12
THE USE OF WAVELET POWER SPECTRUM FOR DETECTION AND IDENTIFICATION OF THINKING-INDUCED EEG SIGNALS Esmeralda C. Djamal‡, Harijono A. Tjokronegoro§, dan Soegijanto§ ABSTRAK Pada penelitian ini telah dibangun sistem deteksi dan identifikasi komponen-komponen gelombang di dalam sinyal EEG terhadap kondisi pikiran. Sinyal EEG diperoleh dari nara coba dengan dua kondisi pikiran, yaitu rileks dan non-rileks (berpikir). Sistem klasifikasi dibangun berdasarkan dominasi spektral energi masing-masing gelombang, yang mengidentifikasi kondisi pikiran tertentu. Dalam hal ini spektral daya dari daerah energi gelombang yang dievaluasi, didapat dari transformasi wavelet sinyal EEG. Penggunaan transformasi wavelet dapat mereduksi data tanpa kehilangan informasi yang berarti, yang ditunjukkan oleh penyimpangan rekonstruksi sinyal wavelet terhadap sinyal asli yang kecil. Metoda ini juga dapat mengatasi sifat non-stasioner, sehingga memberikan keberhasilan klasifikasi sebesar 85% untuk kondisi rileks dan 83% untuk kondisi non-rileks. Sementara pengaruh posisi elektroda terhadap keberhasilan pengamatan, diketahui bahwa posisi C3, C4 memberikan keberhasilan terbaik sedangkan kanal O1, O2 terburuk. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa untuk kondisi non rileks, ketidakseimbangan energi gelombang di otak dari kanal kiri-kanan lebih besar daripada kondisi rileks. Kata kunci: Sinyal EEG, Transformasi Wavelet, Spektral Daya, Deteksi dan Identifikasi Sinyal, ketidakseimbangan Energi Gelombang 1) Jurusan Fisika UNJANI, POBOX 148 Cimahi, email:
[email protected] ABSTRACT In this research, has been developed a detection and identification system of wave components in the EEG signal. EEG signal is drawn from two groups of human subjects based on two mind conditions, relaxed and nonrelaxed (thinking). Classification system was developed based on energy spectral of each wave, which identifies particular mind condition. In this research, power spectral was evaluated by wavelet transformation of EEG signal. The application of wavelet transformation enables the reduction of data without significant lost of information, as shown by small deviation of wavelet signal reconstruction with respect to its original. This method is also able to overcome non-stationary nature, provides classification success of 85% for relaxed condition and 83% for non-relaxed. Concerning the effect of electrode position, it is evident that position C3 and C4 provide the best outcome while the opposite occurs at position O1 and O2. The research also shows that, for non-relaxed condition, the non-equilibrium of wave energy of left-right channels in the brain is greater than relaxed. Keywords: EEG Signal, Wavelet Transformation, Power Spectral, Signal Detection and Identification, Wave energy non-equilibrium
1. PENDAHULUAN Sinyal elektroensephalogram (EEG) adalah sinyal bioelektrik yang berasal dari aktifitas listrik pada kortex atau permukaan kulit kepala, yang disebabkan aktifitas fisiologis dari otak. Instrumen EEG mempunyai peranan penting dalam bidang kedokteran, walaupun penggunaan teknik modern seperti CT Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang muncul belakangan juga dapat memeriksa kondisi fisik pada otak. Namun EEG lebih murah dan mempunyai keunggulan lain, yaitu dapat digunakan untuk mendeteksi pola pikiran atau kondisi mental seseorang. Hal ini tidak dengan mudah dapat diberikan oleh instrumen lain. Interpretasi sinyal EEG melalui pengamatan visual secara langsung sangat sukar mengingat amplitudo sinyal EEG demikian rendah dan polanya yang sangat kompleks. Di samping itu sebagaimana telah disebutkan, kandungan ‡ §
informasi di dalam sinyal EEG amat dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain kondisi mental, kesehatan, aktivitas dan usia pasien, lingkungan perekaman, gangguan listrik dari organ tubuh lain, juga oleh berbagai bentuk rangsangan luar. Sifat sinyal EEG pada umumnya non-stasioner dan random menambah kompleksitas dalam pemrosesan sinyal. Namun demikian, klasifikasi dari sinyal EEG terhadap perubahan variabel tertentu dapat menerangkan fungsi kerja dari otak dan menangkap perubahan aktifitas otak. Transformasi sinyal EEG menjadi suatu model, merupakan suatu cara yang sangat efektif dalam membantu klasifikasi sinyal EEG. Di samping itu juga sangat efektif untuk mendeteksi kemunculan suatu gelombang tertentu, mengidentifikasi dan mengestimasi spektrum sinyal EEG. Sinyal EEG terdiri dari komponenkomponen gelombang yang dibagi berdasarkan
