Oleh: Marah Sakti Siregar
Ketua Bidang Pendidikan PWI Ketua Umum Yayasan Sekolah Jurnalisme Indonesia
Pers Indonesia menikmati kemerdekaannya setelah reformasi. UU no 40/1999 memastikan: pers bukan cuma bebas, tapi merdeka: melakukan semua fungsinya terutama kontrol sosial. Tak ada sensor dan bredel, tak perlu SIUPP untuk terbitkan media cetak, dan pemerintah diharamkan mengatur kehidupan pers. Sebagai gantinya UU Pers menetapkan Dewan Pers independen yang menjadi institusi pengawas pemberitaan pers (mengawasi dan menilai implementasi penaatan KEJ) dan menerima pengaduan masyarakat atas pemberitaan pers. (Pasal 15 ayat 2).
Memberdayakan pers Indonesia yang tidur dan tak berkutik dalam mengontrol kekuasaan selama 30 tahun sistem politik pers otoriter Orde Baru. Sistem politik lama menyebabkan kekuasaan (terutama pemerintah) menjadi sangat kuat, korup dan tak terkontrol. Sistem pers otoriter menyebabkan mutu jurnalisme Indonesia sangat rendah. Dengan reformasi diharapkan: Pers menjadi kuat, berdaya dan profesional. Mutu kontrol sosial dan implementasi jurnalisme akan meningkat. Akan bermunculan media berkualitas (quality media).
Baru segelintir saja harapan itu terwujud. Pers memang sudah kuat dan merdeka. Tapi, mutu jurnalismenya sebenarnya tidak membaik secara signifikan. Ini penilaian para pakar pers, praktisi serta para akademisi jurnalistik dan komunikasi. Rujukannya, pengaduan atau komplain masyarakat atas kinerja pers kepada Dewan Pers masih cukup tinggi. Laporan terbaru komplain masyarakat ke Dewan Pers (2010-2012) memang merisaukan: sekitar 70 persen dari semua pengaduan (rata-rata masih di atas angka 500 pengaduan per tahun) merujuk terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik.
Rincian penilaian DP menyebut, pelanggaran itu berupa: penulisan berita yang tidak berimbang (30 persen), mencampurkan fakta dengan opini menghakimi (24 persen), kurang konfirmasi dan verifikasi (20 persen), dan tidak akurat (14 persen). Hal yang sebenarnya merupakan "masalah elementer" dalam praktik jurnalisme. Selain aduan untuk media cetak, DP juga menerima "limpahan pengaduan" dari KPI berupa komplain masyarakat atas praktik jurnalisme televisi. Tahun 2011 cuma 9 pengaduan, tapi 2012 meningkat jadi 17 pengaduan. Sepintas jumlah komplain itu kecil. Tapi, ruang lingkup dan kasusnya menarik perhatian publik. Maklum, pemirsa televisi paling besar dibandingkan media lainnya.
Metro TV dan TV One sebagai tv berita, termasuk di
TV One (Maret 2010) pernah dipermasalahkan karena
TV One juga pernah beberapa kali memuat berita tanpa
antara tv yg sering diadukan/dikomplain karena masalah jurnalisme. Keduanya, misalnya, pada 2011 pernah dikecam dan berseteru dengan Menseskab Dipo Alam yang menuding pemberitaan mereka tidak berimbang dan bertendensi menjelek-jelekkan pemerintah. Metro TV sempat menggugat Dipo Alam, tapi kalah di pengadilan. menampilkan langsung narasumber makelar kasus kelas kakap kasus SIM dan STNK di Mabes Polri. Polri kemudian menciduk narsum itu. Sang narsum kemudian mengaku "bekerjasama" dengan awal TV One untuk tampil di layar tv swasta itu.
konfirmasi. Antara lain: meninggalnya pengubah lagu Bengawasan Solo, Gesang yang sebenarnya masih dirawat di RS.
Ketidakakuratan lain pernah dilakukan stasiun tv lain. RCTI dengan kasus dugaan mistis yg mencemaskan penduduk ketika terjadi letusan Gunung Merapi. Yakni, dramatisasi makna dari musibah gunung meletus itu dengan menyebutkan: "Yogya kota Malapetaka. Yogya akan rata dengan tanah." Menyebabkan Sultan HB X marah dan mengadukan tv itu ke DP dan pihak berwajib.
Kebiasaan tv mendramatisasi dan mengulangulang berita yang sudah ditayangkannya, merupakan ihwal yg sering dipersoalkan publik.
Yang paling menghebohkan, KPI pernah melaporkan ke DP (April 2010) rekaman tayangan tujuh stasiun tv: Metro TV, Global TV, SCTV, RCTI, ANTV, Trans TV, dan Trans 7 yang telah menayangkan kronologi seorang pelaku bunuh diri di Jember, Jawa Timur secara vulgar. Lengkap. Dari mulai pelaku naik ke papan reklame, lalu dibujuk polisi, sampai kemudian dia terjun dan tubuhnya remuk berdarah-darah.
Mengejar gambar faktual yang dramatis adalah sasaran hampir semua televisi. Ratings informasi jenis ini biasanya lebih tinggi ketimbang informasi datar dengan gambar yang tidak dramatis. Makanya, tak heran, jika awal tv terus menguber berita atau informasi jenis ini. Tak jarang, untuk itu mereka sering mengabaikan norma KEJ dan SPS KPI. Catatan lengkap tentang itu ada di DP dan KPI.
Efek kebijakan mencari berita dramatis itu menyebabkan jurnalis tv makin sering menampilkan berita aksi kekerasan, konflik, tawuran, amuk massa, malah pertikaian bersenjata. Gempuran polisi terhadap rumah atau markas terduga teroris, misalnya, ditayangkan telanjang tanpa memikirkan efeknya pada pemirsa. Kritik atas sajian tv yang bisa mengganggu kenyamanan pemirsa itu sudah sering ter dengar. Yang paling baru, Joko Wahyono, analis politik pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kaijaga, Yogyakarta, menulis, dengan pemberitaan gencar serangkaian aksi kekerasan; “Media atau televisi tampak menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan luapan emosi, amarah dan kecenderungan destruktif manusia secara wajar," (Kompas, 22 April 2013).
Mereka, seperti pernah dikecam pakar jurnalistik terkenal Amerika Serikat, Neil Postman (1984), "menerjemahkan semua tema sajian tv " ke format menghibur. Tekanan kebutuhan komersial (ratings) adalah penyebab utama jurnalisme tv kita terseret ke arah penyajian informasi remeh-temeh. "Akibatnya, kedamaian dan rasa aman masyarakat menjadi kian terkoyak ketika letupan-letupan kekerasan itu terlihat semakin tajam, sadis dan dramatis ketika diberitakan.“ (Joko Wahyono, analis politik pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kaijaga, Yogyakarta)
Liputan investigasi sebagai produk Jurnalisme Investigasi kurang begitu muncul di layar teve. Kalau pun ada, durasinya masih minim dan jam tayangnya tidak berada di prime time. Celakanya, mungkin karena kebutuhan mengejar sasaran "hiburan" tadi ada televisi swasta di Jakarta yang rutin menyiarkan program yang mereka sebut: "Liputan Investigasi Selebriti“
Sudah pastilah itu cuma siasat jualan Programming stasiun teve tersebut. Liputan jurnalistik berkualitas macam Investigative Reporting memang masih merupakan sesuatu yg langka di media kita.
Porsinya masih sangat terbatas, baik di media cetak maupun eletronik. Di media cetak Liputan Investigasi masih sering muncul di Majalah Berita Mingguan Tempo, dan sesekali Majalah Gatra. SK Kompas, koran nasional terbesar, pernah ada liputan invesigasi tapi sekarang nyaris tak terdengar. Di tv hampir sama keadaannya. Metro TV memiliki program laporan investigasi bertajuk Realitas. RCTI (Delik), SCTV (Sigi) dan TVOne (Telusur). Sayangnya, semuanya ditayangkan di luar waktu utama siaran tv.
Selain kekerasan, sajian informasi tv sering juga dikritik karena lebih berorientasi "menghibur" ketimbang menjelaskan dan mengungkap duduk masalah informasi yang disajikannya sesuai tuntutan publik. Alasan "kurang laku dijual" menjadi sebab liputan investigasi menjadi kurang dan tidak berkembang di media kita. Padahal, kondisi dan situasi di Indonesia pasca reformasi sudah sangat memungkinkan tumbuh suburnya praktik Liputan Investigasi.
Merajalelanya praktik korupsi, suap, praktik manipulasi, penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang pejabat publik, mafia peradilan, mafia hukum, dan praktik permainan atau kolaborasi penguasa dan pengusaha terus meruyak belakangan ini di Indonesia.
Buku Pintar Kompas 2012--, buku ini merekam intisari berita utama enam koran yang terbit di Jakarta: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia dan Indopos-mencatat bahwa di antara topik berita yang paling banyak menghiasi koran-koran tersebut dalam tiga tahun terakhir (2010-2012) adalah berita korupsi.
Pengungkapan kasus korupsi umumnya didominasi oleh KPK, dan dalam skala terbatas oleh Kejaksaan Agung dan Polri. Tidak ada satu pun dari 10 isu besar kasus dugaan korupsi (total isu sebanyak 111 isu tahun 2012) a,l: Century, Wisma Atlet, Kasus Hambalang, Mafia Pajak, Mafia Anggran, Simulator SIM, suap Buol) yang berawal dari Liputan Investigasi media. Kemampuan media kita memang baru sekedar memberitakan, mengembangkan dan mendramatisir kasus dugaan korupsi yang diproses aparat penegak hukum.
Kalau pun ada Liputan Investigasi yang dilakukan media kita, itu bukanlah orisinal hasil liputan investigasi mereka seperti yang digariskan Robert Greene, wartawan koran Newsday, AS, peraih hadiah Pulitzer 1970 dan 1974, melainkan tindak lanjut dari kasus dugaan korupsi, manipulasi, suap dll, yang sudah dibeberkan KPK atau penegak hukum lainnya.
Itulah ironi yang kita lihat dan rasakan. Di Amerika Serikat, pada abad ke-19 Liputan Investigasi lahir dan marak karena meruyaknya pelbagai kasus korupsi, manipulasi dan penyalahgunaan oleh pejabat publik. Presiden Theodore ‘Teddy’ Roosevelt (1858-1909) memuji dan memberi perhatian khusus pada langkah liputan investigatif pers kala itu yang disebutnya sebagai muckracker, alat pembersih kotoran.
Pers Indonesia tidak mengenal tradisi Liputan atau Jurnalisme Investigasi? Sepertinya tidak. Wartawan kawakan Mochtar Lubis, sesungguhnya termasuk salah satu jurnalis yang kerap menyiarkan berita investigasi lewat surat kabarnya: Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974). Mochtar tercatat gencar melakukan penyiaran berita hasil investigasinya tentang dugaan korupsi di Bulog dan Pertamina (1969-1972). Puncaknya terjadi seputar 1974-1975 ketika dia memberitakan megakorupsi di Pertamina di bawah Ibnu Sutowo.
Hasil liputan dan pemberitaan itu sempat dibantah keras oleh Ibnu Sutowo, jajaran Pertamina, dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dan IR sendiri kemudian dibredel dengan alasan terlibat provokasi demo mahasiswa dalam Peristiwa Malari 1974. Toh, belakangan, hasil liputan Mochtar Lubis itu terbukti benar. Pemerintah kemudian mengganti Ibnu Sutowo dan terpaksa melakukan "operasi serius" untuk menyelamatkan Pertamina yang terjerat utang milyaran US dollar.
Karya jurnalistik wartawan dalam Liputan Investigasi sesungguhnya menjadi tolok ukur kualitas wartawan dan medianya. Ingat legenda Jurnalisme Investigasi yang menjatuhkan Presiden AS Richard Nixon akibat skandal Watergate tahun 1972.
Efek atau pengaruhnya melambungkan nama The Washington Post sebagai media dan dua wartawan peliputnya: Bob Woodward serta Carl Bernstein. Kedua wartawan itu mencatatkan diri mereka sebagai wartawan investigasi ulung berkelas dunia.
The Washington Post diakui menjadi salah satu quality newspaper di AS. Woodward dan
Bernstein menginspirasi jurnalis di Amerika, terutama para wartawan yang bertugas di Gedung Putih, karena keuletan dan kerja keras mereka melakukan proses investigasi.
Jurnalisme di AS naik daun dan ikut menginspirasi wartawan mancanegara. Melihat kurun waktunya (1972), Mochtar Lubis bisa jadi termotivasi untuk membongkar dugaan korupsi di Pertamina (1974). Kinerja dan sikap kerja Mochtar Lubis patut jadi contoh dan pegangan wartawan kita sekarang ini.
Pertama, insan wartawan dan kurang memiliki pemahaman, pengetahuan dan keterampilan tentang Liputan Investigasi itu. Kedua, pemilik media menilai peliputan itu beresiko (ekonomi-- biayanya cukup tinggi dibanding liputan biasa, hukum--bisa kena tuntutan hukum) dsbnya, padahal karya itu belum tentu laku dijual atau menaikkan ratings (tv).
Jika dua alasan itu betul adanya, maka terlihat betul pergeseran komitmen antara wartawan sekarang dengan Mochtar Lubis. Dalam kondisi serba terbatas, dia melakonkan tugas jurnalisme sejati: bertugas mengawal dan mengawasi pejabat publik guna menghindari mereka melakukan praktik korupsi dan manipulasi uang negara. Ia menempuh resiko korannya dibredel dan ia sendiri sempat masuk penjara untuk memperjuang idealismenya dalam menaikkan pamor pers sebagai kekuatan/pilar keempat demokrasi.
Indonesia Raya pun menjadi quality media dalam sistem pers yang belum semerdeka sekarang. Apakah kita tidak ingin menjadikan diri kita dan media kita berkualitas seperti itu?
TERIMA KASIH