Thomas Groome mengatakan bahwa pendidikan,
education, berasal dari bahasa Latin yaitu e (keluar)ducare (memimpin) atau memimpin ke luar. Akar kata ini menunjukkan bahwa pendidikan bertujuan untuk menolong orang untuk menemukan kebenaran yang telah ada di dalam diri mereka. Pendidikan bukanlah semata merupakan upaya dari seorang pendidik untuk memindahkan pengetahuan kepada para murid; lebih dari pada itu, pendidikan menolong mereka yang dididik untuk mengingat apa yang telah mereka ketahui sehingga mereka dapat dengan kritis merefleksikan hal tersebut. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan sesuatu yang baru bagi masa depan.
Dengan kata lain, pendidikan yang baik yang
mengintegrasikan/menggabungkan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang secara bersama-sama dapat menolong para pembelajar untuk menciptakan pedagogi mereka sendiri. Salah satu pendekatan yang digunakan di dalam dunia pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang demikian adalah pedagogi kontekstual, mengajaran konteks sebagai teks; dan hal ini bukanlah merupakan ide yang baru di dunia pendidikan agama Kristen. Cara pendidikan ini menekankan pada pentingnya menghubungkan pembelajaran peserta didik pada konteks kehidupan dan juga menghubungkan realita-realita kehidupan kekinian di dalam proses penafsiran ulang teks-teks.
Di dalam pedagogi Alkitab, hubungan di antara teks
dan konteks kehidupan para peserta didik dinilai sebagai salah satu unsur yang paling penting. Di dalam bukunya, The Art of Teaching the Bible: A Practical Guide for Adults (2001), Christine Blair menggarisbawahi bahwa para orang dewasa dapat belajar dengan maksimal ketika pembelajaran yang mereka lakukan didasarkan pada pengalaman kehidupan. Untuk itu Blair menekankan adanya sebuah pendidikan Alkitab yang menghubungkan teks dan konteks kehidupan para partisipan melalui penafsiran kembali Alkitab di dalam realitas kekinian.
Model pedagogi Alkitab yang bersifat kontekstual kini
telah diperkenalkan oleh berbagai ahli Alkitab seperti Mary A. Tolbert dan lainnya di dalam buku Teaching the Bible: The Discourse and Politics of Biblical Pedagogy (1998). Mereka memfokuskan diri pada pendekatanpendekatan kontekstual terhadap kitab suci. Para penulis ini mempertimbangkan secara serius keberagaman para pembaca dan konteks mereka terutama mereka yang telah dimarginalisasikan oleh jenis-jenis penafsiran/hermeneutik yang dipimpin oleh para ahli biblika yang berasal dari konteks Barat.
Di dalam dunia penafsiran Alkitab, metode yang selama
ini mendominasi penafsiran terhadap kitab suci adalah metode historis-kritis yang mulai berkembang pada tahun 1700 dan 1800 hingga kini. Metode ini memiliki tujuan utama untuk menafsirkan arti kesejarahan yang objektif dari sebuah teks dengan menggunakan metode-metode tata bahasa/kritik aparatus dan sejarah. Seperti yang dikatakan oleh Klein, Blomberg, dan Hubbard, tugas dari seorang penafsir yang menggunakan metode historis-kritis adalah untuk merekonstruksikan kondisi-kondisi sejarah dari penulisan sebuah teks dan kemudian menentukan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada para pembacanya.
Namun sejak awal tahun 1960-an posisi ini berubah
seiring dengan kemunculan metode-metode lainnya seperti kritik narasi (close reading) dan kritis tanggapan-pembaca (reader-response criticism) yang mempertanyakan dominasi dari metode historis-kritis. Metode-metode lainnya yang ikut muncul di antaranya adalah kritik feminis, teologi pembebasan, kritik ideologi, kritik Marxist yang kemudian diikuti oleh kemunculan pendekatan poskolonial. Di dalam dunia biblika, para pioner dari pendekatan postkolonial adalah R. S. Sugirtharajah, Fernando Segovia, Kwok Pui-lan, Musa Dube, George SoaresPrabhu, dan Johnson Teng Kok Lim.
Di dalam kritik mereka terhadap metode historis-
kritis, para ahli postcolonial seperti Sugitharajah mengatakan bahwa metode historis-kritis baik yang lama (kritik teks, kritik sumber, kritik bentuk dll) beserta dengan metode historis-kritis yang baru (metode sosial-science) merupakan produk kolonial. Hal ini disebabkan karena sifat dari pendekatanpendekatan ini yang bertujuan untuk melayani kepentingan kolonial dan juga melanggengkan kekuasaan dunia Barat yang dipandang sebagai pusat dari ilmu pengetahuan.
Dua hal mendasar yang merupakan kesalahan dari
metode historis-kritis yang disoroti oleh para ahli postkolonial adalah berhubungan dengan pandangan positivisme dan objektivisme. Soares-Prabhu mengemukakan bahwa paham objektivitas merupakan suatu bentuk ilusi tentang kenetralan yang objektif yang meniru netralitas yang sudah seharusnya di dalam ilmu fisika. Ketika pandangan ini dikenakan pada studi biblika maka para ahli yang menggunakan metode historiskritis berharap bahwa mereka dapat menemukan suatu arti yang pasti dan objektif yang telah terkunci rapi di dalam teks Alkitab.
Di sinilah ketika ideologi objektivisme ini
digabungkan dengan ilmu kebahasaan, tata bahasa, dan sejarah maka “satu arti yang tepat dan benar” dapat ditemukan. Hal ini berarti pula bahwa dengan menggunakan metode historis-kritis maka para ahli Alkitab yang berasal dari berbagai belahan dunia dapat menghasilkan satu penafsiran yang sama terhadap sebuah teks.
Konsekuensi dari cara berpikir yang mengandalkan unsur
objektivitas di dalam menafsirkan teks-teks kitab suci adalah sehubungan dengan hilangnya suara pembaca atau penafsir yang dengan subjektivitas berpikirnya dapat menjadi ancaman utama bagi terciptanya cara membaca yang netral – yang objektif. Hal ini disebabkan karena pembaca dengan segala pemikirannya (termasuk emosinya) tidak cocok jika disejajarkan dengan model cara berpikir yang positif yang menuntut adanya sebuah pandangan yang objektif. Berdasarkan keterangan inilah maka Soares-Prabhu mengatakan bahwa objektivisme adalah landasan atau alasan utama bagi kegagalan metode historis-kritis karena ia tidak mengijinkan maupun mengikutsertakan “pembaca yang nyata” beserta dengan latar belakang kebudayaan dan lokasi sosialnya untuk turut berperan aktif di dalam pembacaan sebuah teks seperti teks kitab suci.
Hingga di sini seruan “keramat” untuk melakukan
eksegese (membawa keluar arti sebuah teks) dan bukan eisegese (membawa masuk pemikiran/pandangan seseorang ke dalam teks) didasari oleh keinginan untuk menjauhkan penafsir dari segala upaya untuk menafsirkan teks dari sudut pandang yang lain selain dari sudut pandang kesejarahan. Cara berpikir metode historis-kritis seperti inilah yang ingin ditentang oleh Segovia yang berpendapat bahwa adalah suatu kemustahilan untuk memisahkan konteks sebuah teks dari konteks pembacanya yang merupakan pembaca yang berdarah dan berdaging (the flesh and blood reader) – pembaca yang hidup.
Di dalam kerangka berpikir seperti inilah maka
pendekatan postkolonial yang merayakan peranan para pembaca yang berasal berbagai lokasi sosialnya di dalam menafsirkan teks kitab suci hadir dan turut memperkaya dunia penafsiran teks-teks Alkitab. Pendekatan ini disambut baik terutama bagi para pembaca Alkitab yang berada di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pendekatan ini memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi mereka untuk membaca dan memaknai sebuah teks kitab suci berdasarkan pengalaman kehidupan mereka sendiri.
Di sinilah, pembacaan kitab suci yang selama ini
berpusat pada metode histori-kritis yang sangat kental dengan budaya Barat/Eropa sedikit demi sedikit kehilangan kekuatan dan dominasinya. Di sini pula metode poskolonial membantu kita untuk memahami bahwa setiap bentuk pembacaan dengan pendekatan yang berbeda yang berasal dari belahan dunia manapun adalah setara dan sejajar dan yang terutama adalah valid.
Pendekatan Poskolonial di dalam Studi Biblika Pembahasan tentang alasan dasar kemunculan metode
poskolonial di dalam dunia penafsiran Alkitab membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang apa itu pendekatan poskolonial. Di dalam tataran konseptual, pendekatan poskolonial dapat dihubungkan dengan teologi pembebasan (liberation theology) karena keduanya mempunyai tujuan yang serupa yaitu untuk menopang dan mendukung orang-orang yang dianggap sebagai “the Other” / Yang Lain – orang-orang kecil dan mereka yang termarginalisasikan di dalam konteks sosial dan latar belakang kebudayaan mereka.
Namun, pada tahun 1990-an, mereka yang
menggunakan teologi pembebasan mulai sadar tentang tingkat kompleksitas yang belum disentuh oleh gerakan pembebasan seperti dinamika penindasan yang terjadi mulai dari lingkungan internal hingga kepada lingkungan komunitas, kompleksitas bangsa, kebudayaan, dan bahkan identitas seksual yang bersifat ambigu dan bahkan berubah, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk membentuk dan menjalin hubungan berkelanjutan dengan kelompok-kelompok yang tidak merepresentasikan kalangan yang tertindas.
Dengan kata lain teologi pembebasan hanya
memfokuskan dirinya pada isu kemiskinan dan kekayaan dan belum mempertimbangkan secara serius tentang berbagai dimensi dari penindasan yang dapat muncul di dalam berbagai bentuk yang dihadapi di dalam konteks kekinian kita. Di sinilah, pendekatan poskolonial hadir sebagai suatu kerangka berpikir alternatif yang bertujuan untuk menbahas tantangan-tantangan dan peluang-peluang baru yang kita hadapi di masa kini. Metode ini terutama mengakui adanya pluralitas penindasan dan tidak melihat “Yang Lain” sebagai sebuah kategori yang homogen. Metode ini, dengan kata lain, mempertimbangkan keanekaragaman identitas yang didasarkan kepada perbedaan kelas, seks, etnisitas, dan gender.
Di dalam studi biblika, kritik postkolonial dapat dilihat
sebagai suatu gerakan yang memisahkan diri dari cara pembacaan Alkitab yang berpusat pada para ahli biblika yang berasal dari Amerika Utara dan Eropa yang telah mendominasi dunia penafsiran Alkitab selama ini. Di sini para penafsir kitab suci dituntun untuk menuju kepada suatu pembacaan yang lebih beragam dengan menggunakan metode yang beragam pula. Seperti yang telah dikatakan oleh Sugirtharajah, tujuan pendekatan ini adalah untuk mempertimbangkan masalah kolonialisme sebagai isu penting di dalam membaca teksteks kitab suci. Kritik ini menaruh perhatian terhadap masalah yang berhubungan dengan perluasan kekuasaan, pendominasian, dan imperialisme sebagai kekuatan utama di dalam menggambarkan cerita-cerita Alkitab maupun menafsirkan maksud dari cerita-cerita tersebut.
Di sini pembacaan secara poskolonial mengijinkan
para penafsir untuk mengkritik cerita-cerita yang syarat dengan agenda imperialisme dan bahkan mengkritik ideologi para penulis teks-teks Alkitab tersebut. Lebih lanjut, pendekatan ini digunakan untuk mengkritisi bentuk penafsiran-penafsiran teks-teks Alkitab yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu terutama oleh kaum penguasa untuk melegitimasikan penjajahan mereka di negara-negara yang bukan wilayah kekuasaan mereka.
Di dalam konteks Indonesia sendiri yang pernah hidup di
dalam penjajahan bangsa Eropa terutama Belanda selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun, metode postkolonial sangat berguna untuk memahami penggunaan teks-teks kitab suci oleh pihak penjajah untuk melegitimasikan bentuk penjajahannya di Indonesia. Selain itu, metode ini juga diperlukan untuk menganalisa pengaruh dari penjajahan itu sendiri terhadap cara umat Kristen di Indonesia membaca dan menafsirkan kitab suci. Hal ini penting mengingat bahwa kekristenan yang dianut oleh umat Kristen di Indonesia tidak lepas dari campur tangan para misionaris Eropa yang datang dan menyebarkan Injil di berbagai wilayah di Indonesia.
Ketika kita dengan sadar mengkritisi bentuk-bentuk
penafsiran yang kebanyakan tertuang di dalam tradisi dan dogma gereja kita yang tidak sesuai dengan semangat keIndonesiaan kita maka kita secara sadar pula berusaha untuk membebaskan diri dari berbagai rantai penjajahan yang membelenggu kehidupan kekristenan kita yang telah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Di samping itu dan yang terutama menurut hemat saya adalah bahwa metode ini juga akan memungkinkan kita untuk secara kritis menganalisa berbagai bentuk penjajahan yang terjadi di dalam negara kita yang dilakukan oleh para penguasa kita sendiri dan kemudian secara sadar dan berani mengkritik dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan dan ketidakbenaran yang sementara dialami oleh bangsa kita secara luas.
Satu hal penting yang harus diingat tentang
pendekatan poskolonial adalah bahwa pendekatan ini bersifat interdisiplinari. Artinya bahwa ia membutuhkan pendekatan-pendekatan lainnya yang sudah ada di dalam studi biblika seperti sosiologi, antropologi, arkeologi, feminis, dll untuk mendekati teks secara mendalam. Fernando Segovio mengatakan bahwa ada tiga dunia penting yang harus diselidiki dan dianalisa oleh pembaca: dunia di dalam text, dunia modern, dan dunia kini. Pertama, para pembaca Alkitab harus menganalisa dunia Timur Dekat atau dunia Mediteranian di mana Alkitab ditulis dan diedit.
Dunia ini merupakan dunia kekaisaran kolonial seperti
Asiria, Babilonia, Persia, Yunani dan Romawi. Di sini, dinamika politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan di antara kekuasaan sentral dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan di dalam kekaisaran2 tersebut sangat mempengaruhi penulisan Alkitab. Contohnya: kekuasaan Raja Yosia pada masa kekuasaan Asiria mempengaruhi penulisan kitab Yosua-Raja-raja; kekuasaan kekaisaran Persia mempengaruhi kemunculan kitab Ezra dan Nehemiah. Di sini tulisan-tulisan yang dihasilkan menyangkut kawin campur misalnya yang ada di Ezra-Nehemiah ataupun penggambaran tentang peran perempuan di Amsal dan Pengkhotbah sangat dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan negara super power Persia.
Dunia kedua yang harus diselidiki adalah dunia
modern yang sangat mendominasi pembacaan dan penafsiran Alkitab. Segovia mendorong pembaca untuk menaruh perhatian pada ekpansi imperialisme Barat yang merupakan bagian dari manifestasi kekristenan Barat. Perlu kita ingat bahwa sejak awal perdagangan imperialise Eropa pada abad ke-15 hingga pada masa pendirian kekaiseran Barat di abad ke-19 hingga pada tahap kontemporari kapitalisme yang dipimpin oleh super-power Amerika-Eropa, tradisi imperialistik Barat dan gerakan misionaris Kekristenan berjalan beriringan.
Para misionaris yang dilindungi oleh kekaiseran
membenarkan dominasi Barat sebagai kehendak Allah. Dengan mendasarkan diri pada teks-teks seperti Keluaran, banyak misionaris Kristen yang datang dan menguasai tanah yang merupakan kepemilikan orang2 non-Kristen Asia, Afrika dan suku Asli Amerika. Para misionaris itu mengkristenkan para penduduk asli tersebut atau mempromosikan klaim akan kesuperioritas dan keterpilihan mereka sebagai umat Allah (Dube 2000, 17). Contoh hal ini dapat dilihat di dalam banyak cerita tentang masuknya para misionaris di Pulau Timor, Sulawesi, Jawa, Ambon, Papua dll.
Di sinilah, di dalam pedagogi Alkitab, adalah sangat
penting untuk menganalisa bagaimana orang2 Barat membaca dan menafsirkan Alkitab dan mempelajari asumsi-asumsi sosiopolitik-ekonomi yang dimiliki oleh pembaca2 modern. Hanya dengan tindakan itulah maka kita bisa secara kritis menilai apakah tafsiran2 yang telah dihasilkan tersebut menindas dan menjajah kita. Dunia ketiga yang harus kita pertimbangkan adalah dunia pembaca kini. Segovio mengatakan bahwa realitas imperialisme dan kolonialisme tidak pernah diberikan atau diterima dengan pasif. Memang benar ada orang yang dengan sepenuh hati menerima dominasi Barat tetapi tidak sedikit pula mereka yang berjuang melawan.
Dengan menganalisa bagaimana pembaca modern
berhubungan dan menafsirkan kita suci maka kita dapat menempatkan Alkitab pada koteks kehidupan kita dan memeriksa dinamika center dan margin di antara kita. Singkatnya, di dalam pedagogi Alkitab, analisa realitas dari dunia para pembaca dan reaksi2 mereka adalah sama pentingnya dengan sudut pandang para penulis Alkitab.
Lebih lanjut, dengan memfokuskan diri pada unsur-
unsur politik dan operasi kekuasan di dalam proses produksi dan transmisi Kitab Suci yang merupakan fokus utama dari pendekatan poskolonial maka pedagogi yang dilakukan dapat diarahkan pada tujuan untuk memberdayakan diri sendiri maupun mereka yang dididik untuk menjadi agen-agen di dalam proses transformasi sosial.
Para peserta didikpun akan dimampukan untuk
menetapkan dan memformulasikan kembali sejarah dan pengalaman2 mereka. Upaya pemberdayaan ini akan memampukan peserta didik untuk pada akhirnya berbicara untk diri mereka sendiri - memperjuangkan dan mempertahankan agenda2 mereka sendiri. Di sinilah mereka menolak untuk diwakili atau direpresentasikan oleh pihak yang memiliki agendaagenda yang bertujuan untuk mencari keuntungan diri sendiri (Lihat Gayatri Spivak, Can Subaltern Speak?).
Hingga di sini ketika pendekatan poskolonial
digunakan untuk pegagogi Alkitab maka menurut Boyung Lee ada beberapa implikasi dari pendekatan ini bagi pedagogi Alkitab yang membebaskan: 1. PAK harus didasarkan pada pemahaman bahwa Alkitab adalah kitab yang dihasilkan di dalam suatu kebudayaan tertentu sehingga ia bersifat kontekstual dan dialogis. Hal ini berarti bahwa Alkitab mengundang para pembaca modern untuk menafsirkan kembali dengan mempertimbangkan realitas modern yang ada. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana caranya untuk membaca pesan kehidupan Allah kepada umat Allah di dalam konteks kebudayaan, waktu dan tempat mereka sendiri.
2. PAK harus menantang teologi-teologi kolonial Barat yang membenarkan adanya upaya penguasaan dan penindasan bangsa lain. 3. PAK harus menjadi “countercultural discipline” yang menaruh perhatian pada suara-suara yang tersembunyi baik di dalam gereja maupun masyarakat. Alkitab harus dipahami sebagai yang merupakan “roti dan batu” bagi kaum yang termarginalisasi seperti para perempuan. Pedagogi PAK harus bertujuan untuk mencari kebenaran, pembebasan dan keadilan. 4. PAK harus menganalisa tatanan sosial seperti hirarki, seksisme dll yang mendukung penindaan. PAK harus menyediakan alat2 yg memampukan orang2 Kristen utk dapat menantang imperialisme dan tradisi2 penindasan Barat.
Pedagogi Alkitab Poskolonial di dalam Praksis Ada lima tahap membaca Alkitab secara poskolonial menurut Christine Blair (The Art of Teaching the Bible): 1. Reading the Ground (Membaca latar belakang): di tahap ini para partisipan dan pendidik mengenal satu dengan yang lainnya khususnya latar belakang sosiokebudayaan yang mereka bawa untuk mempelajari Alkitab. Bagi pendidik, inilah saatnya untuk menilai sudut pandang setiap orang tentang otoritas kitab suci dan implikasinya bagi studi Alkitab.
Remembering (Mengingat): di tahap ini kelas akan
menyelami teks, pasal2, atau topik yang ada di Kitab Suci. Fokus utamanya adalah untuk mengajak orang untuk berbagi apa yang telah mereka ketahui tentang teks atau topik. Misalnya tentang makna kisah Rahab di dalam Yosua 2:1-24: Apa dan bagaimana gereja membaca teks memahami teks ini; perspektif mereka sendiri, bagaimana para anak didik memahami tentang fenomena pelacur di wilayah mereka sendiri; bagaimana dengan penutupan Gang Dolly pada tanggal 18 Juli lalu. Apakah ada cerita tentang Rahab masa kini yang mereka bisa bagikan? Apakah cerita Rahab di Yosua 2:1-24 memberikan relevansi bagi fenomena pelacuran di konteks kekinian kita?
Reflecting (refleksi): pada tahan ini pendidik
memperkenalkan berbagai penafsiran tentang cerita yang dibahas seperti Rahab tadi: bagaimana penafsiran androsentris/berpusat pada laki-laki yang kita ketahui tentang Rahab; bagaimana para Rabi membaca Rahab; bagaimana penafsiran feminis tentang cerita ini; bagaimana penafsiran para ahli poskolonial terdahulu tentang cerita ini? Setelah itu peserta diajak untuk berefleksi secara kritis semua perbedaan pendapat ini dan memberikan tanggapan mereka. Pendidik semampunya menyediakan keterangan tentang latar belakang sejarah setiap penafsiran yang berbeda tersebut dan juga tentang tafsiran2 tradisional dari para ahli Barat.
Reinterpreting (Menafsirkan ulang): pada tahap ini
pendidik memperkenalkan pendekatan poskolonial yang akan membahas hal-hal seperti dinamika kekuasaan di antara kekaisaran Timur Dekat Kuno dan Israel pada saat teks ditulis; situasi2 sosio-politik internal dan kebijakan2 politik Israel menganalisa pengkonstruksian karakter seperti Rahab dan tokoh2 lainnya di dalam teks; sejarah penafsiran2 teks yang dilakukan oleh berbagai kekuasaan imperialisme Barat (misalnya bangsa Eropa, Amerika, dll).
Re-searching (Mencari ulang):bagaimana kita sendiri
yang hidup di konteks kekinian menafsirkan teks tersebut? Apa pesan yang baru yang kita temukan sebagai pembaca di masa kini? Bagaimana penafsiran akan cerita Rahab ketika dilihat dari perspektif poko? Bagaimana kita memahami fenomena pelacuran di Gang Dolly? Bagaimana kita merespon isu ini?