1 The Accident
LINEA Lavoile Fujisawa. Gadis dengan tiga buah L di namanya itu, adalah seorang pegawai administrasi di sebuah majalah travelling yang sudah berdiri mungkin hampir seumur ayahnya. Begitu keluar dari Universitas Todai, Linea langsung pindah mengikuti Grandmere-nya ke Paris yang merupakan tempat kelahiran ayahnya, Keith Lavoile Fujisawa. Tak kurang dari dua tahun yang lalu, Linea melamar ke DArE. Sejak hari pertamanya bekerja di kantor, ia memiliki seorang teman bernama Kyla yang sekarang duduk di meja yang tepat berada di sebelah mejanya. Dan juga beberapa orang lain yang di kenalnya bekerja di kantor yang sama, tapi tidak begitu dekat dengannya. Setahu Linea, di kantor ini hanya Kyla yang menganggapnya ada, berbicara dengannya secara baik-baik dan memandangnya sebagai manusia. Sedangkan karyawan yang lain sangat acuh dan masih tidak perduli meskipun Linea sudah bekerja di DArE selama dua tahun. Sekarang beginilah hidupnya setiap hari, duduk di depan komputer dan mengetik, mengetik, mengetik, seolah-olah keyboard adalah bagian dari anggota tubuhnya. Linea merasa begitu lelah untuk berdiam diri di kantor tanpa melakukan apa-apa. Pekerjaannya selalu ia selesaikan pagi-pagi sekali sehingga pada jam makan siang seperti ini, Linea sudah tidak memiliki tugas yang berat mengenai kantor. Meskipun begitu, ia masih tidak memiliki ketertarikan untuk makan siang di luar seperti karyawan yang lain. Mungkin karena merasa tidak memiliki teman? Entahlah. Sejak setahun yang lalu, Linea mungkin tidak memiliki alasan untuk tidak pergi makan siang. Namun beberapa minggu terakhir, ia menjadikan persiapan pernikahannya sebagai alasan. Linea fikir ia sedang diet demi tampil sempurna di pernikahannya yang berlangsung bulan depan. Carlo adalah seorang laki-laki portugis yang menjadi tambatan hatinya. Laki-laki yang melamarnya dan menginginkan Linea untuk menjadi istrinya. Mereka berkenalan di Marais Bastille saat ia harus mengantarkan beberapa dokumen penting ke apartemen pribadi milik bosnya yang sedang sakit. Semenjak itu, cerita berlangsung klise. Mereka saling bertukar nomor ponsel dan lamakelamaan memutuskan untuk menjalin hubungan sebagaimana sepasang kekasih. Herannya, sejak pertama mereka berpacaran, Carlo selalu mengomentari tubuh Linea yang menurutnya gemuk. Hal yang menjadi alasan Linea untuk selalu mengabaikan makan siangnya. Ponselnya yang berada di sebelah keyboard komputer bergetar. Linea membuka matanya lebar-lebar karena matanya sudah redup sejak tadi. Ia benar-benar merasa lapar dan perasaan itu membuat rasa kantuknya menjadi semakin parah. Tapi melihat siapa pengirim pesan di ponselnya semua rasa kantuk Linea lenyap seolah-olah terbang begitu saja ke atas langit dan tidak menampakkan diri lagi sama sekali. Bb, Pulang Jam berapa? Bisa bertemu hari ini? Plg kerja datang ke café ku ya? Aku sangat merindukanmu (Sender: Carlo. XXX) Carlo pada akhirnya mengirim pesan juga setelah seharian ini Linea menanti kabar darinya. Semenjak rencana pernikahan mereka di putuskan, Carlo benar-benar berkonsentrasi bekerja seolaholah ia akan meninggalkan cafenya untuk selamanya. Semua hal itu menyebabkan Linea mengurusi persiapan pernikahannya seorang diri dan semakin sulit untuk bertemu dengan Carlo. Tapi bagi Linea, hal seperti itu tidak semestinya menjadi masalah yang harus di ributkan. Memang, dirinya merasa jengah saat orang-orang dari event organizer bertanya tentang mempelai laki-laki. Mereka kerap mengatakan bahwa keputusan soal pernikahan sebaiknya di lakukan oleh kedua belah pihak. Pada akhirnya, hingga kini Linea masih belum memilih EO yang tepat untuk mengurusi pesta pernikahan sederhananya.
Linea sudah terlalu banyak menuntut kepada Carlo dan dirinya sama sekali tidak akan meminta hal yang lebih lagi. Linea sudah harus bersyukur karena Carlo mengabulkan permintaannya untuk mempercepat pernikahan meskipun hal itu membuatnya repot seorang diri. Tidak, ada Kyla yang siap membantunya meskipun Linea tidak memberi tahu dengan siapa ia menikah nanti pada Kyla, Linea patut bersyukur. Ia ingin Carlo menjadi kejutan bagi setiap orang. Linea tidak pernah memperkenalkan Carlo kepada siapa-siapa kecuali Grandmere* sehingga rencana pernikahan ini juga sama rahasianya seperti keberadaan Carlo. Kedua orang tuanya juga belum tahu, hanya Grandmere satu-satunya orang yang tahu. Grandmere sangat tidak setuju. Linea bisa membayangkan bagaimana reaksi orang tuanya jika mereka tahu Grandmere tidak menyetujui hubungannya dengan Carlo. Sudah bisa di pastikan, kedua orang tuanya akan patuh terhadap keputusan Grandmere dan ikut-ikutan menentang hubungan mereka. Grandmere pada awalnya menyukai Carlo, tapi begitu tahu kalau Linea dan Carlo akan melangkah kejenjang yang lebih serius, Grandmere menolak keberadaan Carlo terang-terangan. Terlebih sejak Linea menyatakan permintaan tentang keinginannya untuk pindah ke kediaman Carlo setelah mereka menikah. Hal itu membuat kebencian Grandmere kepada Carlo semakin menjadi-jadi. “Linea, Monsieur Fabius memanggilmu ke ruangannya!” Kyla berdiri di depan pintu ruang kerja mereka sambil memijat dahinya. Gadis itu mendapat Job yang sangat luar biasa belakangan ini. Seringkali Kyla mengeluh tentang bagaimana dirinya hampir muntah menghadapi kertas-kertas dan komputernya. Ia harus kembali merapikan Arsip lama yang bukan di kerjakan olehnya, melainkan pegawai lain sebelumnya. Terkadang Linea berusaha membantu namun ia tidak bisa membantu banyak. Linea sendiri begitu sibuk dengan persiapan pernikahannya. “Ada apa?” “Pokoknya segera temui beliau. Kau tahu, kan? Besok dia akan pensiun dan ini adalah hari terakhirnya di kantor.” Linea mengangguk lalu sekilas memandang kalender yang berada di sebelah komputernya, 22 Juni. Carl Fabius pernah mengatakan rencana pensiunnya saat rapat terakhir mereka minggu lalu. Sama sekali tidak di duga bahwa rencana itu berlangsung secepat ini, jarang sekali ada orang yang memulai pensiunnya pada pertengahan bulan Juni, seperti yang Carl Fabius lakukan. Linea berusaha mengembalikan semangatnya dan berjalan menuju ruangan kerja Carl Fabius. Begitu sampai, Linea hanya perlu mengetuk pintu beberapa kali dan ia melihat bayangan Tuan Fabius yang berjalan mendekati pintu lewat dinding kaca anti pecah yang berwarna keabu-abuan. Cahaya dari dalam ruangan membuat bayangan Carl Fabius terlihat jelas dari dinding kaca yang menyelubungi ruangannya. Entah siapa yang punya ide untuk membuat ruangan kerja seperti ini, yang pasti ide ini membuat Atasan manapun menjadi kehilangan lebih dari lima puluh persen privasinya karena orang lain yang berada di luar ruangannya tetap bisa melihat gerak geriknya dalam bayangan. “Silahkan, Nona!” Carl Fabius berguman dengan suara beratnya begitu pintu terbuka. Laki-laki yang sangat baik. Seandainya Carl Fabius tidak punya istri, Linea akan memaksa laki-laki itu untuk menikah dengan Grandmere-nya. Linea menahan tawa sambil melangkah menuju sofa yang ada di ruangan itu. Carl Fabius menutup pintu dan memandangi Linea sambil bertolak pinggang. “Jadi menikah bulan depan?” Tanyanya. Linea mengangguk. “Tentu saja.” “Masih merahasiakan siapa calonnya? Bagaimana jika aku tidak bisa hadir pada pernikahanmu bulan depan? Aku mau liburan ke Florida bersama keluargaku!” “Masih belum bisa, Bos. Bahkan kedua orang tuaku sama sekali tidak tahu.” Tuan Fabius mengangguk lalu melangkah mendekati mejanya. Ia mengambil sebuah kantong kertas yang begitu penuh dan berat lalu memberikannya kepada Linea. “Ini adalah dokumen-dokumen penting untuk Abiel Marloy. Dia adalah penggantiku. Dokumen ini harus sampai hari ini juga sebelum meeting di mulai. Kau harus menemui beliau di Le Marris, beliau akan menghadiri rapat direksi disana! Ini rapat Perdananya menggantikanku dan dia harus mempelajari semuanya dalam waktu yang sangat singkat” Kemudian, tangan Carl Fabius yang lain menyerahkan sebuah Amplop berwarna putih sebagai tugas susulan. “Hadiahnya! Boleh kau buka sekarang!” Kedua alis Linea menyatu. Ia memandangi amplop putih itu sejenak lalu membukanya pelanpelan. Dirinya hampir saja berteriak melihat apa yang sudah di sembunyikan oleh amplop putih bersih itu—entah sejak kapan—tapi sangat menyenangkan. Sebuah pernyataan kenaikan gaji terhitung sejak
bulan depan. Tidak banyak, hanya 20% namun jumlah yang sangat berarti bagi Linea. Carl Fabius benar-benar mengabulkan permintaannya yang satu ini dalam waktu singkat. Baru dua minggu yang lalu Linea mengeluh karena kekurangan uang dalam membiayai pernikahannya. Maka ia mendatangi bosnya itu dan berharap Carl Fabius bersedia meningkatkan nominal gajinya dari gaji staff junior menjadi staff Senior. Sesungguhnya saat mengajukkan permintaan itu, Linea ragu tentang penerimaan pengajuannya. Tapi sekarang Linea mendapatkannya. Ia kembali menoleh kepada Carl Fabius dengan pandangan penuh rasa terima kasih. Kepala Carl Fabius menggeleng. Ia sama sekali tidak menyukai cara Linea memandangnya. Carl membenci ide; menunjukkan rasa terima kasih dengan ekspresi memelas. “Naik gaji, artinya tugasmu bertambah pula. Jadi jangan senang dulu.” Gumamnya. “Sekarang pergilah. Waktumu sudah berkurang sepuluh menit. Tuan Marloy akan sampai satu jam lagi dan dia sangat membutuhkan semua dokumen yang berada dalam kantong kertas itu. Bergerak!” Linea dengan cepat berdiri dari duduknya dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya ia mengambil semua barang-barangnya lalu melangkah pergi menuju hotel yang Carl Fabius sebutkan. Abiel Marloy, dia yang akan menerima dokumen-dokumen itu dan Linea harus segera menemuinya sesegera yang ia bisa. Setiap kali melihat jam di tangannya,Linea merasa semakin di buru waktu yang terus berkurang. Linea sengaja memilih taksi agar dirinya bisa sampai ke Le Maris dalam waktu singkat. Sayangnya jalanan begitu macet pada jam makan siang. Dengan terpaksa, setelah macet tidak juga kunjung lengang, Linea memutuskan untuk turun dari taksinya. Linea melangkahkan kaki menelusuri jalanan sempit demi menemui jalanan yang bebas macet. Mungkin dari sana nanti ia akan menumpang taksi lain. Bisa jadi ia sampai lebih cepat dari yang Carl fabius bayangkan. Itu artinya semakin banyak waktu tersedia untuk atasannya yang baru mempelajari dokumen-dokumen itu, bukan? Dan Linea akan mendapatkan tempat di hati atasannya jika itu terjadi. Mungkin pekerjaannya akan lebih mudah dan pegawai kantor yang lainnya bisa lebih memandangnya. Siapa tahu. Le Maris ada di depan sana. Akhirnya Linea sampai, ia bahkan tidak memerlukan taksi. Ia baru tahu jika jalan memintas itu mengantarkannya ke Le Maris tanpa perlu di repotkan oleh macet. Tidak ada lampu merah, namun jam makan siang seperti ini terlalu banyak orang yang lalu lalang. Linea memantau sekelilingnya untuk mencari lintasan penyeberangan. Tentu saja ada. Sekitar tiga blok dari tempatnya berdiri. Linea menghela nafas panjang. Mungkin ia akan menyeberang jalan di sini saja. Toh Jalannya tidak begitu lebar, bukan? Linea melangkahkan kakinya menuruni trotoar menuju jalanan. Seorang bocah belasan tahun tiba-tiba berlari menyongsongnya dari seberang jalan sehingga Linea limbung. Kantong kertas bawaannya jatuh dan robek. Dokumen-dokumen mulai berantakan. Linea segera menyergap tumpukan dokumen yang tersisa dan memeluknya dengan lengan kiri. Selanjutnya selama beberapa saat ia di sibukkan dengan aksi menangkap kertas yang beterbangan. Tentu saja itu bukan kertas yang biasa. Kertas-kertas itu adalah kertas yang menentukan hidup dan matinya. Tidak ada seorangpun yang membantu. Ia berlarian dengan sepatu hak tingginya kesana kemari dengan khawatir. Waktunya semakin menipis, ia hampir sampai. Lalu mengapa hal sial seperti ini harus terjadi? Kenapa hari ini angin begitu kencang? Dan apa yang di lakukan orang-orang? Mereka menjadikan Linea sebagai tontonan yang lucu tanpa seorangpun di antara mereka yang tergerak untuk datang membantu. Paris sangat berbeda sekali dengan Jepang. Tidak ada rasa peduli terhadap sesama disini, gerutunya. Selembar kertas lagi melayang sedikit lebih jauh. Linea menjangkau lebih dalam lagi ketengah jalan raya dimana kertas itu mendarat. Sayup-sayup di telinganya ia mendengar bunyi peluit dari petugas lalu lintas yang melarangnya melangkah ke jalan raya. Akhirnya ia ketahuan juga. Jika bukan karena anak tadi yang menabraknya, ia hanya akan melintasi jalanan itu dengan sukses tanpa di ketahui petugas. Tapi tentu saja dengan aksinya barusan ia sudah jadi pusat perhatian. Tapi siapa perduli? Jika memang petugas itu peduli, dia akan datang membantu Linea, bukan? Linea pada akhirnya nyaris menggapai kertas yang tersisa itu sebelum angin berhembus sekali lagi dan kertas dengan ringan melayang berpindah tempat. “Sial! Tolonglah…” Bisiknya. Ia bisa saja meninggalkan kertas itu, hanya selembar, bukan? Tapi bagaimana jika kertas itu adalah bagian terpenting dari dokumen? Linea mulai khawatir saat melihat jalanan mulai ramai kembali, ia sempat bersyukur karena kertas itu terbang ke
pinggir mendekati Le Marris. Tapi tiba-tiba jantung Linea seakan berhenti saat mendengar bunyi benturan keras yang datang entah dari mana. Linea berusaha menoleh, tapi ternyata matanya terpejam. Ia sudah tergeletak di jalanan dengan keadaan yang tidak di ketahuinya. Beberapa bagian tubuhnya mulai terasa nyeri, semuanya seperti mimpi. Banyak orang yang berkerumunan di sekitarnya yang berkeras untuk menelpon rumah sakit. Bunyi peluit petugas lalu lintas lambat laun semakin mendekat, Linea harap ia bisa membuka matanya, Namun ia masih belum bisa. Tolong aku. Aku harus bertemu Tuan Marloy demi Carl dan masa depanku! Teriaknya dalam hati
*** Langit yang berwarna biru teduh adalah hal pertama yang Linea lihat saat ia membuka mata. Linea sendiri masih tidak yakin bahwa yang di lihatnya adalah langit. Ia menegakkan kepalanya, memandangi sekeliling, dan mendapati dirinya terbaring di sebuah bangku taman. Linea menguatkan diri untuk bangkit dan duduk. Seorang wanita yang juga duduk di sebelahnya tersenyum ringkas mengetahui Linea sudah sadar kembali. “Kau sudah bangun? Kalau begitu aku bisa pulang dengan tenang. Kau ingat jalan pulang ke rumah, Kan?” Linea mengagguk bingung. “Kau siapa?” “Aku? Namaku Beltva. Aku pergi dulu karena tugasku sudah selesai. Sampai jumpa!” Beltva lalu pergi meninggalkan Linea begitu saja. Linea berusaha tenang dan berusaha mengingat semuanya sehingga beberapa ingatan terbayang. Linea baru saja mengalami sebuah kecelakaan, ia memandangi tubuhnya dan untungnya tidak terjadi apa-apa padanya. Linea hanya merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya dan ia tidak meragukan itu terjadi karena kecelakaan yang di alaminya barusan. Ia kehilangan kertas-kertas penting untuk Tuan Marloy. Kekhawatiran mulai menyelubunginya. Linea bangkit dan berdiri, melangkah berkeliling mencari berkas yang ia butuhkan. Beberapa saat kemudian Linea sadar bahwa dirinya seperti orang linglung. Semua dokumen itu lenyap sudah. Linea melangkah kembali ke jalanan dimana ia mengalamai kecelakaan. Jalanan mulai sepi dan sepertinya tidak ada seorangpun yang mengenalnya, ia korban kecelakaan beberapa waktu lalu, secepat itukah mereka melupakannya? Waktu? Jam berapa sekarang? Linea berbisik. Ia mengangkat lengannya dan memperhatikan jam tangannya lekat-lekat. Sudah jam lima sore dan ini sudah lewat jam pulang Kerja. Tubuhnya yang masih sakit mendorong Linea untuk memanggil taksi dan segera pulang. Terserah dengan apapun yang terjadi nanti yang pasti dirinya sangat ingin istirahat. Ia tidak sanggup menahan nyeri di tubuhnya lebih lama lagi. Linea ingin berbaring tenang di atas ranjangnya yang empuk. Terlelap dan melupakan kekhawatiran hari ini. Ya, kekhawatiran. Tentang dirinya yang mungkin saja di pecat setelah kehilangan dokumen-dokumen penting. Lalu pembiayaan pernikahannya tertunda, dan... Linea menolak untuk membuat dirinya semakin khawatir. Ia melangkah sedikit lebih dalam ke jalanan untuk melambai kepada taksi yang akan mengantarkannya pulang. Butuh waktu yang panjang menuju rumah karena kediaman Grandmere memang terletak di pinggiran kota Paris. Setelah membayar taksi, Linea langsung memasuki rumah dan menemukan Grandmere-nya sedang sibuk menyiapkan makan malam. Linea mendekat dan memeluk wanita tua itu erat-erat. “Ada apa?” Grandmere berhenti bergerak dan membelai kepala Linea dengan lembut. Linea mendesah, masih dalam pelukannya. “Sepertinya aku akan di pecat. Kupikir aku baru saja naik gaji!” Grandmere membelai punggungnya. “Kalau begitu gunakan waktu itu untuk beristirahat di rumah. Dirimu sedang tidak sehat, jadi perlu banyak istirahat.” “Grandmere tahu darimana kalau aku sedang tidak sehat hari ini?” Sekarang wanita tua itu mengubah pandangan penuh kasihnya menjadi pandangan yang penuh kebingungan. “Kenapa masih bertanya? kau cucuku bukan?” “Ya, tentu saja. Kau bisa merasakan apa yang ku rasakan. Kau selalu tahu apapun yang terjadi padaku. Aku sedang dalam keadaan buruk dan sekarang sepertinya harus istirahat. Grandmere, Aku tidur di kamarmu ya?”
Grandmere mengangguk. “Tapi pada saat jam tidur tiba, kau harus pindah kembali kekamarmu. Aku akan merasa aneh jika ada dirimu di kamar. Kau sudah sangat lama tidak tidur denganku lagi, aku sudah terbiasa tidur sendiri dan menolak ada orang lain di kamarku!” Linea mendesah kecewa, ia memang sudah lama tidak tidur bersama Grandmere-nya. Sejak merasa sibuk menyiapkan pernikahan, Linea bahkan nyaris tidak pulang ke rumah beberapa kali. Ucapan Grandmere tadi merupakan sindiran ringan mengenai betapa sering Linea melupakan wanita tua itu semenjak mengenal Carlo. Tiba-tiba saja ia merasa seperti anak yang tidak berguna. Ya, meskipun begitu ia ingin berbaring di kamar neneknya walaupun sebentar, hanya demi bermanjamanja, hal yang sudah sangat lama tidak di lakukannya.
2 Hari Pertama
LAGI-LAGI Linea terbangun dengan perasaan aneh. Begitu ia membuka matanya, tiba-tiba saja ia melihat banyak perubahan di kamarnya. Ranjang yang biasa di tidurinya sudah berbeda dengan yang biasa dan ia memakai kelambu? Sejak kapan Linea suka dengan kamar bernuansa klasik begini? Satu lagi, hawa yang di rasakannya sudah sangat tidak sama dengan yang biasa di rasakan sebelumnya, kamarnya terasa lebih hangat padahal Linea suka berada dalam kamar yang sejuk. “ Mungkin AC-nya rusak.” Gumam Linea pelan. Ia menggeliat dengan penuh semangat dan harus terkejut saat menyadari kulitnya sedang bersentuhan dengan kulit orang lain di dalam selimut. Linea memandangi laki-laki yang berada di sebelahnya, sedang tertidur pulas sambil memeluknya. Linea mengerjapkan matanya meyakinkan kalau semua ini hanya mimpi. Ia menyentuh perutnya, lalu dada dan kembali turun hingga ke paha. Keterkejutannya semakin bertambah karena ia sedang tidak mengenakan apa-apa dalam pelukan seorang laki-laki yang tidak di kenalnya. Linea seharusnya berteriak, tapi ia masih termenung memandangi laki-laki itu, cukup good looking dengan rambutnya yang berwarna coklat terang dan terlihat sangat dewasa meskipun sedang tidur, tapi Linea tidak mengenalnya. Laki-laki itu di temuinya dimana? Di kantor? Ia tidak punya teman kantor setampan ini. Lalu di diskotik? Apakah semalam Linea mampir ke diskotik? Linea mengerjapkan matanya sekali lagi dan ia ingat, ia bahkan pulang sebelum makan malam dan langsung tidur di kamar Grandmerenya. Lalu siapa laki-laki ini? Bagaimana mungkin bisa ada di atas ranjangnya dan tanpa busana seperti dirinya. Linea memandang berkeliling untuk meyakinkan apakah ini benar-benar kamarnya? Meskipun banyak yang berubah, Linea yakin kalau ruangan ini adalah kamarnya. Kamar yang sudah di tempatinya dua tahun belakangan semenjak ia memutuskan untuk menemani Grandmere dan tinggal di Paris. Rak buku yang berada di dekat pintu juga miliknya, Linea kenal dengan semua koleksinya, dan buku-buku yang memenuhinya adalah susunannya sendiri. Sebuah kecupan manis mendarat di bahunya di sertai belaian hangat di lengannya. Linea menoleh kepada laki-laki itu, dia baru bangun dan tersenyum semanis mungkin kepadanya. Matanya belum begitu terbuka dengan sempurna karena baru bangun tidur, tapi Linea yakin kalau Laki-laki itu tidak salah orang, dia menyebut nama Linea dengan manis. Laki-laki itu tidak salah orang. “Linea Sayang, kau sudah bangun?” Linea mengangguk sambil terus memandangi laki-laki itu dalam jarak yang sangat dekat. Keheranan sudah menyesaki benaknya dalam dosis yang sangat tinggi “Bagaimana mungkin aku bisa, seperti ini? Semalam aku tidur di kamar Grandmere!” “Aku yang membawamu ke kamar kita. Mana mungkin aku membiarkan istriku ke kamar lain? Soal pakaian seharusnya dirimu tidak perlu terkejut. Bukankah kita selalu melakukannya? Kau tahu kalau aku tidak suka AC lalu kita menyingkirkannya. Semenjak kamar ini tidak memiliki pendingin lagi, Kau selalu tidur tanpa pakaian seperti itu.” “Jadi semalam aku membukanya sendiri?” “Aku yang membuka! Tidak salah, kan? Aku suamimu.” Linea menggeleng masih dengan ekspresi herannya. Laki-laki itu mengakui Linea sebagai istrinya? Linea masih bingung dan termenung. Kemarin ia tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Carlo, lalu baru mendapatkan kenaikan gaji dan mengalami kecelakaan. Kemudian terbangun di sebuah taman bersama seorang wanita yang menolongnya dan langsung pulang. Semalaman ia sudah mempersiapkan batinnya karena harus di marahi oleh Tuan Marloy, bosnya yang baru. Tapi sepertinya kejadian hari ini lebih parah bila di bandingkan dengan amarah tuan Marloy di hari
pertama bekerja. Dia sudah menikah? Lalu kenapa bukan dengan Carlo? Lalu siapa laki-laki itu dan kenapa laki-laki itu yang menjadi suaminya? “Ah, aku sudah terlambat. Aku harus segera kekantor.” Laki-laki itu bangkit dan duduk sambil memegangi kepalanya yang pusing, ia menoleh kepada Linea dan memandangi setengah dari tubuhnya yang terbuka secara tidak sengaja dengan di iringi sebuah senyum penuh kekaguman. “Tapi melihatmu seperti ini sepertinya hari ini aku tidak usah ke kantor!” Laki-laki itu memeluk Linea lagi dan meremas payudaranya dalam ritme yang lembut. Linea segera menolak dan mendorong tubuh pria yang mengaku sebagai suaminya itu menjauh. Kedua lengannya segera menyilang ke depan dada dengan kuat. “Kau ingin melakukan apa?” Kening laki-laki itu berkerut. “Kenapa reaksimu seperti itu? Bukankah ini normal untuk suami istri? Kau istriku kan? Linea Fujisawa, kan?” “Kau siapa? Bagaimana bisa aku menikah denganmu? Aku punya orang yang sangat ku cintai dan kami akan menikah. Kau berbohong dengan pernikahan ini kan? Ini hanya bercanda, atau kau salah orang? Tapi kau menyebut namaku…” “Kau tidak ingat aku? Aku Abiel!” laki-laki itu mendengus. “Sudahlah kalau kau memang sedang tidak bersemangat, tidak perlu mengeluarkan kata-kata aneh seperti itu. Aku akan berangkat ke kantor saja.” Linea menelan ludahnya. Abiel meninggalkan ranjang dan berjalan menuju kamar mandi tanpa mengenakan apa-apa. Bukan pertama kalinya Linea melihat tubuh laki-laki, tapi ini pertama kalinya ia melihat pemandangan seperti ini di dalam kamarnya sendiri. Laki-laki itu? Tadi dia ingin melakukan apa? Bercinta denganku? Tidak… Batin Linea. Lalu kata tidak keluar bukan hanya sebagai gema di hatinya. Linea benar-benar berkata tidak dalam intonasi yang sangat lantang. Dia tidak mungkin sudah menikah dengan laki-laki lain selain Carlo. Tidak mungkin menikah dengan laki-laki yang tidak di cintainya. Tidak mungkin… “Tidaaak!!!” Dan suasana menjadi riuh. Suara pintu di ketuk dengan nada tidak sabaran membuat Linea ingin segera menghambur ke pintu, tapi sebelum itu laki-laki bernama Abiel yang mengaku sebagai suaminya segera mengambil celana piamanya yang berada di lantai lalu memakainya dan membuka pintu. Grandmere masuk dan memeluk Linea yang masih kebingungan. Ia membelai kepala Linea sambil bertanya ada apa. “Grandmere, Siapa laki-laki itu?” Desis Linea dalam pelukan neneknya. Grandmere memandangi Abiel sekilas lalu memeluk Linea lebih erat. “Dia Abiel suamimu, sayang. Kau sendiri yang berkeras untuk menikah dengannya Sebulan yang lalu. Sekarang kenapa kau berteriak dan mempertanyakan siapa dia?…” “Mana mungkin.” Linea memotong. “Aku akan menikah dengan Carlo, bukan dengannya.” “Linea, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa seperti ini? Apakah dirimu sudah lupa kalau Carlo sudah pergi? Kau sendiri yang memutuskan hubunganmu dengan Carlo dan memilih menikah dengan Abiel!” Linea memandangi Grandmere-nya dengan tatapan yang semakin bingung. Kemarin ia dan Carlo janjian bertemu di café miliknya, baru kemarin dan Linea masih mengingatnya dengan baik. Lalu bagaimana bisa dia menikah dengan laki-laki bernama Abiel itu bulan lalu? Kenapa harus meninggalkan Carlo dan memilih orang yang tidak di kenalnya? “Kau kenapa? Kau terbentur?” Abiel bertanya sambil mendekat. Ia menyeka sejumput rambut Linea yang menutupi wajah. Sekilas Linea melihat kilauan di jari manisnya dan Linea spontan memandang jarinya juga. Ada cincin yang memiliki kilau sama disana. Cincin kawin? Laki-laki itu benar suaminya? Linea memegangi kepalanya. “Aku kecelakaan kemarin dan sepertinya aku melupakan banyak hal. Maaf!” desisnya. Linea tidak berbohong. Ia memang kecelakaan, tapi Linea masih bisa mengingat semua kejadian sebelum kecelakaan. Ia belum menikah pada saat itu, lalu bagaimana bisa begitu terbangun ia sudah memiliki seorang suami dengan cincin kawin melingkar di jari manisnya? “Tanggal berapa sekarang?” Abiel masih memandangnya dengan tatapan heran, tapi tidak lama karena ia segera mengambil jam tangannya yang masih berada dalam jangkauannya. “Dua puluh tiga Juni!” Dua puluh tiga…juni…
Linea terus mengulangi kata-kata itu di benaknya. Kemarin adalah hari terakhir tuan Fabius di kantor dan kemarin adalah tanggal 22 juni, Linea tidak mungkin salah karena sebelum masuk ke ruangan Carl Fabius Linea sempat melihat ke kalender. Kemarin ia mengalami kecelakaan, pulang ke rumah dan terbangun pagi ini dengan status baru. Dia dan Abiel sudah menikah sebulan lalu? Mustahil, kemarin Linea masih lajang. Tapi Grandmere juga mengatakan hal yang sama. Apa yang terjadi pada dirinya? Atau lebih tepatnya, apa yang terjadi pada hidupnya? Kenapa bisa berubah secara tiba-tiba seperti ini? Mungkinkah Linea sedang melompat ke sisi kehidupannya yang lain? Apa karena kecelakaan yang kemarin itu?