Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah, Volume....., Nomor....., Juni 2015, 1-15
THE USE OF MIND MAPPING TECHNIQUE TO INCREASE STUDENT’S LEARNING OUTCOME IN SOIL CONCEPT Nita Fitriana1), Novi Yanthi2), Edi Rohendi3) Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRACT The reaserch is based on student’s learning outcome that so low in 5thgrade. From 30 students, just 13% of them whose the learning outcome fulfill the minimum completeness criteria that is 71,00. Also the way teacher implement the process of learn which still use conventional methods and the charachteristic of the methods is teacher centered which mean is not involving students actively within learning process. The reaserch’s goal is to get the description of the science learning phase using mind mapping technique that can improve student’s learning outcome after do the learning process using mind mapping techinique. The methods that use in this reaserch is classroom action research with John Elliot design research model which is consists of three cycle with three action in each cycle. The subject of this research is 5thgrade in Kencana Indah 1 Elementary School Rancaekek Subdistrict Bandung Regency that amount 30 student. The result of the research using mind mapping technique in learning science show that there is the improvement of student’s learning outcome. In the first cycle the average value of student’s learning outcome just reach 59,53 which then increase in second cycle with average value of student’s as big as 64,02 and in the third cycle the average value increase again become 82,47. The phase of learning using mind mapping technique that have goal to improve student’s learning outcome is begin with class conditioning, giving aperception, students grouping, students doing observation or experiment, presentation of observation or experiment result, discussion of observation or experiment result, making mind map, and end evaluation. The researcher’s recommendation within using mind mapping technique in learning is time distribution, matters and learn source that can be relevanced with student’s life, giving the example of mind map in the beginning of learning activity, explaining the rules of making mind map and the functions each of the rules. Based on the result of the research, can be concluded that using mind mapping technique can improve student’s learning outcome in soil concept. Key word: mind map, learning outcome, soil concept, elementary school, science
1) Mahasiswa PGSD UPI Kampus Cibiru, NIM 1105177 2) Dosen Pembimbing I, Penulis Penanggung Jawab 3) Dosen Pembimbing II, Penulis Penanggung Jawab
Nita Fitriana, Novi Yanthi, Edi Rohendi, Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah
PENGGUNAAN TEKNIK MIND MAPPING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP TANAH Nita Fitriana1), Novi Yanthi2), Edi Rohendi3) Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya hasil belajar IPA siswa kelas VC. Dari keseluruhan jumlah siswa sebanyak 30 orang, hanya 13% siswa yang nilai hasil belajarnya memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) sebesar 71,00. Begitu pula dengan cara guru melaksanakan pembelajaran yang masih menggunakan metode-metode yang konvensional dan bersifat teacher centered yang artinya tidak melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Peneltian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tahapan pembelajaran IPA dengan menggunakan teknik mind mapping yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa setelah melakukan pembelajaran dengan menggunakan teknik mind mapping. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan model desain penelitian John Elliot yang terdiri dari tiga siklus dengan tiga tindakan pada setiap siklusnya. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VC SD Negeri Kencana Indah 1 Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung yang berjumlah 30 orang. Hasil penelitian dengan menggunakan teknik mind mapping dalam pembelajaran IPA menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa. Pada siklus pertama nilai rata-rata siswa hanya mencapai 59,53 yang kemudian meningkat pada siklus kedua dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa sebesar 64,02 dan pada siklus ketiga nilai rata-rata tersebut meningkat kembali menjadi 82,47. Tahapan pembelajaran menggunakan teknik mind mapping yang bertujuan meningkatkan hasil belajar siswa yaitu dimulai dari pengondisian kelas, pemberian apersepsi, pengelompokkan siswa, siswa melakukan pengamatan atau percobaan, presentasi hasil percobaan atau pengamatan, pembahasan hasil percobaan atau pengamatan, pembuatan mind map, dan evaluasi akhir. Adapun rekomendasi peneliti dalam menggunakan teknik mind mapping dalam pembelajaran adalah pembagian waktu, materi dan sumber belajar yang dapat direlevansikan dengan kehidupan siswa, pemberian bentuk contoh mind map di awal kegiatan pembelajaran, penjelasan aturan-aturan membuat mind map dan fungsi-fungsi tiap aturan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik mind mapping dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep tanah. Kata kunci: mind mapping, hasil belajar, konsep tanah, sekolah dasar, IPA
Pendidikan dasar salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari siswa adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). IPA dipelajari untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis siswa terhadap lingkungan alam dan sekitarnya. Salah satu konsep yang dipelajari dalam IPA adalah konsep tanah. Pada prakteknya siswa akan mempelajari mengenai lapisan-lapisan tanah, jenis-jenis tanah, pengikisan tanah dengan berbagai faktor penyebab, manfaat tanah untuk kehidupan, dan remediasi tanah. Berdasarkan observasi yang dilakukan, hasil belajar IPA siswa masih rendah. Hasil belajar menurut Susanto (2013, hlm. 5) adalah “perubahanperubahan yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar itu sendiri. Hasil belajar ini akan tercermin pada pencapaian tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, dibutuhkan teknik pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satu teknik pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA adalah teknik mind mapping. Mind mapping merupakan salah satu teknik untuk membelajarkan siswa mengenai suatu materi dengan cara menyajikan materi pembelajaran ke dalam ide-ide yang disertai gambar sehingga membentuk suatu kesatuan peta pikiran. Menurut Tony Buzan (2013, hlm. 5), “mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan “memetakan” pikiran-pikiran”. Dengan demikian, mind mapping dapat diterapkan di dalam pembelajaran IPA, karena teknik mind mapping membantu siswa dalam pengorganisasian informasi yang diterimanya yang berupa materi pembelajaran. Mind map merupakan diagram berwarna yang terdiri dari gambar, garis,
dan kata ataupun frasa. Berdasarkan bentuk mind map itu sendiri dapat disimpulkan mind mapping juga merupakan teknik pembelajaran yang menyelaraskan penggunaan otak kiri dan kanan. Otak kiri membantu mengingat informasi, sedangkan otak kanan memperkuat ingatan tersebut melalui bentuk dari mind map yang dipenuhi dengan gambar, garis, dan warna. Otak kanan juga membantu dalam mengubah informasi yang diinginkan dari tahap ingatan ke pemahaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Windura (dalam Wisudawati dan Sulistyowati, 2014, hlm. 174) unsur-unsur otak kanan dan otak kiri yang terlibat dalam pembuatan mind map yaitu: 1) Otak kiri: tulisan, urutan penulisan, hubungan antarkata. 2) Otak kanan: warna, gambar, dimensi (tata ruang) Dalam belajar IPA, siswa juga mengalami banyak kesulitan untuk memahami materi-materi IPA, dikarenakan dalam belajar IPA terdapat banyak hal dan peristiwa yang belum pernah dilihat langsung oleh siswa. Misalnya saja mengenai daur air, siswa tidak dapat membayangkan bagaimana terjadinya daur air karena peristiwa tersebut belum pernah dilihat olehnya. Oleh karena itulah, guru dalam membelajarkan siswa harus menggunakan media-media yang dapat membantu siswa dalam proses belajar. Hal ini disebabkan karena siswa masih membutuhkan gambaran nyata (konkret) dari sesuatu yang sedang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Winataputra, 2008, hlm. 3.40) bahwa ‘perkembangan kognitif (kecerdasan) anak dibagi menjadi empat tahap, yaitu tahap sensori motor (0-2 tahun), pre-operasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasi formal (11-15 tahun)’. Dalam pembelajaran juga banyak siswa yang tidak dapat menyelesaikan
Nita Fitriana, Novi Yanthi, Edi Rohendi, Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah tugas dari guru dikarenakan guru hanya memberikan penjelasan saja. Guru seharusnya mengajak siswa untuk menemukan pengetahuannya, sehingga akan terbentuk pengetahuan yang memang dipahami benar oleh siswa. Pada kegiatan pembelajaran yang berlangsung, siswa juga mencatat materi yang sedang dibelajarkan untuk membantunya mengingat dan memahami materi tersebut. Namun, mencatat dengan cara tradisional kurang dapat membantu siswa dalam mengingat dan memahami materi tersebut. Karena catatan dalam bentuk outline tradisional lebih mengutamakan bentuk catatan, sehingga intisari catatan tersebut justru hilang dalam bentuk catatan tersebut dan hal ini berdampak langsung terhadap hasil belajar siswa. Permasalahan lain dalam pembelajaran IPA adalah kurang antusiasnya siswa dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga secara otomatis menonaktifkan siswa dalam proses pembelajaran tersebut. Kurang antusiasnya siswa dalam proses pembelajaran IPA diakibatkan oleh banyak hal, diantaranya yaitu hanya metode ceramah yang bersifat teacher centered yang digunakan oleh guru dan tidak adanya media yang menarik yang membantu siswa lebih mudah memahami materi IPA. Hal lain yang memperparah kurang berhasilnya pembelajaran IPA adalah kurangnya kesempatan bertanya yang diberikan oleh guru kepada siswa. Padahal, siswa pasti memiliki banyak pertanyaan berkaitan dengan materi IPA yang belum dimengerti olehnya. Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa kelas yang diobservasi masih banyak terdapat permasalahan, demikian halnya juga dengan pembelajaran IPA mengenai konsep tanah. Pembelajaran IPA mengenai konsep tanah masih belum dibelajarkan dengan menggunakan metode-metode yang inovatif, efektif, dan efisien. Akibatnya, pembelajaran pun menjadi tidak bermakna karena guru hanya mentransfer pengetahuannya semata,
padahal dalam proses pembelajaran peran guru bukanlah sebagai pentransfer pengetahuan, melainkan sebagai fasilitator yang dapat membuat siswa melakukan proses belajar. Dengan kurang bermaknanya pembelajaran yang dilakukan, akibat lain yang muncul adalah siswa tidak dapat menggabungkan konsep tanah dengan pengetahuannya yang sudah ada. Dengan kata lain, siswa masih belum dapat memaknai catatan yang telah dibuatnya, sehingga menyebabkan siswa sulit mengingat dan memahami konsep tentang tanah. Oleh karena itulah dalam membelajarkan IPA diperlukan metode dan teknik yang lebih dapat mengoptimalkan hasil belajar siswa. Adapun hasil observasi yang peneliti lakukan di SD Negeri Kencana Indah 1, hasil ulangan harian IPA kelas VC yang telah dilaksanakan, diperoleh data bahwa yang memperoleh nilai di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) hanya 4 orang dari jumlah siswa sebanyak 30 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya 13% siswa yang memenuhi KKM. Oleh karena itulah peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi tahapan pembelajaran dengan menggunakan teknik mind mapping yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA pada konsep tanah. 2. Meningkatkan hasil belajar siswa kelas VC SD Negeri Kencana Indah 1 melalui penggunaan teknik mind mapping dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran menurut Abidin (2014, hlm. 6) adalah “serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa guna mencapai hasil belajar tertentu di bawah bimbingan, arahan, dan motivasi guru.” Dengan demikian, sebuah proses dikatakan proses pembelajaran apabila terdapat interaksi antara guru dan siswa yang terjadi pada suatu lingkungan belajar. Tentunya
interaksi yang dimaksud adalah interaksi yang dapat mengembangkan potensipotensi siswa sehingga siswa dapat membangun pengetahuannya. Salah satu mata pelajaran yang dimuat dalam kurikulum tingkat sekolah dasar adalah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Proses pembelajaran IPA tentunya tidak bisa dipisahkan dari hakikat IPA sebagai produk dan proses. IPA dikatakan sebagai produk apabila berbentuk fakta, konsep, prinsip, generalisasi, maupun teori. Sedangkan IPA dikatakan sebagai proses apabila berkaitan dengan bagaimana mengumpulkan faktafakta dan memahami bagaimana menghubungkan fakta-fakta untuk menginterpretasikannya. Adapun tujuan pembelajaran IPA di sekolah dasar secara umum adalah untuk membelajarkan siswa agar mempunyai keterampilan proses, pengetahuan, dan sikap ilmiah sehingga dapat memahami alam sekitarnya dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Belajar dikatakan berhasil jika ada perubahan pada siswa tersebut, baik pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pada ranah kognitif, keberhasilan siswa dalam belajar bergantung kepada seberapa baik ia mengingat dan memahami suatu materi. Dengan demikian, maka keberhasilan belajar siswa juga bergantung pada catatan yang ia buat ketika pembelajaran berlangsung. Salah satu teknik mencatat yang dapat membantu siswa dalam mengingat adalah teknik mind mapping (peta pikiran). Buzan (2013, hlm. 4) menyatakan bahwa “mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi keluar dari otak.” Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa mind map merupakan suatu teknik mencatat kreatif yang memanfaatkan keseluruhan otak (otak kiri dan kanan) secara seimbang sehingga akan membantu siswa dalam menyimpan materi
dan kemudian dapat mengingat kembali materi tersebut dengan mudah. Adapun langkah pembuatan mind map menurut Buzan (2013, hlm. 15): 1. Mulailah dari bagian tengah kertas kosong yang sisi panjangnya diletakkan mendatar (landscape). 2. Gunakan gambar atau foto untuk ide sentral. 3. Gunakan warna. 4. Hubungkan cabang-cabang utama ke gambar pusat dan hubungkan cabangcabang tingkat dua dan seterusnya. 5. Buatlah garis yang melengkung,bukan garis lurus. 6. Gunakan satu kata kunci untuk setiap garis. 7. Gunakan gambar. Ketujuh langkah tersebut merupakan langkah dalam membuat mind map sekaligus memuat item-item yang harus ada dalam sebuah mind map. Sebuah pembelajaran yang baik maka akan dapat menghasilkan hasil belajar yang baik pula yang terlihat dari capaian siswa terhadap indikator-indikator pencapaian kompetensi. Hasil belajar siswa secara sederhana merupakan hal yang akan diperoleh setelah dilakukan proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Bloom (dalam Mularsih, 2010, hlm. 66) yang menyatakan bahwa “hasil belajar adalah perolehan siswa setelah mengikuti proses belajar dan perolehan tersebut meliputi tiga bidang kemampuan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.” Jadi, hasil belajar merupakan produk yang dimiliki siswa berupa kemampuan baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Senada dengan pendapat Bloom, Susanto (2013, hlm. 5) dan Rusman (2012, hlm. 123) menyatakan makna hasil belajar yaitu perubahan-perubahan yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah komponen yang tidak terpisahkan dari suatu proses pembelajaran yang berupa perubahan dalam ranah
Nita Fitriana, Novi Yanthi, Edi Rohendi, Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif adalah ranah yang berhubungan dengan pengetahuan siswa, afektif adalah ranah yang berkenaan dengan sikap seorang siswa, sedangkan ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan seorang siswa. Ranah kognitif dalam taksonomi Bloom mencakup enam aspek, yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. METODE Penelitian tindakan merupakan salah satu bentuk penelitian kualitatif yang diarahkan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam lingkup kelas dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian tindakan kelas ini dalam kenyatannya berupa perbaikan yang dilakukan secara bersiklus. Perbaikannya tentu mencakup kegiatan pembelajaran, baik perbaikan terhadap proses maupun hasil belajar siswa. Hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi peneliti memilih penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas secara sederhana menurut Abidin (2011, hlm. 216) adalah “seperangkat proses penelitian yang dilakukan dengan jalan mengidentifikasi masalah melakukan sesuatu untuk memecahkannya, melihat keberhasilan pemecahan masalah tersebut dan jika belum memuaskan akan dilakukan beberapa pengulangan”. Dengan demikian, maka penelitian tindakan kelas harus terdiri dari banyak tindakan untuk mengantisipasi belum tercapainya hasil yang diharapkan. Salah satu desain penelitian yang mengusung banyak tindakan di dalamnya yaitu desain penelitian John Elliot. Maka, desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian John Elliot. Ciri dari model desain penelitian John Elliot adalah tiap siklusnya terdiri dari beberapa tindakan. Adapun jumlah siklus yang terlibat dalam penelitian kali ini adalah tiga siklus dan setiap siklusnya terdiri dari tiga tindakan sehingga jumlah
keseluruhan tindakannya adalah sembilan tindakan. Model desain penelitian penelitian tindakan kelas dari John Elliot dirasa sesuai dengan penelitian ini karena terdapat hal yang harus diperbaiki, yaitu hasil belajar. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, tentunya diperlukan waktu. Sembilan tindakan yang terdapat dalam desain penelitian John Elliot ini dijadikan kesempatan peneliti untuk dapat meningkatkan proses belajar yang berpengaruh logis terhadap hasil belajar siswa. Tempat dilaksanakannya penelitian ini adalah Sekolah Dasar Negeri 1 Kencana Indah yang terletak di Jalan Herbras Raya Blok 12 Rancaekek Kencana, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Subjek penelitian dalam penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh peneliti adalah siswa kelas VC Sekolah Dasar Negeri 1 Kencana Indah Kecamatan Rancaekek. Terdapat beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu lembar observasi, lembar wawancara, catatan lapangan, lembar evaluasi, lembar penilaian mind map, dan kamera. 1. Lembar observasi merupakan lembar pengamatan terhadap guru dan siswa yang digunakan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. 2. Lembar wawancara adalah lembar yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada siswa untuk mengumpulkan tanggapan siswa mengenai pembelajaran yang telah dilangsungkan. 3. Catatan lapangan merupakan instrumen yang memuat berbagai temuan peneliti pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung di luar halhal yang tertera pada lembar observasi, terutama hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan teknik mind mapping. 4. Lembar evaluasi merupakan instrumen yang digunakan peneliti yang di
dalamnya terdapat soal-soal untuk mengukur hasil belajar siswa pada ranah kognitif dari aspek C1 sampai C3 yang berbentuk essay dan harus dijawab secara individu oleh siswa. 5. Lembar penilaian mind map yang berupa daftar ceklis berfungsi untuk memeriksa kelengkapan item-item yang terdapat dalam mind map. 6. Kamera digunakan untuk mengambil gambar atau merekam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Adapun analisis data yang peneliti lakukan terdapat dua cara, yaitu analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Analisis data kualitatif berupa penjabaran atau deskripsi mengenai hasil penelitian. Datanya sendiri diperoleh dari instrumen pengumpulan data, yaitu lembar observasi, lembar wawancara, catatan lapangan. Data-data yang berhubungan dengan pelaksanaan pembelajaran ini kemudian dianalisis dan disimpulkan. Adapun daftar ceklis penilaian mind map, dianalisis dengan cara mencari asosiasi antara kata kunci, preposisi, dan gambar dalam ide penjelas dengan jawaban pada hasil evaluasi siswa. Sedangkan Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini adalah data yang berupa nilai hasil belajar siswa yang didapat melalui kegiatan evaluasi. Data ini kemudian diolah dan dicari nilai rataratanya tiap siklus. Adapun untuk mencari rata-rata (mean) menurut Sudjana (2014, hlm. 109) adalah: = ∑x N Dengan: = rata-rata (mean) ∑x = jumlah seluruh skor N = banyaknya subjek Selanjutnya data hasil analisis kualitatif dan kuantitatif ini ditriangulasikan sehingga peneliti bisa mendapatkan kesimpulan penelitian
berdasarkan hasil pembahasan yang tidak bias dan valid. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada siklus kesatu, siswa dalam melakukan pembelajaran masih kebingungan terutama pada saat melakukan percobaan. Hal ini dikarenakan siswa memang sudah sering melakukan pengamatan, namun hampir tidak pernah melakukan percobaan. Hal ini diidentifikasi pada tindakan 3 yakni saat percobaan mengenai tanah humus. Percobaan amat berbeda dengan pengamatan. Subiyarto (1990, hlm. 52) yang mengemukakan bahwa “pada hakekatnya metode eksperimen terdiri dari tiga tahap utama yaitu (1) merumuskan masalah, (2) melakukan percobaan diikuti observasi, dan (3) menarik kesimpulan”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengamatan (observasi) merupakan kegiatan yang termasuk dalam suatu rangkaian percobaan. Sedangkan mengamati menurut Widodo, Wuryastuti, dan Yuliariatiningsih (2010, hlm. 46) bahwa “mengamati adalah menggunakan alat indera (penglihat, pembau, pengecap, peraba, pendengar) untuk mendapatkan informasi tentang suatu objek.” Dengan demikian, jelaslah bahwa pengamatan merupakan bagian dari percobaan. Kebingungan siswa tersebut sangat nampak dari banyaknya pertanyaan pada saat melakukan percobaan. Sehingga peneliti pun terus menekankan kepada siswa untuk membaca lembar kerja siswa dengan seksama sehingga akan mengurangi kebingungan siswa dalam melakukan percobaan. Berikutnya kendala yang muncul pada siklus kesatu adalah pengondisian siswa. Kurang terkondisikannya siswa masih nampak pada saat kegiatan inti pembelajaran berlangsung terutama ketika kegiatan percobaan. Hal ini disebabkan oleh hal yang dipaparkan sebelumnya, yaitu kebingungan siswa dalam melakukan
Nita Fitriana, Novi Yanthi, Edi Rohendi, Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah percobaan atau pengamatan akibat belum pernah melakukan sebelumnya sehingga menyebabkan kelas kurang kondusif. Tidak kondusifnya kelas ditandai dengan gaduhnya suasana kelas. Padahal kondusifnya kelas merupakan faktor pendukung agar siswa belajar dengan fokus. Fokus atau konsentrasi adalah hal yang berpengaruh terhadap proses belajar. Namun dalam kenyataannya, konsentrasi sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal salah satunya yaitu “...terganggu oleh keadaan lingkungan (bising, keadaan yang semrawut, cuaca buruk dan lain-lain)...” (Slameto, 2010, hlm. 7). Pembagian waktu juga merupakan hal yang perlu peneliti perhatikan agar siswa mengerjakan tugas-tugasnya sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan. Hal ini tentunya bertujuan agar siswa tidak terburu-buru dalam mengerjakan tugas-tugasnya baik tugas yang diberikan secara berkelompok ketika mereka melakukan pengamatan atau percobaan menggunakan LKS. Begitu pula untuk alokasi pengerjaan soal evaluasi di tahap kegiatan akhir pembelajaran. Ketergesa-gesaan siswa ini dapat disebabkan oleh cara berpikir siswa bahwa mengerjakan semua tugas dengan terburuburu dan asal-asalan lebih baik daripada mengerjakan tugasnya dengan tenang dan tidak asal-asalan. Dengan kata lain, siswa masih berpikir mengenai kuantitas daripada kualitas. Pada tindakan 1 siklus kesatu, siswa masih sangat asing terhadap mind map. Siswa rata-rata hanya mengenal peta konsep dan tidak mengenal peta pikiran. Pada saat peneliti menunjukkan contoh mind map sederhana sebagai contoh, siswa pun mulai mengerti bagaimana bentuk mind map dan cara membuatnya. Namun, untuk item simbol/gambar dan kata kunci, siswa masih kebingungan bagaimana cara menambahkannya ke dalam mind map yang sesuai dengan konsep yang sedang dipelajari. Akibatnya, pada siklus kesatu
ini siswa masih membutuhkan bimbingan dalam pembuatan mind map. Mind map buatan siswa pada siklus kesatu ini masih belum dapat dikatakan baik. Hal ini terlihat dari daftar periksa mind map yang menunjukkan bahwa siswa masih belum dapat membuat mind map dengan item-item yang lengkap yang sesuai dengan instruksi peneliti. Dari kelima item yang harus ada dalam setiap mind map yang dibuat oleh siswa, item gambar merupakan item yang paling jarang digunakan oleh siswa. Padahal item gambar merupakan item yang esensial dalam sebuah mind map karena dapat membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran dengan cara mengasosiasikan gambar yang digunakannya dengan konsep yang dipelajari maupun dengan kejadian dalam kehidupan sehari-harinya yang masih berkaitan dengan konsep yang sedang dipelajari. Adapun rata-rata persentase kelengkapan item-item mind map siswa siklus kesatu yaitu: 1. Kata kunci sesuai konsep 96,55% 2. Garis melengkung 100% 3. Preposisi yang tepat (100%) 4. Warna berbeda untuk tiap konsep (100%) 5. Penggunaan gambar/simbol 44,61% Dari rata-rata persentase di atas, diketahui bahwa 100% siswa pada siklus kesatu sudah mampu menggunakan garis melengkung, preposisi yang tepat dan warna yang berbeda untuk tiap konsep. Akan tetapi, hanya 96,55% siswa yang menggunakan kata kunci yang tepat sesuai konsep. Itupun setelah diberikan bimbingan oleh peneliti karena pada tindakan 3 siswa kesulitan menemukan kata kunci yang tepat. Hal ini karena siswa terbiasa mencatat apa yang terdapat pada buku paket atau apa yang dituliskan oleh gurunya di papan tulis tanpa mengkreasikan lagi kalimat-kalimatnya
menjadi kata-kata yang lebih sederhana dan dipahami olehnya atau dengan kata lain siswa hanya terbiasa menggunakan otak kirinya tanpa dikolaborasikan dengan otak kanan. Padahal, pengolaborasian antara otak kiri dan kanan akan membantu siswa bukan hanya dalam hal mengingat yang berubah dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang, namun juga akan memungkinkan berbagai asosiasi baru terhadap hal-hal yang lainnya. Hal ini senada dengan pendapat Buzan (2013, hlm. 15) yang mengatakan bahwa “karena otak bekerja menurut asosiasi, otak senang mengaitkan dua (atau tiga, atau empat) hal sekaligus.” Begitu pula dengan DePorter dan Hernacki (2007, hlm. 39) yang mengemukakan bahwa “masing-masing dari dua belahan otak bertanggung jawab atas cara berpikir yang berbeda-beda dan mengkhususkan diri pada kemampuan-kemampuan tertentu, walaupun penyilangan memang terjadi”. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam berpikir sebaiknya menggunakan kedua belah otak, yaitu otak kiri dan kanan sehingga sinergi dari kedua otak tersebut akan membantu siswa untuk mengingat, memahami, dan bahkan menerapkan pengetahuan yang didapatnya. Kurang baiknya mind map yang dibuat siswa ternyata berdampak juga terhadap rendahnya hasil belajar siswa pada siklus kesatu mengingat kelengkapan item-item mind map akan membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran secara optimal. Adapun nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus kesatu yaitu tindakan 1 sebesar 58,01, tindakan 2 sebesar 66,20, dan tindakan 3 sebesar 54,39. Ketiga ratarata tersebut masih dalam kategori rendah. Stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan juga peneliti lakukan berkaitan dengan rendahnya hasil belajar siswa pada siklus kesatu ini. Peneliti masih menemukan siswa yang dalam menjawab soal evaluasi, terutama yang berupa soal cerita mengenai kejadian yang relevan dalam kehidupan
sehari-hari masih belum sesuai harapan. Rata-rata siswa justru kebingungan dan sulit memahami maksud dari soal-soal tersebut. Pada siklus kesatu tindakan 3, siswa mengalami kesulitan dalam menjawab soal evaluasi. Soal tersebut adalah soal tentang prediksi terhadap sebuah peristiwa, tepatnya apa yang terjadi terhadap tanah humus apabila pengurai pada tanah berkurang akibat penggunaan pestisida berlebihan. Kesulitan tersebut terlihat dari banyaknya siswa yang bertanya maksud dari soal tersebut. Selain itu, setelah peneliti memeriksa jawaban siswa satu per satu ternyata banyak siswa yang jawabannya sangat jauh dari harapan untuk soal tentang prediksi tersebut. Prediksi sendiri menurut Bundu (2006, hlm. 27) adalah “suatu perkiraan yang spesifik pada bentuk observasi yang akan datang”. Artinya, siswa harus memperkirakan apa yang terjadi pada tanah humus ketika jumlah pengurai berkurang akibat penggunaan pestisida berkurang tentunya berdasarkan wacana sebelumnya. Namun, kebanyakan dari jawaban siswa tanah humusnya justru makin subur dengan berkurangnya pengurai. Padahal pada kegiatan pembahasan LKS telah diperjelas oleh peneliti bahwa cacing ataupun pengurai lain seperti jamur akan mempengaruhi kesuburan tanah humus karena menguraikan jasad organisme, baik tumbuhan atau hewan. Berdasarkan pemaparan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan menggunakan teknik mind mapping pada siklus kesatu ini belum dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara optimal. Hal ini terlihat dari mind map siswa yang masih belum baik sehingga belum dapat membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran. Selain itu, terlihat juga dari nilai rata-rata hasil belajar siswa tiap tindakannya yang masih dapat dikatakan rendah.
Nita Fitriana, Novi Yanthi, Edi Rohendi, Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah Beralih pada siklus kedua, dalam pelaksanaan pembelajaran siswa sudah tidak kebingungan lagi dalam melakukan percobaan. Hanya saja siswa perlu lebih fokus dalam melakukan kegiatan percobaan agar proses belajar yang dilakukan lebih kondusif. Oleh karena itu, peneliti mengambil tindakan untuk melakukan kesepakatan dengan siswa sehingga pada siklus berikutnya tidak ada lagi siswa yang ribut dan bercanda pada saat proses kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal lainnya yang perlu peneliti perhatikan adalah ketegasan, sehingga kesepakatan yang telah dibuat dengan siswa tidak dilanggar begitu saja. Dengan kata lain ketegasan ini berperan dalam mengendalikan kelas agar tetap fokus dan bersungguh-sungguh dalam setiap tugas yang diberikan oleh peneliti dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini dilakukan baik tugas dalam mengerjakan LKS yang dikerjakan secara berdiskusi maupun mengerjakan tugas individu berupa soal evaluasi. Kendala yang masih ditemui pada siklus kedua juga mengenai penggunaan item-item mind map yang belum dilakukan oleh semua siswa. Sehingga langkah yang peneliti ambil untuk meningkatkannya adalah dengan menekankan pada setiap tindakan dalam siklus kedua agar siswa tidak lupa menambahkan gambar dalam mind map buatannya. Cara lainnya yang peneliti lakukan adalah dengan menjelaskan kepada siswa mengapa itemitem yang tersebut penting terdapat pada sebuah mind map. Hal ini senada dengan pendapat Buzan (2013, hlm. 15) yang mengemukakan bahwa “karena sebuah gambar bermakna seribu kata dan membantu kita menggunakan imajinasi”. Dengan demikian, jelaslah bahwa gambar yang dibuat oleh siswa pastinya mewakili suatu peristiwa ataupun objek, baik yang pernah dialami siswa ataupun imajinasi siswa yang tentunya berhubungan dengan
kata kunci yang digunakan. Setiap gambar pada setiap mind map bersifat personal, artinya hanya siswa yang membuat gambar tersebutlah yang mengerti maksud dari gambar yang ditambahkan dalam mind mapnya. Adapun rata-rata persentase kelengkapan item-item mind map siswa siklus kedua adalah: 1) Kata kunci sesuai konsep 97,73% 2) Garis melengkung 100% 3) Preposisi yang tepat (100%) 4) Warna berbeda untuk tiap konsep (95%) 5) Penggunaan gambar/simbol 53,44% Dari data tersebut, dibandingkan dengan siklus sebelumnya penggunaan kata kunci sesuai konsep dan penggunaan gambar dalam ide penjelas telah mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan. Sebaliknya untuk kriteria keempat justru mengalami penurunan. Hal ini karena terdapat siswa yang salah (tidak sesuai dengan isntruksi guru) dalam menggunakan warna pada saat membuat mind map. Pada tindakan 1 siklus kedua, terdapat tiga orang siswa yang tidak menggunakan warna yang tepat pada mind mapnya. Warna yang seharusnya digunakan adalah warna cokelat, namun siswa menggunakan warna orange tua. Maka diketahui bahwa siswa yang menggunakan warna tidak sesuai instruksi dari guru adalah karena kemiripan dari warna itu sendiri. Adapun dalam mind map, warna berperan sebagai aspek yang dapat membuat mind map lebih mudah diingat oleh siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Buzan (2013, hlm. 15) yang mengemukakan bahwa “warna membuat mind map lebih hidup dan menambah energi kepada pemikiran kreatif”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa warna adalah aspek yang membuat sebuah mind map menarik dan lebih hidup sehingga dapat lebih membantu siswa dalam
mengingat dan memahami materi pembelajaran. Selain itu, warna juga merupakan salah satu unsur dalam otak kanan. Artinya, otak kanan akan lebih peka terhadap sesuatu yang berwarna yang dalam hal ini warna dalam mind map. Hal ini sejalan dengan pendapat Windura (dalam Wisudawati dan Sulistyowati, 2014, hlm. 174) mengemukakan bahwa unsur otak kanan adalah “warna, gambar, dan dimensi (tata ruang)”. Sedangkan untuk penggunaan garis melengkung dan preposisi yang tepat persentasenya masih sama dengan siklus sebelumnya yaitu sebesar 100%. Pada tahap evaluasi, siswa masih mengalami kesulitan dalam mengisi soal evaluasi. Pada tindakan 1, siswa kebingungan dalam mengisi soal yang mengevaluasi pemahaman, tepatnya mengenai membandingkan kemampuan tanah dalam menyerap air. Dalam kegiatan percobaan yang dilakukan oleh siswa, siswa sudah memahami bahwa tanah liat sukar menyerap air dan tanah humus tentunya mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap air. Namun, dalam soal cerita yang disajikan, hanya ciri-ciri dari kedua tanah yang disebutkan. Akibatnya, masih terdapat siswa yang keliru dalam menjawabnya. Seharusnya, agar siswa dapat membedakan mana tanah yang kemampuan menyerap airnya lebih baik, siswa harus terlebih dahulu mengidentifikasi masing-masing ciri kedua tanah tersebut. Meskipun siswa sudah melakukan percobaan untuk memahami perbedaan kemampuan menyerap air antara tanah liat dan tanah humus, namun dalam tahap evaluasi, siswa kebingungan dalam mengisi soal mengenai kemampuan menyerap air kedua tanah tersebut. Padahal dalam mind map yang dibuat, siswa yang menjawab sudah memuat materi mengenai perbedaan kemampuan menyerap air masing-masing tanah. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang masih keliru tersebut belum dapat
mengaplikasikan pengetahuan dalam mind map yang sudah dibuatnya ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Pada tindakan 2 siswa kebingungan dalam mengisi soal mengenai identifikasi penyebab suatu peristiwa berdasarkan soal cerita. Peristiwa tersebut mengenai tanaman kurma yang tidak tumbuh akibat ditanam pada tanah yang tidak sesuai. Namun, kebanyakan siswa menjawabnya akibat waktu dan penggunaan bibit kurmanya yang kurang baik. Hal ini karena siswa terlalu fokus terhadap pertanyaan pada soal dan melupakan wacana yang menyertai soal tersebut sebelumnya. Jika dianalisis lebih lanjut, penyebab terjadinya siswa yang hanya fokus terhadap pertanyaan dan melupakan wacana pengantar soal berhubungan dengan salah satu kemampuan berpikir siswa yang berada pada tahap operasional konkret, tepatnya berpikir kausalitas. Berpikir kausalitas menurut Budiamin, Hafidz, dan Daim (2006, hlm. 101) adalah “pemahaman anak terhadap penyebab sesuatu peristiwa atau kejadian”. Cara berpikir kausalitas ini juga digunakan siswa dalam mengerjakan soal. Sehingga jawaban yang muncul adalah jawaban yang berasal dari pemahamannya saja tanpa membaca dan memahami kembali wacana sebelumnya. Sedangkan pada tindakan 3 siswa kebingungan dalam mengisi soal mengenai prediksi dan identifikasi ciri-ciri tanah berkapur. Memang tidak semua siswa tidak dapat mengisi soal prediksi. Namun hampir setengah dari siswa yang hadir pada tindakan 3 ini siswa justru terpengaruh oleh gambar-gambar yang disajikan, bukan terhadap wacana yang disajikan. Hal ini dapat disebabkan siswa lebih tertarik terhadap gambar daripada wacana yang hanya membuat teks. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, gambar merupakan objek yang menarik terutama bagi belahan otak kanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Buzan (2013, hlm. 122) yang
Nita Fitriana, Novi Yanthi, Edi Rohendi, Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah mengemukakan bahwa “mind map melibatkan sisi kanan otak secara alami melalui penggunaan warna dan gambar”. Selain itu, masalah siswa yang lebih tertarik pada gambar daripada wacana dalam soal berhubungan dengan tahap perkembangan kognitif siswa sekolah dasar yang masih berada pada tahap ikonik jika merujuk pada pendapat Bruner sehingga wajar jika siswa tertarik pada gambar daripada wacana yang disajikan dalam soal. Adapun untuk identifikasi ciri-ciri tanah berkapur ini siswa kebanyakan menjawab hanya tiga ciri saja, padahal seharusnya terdapat empat ciri. Hal ini dapat disebabkan oleh siswa yang terburuburu dalam mengisi soal sehingga kurang teliti dalam mengidentifikasi ciri-ciri tanah berkapur yang disajikan dalam wacana. Berdasarkan kendala pada tahap evaluasi di ketiga tindakan pada siklus kedua ini, maka peneliti perlu mengembangkan pemikiran siswa dengan beberapa cara agar pada siklus berikutnya siswa dapat menjawab soal baik yang mengukur pengetahuan, pemahaman, maupun penerapan. Cara pertama yang dilakukan peneliti adalah dengan meningkatkan efektivitas aktivitas learning by doing baik berupa kegiatan pengamatan atau percobaan yang dilakukan secara berkelompok. Karena pada aktivitas learning by doing inilah siswa menyusun pengetahuan yang baru didapatnya. Cara lainnya yang peneliti lakukan untuk memperkuat penguasaan konsep dan kebermaknaan belajar adalah dengan menstimulus pemikiran siswa dengan berbagai pertanyaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2004, hlm. 57) yang mengatakan bahwa “Sajikan sebuah problem dan sarankan beberapa cara untuk mengatasinya. Kemudian ajukan pertanyaan yang memicu murid untuk mengevaluasi cara itu”. Dengan demikian, dalam proses pembelajaran, terutama saat kegiatan pembahasan, guru sebaiknya
memberikan pertanyaan-pertanyaan berupa masalah-masalah yang harus dipecahkan oleh siswa. Dengan pertanyaan dan stimulus yang dilakukan oleh peneliti terhadap siswa sebagai bentuk bimbingan bertahap yang dilakukan peneliti agar siswa tidak sekedar mengetahui apa yang sedang dipelajari melainkan juga memahami apa yang sedang dipelajari dan bahkan dapat menerapkan apa yang dipelajarinya dalam memecahkan suatu permasalahan. Adapun hasil belajar yang diperoleh siswa pada siklus kedua ini sudah lebih baik daripada siklus sebelumnya. Pada tindakan 1 diperoleh rata-rata sebesar 61,03, tindakan 2 sebesar 62,66, dan tindakan 3 sebesar 68,37. Tentunya kenaikan nilai rata-rata hasil belajar siswa ini juga dipengaruhi oleh kualitas mind map buatan siswa yang sudah lebih baik dari siklus sebelumnya. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus kedua ini sudah jauh lebih baik dibandingkan siklus kesatu yang justru mengalami penurunan pada tindakan 3. Dengan demikian, pada siklus kedua ini pembelajaran dengan menggunakan teknik mind mapping berhasil meningkatkan hasil belajar siswa. Berlanjut pada siklus ketiga, ketiga tindakan dalam siklus ini menggunakan pendekatan konstruktivis di mana siswa harus mengonstruk pengetahuannya sendiri dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dalam proses pembelajarannya sendiri peneliti memilih menayangkan video dan slide power point berupa gambar-gambar yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget (dalam Winataputra, dkk., 2008, hlm. 3.41) yang menyatakan bahwa ‘siswa usia sekolah dasar (7-11 tahun) berada pada tahap operasional konkret.’ Artinya, siswa sekolah dasar masih belum dapat berpikir rasional tetapi masih membutuhkan benda-benda konkret untuk memahami suatu konsep yang sedang dipelajarinya. Dengan demikian, jelaslah
bahwa media maupun sumber pembelajaran yang dipilih oleh peneliti akan berpengaruh terhadap pemahaman siswa. Pada awal pelaksanaan siklus ketiga, kendala yang ditemui adalah siswa masih perlu dibimbing pada saat membangun pengetahuannya sendiri. Khsususnya pada materi pembelajaran yang di dalamnya terdapat peristiwa yang belum pernah disaksikan secara langsung oleh siswa walaupun sudah dibantu dengan video, seperti pengikisan tanah oleh angin dan pengikisan tanah oleh es. Hal ini karena siswa belum pernah menyaksikan sendiri peristiwa pengikisan tanah oleh angin dan es. Selain itu, karena pengetahuan yang didapat mengenai pengikisan oleh angin dan es merupakan pengetahuan yang sama sekali baru bagi siswa, maka pengetahuan tersebut hanya berperan sebagai skema baru yang dimilikinya karena masih belum dapat siswa asosiasikan dengan skema yang lain yang dimilikinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan kognitif yang terjadi pada siswa yang masih mengalami kesulitan terletak pada pembentukan skema. Hal ini sejalan dengan pendapat Kuswana (2013, hlm. 159) yang mengemukakan bahwa “skema mencakup kategori pengetahuan dan proses perolehannya”. Pada setiap tindakannya kepercayaan diri siswa dalam menjawab soal evaluasi semakin meningkat yang ditandai dengan tepatnya jawaban siswa. Kepercayaan diri siswa semakin meningkat dalam menjawab soal evaluasi disebabkan oleh perlakuan-perlakuan yang diberikan terutama pada saat pembahasan melalui berbagai pertanyaan yang diberikan oleh peneliti untuk menstimulus dan mengembangkan pemikiran siswa. Selain itu, proses belajar yang dilakukan pun memengaruhi kepercayaan diri siswa dalam menjawab soal. Hal ini dapat dilihat dari kondusifnya pembelajaran dan hasil
lembar kerja siswa yang dikerjakan secara berkelompok. Hal lainnya yang memengaruhi kepercayaan diri siswa dalam menjawab soal evaluasi adalah semakin baiknya siswa dalam mengaplikasikan mind map sebagai media yang dibuatnya secara personal untuk kemudian diasosiasikan dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Faktor lainnya yang memengaruhi juga yaitu media dan sumber belajar yang peneliti sediakan cukup relevan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan siswa. Siswa sudah dapat menjawab pertanyaan yang mengevaluasi aspek kognitif baik pengetahuan, pemahaman, dan penerapan. Walaupun demikian pada tindakan 2 siklus ketiga masih terdapat siswa yang menjawab soal tidak tepat pada lembar evaluasi karena jawabannya tidak berdasarkan materi pembelajaran tetapi berdasarkan kejadian yang siswa saksikan di lingkungannya. Jawaban yang dituliskan oleh siswa kebanyakan adalah menjual lahan untuk dijadikan pabrik bahan-bahan kimia agar mendapatkan uang, padahal jawaban yang diharapkan adalah lahan tersebut dijadikan sebagai lahan pertanian. Jawaban siswa ini dipengaruhi oleh hal-hal yang sering disaksikan di lingkungannya karena lingkungan tempat tinggal siswa dekat dengan lokasi perindustrian sehingga siswa belajar dari lingkungannya yakni jika mempunyai lahan lebih baik dijual karena akan mendapatkan banyak uang daripada dijadikan lahan pertanian yang tentunya menghasilkan uang lebih sedikit. Hal ini sejalan dengan pendapat Slameto (2010, hlm. 71) yang mengatakan bahwa “kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh terhadap proses belajar siswa”. Dengan demikian, jelaslah bahwa lingkungan mempengaruhi pola pikir siswa mengenai berbagai hal sehingga berpengaruh juga pada jawaban yang pertanyaannya berkaitan dengan apa yang dilihatnya di lingkungan sekitarnya. Pada tindakan 1 siklus ketiga, peneliti menemukan bahwa siswa mulai percaya
Nita Fitriana, Novi Yanthi, Edi Rohendi, Penggunaan Teknik Mind mapping untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tanah diri dalam menjawab soal evaluasi mengenai membedakan faktor penyebab pengikisan tanah dan mengemukakan pendapatnya mengenai dampak dan tindakan pencegahan pengikisan tanah walaupun soalnya dalam bentuk soal cerita. Hal ini berhubungan dengan tindakan yang dilakukan peneliti untuk membiasakan siswa dalam mengerjakan soal cerita dengan cara menambahkan soal cerita pada lembar kerja siswa yang dikerjakan oleh siswa sehingga siswa lebih percaya diri dalam menjawab soal cerita. Untuk pembuatan mind map sendiri, masih terdapat siswa yang tidak menggunakan gambar pada mind mapnya. Walaupun tidak semua siswa yang tidak menggunakan gambar pada mind mapnya hasil belajarnya rendah. Berikut rata-rata persentase kelengkapan item-item mind map pada siklus ketiga. 1) Kata kunci sesuai konsep 100% 2) Garis melengkung 100% 3) Preposisi yang tepat (100%) 4) Warna berbeda untuk tiap konsep (100%) 5) Penggunaan gambar/simbol 86,62% Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa seluruh kriteria mind map kecuali penggunaan gambar telah mencapai presentase 100%. Penggunaan gambar pada mind map pada siklus ketiga ini tetap tidak dapat mencapai 100%. Pada siklus ketiga tindakan 1, penggunaan gambar dalam mind map belum mencapai 100% karena materi yang sedang dipelajari tidak pernah disaksikan oleh siswa, yaitu tentang pengikisan tanah oleh faktor sungai, laut, angin, dan es. Sedangkan pada tindakan 2 siklus ketiga, penggunaan gambar meningkat dari tindakan 1. Hal ini disebabkan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari siswa berkaitan dengan materi yang sedang dibelajarkan yakni manfaat tanah untuk kehidupan sehingga siswa tidak kebingungan dalam menambahkan gambar pada mind mapnya dan mempunyai banyak pilihan gambar yang
dapat merepresentasikan materi pembelajaran tersebut. Sejalan dengan berkurangnya siswa yang membuat mind map dengan kualitas yang kurang baik pada setiap tindakannya pada siklus ketiga ini, hasil belajar siswa juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berikut peningkatan nilai ratarata hasil belajar siswa pada siklus ketiga. Tindakan 1 sebesar 79,51, tindakan 2 sebesar 79,89, dan tindakan 3 sebesar 88,03. Berdasarkan data tersebut, peningkatan nilai rata-rata hasil belajar siswa dari tindakan 1 ke tindakan 2 tidak begitu signifikan yakni hanya sebesar 0,38 poin. Namun untuk tindakan 2 ke tindakan 3 terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari 79,89 menjadi 88,03. Pada siklus ketiga tindakan 3 hanya satu orang siswa yang nilainya tidak memenuhi KKM (kriteria ketuntasan minimum). Adapun untuk data peningkatan nilai rata-rata hasil belajar siswa selama penelitian adalah siklus I sebesar 59,53, siklus II sebesar 64,02, dan siklus III sebesar 82,47. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang telah dilaksanakan pada ketiga siklus, diketahui hasil belajar yang paling baik diperoleh pada siklus ketiga dengan nilai rata-rata hasil belajar sebesar 82,47. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan di kelas VC SD Negeri Kencana Indah 1 Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung dengan menggunakan teknik mind mapping untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep tanah maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Tahapan pembelajaran IPA dengan menggunakan teknik mind mapping yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa adalah sebagai berikut. a. Pengondisian kelas. b. Pemberian apersepsi oleh guru.
c. Pengelompokkan siswa. d. Siswa melakukan percobaan atau pengamatan. e. Presentasi hasil percobaan atau pengamatan. f. Pembahasan hasil percobaan atau pengamatan. g. Pembuatan mind map. h. Evaluasi akhir. 2. Pembelajaran IPA menggunakan teknik mind mapping pada konsep tanah dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang diukur adalah ranah kognitif aspek pengetahuan, pemahaman, dan penerapan. Pada setiap siklusnya nilai rata-rata hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terlihat dari nilai hasil rata-rata siklus I yaitu sebesar 59,53 meningkat menjadi 64,02 pada siklus II dan kembali meningkat pada siklus III yakni sebesar 82,47. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2011). Penelitian pendidikan dalam gamitan pendidikan dasar dan PAUD. Bandung: Rizqi Press. Abidin, Y. (2014). Desain pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013. Bandung: PT Refika Aditama. Budiamin, A., Hafidz, D. H., & Daim. (2006). Perkembangan peserta didik. Bandung: UPI PRESS. Bundu, P. (2006). Penilaian keterampilan proses dan sikap ilmiah dalam pembelajaran sains. Depdiknas Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Direktorat ketenagakerjaan. Buzan, T. (2013). Buku pintar mind map. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. DePorter, B & Hernacki, M. (2007). Quantum learning: membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Kuswana, W. S. (2013). Taksonomi berpikir. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mularsih, H. (2010). Strategi pembelajaran, tipe kepribadian dan hasil belajar bahasa indonesia pada siswa sekolah menengah pertama. Jurnal Makara: Sosial Humaniora, 14 (1), hlm. 65-74. Rusman. (2012). Belajar dan pembelajaran berbasis komputer. Bandung: Alfabeta. Santrock, J. W. (2004). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Slameto. (2010). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Subiyarto. (1990). Strategi belajar mengajar ilmu pengetahuan alam. Malang: IKIP Malang. Sudjana, N. (2014). Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Susanto, A. (2013). Teori belajar dan pembelajaran di sekolah dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Widodo, A., Wuryastuti, S., & Yuliariatiningsih, M. S. (2010). Pendidikan IPA di SD. Bandung: UPI PRESS. Winataputra, U.S. dkk. (2008). Teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Wisudawati, A.W & Sulistyowati, E. (2014). Metodologi pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara.