BPS PROVINSI LAMPUNG No. 08/07/18/TH.VIII, 18 Juli 2016
ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2016
Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016 mencapai 14,29 persen. Dibandingkan kondisi semester sebelumnya (September 2015) angka kemiskinan Lampung mengalami kenaikan 0,76 poin, dari 13,53 persen.
Sejalan dengan kenaikan persentase, jumlah penduduk miskin di Lampung pada Maret 2016 juga bertambah 68,9 ribu jiwa menjadi 1,170 juta jiwa dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2015 yang sebesar 1,101 juta jiwa.
Perdesaan menjadi konsentrasi kemiskinan dimana 15,69 persen penduduknya berkategori miskin. Angka ini setara dengan 936,21 ribu jiwa. Sedangkan di perkotaan penduduk miskinnya sebanyak 10,53 persen atau 233,39 ribu jiwa. Selama periode September 2015 – Maret 2016, baik perkotaan maupun perdesaan mengalami kenaikan persentase dan jumlah penduduk miskin. Di daerah perkotaan bertambah sekitar 35,4 ribu jiwa (13,77%), sementara di daerah perdesaan bertambah 33,5 ribu jiwa (4,28%).
Garis kemiskinan Provinsi Lampung Maret 2016 sebesar Rp. 364.922 per kapita per bulan, naik 2,28 persen dibandingkan September 2015. Garis Kemiskinan 75,20 persen disumbangkan oleh Komoditi Makanan, share terbesar dari konsumsi beras, rokok kretek filter dan telur ayam ras. Sedangkan Komoditi Non Makanan yang menyumbang 24,80 persen utamanya dipengaruhi konsumsi perumahan, listrik, dan bensin. Garis Kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan yakni Rp.392.488 berbanding Rp.364.922.
1.
PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG
Angka kemiskinan Provinsi Lampung mengalami kenaikan pada Maret 2016. Berdasarkan hasil survei terbaru diketahui angka kemiskinan Lampung sebesar 14,29 persen atau 1.169,60 ribu jiwa (lihat Tabel 1). Data September 2015 angka kemiskinan Provinsi Lampung masih 13,53 persen atau 1.100,68 ribu jiwa. Dengan kata lain selama periode September 2015–Maret 2016 telah terjadi penambahan jumlah penduduk miskin sekitar 68,9 ribu jiwa. Angka kemiskinan Lampung Maret 2016 ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional yang sebesar 10,86 persen. Tren penurunan angka kemiskinan yang terjadi pada September 2015 kembali terkoreksi pada Maret 2016. Angka kemiskinan kembali meningkat meskipun jika dibandingkan kondisi Maret 2015 masih lebih rendah. Sebaliknya pada tingkat nasional angka kemiskinan mengalami penurunan menjadikan gap antara angka kemiskinan nasional dengan Lampung kembali melebar. Kenaikan angka kemiskinan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Lampung pada triwulan I 2016 terhadap triwulan III 2015 yang mengalami kontraksi hingga tumbuh -2,4 persen.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, penduduk miskin terkonsentrasi di perdesaan dengan tingkat kemiskinan sebesar 15,69 persen. Cukup jauh terpaut dengan kemiskinan di perkotaan yang 10,53 persen. Dari sisi jumlah penduduk miskin juga terdapat perbedaan yang signifikan yakni 233,39 ribu jiwa di perkotaan dan 936,21 ribu jiwa di daerah perdesaan.
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Lampung Menurut Daerah, 2011-2015
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
2011 (Maret)
243,61
1 064,09
1 307,70
12,27
18,54
16,93
2011 (Sept)
226,09
1 062,48
1 288,58
11,32
18,39
16,57
2012 (Maret)
241,10
1 023,39
1 264,48
12,00
17,63
16,18
2012 (Sept)
240,11
990,05
1 230,16
11,88
16,96
15,65
2013 (Maret)
235,47
939,88
1 175,35
11,59
15,99
14,86
2013 (Sept)
224,81
919,95
1 144,76
10,89
15,62
14,39
2014 (Maret)
230,63
912,28
1 142,92
11,08
15,41
14,28
2014 (Sept)
224,21
919,73
1 143, 93
10,68
15,46
14,21
2015 (Maret)
233,27
930,22
1 163, 49
10,94
15,56
14,35
2015 (Sept)
197,94
902,74
1 100,68
9,25
15,05
13,53
2016 (Maret)
233,39
936,21
1 169,60
10,53
15,69
14,29
Kenaikan tingkat kemiskinan selama periode September 2015-Maret 2016, lebih signifikan terjadi di daerah urban (perkotaan) yang naik 13,77 persen (35,4 ribu jiwa), sedangkan di daerah rural (perdesaan) naik 4,28 persen (33,5 ribu jiwa
2. PERGESERAN GARIS KEMISKINAN Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin jika tidak terjadi peningkatan pendapatan.
Tabel 2. Garis Kemiskinan dan Perubahannya Menurut Daerah, September 2015 - Maret 2016
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Daerah/Tahun (1)
Makanan (2)
Bukan Makanan (3)
Total (4)
Penduduk Miskin Jumlah % (000 jiwa) (5) (6)
Perkotaan September 2015 Maret 2016 Perubahan (%)
274 255 279 240 1,82
112 473 113 248 0,69
386 728 392 488 1,49
197,94 233,39 13,77
9,25 10,53 1,28 poin
Perdesaan September 2015 Maret 2016 Perubahan (%)
264 450 272 168 2,92
81 638 82 510 1,07
346 088 354 678 2,48
902,74 936,21 4,28
15,05 15,69 0,64 poin
Kota+Desa September 2015 Maret 2016 Perubahan (%)
267 028 274 437 2,77
89 744 90 485 0,83
356 771 364 922 2,28
1 100,68 1 169,60 5,68
13,53 14,29 0,76 poin
Sumber: Diolah dari data Susenas September 2015 dan Maret 2016
Selama periode September 2015–Maret 2016, garis kemiskinan naik Rp. 8.151,- atau 2,28 persen, yaitu dari Rp 356.771,- per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp 364.922,- per kapita per bulan pada Maret 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan sebagian penduduk miskin khususnya mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan tidak mampu mengimbangi kenaikan harga meskipun kenaikan Garis Kemiskinan tidak terlalu tinggi. Peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan) dalam pembentukan Garis Kemiskinan. Pada September 2015 yang lalu sumbangan GKM terhadap GK sebesar 74,85 persen. Sedangkan pada Maret 2016, peranannya sedikit mengalami naik menjadi 75,20 persen. Dengan kata lain peningkatan Garis Kemiskinan dari September 2015 ke Maret 2016 lebih dipicu karena kenaikan harga yang lebih tinggi pada komoditi makanan dibandingkan pada komoditi non makanan. Pada Maret 2016, komoditi makanan yang memberi sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan adalah beras baik di perkotaan maupun di perdesaan yaitu masing-masing sebesar 30,01 persen dan 39,27
persen. Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar ke dua kepada Garis Kemiskinan pada daerah perkotaan (13,11 persen ) sedang di perdesaan (7,24 persen). Komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan besar untuk Garis Kemiskinan adalah biaya perumahan yaitu 31,14 persen di perkotaan dan 29,71 persen di perdesaan. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Daftar Komoditi yang Memberi Pengaruh Besar pada Kenaikan Garis Kemiskinan, Maret 2016
Komoditi (1) Makanan Beras Rokok kretek filter Telur ayam ras Mie Instan Tempe Gula Pasir Bawang Merah Cabe Merah Roti Bukan Makanan Perumahan Listrik Bensin Pendidikan Perlengkapan mandi
Kota (2) (% terhadap GKM) 30,01 13,11 5,77 3,63 3,62 3,45 3,02 2,97 2,77 (% terhadap GKNM) 31,14 11,78 10,09 8,07 5,00
Komoditi (3)
Beras Rokok kretek filter Telur ayam ras Gula pasir Cabe rawit Tempe Bawang merah Mie instan Kopi bubuk & kopi instan (sachet)
Perumahan Bensin Listrik Pendidikan Kayu Bakar
Desa (4) (% terhadap GKM) 39,27 7,24 4,69 4,38 3,93 3,86 3,82 2,81 2,65 (% terhadap GKNM) 29,71 12,45 8,59 6,14 4,89
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016
3. INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN DAN INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Tabel 4. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2) di Lampung Menurut Daerah, September 2015 – Maret 2016 Tahun (1) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) September 2015 Maret 2016
Kota (2)
Desa (3)
Kota + Desa (4)
1,544 1,863
2,647 2,912
2,357 2,628
0,357 0,477
0,691 0,788
0,603 0,704
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) September 2015 Maret 2016
Sumber: Diolah dari data Susenas September 2015 dan Maret 2016
Pada periode September 2015 - Maret 2016, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 2,357 menjadi 2,628. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin menjauhi garis kemiskinan. Demikian pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik dari 0,603 menjadi 0,704. Angka ini mengindikasikan bahwa variasi pengeluaran diantara penduduk miskin semakin besar. Dengan kata lain ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin tinggi. Apabila dibandingkan antara daerah perkotaan dan perdesaan, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2) di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Pada Maret 2015, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,863 sementara di daerah perdesaan mencapai 2,912. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,477 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,788. Dapat dimaknai bahwa kesenjangan penduduk miskin perdesaan lebih tinggi dibanding penduduk miskin perkotaan demikian pula dengan ketimpangan penduduk miskin perdesaan juga lebih tinggi dibanding penduduk perkotaan.
PENJELASAN TEKNIS DAN SUMBER DATA
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan BukanMakanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 36 jenis komoditi.
Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan Maret 2016 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan..
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG
Informasi lebih lanjut hubungi: Mukhamad Mukhanif, M.Si Kepala Bidang Statistik Sosial Telepon: 482909, Pesawat 132