Jurusan Fisika, Universitas A. Jani, PO Box 148 Cimahi Departemen Teknik Fisika, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung
Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
13
daerah frekuensinya. Oleh karena itu, representasi ke dalam domain frekuensi cukup banyak dilakukan pada penelitian-penelitian terhadap sinyal EEG. Dominasi kehadiran gelombang-gelombang di otak menunjukkan kondisi pikiran tertentu, yaitu: Gelombang Alfa (8 – 13 Hz), muncul apabila seseorang dalam keadaan sadar, mata tertutup dan kondisi rileks; Gelombang Beta (14 – 30 Hz), muncul apabila seseorang dalam keadaan berfikir; Gelombang Teta (4 – 7 Hz), terjadi apabila seseorang kondisi tidur ringan, mengantuk atau stres emosional; Gelombang Delta (0.5 – 3 Hz), apabila seseorang tidur nyenyak. Representasi dalam domain frekuensi antara lain untuk mencari kemunculan gelombang alfa terhadap rangsangan suara (Anderson dan Sijercic 1996), analisis pengaruh frekuensi kedipan cahaya (Akay 1998), dan model untuk klasifikasi sinyal EEG terhadap empat kondisi pikiran (Beth dkk. 2001). Sementara penelitian lain menggunakan model parametrik AutoRegressive untuk mengklasifikasikan sinyal EEG terhadap kondisi pikiran (Djamal dan Muchtadi 2001). Metoda lain yang juga pernah digunakan adalah penggunaan Jaringan Saraf Tiruan (JST) sebagai sistem klasifikasi terhadap beberapa kondisi mental, untuk memodelkan dan mengklasifikasikan beberapa aktifitas tubuh (Djamal dan Tjokronegoro 2003a), serta mendeteksi gelombang epilepsi (Djamal dan Tjokronegoro 2003b). Salah satu kelemahan dari penggunaan JST adalah tidak mudah untuk menjelaskan hubungan model JST dengan informasi yang terkandung dari sinyal EEG. Di samping itu sulit dihindari terjadinya divergensi pengenalan pola, terutama jika pemilihan model yang digunakan tidak tepat. Terdapat pula beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan transformasi wavelet (James 1997; Kim dkk. 1998; Kreiszyk 1999; Lowe 1997) yang menunjukkan keberhasilan yang cukup baik, mengingat metode ini dapat mengeliminasi sifat non-stasioner pada sinyal EEG. Berbeda dengan transformasi Fourier, pada transformasi wavelet, jika terjadi perubahan kecil pada sinyal (sifat non-stasioner) dalam domain waktu, maka koefisien wavelet pada domain frekuensi yang berubah hanya pada lokasi koefisien itu berada. Hal inilah yang menyebabkan metode ini popular aplikasinya untuk analisis sinyal non-stasioner. Di samping itu, penggunaan transformasi Fourier untuk
spektral daya mempunyai keterbatasan dalam jumlah data yang sedikit. Sehingga penggunaan transformasi wavelet pada pra pengolahan sinyal, memberikan alternatif solusi keterbatasan tersebut, tanpa kehilangan informasi yang berarti. Pada penelitian ini telah dilakukan penelitian tentang deteksi dan identifikasi (klasifikasi) sinyal EEG dengan menggunakan transformasi wavelet sebagai model sinyal EEG. Namun metoda analisis yang digunakan kemudian adalah berbeda dengan yang telah digunakan oleh peneliti yang lalu (Muchtadi dan Kusumandari 1999). Pada penelitian ini analisis dilakukan dengan identifikasi komponen frekuensi dari koefisien wavelet yang telah diperoleh pada langkah sebelumnya. Sinyal EEG yang akan diklasifikasikan sebagai kasus dalam penelitian ini terbagi atas dua kondisi pikiran, yaitu kondisi rileks, dan berpikir (non-rileks). Adapun rancangan pemodelan dan sistem klasifikasi dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan langkah sebagai berikut: 1. Transformasi wavelet Symmlet 5 langkah 2. Analisis spektral dari sinyal wavelet; 3. Sistem klasifikasi; 4. Hasil klasifikasi. Pada makalah ini, diawali dengan transformasi wavelet yang dilanjutkan dengan deskripsi data EEG yang digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya berturut-turut dikemukakan teknik klasifikasi sinyal EEG, hasil pengujian, dan pada akhir makalah diberikan kesimpulan dari penelitian. 2. TRANSFORMASI WAVELET Dewasa ini penggunaan transformasi wavelet cukup luas antara lain untuk analisis sinyal, citra, dan kompresi data. Transformasi wavelet telah terbukti sangat berguna untuk analisis sinyal non stasioner. Seperti pada transformasi Fourier, pada transformasi wavelet juga mengubah sinyal ke dalam bentuk dimensi lain, yaitu ke dalam komponen-komponen fungsi basis yang disebut wavelet. Berbeda dari transformasi Fourier, hasil dari transformasi wavelet adalah dalam domain waktu, sehingga dapat diungkapkan waktu perubahan frekuensi dari sinyal yang ditangkap. Seperti pada transformasi Fourier, transformasi wavelet terhadap sembarang sinyal dibangun atas kombinasi linier dari fungsi basis. Fungsi basis wavelet ψ (t ) , didefinisikan sebagai berikut: 1 t .......(1) (t ) ,
Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK
14 dengan adalah pergeseran waktu, dan adalah faktor skala. Besaran 1 berperan σ
untuk normalisasi amplitudo atau konservasi energi dari dilatasi. Dengan transformasi wavelet, yang menggunakan fungsi basis seperti dinyatakan dari persamaan (1), memungkinkan analisis sinyal dilakukan dengan multiresolusi pada domain frekuensi. Yang berarti bahwa setiap komponen frekuensi dapat dipelajari dengan resolusi yang lebih baik. Transfomasi wavelet sinyal kontinu akan menghasilkan koefisien sebagai berikut: 1 t . .......(2) C ( , ) x(t ) dt R
Pada transformasi wavelet diskrit, faktor skala
dan pergeseran waktu menjadi besaran yang terbatas, sehingga disebut dengan skala diadik, yang dinyatakan sebagai: .......(3) σ = 2 j; τ = k2 j dengan j adalah tingkat skala dyadic dan k adalah waktu diskrit, dan keduanya adalah bilangan integer. Dengan demikian transformasi wavelet diskrit dari (2) dituliskan sebagai berikut: DWTx (, ) C(, ) C( j, k )
1 2j
T 2 j .......(4)
x(kT) * k k
dengan T adalah perioda sampling. Pada persamaan (4) terjadi proyeksi sinyal x(kT ) terhadap fungsi window yang tidak lain adalah fungsi basis wavelet yang terskala. Transformasi wavelet pada persaman (4) menunjukan bahwa pada setiap skala yang diberikan, analisis sinyal dilakukan pada daerah waktu, dan frekuensi yang ditetapkan oleh faktor skala . Untuk faktor yang besar akan terjadi penyusutan skala atau kompresi terhadap fungsi window wavelet (t), sehingga detil sinyal akan tampak lebih baik. Sebaliknya jika faktor adalah kecil akan terjadi pemekaran skala terhadap fungsi window (t), sehingga detil sinyal akan berkurang, yang berarti hanya akan tampak komponen sinyal pada frekuensi rendah. Terlihat pula selain ditentukan oleh faktor skala , analisis wavelet juga bergantung pada fungsi wavelet (fungsi basis) (kT) yang dipilih. Faktor skala sangat penting pada analisis wavelet, yaitu memberikan interpretasi terhadap informasi atau frekuensi dari sinyal yang dianalisis. Dengan faktor skala ini analisis wavelet pada domain frekuensi terjadi pada sekuens oktaf demi oktaf, terhadap fungsi basis (fungsi wavelet). Rekonstruksi Sinyal dengan Wavelet
Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
Selanjutnya, dari C(,) atau C(j,k) dapat dilakukan sintesa wavelet untuk merekonstruksi sinyal x(t ) , yang diberikan oleh: .......(5) xˆ (t ) C ( j, k ) (t ) j, k j k Bergantung pada jumlah komponen yang diperhatikan, persamaan (5) merupakan sinyal detil jika j J, dan merupakan sinyal aproksimasi jika j > J, dengan J adalah tingkat referensi atau langkah dekomposisi yang dipilih. Persamaan (5) dapat dituliskan kembali menjadi: xˆ ( t ) A J D J C( j, k ) j, k ( t ) jJ k C( j, k ) j, k ( t ) j J k
.......(6)
Dari persamaan (6) selanjutnya dapat direka ulang menjadi sinyal aproksimasi dan sinyal detil untuk langkah selanjutnya, sehingga dinyatakan pada persamaan berikut: .......(7) A A D J 1
J
J
Dengan memetakan faktor J, maka informasi sinyal dapat ditampilkan sebagaimana pada tujuan tranformasi. Dengan cara di atas, pada analisis wavelet, sinyal x(t) dapat diekstraksi menjadi komponen-komponen frekuensi tertentu sehingga dapat menghilangkan nois. Dalam realisasi penelitian ini, data sinyal EEG disampling dengan frekuensi 250 Hz, sehingga menghasilkan frekuensi Nyquist sebesar 125 Hz. Sementara, berdasarkan pada proses (7), ekstraksi frekuensi alfa (8-13 Hz), beta (14-30 Hz) dan teta (4-7 Hz) mengikuti struktur wavelet packet sebagai ditunjukan pada Gambar 1. Dari Gambar 1, bagian yang diarsir (DAAAA5, DAAA4, dan DAA3), meliputi frekuensi 3,9 – 31,25 Hz. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa analisis hanya dilakukan untuk gelombang alfa, beta, dan teta yang memuat frekuensi tersebut. 3. ESTIMASI KERAPATAN SPEKTRAL DAYA METODA WELCH Terhadap hasil transformasi wavelet yang direkonstruksikan pada persamaan (6), selanjutnya dianalisis dengan kerapatan spektral daya menggunakan metoda Welch. Misalkan, pada diberikan N data t = NTs x( N ) : x(0), x(2), x(3),.....,x( N 1) dengan perioda sampling T s . Maka spektral daya dengan metode Welch dari x(i, L) : x(i), x(i 1), x(i 2),..., x(i L 1) diberikan oleh:
15
0 - 125 A1
D1
0 - 62,5 AA 2
62,5 - 125 DA2
0 - 31,25
31,25-62,5
AAA 3
DAA 3
0-15,62
15,63-31,25
AAAA 4
DAAA 4
0-7,81
7,81-15,62
AAAAA 5
DAAAA 5
0-3,9
3,9-7,81
Gambar 1. Wavelet Packet lima langkah terhadap sinyal EEG. S
xi
L 1 jl () x(i l m)e l 0
2 ,
2 N
.......(8)
Selanjutnya, dari N data sinyal EEG x(N ) dibagi atas K kelompok data masing-masing x(i, L), i 1,2,3,..., K , dengan panjang L < N , dengan x(i, L) adalah kelompok ke i dari data x(N ) sepanjang L data, dan m l adalah besar overlap. Maka spektral daya dari x(N ) diberikan oleh: S x ()
1 K
K
S i 1
xi
()
.......(9)
Untuk meningkatkan resolusi dari spektral terestimasi, sebelumnya terhadap setiap kelompok sinyal dilakukan windowing: x w (t ) x(t ) w(t ) .....(10) dengan {w(n) : w(0), w(1), w(2),......} adalah sekuens fungsi window. Sehingga spektral daya yang diperoleh adalah: S xw ()
1 2 X () *W () 2N
.....(11)
Yang terlihat dari persamaan (11) adalah bahwa komponen-komponen daya dari sinyal EEG adalah dibentuk oleh fungsi window yang digunakan, yang amplitudonya adalah proporsional dengan amplitudo komponen daya yang bersangkutan. Panjang window berpengaruh terhadap resolusi komponen frekuensi, yang semakin pendek, komponen frekuensi tinggi akan terikutsertakan. Namun konsekuensinya, jika dominan, dan pada daerah nois akan mengganggu. Sehingga panjang window amatlah menentukan dalam analisis. 4. DESKRIPSI DATA EEG Set-up sistem pengukuran sinyal EEG biasanya menggunakan sistem internasional 1020, dengan meletakkan sejumlah elektroda di permukaan kulit kepala. Dengan metode ini dapat diperoleh hasil perekaman mencapai 20 kanal sinyal EEG. Data sinyal EEG yang digunakan untuk penelitian ini adalah basis data
yang dibuat oleh Keirn dan Aunon, yang digunakan dalam penelitian terdahulu (Djamal dan Muchtadi 2001). Untuk sinyal EEG tersebut, nara coba berada di dalam studio yang mempunyai pengaturan suara serta cahaya yang nyaman dan bebas dari bising. Perekaman demikian dimaksudkan agar dapat meminimalkan pengaruh variabel lain dalam pengukuran sinyal EEG. Elektroda yang digunakan adalah elektroda-Cap elastik untuk merekam posisi C3, C4, P3, P4, O1, dan 02. Masing-masing sinyal EEG direkam selama 10 detik dengan frekuensi sampling 250 Hz, sehingga diperoleh sinyal EEG sebanyak 2500 sampel. Perekaman dilakukan terhadap 7 nara coba, yang masing-masing dilakukan dengan 5 kali pengukuran, dan berasal dari 6 kanal. Berdasarkan data sinyal EEG yang digunakan pada penelitian ini (Djamal dan Muchtadi 2001), kondisi nara coba telah ditetapkan, yaitu: 1. Kondisi Rileks: pasien tidak memikirkan apapun, dalam keadaan sadar dan mata tertutup. Jumlah data menjadi 7 x 5 x 6 = 210 set. 2. Kondisi Non-rileks atau berpikir, yang terdiri dari tiga pikiran, yaitu: a. Aritmatika: pasien diminta untuk menghitung formula matematik sederhana di dalam hati. Jumlah data asimetrinya 7 x 5 x 6 = 210 set. b. Bersurat: pasien diminta membuat surat singkat di dalam hati. Jumlah data asimetrinya menjadi 7 x 5 x 6 = 210 set. Sehingga seluruhnya terdapat 630 set sinyal EEG. Kemudian terhadap setiap sinyal EEG yang diperoleh dari tiap kanal (sebanyak 630 data), dianalisis spektral daya dari transformasi waveletnya. 5. SISTEM DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Sistem deteksi dan identifikasi komponenkomponen gelombang sinyal EEG, khususnya gelombang alfa, beta, dan teta dilakukan terhadap spektral daya wavelet. Estimasi spektral Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK
16
dilakukan pada persamaan (11), dengan window Bartlett lebar satu detik. Untuk memperkaya informasi, estimasi dilakukan dengan teknik overlap, agar sinyal pada window berikutnya masih memuat informasi pada window sebelumnya, seperti yang dimaksud pada Gambar 2.
prosentase dari gelombang yang bersangkutan. Daerah gelombang yang mempunyai prosentasi luas besar, dikatakan gelombang yang bersangkutan adalah dominan, sekaligus menginformasikan terjadinya kondisi pikiran tertentu. Jika gelombang alfa yang dominan, merefleksikan kondisi rileks. Sedangkan jika yang dominan gelombang beta, menyatakan kondisi pikiran dengan aktivitas tinggi, dan gelombang teta mencirikan kondisi mengantuk atau stres emosional.
Gambar 2. Lebar windows dengan Overlap
6. HASIL PENGUJIAN Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, pada penelitian ini digunakan wavelet packets yang meliputi frekuensi 3,9 – 31,25 Hz. Representasi sinyal wavelet terhadap sinyal asli, diperlihatkan pada Gambar 4.
Pada Gambar 2, window pertama dinyatakan oleh garis lurus, sementara window selanjutnya oleh garis putus-putus. Oleh karena itu, informasi dapat termuat pada dua window yang berurutan. Selanjutnya dari dibangun sistem deteksi dan identifikasi terhadap gelombang alfa, beta, dan teta. Deteksi dan identifikasi dilakukan berdasarkan dominasi energi tiap gelombang. Untuk kondisi pikiran rileks, ditandai dengan identifikasi dominasi energi gelombang alfa,. Untuk kondisi berpikir, diidentifikasi dengan energi gelombang beta yang dominan. Sedangkan dominasi energi gelombang teta menunjukkan kondisi mengantuk/stres emosional. Mengingat nara coba dalam keadaan normal dan sadar, kecil kemungkinan gelombang delta akan muncul. Oleh karena itu, sehingga tidak dilakukan deteksi dan identifikasi terhadap gelombang delta. Sistem deteksi dan identifikasi dibangun berdasarkan spektral daya wavelet pada masingmasing daerah gelombang, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3a, 3b, dan 3c. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar, tinggi bingkai tiap gelombang tidak sama. Ini didasarkan pada probabilitas spektral daya dari wavelet masing-masing gelombang. 30
30
(b) Gambar 4 a) Sinyal Wavelet terhadap Sinyal Asli b) Penyimpangan Absolut
30
20
20
10
10
13 8 Frekuensi (Hz)
20
10
14 30 Frekuensi (Hz)
(a)
4 7 Frekuensi (Hz)
(a) (b) (c) Gambar 3. Sistem Deteksi dan Identifikasi a.Gelombang alfa, b.Gelombang beta, c. Gelombang teta Pada Gambar 3, dihitung prosentasi luas spektral yang diarsir dibandingkan dengan luas bingkai. Besar rasio tersebut merupakan Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
Terlihat pada Gambar 4a dan b bahwa antara sinyal asli dengan dekomposisi wavelet mempunyai penyimpangan yang kecil. Dengan demikian hasil transformasi wavelet dari sinyal EEG dapat digunakan untuk pemrosesan selanjutnya, yaitu dengan spektral daya. Pada langkah awal, terhadap sinyal wavelet dilakukan analisis spektral daya untuk sejumlah selang waktu tertentu, untuk menguji konsistensi/sifat stasioner. 9 kurva spektral daya
17
wavelet terhadap waktu diperlihatkan pada Gambar 5a untuk kondisi rileks dan Gambar 5b untuk kondisi non rileks.
PSD rata-rata 1
0.9
0.8
3500
0.7
3000
0.6
2500 0.5
2000 1500
0.4
1000 0.3
500 0 60
0.2
40
3
Frekuensi (Hz)
0.1
2
20
0
1 0
0
0
10
20
Waktu (detik)
30 Frekuensi (Hz)
40
50
60
(a)
(a)
PSD rata-rata 1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
(b) Gambar 5. Spektral daya Wavelet terhadap Waktu (a) kondisi rileks (b) kondisi non-rileks Terlihat pada Gambar 5a, untuk kondisi rileks menunjukkan bahwa spektral daya relatif konsisten yang meliputi hampir seluruh kondisi rileks. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan analisis spektral untuk sinyal EEG kondisi rileks sesuai mengingat sinyal mendekati stasioner. Namun untuk kondisi non-rileks, walaupun penggunaan transformasi wavelet untuk sinyal EEG tersebut umumnya stasioner, namun terdapat 27% kasus yang tidak konsisten, seperti contoh yang diperlihatkan pada Gambar 5b. Jika spektral daya pada Gambar 5 dirataratakan untuk setiap frekuensi, maka dihasilkan kurva spektral daya rata-rata sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6a memperlihatkan bahwa representasi spektral pada kondisi rileks didominasi gelombang alfa (8-13 Hz), sementara pada kondisi non rileks (Gambar 6b) gelombang beta (14-30 Hz) dominan daripada ketiga gelombang lainnya. Hal ini adalah sesuai dengan hipotesis bahwa gelombang alfa akan dominan pada kondisi rileks, dan gelombang beta akan dominan pada kondisi non-rileks/berpikir.
0.2
0.1
0
0
10
20
30 Frekuensi (Hz)
40
50
60
(b) Gambar 6. Spektral daya rata-rata (a) kondisi rileks (b) kondisi non-rileks Sementara gelombang teta akan dominan pada saat mengantuk/stres emosional. Hal inilah yang merupakan dasar sistem klasifikasi. Namun, dari keseluruhan data yang diuji, tidak semua menunjukkan hasil demikian, sehingga perlu membangun sistem klasifikasi, yang dilakukan atas dasar dominasi energi gelombanggelombang pada sinyal EEG. Selanjutnya, untuk melihat distribusi dominasi energi masing-masing gelombang, dari 35 set data yang tersedia, diperoleh kurva distribusi energi dominan seperti ditunjukkan pada Gambar 7 untuk kondisi rileks dan pada Gambar 9 untuk kondisi non rileks. Dari Gambar 7 dan Gambar 9, kemudian dapat diplot distribusi probabilitas energi gelombang dalam kondisi rileks (Gambar 8), dan kondisi non rileks (Gambar 10).
Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK
18
7000
7000 7000
7000
6000
6000 6000
6000
5000
5000 5000
5000
4000
4000 4000
4000
3000
3000 3000
3000
2000
2000 2000
2000
1000
1000 1000
1000
0
0 1
3 5
7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
1
0 3 15 37 59 7 11 9 1311 15 13 1715 19 17 2119 23 21 2523 27 25 2927 3129 33 31 3533 35
kasus
kasuskasus
(a)
(a)
7000 7000
7000
6000 6000
6000
5000 5000
5000
4000 4000
4000
3000 3000
3000
2000 2000
2000
1000 1000
1000
0
21 23 25 27 29 31 33 35
0 3 15 37 59 11 7 13 9 11 15 13 17 15 19 17 21 19 23 21 25 23 27 25 29 27 31 29 33 31 35 33 35
1
0 1
3 5
7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
kasuskasus
(b) Gambar 7. Energi (a) daerah alfa (b) daerah beta kondisi rileks
(b) Gambar 9. Energi (a) daerah alfa (b) daerah beta kondisi non-rileks 12
25
10
Probabilitas
20
Probabilitas
kasus
15 10
8 6 4 2
5
0
0 0-1000
0-500 501- 1001- 1501- 2001- 2501- 3001- 3501- 4001- 45011000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000
1000-2000 2000-3000 3000-4000 4000-5000 5000-6000
Energi
Energi
(a)
(a) 14 20
10 8
Probabilitas
Probabilitas
12
6 4 2
15 10 5
0 0-500
501- 1001- 1501- 2001- 2501- 3001- 3501- 4001- 45011000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000
(b) Gambar 8. Fungsi distribusi probabilitas energi (a) daerah alfa (b) daerah beta kondisi rileks
Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
0 0-1000
1000-2000 2000-3000 3000-4000 4000-5000 5000-6000
Energi
(b) Gambar 10. Fungsi distribusi probabilitas energi (a) daerah alfa (b) daerah beta kondisi non- rileks
0 1
3 5
7 9
19
Secara umum, ketiga kanal memberikan pola yang mirip, yaitu mendekati distribusi Gaussian (seperti ditunjukkan pada Gambar 7-10), sehingga pengaruh kanal terhadap kondisi pikiran tidaklah menonjol. Namun demikian untuk kanal occipital pendekatan fungsi Gaussian mempunyai penyimpangan paling besar. Dari gambar 8 dan 10 menunjukkan pula bahwa rata-rata gelombang alfa lebih tinggi daripada rata-rata gelombang beta pada kondisi rileks, sebaliknya rata-rata gelombang beta lebih tinggi daripada rata-rata gelombang beta pada kondisi non rileks. Pengujian Sistem Klasifikasi terdiri atas dua kondisi, yaitu kondisi rileks dan non-rileks. Pada kondisi rileks, dominasi gelombang alfa memberikan bobot kebenaran, sementara kondisi berpikir/non-rileks, dominasi gelombang beta yang ditinjau memberikan bobot kebenaran. Sementara gelombang lain yang kemungkinan muncul dominan adalah gelombang teta. Gelombang teta muncul pada saat kondisi mengantuk, namun tak sesuai dengan kondisi pikiran sinyal EEG yang digunakan dalam percobaan tersebut. Hasil pengujian selanjutnya dinyatakan pada Tabel 1 untuk sistem klasifikasi yang dibangun berdasarkan spektral daya, dan Tabel 2 untuk sistem klasifikasi yang dibangun berdasarkan spektral daya wavelet. Tanda arsiran pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan prosentase kebenaran sistem klasifikasi untuk tiap kondisi. Oleh karena itu total hasil pengujian untuk seluruh kondisi dan
kedua metoda diperlihatkan pada Tabel 3. Terlihat untuk kondisi rileks, penggunaan wavelet sebagai pra pengolahan sinyal EEG meningkatkan keberhasilan pengenalan dari 58% menjadi 85%. Sementara kondisi non rileks meningkat dari 60% menjadi 83%. Peningkatan keberhasilan klasifikasi oleh karena penggunaan transformasi wavelet. Hal ini karena sifat non stasioner diminimalkan dengan penggunaan wavelet sebagai pra model. Berkurangnya keberhasilan klasifikasi pada saat kondisi berpikir kemungkinan disebabkan beberapa kasus (sekitar 27%), antara lain oleh karena sinyal EEG tetap mempunyai sifat non stasioner pada saat berpikir. Sehingga analisis spektral daya yang digunakan (dengan metoda Welch) kurang tepat untuk sinyal non stasioner. Pada Tabel 3 juga memperlihatkan pula bahwa titik pengukuran yang memberikan keberhasilan klasifikasi yang paling tinggi adalah kanal C3 dan C4 (posisi tengah). Hal ini disebabkan aktivitas listrik seseorang pada saat memikirkan sesuatu lebih dominan di daerah tengah dari otak. Berdasarkan penelitian terdahulu, keseimbangan kanal kiri-kanan akan diperoleh pada sinyal EEG dalam kondisi rileks. Sehingga untuk sinyal EEG dua kondisi pikiran, dibandingkan ketidakseimbangan antara kanal kiri-kanan untuk setiap gelombang. Jika energi tiap gelombang dari kanal kiri dan kanan dibandingkan, rata-ratanya ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 1. Kemunculan Gelombang yang Dominan dengan PSD. Kondisi
Rileks
Rileks
Berhitung
NonRileks
Bersurat
Rotasi
Gelombang Alfa Beta Teta Alfa Beta Teta Alfa Beta Teta Alfa Beta
C3 71 29 0 54 46 0 43 57 0 69 31
C4 74 26 0 57 43 0 31 69 0 63 37
Teta
0
0
Kemunculan Gelombang (dalam %) Kanal RataRata-rata Kondisi rata O1 O2 P3 P4 51 49 0 14 86 0 20 80 0 40 60
51 49 0 29 71 0 26 74 0 31 69
51 49 0 40 60 0 34 66 0 51 49
51 49 0 40 60 0 26 74 0 51 49
59 41 0 39 61 0 30 70 0 51 49
0
0
0
0
0
Rileks
NonRileks
Alfa Beta Teta
56 44 0
Alfa
40
Beta
60
Teta
0
Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK
20
Tabel 2. Kemunculan Gelombang yang Dominan dengan PSD Wavelet Kondisi
Rileks
Gelombang
Rileks
Berhitung
NonRileks
Bersurat
Rotasi
Alfa Beta Teta Alfa Beta Teta Alfa Beta Teta Alfa Beta
C3 91 9 0 7 93 0 16 80 4 7 93
C4 86 14 0 7 86 7 21 74 5 7 93
Teta
0
0
Kemunculan Gelombang (dalam %) Kanal RataRata-rata Kondisi rata O1 O2 P3 P4 83 83 83 83 85 Alfa 85 14 17 8 14 13 Rileks Beta 13 3 0 9 3 3 Teta 3 4 9 10 15 9 93 86 86 82 88 Alfa 16 3 5 4 3 4 20 26 34 26 24 Non69 74 66 74 73 Beta 83 Rileks 11 0 0 0 3 7 10 7 7 8 93 89 82 86 89 Teta 1
Tabel 3. Pengujian Sistem Klasifikasi Sinyal EEG dengan Kondisi Pikiran. Keberhasilan (%) PSD dari PSD Transformasi Wavelet
Kanal
Kondisi Kondisi Kondisi Kondisi Rileks Berpikir Rileks Berpikir C3 C4 P3 P4 O1 O2 Rata-rata
71 74 51 51 51 51 58
45 50 75 71 58 61 60
91 86 83 83 83 83 85
89 84 85 83 78 81 83
Tabel 4. Rata-rata Ketidakseimbangan dari Kanal Kiri-kanan tiap Gelombang. Kondisi
Rileks
Non Rileks
Central
Asimetri Gelombang (%) Alfa Beta Teta 65 36 63
Parietal
69
Kanal
43
73
Occipital
59
35
56
Rata-rata
64
38
64
Central
82
52
94
Parietal
81
43
74
Occipital
78
39
65
Rata-rata
80
45
78
Dari Tabel 4, terlihat saat kondisi non rileks prosentase ketidak seimbangan kanal kiri-kanan lebih besar dari kondisi non rileks. Sebagai contoh, untuk gelombang alfa rata-rata 64% untuk kondisi rileks, dan 80% untuk ketidak setimbangan kondisi non-rileks. Sementara ketidakseimbangan gelombang beta lebih kecil (38%) daripada ketidakseimbangan gelombang alfa untuk kondisi rileks. Hal ini sesuai dengan Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
0
1
11
7
3
penelitian terdahulu, kecilnya ketidakseimbangan kanal kiri-kanan menunjukkan kondisi subyek lebih rileks (Stolc, Teplan 2003). 7. SIMPULAN DAN PENUTUP Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penggunaan transformasi wavelet sebagai pra pengolahan sinyal EEG sebelum analisis spektral daya meningkatkan keberhasilan klasifikasi untuk kondisi rileks, dari 58% menjadi 85%. Sementara kondisi non rileks meningkat dari 60% menjadi 83%. Hal ini disebabkan penggunaan transformasi wavelet dapat mengatasi sinyal yang non stasioner. Hasil penelitian juga memberikan informasi bahwa pengaruh kanal kurang berarti, namun untuk kanal C3 dan C4 memberikan klasifikasi mengingat bagian dari otak tersebut berfungsi untuk berfikir. Sementara kanal O1, O2 letaknya berjauhan, sehingga klasifikasi kurang baik. Dari penggunaan sistem deteksi dan identifikasi pada penelitian ini, hal yang lain yang dapat diketahui adalah bahwa ketidaksetimbangan antara energi gelombanggelombang dari kanal kiri-kanan untuk kondisi non-rileks lebih besar, yaitu sebesar 80% daripada kondisi non rileks sebesar 64%. Hasil ini menunjukkan dalam kondisi rileks, energi gelombang-gelombang di otak lebih setimbang. DAFTAR ACUAN Anderson, C. and Sijercic, Z. (1996). “Classification of EEG Signals from Four Subjects During Five Mental Tasks”: Preoceeding of the Conference on Engineering Applications in Neural Networks '96, Turku - Finland, pp. 407 - 414.
21
Akay, M. (1998). “Time Frequency and Wavelets in Biomedical Signal Processing”, IEEE Press Series, New York, Bab 8 dan 10. Beth, T., Klappenecker, A. and Nueckel, A. (2001). “Construction of Algebraic Wavelet Coefficients”, Karlsruhe. Djamal, E. C. dan Muchtadi, F. (2001). “Application Wavelet Transformation for Modeling Electroencephalogram Signal, Proceeding of Indonesia-German Conference, Bandung, July 2001. Djamal, E. C. dan Tjokronegoro, H. A. (2003). Deteksi dan Identifikasi Sinyal EEG terhadap Rangsangan Suara dengan Analisis Spektral dan Transformasi Wavelet, Prosiding Seminar SIK’2003, Bandung, Juli 2003. Djamal, E. C. dan Tjokronegoro, H. A. (2003). “Klasifikasi Sinyal EEG dua Kondisi Pikiran Menggunakan Analisis Spektral Daya dari Koefisien Wavelet” Majalah Instrumentasi, Juni 2003. Djamal, E.C. dan Tjokronegoro, H. A. (2003). Deteksi dan Identifikasi Gelombang-Gelombang di otak untuk Klasifikasi Rangsangan Suara, Instrumed 2003, Surabaya. James, C. (1997). “Detection of Epileptiform activity in the Electroencephalogram Using Artificial Neural Networks”, Dissertation of Doctor of Philosophy, University of Canterbury, New Zealand. Jung, A. (2002). “An Introduction to a New Data Analysis Tool: Independent Component Analysis”, Regensburg. Kim, J.H., Whang, M.C. dan Kim, J.H. (1998). The Classification of Visual Stimulus Using Wavelet Transform from EEG Signals, Seoul.
Kreiszyk R.. (1999). “Neural Network with Wavelet Preprocessing in EEG Artifact Recognition”, Warsaw. Lowe, D. (1997). “Extracting Structure from Wake EEG using Neural Networks”, Invited Paper, SPIE's Aerospace/Defence Sensing and Controls Conference: Applications and Science of Artificial Neural Networks III, Volume 3077, pp 17-26. Muchtadi F.I., Kusumandari, D.W. (1999). “Analisis Sinyal EEG Teknik Bipolar dengan Photostimulan”, Presentasi PPIKIM, Serpong. Oohashi, T., Nishina, E., Kawai, N. (1991). “High Frequency Sound Above the Audible Rang Affects Brain Electric Activity and Sound Perception”: Presentation at the 91st Convention an Audio Engineering Society, New York. Suprijanto, Muchtadi, F., Djamal, E.C. (1999). “Klasifikasi Sinyal EEG Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan Berarsitektur Umpan Maju”, Prosiding PPIKIM, Serpong.. Wojdyllo, P. (1998). ”Wavelets, rough sets and artificial neural networks in EEG analysis”, Clinical Neurophysiology. Valens, C. (1994). A Really Friendly Guide to Wavelets, http://perso.wanadoo.fr/polyvalens/clemens/wavelets/wavelets.html#kai94 Diterima: 15 Oktober 2004 Disetujui untuk diterbitkan: 26 Januari 2005
Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK