi, wartawan senior di media, pimpinan lembaga pers, peneliti media serta praktisi lapangan, dan ada juga mantan pejabat. Ada tiga tolok ukur untuk melihat kualitas pengajar ini. Pertama, prestasi akademik (academic achievement) yakni bagaimana tingkat pendidikan dan prestasi serta karir jurnalistik mereka selama ini, serta apa saja pengalaman berharga serta prestasi yang pernah dicapai. Itu sebabnya, dalam pertemuan
6
awal dengan peserta, maka narasumber secara singkat perlu menjelaskan CV, sehingga dia patut menjadi narasumber yang kredibel. Bahkan, ada peserta yang langsung mengecek profil narasumber di internet. Oleh sebab itu, faktor prestasi akademik ini juga penting karena mereka adalah narasumber di kelas yang tentunya harus memiliki pengetahuan luas dan komprehensif. Mereka berhadapan dengan peserta yang rata-rata sudah sarjana. Dalam konteks ini, para komunikator ini sudah langsung dipercaya oleh pimpinan SJI sebagai narasumber kredibel karena perekrutan pengajar juga berdasarkan pengalaman, kompetensi serta pendidikan mereka juga. Materi yang disampaikan juga berdasarkan pengalaman serta kebolehan para pengajar dengan menugaskan para pengajar membuat silabus dan soal pre-test dan post-test. Di sisi ini, SJI boleh dibilang sudah berhasil menyusun tim pengajar melalui seleksi internal. Bagi peserta, makna narasumber berkualitas dengan pengetahuan luas adalah pencerahan, sehingga dapat menjadi contoh dalam meniti karirnya. Kedua, ketrampilan berkomunikasi (communication skills) yakni bagaimana pengajar menyampaikan materi dan gaya penyajian kepada peserta didik. Dengan beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaannya, maka bentuk materi dan teknik penyajian para pengajar pun juga berbeda. Sebagai dosen, agaknya sudah terbiasa dengan iklim kampus, padahal para peserta didik SJI dan suasana kelasnya pun berbeda dengan kampus. Beberapa materi dinilai peserta terlalu berat dan sangat serius, mirip materi kuliah di perguruan tinggi. Dan menurut
7
beberapa peserta, kondisi ini membuat kelas menjadi tegang, sehingga waktu dua sesi terlalu lama dan terasa berat, terutama bagi peserta yang pendidikannya setingkat SLTA atau diploma. Dalam konteks ini, maka SJI perlu meninjau ulang materi serta gaya penyajian para pengajar berdasarkan penilaian para peserta didik serta masukan dari berbagai pihak. Di sini tampak ada kaitan antara latar belakang pengajar dengan gaya komunikasi dalam penyajian serta isi materi belajar. Seorang peserta mengungkapkan bahwa dia dan teman-temannya seringkali juga stress dengan narasumber yang “ketinggian” pendidikan dan pengalamannya, sehingga mereka memilih pasif ketika ada narasumber yang “marah-marah” di kelas. Di sini, agaknya dosen perlu menerapkan komunikasi interpersonal di dalam kelas dengan cara berusaha juga memposisikan diri sebagai peserta dengan segala keterbatasannya. Dengan gaya kelas teacher-centered, maka sulit untuk mendorong partisipasi peserta. Kelas SJI perlu menerapkan student-centered yang menekankan peserta aktif dan ikut berperan serta. Kelas features, misalnya, perlu merancang tugas penulisan features dengan mendorong diskusi kelas lebih dulu untuk suatu topik tertentu. Atau meminta kepada pimpinan sekolah setempat agar menugaskan para peserta lebih dulu membuat paper mengenai topik tertentu sebagai tema features. Atau bisa juga meminta peserta untuk saling mengoreksi hasil tugas temannya. Bentuk partisipasi kelas juga bisa dimulai dari pretest dan dengan cepat menugaskan peserta mengoreksi sendiri lembaran jawabannya setelah dibahas di kelas. Ketiga, motivasi mengajar (motivation for teaching)
8
juga menjadi faktor penting, karena akan terefleksi di kelas. Komunikasi verbal dan nonverbal seorang pengajar akan mencerminkan bagaimana motivasi pengajar untuk mendorong peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan di SJI. Ini artinya, pengajar SJI dengan berbagai latar belakang perlu memiliki semangat sendiri untuk menunjukkan cara-cara serta kompetensi yang perlu dimiliki guna mewujudkan citacita wartawan masa depan. Kelas features, misalnya, untuk membangkitkan semangat menulis, maka langsung mendorong peserta membuat tulisan untuk ikut memperebutkan hadiah Adinegoro. Hadiahnya itu yang sangat menggiurkan, Rp50 juta. Wah, peserta jadi bersemangat. Dari uraian ini, para pengajar agaknya dapat lebih dulu menilai performance atau penampilan sendiri dengan mengukur pengetahuan serta kompetensinya. Kualitas pengajar dalam sistem pendidikan apa pun merupakan kunci penentu dalam upaya mencapai hasil belajar. Prestasi akademik, gaya komunikasi atau ketrampilan berkomunikasi serta motivasi tinggi dalam mengajar merupakan tolok ukur performance staf pengajar SJI dan ketiga faktor ini merupakan unsur yang harus dipenuhi seorang pengajar SJI. Sekarang ini, SJI belum melakukan test untuk para pengajar, dan juga belum melakukan evaluasi secara menyeluruh mengenai performance para pengajar. Untuk sementara dipakai kuesioner atau lembar penilaian pengajar yang diisi oleh peserta SJI dan untuk sementara pula hasil evaluasi atau penilaian peserta terhadap pengajar menunjukkan nilai dalam rentang skala bagus dan sangat bagus. Unsur kedua adalah pesan atau materi pembelajaran yang disampaikan. Selama dua minggu sekolah, materi yang
9
disampaikan cukup banyak, rata-rata dua sesi atau empat jam pelajaran, mulai jam 8 pagi sampai 17.00. Bagaimana menilai kualitas pesan yang diberikan pengajar. Menurut pakar pendidikan Prof. Dr. Mochtar Buchori, setiap pendidikan seyogyanya bersifat antisipatoris, artinya pesan atau materi pembelajaran ditujukan untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi masa depan. Maka, materi atau pesan pendidikan di SJI bukan hanya untuk kebutuhan sekarang saja. Bukan hanya menyiapkan peserta piawai dalam membuat berita atau features, tapi juga membantu wartawan lebih peka terhadap pelbagai masalah dalam masyarakat. Sekolah yakni SJI harus melakukan pembinaan kognitif, afektif dan konatif secara simultan. Dalam konteks ini, materi kurikulum harus dapat menetapkan mana teori utama dan mana teori pendukung, agar materi dan relevansi materi dalam proses belajar dapat menjadi faktor berpengaruh terhadap profesionalitas wartawan. Menurut Buchori, perlu suatu usaha untuk mengoreksi “cara-cara kerja profesional” yang sudah terasa ketinggalan zaman, termasuk jurnalisme. Ada kesenjangan besar mutu sebagian besar harian dan majalah di negeri ini dengan harian dan majalah di luar negeri. Karena itu perlu dipikirkan kembali mengenai cara-cara kerja serta kebiasaan-kebiasaan profesional di kalangan wartawan Indonesia. Tugas wartawan sekarang ini berlapis-lapis, mulai dari mencari informasi untuk berita, membangun jaringan dan juga mendapatkan iklan. Unsur ketiga yakni peserta didik SJI yang ditunjuk oleh media masing-masing. Sebagai tahapan awal belum ada persyaratan khusus bagi peserta, namun semuanya adalah
10
wartawan. Ada yang dibebaskan dari media untuk konsentrasi di kelas SJI, tapi juga ada yang masih merangkap. Di tengah jam belajar, ada peserta yang sakit atau anaknya yang sakit, sehingga sulit berkonsentrasi pada pelajaran. Ada juga yang hanya masuk hari pertama saja, lalu hilang. Dalam pengamatan, banyak peserta yang memilih sikap diam, yang dapat diinterpretasikan mereka cukup mengerti, atau tidak mengerti sama sekali. Ada hal yang unik di kelas features, misalnya, banyak peserta yang benar-benar memposisikan dirinya sebagai anak didik. Dengan manja, mereka memanggilmanggil guru di kelas tersebut untuk menilai tugas yang dibuat. Wah, senangnya berhadapan dengan peserta didik yang akrab. Sinar mata mereka menunjukkan betapa mereka sangat mengharapkan suatu pencerahan, dan sekolah ini menjadi jembatan harapan masa depan. Terasa sekali, mereka berharap benar-benar diakui sebagai wartawan, dan dengan ikut SJI berarti langkah nyata untuk mewujudkannya. Tapi juga ada peserta yang sangat pragmatis, dan langsung menyampaikan keinginannya agar materi yang disampaikan benar-benar nantinya dapat menghadapi Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Tampak ada ketakutan tersendiri di kalangan peserta sehingga melihat makna bahan ajar di SJI hanya untuk kepentingan sesaat yakni bagaimana bisa lulus UKW. Namun di sisi lain, ada juga fakta yang menggembirakan, terutama peserta yang benar-benar ingin belajar. Mereka langsung membawa hasil karya di media masingmasing, lalu ketika jam istirahat langsung meminta penilaian dari guru kelas. Di samping itu, khusus kelas features, sampai sekarang masih banyak peserta yang belajar jarak jauh. Mereka
11
mengirim tulisan-tulisannya lalu meminta penilaian dan masukan. Wah, ini peserta yang benar-benar memanfaatkan kedekatan dengan staf pengajar untuk mendapat nilai tambah dalam karirnya. Catatan penting adalah bagaimana daya serap peserta. Dengan latar belakang pendidikan yang beragam, maka memang sulit untuk mencapai nilai hasil rata-rata. Dari lembaran tugas, menunjukkan betapa sebagian besar peserta masih sangat pas-pasan dalam bahasa dan logika. Sebagian lagi menunjukkan bahwa mereka adalah wartawan yang punya “gigi” di daerah, bukan wartawan sembarangan dan karena itu pengajar hendaknya juga menghormati dia. Potret wartawan semacam ini selalu ada di daerahdaerah sebagai bentuk penampilan mereka, misalnya dengan membuat pernyataan yang nyeleneh dan berbeda dengan kelas atau temannya yang lain. Pokoknya, ingin tampil beda agar mungkin bisa mendapat simpati atau nilai bagus dari staf pengajar. Dalam dunia pendidikan, kondisi ini agaknya sudah biasa, ada saja peserta yang kurang dan ada yang lebih. Namun yang penting adalah apakah mereka dapat menarik makna dalam pembelajaran untuk peningkatan karirnya sekarang dan masa depan. Unsur keempat yakni saluran penyampaian pendidikan dan metode pembelajaran di kelas SJI. Model kelas di SJI agaknya masih konvensional di mana narasumber masih menjadi pusat belajar, apalagi model duduk peserta yang rata-rata model panggung dan model segi empat, juga menunjang kondisi seolah-olah staf pengajar adalah segala-galanya. Kondisi ini di satu sisi cukup menguntungkan peserta, namun di sisi lainnya
12
membuat banyak peserta akhirnya tenggelam, karena posisi duduk demikian membuat mereka tidak terlalu kelihatan kalau hanya diam saja. Kalau saja kelas dibuat dengan model partisipatif antara lain model melingkar, atau kelas kelompok diskusi kecil, maka peserta dapat lebih menonjolkan dirinya karena akan kelihatan kalau mereka diam-diam saja. Metode pembelajaran dalam kelas tinggi yang dinilai berhasil, menurut Prof. Dr. Arif Rachman, adalah menyusun komposisi kegiatan belajar antara pengajar dan peserta didik yakni 30 berbanding 70. Artinya, dari narasumber hanya 30 persen saja mengambil alokasi kegiatan belajar mengajar, dan selebihnya adalah peserta, sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi peserta karena mereka lebih aktif dan berperan serta dalam kelas. Dari hasil suatu survei pendidikan, kelas akan memberi kebanggaan dan makna tersendiri jika peserta didik dapat menunjukkan aktualisasi diri mereka dalam kelas. Dengan materi yang cukup padat pada setiap sesi di SJI, maka perlu dipikirkan bagaimana komposisi ceramah, diskusi dan tugas di kelas. Model peserta duduk, diam, lalu mencatat, agaknya bukan kelas SJI, karena hanya akan membuat peserta mendapat pengalaman belajar yang biasa-biasa saja. Tapi bagaimana, agar ada satu pola belajar yang bisa melekat dalam pikiran dan perasaan mereka, misal dengan membuat kelompok-kelompok FGD (Focus Group Discussion), atau meminta salah satu peserta justru menjadi sumber utama yang lalu dilanjutkan dengan pembahasan. Model partisipatif lainnya adalah membagi kelas menjadi dua kelompok besar yang secara bergiliran menjadi
13
kelompok sumber dan kelompok penyanggah. Model lainnya adalah membuat tugas sederhana. Sekadar satu contoh saja, kelas features, misalnya, peserta benar-benar diminta membuat pola segitiga besar sebagai model dasar features murni dalam satu halaman, lalu membaginya untuk lead, body dan ending dan mengisi bagian itu dengan pengetahuan mereka sendiri. Sederhana memang, tapi pola segitiga itu akan melekat ketika mereka akan menulis features. Begitu juga dengan materi lainnya, perlu pola belajar sendiri, karena peserta ini pada hakikatnya sudah membuatnya sendiri di media masingmasing. Hanya untuk catatan saja, bahwa model kelas apa pun yang akan diterapkan, kunci utama adalah bagaimana narasumber membangun iklim kelas menjadi hangat dan akrab sehingga peserta tidak merasa ada jarak dan dapat menarik makna mendalam dari setiap materi. Unsur kelima adalah efek atau hasil belajar sesuai dengan visi dan misi SJI yakni menyiapkan wartawan berkualitas sesuai Kode Etik Jurnalistik. Kode etik adalah pegangan seorang profesionalitas. Untuk mengukur hasilnya, dapat dilihat dari post-test yang disampaikan di kelas dan lembar penilaian kuesioner yang diisi peserta pada jam terakhir. Untuk mengetahui bagaimana hasil atau efek belajar secara signifikan, dapat dilakukan dua hal. Pertama, melakukan survei dengan teknik analisis isi (content analysis) dengan memilih berita atau tulisan lainnya yang dibuat peserta setelah lulus SJI dalam periode tertentu sebagai unit analisis. Apakah berita yang dibuat sudah memenuhi syarat layak siar, komprehensif atau ekslusisf.
14
Kedua, bisa meminta data di redaksi media masing-masing, mengenai produktivitas wartawan serta perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah mengikuti SJI secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, apakah ada peningkatan karya wartawan alumni SJI dan secara kualitatif untuk nengetahui bagaimana perubahan perilaku mereka. Kelima unsur ini saling terkait sehingga peserta benarbenar mendapat makna dari pendidikan dan latihan di SJI. Sebagai suatu proses belajar, tentu saja ada keterbatasan, misalnya komposisi peserta yang tidak seragam atau pengajar yang belum pernah mendapat Akta IV atau Akta V sebagai SIM mengajar. SJI agaknya perlu melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan untuk melatih para narasumber di SJI agar juga menjadi staf pengajar SJI yang profesional. Menyiapkan wartawan menjadi lebih profesional maka staf pengajar juga harus lebih profesional dalam mengelola kelas belajar, agar peserta benar-benar mendapat makna belajar.
15
Merayakan 3 Tahun Sekolah Jurnalisme Indonesia
Memetakan Tantangan dan Peluang Oleh Arya Gunawan
Advisor for Communication and Information, UNESCO Tehran Cluster Office (mencakup Iran, Pakistan, Afghanistan, dan Turkmenistan). Mantan penanggungjawab program pemberdayaan media UNESCO Jakarta (mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Timor Leste), Oktober 2000 - Agustus 2010. Mantan wartawan Kompas (1987-1995) dan mantan wartawan BBC di London (1995-2000).
SAAT para tokoh pers dan pegiat pers berkumpul dalam suasana sukacita dalam puncak perayaan Hari Pers Nasional di Manado, 9 Februari 2013 ini, maka persis pada tanggal itu pula Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) genap berusia tiga tahun. Tanggal 9 Februari 2010, saat berlangsung perayaan HPN di Palembang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kelahiran SJI sekaligus menyampaikan kuliah perdana secara langsung di hadapan 25 peserta pendidikan SJI Palembang
17
angkatan pertama. Saat itu, para siswa SJI Palembang ini hadir sebagai bagian dari sekitar 1.500 undangan yang memeriahkan acara puncak HPN. SJI telah berkembang pesat. Data-data berikut ini adalah bukti nyata dari perkembangan pesat SJI. Tahun 2010 lalu, tak lama setelah peresmian SJI Palembang sebagai “sang pionir”, tiga tempat lagi menyusul langkah Palembang untuk menjadi tuan rumah kehadiran SJI, yakni Semarang, Samarinda, dan Bandung. Di tahun kedua, 2011, jumlah SJI kembali bertambah dengan kehadirannya di Bandar Lampung, Jambi, dan Makassar. Tahun 2012 Banjarmasin dan Palangkaraya juga tak hendak ketinggalan. Keberadaan sembilan SJI di berbagai provinsi hingga tutup tahun 2012 ini, agaknya akan segera bertambah lagi di tahun 2013 —tergantung dari keputusan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai penyandang dana—dengan Medan, Banda Aceh, Denpasar dan Ambon. Perkembangan SJI yang menggembirakan ini juga ikut membuat bahagia UNESCO. Seperti yang pernah saya sebutkan dalam catatan menyambut setahun kehadiran SJI di tahun 2011 lalu. SJI memang dikelola secara langsung oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan dukungan pendanaan dari Kementerian Pendidikan Nasional dan pemerintah masingmasing provinsi dimana SJI berada. Namun tak berlebihan jika disebutkan juga bahwa UNESCO menempati posisi cukup khusus dalam perjalanan SJI, karena UNESCO ikut terlibat sejak di masa-masa menjelang SJI dilahirkan: pembahasan dan perencanaan kurikulum SJI menggunakan buku Model Curricula for Journalism Education—yang disusun dan diterbitkan oleh UNESCO tahun 2007 lalu sebagai rujukan utama.
18
Kita semua tahu, bagi setiap proses pendidikan, kurikulum adalah tulang punggung penentu mutu pendidikan dan sekaligus mutu lulusan yang akan dihasilkan. Dan buku UNESCO tentang panduan kurikulum jurnalisme ini menyediakan ruang yang luas dan fleksibel bagi proses penyusunan kurikulum yang mengacu pada standar dan nilai dasar yang berlaku universal di dunia jurnalistik. Itu sebabnya kurikulum SJI yang penyusunannya dimotori Zulkarimein Nasution—pengajar senior di Departemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP-UI) yang juga seorang mantan wartawan– dengan melibatkan para pengajar senior SJI, terbilang cukup komprehensif dan menjawab tuntutan zaman baru. Pada tahun kedua perjalanan SJI ini, UNESCO juga boleh berlega hati karena telah “membayar tunai” sejumlah tugas yang diletakkan ke pundak UNESCO berdasarkan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara UNESCO dan PWI
19
yang ditandatangani dalam acara puncak HPN di Palembang tahun 2010. “Hutang” yang telah dilunasi UNESCO ini mencakup kegiatan-kegiatan berikut: a) mendatangkan pegiat pers sekaligus pengajar jurnalisme dari luar negeri untuk bertukar pandangan dan gagasan dengan para siswa, alumni dan pengajar SJI; b) menyusun dan menerbitkan dua buku, masing-masing berisi daftar rujukan tentang jurnalisme yang ditulis oleh orang Indonesia, dan kumpulan karya jurnalistik dari sejumlah wartawan kawakan Indonesia; dan c) pembuatan, pengembangan dan pemeliharaan situs web SJI yang akan diisi berbagai bahan berguna untuk proses pendidikan di SJI secara khusus, dan pendidikan jurnalisme secara umum, misalnya bahan pengajaran, informasi mutakhir terkait dengan dunia jurnalisme, dan forum untuk bertukar pendapat. Untuk kegiatan butir a) di atas, pakar yang datang ke Indonesia adalah Yvonne Chua, di pertengahan September 2011. Mantan pegiat dan pelatih di Philippines Centre for Investigative Journalism (PCIJ) yang juga mengajar jurnalisme di satu perguruan tinggi di Filipina ini, juga terlibat dalam sejumlah pelatihan untuk wartawan Indonesia tak lama setelah awal era reformasi. Dalam kedatangannya untuk SJI/PWI ini, Yvonne menjadi narasumber utama dari diskusi di Jakarta dengan para anggota PWI, dan dilanjutkan dengan ceramah di hadapan sejumlah pengajar dan alumni SJI serta sejumlah wartawan di Palembang. Kedua buku yang telah disebutkan dalam butir b) di atas, juga telah diterbitkan lewat upaya tim yang dipimpin oleh Zulkarimein Nasution, dan didukung sejumlah pengajar senior SJI, khususnya Tribuana Said. Kedua buku tersebut telah
20
disebarluaskan kepada pihak-pihak yang relevan. Akan halnya situs web SJI, kendati produk awalnya sudah diselesaikan oleh PWI, namun masih diperlukan sejumlah langkah untuk menyempurnakannya agar benar-benar dapat berfungsi sebagai wadah pertukaran informasi, gagasan dan pengetahuan, bukan hanya bagi kalangan PWI dan SJI, melainkan bagi siapa saja yang menaruh minat pada bidang jurnalisme. *** Di samping kisah sukses yang dibeberkan di atas, SJI juga berhadapan dengan sejumlah persoalan sepanjang tiga tahun kehadirannya dalam peta perkembangan jurnalisme di Indonesia. Persoalan sempat diamati oleh penulis antara lain termasuk membangun harmoni dan komunikasi yang kondusif di kalangan para pengurus, maupun antara pengurus dengan para pengajar. Selain itu, para pengelola SJI perlu terus memikirkan sekaligus mengantisipasi berbagai hal yang terkait dengan pendanaan di masa datang, termasuk juga menjaga agar para pendukung utama dana operasional SJI dapat terus mewujudkan komitmen mereka untuk tak surut langkah dalam membesarkan SJI. Selain itu, ada juga sejumlah persoalan yang belum begitu tampil secara nyata saat ini, namun bukan tak mungkin akan berkembang menjadi serius dalam waktu-waktu mendatang. Saya kira, saat merayakan ulang tahun yang ketiga di tahun 2013 ini SJI seyogyanya pula mengambil jarak sekejap untuk melakukan refleksi, dan mempertimbangkan hal-hal berikut ini: Sedapat mungkin dan sekuat upaya SJI hendaknya menjaga
21
jarak dan mengawal independensi dari para pihak yang selama ini telah bersedia mengulurkan bantuan. Tiada salahnya SJI senantiasa berlaku waspada terhadap kemungkinan adanya campur-tangan maupun pengaruh dari para pihak ini, yang bisa muncul dalam berbagai bentuk mulai dari “bisikan” agar para peserta pendidikan dan para lulusan SJI tidak mengambil posisi “sangar” dan “garang” dalam memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik yang terjadi di lembagalembaga yang telah memberikan dukungan kepada SJI, sampai kepada “bujukan” untuk mengerahkan dukungan lewat media, bagi calon tertentu dalam proses pemilihan pejabat di tingkat lokal. Memastikan proses pengelolaan SJI bisa berjalan mulus, di tengah begitu tingginya animo dari berbagai daerah yang menginginkan kehadiran SJI. Jumlah SJI yang kian bertambah pastilah akan menguras pikiran, energi, waktu, dan terutama juga ide dari para pengelola SJI. Para pengelola SJI bukan mustahil akan kekeringan ide-ide baru sehingga proses pendidikan menjadi “jalan di tempat” dan miskin dari pembaruan (padahal jurnalisme bukanlah makhluk yang stagnan, melainkan sebuah profesi yang bergerak secara cepat, terutama dipacu oleh perkembangan pesat di bidang teknologi komunikasi-informasi, termasuk kemunculan berbagai media baru). Jika langkah SJI tak lagi sejalan dengan kemajuan pesat di dunia jurnalisme ini, maka itu adalah lonceng tanda bahaya. Harus ada pengurus SJI, atau satu tim khusus yang dibentuk oleh pengurus SJI, yang diberi tugas dan kepercayaan untuk terus memikirkan dengan sungguh-sungguh proses perencanaan, pengembangan dan pemutakhiran kurikulum. Kurikulum bukanlah sesuatu yang diperlakukan secara kaku,
22
melainkan harus dimutakhirkan dari waktu ke waktu, seiring dengan perubahan di berbagai bidang yang berlangsung begitu cepat. Hanya dengan cara ini maka bahan-bahan pelajaran yang diberikan para pengajar dan dimamah oleh para peserta ajar benar-benar relevan bagi tugas sehari-hari para wartawan yang tengah menjalani pendidikan di SJI. Akan lebih baik lagi apabila para peserta pendidikan SJI mendapatkan keyakinan baru bahwa memang SJI “tampil beda”, bukan lembaga yang mudah dicari bandingannya. Terkait dengan dua hal yang sudah disebutkan di atas, sudah sepatutnya pengelola SJI juga melakukan proses regenerasi pengajar secara berkala. Para wartawan dari generasi muda yang dianggap memiliki reputasi yang menjanjikan, sudah waktunya untuk dirangkul dan mulai diberikan kepercayaan untuk menjadi bagian dari tim pengajar SJI, memperkuat para pengajar terdahulu yang selama dua tahun ini telah memberikan sumbangsih nyata bagi perjalanan SJI. Kebutuhan akan para pengajar baru jelas tak dapat terhindarkan. Ia adalah kebutuhan yang nyata seiring dengan bertambahnya jumlah SJI, dan seiring dengan rencana untuk mengembangkan pendidikan di setiap SJI ke jenjang yang lebih tinggi. Yang juga tak dapat dielakkan adalah perlunya para pengajar ini juga mengikuti “proses pengajaran”, dengan cara mencarikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi peserta di berbagai acara yang terkait dengan jurnalisme dan pendidikan jurnalisme. Atau juga dengan cara mendatangkan pakar dari luar negeri untuk berdiskusi dengan para pengajar SJI, sebagaimana yang telah dilakukan September 2011 lewat kehadiran Yvonne Chua seperti disebutkan terdahulu. Hanya dengan cara ini ilmu dan informasi yang dimiliki oleh para pengajar akan terus
23
bertambah, sehingga akan menambah kharisma dan bobot mereka saat menyampaikan materi di hadapan para siswa SJI. Terus mengupayakan untuk membangun sinergi dengan lembaga-lembaga pendidikan jurnalisme lainnya, terutama yang telah lebih dulu hadir. Kelahiran SJI sebetulnya merupakan fenomena menarik, bahkan mungkin juga unik, karena tidak banyak contoh dimana di setiap daerah ada satu lembaga pendidikan jurnalisme yang dikelola dengan pendekatan serius. Fenomena ini sekaligus juga menghadirkan kenyataan bahwa “pusat” bisa jadi akan kehilangan peran karena peran tersebut telah diambil alih oleh daerah. Harus dicarikan rumusan yang tepat agar bisa terjalin sinergi yang kuat antara daerah dan pusat ini. Misalnya saja perlu dipikirkan sinergi yang kokoh antara SJI dan Lembaga Pendidikan Dokter Soetomo (LPDS)– lembaga yang disebutkan terakhir berlokasi di Jakarta dan sudah malang melintang dengan reputasinya selama lebih dari dua dasawarsa ini. SJI sendiri harus terus didorong sebagai tempat untuk melahirkan wartawan-wartawan tangguh di daerah, yang akan menjadi andalan untuk ikut mengawal jalannya proses demokrasi dan pembangunan di tingkat daerah. Jika kelak sebagian dari mereka akan mendapatkan tempat/media baru atau dipromosikan bekerja di luar daerah asal mereka, maka di tempat baru ini mereka tetap berkarya dengan dengan prestasi yang juga patut dibanggakan. Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa Bob Woodward adalah wartawan yang mengawali karirnya dari daerah, di sebuah koran mingguan, Montgomery Sentinel. Setahun bekerja di koran yang berlokasi di pinggiran kota Washington
24
DC dengan tiras yang tak besar itu (sampai sekarang koran ini masih terbit, dan tetap dengan tiras yang kecil), barulah Bob Woodward mengadu nasib di The Washington Post, tahun 1971. Setahun setelah itu, lahirlah karya monumentalnya berupa laporan investigatif yang digarapnya selama lebih dari dua tahun bersama-sama rekannya, Carl Bernstein, yang menguliti skandal Watergate yang tersohor itu karena menjungkalkan Presiden Richard Nixon dari jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat di tahun 1974. Bob Woodward kemudian mematerikan dirinya sebagai salah seorang dari sedikit legenda di dunia jurnalistik, khususnya untuk liputan investigatif. Hingga kini, dalam usia yang sudah 70 tahun, Bob Woodward dikenal sebagai seorang penulis buku yang produktif, dengan belasan karya yang juga ditulis menggunakan pendekatan jurnalisme investigatif, dan hampir semuanya masuk dalam jejeran buku terlaris. Melaksanakan survei untuk melihat seberapa jauh relevansi dan manfaat kehadiran SJI, baik dalam proses pembangunan secara umum terutama di setiap daerah yang menjadi tuan rumah SJI, maupun secara khusus dalam sumbangsihnya terhadap kemajuan dunia jurnalisme. Survei ini hendaknya bias dilakukan dengan komprehensif, termasuk dalam hal materi yang diberikan, metodologi yang digunakan, sampai kepada penilaian terhadap para pengajar. Data yang diolah dari survei ini, meskipun mungkin saja mengandung kritik, pastilah akan sangat berfaedah untuk membenahi program-program SJI di masa sekarang sekaligus dalam menyusun rancangan programprogram SJI di masa datang. Mencari sumber-sumber baru untuk pendanaan, terutama dari pihak-pihak yang mempersyaratkan ketentuan
25
yang tidak mengikat, sehingga prinsip utama kemandirian dan kemerdekaan yang sudah disebutkan terdahulu tetap dapat terus tegak dengan kokoh. Tahun 2012 lalu, puncak perayaan HPN dipusatkan di Jambi. Bagi saya, perayaan HPN tahun lalu itu memiliki makna yang sangat istimewa, setidaknya dalam dua hal. Pertama, karena Jambi adalah kota kelahiran saya dan kota tempat saya dibesarkan hingga menamatkan SMA. Saat hadir di sana tahun lalu, saya sekaligus menikmati semacam perjalanan nostalgia, termasuk juga menikmati kulinernya yang kaya dalam hal ragamnya dan lezat dalam hal rasanya. Saya kira rombongan delegasi HPN yang berasal dari luar Jambi, tidak akan memperdebatkan pernyataan saya barusan. Kedua, yang juga tak kalah membuat saya bahagia adalah bahwa saat perayaan HPN 2012 itu berlangsung, Jambi selaku tuan rumah juga telah memiliki SJI. Manado selaku tuan rumah perayaan HPN tahun 2013 tentulah juga memiliki berbagai kekayaan lokal yang akan dengan mudah pula membuat para peserta HPN tertambat hatinya. Mulai dari kekayaan alam, termasuk tentu saja taman laut Bunaken yang sudah termasyhur di tingkat dunia dan bisa dijangkau dengan sangat mudah dari Manado (sekitar setengah jam dari pelabuhan Manado, menggunakan transportasi laut), hingga ke kekayaan kulinernya, seperti halnya Jambi di tahun lalu. Kekayaan lainnya yang tentu saja ditawarkan oleh Manado adalah kenyataan sejarah bahwa keberadaan Provinsi Sulawesi Utara pada umumnya, dan Manado pada khususnya, telah ikut
26
memberikan sumbangsih nyata dalam perjalanan sejarah pers Indonesia, termasuk – dan terutama – Mendur bersaudara (Frans dan Alex Mendur) yang merintis pendirian IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) di tahun 1946, dengan menghasilkan berbagai foto jurnalistik yang ikut membantu menjaga tegak kokohnya Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara berdaulat yang baru pada masa-masa awal kemerdekaaan itu. Rencana peresmian museum Mendur bersaudara yang dimasukkan sebagai bagian dari acara perayaan HPN 2013 ini, tentulah sebuah langkah yang sangat tepat. Memang amatlah beralasan jika PWI Pusat memutuskan untuk menjadikan Manado sebagai tuan rumah. Ini juga sebuah langkah yang baik dan jitu, karena perayaan HPN 2013 ini berlangsung beberapa bulan lebih awal dari acara lainnya yang juga akan membuat Manado semakin berbangga, yaitu Asia Media Summit ke-10, yang akan diselenggarakan di akhir Mei 2013 ini. Jadi, di tahun yang sama ini Manado menjadi tuan rumah untuk dua acara penting di bidang media/jurnalisme/ komunikasi-informasi. Perhelatan HPN 2013 ini tentulah akan terasa lebih komplit lagi apabila SJI pun telah hadir pula di Manado, seperti halnya Jambi saat menjadi tuan rumah HPN tahun lalu. Namun kendati di Hari Pers Nasional 2013 ini SJI belum menjadi bagian dari Manado, tentu tak salah apabila kita berharap bahwa kehadiran SJI di Manado ini hanya tinggal perkara waktu. Selamat merayakan HPN 2013. Selamat pula untuk Manado dan provinsi Sulawesi Utara.***
27
Mencari Jurnalis yang Kompeten Oleh Ashadi Siregar
JURNALISME dalam kegiatan keredaksian (newsroom) adalah mengolah fakta menjadi informasi. Ia dapat ditempatkan dalam dua tingkat. Pertama: level teknikalitas dengan kemampuan menemukan dan menuliskan fakta sesuai format dan struktur teks berita. Biasa disebut sebagai proses reportase/ liputan berita (news reporting/covering) fakta mengandung kepentingan publik (public interest) dan kepentingan manusiawi (human interest).
29
Kedua, dalam level analisis dengan kemampuan menulis/ membentuk teks sesuai dengan wacana (discourse) yang memiliki makna publik (public meaning), disebut sebagai proses analisis berita (news analysis). Teks jenis kedua ini biasa diproses dalam liputan mendalam (in-depth reporting) dalam berbagai format seperti berita investigatif dan interpretatif. Untuk mendukung kerja ini, setiap pelaku profesi media jurnalisme dituntut dalam kapasitas empat hal: pertama: preferensi/sikap (termasuk cita rasa/taste) dalam menghadapi fakta dan informasi yang disiapkannya. Preferensi atau kecenderungan dalam memilih fakta ada yang bertolak dari visi dan misi media tempatnya bekerja, dan ada yang bersifat otentik sesuai dengan pilihan yang dikembangkan dari kesadaran selfesteem (harga diri) jurnalis. Kedua: kesadaran etika tentang kepantasan sosial dan keberadaan profesinya. Kesadaran akan keterhormatan dan martabat profesi dan medianya merupakan tujuan yang terusmenerus diperjuangkan seorang jurnalis. Ketiga: pengetahuan sesuai dengan bidang informasi yang dikerjakannya. Seorang jurnalis bermula dari pengetahuan bersifat generalis, untuk kemudian berkembang dengan spesialisasi yang diperlukan dalam peningkatan dimensi kerja keredaksian. Keempat: kemampuan metode kerja bersifat teknis (technicalities) untuk mencari dan menyiapkan informasi. Untuk mencari materi materi informasi berupa pengidentifikasian dan pencatatan fakta diperlukan kemampuan observasi dan wawancara. Sedangkan dalam penyiapan informasi seorang jurnalis memiliki kemampuan mewujudkan teks dalam berbagai format sesuai dengan keperluan media.
30
Tuntutan kapasitas ini melahirkan kompetensi yang sesuai dengan bidang dan level kerja keredaksian. Kompetensi jurnalis pada hakikatnya dimaksudkan membangun kualitas media jurnalisme. Adapun kualitas suatu media pers dapat dirumuskan dengan berbagai parameter teknis manajemen (efektivitas dan efisiensi kinerja dan output personel yang dapat dikuantifikasi). Tetapi di luar itu, seluruh upaya dalam membangun kualitas pers sebagai institusi sosial bermuara pada kredibilitas. Kata kunci dari kredibilitas adalah kepercayaan (trust). Pada tahap pertama, sang jurnalis dapat merasakan bahwa publik mempercayai medianya. Kredibilitas diperoleh dari interaksi bertahun-tahun dengan publik. Dia dibangun secara sosiologis, sekaligus menjadi landasan keberadaan media jurnalisme sebagai sumber kebenaran bagi warga di ruang publik (publicsphere). Karakteristik ini menjadikannya sebagai institusi sosial. Kualitas media pers dibangun melalui substansi teks, sebab dari sinilah kredibilitas disentuh. Ini berkaitan dengan kebenaran yang terdiri atas kebenaran faktual/empiris (biasa dilihat memenuhi azas faktualitas dan obyektivitas) dan kebenaran makna publik (public meaning). Dengan kebenaran empiris, substansi fakta identik dengan teks. Untuk mencapai kebenaran ini, media jurnalisme dicapai dengan kinerja dan output pemberitaan dalam azas kecermatan faktual (accuracy), keseimbangan/ketidak-berpihakan (balance/ impartiality), dan kepantasan (fairness). Melalui ketiga aspek A-B-F inilah kredibilitas media pers sebagai institusi sosial diwujudkan sehingga publik menghargai media persnya.
31
Kebanggaan atas profesi bersumber dari self-esteem jurnalis dan keterhormatan media di tengah masyarakat. Dalam dinamika manajemen boleh jadi keberhasilan ekonomi media menjadi parameter. Sebagai institusi bisnis, parameter ini tentu nomor satu. Tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa keberadaan utama dari media jurnalisme adalah sebagai institusi sosial. Untuk itu kredibilitas yang menjadi sumber keterhomatan dan martabat media menjadi tujuan utama. Dengan begitu, mabuk dalam kebanggaan sukses bisnis, sementara gagal dalam membangun media sebagai institusi sosial tentulah tidak diharapkan oleh pelaku profesi jurnalisme. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi pekerja amanah/kredibel manakala institusi tempatnya bekerja diragukan sebagai sumber kebenaran, atau bahkan menjadi sasaran olok-olok dalam kehidupan sosial. *** Seluruh proses jurnalisme digerakkan dari kegiatan keredaksian. Manajemen dalam newsroom digerakkan berdasarkan kebijakan keredaksian (editorial policy). Kompetensi dalam berbagai skala untuk kerja jurnalisme pada hakikatnya dimaksudkan untuk menjaga agar output media tetap memiliki signifikansi yang bersifat pragmatis dan nilai kultural. “Mesin” yang memproduksi output berupa materi pemberitaan adalah newsroom, untuk itu geraknya dapat dilihat dari dua sisi konseptual. Pertama: standar perilaku (teknikalitas) dalam kebijakan pemberitaan/newsroom policy (sebagai orientasi pragmatis sosial). Kedua: perwujudan nilai etik profesi jurnalisme (sebagai
32
orientasi kultural). Orientasi pragmatis dalam newsroom antara lain standar newsworthiness dan format penulisan, agenda newsroom (prioritas liputan dan pemuatan), budgeting, dan sebagainya. Disebut pragmatis sebab proses teknis bersifat imperatif adalah untuk memenuhi kepentingan publik. Keberadaan setiap newsroom media jurnalisme perlu ditempatkan dalam konteks kebebasan pers (freedom of the press). Asas kebebasan pers pada hakikatnya berada dalam dua level. Pertama pada ruang publik dengan adanya iklim demokrasi yang bertumpu pada hak publik (warga masyarakat) untuk mengetahui fakta-fakta kehidupan publik di satu sisi, dan hak publik dalam menyatakan pendapat tentang masalah publik di sisi lainnya. Karenanya warga masyarakat secara personal harus bebas dari tekanan kekuasaan eksternal, baik dari negara maupun masyarakat (kekuasaan kapitalisme dan komunalisme). Kedua, media jurnalisme dapat beroperasi secara bebas (free press), yaitu terbebas dari kekangan dan tekanan kekuasaan di luar dirinya. Untuk kebebasan level kedua ini, newsroom setiap media jurnalisme memiliki kemerdekaan/ independen dan otonomi. Dalam ‘menikmati’ berkah free press ini pengelola newsroom perlu menjaga orientasinya, sehingga tugas profesional pengelola newsroom untuk memformulasikan kebebasan dalam pengertian independensi (‘bebas dari’) dan otonomi (‘bebas untuk’) dalam mengolah informasi adalah dengan mengetahui batas-batas antara keduanya. Dengan kata lain, etika pada tataran newsroom adalah menghadapkan
33
batas-batas otonominya di satu pihak dengan kemerdekaannya di pihak lain pada konteks keberadaan di ruang publik. Secara berjenjang, pengelola newsroom menjalankan tanggungjawab sesuai dengan kewenangannya. Tanggung jawab dan kewenangan ini menuntut kompetensi yang tepat (proper). Dari sini dikenal struktur dalam kerja keredaksian. Artinya struktur dalam organisasi newsroom dibentuk atas dasar kompetensi jurnalis sesuai dengan bidang dan level kerjanya yang disertai output masing-masing. Karenanya penunjukan personel dalam struktur newsroom tidak semata-mata sebagai proses manajemen, tetapi yang tidak kalah penting adalah kesesuaian kompetensi dengan orientasi media dalam azas free press. Artinya kompetensi empat aspek: preferensi, etika, pengetahuan dan metode kerja yang sesuai dengan operasi newsroom dalam memproses fakta menjadi informasi di satu sisi, dan menjaga interaksi media dengan institusi-institusi lain di ruang publik di sisi lainnya. ***
34
Dengan penghormatan pada asas free press yang terdiri atas independensi dan otonomi newsroom, maka dapat dibayangkan bahwa tidak ada super body dari luar yang menentukan siapa yang boleh atau tidak menjalankan operasi di newsroom. Pengelola newsroom secara berjenjang diasumsikan mampu menilai kompetensi personel yang dapat melakukan tugas jurnalisme dalam organisasi kerjanya. Persoalan yang dihadapi profesi jurnalisme di Indonesia adalah sifatnya yang terbuka, yaitu dapat dimasuki setiap orang tanpa melalui pendidikan profesi yang khas sebagaimana profesi tua seperti kedokteran, hukum atau lainnya. Sebagai profesi terbuka, setiap perusahaan media jurnalisme harus menyiapkan sendiri pelaku profesi untuk institusinya dengan memberikan pelatihan profesi sesuai jenjang yang diperlukan. Beban semacam ini tentulah hanya dapat dijalankan institusi jurnalisme yang kuat secara organisasi dan finansial. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta UNESCO mengambil alih peran ini, dengan merancang dan menyelenggarakan program pendidikan jurnalisme untuk pelaku profesi. Program yang berlangsung sejak tahun 2010 ini telah menyentuh sejumlah peserta jurnalis di berbagai daerah. Di akhir setiap pendidikan, peserta mengikuti ujian. Dari sisi pendidikan profesional, bukan nilai lulus atau tidaknya yang penting, melainkan kesesuaian dalam tugas-tugas di newsroom media masing-masing. Artinya efektivitas pendidikan bukan pada sertifikat yang dipegang jurnalis, tetapi perlu dilihat dari kontribusi jurnalis dalam operasi newsroom. Kompetensi jurnalis diukur dari output-nya dalam kerja keredaksian.
35
Sebagai ilustrasi, berikut disajikan tuntutan kompetensi di newsroom media jurnalisme yang mapan:
Dari kompetensi teknis ini, manajemen menetapkan standar output personel newsroom. Untuk itu parameter yang dijalankan bersifat terukur, dan melalui penilaian (assessment) yang objektif dan dijalankan oleh instansi yang dibentuk secara khusus untuk tujuan ini. Asas independen dan otonomi berlangsung dalam praksis newsroom yang menjadi landasan dalam setiap aspek manajemen keredaksian.
36
TIGA TAHUN SJI: HARAPAN BARU PROFESIONALISME WARTAWAN Oleh Encub Soebekti
Direktur Program Pendidikan PWI Pusat
TIDAK terasa lagi, waktu berjalan begitu cepat. Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), tepat pada 9 Februari 2013 memasuki usia tiga tahun. Jika diukur dengan perjalanan hidup sosok manusia, usia ini relatif sangat muda. Ia tergolong masih “usia balita.” Namun, tidak demikian dengan SJI-PWI. Pasalnya, di usia yang masih relatif muda, ia telah berhasil melahirkan sejumlah prestasi kegiatan belajar-mengajar yang menggembirakan dan memberikan harapan baru, teristimewa bagi masyarakat pers di negeri ini.
37
Setelah melalui proses diskusi dan pengkajian cukup panjang, Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PP PWI) dan Yayasan Sekolah Jurnalime Indonesia (Y-SJI) ketika itu berhasil meresmikan SJI-PWI bertepatan dengan peringatan puncak acara Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010 di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam acara tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat memberikan kuliah perdana di depan 30 orang SJI-PWI tingkat Dasar Angkatan I dan para undangan HPN 2010. SJI-PWI Palembang ketika itu ditetapkan menjadi sebuah pilot projek bagi lahirnya kegiatan pendidikan dan pelatihan jurnalistik untuk para wartawan di republik ini. SJI-PWI sengaja dirancang sebagai sebuah wadah pendidikan dan pelatihan yang terkonsep, terpola, terprogram, berjenjang dan berkelanjutan. Pilot projek ini, dalam perjalanannya kemudian, ternyata telah banyak memberikan inspirasi dan sekaligus mendorong bagi banyak cabang PWI lain untuk mengikuti jejak PWI Cabang Sumatera Selatan di Palembang.. Menyusul jejak SJI-PWI di Palembang, dalam tahun yang sama (2010-2011), PP PWI dan Y-SJI, segera membuka dua SJI-PWI di tiga Cabang PWI provinsi lainnya yakni Jawa Tengah (Semarang, Dasar-III dan Madya-I), Jawa Barat (Bandung, Dasar-I) dan PWI Cabang Kalimantan Timur (Samarinda, Dasar-III). Sedangkan di SJI-PWI Cabang Sumatera Selatan, di Palembang sendiri hingga kini berhasil meluluskan lima angkatan alumni SJI tingkat Dasar dan SJI Madya-I. Dalam perjalanan tiga tahun terakhir ini, SJI-PWI hingga kini berhasil mengembangkan sayap kegiatannya di enam PWI Cabang Provinsi lainnya yakni di PWI Cabang Kalimantan Selatan (Banjarmasin, Dasar-II), Lampung
38
(Bandar Lampung, Dasar-II), Jambi (Dasar-II), Sulawesi Selatan (Makassar, Dasar-I) dan Kalimantan Tengah (Palangka Raya, Dasar-I). Dengan demikian, dalam tiga tahun perjalanan singkat SJIPWI sampai dengan saat ini, sudah beroperasi di 9 (Sembilan) daerah provinsi di Indonesia. Jika dihitung berdasarkan frekuensi kegiatannya, maka dalam kurun waktu yang sama tercatat meliputi 23 kegiatan, diikuti sekitar 850 peserta didik dan telah menghasilkan alumni SJI berjumlah 635 orang. Menurut hasil pemantauan para kepala sekolah SJI di beberapa daerah, banyak di antara alumni SJI-PWI tersebut, dewasa ini menduduki posisi lebih baik di tempat bekerjanya, ketimbang sebelum mereka berkesempatan mengikuti kegiatan belajarmengajar di SJI-PWI. Dengan kata lain, tidak sedikit di antara para alumni setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan di SJI-PWI, mereka kemudian dipercaya menduduki jabatan Koordinator Liputan (Korlip), ada juga yang menjadi asisten redaktur, dan bahkan ada yang dipercaya menjadi redaktur bidang dalam komposisi organisasi redaksi di masing-masing kantor tempat bekerjanya. Menurut ketentuan belajar-mengajar di SJI-PWI, bahwa bagi mereka yang dinyatakan lulus karena mencapai nilai prestasi belajar yang ditetapkan, maka para alumni tersebut diwajibkan mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW). Dalam pengalaman kegiatan UKW yang digelar di beberapa daerah, ternyata hasilnya sangat menggembirakan bagi para pengajar. Menurut hasil pengamatan dari para Kepala Sekolah SJI di daerah-daerah, para peserta UKW berasal dari alumni SJI tersebut rata-rata dinyatakan mekmiliki kompetensi, dan
39
diketemukan hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang dinyatakan sebagai belum memiliki kompetensi.
Kerja sama Pemangku Kepentingan Keberhasilan program ini, tentu saja berkat kerja sama yang erat di antara berbagai pemangku kepentingan baik dari jajaran internal organisasi PWI lewat kegiatan SJI, dengan dukungan dari segenap aparatur Pemerintah Daerah provinsi setempat, pihak UNESCO dan teristimewa atas bantuan dana dari pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. PP PWI dan YSJI kini semakin yakin bahwa keputusan mengutamakan program bidang pendidikan dan pelatihan merupakan langkah tepat. Keputusan ini dinilai benar, karena hanya melalui program inilah, maka mutu kinerja wartawan Indonesia dapat lebih ditingkatkan. Program ini juga dinilai tepat dan sangat mendesak, karena memang realitasnya dari 14.000 wartawan anggota PWI yang tersebar di seluruh Indonesia dewasa ini, masih banyak belum mengenyam pendidikan jurnalisme yang lebih memadai. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kualitas kinerja wartawan di negeri ini hingga sekarang dinilai masih rendah. Sebagian wartawan ternyata tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalisme atau komunikasi yang memadai. Sebagian lagi dari mereka, diketahui kurang mendapat pendidikan dan pelatihan dari masing-masing perusahaan pers, tempat mereka bekerja. Selain itu, banyak di antara wartawan kurang memiliki motivasi kuat untuk menjadi wartawan profesional. Dalam kaitan inilah, kehadiran SJI-PWI menjadi sangat diperlukan agar
40
dapat mengantisipasi masalah dan problem rendahnya kualitas kinerja wartawan di republik ini. PP PWI dan Y-SJI pada awalnya, mencanangkan sedikitnya dalam setahun dapat melahirkan lima SJI di lima PWI Cabang Provinsi di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir ini, SJI-PWI baru dapat melahirkan kegiatannya di 9 (sembilan) PWI Cabang. Ini artinya, target yang diharapkan masih belum tercapai. Berbagai kendala dan problem, menyebabkan masih tersisa lima daerah belum berdiri SJI-PWI di tahun 2012. Namun demikian, minat dari banyak cabang PWI di daerah, masih cukup besar. Mereka sangat menginginkan, agar di daerahnya dapat segera berdiri SJI-PWI. Dalam daftar usulan di SJI-PWI Pusat tercatat sedikitnya 7 PWI Cabang yang mendaftarkan diri agar di daerahnya dapat berdiri SJI-PWI. Ketujuh PWI Cabang tersebut yakni PWI Cabang Aceh, Medan, Provinsi Riau, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Timur dan Yogyakarta. PWI Pusat mengakui, program kerja sama di bidang pelatihan jurnalistik bagi wartawan pemula di berbagai provinsi, dirasakan sangat besar manfaat dan artinya. Bagi para wartawan, program tersebut dapat dirasakan manfaatnya langsung karena mereka mendapatkan pengetahuan dan praktik keterampilan jurnalistik dari para pengajar yang berkualitas. Dampak positif lainnya yakni program ini dapat juga dirasakan manfaatnya langsung bagi masyarakat. Artinya, dengan kualitas kinerja wartawan yang semakin meningkat, niscaya dapat mendorong upaya mencerdaskan rakyat dalam berdemokrasi. Bagi Negara dan pemerintah, dengan para insan pers yang semakin berwawasan, bekerja profesional dan beretika, niscaya juga akan bermanfaat dalam upaya memberikan kesadaran
41
kepada publik untuk berdemokrasi secara cerdas dan sehat. Dalam kaitan inilah, program pelatihan jurnalistik SJI-PWI perlu terus lebih ditingkatkan dan dikembangkan, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Tiga Pertimbangan Menyusul keberhasilan program Pelatihan Jurnalistik dalam dua tahun terakhir ini (2010-2012) di 9 (sembilan) daerah provinsi yakni Provinsi Lampung (Bandar Lampung), Jawa Tengah (Semarang), Jawa Barat (Bandung), Sumatera Selatan (Palembang), Kalimantan Selatan (Banjarmasin), Provinsi Jambi (Jambi), Sulawesi Selatan (Makasar), Kalimantan Timur (Samarinda) dan Kalimantan Tengah (Palangkaraya). PP PWI dan Y-SJI kembali menyusun program Pelatihan Jurnalistik Tahun 2013 bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), lebih khusus dengan Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal. Sedikitnya ada tiga pertimbangan, mengapa program ini kembali perlu digelar dan masih akan terus dilaksanakan secara bertahap dan berjenjang di tahun-tahun mendatang: Pertama, program pelatihan jurnalistik lewat SJI-PWI memang terbukti sangat dirasakan manfaatnya bagi sebagian besar wartawan anggota PWI. Para wartawan pemula, merasakan langsung manfaatnya, karena mereka mendapatkan pengetahuan dan praktik keterampilan jurnalistik dari para pengajar yang berkualitas. Manfaat kedua, program pelatihan ini dinilai sangat positif bagi masyarakat. Sebabnya, dengan kualitas wartawan yang semakin cerdas dan terampil dalam memikul tugas-tugas
42
jurnalistiknya, niscaya akan punya arti sangat besar bagi upaya mencerdaskan publik. Pertimbangan ketiga, program ini sangat menguntungkan bagi Negara dan pemerintah. Pasalnya, dengan para insan pers yang semakin berwawasan, bekerja profesional dan beretika, niscaya juga akan bermanfaat memberikan kesadaran kepada publik untuk berdemokrasi secara cerdas dan sehat. Dengan demikian, program pelatihan jurnalistik lewat SJI-PWI di sembilan provinsi perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara kuantitas dan kualitasnya.
Kinerja Masih Rendah Hingga kini kualitas kinerja wartawan dinilai masih rendah. Sebagian wartawan ternyata, tidak memiliki latar belakang pengetahuan pendidikan jurnalisme atau komunikasi yang memadai. Sebagian lagi, diketahui kurang mendapat pendidikan dan pelatihan dari masing-masing perusahaan pers, tempat mereka bekerja. Selain itu, banyak di antara wartawan kurang memiliki motivasi yang kuat untuk menjadi wartawan profesional. Di tengah masyarakat masih sering terdengar keluhan dan bahkan kecaman atas kinerja wartawan Indonesia di era reformasi ini. Para jurnalis sering dinilai bekerja seenaknya, mengabaikan etika jurnalistik dan kerap melanggar norma hukum serta tata nilai yang masih berlaku di masyarakat. Indikasinya, dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah laporan pengaduan masyarakat ke Dewan Pers dan organisasi wartawan. Di samping itu, demo-demo kelompok masyarakat ke berbagai kantor redaksi media massa, juga masih sering
43
terjadi. Belum lagi kasus delik pers yang diproses di pengadilan. Semua ini, memberikan indikasi kuat bahwa “kinerja dan citra” wartawan sekarang benar-benar memprihatinkan. Keluhan dan aneka kritik masyarakat itu, telah menjadi masukan berharga bagi pengurus PWI Pusat (2008-2013) untuk segera menanganinya. Serangkaian rapat evaluasi dan pleno pengurus, hingga dialog dengan para pakar pendidikan dan komunikasi, ditemukan fakta yang menyimpulkan bahwa dewasa ini kompetensi profesional dari sebagian wartawan kita, dinilai masih rendah.
Tujuan Pendidikan dan Pelatihan Tujuan akhir dari program penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di SJI ditetapkan sebagai berikut: 1. Meningkatkan profesionalisme para wartawan, agar mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap profesinya. 2. Membekali agar peserta didik memiliki kompetensi keterampilan di bidang tugas dan tanggung jawabnya. 3. Meningkatkan wawasan wartawan, memperkuat idealisme dan memiliki integritas kuat dalam mengemban tugas-tugasnya sebagai wartawan profesional. 4. Membekali kesadaran wartawan yang beretika dan berkepribadian, memiliki motivasi kuat untuk mau belajar terus-menerus selama ia menjalankan tugasnya sebagai wartawan.
44
Hasil yang Diharapkan Perusahaan pers yang terbit dan berkembang di negeri ini, menurut hasil penelitian Dewan Pers, terbilang menggembirakan. Sayangnya, perusahaan pers yang benarbenar sehat (redaksional dan usaha) hanya 30%. Sisanya, sekitar 70% masih dalam kondisi memprihatinkan atau tidak sehat. Dewan Pers pun mengakui bahwa tingkat profesionalitas para wartawan Indonesia, juga sama sekitar 30%. Sedangkan 70% sisanya, masih belum atau tidak profesional. PWI sebagai organisasi wartawan tertua dan terbesar anggotanya di Indonesia, juga tidak menyangkal data itu. Sejak awal reformasi, PWI melalui berbagai program pendidikan dan pelatihan di pusat maupun cabangcabang, berusaha meningkatkan profesionalisme wartawan anggotanya, melalui berbagai kegiatan pendidikan dan latihan kewartawanan. Namun, secara jujur diakui bahwa hasilnya terasa masih belum memuaskan . Pengurus PWI amat menyadari bahwa posisi dan peranan pers memang memainkan peran penting dalam sistem demokrasi yang sedang dilaksanakan dewasa ini. Bahkan, pers secara de fakto sudah diakui sebagai salah satu pilar ke-4 demokrasi. Berbagai penelitian, mengungkapkan juga bahwa pers merupakan alat komunikasi yang paling banyak mempengaruhi masyarakat. Apa-apa yang dikemukakan media massa, sering dianggap sebagai suatu kebenaran. Padahal, tidak jarang, karena masih lemahnya profesionalisme para wartawan, ”kebenaran” yang diterima dari media itu, sesungguhnya palsu, alias tidak valid.
45
Karena itulah, ketimpangan ini perlu dikoreksi. Posisi dan kedudukan pers yang begitu strategis hendaknya harus sejajar atau paralel dengan tingkat profesionalisme yang prima dari para wartawan. Kebebasan atau kemerdekan pers tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan yang sama sekali tidak terkait dengan kepentingan publik atau rakyat. Dalam kaitan inilah, hasil yang diharapkan dari pelatihan jurnalistik lewat SJI-PWI yakni untuk mengejar dan meningkat kan profesionalitas wartawan. Para jurnalis kini, perlu diberikan tambahan pendidikan dan pelatihan yang terkonsep dan terukur dengan baik. Tambahan pendidikan tersebut, akan diberikan melalui SJI-PWI yang telah dan akan didirikan di setiap provinsi atau kantor cabang PWI seluruh Indonesia. Guna keberhasilan pelaksanaan program SJI-PWI yang berjenjang dan berkelanjutan, PWI Pusat telah membentuk sebuah lembaga yang berbadan hukum yakni berupa Yayasan Sekolah Jurnalisme Indonesia (Y-SJI). Yayasan inilah, yang memiliki otoritas dan tanggung jawab penuh dalam mengelola kelangsungan dan perkembangan SJI ke depan. Hasil yang diharapkan dari program SJI-PWI ini, secara garis besar di setiap cabang dari 34 provinsi dalam 10 tahun ke depan dapat berdiri SJI-PWI. Dengan kata lain, tiap tahun menargetkan 4 atau 5 SJI berdiri di tiap cabang PWI di Indonesia. Artinya, dalam satu tahun minimal melakukan 4 (empat) kegiatan lapis Dasar @ 50 orang, (3) lapis Madya @ 30 orang, dan (2) kegiatan lapis Utama @ 30 orang. Ini artinya, dari 34 Cabang tiap tahun akan menghasilkan lulusan SJI secara bertahap sebagai berikut:
46
1. Lapis Dasar : 4 X 50 orang= 200 orang X 10 cabang = 2.000 orang 2. Lapis Madya: 3 X 30 orang= 90 orang X 15 cabang = 1.350 orang 3. Lapis Utama: 2 X 25 orang= 50 orang X 10 cabang = 500 orang -----------------------
Jumlah 3.850 orang
Dalam 5 tahun jika semua berjalan lancer, SJI-PWI akan menghasilkan sedikitnya 3.850 orang/alumni dan 10 tahun mendatang, lulusan SJI akan berjumlah sekitar 10 ribu orang.
Sasaran Program Program pendidikan dan pelatihan di Sekolah Jurnalisme ini, karena berbagai pertimbangan pada tahap pertama bersifat jangka pendek yaitu akan berlangsung 2 (dua) minggu. Peserta didik dalam program ini akan ditujukan sedikitnya untuk tiga lapis wartawan. Pertama ; wartawan kelompok lapis dasar yakni mereka yang masuk dalam kelompok wartawan pemula atau reporter dan yang setara lainnya. Kedua ; kelompok wartawan lapis menengah yakni para redaktur dan penulis senior, yang masuk dalam kelompok wartawan madya dan yang setara lainnya. Ketiga ; kelompok wartawan lapis lanjutan yakni terdiri para redaktur pelaksana dan penangung jawab redaksi media massa.
47
Lembaga Pelaksana Bentuk dan susunan organisasi SJI-PWI terdiri dari badan pelaksana harian di tingkat pusat dan pelaksanaan harian di daerah atau PWI Cabang Provinsi. Sekolah ini, seperti diutarakan di atas, didirikan oleh Pengurus Pusat PWI dengan membentuk sebuah badan hukum berupa Yayasan yang diberi nama Yayasan Sekolah Jurnalisme Indonesia (Y- SJI). Yayasan ini, dipimpin oleh Ketua Dewan Pembina Margiono, yang merangkap jabatan sebagai Ketua Umum PWI Pusat dan diperkuat oleh Ketua pengurus Yayasan, Marah Sakti Siregar, merangkap jabatan sebagai Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat. Yayasan SJI mengangkat dan menetapkan badan pelaksana harian di pusat yang dipimpin oleh Direktur Eksekutif SJI dan Kepala Sekolah di masing-masing PWI Cabang di seluruh Indonesia. Dalam susunan badan pelaksana harian SJI di pusat dan cabang diperkuat oleh tim pengajar/pelatih/instruktur. Badan pelaksana harian SJI-PWI di tingkat pusat ditetapkan dan disahkan oleh Yayasan SJI melalui surat keputusan. Sedangkan pengurus pelaksana harian di daerah ditetapkan dan disahkan oleh Direktur Eksekutif SJI-PWI atas usulan dan persetujuan Pengurus PWI Cabang melalui surat keputusan dengan diketahui oleh Pengurus Yayasan.
Rencana kegiatan dan lokasi pelaksanaan A. PP PWI dan Y-SJI dalam tahun 2013 merencanakan program melanjutkan kegiatan pelatihan jurnalistik tingkat Dasar Angkatan II di tiga PWI Cabang provinsi yakni: (1) SJI-PWI Cabang Jawa Barat (Bandung)
48
(2) SJI-PWI Cabang Kalimantan Tengah (Palangkaraya) (3) SJI-PWI Cabang Sulawesi Selatan (Makasar) B. Program tingkat Dasar Angkatan III dan IV (1) SJI-PWI Cabang provinsi Lampung (Bandar Lampung) (2) SJI-PWI Cabang Kalimantan Selatan (Banjarmasin) (3) SJI-PWI Cabang Provinsi Jambi (Jambi) (3) SJI-PWI Cabang Provinsi Jawa Tengah (Semarang Angkatan IV) C. Program tingkat Madya Angkatan II (1). SJI-PWI Cabang Jawa Tengah (Semarang) (2). SJI-PWI Cabang Sumatera Selatan (Palembang) (3). SJI-PWI Cabang Kalimantan Timur (Samarinda) (4). SJI-PWI Cabang Kalimantan Selatan (Banjarmasin) . Dalam program tahun depan (2013-2014), akan dibuka kegiatan pelatihan jurnalistik tingkat Dasar Angkatan I khusus untuk PWI Cabang yang baru mendirikan SJI di masing-masing daerahnya: (1) SJI-PWI Cabang Jogyakarta (Jogya) (2) SJI-PWI Cabang Provinsi Riau (Pekanbaru) (3) SJI-PWI Cabang Provinsi Sulawesi Utara (Manado) (4). SJI-PWI Cabang Provinsi Bali (Bali) (5). SJI-PWI Cabang Sumatera Utara (Medan) (6). SJI-PWI Cabang Aceh Darusalam (Banda Aceh)
49
Mengingat banyaknya minat dari PWI Cabang-cabang lainnya, tidak menutup kemungkinan dalam tahun depan juga, akan diresmikan SJI di PWI Cabang provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogya), DKI Jakarta (Jakarta), dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Mataram).
Peserta Pelatihan SJI-PWI Guna menampung banyaknya aspirasi cabang-cabang PWI yang sangat berminat untuk memulai dan menyiapkan perencanaan mengadakan kegiatan pendidikan dan pelatihan lewat program SJI-PWI, maka berikut ini terlampir persyaratan atau kriteria bagi calon peserta yang dapat diterima di SJI-PWI sebagai berikut
1. Persyaratan/Kriteria Peserta yang dapat diterima di SJI-PWI wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Wartawan yang bekerja di media cetak, radio, televisi, dan online yang bertugas di wilayah provinsi setempat. b. Setiap calon peserta didik, harus mendapatkan penugasan belajar atau izin dari pimpinan media yang bersangkutan. Tujuannya, agar mereka dapat berkonsenterasi, fokus dan penuh disiplin, dalam mengikuti proses belajar-mengajar di SJI. c. Lulus mengikuti saringan tes penerimaan calon peserta didik secara tertulis dan wawancara.
50
d. Menyertakan riwayat pengalaman kerja menjadi wartawan serta menyerahkan bukti minimal tiga buah karya jurnalistik. 2. Mekanisme Seleksi/Rekrutmen Mekanisme seleksi bagi para calon peserta didik ditentukan sebagai berikut: a. Jumlah peserta didik dalam setiap angkatan dibatasi paling banyak 30-40 orang. Tujuannya, agar dapat dicapai efektivitas dan hasil prestasi belajar yang maksimal. b. Setiap calon peserta didik tingkat dasar diwajibkan memiliki pengalaman minimal 6 (enam) bulan bekerja sebagai wartawan. c. Setiap calon peserta didik, diwajibkan mengikuti test seleksi melalui wawancara dan tertulis. d. Menyerahkan riwayat pengalaman kerja sebagai wartawan, sambil menyertakan sedikitnya tiga (3) hasil karya jurnalistik.
Pengajar/Instruktur/Narasumber Terbuka bagi mereka yang berminat menjadi tenaga pengajar SJI-PWI atau Instruktur/Narasumber, maka ditetapkan persyaratan sebagai berikut: 1. Kriteria/Persyaratan Persyaratan menjadi tenaga pengajar atau Instruktur/ Narasumber SJI-PWI ditentukan sebagai berikut:
51
a. Memiliki kompetensi kemampuan mengajar di bidang keahlian atau keterampilan mata pelajaran yang diminatinya. b. Memiliki pengalaman dan pengetahuan jurnalisme yang mumpuni. Diutamakan mereka yang telah memiliki dan menggeluti profesi jurnalistik cukup lama dan berpengalaman menduduki jabatan unsur pimpinan di media massa. c. Lulus mengikuti seleksi “TOT Khusus” yang diselenggarakan oleh Badan eksekutif SJI-PWI. 2. Mekanisme Seleksi/Rekrutmen Mekanisme seleksi atau rekrutmen untuk calon tenaga pengajar SJI-PWI dilakukan dengan sistem dan cara sebagai berikut: a. Setiap calon pengajar atau instruktur/narasumber wajib mengikuti “pelatihan khusus” yang diselenggarakan oleh Tim Instruktur PWI Pusat lewat program TOT. b. Setiap calon pengajar SJI diwajibkan membuat Lesson Plan, Handout, Power point, Pre-test dan Post-test. c. Khusus bagi calon pengajar lokal atau berasal dari PWI Cabang Provinsi, selain wajib mengikuti “TOT Khusus,” juga perlu melakukan praktik mengajar dengan cara menjadi “pengajar pendamping” atau magang untuk mata pelajar yang dikuasai dan diminatinya.
52
Program Aksi A. Metode Pelatihan Metode pembelajaran dilakukan dengan cara gabungan antara teori dan praktik lewat perimbangan 40% : 60%. Bentuk penyampaian setiap materi mata pelajaran dilakukan melalui tiga cara sebagai berikut: 1. Ceramah Dimaksudkan untuk memberikan motivasi, menambah pengetahuan dan wawasan peserta didik. 2. Diskusi Dimaksudkan untuk tukar menukar pengalaman, pengetahuan, dan melatih peserta mengemukakan andangan. Selain itu, peserta juga dilatih p menyampaikan hal-hal secara terbuka, tertib, teratur dan jelas. 3. Praktik pelatihan Peserta akan mendapat pelatihan meliput di lapangan, praktik wawancara, praktik menulis sampai dengan praktik atau simulasi menerbitkan sebuah media sederhana. Di samping itu, melakukan praktik dan simulasi kerja di newsroom dan news broadcasting. B. Kurikulum dan Bahan Pelatihan Tujuan pembelajaran (instructional objectives) pada masing-masing program pendidikan profesi ini, mengacu pada rumusan kompetensi jurnalisme menurut UNESCO Model Curricula For Journalism Education (2007). Pada gilirannya topik, kurikulum beserta silabi, dan metode pembelajaran
53
dalam pendidikan ini dikembangkan dari acuan yang sama. Disesuaikan dengan tingkatan peserta dan tahapan pendidikan profesi kewartawanan ini, kurikulum dan materi pendidikan akan berorientasi pada tiga sumbu yaitu: 1. Sumbu yang meliputi norma-norma, nilai-nilai, alat/ perkakas, standar-standar, dan praktik-praktik jurnalisme (keterampilan standar jurnalisme) 2. Sumbu yang menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, kultural, politik, ekonomi, legal, dan etika praktik jurnalisme baik di dalam maupun luar lingkungan batas nasional. 3. Sumbu yang mencakup pengetahuan wawasan (knowledge of the world) dan tantangan intelektual jurnalisme (journalism’s intellectual challenges). Adapun rincian kurikulum pendidikan yang diselenggarakan dalam proses sistem belajar-mengajar di SJI-PWI sebagai berikut: 1. Filosofi Dasar Profesi Jurnalisme Topik ini bermaksud memberikan pemahaman mendasar bagi para wartawan tentang hal-hal yang berkaitan dengan “kemanakah tujuan akhir profesi ini?” Di antara sub-topik yang dicakup di sini adalah tentang: • Mengapa menjadi jurnalis? • Apa artinya menjadi seorang jurnalis? • Hendak ke mana dengan profesi ini?
54
• Tanggung jawab profesional seorang jurnalis • Sejarah perjuangan pers Indonesia • Integritas seorang jurnalis • Aneka aliran jurnalisme yang berkembang sesuai dinamika masyarakat 2. Etika Jurnalisme Topik ini bermaksud menanamkan kesadaran dan sikap mental tentang posisi etika jurnalisme sebagai suatu kebutuhan mutlak dalam menyandang profesi jurnalisme. Materi topik ini meliputi hal-hal sebagai berikut: • Apa artinya etika jurnalisme? • Mengapa butuh etika jurnalisme? • Prinsip-prinsip utama etika dan kode etik jurnalisme • Segitiga hubungan etik, trust dan kredibilitas • Akuntabilitas publik seorang jurnalis • Tugas dan peran Dewan Kehormatan PWI dalam pengawasan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik • Diskusi kasus-kasus pelanggaran kode etik 3. Hukum Pers Topik ini bermaksud memberikan pengetahuan mengenai posisi wartawan sebagai seorang warga yang taat hukum, serta sejumlah ketentuan hukum dan perundang-undangan yang melingkupi aktivitas jurnalisme profesional.
55
Liputan topik ini antara lain mencakup: • Prinsip-prinsip dasar hak dan kewajiban hukum seorang warga • Undang Undang Pers • Undang-Undang Penyiaran • Undang Undang Hak Cipta • Undang Undang Perlindungan Konsumen • Undang Undang Kebebasan Informasi Publik • Undang Undang Anti Pornografi • Undang-Undang ITE 4. Dasar-dasar Manajemen Pers Topik ini bermaksud menjelaskan aspek-aspek mendasar dari manajemen sebuah perusahaan penerbitan pers. Mencakup pengetahuan tentang: • Pengertian prinsip-prinsip manajemen industri pers • Keterpaduan mekanisme kerja antara bidang redaksi dan perusahaan • News room management • Hubungan jurnalis dengan pemilik media • Kesejahteraan jurnalis • Jenjang karier jurnalis • Kebijakan editorial sebagai pedoman filosofi mekanisme kerja manajemen 5. Hubungan Pers-Pemerintah Topik ini bermaksud memberikan
56
wawasan
dan
pengetahuan mengenai bagaimanakah hubungan yang ideal antara pers dengan pemerintah. Topik materi ini disampaikan oleh dua pengajar yakni masing-masing dari praktisi pers dan kalangan tokoh pejabat pemerintah. Hal-hal yang menjadi liputan topik ini: • Hubungan fungsional pers-pemerintah • Interaksi profesional antara kedua belah pihak • Tanggung jawab kebangsaan (nasional interest) 6. Keterampilan Standar Jurnalisme Topik ini bermaksud membekalkan serangkaian dasardasar keterampilan standar dalam profesi jurnalis yang mutlak harus dikuasi oleh seorang jurnalis profesional. Dalam topik ini diliput dasar-dasar keterampilan tentang: a. Bahasa Indonesia Jurnalisme Topik ini mengupas tentang penggunaan Bahasa Indonesia dalam pers. Bahasa Jurnalistik merupakan salah satu laras Bahasa Indonesia yang perlu dipahami secara baik dan benar oleh setiap wartawan. Tujuannya, agar peserta didik dapat memahami spesifikasi penggunaan Bahasa Indonesia Jurnalistik untuk penulisan berita, feature, reportase dan aneka artikel lainnya di meda massa. Melalui tulisan atau reportasenya itu, semua kompetensi dan integritas wartawan bisa dilihat. Peserta didik akan diberikan bekal perihal menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia Jurnalistik yang benar sesuai dengan kaidah tata bahasa yang berlaku.
57
1. Pengertian tentang Bahasa Indonesia Jurnalistik 2. Ciri khas penggunaan “kata,” “kalimat,” dan “isi pernyataan” dalam pers 3. Ekonomi Bahasa atau membuang kata-kata mubazir, membuat kalimat lebih efisien dan efektif 4. Bahasa yang singkat, padat, jelas dan enak dibaca 5. Tentang akronim, penggunaan istilah, kata-kata asing, unsur serapan dan kepala berita 6. Istilah konkrit, ekspresif, eufemisme dan sepuluh pedoman bahasa dalam pers 7. Rasa dan logika bahasa a. Logika Dalam Bahasa (Jurnalistik) Topik ini untuk lebih memperkuat atau melengkapi materi pelajaran Bahasa Indonesia Jurnalistik. Dalam topik ini, siswa akan diberikan pembahasan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sesuai standar kaidah-kaidah yang baku. Di samping itu, dalam materi pelajaran ini, juga diberikan materi tentang perlunya memperhatikan apa yang disebut dengan istilah “rasa dan logika bahasa.” Artinya, dalam praktik penggunaan bahasa dalam media massa, maka tidak cukup menjelaskan tentang pentingnya menyusun kalimat yang padat, sederhana, dan singkat. Lebih dari itu, juga perlu dimengerti tentang, sistematika penulisan, alinea, kalimat, pilihan penggunaan kata yang tepat dan alur cerita serta logika yang lancar mengalir. Dengan cara penulisan
58
demikian, maka muatan isi pesan akan lebih cepat mudah ditangkap dan diterima oleh akal sehat. b. Dasar-dasar Penulisan Berita Topik ini membahas tentang bagaimana mencari aneka ragam jenis berita dan sekaligus mengenalkan pola dan bentuk teknik penyajian dan penulisannya. Tujuannya yakni memberikan pemahaman secara praktis kiat-kiat dasar untuk penulisan berita, diutamakan dalam bentuk “berita lempang” (spot news/straight news): • Pengertian tentang konsep berita yang terus berkembang dinamis seiring dengan kemajuan zaman • Memahami aneka jenis berita dan pola teknik penulisannya • Mengerti tentang sifat-sifat hakiki berita dan kriteria yang menentukan suatu berita mempunyai arti dan nilai • Menguasai keterampilan trik-trik menembus sumber berita dan menyusun TOR (term of reference) • Mengumpulkan bahan tulisan lewat peliputan, bacaan, kepustakaan dan wawancara • Struktur berita (Piramida tegak, Piramida terbalik dan Paralel) • Teknik membuat judul berita dan intro berita • Gaya penulisan berita mutakhir • Praktik menulis berita
59
c. Meliput dan Mengembangkan Berita (Reportase) Pengenalan dasar-dasar tentang aneka jenis bentuk reportase mulai paling sederhana sampai yang rumit dan konprehensif, termasuk teknik penulisannya. Tujuan topik materi ini agar peserta didik dapat memahami tentang caracara serta teknik peliputan berita. • Mengenal aneka ragam teknik reportase • Menguasai keterampilan trik-trik menembus sumber berita dan menyusun TOR (term of reference) • Mengumpulkan bahan tulisan lewat peliputan di lapangan, bacaan kepustakaan dan serangkaian wawancara • Menentukan tema dan fokus liputan serta mencari narasumber yang kompeten di bidangnya d. Pengetahuan Umum Bagi Jurnalis Topik materi ini membahas pentingnya seorang jurnalis menguasai secara benar tentang aneka pengetahuan umum maupun khusus sebagai bahan melakukan peliputan agar mereka dapat menggali dan mengembangkan berita secara benar, lengkap dan akurat. Adapun hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk menguasai pengetahuan umum yakni: • Memiliki dan menguasai berbagai kamus bahasa Indonesia dan asing, sekurang-kurangnya Kamus Bahasa Inggris • Mengenal dan mengusai banyak hal tentang tokohtokoh dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat dengan sering membaca buku-buku ensiklopedi tentang
60
sosok tokoh dan peristiwa • Menguasai dan memahami serba sedikit tentang pengetahuan umum di bidang apa pun, dan lebih khusus mengerti dan menguasai betul tentang banyak hal di bidang liputannya e. Teknik Wawancara Membahas hal-hal penting mengenai persiapan dan caracara terbaik dalam melakukan wawancara guna menggali informasi yang lebih dalam dan akurat dari narasumber. Tujuannya yakni agar peserta didik dapat lebih mendalam mengenai berbagai informasi (data atau argumentasi) dari nara sumber untuk keperluan aneka penulisan reportase. • Punya tujuan yang jelas • Mengandalkan persiapan dan riset awal, perlu outline wawancara • Menyenangkan, bebas dari pola “tekanan” atau interogasi • Melibatkan atau mewakili khalayak • Keterangan off the record dan sumber berita • Mampu mengembangkan logika • Hindarkan wawancara bertele-tele atau perlu efisien • Pewawancara berfungsi sebagai pengendali • Menguasai materi yang mau ditanyakan kepada responden/narasumber • Menyusun pertanyaan yang tepat • Jangan bertindak seperti Jaksa atau Polisi • Jangan menjamin, hasil wawancara itu pasti dimuat
61
• Jangan biarkan sumber berita mengoreksi tulisan Anda • Praktik wawancara dan menuliskan hasilnya f. Pengenalan Menulis Feature (Karangan Khas) Topik ini membahas tentang aneka jenis feature dan cara penulisannya. Tujuan materi topik ini yakni agar peserta didik dapat memahami pengertian tentang menulis feature (karangan khas), teknik mencari informasi serta gaya penulisannya sebagai karya jurnalistik (literary journalism) dalam media massa cetak. Dapat menulis feature secara baik dan benar. • Pengertian dari berbagai pakar dan praktisi tentang Feature • Memahami aneka jenis feature • Model-model teknik penulisan feature • Struktur penulisan feature, penulisan lead, tubuh feature dan penutup. • Menggali ide untuk bahan penulisan feature • Mencari bahan untuk penulisan feature • Menyusun kerangka tulisan • Contoh penulisan feature yang gagal dan yang berhasil • Teknik membuat judul feature • Teknik membuat intro feature • Berbagai gaya penulisan feature • Praktik menulis feature dan membahasnya dengan peserta
62
g. Prinsip-prinsip praktis jurnalis profesional Topik ini membahas tentang prinsip-prinsip praktis jurnalis profesional yang selalu menjadi tujuan atau impian bagi setiap orang yang mau menekuni profesi wartawan. Tujuan dari materi ini yakni agar para peserta didik memperoleh bekal praktis bagaimana seharusnya berpikir, bersikap dan bertindak menjadi wartawan profesional. Dalam materi ini, peserta didik diberikan bekal tentang kompetensi apa saja yang harus dipahami dan dikerjakan secara konsisten serta bertanggung jawab oleh seorang jurnalis profesional. Di antara sub-topik yang dicakup di sini adalah tentang: • Mencakup kesadaran tentang etika, hukum dan karier • Mencakup pentingnya dikuasai pengetahuan umum dan pengetahuan khusus, termasuk kebahasaan, sesuai dengan bidang kewartawanan yang bersangkutan • Mencakup pentingnya dikuasai keterampilan menulis, wawancara, riset, liputan investigasi dan menggunakan
63
berbagai peralatan kerja berteknologi informasi sesuai karakter media massanya h. Pengenalan Foto Jurnalisme Topik ini membahas tentang pengenalan dasar-dasar teknik fotografi secara umum dan spesifik mengenai pengertian foto jurnalistik. Tujuannya, agar peserta didik dapat meliput berbagai peristiwa dalam bentuk foto yang mempunyai nilai berita. Di antara subtopik yang tercakup di sini adalah tentang: • Pengertian tentang dasar-dasar teknik fotografi • Apa yang membedakan antara karya foto jurnalistik dari karya foto non-jurnalistik • Editing dalam penyajian karya foto jurnalistik • Pembuatan captions (teks foto) yang baik dan benar • Praktik/latihan membuat foto yang layak muat di media i. Dasar-dasar Jurnalisme Penyiaran Topik ini membahas dan mengenalkan tentang dasardasar jurnalisme penyiaran baik untuk radio maupun televisi. Tujuannya, agar peserta didik teristimewa bagi mereka yang bekerja di media elektonik akan mendapatkan pengetahuan dan sekaligus keterampilan dalam mengemban tugas-tugas jurnalistik penyiaran. Di antara subtopik yang tercakup di sini adalah; • Pengertian tentang dasar-dasar teoritis jurnalisme penyiaran
64
• Apa yang membedakan antara kerja jurnalisme media cetak dengan media elektronik • Editing dalam penyajian karya jurnalisme penyiaran • Pembuatan perencanaan peliputan di media penyiaran • Teknik penulisan dan penyajian karya jurnalisme penyiaran • Teknik wawancara yang menafik dalam penyajian di media penyiaran j. Pengenalan Jurnalisme Siber Topik materi ini untuk mengenalkan dan membahas dasardasar jurnalisme Siber yang dewasa ini berkembang semakin pesat, menyusul pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi. Tujuannya, agar para peserta didik, dapat mengikuti perkembangan kemajuan teknologi informasi tersebut dengan menggunakannya secara baik dan benar. C. Alokasi waktu pendidikan Pendidikan berlangsung 4 minggu, 4 jam per hari, atau 20 jam per minggu. Dengan demikian, total durasi pendidikan 20 jam x 4 = 80 jam. Sekali tatap muka (disebut sesi) berlangsung 2 (dua) jam. Atas dasar ini, kita memiliki 40 sesi. Sebaran kurikulum dan waktu pendidikan diatur sebagai berikut: 1. Filosofi Dasar Profesi Jurnalisme 2 Sesi 2. Etika Jurnalisme 2 Sesi 3. Hukum Pers
2 Sesi
4. Dasar-dasar Managemen Pers
2 Sesi
65
5. Hubungan Pers-Pemerintah
2 Sesi
6. Dasar-dasar Penulisan Berita 4 sesi 7. Bahasa Indonesia Jurnalistik 2 Sesi 8. Logika dalam Bahasa (Jurnalistik) 2 Sesi 9. Meliput dan Mengembangkan Berita
2 Sesi
10. Pengetahuan Umum Bagi Jurnalis
2 Sesi
11. Teknik Wawancara 2 Sesi 12. Pengenalan Menulis Feature
2 Sesi
13. Prinsip-prinsip praktis jurnalis profesional 2 Sesi 14. Pengenalan Foto Jurnalisme
2 Sesi
15. Dasar-dasar Jurnalisme Penyiaran
2 Sesi
16. Praktik Perencanaan Isi dan Penyusunan TOR 2 Sesi 17. Praktik Reporting dan Penulisan
2 Sesi
18. Praktik Grafis, Media cetak,susun siaran Televisi/Radio 2 Sesi 19. Ujian Akhir Esai dan Ujian Akhir Wawancara 2 Sesi 20. Dialog Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan SJI
2 Sesi
21. Pemeriksaan Hasil Ujian
2 Sesi
D. Materi kurikulum tersebut di atas dalam perjalanan dua tahun terakhir ini, telah mengalami evaluasi dan perubahan di beberapa materi pelajaran, menyusul pada tahun 2012 mulai diterapkannya pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar untuk para siswa tingkat Madya Angkatan pertama di dua provinsi Jawa Tengah (Semarang) dan Sumatera Selatan (Palembang). Adapun mengenai materi mata pelajaran untuk para siswa tingkat Madya disusun sebagai berikut:
66
1. Filosofi Profesi Jurnalisme (Lanjutan) 2 sesi 2. Hukum Pers (Lanjutan)
2 sesi
3. Hubungan Pers, Pemerintah dan Publik
2 sesi
4. Liputan Investigasi
2 sesi
5. Liputan Indepth Reporting
2 sesi
6. Jurnalisme Presisi
2 sesi
7. Editing/Rewriting
2 sesi
8. Teknik Menulis Editorial
2 sesi
9. Manajemen Redaksi Multimedia
2 sesi
10. Jurnalisme Penyiaran (Lanjutan)
2 sesi
11. News (Feature) Analisis
2 sesi
12. Agenda Setting Media
2 sesi
13. Feedback dan dialog Evaluasi
2 sesi
14. Praktikum Calon Redaktur:
4 sesi
• Positioning Media, • Analisis Editorial mix, • Perencanaan Liputan, • Editing/Penyuntingan, • Agenda Media, 15. Ujian Akhir
2 sesi
E. Tenaga Pengajar/Tim Pelatih/instruktur Pusat: 1. Ashadi Siregar, pengajar senior jurusan ilmu komunikasi FISIP Universitas Gajah Mada/Direktur LP3Y 2. Artini Soeparmo, pengajar STIKOM London School of Public Relations 3. Arya Gunawan, koordinator komunikasi dan informasi UNESCO Jakarta 4. Arbain Rambey, wartawan senior Kompas
67
5. Atal S. Depari, wartawan senior, Ketua Bidang Pembinaan Daerah PWI Pusat 6. Atmakusumah Astraatmadja, Wartawan senior, mantan Ketua Dewan Pers 7. Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung, kini Ketua Dewan Pers 8. Bambang Harimurti, wartawan senior, pimpinan Tempo, anggota pengurus Dewan Pers 9. Banjar Chaerudin, wartawan senior, mantan Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat, Pemimpin Redaksi di harian Sinar Harapan. 10. Bestian Naenggolan, Litbang Kompas Group 11. Brata T. Hardjosubroto, wartawan senior Kantor Berita Antara 12. DH Assegtaf, mantan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat 13. Encub Soebekti, direktur program pendidikan PWI Pusat/Pelaksana Harian Sekolah Jurnalisme Indonesia PWI Pusat 14. Hendry CH Bangun, sekretaris jenderal Pengurus PWI Pusat 15. Harjanto, wartawan foto harian Media Indonesia 16. Ilham Bintang, sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat 17. Ishadi SK, wartawan senior 18. Liberty P. Sihombing, dosen Universitas Indonesia 19. Marah Sakti Siregar, ketua bidang pendidikan Pengurus PWI Pusat
68
20. Margiono, ketua umum Pengurus PWI Pusat 21. Oscar Motulloh, wartawan foto ANTARA 22. Parni Hadi, direktur utama Radio Republik Indonesia 23. Priyambodo RH, direktur eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo 24. Sabam Siagian, redaktur senior The Jakarta Post 25. Saur Hutabarat, wartawan senior Media Indonesia 26. TD Asmadi, wartawan senior 27. Tjipta Lesmana, guru besar Universitas Pelita Harapan 28. Tribuana Said, wartawan senior 29. Widodo Asmowiyoto, ketua Litbang Pengurus PWI Pisat 30. Wina Armada Sukardi, anggota Dewan Pers 31. Wikrama Abidin, anggota Dewan Kehormatan PWI, mantan anggota Dewan Pers 32. Uni Zulfiani Lubis, anggota Dewan Pers F. Uji Kompetensi Sesuai dengan tujuan akhir program SJI-PWI, maka dalam setiap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kepada masing-masing peserta perlu diberikan penilaian atas prestasi kemampuan proses belajar-mengajar mereka. Guna keperluan itu, ditetapkan pedoman sistem penilaian sebagai berikut: 1. Penilaian prestasi Hal-hal yang dinilai adalah kehadiran, aktivitas,
69
kreativitas, pelaksanaan tugas dan penampilan serta halhal lain yang dianggap perlu untuk dinilai. Kriteria penilaian dibedakan atas: a. Penilaian terhadap kemampuan membuat karya tulis yang dititikberatkan pada: • Materi meliputi kelengkapan fakta, ketepatan data dan kejelasan ungkapan kata • Bahasa meliputi tata bahasa, ketepatan pemilihan kata dan susunan kalimat • Teknik penyajian meliputi sistematika, komposisi, penalaran dan alur logika bahasa b. Penilaian terhadap kemampuan berdiskusi atau bertanya, yang dititikberatkan pada: • Pokok materi yang didiskusikan atau ditanyakan • Teknik penyajian dalam berdiskusi atau bertanya • Bahasa yang digunakan c. Penilaian terhadap kemampuan intelektual yang dititikberatkan pada: • Keluasan wawasan dan bobot pertanyaan atau materi yang diajukan/didiskusikan • Penguasaan materi kuliah atau ceramah dalam forum diskusi • Kemampuan menarik kesimpulan serta pemecahan masalah d. Penilaian terhadap kepribadian dan perilaku, yang dititikberatkan pada:
70
• Kedisiplinan atau kehadiran dalam kelas • Rasa tanggung jawab dan kerja sama • Kesungguhan atau kemauan kuat untuk mau belajar terus e. Klasifikasi penilaian adalah penilaian berdasarkan urutan atau ranking yang diberikan kepada peserta didik dengan ketentuan sebagai berikut: • Lulus dengan predikat “sangat baik,” jika angka penilaian antara 81-100 • Lulus dengan predikat “baik,” jika angka penilaian antara 71-80 • Lulus dengan predikat “sedang,” jika angka penilaian antara 60-70 • Angka penilaian kurang dari 60 dinyatakan “tidak lulus” Rumus penilaian: Angka penilaian diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
A+B+C+D
------------------- = Nilai rata-rata
4
71
Keterangan: A. Nilai atas kemampuan membuat karya tulis B. Nilai atas kemampuan berdiskusi atau bertanya C. Nilai atas kemampuan intelektual D. Nilai atas kepribadian dan perilaku 2.Sertifikat Sertifikat diberikan kepada peserta didik yang dinyatakan lulus. Sertifikat tanda lulus ditandatangani oleh Direktur Eksekutif SJI-PWI dan Ketua Yayasan. G. Indikator keberhasilan Indikator keberhasilan dalam setiap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di SJI-PWI dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: a. Target prestasi kuantitatif dan kualitatif peserta • Jumlah persentase kelulusan peserta didik dalam setiap angkatan, terus meningkat lebih besar ketimbang mereka yang “gugur” di tengah jalan atau dinyatakan tidak lulus karena berbagai sebab • Bagi mereka yang dinyatakan lulus, berhak mendapatkan sertifikat kelulusan dari SJI • Pencapaian nilai prestasi belajar berdasarkan urutan rangking dari masing-masing peserta didik, terlihat mengalami peningkatan dalam setiap Angkatan • Jenjang karier setiap alumni SJI di kantor tempat bekerjanya, terlihat meningkat dari waktu ke waktu
72
• Prestasi karya jurnalistik dari para lulusan SJI, juga memperlihatkan kemajuan yang berarti baik secara kuantitatif maupun kualitatif • Penghargaan-penghargaan karya jurnaslistik yang berhasil diraih oleh para alumni, juga dapat memberikan indikasi dari potret keberhasilan mereka selama ikut dalam kegiatan belajar-mengajar di SJI b.Target tingkat kompetensi peserta • Peserta didik dalam program SJI-PWI tahap pertama khusus ditujukan untuk wartawan kelompok lapis dasar yakni mereka yang masuk dalam kelompok wartawan pemula atau reporter dan yang setara • Setiap peserta didik dalam program pendidikan dan pelatihan tingkat Dasar ini, diwajibkan mengikuti sedikitnya 15 topik mata pelajaran, sejumlah kegiatan praktikum (keterampilan) dan uji kompetensi • Di akhir program pelatihan, ternyata memang tidak semua peserta didik dinyatakan lulus atau memiliki kemampuan jenjang kompetensi di semua bidang jurnalistik • Namun demikian, bagi mereka yang dinyatakan lulus SJI tingkat dasar, maka yang bersangkutan dapat dikategorikan masuk dalam tingkatan kompetensi Wartawan Muda. Ini artinya, mereka dinilai telah memiliki kompetensi antara lain di bidang-bidang jurnalistik sebagai berikut: a. Memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik
73
b. Melakukan liputan dan menyajikan berita sesuai dengan Kode Etik Junalistik c. Mampu mengidentifikasi masalah yang terkait dan memiliki nilai berita d. Mengusulkan dan merencanakan liputan e. Membangun, memelihara dan menggunakan jejaring serta melobi f. Melaksanakan liputan dengan melakukan kegiatan serangkaian wawancara. Mengumpulkan informasi berupa fakta dan data bahan berita mengenai masalah tertentu dari berbagai sumber g. Menguasai bahasa, seperti menyusun kalimat yang baik dan benar serta memilih kata yang tepat. Memahami sejarah bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa jurnalistik h. Menyusun berita dan feature (Karangan Khas) sesuai dengan kaidah jurnalistik, Kode Etik Jurnalistik, kebijakan redaksional, dan karakter media i. Menyunting berita dengan melakukan verifikasi ulang akurasi berita, kelengkapan fakta dan datanya sendiri j. Menyediakan berita sesuai rubrik dan program k. Mengikuti rapat redaksi untuk pembuatan perencanaan isi pemberitaan. Memberikan usul-usul untuk kepentingan liputan dan arah pemberitaan di bidangnya l. Menyiapkan dan mengoperasikan komputer, alat rekam dan editing suara/gambar, fotografi, serta internet. Memanfaatkan sarana teknologi
74
informasi untuk mendokumentasikan hasil liputan dan membangun basis data pribadi H. Hasil yang Dicapai Hasil-hasil yang dicapai dari program kegiatan pelatihan jurnalistik lewat kegiatan SJI-PWI, indikator keberhasilannya antara lain dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan Pelatihan: • Pengorganisasian, menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan jurnalistik. Karena itu, bagi setiap PWI Cabang yang ingin berhasil melaksanakan program pelatihan, maka kemampuan dan kemahiran berorganisasi harus menjadi fokus perhatian utama • Kepemimpinan, sebuah kegiatan organisasi apa pun namanya, dia akan mampu bekerja dan berfungsi efektif, jika dipimpin atau dikelola secara bijak dan baik oleh seseorang yang memiliki kemampuan atau mahir dalam menjalankan kepemimpinannya • Administrasi pengelolaan sekolah, juga sangat perlu dikerjakan secara cermat dan penuh ketelitian serta ketekunan, karena ia merupakan sarana penting bagi terciptanya motor organisasi yang dapat bekerja cepat, efisien, dan efektif • Hasil yang dicapai oleh sebuah kegiatan organisasi menjadi lebih sempurna, jika tiga butir di atas dapat dikerjakan secara baik dan benar. Jika tidak dilakukan dengan benar, niscaya hasilnya juga menjadi tidak
75
maksimal • Dalam kasus pelaksanaan program pelatihan yang dilaksanakan di 9 (Sembilan) daerah provinsi, dari segi kemampuan para pihak penyelenggara kegiatan masih harus banyak dilakukan perbaikan oleh latihan terus menerus. Teristimewa dalam hal kemampuan dan kemahiran berorganisasi, menjalankan kepemimpinan yang bijak, transparan dan demokratis. Selain itu, semua, kemahiran dan kecermatan dalam menangani kegiatan administrasi, juga tidak boleh disepelekan 2. Kegiatan Akademik: • Sistem dan metode pengajaran harus terus menerus dievaluasi dan diperbaiki, agar selalu aktual dapat mengikuti dinamika tuntutan zaman. Sistem dan metoda pengajaran di SJI sekarang relatif masih relevan untuk menjadi pegangan bagi para pengajar. Namun, tidak mustahil satu ketika ia akan lapuk ketinggalan zaman dan perlu ada penyempurnaan di sana sini • Kurikulum mata pelajaran, juga perlu terus dievaluasi dengan keperluan tantangan zaman, agar tidak ditinggalkan masyarakat penggunanya. Dengan kata lain, kurikulum mata pelajaran yang diperlukan sekarang tidak terlalu tinggi terbang di awang-awang, tapi sebaliknya harus membumi dan dapat dilihat serta dikerjakan bagi kepentingan keseharian • Mengenai tenaga pengajar, makna butir satu dan
76
dua di atas, pada dasarnya dapat direalisasikan s ecara benar dan efektif jika dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang minat dan keahliannya. Program SJI ke depan kalau ingin berhasil harus perlu dihadirkan lebih banyak dan selektif para tenaga pengajar yang benar-benar memiliki kompetensinya dan bukan sekedar mereka yang hobi dan asyik sendiri • Sistem Evaluasi Belajar Siswa juga perlu terus dievaluasi sehingga dapat menghasilkan sebuah sistem yang benar-benar dan membuahkan prestasi belajar siswa yang obyektif dan berkualitas. Sistem evaluassi prestasi belajar siswa di SJI dewasa ini, pada dasarnya masih relevan dengan tuntutan zaman. Namun demikian, ke depan guna mencapai hasil yang berkualitas dan memuaskan banyak pihak, maka sistem evaluasi tersebut perlu lebih disempurnakan 3. Dampak Sosial yang Diharapkan: • Masyarakat pers sangat mengharapkan, agar s etiap penyelengaraan pendidikan dan pelatihan di bidang apa pun, hasilnya harus bermanfaat dan punya arti bagi para penggunanya. Khusus terkait pelatihan jurnalistik, maka hasilnya menjadi sangat ditunggu-tunggu oleh kalangan masyarakat pers. Kehadiran lulusan SJI yang bermutu diharapkan, dapat melakukan terobosan perubahan dan perbaikan di media tempat mereka bekerja. Mereka diharapkan,
77
menjadi pelopor keteladanan dalam menjalankan tugas-tugas profesional, punya wawasan luas dan selalu berpegang kepada kode etik jurnalistik • Peserta didik merasakan manfaatnya selama mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam kegiatan SJI-PWI. Menurut pengakuan para alumni SJI, dari sebelumnya tidak mengetahui apa-apa, tetapi setelah ikut SJI, mereka kini bertambah wawasannya, menjadi lebih cermat dan kreatif dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya, serta semakin cerdas dan kritis ketika memikul tugas dan tanggung jawab sebagai jurnalis profesional. • Bagi Pemerintah dan masyarakat berpendapat sama dengan kalangan pers, bahwa mencerdaskan rakyat banyak menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak. Termasuk di dalamnya wartawan dan medianya, juga memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Jika wartawan dan medianya berkembang lebih berkualitas dan bekerja profesional, maka tugas mencerdaskan rakyat akan segera menjadi kenyataan. Karena itu, tugas dan kewajiban mendorong dan meningkatkan lahirnya wartawan-wartawan profesional, juga perlu mendapat dukungan dan bantuan nyata dari pemerintah dan kalangan masyarakat sendiri.
78
I. Simpulan dan Rekomendasi A. Simpulan: Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Kegiatan penyelenggaraan pelatihan jurnalistik untuk para wartawan di tahun-tahun mendatang perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan baik jumlah pesertanya maupun kualitas kelulusannya. Hal ini sangat diperlukan, karena secara kuantitatif terbukti masih banyak wartawan yang belum pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan jurnalisme yang memadai. 2. Kemampuan berorganisasi secara baik dan pengalaman pihak penyelenggara pendidikan dan pelatihan yang lebih memadai, harus pula menjadi prioritas. Seperti diketahui, memimpin dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan, memiliki persyaratan keahlian, minat dan dedikasi yang sangat tinggi di bidang tugas dan tanggung jawabnya. 3. Perbaikan sistem atau adanya model pendidikan dan pelatihan yang benar-benar cocok untuk para wartawan masa kini dan ke depan, memang diperlukan. Karena itu, sistem kurikuler atau mata pelajaran yang diterapkan dalam kegiatan pelatihan, ke depan memang masih perlu terus dievaluasi dan disempurnakan. Erat kaitannya dengan sistem pendidikan dan kurikulum, dituntut pula kehadiran para pengajar yang berkompeten.
79
4. Tersedianya sarana dan prasarana, juga sangat diperlukan untuk sebuah keberhasilan kegiatan pendidikan dan pelatihan yang terukur dan terpola dengan baik. Tidak kalah pentingnya, juga diperlukan tersedianya dukungan dana yang lebih memadai bagi terselenggaranya sebuah kegiatan pendidikan yang berhasil baik B. Rekomendasi: Guna perbaikan dan peningkatan program kegiatan pendidikan dan pelatihan jurnalistik lewat program SJIPWI ke depan, diajukan rekomendasi sebagai berikut: 1. Program pelatihan jurnalistik lewat kegiatan SJI-PWI perlu dilanjutkan dan dikembangkan. Hal ini penting, karena masih terlalu banyak wartawan anggota PWI di seluruh Indonesia belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang lebih memadai. 2. PP PWI Pusat bersama SJI-nya menyampaikan rekomendasi, agar kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Nonformal dan Informal terus dilanjutkan. Ini penting, agar program pendidikan dan pelatihan SJI-PWI dapat terus berkelanjutan dan berhasil secara maksimal. 3. PP PWI Pusat juga menyampaikan rekomendasi, agar jumlah bantuan dana anggaran untuk semua kegiatan pelatihan jurnalistik di tahun-tahun mendatang lebih ditingkatkan. Hal ini penting, karena biaya anggaran
80
yang diperlukan untuk program pelatihan ini memang sangat besar. Sebab, yang menjadi target cakupan sasaran program juga semakin bertambah luas dan besar. 4. PP PWI Pusat segera melakukan langkah-langkah konsolidasi dan perbaikan internal, baik di bidang keorganisasian maupun peningkatan kualitas prestasi belajar siswa SJI-PWI. Karena itu, PP PWI Pusat memberikan rekomendasi agar Kemdikbud juga dapat memberikan dukungan bantuan anggaran dana khusus bagi terselenggaranya kegiatan pelatihan bagi para tenaga pengajar SJI-PWI. Hal ini, sangat diperlukan, mengingat semakin bertambah banyak kegiatan pelatihan jurnalistik diselenggarakan di berbagai daerah provinsi di seluruh Indonesia di waktu-waktu mendatang. 5. Kerja sama dalam program pendidikan dan pelatihan bagi para wartawan diperlukan, tidak hanya pada tataran tingkat di Kemdikbud, juga perlu dilaksanakan di tingkat jajaran aparatur provinsi di seluruh Indonesia. Hal ini penting, guna menjalin kerja sama lebih bersinergi antara SJI-PWI di setiap Cabang di provinsi dengan segenap jajaran aparat Kemdikbud setempat. Demikianlah, catatan singkat perjalanan SJI-PWI dalam kurun tiga tahun terakhir ini.,Suka atau tidak suka, realitasnya SJI-PWI ternyata telah memberikan udara segar dan harapan baru bagi upaya keras untuk sebuah kemajuan peningkatan
81
profesionalisme wartawan di republik ini. Di sana-sini, diakui, memang masih banyak menghadapi berbagai masalah dan tantangan berat, teristimewa bagi para pengelola PWI di pusat ataupun di berbagai cabang provinsi dalam menjalankan roda organisasi SJI-PWI. Namun, berkat komitmen, tekad, semangat, dan cita-cita luhur, dari semua pemangku kepentingan, kita berkeyakinan bahwa program meningkatkan profesionalisme wartawan, cepat atau lambat, satu ketika akan terwujud seiring dengan terciptanya tatanan kehidupan berdemokrasi yang semakin sehat dan cerdas. Atas segala perhatian dan bantuan kerja sama tersebut, PP PWI dan YSJI menyampaikan banyak terima kasih. Kerja sama yang positif ini, semoga tidak berhenti hanya sampai di sini, juga perlu lebih ditingkatkan di waktu-waktu mendatang. Dirgahayu PWI, Dirgahayu Pers Nasional Indonesia.
82
Tiga Tahun SJI-PWI: Tantangan dan Harapan Oleh Iman Handiman
Kepala Sekolah SJI-PWI Sumatera Selatan
PADA puncak acara peringatan Hari Pers Nasional yang berlangsung di Palembang, 9 Februari 2010, Sekolah Jurnalisme Indonesia diresmikan. SJI Sumatera Selatan menjadi embrio lahirnya SJI yang kemudian menyusul hadir dan bergiat di sejumlah provinsi lainnya di Indonesia. Gubernur Sumatera Selatan H Alex Noerdin pun tercatat sebagai salah satu pendukung kuat berdirinya SJI. Pemprov Sumsel menjadi pemerintah daerah pertama yang bekerja sama dengan PWI, UNESCO, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mewujudkan gagasan berdirinya Sekolah Jurnalisme Indonesia.
83
Dalam acara yang meriah waktu itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kelahiran SJI dan sekaligus menyampaikan kuliah perdana di hadapan sekitar 30 siswa angkatan pertama SJI-PWI dan ratusan undangan. Upacara penandatanganan MoU antara PWI Pusat, Pemprov Sumsel, Kemendikbud, dan UNESCO itu merupakan salah satu momen penting dan menjadi tonggak dari itikad dan upaya bersama yang berangkat dari keprihatinan kolektif guna meningkatkan mutu pendidikan jurnalisme di Indonesia. Awalnya, memang seperti mustahil mengingat waktu yang tersedia terbilang singkat, sumber daya dan sumber dana juga belum begitu jelas. Tetapi, pelan-pelan dan simultan apa yang mula-mula mustahil itu ternyata bisa diwujudkan. Ini semua dapat dikerjakan, berkat modal komitmen dan kerja keras dari semua pihak yang terlibat. Hingga tahun ketiga ini, SJI-PWI Sumsel sebagai perintis telah melaksanakan program pelatihan jurnalistik sebanyak enam angkatan. Lima angkatan tingkat Dasar (reporter) dan
84
satu angkatan tingkat Madya (redaktur). Harus diakui memang, dalam proses pelaksanaan di lapangan terdapat berbagai kendala atau hambatan. SJI-PWI Sumsel, pernah berpindah tempat kegiatan dari gedung Badiklat yang dipinjamkan Pemprov Sumsel dari pelaksanaan awal hingga angkatan kedua. Setelah itu, kegiatan pendidikan dan pelatihan SJI-PWI berpindah dan menempati gedung Balai Tekkom milik Dinas Pendidikan Sumsel. Namun demikian, pengalaman paling unik dan menarik dalam perjalanan membangun SJI-PWI Sumsel adalah ketika kegiatan sekolah ini harus pindah ke salah sebuah hotel yang kondisinya sangat sederhana atau memprihatinkan. Ketika itu, karena berbagai sebab, kegiatan belajar mengajar SJI-PWI diharuskan pindah. Dan karena keterbatasan dana terpaksa menggunakan ruang rapat di sebuah hotel kelas “melati.” Mengetahui kondisi keperihatinan ini, pada saat itu juga seorang wartawan senior yang juga Penasehat PWI Pusat Bapak M.Saleh Thamrin langsung memerintahkan agar kegiatan SJIPWI dipindahkan ke rumahnya. Secara kebetulan wartawan senior ini memang berasal dari kota Palembang. Dengan pengalaman dan kejadian ini, maka menjadi lengkaplah predikat tersandang di atas pundak SJI-PWI Sumsel, bahwa ia pernah harus menerima realitas hidup, menjadi “nomaden” atau “bohemian.” Setelah SJI-PWI dapat menempati sebagian ruang tamu yang cukup luas di rumah wartawan senior tadi, kegiatan belajar-mengajar pun tidak lagi menjadi kendala. Dengan semangat dari para pengelolanya yang sangat tinggi, SJI pionir PWI Sumsel ini kemudian mendapatkan mitra kerja yang dapat menjalin sinergi, yaitu Dinas Pendidikan
85
Provinsi Sumsel. Berkat mitra kerja itu, berbagai program pelatihan dapat dilaksanakan. Indikasinya, dapat dilihat dari 9 daerah provinsi yang sudah memiliki SJI, SJI-PWI Palembang dapat berlari lebih cepat meninggalkan daerah-daerah lainnya. SJI-PWI Palembang hingga kini sudah berhasil menggelar lima Angkatan tingkat Dasar dan Angkatan I untuk tingkat Madya Total wartawan yang lulus mengikuti SJI Sumsel hingga pelaksanaan keenam ini, mencapai 198 orang. Mereka terdiri dari wartawan berbagai media di Sumsel, baik media cetak surat kabar dan majalah, maupun televisi, dan radio. Dengan kata lain, sudah sebanyak itulah wartawan Sumsel yang mendapatkan pendidikan dan pelatihan melalui SJI-PWI. Ini artinya, SJI-PWI selama ini dalam skala kecil telah ikut aktif mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa, lewat program kegiatan yang terpola dan berjenjang. Secara langsung maupun tidak langsung, SJI pun itelah kut berperan memberikan pencerahan kepada masyarakat. Teristimewa lewat SJI, kami, para insan pers telah dapat berpartisipasi membangun iklim keterbukaan dan kemerdekaan pers. Hal penting lain yang perlu perhatian ke depan adalah proses pemantauan kinerja para lulusan (alumni) SJI, setelah mereka kembali terjun ke tengah masyarakat dan lebih khusus kembali bekerja di medianya masing-masing. Seberapa besar pengaruh bekal hasil pelatihan yang mereka peroleh selama digembleng di SJI? Bagaimana mereka mampu bekerja profesional, dalam keseharian di lapangan? Lalu, bagaimana hasil karya jurnalistiknya? Seberapa besar kepercayaan diri mereka sebagai alumnus SJI? Bagaimana mereka dapat lebih dihargai oleh pimpinan, ketimbang sebelum mengikuti proses
86
penggodokan di SJI? Bagaimana pula mereka dapat menularkan ilmu dan pengetahuan yang mereka peroleh kepada para kolega (senior dan yunior) di kantor masing-masing? Daftar pertanyaan ini sebenarnya masih dapat disusun lebih panjang. Pada intinya agar mampu menjawab dengan cerdas dan bijak hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi SJI-PWI. Apakah memang patut terus dipertahankan dan ditingkatkan mutunya. Dalam kaitan inilah, guna menjawab sederet pertanyaan penting di atas, perlu dilakukan survei yang dapat membuat peta permasalahan dan tantangan SJI di masa depan menjadi terang benderang. Memang, secara umum sebenarnya dapat dilihat bahwa para wartawan yang telah mengikuti SJI mengalami peningkatan wawasan dan keterampilan jurnalistik. Hanya saja, dalam konteks ini belum tentu SDM yang baik, berada di tempat lingkungan kerja yang memang baik pula. Setelah berhasil dididik di SJI, sangat mungkin mereka memperoleh bekal dan peningkatan kemampuan, dan sekaligus kepercayaan diri. Namun demikian, belum tentu mereka kemudian dapat bekerja secara lebih baik dengan semua yang sudah didapatkannya di SJI. Lingkungan tempat mereka bekerja, juga akan ikut menentukan “output” dari pengaruh lingkungan pendidikan ini. Banyak faktor di seputar persoalan mutu SDM wartawan. Pembenahan mutu dan peningkatan kompetensi profesionalitas wartawan, karenanya tidak cukup dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan setingkat atau sejenis SJI saja. Faktor media tempat mereka bekerja, juga berperan memasok masalah. Persoalannya dapat muncul dari hulu. Banyak media yang melakukan pola rekrutmen SDM secara lemah. Padahal, seharusnya dari proses rekrutmen inilah upaya melahirkan
87
wartawan bermutu bisa dimulai. Setidaknya ada lima tahap untuk menyaring dan menyeleksi calon hingga didapat tenaga calon wartawan yang diharapkan. Pertama, seleksi administrasi. Dari tahap ini, dipastikan pelamar memiliki pendidikan yang layak untuk melakukan tugas pekerjaan kewartawanan. Kedua, perlu dilakukan wawancara secara intensif kepada para calon wartawan. Ketiga, melakukan psikotes untuk mengetahui kondisi minat, bakat, dan kestabilan emosi dan jiwanya. Keempat, melakukan tes tentang bidang-bidang keahlian khusus yang perlu dimiliki. Dan kelima, diperlukan kegiatan pelatihan, meliputi teori dan praktik disertai terjun ke lapangan dalam waktu yang cukup. Kalau kegiatan model rekrutmen dan pelatihan seperti di atas, maka persoalan banyaknya wartawan tidak memiliki kompetensi di bidang tugas-tugasnya, niscaya dapat diminimalisir. Bahkan, sangat mungkin kegiatan pendidikan dan pelatihan model SJI-PWI pun tidak diperlukan lagi, jika saja di masing-masing media sudah ada pelatihan jurnalistrik yang terpola dan berjenjang secara baik dan benar. Selain itu, dalam pola pelatihan tersebut juga perlu dihadirkan para pengajar dan instruktur yang memang memiliki kompetensi di bidangnya. Sebutlah, pada media-media yang besar dan berwibawa, SDM yang dipekerjakan relatif memenuhi kualifikasi dan tidak menimbulkan masalah. Satu kenyataan yang sulit dibantah bahwa dewasa ini banyak wartawan yang sudah bekerja bertahun-tahun, ternyata tidak menunjukkan kualitas yang baik. Tidak profesional dan tidak punya kompetensi. Sebaliknya, pihak media juga bukan tidak punya alasan untuk ini. Menjadi persoalan umum sekarang
88
ini, media terutama di daerah-daerah mengalami masalah paceklik SDM. Dewasa ini, menurut pengamatan para pemilik media, semakin sulit mendapatkan SDM yang baik. Kalau toh ada di antara mereka datang melamar ke media, tidak selalu dengan motivasi untuk bekerja sebagai wartawan. Mereka yang berminat dan tertarik melamar menjadi wartawan, ternyata tidak cukup banyak. Karena itu, dari SDM yang rendah mutunya inilah, akhirnya terpaksa diambil menjadi calon wartawan. Lalu, mereka dididik dan dipoles-poles sebisa mungkin. Akibatnya, banyak di antara wartawan itu bekerja amatiran, setengah hati, asal bekerja, karena memang minat dan kemampuan mereka juga nihil. Tidak sedikit SDM di banyak media dewasa ini keluar atau berhenti di tengah jalan. Penyebabnya bisa beragam. Penyebab paling sering muncul, karena persoalan klasik seperti gaji dan atau pendapatan yang rendah. Penyebab lainnya, persoalan lingkungan bekerja yang tidak nyaman. Selain itu, dapat juga karena memang tidak cocok bekerja sebagai wartawan.
89
Kecenderungan sering terjadi yaitu pada setiap kali berlangsung musim penerimaan PNS. Biasanya banyak media di daerah kehilangan wartawan. Sebab, di musim penerimaan PNS, mereka ramai-ramai ikut tes penerimaan. Artinya, di sini ada persoalan mendasar, yakni banyak di antara mereka yang masuk bekerja di media tanpa dilandasi minat dan kemampuan. Bekerja di media bukan karena pilihan hati, tapi mereka terpaksa bekerja menjadi wartawan hanya karena tidak punya pilihan lain. Pilihan utamanya, kalau mau jujur yakni sebenarnya ingin menjadi PNS. Sebaliknya, profesi wartawan hanya menjadi pilihan terakhir. Dengan kata lain, mereka masuk dan bekerja di tempat yang bukan tempatnya. SDM yang datang melamar ke media bukanlah SDM unggul yang memang memiliki kualifikasi dan minat yang sungguhsungguh untuk menjadi wartawan. Adapun SDM yang benarbenar bermutu baik, sangat mungkin lebih memilih melamar ke tempat lain. Pasalnya, bekerja di media sekarang, sepertinya bukan lagi sesuatu yang menarik dan menjanjikan dari segi kesejahteraan. Pihak manajemen media, sering mengambil jalan pintas yakni tidak lagi menggunakan pola rekrutmen sebagaimana mestinya. Akibatnya, didesak oleh kebutuhan SDM, mereka kemudian asal comot saja. Kadang-kadang SDM yang diloloskan pun tidak melalui pelatihan yang cukup. Baru seminggu masuk langsung diturunkan ke lapangan. Berangkat dari hal-hal dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa terkait persoalan mutu wartawan, suka atau tidak suka, hal tersebut kini ada dalam sebuah lingkaran besar. Banyaknya wartawan yang amatiran, sangat mungkin berhubungan langsung dengan kondisi sebagian perusahaan
90
pers yang juga tidak profesional. Tindakan menyimpang wartawan di lapangan juga terkait dengan mental perilaku sebagian masyarakat yang tidak mendukung penegakan undangundang pers maupun kode etik. Karena itu, uji kompetensi wartawan yang sekarang sedang dilaksanakan secara nasional, juga harus segera dibarengi dengan uji kompetensi perusahaan pers. Hanya dengan cara demikian, maka ekses pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan tegaknya kemerdekaan pers, niscaya dapat diwujudkan. Dirgahayu SJI-PWI dan Dirgahayu Kemerdekaan Pers!
91
Banjir Wartawan, Banjir Informasi dan Tantangan Baru Wartawan Profesional Oleh Marah Sakti Siregar
Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat
POSISI wartawan belakangan ini ramai diperbincangkan. Oleh orang luar atau orang di dalam komunitas pers sendiri. Dari luar sering muncul pertanyaan berkaitan dengan makin banyak orang mengaku sebagai wartawan. Ditambah lagi makin ramainya juga berseliweran informasi di pelbagai media massa. Apakah itu dampak reformasi dan tumbuhnya industri media? Pertanyan bernada dugaan dari orang luar itu tidak salah-salah amat. Reformasi 1998 memang telah memerdekakan insan pers Indonesia. Jika sebelumnya, jagat wartawan cuma diisi oleh mayoritas wartawan media cetak, ditambah wartawan
93
dari TVRI dan RRI mewakili komunitas penyiaran (televisi dan radio), setelah reformasi, media penyiaran swasta dibolehkan membuat berita, maka bermunculanlah wartawan lain dari media penyiaran. Putaran mesin ekonomi–dan teknologi informasi yang melahirkan pelbagai media baru—juga ikut memacu gerak pertumbuhan industri media. Ia sekaligus merangsang siapa saja termasuk kalangan pengusaha untuk masuk ke industri media. Jumlah dan ragam media pun cepat bertambah. Konsekuensinya, ya, jumlah wartawan, jumlah dan ragam informasi, tentu saja juga terus meningkat. Jawaban logis ini sebenarnya sudah ada di benak orang luar yang bertanya tadi. Itu memang bukan inti pertanyaan mereka. Pertanyaan pokok mereka adalah, wartawan dan informasi yang makin banyak itu jadi “agak mengganggu dan membingungkan”. Bukan karena kuantitasnya saja, tapi juga karena kualitasnya. “Saking banyaknya, kita jadi sering bingung menentukan mana wartawan yang benar, dan mana informasi yang benar,” tukas seorang pejabat dalam suatu lokakarya tentang pers. Kalau masalahnya adalah kelemahan kompetensi profesional wartawan, mereka biasanya mafhum. Itu karena organisasi wartawan seperti PWI sering mengaku, mereka sekarang sedang berusaha meningkatkan kompetensi anggotanya. Makanya, lumrah kalau masih sering terjadi penyampaian berita/informasi yang kurang pas, kurang lengkap dan akurat, serta tidak berimbang. Informasi seperti itu biasanya juga mereka dapatkan dari media seperti twitter, facebook dan blog. Tapi, tak cuma merisaukan banyaknya wartawan dan in-
94
formasi, pejabat publik dan masyarakat sebenarnya masih sering terganggu oleh para jurnalis yang suka ”selingkuh” dan para “wartawan-wartawanan” alias abal-abal yang suka meminta duit. Masalah wartawan dengan kelemahan kompetensinya, perilaku buruk mereka, dan banyaknya juga “wartawanwartawanan” yang mengganggu masyarakat merupakan beban atau pekerjaan rumah komunitas pers yang belum/ tidak bisa diselesaikan tuntas sampai hari ini. Komunitas pers adalah sebutan untuk semua institusi yang bergerak di ranah pers. Utamanya, Dewan Pers, organisasi wartawan, organisasi perusahaan/media, dan organisasi atau institusi terafiliasi lainnya. Upaya komunitas pers untuk mengatasi masalah itu bukannya tidak ada. Sudah cukup banyak kegiatan dilakukan, melalui pelbagai diskusi, seminar, lokakarya, dan aneka ragam pelatihan dan pendidikan jurnalistik. Tujuannya hampir seragam: meningkatkan kompetensi dan profesionalisme wartawan. Namun, hasilnya belum signifikan. Terbukti, jika kita jalan ke daerah, misalnya, mengadakan kerjasama pelatihan jurnalistik dan bertemu dengan mitra kerja, maka kita masih mendengar keluhan mereka atas perilaku negatif wartawan dan keluhan terhadap cara pemberitaan yang dinilai tidak sesuai kode etik jurnalistik. TIM pelatih dan pengajar PWI Pusat yang setiap tahun secara konstan datang ke pelbagai daerah untuk menggelar acara pelatihan jurnalistik melalui program Safari Jurnalistik dan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), kiranya menjadi saksi hidup yang mendengar keluhan masyarakat itu. Antara lain, banyak
95
media dan wartawan mau berselingkuh dengan mitra kerjanya guna mendapatkan penghasilan. Banyak media menafikan pagar api antara berita dan iklan dalam kebijaksanaan redaksi mereka. Ada media yang terang-terangan menjadikan wartawannya bekerja rangkap sebagai account executive (pencari iklan). Malah dengan target rupiah tertentu. Dan yang tak kalah seru, banyak “abal-abal” alias “wartawan-wartawanan” yang menumpang hidup dan menggerogoti ranah pers kita. Itulah realitas aib yang masih dirasakan masyarakat pers ketika mereka sama-sama memperingati Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2013 di Manado, Sulawesi Utara. Kenyataan itu, bak cacat bawaan yang membuat hati miris. Padahal, beberapa organisasi wartawan dengan kemampuan yang ada telah melakukan aneka ragam kegiatan program pendidikan dan advokasi profesi untuk mencegah semua ekses negatif itu. ** MELALUI program SJI, sejak tahun 2010, PWI misalnya, aktif melaksanakan pendikan dan pelatihan jurnalistik intensif ke pelbagai kota. Dalam kurun waktu tiga tahun, telah dibuka dan dilaksanakan pelatihan SJI di sembilan ibu kota provinsi: Palembang, Semarang, Samarinda, Bandung, Lampung. Banjarmasin, Jambi, Makassar dan Palangkaraya. Dan sejauh ini, SJI Pusat telah melaksanakan 23 kali pelatihan jurnalistik serta memberikan sertifikat kelulusan sebagai wartawan profesional pada 635 wartawan dari 812 wartawan peserta yang ikut dalam pelatihan tersebut. Selain program SJI, untuk meluaskan peningkatan kompetensi dan profesionalisme wartawan, PWI juga
96
menggiatkan program pelatihan singkat jurnalistik: Safari Jurnalistik. Menggandeng mitra kerja PT Nestle dan PT Astra International, Tbk, program ini pada tahun 2012 yang lalu sudah melatih sebanyak 431 wartawan di 10 kota di mana terdapat cabang PWI. Sumbangan organisasi wartawan lain untuk peningkatan kompetensi dan profesionalitas wartawan itu mestinya juga ada. Tapi, itulah, tetap saja aib pers nasional, belum bisa dihilangkan, gara-gara masih adanya kelemahan kompetensi dan praktik kerja wartawan yang tidak profesional serta pelaku “abal-abal”. KOMUNITAS pers kewalahan dan putus asa? Tidak juga. Setelah melakukan pengkajian cukup mendalam, Dewan Pers dan komunitas pers akhirnya bersepakat bahwa salah satu jalan untuk mengatasi semua aib dan kelemahan tadi adalah menjadikan semua wartawan profesional melalui program
97
sertifikasi. Konsep dan aturan mainnya pun diolah. Cukup lama dan baru pada tanggal 2 Februari 2010 Dewan Pers akhirnya mengesahkan pemberlakuan program sertifikasi wartawan profesional. Nama resminya: Standar Kompetensi Wartawan (SKW). Salah satu tujuan SKW adalah untuk menyaring dan menarik garis pembeda antara wartawan profesional dan yang bukan. Metodenya cukup terukur. Dewan Pers menetapkan patokan standar kompetensi wartawan lengkap dengan rincian aturan mainnya. Lalu mematok persyaratan perlu adanya Lembaga Penguji. Setelah itu, Lembaga Penguji (organisasi wartawan atau lembaga pendidikan dan pelatihan wartawan atau perusahaan pers atau perguruan tinggi yang memiliki fakultas/jurusan komunikasi atau jurnalistik), dipersilakan melakukan Uji Kompetesi Wartawan (UKW) guna menilai dan menguji kompetensi para wartawan. Jurnalis yang dinilai telah mencapai standar kompetensi dimaksud, diberikan sertifikat profesional. Semua wartawan dikategorikan dalam tiga jenjang: Muda (untuk reporter dan wartawan di lapangan), Madya (untuk para redaktur dan setaranya), Utama (untuk para redaktur pelaksana dan pimpinan redaksi). Program ini telah berjalan dua tahun. PWI ikut mendukungnya. Malah, menjadi organisasi wartawan pertama yang ditunjuk Dewan pers sebagai Lembaga Penguji kompetensi wartawan. Sejak ditunjuk pada Juli 2011, Pengurus PWI, yang memahami penting dan strategisnya program ini dikaitkan juga dengan rencana organisasi untuk menyeleksi anggotanya yang
98
berserak di seluruh Indonesia, bergerak cepat. Alhamdulillah, berkat bantuan beberapa mitra kerja dan kerja keras Tim Pelaksana dan Tim Penguji UKW, PWI sampai akhir tahun 2012 berhasil melaksanakan 71 kali uji kompetensi wartawan di 28 cabangnya di seluruh Indonesia. Hasilnya, sebanyak 2.492 wartawan dinyatakan kompeten dan diberikan sertifikat wartawan profesional. Tapi, hasil kerja maraton itu, terus-terang, masih minimalis. Soalnya, jumlah wartawan yang terdaftar sebagai anggota PWI pada tahun 2010 saja sudah sekitar 14.000 orang. Laporan yang masuk dari pelbagai cabang PWI belakangan ini mengindikasikan adanya peningkatan wartawan yang ingin masuk dan kembali menjadi anggota. Dengan pelbagai alasan. Di antaranya, karena aneka program PWI (Safari Jurnalistik, SJI, lomba karya jurnalistik, literasi media, dan literasi jurnalistik, serta program uji kompetensi wartawan) mereka nilai relevan dengan kepentingan mereka. ** APA PUN, upaya untuk menjadikan wartawan kompeten dan profesional, sebenarnya bisa menjadi salah satu jawaban jitu guna menjawab keluhan dan kebingungan publik tadi. Sayangnya, langkah ke sana belum dilakukan maksimal. Belum menjadi suatu gerakan bersama komunitas pers atau menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan guna mewujudkan pers yang sehat dan profesional. Jika melihat implementasi program SKW Dewan Pers di lapangan, kita harus mengatakan aktifitas itu belum sepenuh-
99
nya digarap maksimal, konstan dan komprehensif. Padahal, dalamrangkaian pidato sejak keluar Peraturan Dewan Pers tentang SKW, Ketua Dewan Pers Prof Dr Bagir Manan berulang menyatakan perlunya insan pers menata diri agar dapat senantiasa menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan berlaku profesional. Ketua Dewan Pers juga mengungkapkan, dari pengalaman mediasi, yang selama ini dilakukan Dewan Pers dengan menerima ratusan pengaduan masyarakat setiap tahun, kesimpulannya jelas: 80 persen media melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik. Bentuk pelanggaran itu, tegas Prof Bagir Manan, “mulai dari tidak berimbang, tak akurat, tak melindungi identitas korban kejahatan susila, hingga tak bersikap profesional.” Masalah serius pers atau jurnalisme Indonesia pasca reformasi sesungguhnya masih berkutat pada rendahnya kompetensi jurnalistik wartawan. Di samping, tentu saja, lemahnya atau kurangnya pemahaman media pada esensi sikap kerja pers profesional. Ini mestinya diatasi dengan langkah dan program kerja yang lebih serius oleh Dewan Pers—terutama setelah sejumlah 19 grup penerbitan media—menandatangani Piagam Palembang di Palembang tiga tahun silam. Inti program ini adalah kesepakatan komunitas media untuk mulai menerapkan prinsip dan sikap kerja profesional pada wartawan dan media mereka. Sayang, isi piagam yang bagus itu hanya ditindaklanjuti dengan determinasi yang lemah dan lambat. Dewan Pers (DP) belum menjadikan ihwal lemahnya profesionalitas wartawan dan medianya itu sebagai sesuatu prioritas, mendesak, dan kalau tidak segera direalisasikan berpotensi melemahkan kredibilitas pers serta mengancam kemerdekaan pers.
100
Buktinya terlihat jelas pada sikap serta langkah mereka setelah meluncurkan program SKW. Tidak semua Anggota DP antusias dan peduli pada program ini. Anggota yang diberi tugas mengurusnya pun, terkadang seperti lebih sibuk mengurus masalah lain, dan kemudian bersikap menunggu. Dalam arti, menjadi sekadar penerima laporan uji kompetensi yang dilakukan Lembaga Penguji, lalu mengeluarkan kartu atau sertifikat kompetensi, atau sesekali tampak dalam seremoni ketika mengangkat dan menunjuk Lembaga Penguji baru. Belum pernah ada evaluasi menyeluruh—lintas Penguji Kompetensi, misalnya--berkaitan dengan implementasi progam penting itu. Padahal, sedikit banyak, di lapangan tentulah ada saja ekses dan deviasi dalam pelaksanaan UKW yang kiranya patut dikoreksi dan diluruskan. Juga, belum terdengar ada rencana atau terobosan baru dari Dewan Pers berkaitan dengan program sertifikasi wartawan profesional itu. Para wartawan di lapangan berteriak: setelah dinilai kom-
101
peten dan profesional, bagaimana? Apakah kesejahteraan wartawan akan menyusul meningkat? Para penguji dan Lembaga Penguji kompetensi terpaksa berusaha bersikap arif menjawab semua pertanyaan itu. Memang, sangat wajar wartawan yang sudah profesional, mempertanyakan nasib mereka selanjutnya terkait dengan media tempat mereka bekerja. Bagaimana jika wartawan telah bekerja sesuai standar profesional, tapi medianya belum atau tidak merespon? Pengurus Dewan Pers seyogyanya tak boleh bersikap pasif dan sepertinya melepaskan dan membiarkan program SKW yang sudah dilaksanakan Lembaga Penguji dan ditaati para wartawan---berjalan tanpa tindak lanjut yang berarti. Dewan Pers semestinya perlu mengundang lagi para pemangku kepentingan di ranah pers, agar bisa diupayakan langkah baru guna merangsang terus program memprofesionalkan para wartawan. ** INI mendesak dilakukan. Soalnya, beban pekerjaan ke depan bakal bertambah berat. Maklumlah, pekerjaan rumah (PR) lama, meningkatkan profesionalisme wartawan media konvesional (cetak dan elektronika) belum tuntas diselesaikan. Kini, sudah masuk PR baru, yaitu, rombongan awak wartawan media baru, di antaranya para wartawan media on line (media siber). Wartawan media berbasis internet dengan pola penyampaian berita seketika (real time) memang menjadi fenomena baru di jagat media. Kalangan konservatif dari media lama (media konvesional), misalnya, pernah mempertanyakan keabsahan jurnalisme ala media siber ini. Antara lain, karena mereka akibat jepitan waktu, sering mengabaikan prinsip
102
verifikasi dalam menyampaikan informasi. Padahal verfifikasi itu prinsip dasar dari kode etik jurnalistik. Dan juga elemen wajib dalam jurnalisme. (Butir ketiga dari sembilan elemen jurnalis-buku “Elemen-Elemen Jurnalisme”, Kovach dan Rosenstiel, 2001). Toh, ihwal ini kemudian bisa diselesaikan oleh komunitas pers melalui diskusi yang difasilitasi Dewan Pers. Urun rembuk yang melibatkan para wartawan media konvesional dan media siber ini akhirnya menyepakati pedoman kerja wartawan media siber agar mereka tetap bisa tunduk pada kaidah kode etik jurnalistik. Masuknya wartawan media siber jelas makin menambah kuantitas wartawan dan ramainya informasi di media massa. Apalagi, sebelum itu, pembuat, pengisi dan kontributor informasi di media pun sebenarnya sudah bertambah dengan adanya aktivitas para pelapor warga (citizen journalist). Yakni, anggota masyarakat yang mau dan rajin memberikan laporan informasi ke sejumlah media masa (terutama radio-radio swasta) di pelbagai kota. Fenomena lain, dan ini tak kalah penting, para warga sekarang—berkat bantuan teknologi digital—makin aktif dalam kegiatan di dunia informasi. Yakni, menerima, memanfaatkan dan menyiarkan informasi. Para warga itu, biasa dikenal sebagai aktivis media sosial, kini menjadi semacam “wartawan baru” di jagat media massa. ** PENCARI, pembuat dan produsen informasi kini tak lagi didominasi wartawan atau redaksi lama! Dalam bukunya, Blur: How to Know What’s True in the Age
103
of Information Overload—buku ini baru saja diterjemahkan Dewan Pers dan Yayasan Pantau, dengan judul: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi—Bill Kovach dan Tom Rosentiel, mengafirmasi terjadinya banjir informasi di media massa di abad ke-21 sekarang ini. Wartawan bukan lagi satu-satunya penyedia informasi publik karena masyarakat kini dengan dukungan teknologi digital juga sudah aktif menyampaikan informasi. “Metafora yang banyak dipakai untuk menjelaskan jurnalisme abad ke-20, yakni pers sebagai penjaga pintu (gate keeper) informasi publik, tak lagi cocok dipakai saat ini ketika pers hanya menjadi satu di antara banyak media penghubung antara pembuat informasi dengan publik.” Kedua pakar jurnalisme itu menyebut rumusan dan metafora baru bagi jurnalisme abad ke21 atau “jurnalisme era baru”, yang telah menghapus dominasi wartawan sebagai pencari dan pengolah informasi tunggal; memosisikan mereka agar dapat bekerjasama dengan warga (aktivis media sosial seperti pengguna twitter dan facebook) dalam melayani penyampaian informasi publik.
104
** DI INDONESIA, berapa tahun ini, perkembangan atau akselerasi kegiatan media sosial seperti pengguna twitter dan facebook memang meningkat tajam. Pengguna facebook sampai akhir Desember 2012 mencapai 50, 8 juta orang. Naik sekitar 10 juta dari tahun sebelumnya. Demikian juga pengguna twitter sudah menggapai 20 juta pemakai. Ada perkiraan angka itu akan meningkat lagi beberapa tahun ke depan. Aktivitas pelaku media sosial ini, betapa pun, harus diakui telah mewarnai arus informasi publik di sini. Informasi dari jejaring ini ringkas, cepat dan lebih personal (individual) sifatnya. Mereka bergerak menyampaikan informasi apa saja yang mereka ketahui. Terkadang banyak juga informasi itu berkaitan dengan wilayah informasi yang sering digarap media utama (media konvensional). Sering juga, media utama memanfaatkan informasi dari jejaring sosial itu sebagai bahan awal informasi mereka. Maka, sesungguhnya selama ini telah terjadi kerjasama antara dua jenis media tadi, sebagaimana dianjurkan Kovach dan Rosenstiel. Apa pun, perubahan besar sedang terjadi di dunia media. Media lama atau media konvensional dalam kegiatan menyampaikan informasi publik masih tetap menjadi pemain utama. Namun, mereka kini mulai dibayang-bayangi oleh para awak media baru yang sangat produktif dalam menyumbangkan informasi. Mungkin banyak dari informasi itu kurang kadar kebenarannya, itulah salah satu masalah yang publik perlu tahu dan mereka harus belajar mencari informasi yang benar, tulis Blur. Tapi, harus diakui juga bahwa informasi tadi sesungguhnya tetap bisa menjadi bahan berita awal bagi wartawan lama. Masalahnya, karena bentuk dan jenis media serta pola
105
penerimaan informasi publik kini sudah berubah dan berbeda, sering informasi dari media baru lebih cepat sampai dan diterima publik. Mereka pun menjadi wartawan pertama yang menyampaikan informasi publik, mengalahkan wartawan lama. Kalau informasi dari media baru itu makin valid, dan wartawan lama tidak segera berbenah diri agar bisa menyampaikan informasi “yang lebih” dari yang sudah diberikan wartawan baru, maka pelan tapi pasti di depan publik, eksistensi wartawan lama sudah berakhir. Lho, buat apa menonton berita tv, mendengar radio atau beli surat kabar, kalau semua informasi publik sudah valid diberikan secara gratis oleh awak media baru? ** BLUR karena itu menyebut bahwa “Jurnalisme Era Baru” akan mengubah prinsip dalam melihat dan merumuskan informasi/berita. Dengan konsep baru yang lebih melibatkan publik itu, di masa depan, ruang pemberitaan media/redaksi media lama sudah harus berubah. Ia tidak lagi steril dan hanya diisi awak redaksinya saja. Tapi juga akan diisi oleh orang luar, tokoh masyarakat atau warga/aktivis media sosial. Tapi, tentu saja mereka itu aktivis media yang komitmen dan integritasnya pada publik sudah teruji (nantinya harus dan perlu diuji sendiri oleh para awak redaksi). Wartawan/redaksi dalam format baru nantinya jelas akan berfungsi lebih lengkap dari sekedar produsen informasi. Ia akan memainkan peran baru antara lain, sebagai pandu informasi publik, pengolah pelbagai informasi yang cerdas dan andal, dan bisa menjadi mediator dan fasilisator dialog dengan publik. Perubahan ini kalau benar terjadi nanti, merupakan sebuah pembaruan signifikan bagi wartawan dan ruang redaksi media.
106
Mungkin seketika tidak semua media siap melaksanakan perubahan itu terutama dalam kaitan mengundang orang luar masuk ke sidang redaksi. Sebab mungkin ini sesuatu yang prinsipil bagi media yang punya tujuan dan orientasi sendiri. Sebaliknya, bagi media yang bervisi publikc penerapannya nanti jelas akan lebih mudah. Apa saja tantangan dan yang perlu dilakukan wartawan dan komunitas pers pada “Jurnalisme Era Baru”? Sebenarnya tak begitu berat, asal kita tidak alergi pada perubahan. Siap menerima kenyataan bahwa masyarakat sekarang sudah berubah makin cerdas dan aktif dalam melihat, menilai dan mendapatkan informasinya. Kita perlu dan harus selalu dekat serta berinteraksi dengan mereka. Konsep menyertakan tokoh publik sebagai mitra dalam tugas kita melayani kepentingan publik sebenarnya bukan hal baru. Bukankah keanggotaan Dewan Pers, misalnya, sejak reformasi tidak lagi sepenuhnya diisi oleh para wartawan? Walhasil, realitas membludaknya jumlah wartawan dan banjir informasi saat ini—dan di masa depan—agaknya merupakan tantangan baru yang perlu dihadapi komunitas pers Indonesia. Insan pers khususnya wartawan perlu makin mawas diri. Terutama dalam meningkatkan terus kecakapannya dalam bidang jurnalisme, memperluas wawasan agar dapat menghasilkan keluaran informasi yang lebih unggul dan berkualitas ketimbang informasi yang kini dan kelak makin banyak diproduksi warga nonwartawan.
107
Kontribusi Sekolah Jurnalisme Indonesia Terhadap Profesionalisme Wartawan dan Penampilan Media Oleh Artini Suparmo
Wartawan Utama dan dosen STIKOM LSPR
Latar Belakang Kualitas wartawan di Indonesia sampai sekarang masih terus dipertanyakan masyarakat. Pelanggaran kode etik yang masuk ke Dewan Pers tahun 2001 – 2011 tercatat sekitar 2000 kasus, meski di sisi lain, wartawan juga mengalami kekerasan, tekanan bahkan pembunuhan dari tahun ke tahun. Persoalan belum berhenti pada masalah kompetensi atau kode etik saja. Sekarang ini, berdasarkan hasil penelitian Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), sebuah lembaga riset media di Jakarta, ada 12 kelompok media besar di Indonesia yang mengontrol hampir semua saluran media, namun yang terjadi adalah fakta yang belum menggembirakan
108
karena pekerja media semakin pragmatis dan terjerat oleh kepentingan industri dan pemiliknya. Kelompok media besar ini mulai kehilangan ciri publiknya karena kepentingan pasar dengan gurita konglomerasinya. Akibatnya, konsep sebuah berita, misalnya, tidak lagi hanya layak siar tapi juga laku dijual, sehingga ada reporter di lapangan juga harus mencari iklan. Data terakhir di PWI Pusat ada 75 ribu wartawan tersebar di Indonesia, namun lebih 30 persen wartawan justru belum profesional. Tugas wartawan menjadi berlapis-lapis, bukan hanya mencari dan menulis berita saja tapi juga merangkap sebagai tenaga pemasaran. Dengan demikian, kondisi internal dan eksternal media akan sangat mempegaruhi penampilan media (media performance). Dengan kondisi seperti ini, PWI Pusat bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) sejak 2010 di berbagai propinsi untuk meningkatkan kualitas wartawan. Sampai tahun 2012 sudah sembilan propinsi menyelenggarakan SJI dengan 635 wartawan peserta yang mendapat materi dari para wartawan senior. Materi SJI antara lain kode etik, teknik menulis berita dan feature, hukum pers, manajemen media, teknik wawancara yang diikuti selama 2 minggu dengan model komunikasi persuasive. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diajukan rumusan permasalahan sebagai berikut: seberapa besar kontribusi atau pengaruh pembelajaran di SJI terhadap profesionalisme dan penampilan media. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi bagaimana manfaat serta peran keikutsertaan wartawan dalam pendidikan SJI serta bagaimana efeknya
109
terhadap penampilan media. Selain itu, manfaat penelitian adalah untuk dapat memberi masukan pada profesionalisme wartawan dan penampilan media dan secara praktis dapat memberi gambaran mengenai efektivitas sebuah program pendidikan jurnalistik untuk peningkatan profesionalisme wartawan. Kerangka pemikiran Produk media massa adalah hasil karya kolektif. Wartawan hampir sepenuhnya bergantung pada organisasi atau perusahaan media untuk mendistribusikan hasil karyanya. Tanpa organisasi dengan proses seleksi di dalamnya, wartawan dapat saja mencari dan menulis berita, tapi tidak dapat menyiarkannya. McQuail (2006) menyebutkan ada beberapa faktor yang mewarnai hasil karya wartawan, mulai dari kondisi internal wartawan dan organisasi tempat dia bekerja serta faktor eksternal termasuk sistem nilai, budaya dan politik serta ekonomi. Kondisi internal adalah bagaimana cara wartawan melihat perannya dalam tugas jurnalistik serta komitmennya pada organisasi perusahaan dan kepentingan publik. Faktor eksternal adalah peraturan dan undang-undang pers, sistem nilai dan sistem pers yang berlaku yang mengikat media di Negara tersebut. Pada hakikatnya ada lima filter yang menghadang pekerjaan wartawan yakni pemilik media massa, pengiklan, sumber berita, tanggapan publik dan nilai budaya politik atau anti komunisme. Namun, aturan internal media, kode etik profesional yang kuat serta self sencorship pada diri wartawan
110
dapat membatasi campur tangan pemerintah dan pengiklan (Weaver, 1991). Dalam konteks ini, menunjukkan bahwa penampilan media juga bergantung pada bagaimana wartawan memaknai peran utamanya sesuai fungsi sosial media massa, yakni pengawasan sosial, korelasi sosial dan sosialisasi nilai-nilai. Menurut Shoemaker (1991), karakteristik wartawan, latarbelakang pendidikan, sikap personal serta makna profesionalisme, dapat mempengaruhi isi dan penampilan media. Wartawan dengan latar belakang pendidikan tinggi dapat mempengaruhi cara pandang wartawan terhadap suatu masalah serta memiliki potensi besar untuk memikirkan efek dari apa yang boleh dan yang tidak boleh dilaporkan di media. Dengan demikian, peran profesional ini pada halkikatnya dapat dipelajari di kampus atau lembaga pendidikan jurnalisme. Jeffres (2009) mengajukan ukuran untuk menilai profesionalisme wartawan, yakni standar etika, lebih berpendidikan, lebih kritis, memiliki kebebasan dalam pekerjaan, tidak lagi tertarik untuk pindah ke lain pekerjaan di luar jurnalistik dan kurang berambisi dalam masalah uang dan prestise. Dengan demikkian, pendidikan wartawan merupakan kunci yang dapat meningkatkan profesional serta peran media massa. Hipotesis penelitian yang dapat diajukan adalah sebagai berikut. H0: tidak ada pengaruh pembelajaran di SJI terhadap profesionalisme dan Ha: ada pengaruh pembelajaran di SJI terhadap profesionalisme wartawan.
111
Metodologi Penelitian ini bersifat evaluatif dengan menggunakan metode survei sederhana untuk mengetahui secara mendalam gambaran bagaimana pengaruh pembelajaran atau pedidikan di SJI terhadap profesionalisme wartawan peserta, dengan menggunakan teknik analisis regresi dengan SPSS 16. Untuk kemudahan penelitian, dari populasi wartawan peserta alumni SJI sebanyak 635 orang, dipilih sample sebanyak 100 responden secara acak. Penelitian ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama adalah mencari pengaruh pendidikan di SJI terhadap profesionalisme, lalu didukung dengan penelitian berikutnya yakni deskriptif mengenai manfaat keikutsertaan wartawan terhadap penampilan media dengan responden 30 redaktur senior dan pemimpin redaksi media, menggunakan teknik analisis frekuensi rata-rata. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner serta dokumentasi. Sebelum kuesioner dibagikan ke peserta, dilakukan uji instrumen (validitas dan reliabilitas) dengan 30 responden menggunakan SPSS 16, yang hasilnya semuanya valid dan reliable sehingga layak dan signifikan digunakan untuk sebuah penelitian. Penelitian ini tentu memiliki keterbatasan karena pengisian kuesioner yang bisa saja mengandung bias. Selain itu, untuk mengevaluasi pengaruh pendidikan di SJI terhadap penampilan media seyogjanya dilakukan before and after test agar hasilnya lebih signifikan.
112
Hasil analisis kuesioner dan interpretasi a. Profil responden Untuk mengetahui bagaimana gambaran wartawan peserta alumni SJI dapat dilihat bagaimana komposisi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan jurusan, serta posisi di media. Tabel 1. Gambaran Profil Responden No
Evidensi
Kategori
Frekuensi (%)
1
Jenis kelamin
Laki-Laki Perempuan
80 20
2
Usia
Kurang 25 tahun di atas 25 tahun
64 32
3
Tingkat Pendidikan
Belum Sarjana Sarjana
65 35
4
Jurusan
Jurnalistik Non Jurnalistik
15 85
5
Posisi di Media
Reporter Redaktur
80 20
N=100 Tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa latar belakang responden cukup beragam dan fakta menunjukkan bahwa sebagian besar adalah laki-laki, peserta rata-rata berusia muda, sebagian lagi belum sarjana dan sebagian besar masih
113
sebagai reporter. Dari tabel di atas juga dapat dimaknai bahwa responden yang berkarir dalam jurnalistik di beberapa daerah ternyata tidak harus selalu datang dari jurusan jurnalistik dan belum sarjana. Data ini juga dapat diinterpretasikan bahwa media di daerah masih mempunyai tenaga wartawan yang masih muda dan belum bependidikan S1. b. Analisis hasil kuesioner Untuk mengetahui pengaruh pembelajaran di SJI terhadap profesionalisme wartawan peserta maka disusun operasional variabel sebagai berikut: pembelajaran di SJI sebagai variabelX dengan 3 dimensi: relevansi materi, manfaat belajar dan metode pembelajaran serta kualitas profesional wartawan sebagai variable Y dengan 6 dimensi: kualitas komunikasi, ketrampilan penyajian, kesadaran profesional, pengetahuan, kredibilitas dan kepuasan. Masing-masing dimensi memiliki indikator sebagai berikut. Tabel 2. Dimensi Relevansi Materi (variabel x)
N
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
100
100
100
100
100
100
100
0
0
0
0
0
0
0
Mean
4.56
4.43
4.33
4.27
4.12
4.18
4.52
Median
5.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
5.00
Mode
5
4
4
4
4
4
5
Valid Missing
Total Mean: 4.34
114
Untuk dimensi relevansi materi ada 7 butir pernyataan yakni: bahan pelatihan sesuai harapan untuk menjadi wartawan profesional, materi pelatihan membuat anda jadi tahu kaidahkaidah jurnalistik, pekerjaan jurnalistik menuntut proses belajar, tema dan tujuan SJI relevan dengan tuntutan wartawan berkualitas, isu yang dibahas dalam kelas SJI merupakan fenomena aktual, anda merasakan mendapat kompetensi yang diharapkan, materi SJI memperteguh komitmen sebagai wartawan kompeten. Dengan total mean atau nilai rata-rata 4.34, berarti responden cenderung sangat setuju. Ini dapat diinterpretasikan bahwa relevansi materi dalam proses belajar mengajar di SJI sesuai dengan harapan peserta. Tabel 3. Dimensi Manfaat Belajar (variabel x)
N
X1
X2
X3
X4
X5
X6
100
100
100
100
100
100
0
0
0
0
0
0
Mean
4.23
4.13
4.16
4.05
4.05
3.67
Median
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4
4
4
4
4
4
Valid Missing
Mode
Total mean 4.04 Untuk dimensi manfaat belajar ada 6 indikator yakni: mengerti ada rambu-rambu dalam tulisan jurnalistik, belajar di SJI mendorong anda untuk menulis lugas dan jelas, anda sekarang menmgerti isi tulisan harus komprehensif, tugas
115
wartawan bukan hanya mencari atau menulis berita, jumlah karya tulis anda meningkat. Dari hasil rata-rata diperoleh nilai 4.04 yang dapat diinterpretasikan bahwa responden cenderung sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan mengenai manfaat belajar di SJI. Tabel 4. Dimensi Metode Pembelajaran (variabel x)
N
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
100
99
100
100
100
100
100
100
0
1
0
0
0
0
0
0
Mean
4.24
4.28
4.26
4.30
4.18
4.32
3.81
4.17
Median
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
Mode
4
4
4
4
4
4
4
4
Valid Missing
Total mean 4,26
Pada dimensi metode pembelajaran ada 8 indikator yakni: tujuan instruksional umum dan khusus di SJI sangat jelas, instruktur di kelas merupakan narasumber kredibel, penyampaian materi dari wartawan senior dapat menjadi contoh, ada dialog interaktif di kelas, sistem evaluasi pretes dan pascates menunjukkan kompetensi yang harus dicapai, penialian pengajar mendorong anda lebih bersemangat dalam belajar lagi, waktu belajar di kelas cukup untuk mencapai tujuan, gaya komunikasi pengajar menyenangkan. Dari hasil analisis rata-rata diperoleh nilai 4.26 dapat diartikan bahwa
116
responden cenderung sangat setuju dengan pernyataanpernyataan mengenai metode pembelajaran. Tabel 5. Dimensi Kualitas Komunikasi Wartawan (variable Y) N
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
Y8
Y9
100
100
100
100
100
100 100 100
100
Missing
0
0
0
0
0
Mean
4.06
4.04
3.91
3.86
3.83 4.10 3.98 3.94
3.92
Median
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00 4.00 4.00 4.00
4.00
4
4
4
4
Valid
Mode
4
0
4
Y7 0
4
0
4
0
4
Total mean 3.95
Pada dimensi kualitas komunikasi wartawan ada 9 indikator yakni sebagai berikut: memiliki loyalitas pada publik, disiplin melakukan verifikasi data untuk tulisan, menyampaikan informasi berkualitas untuk masyarakat, mampu menjaga jarak dengan narasumber, mampu membangun akses dengan sumber, membangun komunikasi interpersonal dengan redaktur dan teman wartawan, memiliki keberanian untuk menyetakan sikap terhadap suatu masalah, tegas tidak mau menjadi corong demi kepentingan narasumber, menghormati hak privacy narasumber. Hasil analisis rata-rata menunjukkan nilai 3.95 yang berarti responden ada pada tingkatan setuju terhadap pernyataan mengenai kualitas komunikasi wartawan.
117
Tabel 6. Dimensi Keterampilan Teknik Penyajian (variabel Y)
N
Y1 100 0 4.05 4.00 4
Valid Missing Mean Median Mode
Y2 100 0 4.08 4.00 4
Y3 100 0 4.11 4.00 4
Y4 100 0 4.05 4.00 4
Y5 100 0 4.14 4.00 4
Y6 100 0 4.08 4.00 4
Y7 100 0 3.77 4.00 4
Total mean 4,04 Pada tataran dimensi ketrampilan teknik penyajian diajukan 7 indilator sebagai berikut: tulisan memenuhi syarat layak siar, menjaga akurasi, kejelasan dan keseimbangan dalam pemberitaan, tulisanberpihak pada kepentingan masyarakat, sanggup meralat jika berita salah, tidak mencampuradukkan fakta dan opini, memiliki kompetensi bahasa. Dari hasil analisis rata-rata diperoleh nilai 4.04 yang dapat dikatakan bahwa responden cenderung sangat setuju mengenai pernyataan yang menyangkut syarat sebuah tulisan di media massa. Tabel 7. Dimensi Kesadaran Profesional (variable Y)
N
Valid Missing
Y1
Y2
Y9
Y10
100
100 100 100 100 100 100 100 100
100
0
0
Y3
0
Y4
0
Y5
0
Y6
0
Y7
0
Y8
0
0
0
Mean
4.18 4.04 4.20 3.96 4.04 4.14 4.02 3.90 3.83 3.86
Median
4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
Mode
4
4
4
4
4
4
Total mean 3.64
118
4
4
4
4
Untuk dimensi kesadaran profesional ada 10 indikator yakni sebagai berikut: patuh pada kode etik junalistik, tidak memutarbalikkan fakta, tidak berlebihan dalam penyampaian informasi, mengutamakan idealisme dan profesionalitas, bertanggungjawab terhadap pemberitaan yang memiliki resiko menyinggung narasumber, menolak segala bentuk penyuapan, menghormati azas praduga tak bersalah, tidak melakukan plagiat (copy-paste berita), tidak menyiarkan keterangan off the record, tidak menyalahgunakan profesi untuk kekuasaan. Dari hasil analisis rata-rata menunjukkan nilai 3.64 yang dapat dimaknai bahwa responden cenderung setuju dengan pernyataan mengenai kesadaran profesional yang harus dipenuhi seorang wartawan. Tabel 8 Dimensi Pengetahuan (variable y)
Untuk dimensi pengetahuan ada 4 indikator yakni: ingin menguasai berbagai informasi, terdorong untuk terus membaca dan belajar, mampu bersaing sehat dengan wartawan lain lewat karya jurnalistik, mempertajam kepekaan jurnalistik.
119
Hasil analisis rata-rata diperoleh hasil 3.74 yang dapat dimaknai bahwa responden setuju dengan pernyataan mengenai pengetahuan yang harus dimiliki wartawan profesional. Pengetahuan merupakan faktor yang harus melekat dalam diri seorang wartawan. Tabel 9 Dimensi Kredibilitas (variabel y)
Dimensi kredibilitas mempunyai 4 indikator sebagai berikut: menjadi wartawan bukan semata untuk mencari nafkah, membangun akses ke narasumber untuk kepentingan umum, memiliki etos kerja wartawan, terdorong meraih jenjang karir kewartawanan. Hasil analisis rata-rata diperoleh nilai 3.79 yang dapat dimaknai bahwa responden setuju terhadap pernyataan-pernyataan mengenai kredibilitas wartawan yakni wartawan adalah suatu profsi yang dipercaya.
120
Tabel 10 Dimensi Kepuasan (variabel Y)
Pada dimensi kepuasan ada 3 indikator sebagai nerikut: SJI dapat membantu peningkatan jenjang karir struktural jabatan redaksional, SJI apat membantu peningkatan profesi fungsional wartawan, dengan SJI dapat meningkatkan kesejahteraan wartawan. Hasil analisis rata-rata diperoleh nilai 3.31 yang dapat dimaknai bahwa jawaban para responden berada pada rentang setuju dengan pernyataan-pernyataan mengenai kepuasan dengan karir wartawan. Analisis korelasi dan regresi
121
Dari hasil analisis korelasi dapat dikatakan bahwa variable X (pembelajaran di SJI) memiliki korelasi dengan variable Y (kualitas profesional wartawan) yang dapat dilihat dari nilai sig-2 tailed sebesar 0.004 yang menandakan bahwa terdapat korelasi antara variable X dan Y sebesar 0.784 yang berarti memiliki hubungan yang kuat. Ini dapat dimaknai juga bahwa pembelajaran di SJI mempunyai hubungan yang besar terhadap profesionalisme wartawan.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa variasi variable x (pembelajaran di SJI) berpengaruh terhadap variasi perubahan variable y (kualitas profesional wartawan) dengan besaran pengaruh sebesar 61.4% dan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Ini dapat dimaknai bahwa ada kontribusi atau pengaruh kuat pembelajaran di SJI terhadap kualitas profesional wartawan. Dengan demikian, H0 ditolak. c. Hasil analisis deskripsi penampilan media Untuk mendukung atau menguatkan hasil analisis statistik regresi di atas digunakan analisis deskripsi dengan kuesioner untuk para redaktur senior dan sejumlah pemimpin redaksi di media yang dipilih secara acak. Analisis ini sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kontribusi para alumni SJI terhadap kualitas atau penampilan media. Operasional variabel terdiri dari empat dimensi yakni: kualitas, kuantitas, relevansi dan manner yang masing-masing memiliki indikator sebagai berikut.
122
Tabel 11 Dimensi Kualitas
Dimensi kualitas terdiri dari 6 indikator yakni: penampilan media semakin bermutu dengan tulisan ekslusif, mampu menyajikan tulisan berkualitas, menjaga akurasi dengan cek, ricek dan dobel cek, wartawan sudah memiliki kreativitas dalam tugasnya, berusaha mencari data dukungan untuk memperkaya nilai informasi, memahami agenda masyarakat. Dari hasil ratarata diperoleh nilai 3.71 yang dapat diartikan bahwa responden setuju dengan pernyataan-pernyataan wartawan alumni SJI ikut memberi kontribusi dengan peningkatan karya jurnalistik mereka sehingga penampilan media pun ikut menjadi lebih baik. Tabel 12 Dimensi Kuantitas Y1 N
Y2
Y3
Y14
Y5
Valid Missing Mean
30 0 4.10
30 30 30 30 0 0 0 0 3.63 4.07 3.93 4.07
Median
4.00
4.00 4.00 4.00 4.00
Mode
5
4
Total mean 3.96
123
4
4
4
Pada tataran dimensi kuantitas ada 5 indikator sebagai berikut yakni: jumlah produksi karya wartawan meningkat, terdorong untuk membuat berita atau tulisan ekslusif, rajin ikut rapat redaksi, menambah target tulisan tanpa ditugaskan, menambah dan memperluas jaringan narasumber redaksi, Pada tingkatan ini diperoleh nilai rata-rata 3.96 yang dapat dimaknai bahwa para responden yang merupakan redaktur senior dan pemimpin redaksi setuju dengan peran wartawan alumni SJI yang telah menunjukkan sikap atau dorongan untuk meningkatkan hasil karya mereka dan memperluas jaringan narasumber. Tabel 13 Dimensi Relevansi
N
Valid Missing
Y1
Y2
Y3
Y4
30
30
30
30
0
0
0
0
Mean
3.97
4.13
3.57
4.07
Median
4.00
4.00
4.00
4.00
4
4
4
Mode
Total mean 3.93
Pada tingkatan dimensi relevansi ada 4 indikator yakni: mengerti kepentingan media, memahami sistem jabatan struktural di dalam redaksi, ikut aktif dalam diskusi dan memiliki kepedulian terhadap perkembangan media. Dari hasil analisis rata-rata diperoleh nilai 3.93 yang dapat diartikan bahwa responden setuju dengan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan kontribusi wartawan alumni SJI yang juga ikut peduli dengan masalah media.
124
Tabel 14 Dimensi Manner
Pada dimensi manner ada 5 indikator yakni: menghindari konflik internal dan eksternal; meminimalisir pelanggaran kaidah jurnalistik, wartawan berinisiatif untuk ikut mengatasi keterbatasan media, memiliki etos kerja yang membanggakan, dan memahami posisinya antara media dan masyarakat. Dari hasil analisis rata-rata diperoleh nilai 3.78 yang dapat dimaknai bahwa responden setuju dengan pernyataan-pernyataan yang menggambarkan sikap wartawan alumni SJI. Ini juga dapat diartikan bahwa para wartawan alumni SJI berhasil menunjukkan kontribusi pada penampilan medianya. Dari empat dimensi mengenai penampilan media menunjukkan bahwa hasil belajar di SJI ikut mewarnai penampilan media dengan kehadiran para alumni SJI di berbagai media.
125
Simpulan Setiap penelitian tentu berakhir dengan suatu simpulan guna menjawab tujuan penelitian. Dari hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pembelajaran di SJI memberi pengaruh kuat pada profesionalisme wartawan. Temuan ini didukung oleh para redaktur dan pemimpin redaksi melalui analisis deskripsi penampilan media yang menggambarkan bahwa para wartawan alumni SJI juga memberi kontribusi nyata terhadap kualitas penampilan media. Ini menunjukkan peranserta wartawan dalam SJI dapat memberi perubahan dalam peningkatan karirnya. Dengan demikian sebuah proses belajar jurnalistik pada hakikatnya juga dapat memberi manfaat positif terhadap kualitas profesional wartawan. Saran Pada tataran konseptual dan teoretis perlu penelitian lanjutan seperti menggunakan analisis jalur untuk mengetahui efektivitas pendidikan di SJI dan analisis isi karya-karya jurnalistik wartawan alumni SJI untuk mengetahui bagaimana implementasi kode etik jurnalistik berita dalam tulisan wartawan. Daftar Pustaka McQuail, Denis. 2006. Media Performance, Mass Communication and the Public Interest. London: Sage Publications Shoemaker. Pamela J. Stephen D.Reese. 1991. Mediating Message, Theories of Influences on Mass Media Content. NY: Longman Publishers Jeffres, Leo W, 2009. Mass Media Process and Effects. USA Waveland Press,Inc Sammut, Carmen. 2007. Media and Maltese Society. Lanham: Rowman and Littlefield Publishers, Inc.
126
DAFTAR ALUMNI SJI TAHUN 2010-2013
ANGKATAN 2010 SUMATERA SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
NAMA Dudy Oskandar Yenny Putriana Yenny Putriana Nesthi Kartika Utama Fatkurrohman Elan Aryansah, SKU Hendra Kusuma Eko Adia Saputra Martha Hendratmo
MEDIA Berita Pagi Berita Pagi Berita Pagi Berita Pagi Trijaya FM SKU. Jembatan Informasi Sriwijaya Post Sriwijaya Post Sumatera Ekspres
127
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Syafran Martoni Haryanto Deni Andriyadi Ahmad Subari Hj. Helma Haris Swastika Libraryan Okta Sinandar Sapayona Asih Wahyu Rini Darfian Maharjaya Ella Sulistiana Ibrahim Arsyad Ria Octareza Aditiya A Muzhar Apandi Kurniawan Icuk M Sakir Adrianeka Basyir
Sumatera Ekspres Palembang Pos Palembang Pos Majalah Gradasi Majalah Rotasi Sentral Pos Radar Palembang Radar Palembang Seputar Indonesia Palembang Ekspres LKBN Antara Majalah Suara Reformasi RRI Cabang Madya Palembang Sriwijaya TV SK. Agung Post Majalah Arung SK. Jurnal Sumatera
128
SUMATERA SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN II NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA Dolly Rosana Suzan Oktaria M. Khairul Yusuf Lusi Apriyani Susilawati M. Irfan Bahri Budiansyah A. Ridhuan Habena Rosa Ria Aprina Bovend Saor Sitinjak Haris Suprapto M. Asif Ardiansyah Hazmin Sagara Intan Permatasari MBI Rotasi Hendri Tiara Kurnia Mahesa Muhidin Ferion Ehdi Amin Ansyori Malik Amriza Nursatria Rizky Perdana A. Rahman Hakim
MEDIA LKBN Antara Palembang TV HB. Radar Palembang LPM Gelora Sriwijaya LKBN Antara Sumatera Ekspres Berita Pagi Majalah Suara Reformasi Majalah Berita Gradasi Radio Sonora Palembang Berita Pagi HB. Radar Palembang Trijaya FM MBI Rotasi Palembang Pos HU. Sentral Pos MBI Rotasi Majalah Arung Berita Pagi Sumatera Ekspres TVRI Sumsel Palembang Pos HU. Sentral Pos
129
SUMATERA SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN III NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA Amiriansyah Anton Radianto Fadli Aprianto Arinah Fransori Arris Ferditian David Karnain Pahlefi Edward Desmamora Ela Armila Emi Afrilia Febri Hardiyani Firman Hidayat Friday T. Kurniawan Hensyi Fitriansyah Hesty Ana Astutiana Jon Golkar Mamnuro’aini Mellyamaliza Tambunan Nila Ertina Revie Juniarti Rian Resesi Rini Pujiati Ujang Idrus Yudhi Afriandi
130
MEDIA Berita Pagi Berita Pagi Palembang TV LPM Gelora Sriwijaya Radar Palembang Radar Palembang Sumatera Ekspres Sumsel Post Majalah Arung Majalah Arung Palembang TV Suara Nusantara Koran Harian Topskor Sriwijaya TV Radio Trijaya FM Palembang Pos Sentral Pos LKBN Antara LPM Gelora Sriwijaya Radio Sonora Palembang Sumsel Post LKBN Antara Sumatera Ekspres
JAWA TENGAH TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA Edyana Ratna Nurmaya Jokomono Arif Widodo Zusuf Pradana Sarbiyanto Feetra Yulia Aris Mulyawan Tutuk Toto Carito Hasan Hamid Eko Ananto M. Firdaus Ghozali Citra Banch Saldy Zuhdiar Laeis Sasi Pujiati Nurul Muttaqin Gautama Eka Handriana Dini Tri W Bambang Gusaeri Agus Hartato Iklimah Heru Fajar I Andhika Henry S
131
MEDIA Suara Merdeka Cyber News Suara Merdeka Suara Merdeka TV Ku Suara Merdeka RRI Semarang Suara Merdeka TV Ku Suara Merdeka Radio Dais Suara Merdeka Suara Merdeka LKBN Antara Suara Merdeka Suara Merdeka RRI Semarang Harian Meteor Suara Merdeka Tabloid Otospeed Cakra Semarang TV Koran Sore Wawasan Tabloid Otospeed Tabloid Otospeed
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Agus Widarto Adhitia Armitrianto Wisnu Saiful Akbar Ebruanita Rachmawati Wawan Hermawan Susi Wahyuni Mochammad Kurniadi M. Deni Puji Yuliyanto Agus Yuliyono Ruli Aditio E. Y. S. Hermansah Ali Muntoha Wisnu Adhi Nugroho Noviar Yudho P Dwi Ariadi Bayu Bagas H Mawarni Dewi BR Manik Eko Budiyanto N. Vallen Aztriko Farida Wulandari Citra Ayu K Bayu Bogiantoro
132
Tabloid Otospeed Suara Merdeka Tabloid Otospeed Pro TV Forkom TVRI Pro TV Tabloid Otospeed Tabloid Otospeed Suara Merdeka TVRI Koran Sore Wawasan LKBN Antara Suara Merdeka Suara Merdeka RRI Semarang Koran Sore Wawasan Cakra Semarang TV Suara Merdeka Cyber News Forkom Forkom Tabloid Otospeed
KALIMANTAN TIMUR TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
NAMA IRWANTO SIANTURI NOR ARIF YENOS FATLIASTIOKO ABDUL HAMID HERIYANTO MUHAMMAD TAUFIK A AHMAD YANI NUR AISYAH P.S GEAFRY NECOLSEM ZAINAL ABIDIN IMRON KATONO MUSAWIR SABRI YOSEPTI MUHAMMAD R.S MARIA IFRONISIA SRI HANDAYANI Jen Retno Sari Fariyanto RAYI ENDAH PRAMESTIE MAYA SARIE INDAH A.AZ ADNAN SAMMY LAURENS RUDY MALLISA SULKIFLI
133
MEDIA Majalah Publik News Majalah SAHABAT Tabloid Manuntung Pos Kota Kaltim Majalah Fenomena Kaltim Ekspres Tabloid Manuntung Peser TV Tribun Kaltim Warta Nasional Tribun Kaltim Suara Borneo Online Paser TV Balikpapan Pos Manuntung TV TV.Beruang Manuntung TV TV.Beruang Balikpapan Pos Kaltim Ekspres Tribun Kaltim BKV CHANNEL Majalah Info Bpp TVRI Kaltim
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
JAWA BARAT TAHAP DASAR ANGKATAN I NAMA MEDIA Acep Mustika Aspirasi Rakyat Achmad A Basith Radio PR Fm Anwar Effendi Skm. Berita Sumbar As Maruli Skm. Polkrim Bagoes Rinthoadi Majalah Arcom Budi Suwarno RRI Dadang Juanda Koran Seputar Jabar Danny Djatnika Sks. Giwangkara Denny Kusmana Sku. Fajar Pos Dian Sulistianto Koran BOM Dimas Siregar Majalah Diurna Doni Budiman Majalah Otoritas Doni Prasetya Radio Lita Fm Erwin Widiagiri Kabar Priangan Ferry Ardiansyah HU. M2 Media Ghiok Riswoto Kabar Cirebon H.A.R. Rohim HU Galamedia H. M. Hendi Sks. Giwangkara Hanif Hafsari HU Pikiran Rakyat Heriyadi Tabloid Jelajah Huminca Sinaga HU Pikiran Rakyat I. Gunawan onlineberita.com Ibnu Bukhari HU Pikiran Rakyat Irfab Suryadi HU Pikiran Rakyat
134
ANGKATAN 2011 LAMPUNG TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
NAMA Iyar Jarkasih Agung Ghazaldi Hot Din Sihotang Agus Hermanto Robertus Bejo Gatot Afrianto Imam Setiawan Sapto Firmansis Zainal Arifin Oon Darmawan Iman Kristian Ali Nanang Ali Hamid Masrianto Ahmad Muslim Pahlibi Ivandri Safria Septri Yana Sari Amalia Rosdiana Akuntar Hermanto
MEDIA Lampung Post RRI Lampung Kupas Tuntas Lampung Post PD-PRSSNI Lampung LKBN Antara Radar Group Skm Dinamika News Handal Lampung Siger TV LKBN Antara Tegar TV Skm. Handal Lampung Agsi Post Skm. Inspirasi News Skm. Media Merdeka Bongkar Post Bongkar Post Skm. Inspirasi News Abadi News
135
21 22 23 24 25 26
Heri Suheri Johansyah Iskandar Alsan Hidaryadi Rasyid Lukman Hakim Mahatma Gandhi
Trans Lampung Skm. Inti Jaya Skm. Inti Jaya Skm. Suara Rakyat Indonesia Media Nasional Harian Lampung
JAWA TENGAH TAHAP DASAR ANGKATAN II NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
NAMA Abdoel Alim Wicaksono Achmad Rifki Ahmad Hakim, S.H.I Anggun Puspitoningrum Indah Wulandari M. Syafi i Nugroho Aris Wasita Widiastuti Arizona Galih Intan Hidayat Indah Wulandari Rizki Nisita Kunadi Lissa Febrina M. Wahyu Hamijaya Pitra Kurniawan
136
MEDIA Koran Pelita Cybernews Suara Merdeka Majalah Mitra Pos Suara Merdeka RRI Radio Dais Harian Semarang TV Borobudur Rasika FM RRI Semarang SM Cybernews Suara Merdeka Harian Semarang Warta Pos Tabloid Cempaka
SUMATERA SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN IV NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
NAMA Nora Juwita Erika Sepriyanti Reddy Fasagit Ary Priyanto Endang Fahrudin Suprapto Ramadhan Iwan Cheristian Muhammad Asri Henry Simamora M Azhari Zein Edwinsyah Nurmala Purwito M Iqbal HS Andi Tenri Atika Wardoyo Ashria Monarika Ria Amelia Nurhayati Triyatno Rusdi W Fran Iskandar Asni Karnila
MEDIA BeritaPagi Palembang Pos BeritaPagi
Mingguan Jurnal Media Online Palembang
Buletin Metropolis
Buana Sumsel
137
25 26 27 28 29 30
Isyadi Syaiful Indra Irawan Heriyati Syafriawansyah Muhammad Ajib Ahmad Natadinata
KALIMANTAN SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
NAMA Toto Fachruddin Syam Indra Pratama Hanani Nur Muhibbatur Rahmah Rusbandi Hayati Riswan Irfani Elsa Pratiwi Zainal Hakim Herry Murdy Hermawan Fazrina Oktarine M. Ridha Ibrahim Ashabirin Roselita Riani Suhardian
138
MEDIA Radar Banjarmasin Radar Banjarmasin Banjarmasin Post Group TV One Kalimantan Post Banjar TV Radio Smart FM Duta TV Metro TV LKBN ANTARA Banjarmasin Banjar TV Media Kalimantan Banjarmasin Post Group Abdi Persada FM Duta TV
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Anjar Wulandari Nurhikmah Widi Gunawan Didin Ariyadi Abrar Effendi Andi Oktaviani Arsuma Saputra Syaiful Anwar Baktiansyah Muji Setiawan Iman Satria Ibnu Fatih Syarkawi Aspihan Zain Hariyadi M. Sidik Budi Alamsyah Firdaus Ahmad Yani Eddy Dharmawan Sarbani Sabran Abdurrahman Al-Hakim Ahmad Rasidi Moch. Muhadjir AB
139
Banjarmasin Post Group Abdi Persada FM LPP RRI Banjarmasin Tb. Bisnis Kita TV B Media Kalimantan Barito Post Banjarmasin Post Group Duta TV TV B Barito Post TVRI Kalimantan Selatan Radio Chandra Barito Post Borneo TV Radio Nirwana TVRI Kalimantan Selatan Media Kalimantan Mata Banua Tb. Bisnis Kita Kalimantan Post Mata Banua Global TV Borneo News
JAMBI TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA Kandi Silalahi M. Hifni Sandy Pusaka Herman Saiful Roswandi Yunita Pini Sugianto Suheri Adullah Joko Susilo, SH Zalman Chandra Purnomo Wiliatno Ajie Sri Junalia Yeniti Darma A. Roni Hery FR Herri Novealdi Izwan Sholimin Aldi Panri Rakhman Fadillah Sudaryanto Sabar Yusminardi Mahmil Doli Maulana
140
MEDIA Bungo Pos Aksi Pos Radar Tanjab Jambi TV TVRI Jambi TVRI Jambi Radar Tanjab Pos Metro Jambi Pos Metro Jambi Jambi Independent Jek TV Jambi Ekspres Media Jambi News KPK Jambi Info Jambi.com Pos Metro Jambi Info Jambi.com Sindo TV Jambi Ekspres Suara Jambi Metro Jambi com Mimbar Pos Jambi TV
SULAWESI SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3
NAMA Indah Arifah Febriyani Ridha Yenita, ST Sriyanto Alwina Handayani
4
Rizka Hakim, SE
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Wira Tri Putra Fredrikus Wolgabrink Sabini Hartini Habib Christianto SS Apolonia Ineru Bahali Arifuddin Chairul Hasan Kuba Andi Trio Rimbawan Suhardi Zainal Idris
141
MEDIA Makassar TV TVRI Sulsel SKM. Fajar Pendidikan Harian Berita Kota Makassar Tab. News Pratama Universitas Fajar Majalah Cahaya RRI Makassar Universitas Fajar Ujungpandang Ekspres Tab. Lintas Ujungpandang Ekspres Tab. Info Al Amin Universitas Fajar
KALIMANTAN TIMUR TAHAP DASAR ANGKATAN II NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA ACHMAD KAHAR ARDANA RISWARI AWALLUDIN JALIL DONI SAPUTRA DIYAH PALUPI HAYRU ABDI IRWAN WADI, Spdi LIS INDARTI LINA MARLIANA LUKMAN, SE MAIPAH MARGA RAHAYU METALIANDA, SH MUKHASAN AJIB MASKARYADIANSYAH,MS NURALIM DIDIK SETIYAWAN TYA GUSMARINI TJAHYO ADI PRASETYO YUDI TOLUENA MIYARJO WIWIK DWI RETNOWATI SEPTINI MULA DEWI JANTUR RACHMADI
142
MEDIA SUARA PASER TVRI KALTIM B. MAGEZINE METRO INDONESIA RADIO BORNEO VIVA BORNEO ONLINE MJLH. EKSEKUTOR TVRI KALTIM VIVA BORNEO ONLINE MJLH. BISNIS KALTIM TRIBUN KALTIM RRI SAMARINDA RRI SAMARINDA KALPOST METRO INDONESIA MJLH.EKSEKUTOR METRO INDONESIA METRO INDONESIA EKSPRESI PLUS KALTIM PASER TV EKSPRESI PLUS KALTIM MJLH. BISNIS KALTIM SATU BORNEO
24 25 26 27
HAFIDZ PRASETYO SURYA ADHIE DHARMA H.FAJAR FAHRUDIN HERRY KOESWOYO
143
SATU BORNEO SATU BORNEO MJLH. BISNIS KALTIM KALPOST
ANGKATAN 2012 SUMATERA SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN IV NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
NAMA Rendra Yudha Irwanto Agustriawan Rani Laksmi Sulaiman Gus Munir Ardani Zuhri Roky Pratama Adi Asmara Joni Irwanto M. Shetyawan Rizcky Trisno Yosep Indra Praja Herman Sawiran Mellawati Suhardi Syarif Umar Kurnia Efridayanti Asmidan Eddi Hasan Yudi Yansyah Nesis Silviana
MEDIA Radar Palembang Berita Pagi Sumatera Ekspres Tabloid Monica Pal TV Sumatera Ekspres Sriwijaya Post RRI Sentral Pos Inmanas Sriwijaya TV Palembang Ekspres Palembang Today Suara Nusantara Sumsel Post Palembang Pos Sumsel Post Ampera Post Suara Nusantara Sumsel Post Berita Pagi sikapkita.com
144
23 24
Yasandi Yuhermi
Musi Expo Independent Post SUMATERA SELATAN TAHAP MADYA ANGKATAN I
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
NAMA Amelia Friza Aprianto Yanti Yudi Abdullah Rendi Fadilah Anton Radianto Fadli Hensy Fitriansyah Pipin SJ Quata Akda Wahyu Hidayat Anwar Kurniawan G NM. Charles Anhar Fahrurrozi Ferly Marison David K. Pahlefi Edwinsah Satria Maniso Nefri Inge Bubun Kurniadi M. Arfan M. Teguh
MEDIA Sumsel Pos Pal TV Palembang Pos LKBN Antara Sumatera Ekspres Berita Pagi Buana Sumsel Ampera Post Sumatera Ekspres Sentral Pos Pal Day Jembatan Informasi Sumatera Ekspres Berita Pagi Radar Palembang Suara Nusantara Suara Nusantara Palembang Ekspres Sumsel Pos Harian Banyuasin Palembang Today
145
22 23 24
Neni Fetty Apriliani Nova Ariana
Sumatera Ekspres Sentral Pos RRI
JAWA TENGAH TAHAP DASAR ANGKATAN III NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
NAMA Wahib Dito Anurogo Muslimah I N Winata Hantoro Wibowo Setyo Triwahono Rizky Septiana Susanti Hartatik Nurul Yoha Pratidina Agung Cahyono Sumarni Utamining Krisnaji Satriawan Dadang Kurniawan Nurhesti Imaniastuti Laurentia Lucky Trisari Wardani Wara Merdekawati Tiko Septianto Sunardi R Maulana Noor Tanto
146
MEDIA Radar Semarang Psikologi Plus Warta Jateng Cakra Semarang TV Kompas TV Lifestyle suaramerdeka.com Suara Merdeka Radar Semarang Cakra Semarang TV Prosekutor Suara Merdeka TV Ku TV Ku Warta Jateng Harian Semarang suaramerdeka.com Wawasan TVRI Jateng
20 21 22 23 24 25 26 27
Sulistio Widodo Andik Sismanto Shabrina Putri Arifati Felek Wahyu Prehatiningsih Widyastuti Bayu Kurniawan Abdul Aziz Gegap Imam Pribadi
TVRI Jateng Seputar Indonesia Media Korpri Wawasan Radio Dais Majalah Fakta Radio Dais Sindo FM
JAWA TENGAH TAHAP MADYA ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
NAMA Agung Mumpuni Ida Nur Layla Arif Riyanto Maratun Nasihah Agus Sutiyono Saptono Joko S Eko Edi Nuryanto Surya Yuli Adib Auliawan Agus Widarto Valentina Estiningsih Mohamad Annas Masturi Syafaat
MEDIA Tabloid Cempaka Radar Semarang Radar Semarang Suara Merdeka TV Borobudur Suara Merdeka Tabloid Cempaka Suara Merdeka Suara Merdeka.com Tabloid Otospeed Tabloid Cempaka Suara Merdeka PRO TV
147
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Dian Chandra Restu Indah Wahyuni Panji Joko Satrio Danang Catur Prakoso Senot Puji Sujarwanto Rony Yuwono Sucito Danang Kurniawan Amalia Ardilla Sari Edyna Ratna Nurmaya Ali Arifin Joko Ariyanto Nur Istibsaroh Agus Yuliyanto Agus Heriyanto Indie Fiancoko Laras Wahyu Gandaningrum
148
Suara Merdeka TVKU Harian Semarang TVKU TV Borobudur Suara Merdeka Wawasan Tabloid Warta Pos Media Korpri Suara Merdeka.com Suara Merdeka Tabloid Warta Pos LKBN Antara Tabloid Berita Kita RRI Semarang Tabloid Otospeed Media Korpri
JAMBI TAHAP DASAR ANGKATAN II NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA Dedi Rahmawan Maya Dewi Effendi Dedi Andriansyah Abdul Qodir Agustri Andi Prima Putra Ardian Fasal Arif Rahman Aswardi Badril Doni David Mursal Dwi S Fahrual Hendra Fuadi Jauheri Sandi Joni Firdaus Kesriadi Kholistiono Khumaini Lery Rida Daulay lukman Hakim Luthfi Amri M Hanil
MEDIA
149
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Maya Asmita Muamar Sholihin Muhammad Husein Mulyono Eko Musdalifah Raden Suhur Ridwan Romawan Rudy Ichwan Rustam Aji Safrial Sulaiman Syafi’i Syapril Ulwi Venni Weni Wulan Sari Wentyaniz Yoce Kartika Sari
150
KALIMANTAN TENGAH TAHAP DASAR ANGKATAN I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
NAMA Septina Trisnawati Bambang Hermanto Indra Sanjaya Desy Natalia Rafiudin Muhammad Yusri Arianata Fery Wahyudi Ria Pratiwi M. Habbibi Ronny Nuelson Tumon Indra Lesmana Adi Wibowo Robertson
151
MEDIA RRI Palangkaraya Harian Tabengan Harian Fattala Radio Barigas Harian Borneo News Harian Fattala Harian Palangka Post Harian Palangka Ekspres Radio Barigas Harian Palangka Post LKBN Antara Radio Bravo Harian Palangka Post Borneo TV
KALIMANTAN TIMUR TAHAP DASAR ANGKATAN III NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
NAMA GEAFRY NECOLSEN MARIA IFRONISIA RUDY MALLISA NOR ARIF JEN RETNO SARI FARIYANTO AHMAD YANI SABRI MUSAWIR RAYI ENDAH PRAMESTIE IRWANTO SIANTURI SULKIFLI ABDUL HAMID KATONO MAYA SARIE INDAH ANGRAINI IMRON Z. ABIDIN YOSEP MUHAMMAD R.S MUHAMMAD TAUFIK SRI HANDAYANI HERIYANTO NUR AISYAH PURNAMA SARI YENOS FATLIASTIOKO
152
MEDIA
23 24 25
IMELDA ANWAR SYACHRUDDIN ADNAN KALIMANTAN SELATAN TAHAP DASAR ANGKATAN II
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
NAMA Nasrullah Rahmatillah Firman M. Helman Gelyrian M. Fikriandy M. Aulia Rahman M. Rizky Nurgraha Muhail Zoeanda Adriani Fadli Azhari Afdiannoor Rahmanata Jumadi Mega Novarina DA Evi Dwi Herliyanti Hermawansyah Mahfuz Suhardadi Edi Nugroho
153
MEDIA Radar Banjarmasin Duta TV Media Kalimantan Nirwana FM kalimantan Post Gol FM Radar Banjarmasin Banjar TV TV B Kompas TV B Kompas Barito Post Banjarmasin Post Group Smart FM Duta TV Suaka Mata Banua Duta TV Banjarmasin Post Group
19 20 21 22 23 24 25 26 27
Fadli Rizki Andrianto M. Ediyansyah Slamet Riadi Ruslaini Hifni Ahmad Korry Yunus Samsu Rizal Basri Noordin Indra Samsuddin Noor
Duta TV Harapan Rakyat Media Kalimantan Teropong Kalimantan Post Target Post Mata Banua Orbit Post Abdi Persada FM
LAMPUNG TAHAP DASAR ANGKATAN II NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAMA Imam Setiawan Iyar Jarkasi Agus Hermanto Gatot Arifianto Kristian Ali Nanang Ali Hamid Zainal Arifin Rasyid Johansyah Iskandar Alsan Hidaryadi Sapto Firmansis Agung Ghazaldi
MEDIA Radar Group Lampung Post Lampung Post LKBN Antara Lampung LKBN Antara Lampung Tegar TV Handal Lampung SKM Suara Rakyat SKM Inti Jaya SKM Inti Jaya SKM Dinamika News LPP RRI Lampung
154
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Masrianto Akuntar Hot Din Sitohang, SE Pahlibi Ivandri Savria Ahmad Muslim Mahatma Gandhi Oon Darmawan Iman Robertus Bejo Hermanto Septri Yana Sari Amalia Rosdiana Lukman Hakim
155
SKM Handal Lampung SKM Inspirasi News SKM Media Merdeka SKM Inspirasi News SKM Media Merdeka Agsi Post Harian Lampung Siger TV PD-PRSSNI Lampung Abadi News Bongkar Post Bongkar Post Media Nasional