PENGARUH KOMBINASI WHEY DAN KASEIN SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN EDIBLE FILM TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM
The Influence of the Combination of Whey and Casein Dangke on The Characteristics of Edible Film Fatma Maruddin1, Ambo Ako1, Hajrawati1, Muhammad Taufik2 1 Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin,Makassar 2 STPP Gowa Email :
[email protected]
ABSTRAK Whey dangke merupakan by-product pengolahan dangke dan dapat dibuat menjadi edible film. Penambahan hidrokoloid salah satunya adalah kasein dapat memperbaiki karakteristik edible film berbahan dasar whey dangke. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kombinasi whey dangke dan kasein terhadap karakteristik edible film terbaik seperti: ketebalan, rendemen dan warna. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan kombinasi whey dangke dan kasein 4:4, 6:6, 8:8, dan 10:10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan edible film sangat bergantung pada konsentrasi bahan kering dan viskositas larutan edible film. Rendemen mengalami peningkatan seiring peningkatan konsentrasi kombinasi whey dangke dan kasein. Terjadi peningkatan nilai warna *L, *a dan *b. Disimpulkan bahwa kombinasi whey dangke dan kasein untuk membentuk karakterisitk edible yang baik yaitu pada kombinasi whey dangke dan kasein 10:10. Kata Kunci: Edible Film, Karakteristik, Kasein, Kombinasi, Whey Dangke
PENDAHULUAN Kandungan protein whey dangke hanya sekitar 9,76% (w/w) (Fatma, et al., 2015 dan Fatma, et al., 2014). Kondisi tersebut menyebabkan edible film yang terbentuk dari bahan whey dangke saja karakteristiknya tidak kompak, warnanya kuning dan sulit dilepas dari cetakan. Kondisi yang sama pada penelitian Jonjareonrak, et al. (2006) dengan menggunakan gelatin kulit ikan. Konsentrasi protein gelatin yang rendah tidak dihasilkan edible film yang baik. Penambahan bahan lain seperti hidrokoloid (protein dan polisakarida), lemak maupun kombinasi dari dua atau tiga bahan dapat memperbaiki karakterisitik edible film berbahan whey dangke. Edible film dapat dibuat dengan tiga jenis bahan baku, seperti
hidrokoloid, lipid, dan komposit dari keduanya (Prasetyaningrum, dkk., 2010). Golongan hidrokoloid dapat berupa polisakarida (selulosa, modifikasi selulosa, pati, agar, alginat, pektin, dekstrin) dan protein (kolagen, kasein, gelatin, putih telur).Golongan lipid terdiri dari lilin/wax, asam lemak, monogliserida dan trigliserida. Edible film campuran dari campuran lipid dan/atau hidrokoloid mampu menutupi kelemahan masing-masing bahan baku (Guilbert,1986). Beberapa penelitian telah mengkombinasikan 2 jenis bahan untuk perbaikan kualitas edible film seperti; edible film berbahanwhey dangke, karagenan dan jenis plasticizer sorbitol dan gliserol (Fahrullah, et al., 2015), edible film berbahan whey protein dan tepung porang (Safitri, 2014) dan edible film berbahan whey protein konsentrat dan atau dengan mesquito gum/sodium alginate/karagenat (Villagomez-Zavala, et al., 2008). Edible film berbahan baku protein lebih efisien digunakan sebagai bahan pengemas makanan. Hal ini disebabkankarena edible filmberbahan protein lebih baik dalam 168
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
menghambat uap air, gas, atau zat terlarut dan juga lebih biodegrable sehingga mengurangi kerusakan lingkungan (Yoshida dan Antunes, 2004). Kasein merupakan golongan hidrokoloid yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film. Kasein merupakan protein utama yang terkandung dalam susu. Protein ini mempunyai sifat yang istimewa karena sukar terpecah oleh panas yang tinggi. Oleh karena keistimewaan tersebut, kasein sangat baik digunakan sebagai bahan dasar pembuatan edible film. Kasein memiliki banyak manfaat, salah satunya mengandung beragam asam amino. Kasein susu sapi dianggap sebagai salah satu makanan manusia yang paling penting karena memiliki protein berkualitas tinggi dan mudah dicerna (Lindriati, dkk., 2014). Pengkombinasian whey dangke dan kasein sebagai bahan dasar edible film akan berinteraksi sinergis, sehingga dapat memperbaiki karakteristik edible film seperti; kondisi larutan edible film setelah pemanasan dan ketebalan, rendemen serta warna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi whey dangke dan kasein terhadap karakteristik ediblefilm. MATERI DAN METODE Materi Whey dangke bubuk (liofilisasi), aquades, gliserol, plakban, plastik dan lain-lain. Pembuatan edible film Kombinasi whey bubuk dan kasein yang digunakan (w/w)(%) 4:4, 6:6, 8:8 dan 10:10. Kombinasi tersebut dicampur dengan aquades masing-masing (w/w)(%) 92, 88, 84 dan 80. Setiap campuran ditambahkan gliserol sebanyak 35% dari berat bahan kering (BK) whey bubuk+kasein. Tahapan pembuatan edible film berbahan kasein adalah sebagai berikut: whey, kasein dan aquades dipanaskan dan distirrer pada 95oC ± 2 oC selama 30 menit. Gliserol ditambahkan pada menit ke-25 pemanasan. Setelah pemanasan, larutan edible film dituang ke cetakan. Selanjutnya dikeringkan dengan oven selama 5 jam pada suhu 50oC. Edible film disimpan dan dibungkus kertas pembungkus makanan selama 2 hari sebelum dilakukan pengujian (modifikasi dari metode Fatma, et al., 2015). Parameter yang diamati Ketebalan film Ketebalan film dihitung menggunakan micrometer (Model MDC-25M, Mitutoyo, MFG, Japan). Ketebalan edible film diukur di 5 titik lokasi yang berbeda secara acak. Hasilnya merupakan rata-rata dari 5 pengukuran (Ayranci dan Tunc, 2003). Rendemen Rendemen diperoleh dari perbandingan berat edible film dengan larutan edible film dikalikan 100.
169
Fatma Maruddin, dkk.
Pengujian warna Nilai warna edible film diukur dengan digital color meter tes (T 135). Alat dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan dengan standar yang berwarna putih (nilai kalibrasi L=94,76, a=-0,795, dan b=2,200). Nilai warna L= 0 (hitam) hingga 100 (putih); a= -60 (hijau) hingga +60 (merah), dan b= -60 (biru) hingga +60 (kuning) (Boutoom, et al., 2006; Boutoom, 2008; Cho, et al., 2007 dan Bae, et al., 2008). Analisis statistik Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap, dengan perlakuan kombinasi whey dangke dan kasein perbandingan 4:4, 6:6, 8:8, dan 10:10. Data dianalisis dengan analisis varians (ANOVA) menggunakan program SPSS. Uji lanjut LSD untuk mendeteksi perbedaan antara perlakuan (Gaspersz, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik edible film yang terbuat dari kombinasi whey dangke bubuk dan kasein dengan konsentrasi gliserol 35% terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Edible Film yang Menggunakan Kombinasi Whey dangke dan kasein dengan Konsentrasi Gliserol 35% Karakteristik
4:4
Kombinasi Whey dangke : Kasein 6:6 8:8
10:10
Ketebalan (mm)
0,13±0,01b
0,14±0,01b
0,17±0,01c
0,10±0,02a
Rendemen (%)
10,72±0,04a
16,16±0,08b
20,97±0,48c
26,39±0.04d
*L
79,70±0,76c
83,93±0,36b
85,71±0,14a
85,97±0,42a
*a
4,24±0,88c
5,24±0,32a
5,44±0,24ab
5,97±0,10b
0,50±0,24c
0,69±0,08b
1,17±0,13a
Warna
*b Keterangan:
0,41±0,06c abHuruf
yang berbeda mengikuti nilai rataan pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,01)
Kondisi larutan setelah pemanasan dan ketebalan edible film Pada perlakuan 4:4; 6:6 dan 8:8, penyebaran larutan (setelah pemanasan) pada cetakan sangat sulit (tidak merata), akibat larutan yang terbentuk setelah pemanasan sangat cair. menyebabkan sulitnya penyebaran larutan pada cetakan. Disamping sulitnya penyebaran larutan disebabkan karena konsentrasi padatan yang lebih sedikit, sehingga belum mencukupi untuk pembentukan matriks yang baik. Akibatnya edible film yang dihasilkan, tidak sesuai yang diharapkan (tidak terbentuk luasan yang baik)(Gambar 1). Henrique, et al. (2007) mengemukakan bahwa permeabilitas, kelarutan, dan ketebalan film merupakan karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan keringnya. Ketebalan edible film perlakuan 4:4 dn 6:6 yang terbentuk hampir sama. Sedangkan ketebalan edible film 8:8 sedikit lebih tebal. Hal ini disebabkan karena konsentrasi bahan padatan terlarutnya lebih banyak, namun karena larutannya cair menyebabkan tidak terjadi penyebaran bahan polimer dan hanya menumpuk serta mempengaruhi ketebalan edible film. Pada perlakuan 10:10, kondisi larutan setelah pemanasan lebih kental. Kondisi tersebut menyebabkan larutan sangat mudah saat proses perataan pada cetakan dan produk edible film yang terbentuk pun sesuai luasan cetakan (Gambar 1). Liu, et al (2004),
170
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
menyatakan bahwa viskositas suspensi edible film setelah pemanasan merupakan kontrol yang mempengaruhi ketebalan edible film selain plat pencetaknya. 4:4
8:8
6:6
10:10
Gambar 1. Edible Film perlakuan perbandingan whey : kasein (4:4; 6:6, 8:8 dan 10:10)
Ketebalan perlakuan 10:10 yang terbentuk lebih tipis dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut disebabkan karena konsentrasi bahan padatan terlarut dapat berinteraksi dengan baik. Fahrullah, et al.. (2015) danMcHugh, et al. (1996) menyatakan bahwa ketebalan film terutama dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut pada larutan pembentuk film dan ukuran plat pencetak. Selain itu juga, ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam pembentukan produk yang dikemasnya (Suryaningrum, dkk., 2005). Rendemen Rendemen merupakan persentase berat edible film dengan larutan edible film. Rendemen yang dihasilkan pada penelitian meningkat seiring peningkatan konsentrasi kombinasi whey dangke dan kasein. Hal ini disebabkan karena semakin besarnya konsentrasi bahan kering pada setiap formulasi perlakuan. Henrique, et al. (2007) mengemukakan bahwa permeabilitas, kelarutan, dan ketebalan film merupakan karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan keringnya. Warna Warna edible film yang dihasilkan pada penelitian ini adalah bening, namun agak sedikit buram. Pavlath dan Orts (2009) mengemukakan bahwa edible film dapat memberikan warna bening atau kusam/buram. Semakin cerah warnanya, semakin bagus penampilan produk yang dikemas. Pengukuran warna edible film pada penelitian ini menggunakan 171
Fatma Maruddin, dkk.
sistem hunter dengan pengukuran nilai *L (0 = hitam, 100 = putih), *a (-60 = hijau, +60 = merah), dan* b (-60 = biru, +60 = kuning). Pengukuran menghasilkan nilai *L menyatakan parameter kecerahan sedangkan nilai warna a dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Penggunaan konsentrasi perbandingan whey dangke dan kasein di atas 6: 6 akan meningkatkan nilai *L, *a dan *b. Peningkatan perlakuan hingga 10:10 tidak memberikan perbedaan dalam nilai *L dan *a, namun memberikan perbedaan pada nilai *b. Warna edible film dipengaruhi oleh bahan yang digunakan dalam formulasi edible film. Warna edible film dengan kombinasi whey dangke dan kasein yaitu *L=79,70 – 85,97, *a=4,24 – 5,97 dan *b=0,41 – 1,17. Perbandingan nilai warna dari beberapa penelitian yaitu dari penelitian Setiani, et al. (2013) edible film dari poliblend pati sukun kitosan yang memiliki nilai warna *L = 80,49, *a=2,29, *b=-12,7. Warna edible film tersebut adalah abu-abu pucat yang menunjukkan karakteristik warna cerah dan warna merah kebiruan jika dilihat dari nilai a dan b nya. Edible film berbahan kombinasi whey dangke dan agar adalah nilai *L antara 88,232 – 89,525, nilai warna *a antara 1,071 - 1,736, dan nilai warna *b antara 1,071 – 1,879 (Hakim, 2015). Penelitian Cho et al. (2007), edible film berbahan isolate protein kedelai pada pH 7 mempunyai nilai *L= 96,64, *a=-0,90, dan* b=11,06. KESIMPULAN Ketebalan edible film sangat bergantung pada konsentrasi bahan kering dan viskositas larutan edible film. Rendemen mengalami peningkatan seiring peningkatan konsentrasi kombinasi whey dangke dan kasein. Terjadi peningkatan nilai warna *L, *a dan *b. Kombinasi whey dangke dan kasein untuk membentuk karakterisitk edible film yang baik yaitu pada kombinasi whey dangke dan kasein 10:10. UCAPAN TERIMA KASIH Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana pada penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. LP2M Universitas Hasanuddin atas kerjasama dan bantuannya. Fakultas Peternakan atas fasilitas peneltian. Mahasiswa yang terlibat dalam penelitian ini terutama Tri Wahyuni dan Alim Rais Ahyar.
DAFTAR PUSTAKA Ayranci, E., dan Tunc. 2003. A method dor the measurement of oxygen permeability and development of edible film to reduce the rate of oxidative reactions in fresh foods. Journal Food Chem., 80:423431. Bae, H.J., S.C. Dong, S.W.Williams, and J.P.Hyun 2008. Film and pharmaceutical hard capsule formation properties of mungbean, waterchestnut, and sweet potato starches. Food Chemistry, 106: 96-105. Bourtoom, T. 2008. Plasticizer effect on the properties of biodegradable blend film from rice stachchitosan. Songklanakarin Jounal Science Technology, 30: 149-165. Bourtoom, T., M. S.Chinnan, P. Jantawat, R. Sanguandeekul. 2006. Effect of select parameters on the properties of edible film from water-soluble protein in surimi wash-water. LWT, 39: 405-418. Cho, S. Y., J. Park., H. P. Batt and R. L. Thomas. 2007. Edible film made from membrane processed soy protein concentrates. LWT, 40: 418-423. Fahrullah, R. Malaka, dan F. Maruddin. 2015. Karakteristik edible film berbahan dasar whey dangke, karagenan dan jenis plasticizer sorbitol dan gliserol. J. Sains dan Teknologi, 15(3): 288-293.
172
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Fatma, R. Malaka, dan M. Taufik. 2015. Karakterisitk edible film berbahan dangke dan agar dengan mengunakan gliserol dengan persentase berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan, 4(2), 63-69. Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung : Armico. Guilbert, S. 1986. Technology and application of edible protective films.In Mathlouthi, M. Food Packaging and Preservation, p. 371 - 394. Hakim, M. H. 2015. Karakteristik edible film dari whey yang dangke yang ditambahkan level agar yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Henrique, C. M., R. F. Teofilo, L. Sabino, M. M. C. Ferreira, dan M. P. Cereda. 2007. Classification of cassava starch film by physicochemical properties and water vapor permeability quantification by FTIR and PLS. Journal of Food Science. 74: 184-189. Jongjareonrak, A., S.Benjakul, W.Visessanguan, T. Prodpran and M. Tanaka. 2006. Characterization of edible film from skin gelatin of brownstrip red snapper and bigeye snapper. Food Hidrocolloids, 20: 492-501. Lindriati, T., Y. Praptiningsih, dan D. F. Wijayanti. 2014. Karakteristik fisis gel edible film yang dibuat dengan variasi pH dan rasio kasein dan tapioka. Jurnal Ilmu Dasar, 15 (1) : 51 - 58. Liu, X., G. Xiao, W. Chen, Y. Xu, and J. Wu. 2004. Quantification and Purificationof Mulberry Anthocyanin withMacroporus Resins. J. Biomed. Biotechnol., 5: 326-331. McHugh, T. H., Huxsoll, C. C., and Krochta, J. M. 1996. Permeability properties of fruit puree edible films. Journal of Food Science, 61(1): 88- 91. Pavlath, A. E., dan W. Orts. 2009. Edible Film and Coatings for Food Application.Chapter 1. Edible Films and Coating : Why, #hat and How?. Springer, New York. Prasetyaningrum, A., N. Rokhati, D. N. Kinasih, dan F. D. N. Wardhani. 2010. Karakterisasi bioactive edible film dari komposit alginat dan lilin lebah sebagai bahan pengemas makanan biodegradable. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. ISSN : 1411 - 4216. Safitri, I. Thohari, dan Purwadi. 2014. Karakterisitik sifat fisiko-mekanis edible film komposit dengan rasio protein whey dantepung porang (Amorphopallus oncophyllus) yang berbeda. http://fapet.ub.ac.id/wp-content/2014/03/karakteristik.... Diakses tanggal 27 Agustus 2014. Setiani, W., T. Sudiarti, L. Rahmidar. 2013. Preparasi dan karakterisitk edible film dari poliblend pati sukun-kitosan.Valensi, 3(2): 100-109. Suryaningrum, T., H. Dwi, B. Jamal, dan Nurochmawati. 2005. Studi pembuatan edible film dari karagenan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Pasca Panen Vol. 11.No. 4. Villagomez-Zavala, D.L., C. Gomez-Corona, E. S. M. Matinez and J. P. Perez Orozco. 2008. Comparative study the mechanical properties of edible films made from single and blended hydrophilic biopolymer matrices. Revista Mexicana de Ingenieria Quimica, 7(3): 263-273. Yoshida, C. M. P. and A. J. Antunes. 2004. Characteriztion of whey protein emulsion film. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 21: 247-252.
173