1 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
PRAKATA Laporan ini menyajikan temuan-temuan dari Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) Pertama yang dilaksanakan oleh The Asia Foundation untuk memonitor dan menilai proses desentralisasi di Indonesia. Program ini dilakukan antara bulan November 2001 dan Februari 2002. IRDA berupaya untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan desentralisasi dari sudut pandang daerah dan membawa sudut pandang tersebut ke tingkat nasional. Diharapkan bahwa IRDA dapat menghasilkan suatu penilaian yang dapat dipercaya, tepat waktu dan objektif yang dapat digunakan sebagai masukan bagi pembuatan kebijakan. Temuan-temuan IRDA ditujukan sebagai masukan bagi semua pihak, dan terutama sebagai panduan bagi pengambil keputusan dan pelaku kebijakan Indonesia di era desentralisasi. IRDA Pertama telah dilakukan di 4 kota, 8 kabupaten di 13 propinsi. IRDA meninjau hal-hal penting berkaitan dengan proses desentralisasi di bidang devolusi personel, aset dan reorganisasi pemerintah daerah, desentralisasi fiscal, layanan publik, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi civil society, hubungan antar pemerintah daerah, dan pemahaman mengenai konsep otonomi daerah itu sendiri. Dalam pelaksanaan penelitian ini, The Asia Foundation bermitra dengan institusi-institusi daerah dan dalam kesempatan ini hendak berterimakasih atas dedikasi dan kerja profesional dari mitra-mitra kami sebagai berikut: Pusat Studi Wanita (PSW), Universitas Sumatera Utara (USU); Indonesian Partnership on Governance Initiatives (IPGI); Center for Micro and Small Enterprise Dynamics (CEMSED) – Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW); Yayasan Persemaian Cinta Kemanusiaan (PERCIK); Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) – Universitas Gadjah Mada (UGM); Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil Lembaga Managemen dan Pengkajian Pembangunan (LMPP) - Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT); Lembaga Penelitian - Universitas Cendrawasih, Papua; and Center of Economic and Social Studies (CESS). The Asia Foundation juga mengucapkan terimakasih kepada semua stakeholder yang telah turut berpartisipasi di semua tahapan IRDA Pertama. Kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan dana dan perhatian dari USAID pada program ini. The Asia Foundation mengundang tanggapan atas laporan ini.
Douglas E. Ramage THE ASIA FOUNDATION Representative May 2002
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
(PUPUK); Pusat Penelitian Otonomi Daerah Universitas Udayana; Yayasan KOSLATA; Yayasan Madanika;
2 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
INDONESIA RAPID DECENTRALIZATION APPRAISAL (IRDA) PERTAMA SINOPSIS HASIL TEMUAN Kesimpulan Eksekutif UU No.22 /1999 dan UU No.25/1999 berjalan secara penuh mulai Januari 2001. UU Otonomi Daerah (Otda) tersebut memberikan kerangka peraturan dalam desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat. Dengan demikian, pemerintah daerah akan memiliki tanggung jawab baru dalam mengelola wilayah mereka sendiri. IRDA dikembangkan oleh The Asia Foundation dengan dukungan United State Agency for International Development (USAID) bekerjasama dengan mitra kerja di tingkat lokal, penilaian ini merupakan sebuah proses partisipasi. IRDA ditujukan untuk memberikan informasi terkini kepada berbagai stake holder, serta memfasilitasi tindakan untuk mendorong pelaksanaan desentralisasi ke depan. Pelaku atau stakeholders merupakan sumber data sekaligus penganalisis data. IRDA melengkapi kegiatan pemantauan dan evaluasi yang sedang dikembangkan pemerintah Indonesia. Selain itu, tentu, program ini diharapkan dapat memberi kontribusi berupa masukan kepada sistem pemerintahan.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Temuan IRDA Pertama menunjukkan bahwa satu tahun setelah pelaksanaan otonomi daerah berlangsung, ternyata tidak seluruh pemerintah daerah pada kabupaten/kota yang disurvei mampu mengintepretasikan kedua UU tersebut dengan baik. Faktor yang menjadi penentu pelaksanaan otonomi daerah, di mana pemerintah dituntut untuk memperbaiki seluruh kualitas layanan publik, adalah sumber finansial dan lembaga kepemerintahan. Dengan menggunakan teknik-teknik partisipatif dalam analisis data, IRDA memaparkan lima tema umum yang menggambarkan status dan arah desentralisasi: • Adanya peningkatan kesadaran dan apresiasi terhadap pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah. • Pemerintah daerah berkomitmen untuk merealisasikan tuntutan masyarakat atas perbaikan layanan. • Pemerintah daerah memahami bahwa jalan keluar dari tekanan inefisiensi administratif yang timbul akibat besarnya jumlah pegawai yang harus diakomodasi adalah melalui reorganisasi tata kerja dan restrukturisasi kelembagaan, dan bukannya pengurangan jumlah pegawai. • Karena besarnya pengalihan tersebut, pemerintah daerah berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui peningkatan penerimaan pajak dan retribusi. Masyarakat juga menuntut dialog yang lebih terbuka, serta konsultasi dalam alokasi anggaran. • Kerja sama dan sinkronisasi informasi antarpemerintah daerah dan antara pemerintah daerah tingkat kabupaten dengan pemerintah Propinsi dalam pemecahan masalah. Hasil pengolahan juga menghasilkan isu-isu yang bertentangan, yang penting dalam menginterpretasikan data IRDA pertama. Isu-isu berikut ini perlu memperoleh perhatian lebih lanjut bagi pelaksanaan IRDA selanjutnya. • Penduduk di daerah secara umum memahami prinsip-prinsip yang berhubungan dengan konsep otonomi, akan tetapi interpretasi mereka akan konsep tersebut sangat beragam. • Partisipasi wanita dalam proses pengambilan keputusan masih rendah dan terbatas. • Tidak adanya hubungan antara sistem politik dan otonomi daerah. • Proses pengalihan aset tidak jelas. • Proses pengambilan kebijakan dana alokasi umum (DAU) juga tidak jelas, dan pemahaman daerah mengenai hal ini sangat terbatas. Akan ada lima rangkaian IRDA hingga 2004. Oleh karena itu, IRDA akan terus memberikan dukungan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk merealisasikan desentralisasi.
3 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
I. PENDAHULUAN Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) adalah kegiatan pemantauan yang dikembangkan oleh The Asia Foundation dan didanai oleh USAID dalam mendukung usaha desentralisasi di Indonesia. Dengan memperbaiki pola penilaian yang sama, yang sudah dilakukan Filipina dalam sepuluh tahun belakangan ini, program IRDA akan mengikuti kemajuan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dalam selang waktu reguler. Hingga 2004, direncanakan akan ada lima penilaian. IRDA bertujuan untuk memberikan umpan balik bagi perkembangan desentralisasi. Sehingga, penyesuaian kebijakan dapat dilakukan untuk mengarahkan usaha-usaha menuju visi otonomi daerah yang dicakup dalam UU No.22/1999 dan UU No.25/1999. Dirancang untuk menghasilkan penilaian yang tidak bias dan kredibel, IRDA secara khusus mencermati melalui pemaparan pengalaman aktual pemerintah daerah dalam mengelola dan menjalankan tanggung jawab dan wewenang baru. Oleh karena itu, IRDA menekankan pada perspektif daerah dan menandai arah kebijakan yang diambil oleh daerah dalam menginterpretasikan kedua UU otonomi tersebut. Karena desentralisasi dilaksanakan di daerah, pandangan pelaku kebijakan di daerahlah yang diperlukan untuk memaparkan perkembangan desentralisasi. Hingga akhirnya, proses IRDA melibatkan sebuah tim analisis, yang terbentuk dari berbagai lembaga penelitian lokal berpengalaman serta individu yang paham akan masalah otonomi daerah. Selain itu, IRDA mengembangkan teknik-teknik partisipatif dalam pengumpulan data untuk menjamin kepemilikan dan kesahihan data yang dikumpulkan.
yang positif. Proses IRDA dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor pendukung, yang memungkinkan pendekatan dalam kebijakan otonomi terwujud, sekaligus faktor penghambatnya. Langkah selanjutnya adalah memformulasikan rekomendasi bagi keberlangsungan pendekatan tersebut dan memfokuskan pada masalah-masalah yang mungkin timbul. Rekomendasi ini diarahkan kepada berbagai pelaku kebijakan dari pemerintah (baik pusat maupun daerah), masyarakat madani, dan lembaga donor internasional – pemberi bantuan program-program yang berhubungan dengan desentralisasi di Indonesia.
A. METODOLOGI IRDA menggunakan metode evaluasi dalam memantau desentralisasi di Indonesia. IRDA merupakan bagian dari metode evaluasi lainnya, seperti Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang menggunakan teknik pengumpulan data informal, yakni wawancara semi-terstruktur dan analisis data sekunder. Kendati secara umum metode yang digunakan bersifat kualitatif, namun pengumpulan informasi dan analisis dilakukan berdasarkan data kualitatif dan kuantitatif.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini menunjukkan langkah-langkah atau inovasi
4 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
Alat pengumpulan data utama merupakan wawancara dengan informan kunci dan diskusi kelompok. Penggunaan bermacam alat dan metode memungkinkan bagi triangulasi dan validasi data dari berbagai sumber. Proses pengembangan analisis dan rekomendasi juga dilakukan secara partisipatif. Oleh karena itu, dengan memaksimalkan penggunaan metode partisipatif, proses IRDA itu sendiri membantu mengembangkan mekanisme dialog di antara aktor-aktor kunci di tingkat pusat dan daerah. Tahapan dalam Proses IRDA Seperti diilustrasikan dalam Gambar 1, proses IRDA merupakan siklus dengan banyak tahapan.
Penulisan Laporan
Pengumpulan Data
Seminar
Seminar Briefing
Presentation Presentasi di Tingkat Nasional
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Perumusan Materi Wawancara dan Diskusi
Penulisan Laporan Sinopsis
Agenda Penelitian
Presentasi Publik di Tingkat Daerah
Tahapan dalam Proses IRDA
Agenda Penelitian. Fase ini merupakan tahap penyusunan agenda. Ini melibatkan partisipasi dalam inventarisasi persoalan mengenai isu apa yang harus dicermati, berakar pada kepentingan pelaku kebijakan. Isu utama masih tetap sama dari tahun ke tahun, yakni memfasilitasi IRDA untuk mengukur kemajuan desentralisasi secara konsisten. Isu-isu baru dapat ditambahkan ke dalam siklus, berdasarkan masukan dari pelaku kebijakan.
5 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
Perumusan Materi Wawancara dan Diskusi. Kelompok yang mewakili pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan lembaga/kelompok kerja desentralisasi menyaring tema dan isu-isu untuk merumuskan materi dan pertanyaan wawancara dan diskusi. Seminar Briefing. Briefing mengenai parameter evaluasi, agenda penelitian, materi wawancara, dan metode pengumpulan data bagi mitra peneliti lokal menjamin bahwa seluruh institusi yang akan menjalankan IRDA memiliki pemahaman dan persepsi yang sama. Sebagai bagian dari komitmen the Asia Foundation untuk membangun kapasitas institusi lokal, dan akhirnya sebagai alih-teknologi, mitra peneliti diikutsertakan dalam proses pengumpulan data. Pengenalan terhadap daerah yang menjadi target sangat signifikan karena para peneliti tersebut harus memahami spesifikasi isu desentralisasi di daerah tersebut. Pengumpulan Data. Para peneliti kemudian mengumpulkan informasi dengan melakukan serangkaian pendekatan multi-stakeholders, pertemuan partisipatif dan konsultasi melalui diskusi interaktif sebagai teknik utama dalam pengumpulan data. Pengumpulan data dari dialog interaktif antar pelaku kebijakan divalidasi dan ditingkatkan melalui wawancara dengan informan kunci dan analisis data sekunder, seperti anggaran dan peraturan daerah. Penulisan Laporan. Setiap mitra peneliti lokal menyiapkan laporan menyeluruh seluruh data yang dikumpulkan. Data sekunder yang mendukung temuan penelitian ditambahkan dalam laporan. Seminar Synthesis. Sasaran dari seminar ini adalah untuk mensintesakan analisis kolektif dari data yang terkumpul dan untuk mengembangkan konsesus berdasarkan kesimpulan pengamatan empiris.
nasional, yang akan membawa pandangan-pandangan di daerah sebagai masukan bagi pengambil kebijakan. Penulisan Laporan Sinopsis. Laporan Sinopsis laporan mengintegrasikan seluruh masukan yang terkumpul selama proses IRDA. Presentasi Publik di Tingkat Daerah. Tahapan ini melengkapi siklus dengan membawa kembali informasi dan analisis kepada pemerintah daerah. Ini juga merupakan tahapan di mana semua masukan bagi tema-tema baru untuk putaran berikutnya dikumpulkan.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Presentasi di Tingkat Nasional. Temuan-temuan ini kemudian dipresentasikan pada forum di tingkat
6 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
B. DAERAH
FIRST IRDA Research Sites South China Sea
Minahasa
Deli Serdang
Pontianak
Jakarta
Jayapu
Indramayu Semarang Sidoarjo
Banda Sea Lombok Barat
Bandung Indian Ocean
Bantul Salatiga
Gianyar
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
IRDA dilaksanakan di 13 daerah (lihat peta), dan menjadi landasan bagi evaluasi berikutnya. Daerah ini secara garis besar mewakili berbagai karakteristik berdasarkan Human Development Index (HDI), Gross Regional Domestic Product (GRDP), dan sumber daya sektoral yang dimiliki. Lebih banyak daerah akan dimasukkan sebagai wilayah sasaran pada putaran berikutnya.
C. RESPONDEN Responden meliputi seluruh lingkup pelaku kebijakan di daerah. Mereka adalah eksekutif daerah (Gubernur, Walikota/Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Departemen
RIWAYAT RESPONDEN TOTAL RESPONDEN Laki-laki Perempuan Total Pemerintahan Desa/Kelurahan Kota/Kabupaten Provinsi
1.199 87% 13% 62% 22% 28% 12%
dan Dinas, Kepala Desa/Kelurahan), anggota DPRD, anggota masyarakat. Anggota masyarakat mencakup pemimpin-pemimpin agama, penduduk dari komunitas
Kelompok Civil Society 38% Jumlah Diskusi Kelompok 55
7 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
lokal, perwakilan organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, dan akademisi. Mengumpulkan informasi dari berbagai pelaku dengan pengetahuan dan tingkat kepentingan yang berbeda memungkinkan terjadinya triangulasi dan validasi data dalam menyoroti pesoalan desentralisasi di tingkat lokal. Meski proses penelitian memungkinkan mitra lokal bebas untuk mengidentifikasi responden, seleksi tetap diarahkan pada kriteria berikut: 1.
Pengetahuan dan pemahaman responden mengenai otonomi;
2.
Pengalaman responden dalam pelaksanaan otonomi daerah;
3.
Objektivitas responden dalam memberikan informasi yang tepat dan akurat tentang otonomi; dan
4.
Kemauan responden untuk memberikan informasi dan data lainnya jika dimungkinkan.
D. KERANGKA IRDA PERTAMA Pertanyaan inti dalam IRDA pertama ini adalah: “Setelah satu tahun pelaksanaan desentralisasi, bagaimana keseluruhan perkembangan yang terjadi?” Untuk menggali pertanyaan ini, IRDA memfokuskan evaluasi pada serangkaian tema yang dirumuskan melalui konsultasi awal dengan pelaku kebijakan di dalam dan luar Jakarta. Pelaku-pelaku kebijakan ini mewakili berbagai sektor, seperti pemerintah, kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan bahkan lembaga donor yang terkait dalam upaya desentralisasi. Topik atau isu mencakup berbagai hal khusus yang perlu dicermati, yang diperkirakan akan membawa bentuk baru dalam perumusan desentralisasi. Topik-topik ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam penentuan variabel atau parameter evaluasi. IRDA berikutnya akan melanjutkan upaya-upaya desentralisasi •
Akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi Masyarakat;
•
Pelayanan Publik;
•
Reorganisasi, Pelimpahan, dan Pengembangan Kemampuan;
•
Masalah Fiskal;
•
Hubungan Antarpemerintah; dan
•
Konsep Otonomi dan Isu-isu yang bertentangan lainnya.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
di area tersebut. Topik yang dimaksud adalah sebagai berikut:
8 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
Gambar 2 mengilustrasikan kerangka dari IRDA pertama. PADA TAHUN PERTAMA PELAKSANAANNYA... bagaimana keseluruhan perkembangan yang terjadi? TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEPEMERINTAHAN LOKAL Faktor-faktor apa yang penting bagi keterlibatan masyarakat dalam kepemerintahan lokal, khususnya dalam lingkup transparansi dan akuntabilitas.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
PELAYANAN PUBLIK DAN STANDAR KINERJA PEMERINTAH DAERAH Dengan cara apa pemerintah daerah menjelaskan tujuan dan standar pelayanan? Apa yang menjadi prioritas?
PELIMPAHAN ASET DAN PEGAWAI Apa yang menjadi hambatan dalam proses pemindahan pegawai dan aset dari pusat ke daerah? Bagaiman isu ini mempengaruhi upaya desentralisasi? PENGEMBANGAN ORGANISASI Perubahan apa yang telah dibuat dalam struktur organisasi? Bagaimana pengaruh ini mencerminkan arah ke depan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah? PENGEMBANGAN KEMAMPUAN Setelah pelimpahan pegawai, bagaimana kapabilitas pemerintah daerah? Apa yang menjadi kebutuhan bagi pengembangan kapabilitas dan bagaimana pemerintah mencermati hal ini?
PROVINCE
MASALAH FISKAL: PEROLEHAN PENDAPATAN DAN ANGARAN Bagaimana pemerintah memahami tanggung jawab fiskalnya?
Kelurahan
Kota/ Kabupaten Desa
HUBUNGAN ANTARPEMERITNAH Bagaimana pemerintah daerah menjelaskan hubungan antarpemerintah daerah lainnya dalam kerangka otonomi? Isu apa yang menjelaskan dinamika baru? HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH Dinamika apa yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah?
Gambar: Kerangka dari IRDA Pertama
ISU-ISU LINTAS SEKTORAL Pemahaman yang berbeda tentang otonomi • Partisipasi wanita • Struktur politik • Pengalihan aset • Proses Dana Alokasi Umum
Kerangka ini merupakan sebuah visualisasi dari topik-topik atau isu-isu yang dinilai penting bagi pelaku kebijakan dalam memahami perkembangan desentralisasi di Indonesia. Unit analisis adalah kotamadya atau kabupaten, di mana tanggung jawab dan kewenangan lebih banyak didelegasikan. Memaparkan dinamika pemerintah di tingkat kota/kabupaten perlu memasukkan penggambaran hubungannya dengan tingkatan lain dari pemerintah daerah, seperti tingkat DATI I, desa, atau kelurahan. Oleh karena, tingkat kota/kabupaten bekerja secara substansial di dalam lingkup ini.
9 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
I. TEMA-TEMA UMUM PADA IRDA PERTAMA Pada saat penggabungan hasil kajian dan analisis data lapangan, peneliti tiba pada sebuah konsensus berupa lima pernyataan atau tema umum yang menggambarkan status dan arah terkini dari desentralisasi. Kelima tema tersebut adalah sebagai berikut: •
Adanya peningkatan kesadaran dan apresiasi terhadap pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah.
•
Pemerintah daerah berkomitmen untuk merealisasikan tuntutan masyarakat atas perbaikan layanan.
•
Pemerintah daerah memahami bahwa jalan keluar dari tekanan inefisiensi administratif yang timbul akibat besarnya jumlah pegawai yang harus diakomodasi adalah melalui reorganisasi tata kerja dan restrukturisasi kelembagaan, dan bukannya pengurangan jumlah pegawai.
•
Karena besarnya pengalihan tersebut, pemerintah daerah berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui peningkatan penerimaan pajak dan retribusi. Masyarakat juga menuntut dialog yang lebih terbuka, serta konsultasi dalam alokasi anggaran.
•
Kerja sama dan sinkronisasi informasi antarpemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dan pemerintah propinsi dalam pemecahan masalah.
Seminar Sintesa juga menghasilkan konsensus berupa isu-isu lintas sektoral . Kelima isu ini relevan dalam menginterpretasikan data IRDA dan mengembangkan agenda untuk putaran berikutnya karena akan mempengaruhi baik proses desentralisasi itu sendiri dan persepsi publik atas kemajuannya. Kelima isu lintas sektoral ini, didiskusikan pada bagian ketiga, yakni sebagai berikut: Penduduk di daerah secara umum memahami prisip-prinsip yang berhubungan dengan konsep otonomi, akan tetapi interpretasi mereka akan konsep tersebut sangat beragam. •
Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan masih rendah dan terbatas.
•
Tidak adanya hubungan antara sistem politik dan otonomi daerah.
•
Proses pengalihan aset tidak jelas.
•
Proses pengambilan kebijakan dana alokasi umum (DAU) juga tidak jelas, dan pemahaman daerah mengenai hal ini sangat terbatas.
Bagian berikut ini akan membahas kelima tema. Untuk setiap tema, terdapat temuan-temuan yang menekankan pada langkah-langkah positif yang telah diambil oleh daerah. Bagian ini juga mengidentifikasi faktor-faktor pendukung sekaligus penghambat pelaksanaan otonomi daerah. Ditambah lagi, pembahasan rekomendasi untuk mendorong percepatan ke arah yang positif.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
•
10 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
A. ADANYA PENINGKATAN KESADARAN DAN APRESIASI TERHADAP PENTINGNYA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMERINTAHAN DAERAH. 1.
TEMUAN
•
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGEMBANGKAN TRANSPARANSI DAN AKUNTABILTAS PUBLIK MENINGKAT. Salah satu kecenderungan positif yang dibawa oleh otonomi daerah adalah kesadaran yang makin besar di antara masyarakat bahwa mereka seharusnya merupakan bagian dari kepemerintahan. Meski UU No.22/1999 tidak membahas rinci partisipasi masyarakat dalam kepemerintahan, kelompok civil society telah mengambil inisiatif untuk mencoba berpartisipasi dalam lingkup kegiatan seperti perencanaan pembangunan dan rencana-rencana strategis lainnya bagi daerah. Masyarakat menjadi lebih aktif dalam menuntut kinerja yang lebih baik dari pemerintah daerah, begitu pula akuntabilitas dan transparansi di tingkat lokal. Kerangka desentralisasi ini dipandang sebagai peluang yang lebih luas bagi masyarakat madani untuk berpartisipasi dalam proses penentuan kebijakan.
•
Apresiasi pemerintah daerah terhadap partisipasi masyarakat meningkat. Sebagai respons terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat atas transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah, terdapat peningkatan apresiasi di antara pemerintah daerah atas pentingnya partisipasi masyarakat. Meski masih berada pada tahap awal pelaksanaan, pemerintah daerah telah mengadakan
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
media intermediasi bagi keterlibatan masyarakat, seperti melaksanakan dengar pendapat publik sebelum dan sesudah peraturan daerah dikeluarkan. Di Indramayu, sebagai contoh, DPRD mengundang sekitar 30 lembaga non-pemerintah (Ornop) untuk memberi masukan dalam perumusan peraturan daerah. Sayangnya, hanya 3 Ornop
PENGALAMAN YANG PATUT DITELADANI Di Bandung, setahun belakangan ini Bupati dan staf teknisnya mengadakan dialog terbuka setiap satu minggu sekali dengan masyarakat di daerahnya. Dalam dialog ini, rakyat diberikan kesempatan untuk memberikan umpan balik tentang kinerja pemerintah daerah yang terkait dengan pemberian layanan serta masalah sosial, politik, ekonomi dan lingkungan hidup. Mimbar ini membawa dampak positif terhadap citra pemerintah daerah di mata masyarakatnya, di samping juga persepsi masyarakat terhadap akuntabilitas dan transparansi pemerintah.
yang memberi tanggapan. ·
Berkembangnya Forum Warga Maraknya mimbar rakyat di sejumlah daerah merupakan indikasi yang jelas bahwa pemerintah daerah menghargai dan memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam kepemerintahan. Pada setiap tingkatan pemerintah, dari desa hingga provinsi, mimbar rakyat telah meningkat secara signifikan dan telah menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan kritik mereka, menyelesaikan perselisihan, memantau aktivitas pemerintah daerah, dan menuntut pelayanan yang lebih baik. FM2S, forum kota di Majalaya, Bandung, dan Semarang merupakan beberapa contoh yang baik untuk disebutkan.
11 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
2. FAKTOR PENUNJANG •
Inovasi. Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dengan baik dan otonomi daerah telah memberikan lingkungan yang mendukung berkembangnya partisipasi masyarakat dalam kepemerintahan. Meski belum meluas, telah banyak pelaku-pelaku kebijakan di pemerintahan yang sangat terbuka pada partisipasi masyarakat. Mereka menciptakan media-media bagi partisipasi dan mendorong masyarakat atau konstituen mereka untuk terlibat. Sebagai contoh, Walikota Semarang menginisiasikan kegiatan “jalan pagi” dan kunjungan aparat pemerintah atau birokrat ke wilayah kecamatan secara reguler, sehingga mereka dapat mengetahui secara langsung kebutuhan masyarakat. Lebih jauh, peraturan daerah yang baru telah membuka peluang bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri mereka. Pontianak saat ini sedang menyusun draf regulasi daerah pada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat untuk memformalkan media atau forum bagi keterlibatan masyarakat.
•
Perubahan dalam Lingkungan Politik. Di sejumlah daerah, lingkungan politik telah berubah, menjadi lebih berorientasi pada masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya pergeseran ideologi di kalangan birokrat. Sebagai hasilnya, masyarakat semakin aktif menuntut pelayanan yang lebih baik dan peningkatan kesejahteraan.
•
Partisipasi Media Massa Lokal. Media lokal memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan haknya untuk berpartisipasi dalam kepemerintahan. Media massa lokal juga membantu dalam penyebarluasan informasi dari pemerintah daerah ke masyarakat.
•
Partisipasi Organisasi Masyarakat. Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah faktor yang tingkat lokal. Di sejumlah daerah, organisasi ini telah mensponsori dan mendorong dialog-dialog dengan pemerintah daerah sehingga peraturan daerah dan program pembangunan lebih mencerminkan aspirasi masyarakat.
3. KENDALA •
Perubahan yang belum merata. Sementara UU No.22/1999 telah memberikan kerangka hukum bagi pergeseran paradigma dari kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, namun pergeseran idelogi masih terbatas. Sebagian birokrat di pusat maupun daerah telah menganut secara total konsep desentralisasi. Akan tetapi, masih banyak terdapat birokrat yang menolak dan anti terhadap perubahan. Oleh karena itu, masih terdapat pemimpin-pemimpin daerah yang berpikir bahwa kepemerintahan merupakan peran pemerintah saja.
•
Ketegangan antara pemerintah daerah dan LSM. Perasaan saling curiga, tak pelak lagi, tetap timbul dalam hubungan antara pemerintah daerah dan LSM. Pemerintah daerah memandang LSM sebagai “batu
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
signifikan dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kepemerintahan di
12 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
sandungan” dalam menjalankan kebijakannya. LSM dinilai selalu berada pada pihak oposisi, atas kebijakan apapun yang diambil pemerintah. Sementara, sebagian LSM memilih untuk bekerja langsung ke masyarakat daripada bekerja sama dengan pemerintah, karena mereka berpikir bahwa pemerintah terlalu identik dengan korupsi.
4. REKOMENDASI •
Reformasi sistem pemilihan umum, pemilihan langsung pemimpin-pemimpin daerah, akan meningkatkan akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Hal ini sangatlah penting karena tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas meningkat sebagai hasil meningkatnya kesadaran di antara masyarakat bahwa mereka memiliki hak untuk menjadi bagian dalam proses pengambilan kebijakan.
•
Bantuan teknis akan meningkatkan kapasitas DPRD untuk melaksanakan perannya sebagai lembaga yang dipilih untuk mewakili masyarakat. Salah satu titik awalnya adalah melalui pelatihan penyusunan UU dan bagaimana proses ini kemudian dapat melibatkan masyarakat. Sejumlah responden mengeluhkan bahwa setelah dipilih, anggota DPRD ternyata lebih mewakili kepentingannya sendiri daripada kepentingan masyarakat.
•
Pemerintah pusat, dengan bantuan lembaga donor, harus memfasilitasi bantuan kepada pemerintah daerah untuk melembagakan proses partisipasi pembangunan yang menekankan pada kepemimpinan berorientasi masyarakat dan pelayanan publik berorientasi pelanggan. LSM yang membantu mempercepat lingkungan yang mendukung bagi partisipasi masyarakat melalui forum dan dialog-dialog seharusnya juga menerima
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
bantuan. Hal ini penting untuk mempertahankan upaya-upaya yang telah mulai dijalankan.
B. PEMERINTAH DAERAH BERKOMITMEN UNTUK MEREALISASIKAN TUNTUTAN MASYARAKAT ATAS PERBAIKAN LAYANAN. 1. TEMUAN •
Ada peningkatan dalam kualitas dan kuantitas layanan, tetapi belum di semua tempat. Karena pelayanan publik kini berada langsung di tangan Pemerintah Daerah, masyarakat mempunyai akses yang lebih baik untuk mencermati dan menuntut perbaikan kualitas layanan. Bagaimanapun juga, kuantitas dan kualitas layanan publik tetap belum merata di seluruh daerah maupun sektor. Perbaikan di wilayah tertentu, dapat mengakibatkan penurunan di wilayah lain. Secara umum, paling tidak, pemerintah daerah dapat mempertahankan tingkat pelayanan yang dilakukan pemerintah pusat.
•
Untuk pelayanan publik di dalam kewenangan daerah, infrastruktur lebih mudah dan efisien. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem
13 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong pemerintah kota dan kabupaten untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap (samsat) untuk tujuan ini. Selain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasikan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar. Salah satu contoh dari kecenderungan ini adalah pengakuan bahwa desa atau kelurahan merupakan pemain penting dalam menyediakan jasa layanan publik, bahkan mengambil peran terdepan dalam sektor-sektor seperti misalnya pelayanan kesehatan. Desa atau kelurahan memposisikan kembali perannya, yang berhubungan dengan fungsi layanan publik.
PENGALAMAN YANG PATUT DITELADANI
•
Adanya perbaikan-perbaikan dalam layanan publik tertentu. Pemerintah daerah mulai memberikan perhatian lebih pada pelayanan publik. Keinginan untuk meningkatkan layanan
Pemerintah Kabupaten Gianyar meluncurkan Program Kesehatan MATRA yang menyediakan layanan kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit. Program ini juga menyediakan jasa ambulans secara gratis sebagai bagian dari layanan kepada masyarakat.
mendorong persaingan positif di antara unit-unit layanan yang berbeda. Sebagai hasilnya, beberapa kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah meningkat. Pelayanan publik yang mendapatkan perhatian adalah terutama yang berhubungan dengan kesehatan, administrasi publik, dan keamanan. Di Bantul, beberapa responden mencatat perbaikan dalam pelayanan kesehatan, terutama setelah Bantul mendirikan Rumah Sakit. Sebelumnya, masyarakat lebih memilih untuk pergi memeriksa kesehatannya di luar Bantul. Sekarang, dengan perbaikan layanan
lebih memilih perolehan layanan di daerahnya sendiri. Juga, meski tidak dipublikasikan dengan baik, Bantul mempunyai Panti Jompo dan Pusat Informasi Kesehatan. Di Sidoarjo, survei yang dilakukan oleh PUPUK, dan LSM, menunjukkan bahwa 82% dari responden cukup puas dengan layanan publik yang disediakan. •
Perbaikan akses terhadap informasi. Sejak pelaksanaan UU otonomi daerah, informasi layanan publik kini tersedia dan dapat diakses publik. Sebagai contoh, terdapat informasi yang lebih jelas mengenai tarif dan jadwal layanan pemerintah, seperti proses pembuatan KTP dan perolehan ijin usaha. Hal ini merupakan langkah yang signifikan menuju peningkatan transparansi penyedia layanan publik. Akibatnya, desentralisasi dapat menciptakan penghalang bagi peluang tindakan korupsi. Akan
PENGALAMAN YANG PATUT DITELADANI Pemerintah Kabupaten Lombok Barat telah menyusun daftar prioritas pengembangan layanan masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Prioritas-prioritas ini ditetapkan guna meningkatkan Indeks Pengembangan Manusia, serta menyusun standar layanan publik seperti misalnya Layanan Prima dan Samsat untuk perijinan.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
dan tarif yang hanya Rp. 1.500,- untuk pemeriksaan, masyarakat
14 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
tetapi, bagaimanapun juga, korupsi, kolusi, dan nepotisme di tingkat lokal masih ditemui. •
Meningkatnya kesadaran untuk mengontrol layanan publik. Desentralisasi menghasilkan peningkatan interaksi, hubungan yang lebih dekat, antara masyarakat dan pemerintah daerah. Di lain pihak, ini juga berarti meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap perbaikan kualitas layanan pemerintah. Karena masyarakat kini merupakan pelaku kebijakan yang tidak dapat diabaikan, mereka dapat secara langsung mengevaluasi kualitas layanan publik yang disediakan. Proses ini kemudian membuka peluang bagi publik untuk memberikan umpan balik terhadap kinerja birokrasi yang bertanggung jawab melakukan jasa layanan tersebut. Di sejumlah daerah, DPRD dan Bupati/Walikota lebih terbuka dan menjadi lebih tanggap terhadap tuntutan dan kekhawatiran masyarakat. Akan tetapi, respons terhadap keluhan masyarakat belum secara ekstensif dilakukan. Kasus dalam poin ini adalah Deli Serdang di mana asosiasi lokal berafiliasi dengan Asosiasi Bibit Ayam Sumatera Utara, mengirimkan surat keluhan kepada pemerintah daerah dan DPRD menyangkut harga bibit ayam. Karena tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah, kedua asosiasi ini berinisiatif untuk mencari cara mempengaruhi regulasi daerah.
•
Meningkatnya kesadaran akan pentingnya standar kualitas layanan. Salah satu indikasi yang mengatur standar minimum layanan publik bagi pemerintah daerah adalah peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam mengembangkan instrumen dan alat ukur atas standar pelayanan. Lainnya adalah instruksi Gubernur yang mengatur bahwa setiap unit pelayanan pemerintah daerah mengembangkan standar pelayanan untuk setiap layanan publik yang diberikan. Instruksi ini diterjemahkan ke dalam peraturan mengenai
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
persyaratan minimum enam jam kerja sehari bagi pegawai kantor pemerintah.
2. FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG •
Delegasi kewenangan kepada daerah. Proses delegasi kewenangan ini memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan restrukturisasi terhadap sektorsektor pelayanan tertentu dan mendorong kesadaran akan kebutuhan dan manfaat dari pelayanan yang efektif dan efisien.
•
PENGALAMAN YANG PATUT DITELADANI Sebuah Perda tentang perbaikan kualitas layanan kepada masyarakat telah disahkan di Pontianak pada bulan April 2001. Berdasarkan pertimbangan potensi daerah, kebutuhan masyarakat dan efisiensi kerja, pemerintah daerah menetapkan standar 5,6 jam (dari 8 jam kerja per hari) sebagai lama waktu minimum yang harus diluangkan guna memberikan layanan kepada masyarakat. Sisa waktu digunakan urusan administrasi. Unit-unit pemerintahan yang gagal memenuhi standar ini akan dievaluasi dan menghadapi teguran dan kemungkinan digabung dengan unit lainnya.
Meningkatnya aksesibilitas dan keterbukaan. Dengan adanya desentralisasi, kritik dan pendapat atas kinerja pemerintah daerah semakin tinggi. Sebaliknya, tanggapan pemerintah terhadap tuntutan untuk mempercepat perubahan dan meningkatkan akses informasi
15 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
layanan juga semakin meningkat. Transparansi seperti ini akan memungkinkan pemerintah daerah untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak terdeteksi karena kontrol yang intensif. Akan tetapi, penelitian dan advokasi masih diperlukan, khususnya untuk menyeimbangkan simbol-simbol kekuasaan yang sudah melekat dengan kelompok elite dan birokrat pemerintah.
3. •
KENDALA
Sistem penghalang. Kurangnya standar pelayanan publik membuat pemerintah daerah sulit untuk menentukan kualitas layanan. Hal ini lebih jauh memperburuk etika kerja sebagian pegawai, dan kenyataannya bahwa hanya ada sedikit alokasi dana dalam anggaran pemerintah untuk layanan publik.
•
Ketimpangan antara sasaran pendapatan dan kualitas layanan. Banyak pemerintahan daerah fokus pada peningkatan pendapatan daripada perbaikan layanan publik. Hal ini makin diperburuk oleh tindakan korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah. Oleh karena itu, ketimpangan antara pendapatan dan target layanan akan mencegah kesinambungan perbaikan layanan publik.
4. REKOMENDASI •
Tidak adanya ketentuan mengenai standar layanan publik dari pemerintah pusat membuat pemerintah daerah perlu mengembangkan regulasinya sendiri secepat mungkin. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat perlu mulai mengembangkan standar minimum pelayanan publik sehingga pemerintah daerah dapat menggunakannya sebagai patokan. Dengan masukan dari lembaga donor dan masyarakat madani, standarstandar pengukuran kinerja pemerintah daerah ini dapat digunakan untuk mengembangkan kriteria untuk
•
Prioritas seharusnya diberikan untuk melembagakan mekanisme umpan balik masyarakat terhadap kinerja dan pelayanan pemerintah daerah, dan juga untuk mensosialisasikan informasi tentang sistem praktek yang baik yang dapat digunakan.
•
Pengembangan sistem audit bagi layanan publik, baik pemerintah pusat dan daerah, akan memfasilitasi perbaikan layanan. Hal ini karena kualitas layanan publik sangat bergantung pada akuntabilitas dalam memberikan layanan. Mekanisme akuntabilitas akan membuka kemungkinan dalam perolehan umpan balik, baik positif maupun negatif, terhadap layanan publik. Ini pada gilirannya kembali akan mendorong partisipasi publik dalam desentralisasi.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
menemukenali sistem penyediaan yang terbaik.
16 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
C. PEMERINTAH DAERAH MEMAHAMI BAHWA JALAN KELUAR DARI TEKANAN INEFISIENSI PEMERINTAHAN YANG TIMBUL AKIBAT BESARNYA JUMLAH PEGAWAI YANG HARUS DIAKOMODASI ADALAH MELALUI REORGANISASI TATA KERJA DAN RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN, TANPA PENGURANGAN JUMLAH PEGAWAI.
1. TEMUAN •
PENGALAMAN YANG PATUT DITELADANI
Pemerintah Daerah telah mengambil langkah untuk menyederhanakan struktur organisasi. Reorganisasi mencerminkan kewenangan baru pemerintah daerah. Khususnya di tingkat kabupaten, reorganisasi berarti penyederhanaan unit kerja. Ini ditindaklanjuti dalam bentuk penggabungan kantor-kantor dinas daerah dalam bidang yang sama dan klarifikasi peran sejumlah kantor dinas pemerintah. Sebagai hasilnya, dalam kasus Indramayu, jumlah kantor dinas pemerintah menurun dari 36 menjadi 16, atau eselon lima dihilangkan dan tingkatannya diubah. Pengembangan dinas mencerminkan upaya untuk merasionalisasi struktur organisasi. Perubahan-perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah sudah mulai mengambil-alih tanggung jawab untuk mengimplementasi pemikiran “sederhana dalam struktur, tetapi kaya dalam fungsi”. Perubahan ini bertujuan untuk memperbaiki
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
efisiensi dan menghindari duplikasi atau tumpang-tindih
Di Kabupaten Sidoarjo, jumlah pegawai pemerintah daerah meningkat dari 2.729 orang menjadi 13.663 orang. Pemerintah daerah mereorganisasi struktur kepegawaiannya dari 25 kantor dinas menjadi 21 kantor dinas dan jumlah sub-dinas dikurangi dari 24 menjadi 9. Salah satu inovasi spesifik dari pemerintah Kabupaten Sidoarjo adalah pemberlakuan perda yang menggabungkan semua fungsi perijinan ke dalam satu dinas. Para pegawainya tidak lagi mengenakan seragam khas pemda dalam rangka memperlihatkan kesan ramah kepada pelanggan.
fungsi. Tabel di bawah mengilustrasikan perubahan dalam ukuran birokrasi di daerah setelah pelimpahan wewenang.
Kota / Kabupaten
•
Jumlah Kantor Dinas Sebelum Pelimpahan Sesudah Pelimpahan
Pemerintah Daerah sedang mengembangkan struktur baru. Meskipun struktur disederhanakan,
Wewenang
Wewenang
Bantul
14
11
Salatiga
33
24
dipertimbangkan untuk dibentuk. Ini
Indramayu
36
16
melibatkan pembagian kantor
Sidoarjo
25
21
pemerintah tertentu, seperti
beberapa fungsi baru sedang
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menjadi dua departemen terpisah, atau membentuk Badan Perwakilan Daerah (BPD) pada tingkat desa/kelurahan. Di Minahasa, misalnya, ada dua badan baru yang dibentuk, yaitu Badan Penanaman Modal dan Kantor Pengolahan Data Elektronik. Lebih jauh, dengan penyerahan beberapa
17 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
wewenang dari Pemerintah kota/kabupaten kepada desa/kelurahan, terdapat pengembangan kecamatan di desa/kelurahan. Sasarannya tentu adalah perbaikan kinerja administrasi. Kewenangan baru ini termasuk penggunaan nomenklatur desa/kelurahan menurut tradisi asli, seperti perubahan dari kelurahan menjadi kampung dalam sejumlah kasus. Lainnya, adalah pengembangan regulasi lokal, menempatkan LPM sebagai pengganti LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Perubahan ini tetap dilakukan melalui regulasi. Secara umum, restrukturisasi dan tumbuhnya kesadaran dalam membedakan batasan dan fungsi dari satu departemen ke departemen lainnya menghasilkan sebuah “diferensiasi” dalam pemahaman masyarakat, di mana DPRD harus memiliki tangung jawab yang berbeda dari lembaga eksekutif, dalam hal ini pemerintah daerah. •
Adanya masalah kepegawaian yang mendesak dalam pemerintah daerah. Untuk pegawai yang dipindahkan dari pusat ke daerah, prospek karir dalam birokrasi lokal tentu menjadi perhatian utama. Kecemasan terhadap peluang promosi ini disebabkan oleh sistem kepegawaian yang ada. Kecenderungan didahulukannya promosi putera daerah ke dalam posisi struktural, serta perjanjian posisi di Dinas yang disebut sebagai bantuan bagi pegawai lama tentu semakin membatasi karir pegawai tersebut. Akan tetapi, banyak pegawai pusat yang tetap dialokasikan ke posisi di daerah. Ada banyak alasan yang mungkin menjelaskan fenomena ini, nyata maupun tidak. Bagaimanapun juga, kenyataan bahwa tidak adanya opsi bagi pemerintah daerah, mengakibatkan pegawai yang ada di birokrasi lokal jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan. Tidak ada kejelasan dalam transisi dari sistem lama ke pemerintahan desentralisasi yang baru. Lebih jauh, pengalihan dana block grants semakin mempersulit pengalihan pegawai antarpemerintah daerah.
•
Reorganisasi berupaya untuk memperbaiki kualitas kinerja pemerintah daerah. Meski sulit, untuk mengkaji kesiapan daerah dalam melaksanakan desentralisasi menunjukkan kesadaran pemerintah daerah terhadap kebutuhan untuk merespons tuntutan desentralisasi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, upaya perbaikan kualitas juga termasuk penggabungan unit-unit administratif, atau pengembangan unit terttentu yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan. Rasionalisasi peran dinas dan sub-dinas, dan penyusunan standar kinerja dinas merupakan indikasi keinginan lainnya untuk memperbaiki kinerja.
•
Pemerintah daerah berupaya membangun dan memperbaiki kemampuan sumber daya manusia. Pemerintah menyadari bahwa salah satu elemen penting dalam perbaikan kinerja adalah meningkatkan kapabilitas pegawai dan birokrat baik eksekutif maupun legislatif. Meski adanya keterbatasan sumber daya, mereka berkomitmen untuk menciptakan budaya pelayanan publik yang tidak birokratik, tetapi lebih berorientasi pada pelanggan dan layanan. Beberapa bahkan mengirimkan pegawainya untuk melanjutkan pendidikan. Pemerintah juga telah merumuskan persyaratan bahwa Kepala Dinas dipilih setelah melaui tes kelayakan dan kepantasan (fit and proper test), atau pengangkatan pegawai harus didasarkan pada
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
pemerintah daerah berupaya untuk mengatasi situasi ini. Pembentukan kelompok kerja yang terintegrasi
18 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
kebutuhan. Sebagian orang berpendapat bahwa pembekalan keterampilan bagi para anggota DPRD dalam merancang peraturan daerah yang memiliki nilai guna, sebagai alat untuk memperbaiki kinerja pemerintah, merupakan suatu kebutuhan.
2. FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG •
Tuntutan Publik. Berkembangnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas kinerja kerja mendorong pemerintah lokal unutk memainkan peran mereka secara serius.
•
Peraturan pendukung. Peraturan pemerintah No. 84/2000 memungkinkan pemerintah daerah untuk merancang dan mengimplementasikan perubahan organisasi yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya.
•
Komitmen terhadap pengembangan kemampuan. Kendala keuangan semakin meningkatkan kebutuhan akan efisiensi. Dalam konteks keterbatasan sumber finansial, pemerintah daerah mulai melirik kepada pengembangan sumber daya manusianya. Pemerintah juga berpartisipasi dalam proyek pengembangan kemampuan, dengan dukungan dari lembaga kemitraan dan donor.
3. KENDALA •
Tantangan untuk menarik dan mempertahankan pegawai yang berkualitas. Salah satu hambatan utama bagi reorganisasi pemerintah daerah adalah terbatasnya jumlah pegawai yang memiliki kualifikasi, meski terdapat tambahan pegawai dengan masuknya pegawai dari pusat. Akibatnya adalah beberapa pegawai sipil kehilangan posisi struktural, atau tidak ditunjuk ke posisi baru. Bagaimanapun, sistem karir perlu didasarkan pada kompetensi, meski tidak ada standar evaluasi kinerja organisasi atau staf. Lebih jauh, sistem insentif masih jauh dari memuaskan. Masyarakat mengamati bahwa reorganisasi dipengaruhi oleh
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
kepentingan politik dan bisnis. DPRD dinilai kurang transparan dalam pembentukan peraturan daerah, dan KKN tetap berlanjut.
4. REKOMENDASI •
Pemerintah daerah memerlukan standar atau kriteria, di mana mereka dapat mengukur kinerjanya. Kinerja saat ini nampaknya berada di bawah standar pelayanan minimum. Pemerintah daerah memerlukan indikator kinerja untuk menilai secara objektif kinerjanya, tidak hanya dalam pelayanan publik, tetapi juga di seluruh aspek operasionalnya.
•
Standar kinerja ini harus memperoleh dukungan dari civil society. Ini akan menjamin adanya umpan-balik dari masyarakat dalam menilai kinerja pemerintah daerah.
•
Reorganisasi ke depan akan memberi manfaat dari strategi spesifik untuk melibatkan kelompok civil society dalam memperbaiki kinerja dalam sebuah pendekatan yang lebih dilembagakan. Sebagai contoh,
19 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
peraturan harus dikembangkan untuk memungkinkan (1) sosialsasi UU dan peraturan anggaran daerah, (2) keterlibatan publik dalam proses penyusunan UU, (3) aksesibilitas publik terhadap pembuatan RAPBD dan dokumen keuangan daerah lainnya, dan (4) perluasan kerja sama di antara pelaku kebijakan antardaerah. •
Lembaga pengawasan (ombudsman) akan membantu menciptakan tranparansi, akuntabilitas, dan juga perbaikan kinerja pemerintah.
•
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang menandingi otonomi daerah seperti Keppres 10/2001 harus dihentikan. Hal ini dapat berimplikasi di dalam maupun di luar isu reorganisasi.
•
Mekanisme yang lebih baik diperlukan untuk menjamin bahwa rekrutmen didasarkan pada kebutuhan dan kompetensi dan untuk memberikan proses yang lebih transparan dan objektif . Uji kelayakan dan kepantasan yang digunakan sebagai instrumen untuk merekrut Kepala Dinas mengilustrasikan kebutuhan ini.
D.
KENDATI SANGAT TERGANTUNG PADA SUBSIDI PEMERINTAH PUSAT, PEMERINTAH DAERAH BERUPAYA MENCARI CARA GUNA MENINGKATKAN SUMBER-SUMBER PENERIMAAN ASLI DAERAH DALAM BENTUK PAJAK DAN RETRIBUSI. MASYARAKAT DAERAH JUGA MENUNTUT DIADAKANNYA DIALOG DAN KONSULTASI YANG LEBIH BERSIFAT TERBUKA MENGENAI ALOKASI ANGGARAN.
1. TEMUAN Makin meningkatnya peran anggota DPRD dalam Pengeluaran Sebagai % Terhadap Total Anggaran
penyusunan APBD. Anggota DPRD lebih luwes dalam menetapkan prioritas pembangunan pada waktu mereka
100
memberikan masukan-masukan dalam rangka penyusunan
90
rencana pembangunan. Kontrol DPRD terhadap Mekanisme bagi pengelolaan anggaran menjadi lebih ketat karena melibatkan DPRD. ·
80
Persen
pengeluaran pemerintah daerah kini semakin terlihat.
70 60
Pemerintah daerah berhati-hati dalam menyusun APBD.
50
Dalam hal ini, telah ditetapkan pedoman baku bagi
40 2000
penggunaan dan alokasi dana APBD. Pemerintah daerah mulai merumuskan APBD yang lebih berimbang. Penyusunan APBD dilakukan secara lebih ketat dan cermat,
2001 Tahun
Semarang Gianyar
Salatiga Lombok Barat
Sidoarjo
khususnya dalam menentukan jumlah pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Perencanaan keuangan daerah meliputi pula penggunaan formulir isian anggaran, yang dalam hal ini membantu meningkatkan efisiensi anggaran.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
•
20 F
O U N D A T I O N
Pemerintah daerah mempunyai hak otonomi dalam Proporsi DAU dalam APBD 2002
pengelolaan anggaran. Pemerintah daerah dan wilayah mempunyai kebebasan yang lebih besar dalam pengelolaan
pembiayaan yang diterima oleh pemerintah daerah dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi di wilayah mereka, mereka juga berhasil mengidentifikasi beberapa peluang baru guna meningkatkan penerimaan.
100 50 0
Lokasi IRDA APBD (dalam Rp. milyar)
Minahasa
penerimaan pemerintah daerah. Di samping dana
150
Lombok Barat
Terdapat berbagai peluang guna meningkatkan
200
Gianyar
•
250
Sidoarjo
meningkat.
300
Pontianak
pembiayaan langsung pembangunan terlihat semakin
350
Bantul
perpajakan (Penerimaan Asli Daerah/PAD) sebagai sumber
400
Salatiga
kebutuhan daerah setempat. Penggunaan instrumen
Jumlah (dalam Rp milyar)
anggaran. Perencanaan pembangunan disesuaikan dengan
450
Semarang
•
S I A
Indramayu
A
H E
Deli Serdang
T
DAU (dalam Rp. milyar)
Menyadari fleksibilitas mereka guna bekerja sama dengan sektor swasta, mereka mulai mengundang para investor untuk mengembangkan daerahnya. Mereka juga telah merumuskan peraturan daerah baru di bidang perpajakan dan retribusi dalam upayanya meningkatkan penerimaan. •
Otonomi mendorong partisipasi rakyat dan munculnya transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Keuangan daerah merupakan salah satu bidang yang menjadi sorotan masyarakat. Masyarakat daerah kini menuntut diadakannya konsultasi publik dalam rangka perumusan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Tampaknya pun telah ada upaya-upaya untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa kasus, pemerintah daerah membuka kesempatan bagi debat publik
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
mengenai alokasi APBD. Pemerintah juga telah mengundang organisasi-organisasi masyarakat madani untuk membantu penyusunan RAPBD. Media massa juga memainkan peran yang penting dalam melaporkan penggunaan dana APBD sehingga penggunaan dana tersebut menjadi semakin transparans.
2. FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG •
UU dan peraturan pemerintah. UU No. 22 dan 25/1999 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola dana APBD mereka sendiri. UU tersebut juga memuat ketentuan tentang pemisahan fungsi eksekutif dan legislatif, yang memungkinkan DPRD untuk lebih terlibat dalam penetapan peraturan daerah (perda) tentang anggaran serta penentuan prioritas dalam rencana pembangunan. Selain itu, kewajiban bagi pihak eksekutif untuk menyusun Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) menimbulkan harapan semua pihak bahwa ada beberapa kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi dalam perencanaan APBD. Hal ini juga akan mendorong upaya-upaya ke arah efisiensi anggaran belanja pemerintah daerah serta munculnya tanggapan yang lebih bersifat transparan dari para pejabat pemerintah daerah terhadap tuntutan publik.
21 T
•
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
Tuntutan dan keterlibatan publik yang lebih besar. Hal ini makin memperkokoh faktor penunjang yang ada berupa UU dan peraturan pemerintah. Salah satu ukuran dari peningkatan tuntutan masyarakat akan masalah transparansi dan akuntabilitas adalah munculnya sejumlah mimbar rakyat (dari kalangan masyarakat dan sektor bisnis) serta sumber-sumber informasi pembangunan (misalnya, debat publik dan situs internet). Lembaga-lembaga penelitian memainkan peran penting selaku fasilitator dalam perumusan rencana strategis (Renstra) pembangunan. Keterlibatan masyarakat madani dalam keseluruhan proses tersebut tampak semakin meningkat.
3. KENDALA •
Kurang jelasnya ketentuan di dalam UU. Seperti halnya kebingungan yang melanda pada awal diterapkannya UU dan peraturan pemerintah tentang otonomi daerah, pemahaman terhadap UU No. 34 pun sangatlah terbatas. Sistem pengelolaan anggaran masih menggunakan UU yang lama dan belum mengakomodasi semangat yang tertuang dalam UU No. 22 dan 25/1999. Kendati UU tersebut memberikan kerangka bagi otonomi pengelolaan anggaran, namun langkah pemerintah daerah terhambat oleh kemungkinan terjadinya pertentangan antara peraturan pemerintah daerah dan peraturan pemerintah pusat akibat tidak adanya peraturan pemerintah yang bersifat penunjang.
•
Kemampuan Penganggaran yang Kurang Memadai. Beberapa anggota DPRD kurang memahami serta kurang memiliki keterampilan dalam tatacara penyusunan APBD. Format APBD tersebut demikian rumit.
•
Kerahasiaan seputar penyusunan APBD. Persepsi yang masih berlaku umum adalah bahwa APBD merupakan dokumen yang bersifat rahasia dan masyarakat tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi mengenai keuangan pemerintah daerah. Kelompok-kelompok civil society masih belum terwakili secara memadai dalam pengelolaan APBD, dan sosialisasi dari para anggota DPRD mengenai hal-hal yang
4. REKOMENDASI •
Instansi-instansi pemerintah pusat hendaknya mengeluarkan peraturan pemerintah yang bersifat penunjang. Hal ini akan memudahkan dilakukannya perubahan peraturan tingkat daerah yang dianggap tidak sejalan dengan UU tentang otonomi daerah.
•
Diperlukan pemahaman yang lebih besar perihal penyusunan APBD agar dapat lebih jelas dalam mengidentifikasi tahapan-tahapan di mana kelompok atau orang tertentu (BAPPEDA, bupati/walikota, kantor dinas anggaran setempat, DPRD, kelompok civil society, dsb.) dapat melibatkan diri. Keterampilan dalam menyusun anggaran di kalangan pejabat pemerintah daerah baik di jajaran eksekutif maupun legislatif perlu ditingkatkan guna mengimbangi tanggung jawab yang baru ini.
•
Kelompok-kelompok masyarakat hendaknya mulai memberikan tekanan guna melembagakan mekanisme partisipasi rakyat melalui, katakanlah, Forum Warga. Langkah ini akan mampu mendorong keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan fiskal di daerah maupun masalah-masalah lainnya. Keterlibatan
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
terkait dengan perolehan penerimaan dan penyusunan anggaran dirasakan masih kurang.
22 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
masyarakat sangatlah penting guna menopang munculnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan APBD. Mekanisme partisipasi masyarakat akan menuntut perubahan baik di pihak masyarakat madani maupun di jajaran pemerintah daerah. •
Pemerintah daerah perlu menentukan cara untuk memasukkan mekanisme partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan APBD. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah penciptaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan Forum Warga. Aspek lainnya adalah pengadaan sistem informasi keuangan daerah yang dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat. Langkah ini akan lebih meningkatkan transparansi.
E. PEMERINTAH DAERAH SALING BEKERJA SAMA DAN BERBAGI INFORMASI SATU SAMA LAIN DAN BERSAMA-SAMA DENGAN PEMERINTAH PROPINSI MENCOBA MEMECAHKAN BERBAGAI MASALAH YANG DIHADAPI BERSAMA. 1. TEMUAN •
Muncul prakarsa untuk mengadakan koordinasi di antara pemerintah daerah dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi bersama. Kepentingan bersama dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan penerimaan daerah, dan memecahkan persoalan serta konflik yang muncul sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi telah memotivasi pemerintah daerah untuk saling membantu satu sama lain. Pemerintah daerah kini bersikap proaktif dalam membentuk asosiasi antar daerah yang berbatasan dengan tujuan untuk saling membagi informasi dan langkah pemecahan terhadap masalahmasalah yang dihadapi bersama serta memberikan advokasi dalam rangka reformasi kebijakan.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
•
Ada rasa kemandirian yang sifatnya positif dan konstruktif terhadap pemerintah pusat. Ini merupakan gejala yang hendaknya tidak disalahartikan bahwa seolah-olah desentralisasi telah mencetuskan kecenderungan munculnya separatisme. Melainkan, pemerintah daerah menafsirkan otonomi daerah sebagaimana adanya sehingga dapat memperkuat dan mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kemandirian pemerintah daerah dalam mengelola kepentingan daerahnya sendiri telah menempatkan mereka dalam keadaan di mana mereka mampu bertindak secara bijak serta memandang pemerintah pusat sebagai fasilitator yang memungkinkan mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang selama ini
PENGALAMAN YANG PATUT DITELADANI Bupati Indramayu telah membina asosiasi di antara para pejabat pemerintah daerah kabupaten yang kaya akan sumber daya minyak dan gas bumi di lingkungannya. Asosiasi ini menyediakan forum bagi kabupaten-kabupaten tersebut untuk berunding dengan pemerintah pusat mengenai jumlah sumber daya migas yang diserahkan kembali kepada pemerintah daerah. Asosiasi ini telah melobi pemerintah pusat agar lebih transparan dalam mengalokasikan DAU kepada pemerintah Propinsi.
23 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
masih dilakukan oleh pemerintah pusat.
2. FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG •
Merasakan manfaat dari kerja sama. Menyadari akan kepentingan bersama berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat serta penanggulangan masalah yang dihadapi telah mendorong pemerintah daerah untuk saling bekerja sama dalam tatanan desentralisasi. Keberhasilan yang mereka peroleh dalam proses ini akan membuktikan manfaat dan efektivitas dari penggunaan sumber daya dan keterampilan secara bersama-sama dalam menanggulangi segala persoalan yang dihadapi bersama. Asosiasi yang lebih luas di antara pemerintah daerah merupakan faktor lain yang turut mendorong terjalinnya kemitraan dan kerja sama di antara dan antarpemerintah daerah. Melalui asosiasi tersebut, pemerintah daerah dapat saling berbagi pengalaman dan menggunakan kekuatan mereka sebagai suatu kelompok untuk menarik kembali sumber daya yang selama ini digunakan oleh pemerintah pusat.
•
Bantuan donor dan lembaga internasional. Program-program yang dijalankan oleh kelompok donor dan organisasi internasional telah memajukan dan memperkuat asosiasi di antara pemerintah daerah. Beberapa di antara program tersebut telah mempermudah terjalinnya hubungan yang lebih baik di antara dan antarpemerintah daerah, terutama dalam kasus-kasus di mana konflik-konflik dapat saja terjadi, seperti misalnya di bidang penataan dan pelestarian lingkungan.
3. KENDALA •
Ketidakseimbangan yang dapat terjadi dalam persekutuan. Kendati adanya asosiasi di antara pemerintah daerah merupakan salah satu faktor penunjang bagi peningkatan hubungan antarpemerintah Dalam beberapa hal, pemerintah daerah merasa bahwa asosiasi tersebut kurang bermanfaat karena tidak mengedepankan kepentingan seluruh anggotanya, melainkan hanya kepentingan segelintir daerah yang berpengaruh dan kaya raya.
•
Kurangnya kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola konflik. Hal ini telah menimbulkan persoalan di dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi antarpemerintah daerah. Persoalan tersebut dapat mencakup penyelesaian sengketa perbatasan dan pembagian penerimaan yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya yang terletak di dalam yurisdiksi dua daerah.
•
Peran dan tanggung jawab yang tidak jelas di antara jenjang pemerintahan. Kewenangan kini telah berpindah ke tangan pemerintah kota/kabupaten sedangkan pemerintah propinsi, yang masih dipandang sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, menjalankan fungsi koordinasi. Hal ini kadang-kadang menjadi sumber konflik, terutama di bidang-bidang di mana pemerintah propinsi kurang bersifat progresif dan proaktif dalam menjalankan perannya sebagai koordinator wilayah.
4. REKOMENDASI
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
daerah, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sehubungan dengan persekutuan ini.
24 T
A
H E
•
S I A
F
O U N D A T I O N
Sesuai dengan UU otonomi daerah yang berlaku, pemerintah pusat hendaknya memberikan kerangka peraturan perundang-undangan yang lebih jelas dan menyeluruh yang mengatur hubungan antarpemerintah daerah melalui dialog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
•
Pemerintah daerah, dengan bantuan pemerintah pusat dan lembaga-lembaga donor internasional, hendaknya melembagakan metode yang lebih sistematis bagi terciptanya kerja sama dan koordinasi antarpemerintah daerah guna menanggulangi berbagai persoalan yang dihadapi bersama.
•
Guna memaksimalkan peluang menciptakan hubungan yang bersifat produktif antarpemerintahan, maka perlu dilakukan peningkatan kemampuan asosiasi pemerintah daerah agar mewakili kepentingan para anggotanya.
III. ISU-ISU LINTAS SEKTORAL Diskusi dan analisis dari pihak-pihak yang berkepentingan telah menampilkan lima isu lintas sektoral yang perlu mendapat perhatian. Kelima isu itu merupakan faktor yang sangat penting dan mendasar dalam mempertimbangkan seberapa cepat desentralisasi atau otonomi tersebut akan berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Kelima isu tersebut adalah: A. Penduduk di daerah pada umumnya memahami prinsip-prinsip yang terkait dengan konsep otonomi, tetapi interpretasi mereka mengenai konsep tersebut sangat beragam. B. Partisipasi kaum perempuan di dalam proses pengambilan keputusan publik masih rendah dan terbatas. C. Tidak adanya hubungan antara sistem politik yang ada dengan otonomi daerah. D. Proses pengalihan aset masih belum jelas. First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
E. Kebijakan mengenai proses pemberian Dana Alokasi Umum/DAU masih belum jelas sementara pemahaman daerah mengenai masalah ini masih sangat terbatas. Bagian selanjutnya dari pembahasan ini akan mengkaji kelima isu penting tersebut dan mencoba mengajukan rekomendasi guna mengurangi hambatan yang mungkin timbul akibat kelima isu tersebut dalam mencapai keberhasilan sehubungan dengan proses desentralisasi.
A. PENDUDUK DI DAERAH PADA UMUMNYA MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP YANG TERKAIT DENGAN KONSEP OTONOMI, TETAPI INTERPRETASI MEREKA MENGENAI KONSEP TERSEBUT SANGAT BERAGAM. Laporan penelitian ini menggunakan istilah “desentralisasi” dan “otonomi daerah” secara bergantian. Alasannya adalah bahwa istilah “otonomi daerah” lebih menonjol di masyarakat. Evaluasi terhadap partisipasi rakyat pada hakikatnya adalah mencatat opini masyarakat maupun fakta-fakta objektif yang ada, dan opini masyarakat sangat dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang konsep otonomi daerah tersebut. IRDA Pertama memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman baik antar maupun di
25 T
antara jenjang pemerintahan mengenai arti yang sebenarnya dari otonomi daerah. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakjelasan mengenai hal-hal yang diatur dalam UU otonomi daerah, yang sesungguhnya dapat diperjelas melalui pembuatan peraturan pemerintah yang bersifat penunjang. Perbedaan pandangan itu sendiri sangatlah menarik. Bahkan perbedaan pandangan itu sangatlah penting karena bisa menyemarakkan atau mempengaruhi tanggapan terhadap kelima pokok bahasan sebagaimana yang telah diuraikan pada Bagian II, dan dengan demikian sangat penting dalam menafsirkan temuan-temuan yang diperoleh berkenaan dengan pokok-pokok bahasan tersebut. IRDA berikutnya perlu menelusuri perkembangan pemahaman ini guna mengetahui apakah serta di mana saja terjadi konsensus.
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
PEMAHAMAN DI TIINGKAT DESA/KELURAHAN • Otonomi daerah berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah Propinsi kepada pemerintahan desa/kelurahan. Kelurahan/desa menjadi unit pemerintahan yang otonom dan mempunyai wewenang untuk mengelola wilayahnya sendiri. Mereka dapat membuat sendiri rencana pembangunan wilayahnya dan melaksanakan rencana pembangunan tersebut berdasarkan kebutuhan desa yang bersangkutan, dengan bantuan dana dari pemerintah. Otonomi daerah juga berarti otonomi di tingkat desa. Ini mengandung arti bahwa masyarakat mempunyai wewenang untuk mengelola desa. Sebagian orang bahkan menganggap otonomi daerah sebagai sesuatu yang identik dengan otonomi desa. • Otonomi daerah mendorong partisipasi rakyat yang lebih besar dalam pembangunan desa. Warga masyarakat kini dapat menentukan kebijakan karena otonomi daerah menyediakan wadah bagi berlangsungnya dialog yang sifatnya konstruktif antara kepala desa/lurah dengan warganya. Pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD), misalnya, dan pemilihan ketua serta anggota BPD secara demokratis juga menunjukkan partisipasi rakyat yang semakin meningkat. • Wewenang yang dimiliki oleh desa dalam otonomi daerah masih belum jelas. Masyarakat belum memahami konsep otonomi daerah serta bagaimana prakteknya di lapangan. Oleh karena itu, perlu dibuat peraturan daerah guna memperjelas wewenang yang dimiliki oleh desa. • Otonomi daerah berarti pengalihan “beban pembangunan” kepada masyarakat yang terbukti dari meningkatnya jumlah pungutan pajak dan retribusi.
kotak di bawah ini mengilustrasikan bagaimana pemahaman masyarakat sejauh ini terhadap gagasan mengenai otonomi daerah. Tujuannya bukanlah untuk mempertimbangkan benar atau tidaknya konsep otonomi daerah ini, melainkan untuk menampilkan sejumlah gagasan dan aspirasi yang disampaikan.
REKOMENDASI •
Perlu dialog yang lebih intensif antara pemerintah dengan rakyat guna menjelaskan tentang konsep otonomi daerah. Diskusi wacana yang terus-menerus guna mendefinisikan konsep ini akan memudahkan terciptanya konsensus, yang diwujudkan berupa peraturan pemerintah yang bersifat penunjang guna menjelaskan mengenai konsep tersebut. Penciptaan iklim demokrasi akan mendorong munculnya mimbar rakyat sebagai mekanisme dialog.
•
Peningkatan peran media massa dalam mewartakan tentang kemajuan yang telah dicapai maupun dialog yang telah dilakukan akan dapat mempercepat proses terciptanya konsensus.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Contoh yang diuraikan dalam ketiga
26 T
A
H E
•
S I A
F
O U N D A T I O N
Penyebarluasan prakarsa yang berhasil serta praktek-praktek yang dilakukan oleh pihak lain yang terkait akan membantu memperjelas tentang arti yang sesungguhnya dari otonomi daerah. Kesadaran akan pengalaman nyata dapat membuat konsep ini menjadi lebih kongkret. Di sinilah antara lain peran media massa.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
PEMAHAMAN DI TINGKAT PROPINSI • Otonomi daerah dipahami sebagai pengalihan/pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dibandingkan dengan UU No. 5/1974, UU No. 22/1999 menempatkan pemerintah daerah dalam posisi yang lebih baik karena kini mereka mempunyai wewenang untuk mengelola daerah mereka sendiri, melaksanakan perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up), dan mempunyai kebebasan dalam menggunakan dana anggaran, meski tetap menjamin keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah menjadi lebih bermakna manakala pemerintah daerah juga menggunakan jaringan kerja antardaerah. • Hasil-hasil positif dari otonomi daerah meliputi peningkatan kemandirian daerah, yang memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan segala potensi dan sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah daerah juga mempunyai wewenang untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan pembangunan mereka sendiri, di samping juga wewenang untuk mengelola lembaga/instansi mereka sendiri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan kemampuan daerah itu sendiri. • Otonomi daerah telah mendorong reposisi lembaga DPRD, di mana DPRD kini memiliki wewenang yang lebih besar dalam proses kontrol. Lebih lanjut, diharapkan tercipta hubungan yang lebih seimbang antara lembaga legislatif dan eksekutif pemerintah daerah. • Otonomi daerah menyangkut peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pemberian pelayanan yang lebih baik oleh pemerintah. Sehubungan dengan itu, otonomi daerah menuntut bahwa hendaknya aparat birokrasi di daerah merupakan personil yang profesional dan memiliki kewenangan cukup besar. • Otonomi daerah berarti pemberdayaan rakyat. Melalui otonomi daerah, ada upaya-upaya agar pemerintah dapat lebih dekat dengan rakyat. Oleh karena itu, otonomi daerah mengarahkan pemerintah daerah (khususnya pihak eksekutif) agar menjadi fasilitator bagi warga masyarakat/masyarakat madani. Untuk memenuhi harapan ini, perlu dilakukan penyesuaian fungsi pemerintah daerah. • Otonomi daerah merupakan hasil dari proyek mantan Presiden Habibie yang tergesa-gesa membuat dan menyelesaikan seluruh perangkat UU dalam kurun waktu tertentu. Akibatnya, terdapat konsep yang tidak jelas serta ketidakkonsistenan perangkat UU yang terkait dengan otonomi daerah. Konsep otonomi daerah tidak dapat sepenuhnya dijalankan karena pemerintah pusat belum menyusun peraturan pemerintah (PP) penunjang dan karena definisi mengenai otonomi daerah itu sendiri masih belum sempurna. Definisi yang kurang lengkap serta PP yang dihasilkan telah menciptakan “tarik-menarik” kewenangan antara pemerintah daerah dan DPRD. • Dalam pelaksanaannya, pemerintah pusat dianggap ragu-ragu memberikan otonomi kepada daerah. Seakan-akan pemerintah pusat melepaskan bagian kepala tetapi masih memegangi bagian ekornya. Pemerintah pusat dianggap melimpahkan wewenang demi keuntungannya sendiri, yaitu mengurangi beban yang menjadi tanggung jawabnya. Otonomi daerah berarti beban tambahan bagi pemerintah daerah karena memiliki kewenangan fiskal yang terbatas. UU No. 22/1999 tetap dapat dipertahankan, sedangkan PP No. 25/2000 perlu direvisi.
27 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
• Perlu dipahami bahwa otonomi daerah merupakan proses. Oleh karena itu, ada langkah-langkah yang harus dilaksanakan: persiapan (2001), pelaksanaan (2002), konsolidasi (2003-2004), dan stabilisasi pada tahun 2007. Di dalam proses ini, pemberdayaan masyarakat, yang menuntut hubungan yang lebih erat antara pemerintah daerah dengan rakyat, juga berlangsung. • Otonomi daerah identik dengan desentralisasi. Otonomi daerah berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah membuat hubungan hirarkis antara pemerintah Propinsi dan pemerintah kabupaten/kotamadya menjadi berkurang. Otonomi daerah menimbulkan kesulitan dalam koordinasi karena daerah cenderung bertindak sekehendak hatinya sehingga dalam beberapa hal dapat menimbulkan berbagai persoalan antardaerah. • Di era otonomi daerah, pemerintah Propinsi dipandang sebagai koordinator dalam menangani persoalan-persoalan antardaerah (kabupaten/kotamadya), seperti misalnya pembangunan wilayah dan penyelesaian sengketa. Sesungguhnya, ada koordinasi yang intensif antara pemerintah Propinsi dan pemerintah kabupaten/kotamadya. Diakui bahwa otonomi daerah menjadi lebih bermakna apabila pemerintah daerah menggunakan jaringan kerja antardaerah. Sebagai contoh, konsep ekologi hendaknya bersifat holistik atau antardaerah, dan bukan bersifat parsial. • Karena otonomi berarti pelimpahan wewenang/kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Propinsi, maka hendaknya otonomi ditempatkan di tingkat Propinsi. Oleh karena itu, Pasal 4 UU No. 22/1999 perlu direvisi. Pemerintah kabupaten/kotamadya merupakan bagian dari pemerintah Propinsi dan pemerintah Propinsi merupakan bagian dari pemerintah pusat. Otonomi daerah berarti kewenangan untuk mengatur sendiri dalam konteks kemampuan dan kecakapan daerah. • Otonomi daerah mendorong partisipasi rakyat. Otonomi daerah memberikan kebebasan dan wewenang yang lebih luas dalam menciptakan produk hukum perundang-undangan, pengelolaan dana pembiayaan daerah, pelaksanaan pembangunan daerah demi kesejahteraan rakyat, pengembangan kemitraan yang menguntungkan, dan pengelolaan serta pembuatan desain tata ruang. Akan tetapi, dalam pada itu, otonomi daerah dipandang sebagai “tanggung jawab” dan wewenang tambahan yang mempunyai konsekuensi dari segi Pembiayaan, Pegawai dan Peralatan/Persediaan Daerah (PSD). • Walaupun memiliki beberapa aspek positif, namun otonomi daerah juga menimbulkan sejumlah masalah. Sebagai contoh, ada ketidakkonsistenan dalam peraturan pemerintah pusat dan daerah. Otonomi daerah begitu “membingungkan” dalam arti bahwa konsep tersebut diajukan tanpa panduan yang jelas dan memadai dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) dari pemerintah pusat. Ada berbagai penafsiran mengenai otonomi daerah, yang antara lain disebabkan oleh adanya tumpangtindih antara UU dan PP. Masih ada “tarik-menarik” antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena tidak semua wewenang yang dilimpahkan. Hingga taraf tertentu, pemerintah daerah dianggap lebih menekankan pada aspek kewenangan ketimbang kewajiban. Persoalan ini kemungkinan besar menimbulkan perlawanan di antara beberapa kelompok masyarakat terhadap konsep otonomi daerah.
B.
Partisipasi kaum perempuan di dalam proses pengambilan keputusan publik masih rendah dan terbatas. Isu ini memainkan peran penting dalam beberapa hal. Misalnya, kaum perempuan kurang berperan dibandingkan laki-laki di dalam forum musyawarah kelurahan. Demikian pula, wakil mereka di jajaran birokrasi masih tergolong sedikit. Lebih lanjut, mereka belum memiliki akses yang sama dan terbuka terhadap sumber daya yang dimiliki oleh daerah.
REKOMENDASI •
Perlu dibuat peraturan daerah tentang proses pengambilan keputusan di tingkat daerah sehingga keterlibatan kaum perempuan dalam perumusan kebijakan publik dapat terwujud.
•
Diperlukan keterlibatan yang lebih besar dari kaum perempuan dalam pelatihan dan perumusan kebijakan, khususnya bagi pemerintah daerah. Ini akan memungkinkan mereka mampu membuat peraturan pemerintah yang efektif.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
PEMAHAMAN DI TINGKAT PROPINSI
28 T
A
H E
•
S I A
F
O U N D A T I O N
UU tentang partisipasi rakyat hendaknya dapat dibuat guna mengatur partisipasi kaum perempuan dalam pembuatan UU.
C. Tidak adanya hubungan antara sistem politik yang dianut dengan otonomi daerah. Sistem politik yang dianut, yang tersirat dalam UU tentang Pemilu serta UU tentang partai politik, dirasakan sebagai isu penting yang dapat mempengaruhi proses desentralisasi. Peran yang dijalankan oleh pihak eksekutif maupun partai politik masih belum jelas benar. Apakah partai politik menjalankan perannya selaku wakil rakyat juga masih menjadi bahan pertanyaan. Agar benar-benar mewakili rakyat, mereka harus mulai menjelaskan siapa saja yang menjadi pemilih mereka. Dengan tidak adanya prinsip yang dapat dipahami secara jelas yang mengatur tentang peran dan tanggung jawab partai politik, sebagian pengamat melihat bahwa dinamika yang terjadi antara dan antarlembaga eksekutif, legislatif, serta partai politik tidak lebih dari suatu bentuk KKN guna memperkaya diri mereka sendiri. Proses pengambilan keputusan masih didominasi oleh para elite yang hanya akan melindungi kepentingan pribadinya sendiri. Penyusunan APBD masih merupakan bidang di mana aturan-aturan yang tidak jelas akan meningkatkan risiko munculnya pertanyaan-pertanyaan seputar proses pengerjaannya. Akuntabilitas DPRD yang mengesahkan APBD tersebut tidak pernah diganggu gugat. Laporan pertanggungjawaban akan memberikan landasan objektif dalam mengukur kinerja pemerintah daerah, dan dalam beberapa hal dapat menjadi alat bagi DPRD untuk memberhentikan bupati atau walikota. Bila bupati dan wakil bupati dipilih langsung oleh rakyat, maka mereka akan lebih bertanggung jawab kepada rakyat.
REKOMENDASI •
UU politik seyogyanya diubah guna memberi jalan bagi pemilihan pejabat kepala daerah serta anggota DPRD secara langsung oleh rakyat.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
•
Peraturan pemerintah tentang partai politik di daerah seyogyanya diubah. Perubahan peraturan tersebut akan menjamin terciptanya mekanisme yang memadai sedemikian rupa sehingga institusi-institusi politik (eksekutif, badan legislatif, dan partai politik) melaksanakan tugas-tugas sebagaimana yang diharapkan dalam rangka menciptakan demokrasi.
D. Proses pengalihan aset masih belum jelas. Secara resmi sebenarnya telah ada pengalihan aset, namun dalam prakteknya pengalihan tersebut belum terjadi. Status beberapa aset pemerintah pusat yang diharapkan dapat dialihkan kepemilikannya kepada pemerintah daerah hingga kini masih belum jelas. Hanya ada sedikit sekali informasi mengenai apakah aset-aset ini telah dijual atau belum. Sebagian aset yang telah dialihkan tidak didukung dengan bukti-bukti otentik yang kuat.
REKOMENDASI •
Perlu dibuat peraturan pemerintah yang jelas yang mengatur tata laksana pengalihan aset mulai dari pemerintah pusat hingga tingkat desa/kelurahan.
•
Perlu dibuat dokumentasi atas aset yang telah dialihkan kepemilikannya. Untuk itu perlu dilakukan
29 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
pencocokan antara klaim pemerintah pusat mengenai pengalihan aset dengan data mengenai aset yang benar-benar telah diterima oleh pemerintah daerah. E. Kebijakan mengenai proses pemberian Dana Alokasi Umum/DAU masih belum jelas sementara pemahaman daerah mengenai masalah ini masih sangat terbatas. Ada beberapa isu yang terkait dengan perumusan, penyalahgunaan, transparansi, dan cara pelaksanaan proses alokasi DAU. Banyak yang mengeluh tentang rumus dan kriteria yang digunakan dalam penghitungan DAU. Sebagian besar masalah itu diakibatkan oleh kurangnya pemahaman dan informasi tentang alokasi DAU baik di pihak pemerintah daerah maupun masyarakat umum. Kurangnya informasi serta adanya “calo” dan penyeleweng DAU merupakan pertanda kurangnya transparansi dalam proses alokasi DAU. Semua masalah ini masih diperparah lagi oleh pengaturan waktu yang tidak konsisten. Jadwal penyelesaian DAU tidak memudahkan penyusunan RAPBD. Kini, pemerintah daerah harus merencanakan RAPBD tanpa pemahaman yang jelas tentang besarnya dana yang akan mereka terima dalam rangka DAU dari pemerintah pusat. Perencanaan akan menjadi lebih baik seandainya, dalam penyusunan RAPBD, pemerintah daerah telah memiliki informasi yang cukup tentang perkiraan penerimaan mereka, termasuk DAU. Informasi ini terutama penting bagi daerah-daerah miskin. Di Jayapura, misalnya, pemerintah daerah tidak mampu meramalkan DAU yang akan diterimanya. Bahkan pada kenyataannya, DAU yang diterima menurun dari Rp. 148 milyar menjadi Rp. 125 milyar. Penurunan yang tak diperkirakan sebelumnya ini jelas mempengaruhi kegiatan dan pelayanan pemerintah daerah.
REKOMENDASI Proses perumusan, penyelesaian penyusunan, dan pendistribusian DAU hendaknya bersifat terbuka dan tepat waktu, dan hendaknya melibatkan pemerintah daerah secara langsung. •
Perlu dibuat suatu mekanisme konsultasi dan pengaduan masyarakat mengenai DAU.
•
Perlu dibuat suatu mekanisme konsultasi dan pengaduan masyarakat mengenai dana bagi hasil lainnya (pajak dan sumber daya alam).
IV. IRDA BERIKUTNYA IRDA I dilakukan setahun setelah mulai dilaksanakannya desentralisasi. Dalam kurun waktu yang singkat ini, ada beberapa indikasi positif perihal kemajuan dan pendalaman desentralisasi di Indonesia. Penelusuran secara terus-menerus terhadap kemajuan ini sangatlah penting, dan rancangan IRDA memberikan tinjauan secara berkala. Masukan-masukan dari beberapa seminar nasional dan diskusi tentang hasil penelitian IRDA I yang diselenggarakan tanggal 28 Februari 2002 maupun kemudian dari seminar tingkat daerah mengusulkan untuk (1) lebih memperdalam beberapa tema yang tercakup dalam IRDA I dan (2) memasukkan dan mengumpulkan data tentang tema-tema lain di luar tema yang sudah ada.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
•
30 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
Berikut ini adalah beberapa usulan yang disampaikan: •
Melanjutkan tema-tema yang telah dicakup dalam IRDA I. Beberapa usulan menunjuk kepada analisis yang lebih mendalam serta informasi tambahan terhadap kelima tema yang telah diuraikan dalam Bagian II. •
Keuangan. Publik tertarik untuk mengetahui bukan hanya perihal penerimaan yang diperoleh daerah, melainkan juga “sektor-sektor” yang menyumbang penerimaan tersebut. Dana subsidi semacam DAU tetap menjadi topik yang penting, khususnya sehubungan dengan dugaan adanya “calo” DAU. Apakah memang ada calo DAU? Apakah ada transaksi di balik alokasi DAU? Dalam kaitan ini, subsidi kepada pemerintah desa dan bagaimana dana itu digunakan juga merupakan topik yang sama pentingnya.
•
Anggaran. Di samping tertarik mengamati proses penyusunan anggaran di tingkat kotamadya dan kabupaten serta transparansi di dalam proses tersebut, masyarakat juga tertarik mengamati proses penyusunan anggaran di tingkat desa/kelurahan.
•
Partisipasi Rakyat. Siapa sajakah para peserta di dalam forum tersebut? Apakah semua ini hanya sekadar formalitas? Publik ingin mengetahui tentang sifat interaksi antara masyarakat dan pemerintah daerah. Ada sejumlah pertanyaan menyangkut apakah kebijakan-kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
•
Akuntabilitas. Publik juga tertarik untuk mengetahui tentang langkah-langkah apa yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan bahkan juga pemerintah pusat dalam menetapkan sistem pemeriksaan keuangan agar para pejabat pemerintah daerah tersebut dapat bertanggung jawab atas segala tindakan dan keputusannya.
•
Hubungan Antarpemerintahan. Publik masih terus tertarik mengamati berbagai dimensi dan pola yang mungkin terjadi dalam hubungan antarpemerintahan. Sebagai contoh, publik menanyakan tentang
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
apakah ada atau bagaimana pola kerja sama antar pemerintah Propinsi, dan bahkan juga tentang dinamika hubungan antarpemerintah desa/kelurahan. •
Pemberian Pelayanan. Topik ini merupakan inti dari desentralisasi. Oleh karena itu, masyarakat ingin mengetahui apakah otonomi daerah membuat pelayanan pemerintah kepada masyarakat, khususnya rakyat miskin, menjadi lebih baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah telah diterapkan standar kinerja pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat juga mempertanyakan apakah otonomi daerah membuat kinerja pejabat pemerintah daerah menjadi lebih baik. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang standar dan kriteria apa yang digunakan dalam mengukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
•
Topik-topik “baru” yang diusulkan. Beberapa topik berikut ini hanya disebutkan secara sepintas saja selama IRDA I. Para peserta kini mengusulkan agar topik-topik tersebut dimasukkan sebagai topik utama dalam IRDA berikutnya. Topik-topik tersebut antara lain: •
Peran DPRD. Pertanyaan seputar para anggota DPRD menenggelamkan isu-isu lainnya, mulai dari masalah pengetahuan dan kemampuan mereka dalam menjalankan fungsinya seperti misalnya dalam
31 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
pembuatan peraturan daerah (perda) ataupun penyusunan APBD, kualitas perundang-undangan yang mereka hasilkan, hingga kepada masalah KKN yang diyakini oleh banyak pihak melibatkan para anggota DPRD tersebut. Masyarakat ingin mengetahui apakah DPRD menyadari dampak yang ditimbulkan oleh perda yang mereka hasilkan, khususnya perda yang dianggap membebani masyarakat, atau menyadari bahwa perda tersebut bertentangan dengan UU yang berlaku. •
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ada kekhawatiran bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan membuat KKN juga merembes ke daerah. Oleh karena itu, masyarakat ingin mengetahui tentang dampak dari otonomi daerah terhadap masalah KKN di daerah.
•
Lingkungan Hidup. Lingkungan hidup dipandang sebagai salah satu sektor yang akan sangat terpengaruh oleh pelaksanaan otonomi daerah. Masyarakat tertarik untuk mengetahui komitmen pemerintah daerah terhadap pelestarian lingkungan atau bagaimana mereka mengeksploitasi sumber daya alam yang mereka miliki (misalnya hutan, dsb.).
•
Pengurangan Kemiskinan. Topik ini terkait dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Publik kini makin tertarik mengamati apakah pemerintah daerah meningkatkan pelayanan mereka dengan mempertimbangkan pula kepentingan kelompok miskin. Apakah pemerintah daerah melakukan langkah-langkah pemberantasan kemiskinan? Apakah mereka lebih sibuk membangun gedung-gedung baru? Apakah pemerintah daerah menganggap bahwa penghapusan kemiskinan merupakan tanggung jawab mereka?
•
Pandangan Pemerintah Pusat. Pandangan dan upaya pemerintah pusat untuk melaksanakan otonomi daerah sangatlah penting guna mengetahui kemajuan yang telah dicapai dalam rangka otonomi daerah.
•
Topik-topik lainnya yang diusulkan meliputi masalah jender dan peran sektor bisnis dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik di daerah.
penentuan agenda penelitian. Proses ini berpedoman pada keinginan untuk menghasilkan kesimpulan yang sangat bermanfaat bagi khalayak luas yang berkepentingan. Oleh karena itu, semua usulan ini akan dimasukkan sebagai masukan awal dalam tahap perencanaan IRDA berikutnya.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Tahap penentuan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam setiap putaran IRDA merupakan tahap
32 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
LAMPIRAN: Mitra Lokal dalam Riset IRDA I Bagian lampiran ini memperkenalkan tentang mitra kerja lokal yang terlibat dalam riset IRDA I serta menguraikan tentang lokasi penelitian mereka. 1.
Pusat Studi Wanita, Universitas Sumatera Utara (USU). Lembaga ini didirikan sebagai wadah bagi para staf pengajar di lingkungan USU dalam melakukan riset dan advokasi mengenai masalah-masalah jender dan hak-hak kaum perempuan. Riset dan advokasi yang dijalankan terutama diarahkan pada aspek kebijakan berikut implementasinya. Lokasi Penelitian: Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
2.
Indonesian Partnership on Governance Initiatives (IPGI). Berdiri pada tanggal 1 Januari 2001, IPGI merupakan organisasi nirlaba yang melibatkan jaringan kerja cukup luas dalam penelitian tentang partisipasi rakyat, pelatihan dan konsultansi, maupun advokasi dan pemberian nasihat tentang kebijakan pemerintah daerah. Lembaga ini bertujuan meningkatkan kemampuan kemitraan antarkelompok masyarakat madani dalam rangka mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik di tingkat daerah dan juga pembangunan yang berkelanjutan. IPGI beranggotakan orang-orang dari instansi pemerintah daerah, peneliti akademis, dan aktivis LSM/Ornop, dan oleh karena itu mampu menjembatani kesenjangan antara pemerintah, universitas, dan masyarakat madani. IPGI memulai kegiatannya dengan tiga buah kantor, yaitu satu sekretariat tingkat nasional yang berlokasi di Bandung serta dua kantor cabang di Solo dan Dumai. Lokasi Penelitian: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
3.
Center for Micro and Small Enterprise Dynamics (CEMSED) – Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). CEMSED merupakan pusat penelitian di lingkungan Fakultas Ekonomi UKSW di Salatiga. Lembaga ini didirikan guna turut ambil bagian dalam pengembangan dan pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) di sekitar Salatiga pada khususnya, dan Provinsi Jawa Tengah pada umumnya. Kegiatannya meliputi: riset kebijakan mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh UKM; pemberian pelatihan untuk para pelatih; pelatihan bisnis bagi UKM; penyelenggaraan seminar, diskusi, dialog, dan pertemuan bisnis dengan UKM; pengembangan jaringan UKM; dan pembuatan basis data tentang UKM. CEMSED melaksanakan kegiatan-kegiatan ini dengan bekerja sama dengan berbagai institusi seperti misalnya pemerintah daerah, LSM/Ornop, asosiasi bisnis, asosiasi konsultan, universitas, lembaga keuangan, dan donor internasional. Lokasi Penelitian: Kota Salatiga, Jawa Tengah
4.
Yayasan Persemaian Cinta Kemanusiaan (PERCIK). Lembaga ini didirikan dengan tujuan untuk memprakarsai upaya-upaya persemaian rasa kepedulian dan perhatian terhadap sesama, dan juga upaya-upaya menjunjung tinggi hak asasi serta martabat manusia dalam masyarakat yang heterogen. PERCIK aktif
33 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
terlibat dalam penelitian tentang berbagai masalah sosial dan kemanusiaan. Lembaga ini juga menyelenggarakan pelatihan, membantu upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, melaksanakan advokasi mengenai masalah-masalah demokrasi dan keadilan sosial, serta turut membantu dalam penyelesaian konflik. Lokasi Penelitian: Kota Semarang, Jawa Tengah 5.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) – Universitas Gadjah Mada (UGM). Lembaga ini didirikan tahun 1973 dengan tujuan untuk menghasilkan dan menyebarkan pengetahuan tentang masalahmasalah kependudukan, kesehatan organ reproduksi, kekerasaan terhadap perempuan, migrasi internasional, usaha berskala kecil, urbanisasi, industrialisasi, jaminan sosial, kemiskinan, dan masalah pemerintahan. PSKK adalah pusat studi lintas disiplin ilmu pengetahuan, di mana di dalamnya terdapat 34 tenaga peneliti dari berbagai disiplin ilmu seperti misalnya geografi, ekonomi, kedokteran, psikologi, demografi, sosiologi, antropologi, kebijakan pemerintah, dan manajemen. Lembaga ini telah melaksanakan lebih dari 200 proyek penelitian di berbagai bidang dan telah melatih lebih dari 1.000 peneliti muda dari berbagai universitas dan badan penelitian milik pemerintah. PSKK memiliki jaringan yang kuat dengan lembaga penelitian lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri, dan memiliki banyak koneksi dengan lembaga donor nasional maupun internasional. Lokasi Penelitian: Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta
6.
Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK). PUPUK merupakan organisasi swasta nirlaba yang bersifat independen dan tidak berafiliasi politik. Lembaga ini mempunyai komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan lebih terdesentralisasi. Tujuan utamanya adalah untuk memajukan para pengusaha kecil dalam menjalankan usahanya, membantu mereka dalam mencapai kecil menjadi usaha besar, melainkan membuat mereka menjadi lebih kuat, mandiri, dan mampu bertahan hidup. Prioritas kegiatannya adalah menyokong usaha kecil yang berpotensi tumbuh-kembang maupun yang menggunakan metode produksi yang bersifat melestarikan sumber daya alam serta memajukan perlindungan terhadap lingkungan. PUPUK juga mempunyai komitmen untuk turut ambil bagian dalam upaya pengembangan usaha kecil di daerah-daerah yang terbelakang, khususnya yang letaknya jauh dari pusat kegiatan ekonomi di Indonesia. Lokasi Penelitian: Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur
7.
Pusat Penelitian Otonomi Daerah Universitas Udayana. Lembaga ini didirikan pada bulan September 1996 atas prakarsa sekelompok staf pengajar dari berbagai disiplin ilmu di lingkungan Universitas Udayana. Lembaga ini telah banyak terlibat dalam beberapa kegiatan penelitian yang bekerja sama dengan sejumlah kabupaten dan kota di Bali, dan terlibat aktif dalam upaya pengembangan kemampuan di Badung, Gianyar, dan Denpasar. Selain itu, lembaga ini juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mendorong proses desentralisasi di Bali dengan bekerja sama dengan sejumlah instansi
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
sasaran mereka, dan berjuang keras untuk kepentingan mereka. PUPUK tidak bermaksud mengubah usaha
34 T
A
H E
S I A
F
O U N D A T I O N
pemerintah tingkat provinsi maupun pemerintah pusat, universitas lain, dan lembaga-lembaga internasional. Bersama-sama dengan Pusat Studi Wanita dan Pusat Studi Hukum Tradisional yang terdapat di lingkungan Universitas Udayana, lembaga ini melaksanakan program pemberdayaan perempuan serta pemberdayaan masyarakat tradisional di Bali. Lokasi Penelitian: Kabupaten Gianyar, Bali 8.
Yayasan KOSLATA. Koslata terbentuk tahun 1989 dan dimulai sebagai kelompok studi mahasiswa. Karena fokus perhatiannya lebih pada masalah-masalah sosial serta menjadi lebih aktif terlibat dalam pembangunan sosial, maka pada tanggal 21 Mei 1992 kelompok ini mengubah statusnya menjadi Yayasan Koslata. Kegiatannya meliputi penelitian tentang dampak kepariwisataan, advokasi bagi para pekerja dan petani pendatang, dialog terbuka tentang hak asasi manusia, penyelesaian konflik, dan pemberian penyuluhan mengenai hak-hak warganegara dalam rangka mendorong demokrasi. Yayasan ini banyak menerima bantuan dana dari berbagai lembaga donor internasional. Lokasi Penelitian: Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
9.
Yayasan Madanika. Yayasan Madanika adalah organisasi nirlaba yang berlokasi di Pontianak, Kalimantan Barat, dan didirikan tanggal 20 April 1998. Fokus perhatiannya adalah pada pengembangan kegiatan masyarakat madani di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat. Untuk itu, yayasan ini aktif terlibat dalam kegiatan penelitian dan publikasi, di samping juga pemberian pelatihan dan advokasi. Yayasan ini juga memfasilitasi kegiatan masyarakat. Di samping turut terlibat dalam IRDA, Yayasan Madanika juga melakukan kegiatan lain guna mendapatkan informasi tentang tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Kalimantan Barat.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Lokasi Penelitian: Kota Pontianak, Kalimantan Barat 10. Lembaga Manajemen dan Penelitian Pembangunan (LMPP) – Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT). Lembaga ini didirikan di lingkungan Fakultas Ekonomi dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan para staf pengajarnya di bidang riset dan pelatihan. Para peneliti yang tergabung di dalam lembaga ini mengkhususkan diri di bidang pembangunan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi regional dan usaha kecil. Lembaga ini telah menyelenggarakan pelatihan di bidang manajemen dan akuntansi dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga lainnya seperti Konrad-Adenauer-Stiftung dari Jerman dan JICA dari Jepang. Lokasi Penelitian: Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara 11. Lembaga Penelitian – Universitas Cendrawasih, Papua. Lembaga ini didirikan tahun 1983 dengan tujuan untuk mengelola kegiatan penelitian di lingkungan Universitas Cendrawasih. Kini, setelah terorganisasi dengan baik, lembaga ini bertanggung jawab mengawasi kegiatan beberapa pusat penelitian di lingkungan universitas tersebut yang menitikberatkan perhatian pada berbagai masalah seperti masalah lingkungan hidup, kependudukan, kajian wanita, kemasyarakatan, dan kebudayaan. Di samping
35 T
H E
A
S I A
F
O U N D A T I O N
mengkoordinir kegiatan penelitian reguler oleh para staf pengajar di lingkungan Universitas Cendrawasih, lembaga ini juga mengelola penelitian dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga dan organisasi lain seperti misalnya Pemerintah Propinsi Papua, Pemerintah Kota Jayapura, instansi pemerintah pusat, serta beberapa perusahaan swasta. Lokasi Penelitian: Kota Jayapura, Propinsi Papua 12. Center of Economic and Social Studies (CESS). Lembaga ini didirikan tanggal 22 Agustus 1994 oleh sekelompok orang yang mempunyai komitmen terhadap pembangunan sosial dan ekonomi di Indonesia. Lembaga ini mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui kegiatan penelitian, penyebaran informasi, dan kerja sama pembangunan lainnya. Dengan staf peneliti yang berkualitas dan berdedikasi tinggi, CESS melaksanakan kegiatan penelitian di bidang pengembangan pertanian, masalah-masalah kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia, pembangunan regional, perdagangan, dan masalah UKM. Lembaga ini menyampaikan hasil penelitiannya sebagai bahan masukan bagi perumusan kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional maupun internasional.
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
Lokasi Penelitian: DKI Jakarta
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
36 T H E
A S I A
F O U N D A T I O N
T H E
A S I A
F
First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal Synopsis of Findings
37
O U N D A T I O N
ABOUT THE FOUNDATION The Asia Foundation is a nonprofit, nongovermental grantmaking organization committed to the development of a peaceful prosperous, and open Asia-Pascific region. The Foundation supports programs in Asia that help improve governance and law, economic reform and development, women’s participation, and international relations. The Foundation gives priority to strengthening leadership and the capacity of local organizations, as well as improving public policy. Foundation grants are given for education and traning, technical assistance, exchanges, policy research, and educational materials. Founded in 1954, The Asia Foundation is headquartered in San Francisco, has 15 offices in Asia, and an office in Washington, D.C.