DAF TAR ISI LAPORAN U TA M A Testing the Water Penguatan Kerja Sama
EAS Seminar on Maritime Security
Penanganan IUU Fishing Melalui ASEAN
Cooperation “Enhancing Information
Regional Forum (ARF) 4
Sharing Among Commercial Vessels” Sydney, Australia, 22-25 November 2016 24
Diplomasi Maritim Indonesia dalam Kemitraan ASEAN dengan Mitra Wicara 13 ASEAN Maritime Forum dan Sinergi Penguatan Kerja Sama Maritim di ASEAN 17
POJOK SOSIALISASI
INFOGRAFIS
Peresmian PSA UNS Memperluas
Poros Maritim: Mendigdayakan Maritim RI
Jejaring Kemlu Memasyarakatkan
yang Mendunia 16
ASEAN 32 Matriks Kerja Sama Maritim di ASEAN 22 Perkuat Peran Pusat Studi ASEAN Sebagai Mitra Pemerintah di Era Masyarakat ASEAN, Kemlu Selenggarakan Rapat Konsolidasi 34
2
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Persebaran PSA di Seluruh Indonesia 38
PENANGGUNG JAWAB Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Jose Tavares
P E N A S E H AT Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Ashariyadi
PEMIMPIN REDAKSI Andi Dirgahayu Yudyachandra
DEWAN REDAKSI Hikmat Moeljawan Bambang Witjaksono Mahmudin Heru Prayitno Annie Yuliyanti
S TA F R E DA KS I
LAPORAN KHUSUS
WAWA N CA R A
AMCDRR: Mengangkat “One ASEAN,
Kepala Pelaksana Harian Satuan
One Response” ke Tingkat yang Lebih
Tugas 115/Wakil Kepala Staf
Tinggi 28
Angkatan Laut, Laksamana Madya TNI Arie Sembiring
10
ASEAN Cadet Seminar: Menjaga Masa Depan Integritas Kawasan ASEAN 30
Bayu P. Oktavriyanto Dara Yusilawati Doddie Herado Endang Susilowati Falentino Arkhilaus Mara Fatimah Alatas I Made Diangga Adika Karang Ika Annisaa Farista Ivorry Chaka Nathara Pranashanti Niwa Rahmad Dwitama Rinnay N. Wahyunnisa Susilo Sylvia Masri
PEMELIHA RA SIT US WEB Mizana Khusnu Perdani
ADMINISTRASI Didi Suparyadi Indyah Kusumawati TB. M. Ramadhan Wasana Adi Nugraha
SERBA SERBI
DISTRIBUSI Kasirun Mulyanto Tuwuh Ismail
Konektivitas, Infrastruktur, dan Pengentasan Kemiskinan 40
A L A M AT R E DA KS I Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Jl. Taman Pejambon No. 6, Jakarta Pusat, Telp. 021-3509050/021-3509059, Fax 021-3509050
Bagi Anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim melalui
e-mail:
[email protected] E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
3
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
KRI Suharso pada the ARF Disaster Relief Exercise (ARF DiREx) Manado, March 2011
4
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
TESTING THE WATER PENGUATAN KERJA SAMA PENANGANAN IUU FISHING MELALUI ASEAN REGIONAL FORUM (ARF)
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
5
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
ANCAMAN ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED (IUU) FISHING DI PERAIRAN INDONESIA
I
kan merupakan salah satu sumber daya utama yang ada di laut, sumber pangan, mata pencaharian, dan penghasilan negara. Sektor perikanan setidaknya telah menjadi ladang pekerjaan dan penghasilan bagi nelayan, produsen kapal, penjual bahan bakar minyak, pengepul, penjual, distributor, restoran, pengelola ikan kaleng, pengekspor, pengimpor, bahkan pemerintah dan negara, mengingat akan ada pajak dan biaya pungutan lain yang wajib disetorkan pada negara dari proses ini. Idealnya, berbagai potensi tersebut, harusnya perlu dieksplorasi dan dimanfaatkan seoptimal mungkin, terlebih oleh negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki wilayah perairan begitu luas dan garis pantai begitu panjang, kaya akan sumber daya ikan yang melimpah. Apalagi, hukum laut internasional secara jelas menjamin hak Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya perikanannya sebesar-besarnya. Sekarang masalahnya di mana? Sederhananya, kita—orang Indonesia yang nenek moyangnya adalah seorang pelaut— dapat dikatakan belum mengelola dengan baik dan merasakan betul manfaat dari sumber perikanan kita. 6
Budaya konsumsi ikan laut masih minim. Industri perikanan belum berkembang. Tingkat kesejahteraan nelayan masih rendah. Di sisi lain, selagi kita lengah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut, kapal-kapal multinasional dalam berbagai skala malang-melintang mengeruk ribuan ton ikan di perairan Indonesia. Operasi kapal-kapal penangkap ikan asing di perairan Indonesia pada hakikatnya memang diperbolehkan oleh hukum laut internasional. Disebutkan bahwa negara yang mengalami surplus sumber daya ikan berkewajiban memberikan kuota kepada kapal-kapal asing untuk menangkap ikan sesuai dengan hukum dan peraturan, baik nasional maupun internasional. Hukum dan peraturan tersebut mencakup, antara lain: perizinan kapal, batasan jumlah hasil tangkapan, lokalisasi area penangkapan yang diperbolehkan, serta pelaporan hasil tangkapan. Sayangnya, selama bertahun-tahun begitu banyak kapal asing yang terus-menerus melancarkan tindak penangkapan ikan di perairan kita yang tidak sesuai dengan hukum dan aturan.
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Mereka menangkap ikan melebihi kuota yang ditetapkan, menangkap ikan di area-area yang tidak diperbolehkan, tidak melaporkan hasil tangkapan ikan dengan sebenar-benarnya, dan bahkan tidak memiliki izin untuk menangkap ikan. Sekilas, mungkin ini hanya terlihat sebagai tindak pelanggaran kecilkecilan yang sifatnya hanya menyangkut perizinan dan administrasi, serta hanya menyangkut pencurian ikan, bukan kejahatan berbahaya seperti perdagangan manusia, narkoba atau senjata. Tapi bukan seperti itu yang terjadi pada perkembangannya. IUU Fishing mengancam keberlangsungan lingkungan laut, sumber daya pangan, keamanan, dan kedaulatan negara. Oleh karena itu, ini perlu dilihat sebagai sebuah kejahatan serius. Indonesia disinyalir mengalami kerugian hingga 20 triliun akibat IUU Fishing ini setiap tahunnya. Kapal dan nelayan asing pelaku IUU Fishing di perairan Indonesia kebanyakan berskala internasional. Mereka memiliki ukuran kapal dan jaring yang besar, serta memiliki jaringan di berbagai negara. Dalam melancarkan aksinya, mereka melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme
“
ORANG INDONESIA YANG NENEK MOYANGNYA ADALAH SEORANG PELAUT, DAPAT DIKATAKAN BELUM MENGELOLA DENGAN BAIK DAN MERASAKAN BETUL MANFAAT DARI SUMBER PERIKANAN KITA.
“
(KKN) dengan oknum-oknum pejabat yang bertugas. Izin yang seharusnya dibuat dan pajak yang seharusnya dibayarkan, tidak diindahkan. Dalam banyak kasus, uang hasil tangkapan ikan berskala besar tersebut dapat dicuci (money laundering) di negara lain dan diputar kembali penggunaannya untuk mendukung jaring kejahatan lainnya. Tidak hanya itu, belakangan juga telah terungkap bahwa di sepanjang supply chain dari tindak IUU Fishing ini terdapat berbagai tindak kejahatan luar biasa yang terorganisir dan bersifat lintas batas negara, seperti perdagangan dan penyelundupan manusia, perbudakan, serta perdagangan gelap narkoba dan senjata. Menyadari ancaman tersebut, Indonesia berkomitmen memerangi IUU Fishing. Komitmen ini menjadi semakin solid sejak masa pemerintahan Joko Widodo. Dengan visi Nawa Cita serta Poros Maritim Dunia, sikap Indonesia untuk memerangi IUU Fishing semakin tegas, agresif bahkan kontroversial. IUU Fishing sesungguhnya bukanlah isu yang baru. Namun, gaungnya baru mulai keras terdengar beberapa tahun
terakhir, khususnya di dalam negeri. Isu ini telah menarik perhatian sekaligus keterlibatan berbagai kementerian, lembaga, dan pemangku kepentingan. Indonesia menyadari bahwa isu ini bersifat kompleks dan oleh karenanya tidak bisa lagi hanya menjadi urusan Kementerian Kelautan dan Perikanan an sich. Kementerian Luar Negeri dalam hal ini telah dan terus secara konsisten mengarusutamakan isu ini di forumforum internasional dan oleh karena itu, wajar rasanya jika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI juga mendapatkan kredit atas keberhasilan Indonesia terkait isu ini. Ditjen Kerja Sama ASEAN, Kemlu RI, pun memiliki pemahaman bahwa arsitektur kerja sama maritim ASEAN yang telah terbangun juga perlu dimanfaatkan untuk menggiring negara anggota ASEAN dan Mitra Wicaranya bekerja sama dalam memberantas praktik IUU Fishing. Indonesia terus menyuarakan perlunya upaya yang lebih kuat untuk memerangi IUU Fishing. Kerja sama antar-negara perlu dibuat lebih komprehensif dan mengikat guna menghentikan ancaman IUU Fishing yang semakin besar.
ARF SEBAGAI FORUM UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN (RAISING AWARENESS) DAN TESTING THE WATER Berangkat dari pemikiran tersebut, Direktorat Politik dan Keamanan ASEAN, selaku focal point penanganan kerja sama di ASEAN Regional Forum (ARF), juga berupaya memanfaatkan forum ini untuk memperkuat kerja sama penanggulangan IUU Fishing di kawasan. ARF merupakan forum yang tidak hanya melibatkan 10 negara anggota ASEAN, tetapi memiliki 27 negara peserta. Selain 10 negara anggota ASEAN, Negara Peserta ARF juga terdiri dari 10 negara Mitra Wicara ASEAN (Amerika Serikat, Australia, RRT, India, Jepang, Kanada, Republik Korea, Rusia, Selandia Baru, Uni Eropa) dan 7 negara lainnya di kawasan (Bangladesh, Republik Demokratik Rakyat Korea, Mongolia, Pakistan, Sri Lanka, Papua Nugini, dan Timor Leste).
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
7
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
“MENYADARI ANCAMAN TERSEBUT, INDONESIA BERKOMITMEN MEMERANGI IUU FISHING.”
”
Dengan cakupan negara peserta yang luas tersebut, maka forum ini memiliki potensi untuk mendorong dialog dan kerja sama penanggulangan IUU Fishing. Di antara berbagai negara dan entitas tersebut, produsen sekaligus konsumen ikan terbesar dunia termasuk di dalamnya. Peserta ARF yang berjumlah 27 negara ini terdiri dari negara-negara pantai (coastal states), pelabuhan (port states), dan pasar (market states) yang masingmasing perannya sangat dibutuhkan dalam memerangi IUU Fishing secara komprehensif. ARF pada dasarnya merupakan forum dialog dan kerja sama. Mengingat mekanisme ini tidak memiliki hasil yang mengikat, Peserta ARF memiliki posisi yang lebih terbuka di dalam forum ini. Dalam hal ini, ARF cocok untuk dijadikan sebagai forum untuk raising awareness dan testing the water. Sebagaimana dipahami bersama, dalam menangani IUU Fishing Indonesia memiliki strategi yang ”kontroversial”. Indonesia menginginkan isu ini diatur dalam suatu instrumen yang komprehensif dan mengikat, sementara selama ini isu ini hanya mengandalkan pengaturan yang sukarela.
8
Indonesia juga berambisi mendapatkan pengakuan internasional bahwa beberapa kasus IUU Fishing masuk ke dalam kategori kejahatan (crime) dan melibatkan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Oleh karena itu, perlu ada kategori transnational organized fisheries crime dalam kesepakatan internasional. Mendorong penguatan kerja sama penanggulangan IUU Fishing di ASEAN relatif lebih sulit dan kemungkinan besar membutuhkan waktu lebih panjang. Sejauh ini, untuk mencantumkan kata IUU Fishing dalam dokumen kerja ASEAN saja memerlukan proses yang alot. Dalam hal ini, ARF dengan nature-nya sebagai forum dialog, yang bisa dikatakan lebih loose dibanding mekanisme ASEAN lainnya, dapat menjadi celah dimulainya dialog yang mendalam mengenai isu ini. Pada tahun 2014, dengan mengambil momentum penyusunan ARF Work Plan on Maritime Security 2015-2017, Indonesia berupaya membangun pilar pengembangan kerja sama penangananan IUU Fishing di ARF baik dari perspektif marine environment maupun maritime security. Sebagai proyek implementasi Work Plan, Indonesia juga mengajukan 2 kegiatan terkait untuk diselenggarakan pada tahun 2016. Upaya Indonesia ini berhasil disetujui dengan disahkannya
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Work Plan tersebut pada Pertemuan Tingkat Menteri ke-22 ARF tahun 2015 di Malaysia. Tahun 2016, bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Timor Leste, Indonesia menyelenggarakan 2 proyek implementasi tersebut dengan tajuk ARF Workshop on Improving Fisheries Management di Honolulu pada bulan Maret dan ARF Workshop on IUU Fishing di Bali pada bulan April. Sebagai usulan outcome dari kedua workshops tersebut, Indonesia memprakarsai penyusunan rancangan ARF Statement on Cooperation to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing untuk disahkan para menteri luar negeri ARF pada Pertemuan Tingkat Menteri ke-23 ARF di Vientiane, Laos, tanggal 26 Juli 2016. Indonesia mengawali penyusunan rancangan di awal tahun 2016 dan kemudian berkonsultasi dengan Amerika Serikat dan Timor Leste secara intensif. Rancangan selanjutnya digulirkan untuk negosiasi lebih lanjut dengan seluruh Peserta ARF. Sejak saat itu, Indonesia bersama kedua negara pengusung lainnya terus berkonsultasi secara intensif dengan Peserta ARF lainnya, sesuai dengan prosedur yang berlaku di ARF. Konsultasi di tingkat working dan senior officials secara bertahap dilakukan guna
Indonesia memprakarsai penyusunan rancangan ARF Statement on Cooperation to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing dengan tujuan untuk mengikat komitmen politik ke-27 Peserta ARF untuk bersama-sama memerangi IUU Fishing secara lebih komprehensif.
mendapatkan satu rancangan yang dapat disepakati bersama, sebelum akhirnya disahkan oleh para Menteri Luar Negeri. Pandangan dan masukan berdatangan dari sebagian besar Peserta ARF. Setidaknya tercatat adanya berbagai masukan dari Australia, Kanada, RRT, Uni Eropa, Jepang, Filipina, Selandia Baru, Rusia, Thailand, dan Vietnam. Tentunya pandangan dan masukan yang diterima banyak yang bersifat menyempurnakan, tapi tidak sedikit pula yang sifatnya tone down konten dari Statement dimaksud. Pada dasarnya, tujuan Indonesia mengajukan rancangan Statement ini adalah untuk mengikat komitmen politik ke-27 Peserta ARF untuk bersama-sama memerangi IUU Fishing secara lebih komprehensif. Upaya yang tidak hanya menekankan pada aspek perlindungan lingkungan, tetapi juga meliputi aspek penegakan hukum. Pendekatan hukum yang tidak hanya melulu administratif atau perdata, tetapi juga menyentuh sisi pidana, jika terbukti adanya unsur kejahatan di dalamnya. Dengan berpedoman pada tujuan tersebut, Indonesia bekerja secara intensif dengan Amerika Serikat dan Timor Leste untuk mengkonsolidasikan berbagai masukan yang datang dari peserta ARF dan mencoba menghadirkan suatu draft yang dipandang siap untuk disahkan oleh para
Menteri Luar Negeri. Sayangnya, mendekati Pertemuan Tingkat Menteri ARF pada Juli 2016, terdapat indikasi dari salah satu negara Peserta ARF yang menyatakan bahwa mereka tidak dapat mendukung pengesahan rancangan Statement ini pada tahun ini, dengan alasan perbedaan pandangan mengenai nature dari fishing disputes yang terjadi di overlapping maritime claims area dengan IUU Fishing. Hal ini berbeda dengan pandangan kebanyakan Peserta ARF yang melihat IUU Fishing sebagai suatu masalah yang terlepas dari status claims kewilayahan. Tindak penangkapan ikan di zona laut manapun harus sesuai dengan hukum dan peraturan terkait sustainable fisheries dan praktik-praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Artinya, tindak IUU Fishing tidak dapat dibenarkan meskipun di wilayah yang masih belum jelas pengakuannya. Perbedaan pandangan ini pada akhirnya tidak dapat diakomodasi dengan dasar asumsi dan kekhawatiran bahwa paragraf ini bisa menjadi bumerang ke depannya. Berbagai upaya telah dilakukan, negosiasi di berbagai level juga telah dijalankan, namun pada akhirnya konsensus atas draft Statement tidak bisa dicapai hingga Pertemuan Tingkat Menteri ARF tahun 2016.
Terlepas dari kegagalan adopsi draft Statement ini pada Pertemuan Tingkat Menteri ARF di tahun 2016, inisiatif Indonesia ini akan terus dilanjutkan. Indonesia akan kembali mengusulkan pengesahan draft Statement pada Pertemuan Tingkat Menteri ARF tahun 2017. Strategi pengajuan akan disusun secermat mungkin, terutama dengan mempertimbangkan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman negosiasi sebelumnya. Pengalaman Indonesia di ARF ini kiranya dapat memberikan gambaran akan dinamika yang mungkin akan dihadapi dalam forum negosiasi yang lebih luas terkait IUU Fishing. Tanggapan atau pandangan peserta ARF dapat menjadi indikasi tentang bagaimana posisi mereka atas isu IUU Fishing, termasuk pandangan atau respon mereka atas usulan instrumen yang tengah digulirkan Indonesia. Upaya Indonesia yang konsisten di forum ini diharapkan juga dapat berkontribusi pada upaya menggiring opini masyarakat internasional akan seriusnya masalah IUU Fishing dan perlunya pengaturan yang lebih kuat untuk mengatasinya. **** Risha Jilian Chaniago // Direktorat Politik dan Keamanan ASEAN
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
9
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
KEPALA PELAKSANA HARIAN SATUAN TUGAS 115/WAKIL KEPALA STAF ANGKATAN LAUT,
LAKSAMANA MADYA TNI ARIE H.SEMBIRING
M E N J A G A K E DAU L ATA N N K R I D I L AU T
P
emerintah RI terus mengibarkan bendera perang terhadap kapal penangkap ikan ilegal di wilayah Indonesia. Dari Januari hingga November 2016, tercatat jumlah kapal yang ditangkap sudah mencapai 141 kapal, terdiri atas 118 kapal ikan asing (KIA) dan 23 kapal ikan Indonesia (KII). Pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal tentunya memerlukan langkah penegakan hukum luar biasa yang mengintegrasikan kekuatan antarlembaga pemerintah terkait. Disertai strategi yang tepat, serta pemanfaatan teknologi terkini diharapkan upaya tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien, sehingga mampu menimbulkan efek jera
10
bagi para pelaku serta pada akhirnya mampu mengembalikan kerugian negara. Dalam upaya tersebut, pemerintah membentuk Satgas 115. Sejak terbentuknya pada 19 Oktober 2015, Satgas ini telah mendapatkan berbagai apresiasi atas kinerjanya dalam menjaga kedaulatan negara dari kapal perikanan yang menangkap ikan secara ilegal di wilayah jurisdiksi Indonesia. Hal ini tentu ini sangat mendukung visi Indonesia sebagai negara maritim. Tim redaksi MMA berkesempatan untuk mewawancarai Wakil Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Madya TNI Arie H. Sembiring selaku Kepala
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Pelaksana Harian Satgas 115. Di tengah kesibukannya, beliau meluangkan waktu untuk berbincang singkat dengan Tim MMA di kantornya yang terletak di Markas Besar TNI AL, Cilangkap. Topik yang diangkat dalam perbincangan ini berkisar pada upaya Satuan Tugas 115 untuk mengawal kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di laut.
Apa tujuan Pemerintah Indonesia membentuk Satuan Tugas 115 (Satgas 115) dan siapa saja pihak yang tergabung di dalamnya?
Satgas 115 merupakan sebuah lembaga penegakan hukum ad-hoc satu atap yang terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Polisi Perairan, dan Kejaksaan Agung. Lima lembaga yang memiliki peran dalam penegakan hukum perikanan di Indonesia ini diintegrasikan di bawah komando Menteri Kelautan
dan Perikanan sehingga terwujud koordinasi yang lebih erat untuk menindaklanjuti penanganan kasus illegal fishing di Indonesia secara lebih kuat, komprehensif, dan cepat tanggap. Nama Satgas 115 sendiri merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 115 tahun 2015 mengenai Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal yang menjadi dasar hukum bagi pembentukan
dan pelaksanaan tugas dari Satgas 115. KKP, TNI AL, Bakamla, dan Polisi Perairan mempunyai peran untuk menegakkan hukum di laut, khususnya terkait dengan operasi yang dilaksanakan di laut. Sedangkan Kejaksaan Agung berperan penting untuk membawa kasus-kasus illegal fishing yang menjadi temuan anggota Satgas 115 lainnya dapat dibawa ke pengadilan.
Apakah pelaksanaan tugas Satgas 115 secara khusus merujuk pada penanganan masalah IUU Fishing atau berkaitan pula dengan masalah keamanan maritim lain seperti terorisme di laut, penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, pembajakan, dan sebagainya?
Sesuai dengan mandatnya, tugas utama Satgas 115 adalah pemberantasan illegal fishing, yang juga termasuk pada unreported fishing dan unregulated fishing. Namun pada kenyataannya, illegal fishing hanya satu dari serangkaian kejahatan yang terjadi dalam kejahatan perikanan. Terdapat fakta-fakta yang kami temukan bahwa selain aksi penangkapan ikan secara illegal terdapat praktik pelanggaran terkait lainnya,
antara lain transaksi minyak illegal, tindak pidana imigrasi, tindak pidana kepabeanan, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pajak, korupsi, pelanggaran HAM, transaksi narkoba dan tindak pidana ketenagakerjaan. Oleh karena itu, hukum yang digunakan untuk melaksanakan tindak pemberantasan kejahatan di laut tidak hanya merujuk pada UU Perikanan saja, namun juga peraturan lain yang terkait seperti UU
Pelayaran, UU Imigrasi, KUHP, dan lain sebagainya. Di sisi lain, ke depannya Presiden merencanakan untuk menambah tugas Satgas 115 untuk menangani tindak kejahatan penyelundupan barang dan orang, oleh karena itu ada kemungkinan untuk menambahkan unsur-unsur baru dalam anggota Satgas 115 seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Mengapa isu IUU Fishing menjadi agenda nasional yang krusial dan strategis pada saat ini?
IUU Fishing menjadi agenda nasional yang krusial dan strategis pada saat ini karena sejalan dengan visi Presiden untuk menjadikan laut sebagai masa depan bangsa. Presiden mengarahkan agar sektor perikanan dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi pemacu pembangunan nasional. Kita sendiri harus memahami bahwa 2/3 wilayah
Indonesia adalah laut yang menjadi rumah bagi berbagai macam sumber daya laut, termasuk perikanan dan lebih dari 50% populasi Indonesia merupakan masyarakat pesisir yang hidupnya bergantung pada sumber daya laut tersebut. Kerugian yang dialami oleh Indonesia sebagai dampak dari tindak kejahatan
IUU Fishing mencapai nilai hingga 20 milyar US$ per tahun, ini belum terhitung dengan kerusakan 65% terumbu karang di Indonesia. Oleh karena itu, Presiden memberikan mandat untuk menindak tegas kapal pelaku IUU Fishing dengan cara menenggelamkan kapal mereka.
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
11
WAWANCARA
Bagaimana upaya pemberantasan IUU Fishing mempengaruhi hubungan kerja sama Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya?
Posisi Indonesia terkait dengan IUU Fishing ini jelas, yaitu penegakan terhadap illegal fishing tanpa diskriminasi. Selama masih ada illegal fishing di Indonesia, maka kami selaku penegak hukum yang telah mendapat mandat dari Presiden dapat menindak para pelaku kejahatan IUU Fishing.
Sampai saat ini, pelaku kejahatan IUU Fishing tidak dilihat dalam konteks negara, namun sebagai individu. Sejauh ini negara lain dapat menerima kebijakan Indonesia terkait dengan pemberantasan IUU Fishing sehingga hubungan antar negara masih terbina dengan baik.
Apakah platform kerja sama maritim di ASEAN seperti ASEAN Maritime Forum membantu pelaksanaan tugas Satgas 115 untuk menjaga keamanan maritim nasional? Apa harapan Satgas 115 terhadap kerja sama maritim yang telah dibangun ASEAN?
ASEAN Maritime Forum (AMF) merupakan forum negara anggota ASEAN untuk membahas isu maritim, khususnya terkait dengan kejahatan lintas negara. AMF diharapkan dapat menjadi wadah di tataran regional dalam hal penanganan illegal fishing karena penanganan illegal fishing membutuhkan kerja sama antar negara, khususnya dalam hal pertukaran informasi mengenai kapal pelaku illegal fishing. Sejauh ini, basis kerja sama yang kami lakukan dalam kerangka ASEAN dilaksanakan melalui Regional Plan of Action (RPOA) dan Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) yang merupakan wadah kerja sama pengelolaan perikanan sesuai mandat Food and Agriculture Organization (FAO).
Hambatan seperti apa yang dihadapi oleh Satgas 115 ketika menjalankan tugas pokok dan fungsinya?
Penenggelaman kapal ikan Viking oleh Satgas 115 di Pantai Pangandaran pada hari Senin tanggal 14 Maret 2016 dipimpin langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Satgas 115 adalah pelaksanaan koordinasi yang dapat berjalan dengan baik sehingga penanganan kejahatan illegal fishing dapat diproses dengan cepat dan tepat. Hal ini membawa dampak pencegahan (deterrence) yang luar biasa. Namun demikian, sistem yang selama ini dibangun oleh Satgas 115 tentunya belum dapat dibilang sempurna sehingga masih diperlukan upaya untuk terus meningkatkan performa tugas Satgas 115. Kendala dalam pelaksanaan operasi Satgas 115 khususnya disebabkan oleh keterbatasan anggaran dalam operasi dan penyelesaian kasus yang ada. Namun demikian, kami yakin kendala ini dapat diselesaikan melalui sinergi yang baik diantara pihak terkait. Annie Yuliyanti, Ivorry Chaka Nathara Pranashanti // Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN
12
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
DIPLOMASI MARITIM INDONESIA DALAM KEMITRAAN ASEAN DENGAN MITRA WICARA
S
ebagian dari kita mungkin pernah mendengar tentang Poros Maritim Dunia yang disampaikan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu visi yang ingin dicapai Indonesia ke depan. Namun demikian, belum semuanya memahami apa yang dimaksud dengan Poros Maritim Dunia dan bagaimana upaya Indonesia mencapai visi tersebut. Poros Maritim Dunia adalah visi Indonesia untuk menjadi negara maritim yang maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam forum internasional,
visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia disampaikan pertama kali secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur ke-9 di Myanmar, 13 November 2014. Untuk merealisasikan visi tersebut, pemerintah Indonesia kemudian merancang Kebijakan Kelautan Indonesia yang disusun Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI dalam suatu Buku Putih Kebijakan Kelautan Indonesia. Dalam Buku Putih tersebut disebutkan bahwa Kebijakan Kelautan Nasional Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) pilar strategi, yaitu: (i) pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; (ii) pertahanan, keamanan,
penegakan hukum, dan keselamatan di laut; (iii) tata kelola dan kelembagaan laut; (iv) ekonomi dan infrastruktur kelautan serta peningkatan kesejahteraan; (v) pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; (vi) budaya bahari; dan (vii) diplomasi maritim. Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas tentang diplomasi maritim Indonesia, khususnya dalam kerangka kerja sama kemitraan ASEAN dengan Mitra Wicara. Buku Putih Kebijakan Kelautan Indonesia menerangkan bahwa diplomasi maritim merupakan pelaksanaan politik luar negeri yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi kelautan guna
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
13
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
“Selama ini, pemahaman kita tentang diplomasi maritim Indonesia cenderung masih terbatas pada perundingan internasional di bidang kelautan, penetapan perbatasan atau diplomasi angkatan laut.”
memenuhi kepentingan nasional sesuai dengan ketentuan nasional dan hukum internasional. Selama ini, pemahaman kita tentang diplomasi maritim Indonesia cenderung masih terbatas pada perundingan internasional di bidang kelautan, penetapan perbatasan atau diplomasi angkatan laut. Namun yang sebenarnya dimaksud dengan diplomasi maritim Indonesia adalah pelaksanaan politik luar negeri yang tidak hanya terkait dengan berbagai aspek kelautan pada tingkat bilateral, regional, dan global, tetapi juga yang menggunakan aset kelautan baik sipil maupun militer untuk memenuhi kepentingan nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan nasional dan hukum internasional. Pemerintah merancang 6 (enam) program utama dalam melaksanakan strategi kebijakan diplomasi maritim. Pertama, peningkatan kepemimpinan di dalam berbagai kerja sama di bidang kelautan pada tingkat bilateral, regional, dan multilateral. Kedua, peningkatan peran aktif dalam upaya menciptakan dan
14
menjaga perdamaian dan keamanan dunia melalui bidang kelautan. Ketiga, kepemimpinan atau peran aktif dalam penyusunan berbagai norma internasional bidang kelautan. Keempat, percepatan penyelesaian penetapan batas maritim Indonesia dengan negara tetangga. Kelima, percepatan penetapan ekstensi landas kontinen sesuai dengan hukum internasional. Keenam, peningkatan penempatan WNI di dalam berbagai organisasi internasional bidang kelautan. Lantas sejauh mana diplomasi maritim Indonesia telah dilakukan dan apa saja capaiannya? Di dalam mekanisme ASEAN, terdapat ASEAN Maritime Forum (AMF) yang membahas isu kerja sama bidang maritim antar negara anggota ASEAN. Pertemuan AMF yang pertama diselenggarakan di Surabaya pada tahun 2010. Besarnya ketertarikan pihak eksternal untuk ikut pula terlibat dalam pembahasan isu maritim di AMF, menjadikan Expanded ASEAN Maritime Forum (EAMF) terbentuk 2 tahun kemudian. EAMF adalah ASEAN-led
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
mechanism yang merupakan perluasan dari AMF namun dalam level Track 1.5 (pemerintah dan non-pemerintah) yang perwakilannya berasal dari 18 negara peserta East Asia Summit (EAS). Pada tahun 2015 lalu, Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan the 6th AMF dan the 4th EAMF di Manado, Sulawesi Utara. Kedua forum tersebut berhasil menjadi wadah bagi Indonesia untuk mengangkat pentingnya penanggulangan isu illegal, unregulated and unreported (IUU) Fishing; mengusulkan pengembangan pengaturan regional penanggulangan IUU Fishing; dan menggalang dukungan mengenai kedua isu tersebut. Dalam lingkup kerja sama eksternal ASEAN, Indonesia juga telah dan selalu mendorong adanya kerja sama di bidang maritim dalam setiap Rencana Aksi (Plan of Action/PoA) yang disepakati antara ASEAN dengan masing-masing Mitra Wicara yaitu Jepang, RRT, Republik Korea (ROK), Australia, Selandia Baru, India, Amerika Serikat (AS), Kanada, Rusia, Uni Eropa, dan PBB. Dalam masing-masing
Rencana Aksi yang menjadi kerangka dasar kerja sama kemitraan ASEAN dengan Mitra Wicaranya untuk satu periode waktu tertentu (biasanya 5 tahun) tersebut, kerja sama bidang maritim selalu diusung, baik itu di area keamanan, keselamatan, maupun konektivitas maritim. Diplomasi maritim Indonesia di lingkup kerja sama eksternal ASEAN semakin intensif dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam 8 Rencana Aksi periode baru (20162020) yang disepakati ASEAN dengan Mitra Wicara, isu penanggulangan IUU Fishing yang sebelumnya belum pernah ada kini berhasil dimasukkan. Kedelapan Rencana Aksi baru tersebut masing-masing disepakati ASEAN dengan RRT, ROK, Kanada, India, AS, Rusia, Selandia Baru, dan PBB. Ini merupakan bukti keberhasilan diplomasi maritim Indonesia. Keberhasilan tersebut juga sejalan dengan 3 program utama kebijakan diplomasi maritim yang telah dicanangkan pemerintah Indonesia, yaitu: peningkatan kepemimpinan di dalam berbagai kerja sama bidang kelautan pada tingkat regional, peningkatan peran aktif dalam upaya menciptakan dan menjaga perdamaian dan keamanan dunia melalui bidang kelautan, serta kepemimpinan atau peran aktif dalam penyusunan berbagai norma internasional bidang kelautan.
KTT Asia Timur (EAS) ke-10 di Kuala Lumpur, Malaysia, 22 November 2015 lalu. EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation adalah prakarsa Indonesia untuk memajukan kerja sama maritim yang komprehensif sebagai upaya untuk menjaga kestabilan, keamanan, dan perdamaian kawasan, sekaligus untuk membawa manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat di kawasan. Selama hampir 2 tahun pemerintah RI melakukan diplomasi/negosiasi memperjuangkan prakarsa ini dan akhirnya sukses menjadikannya diterima dan disetujui oleh 18 negara peserta EAS yang terdiri dari 10 negara anggota ASEAN dan 8 negara besar lainnya seperti AS, Australia, India, Jepang, Republik Korea, RRT, Rusia, dan Selandia Baru. Bahkan, RRT, Selandia Baru, Australia, dan AS menyampaikan keinginannya kepada Indonesia untuk menjadi co-sponsors dari EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation tersebut. Kesuksesan diplomasi maritim Indonesia dalam hal ini tak hanya terletak pada keberhasilannya membuat ke-18 negara peserta EAS sepakat pada satu Statement bersama, namun juga pada kenyataan bahwa Statement yang disepakati ini adalah mengenai kerja sama maritim, suatu isu yang tidak termasuk area kerja sama prioritas dalam EAS selama ini.
Tak hanya itu, capaian diplomasi maritim Indonesia lainnya yang juga patut diapresiasi adalah keberhasilan disahkannya EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation pada
Dengan disahkannya EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation ini, Indonesia ingin memajukan kerja sama maritim di kawasan melalui 5 pilar utama, antara lain: pembangunan ekonomi
kelautan yang berkelanjutan; mendorong perdamaian, stabilitas, dan keamanan; mengatasi tantangan lintas batas; konektivitas maritim; dan memajukan kerja sama antar lembaga penelitian. Sebagai bentuk implementasi dari EAS Statement ini, Australia dan Indonesia menyelenggarakan EAS Seminar on Maritime Security Cooperation di Sydney pada tanggal 22-25 November 2016 dengan tema ‘Enhancing Information Sharing on Commercial Vessels’. Berbagai capaian diplomasi maritim Indonesia dalam lingkup kemitraan ASEAN dengan Mitra Wicara ini perlu terus dijaga dan ditingkatkan. Ke depannya Indonesia akan terus mengawal dan mendorong implementasi yang konkret dan bermanfaat dari EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation, menyinergikan kerja sama maritim di ASEAN dengan Kebijakan Kelautan Indonesia, serta mengarusutamakan (mainstreaming) kerja sama bidang maritim di semua ASEAN-led mechanism. Semua itu tak lain adalah untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yaitu menjadi negara maritim yang maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian serta kesejahteraan masyarakat di kawasan dan dunia. ***** Rinnay Nitrabening Wahyunnisa // Direktorat Mitra Wicara dan Antar Kawasan
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
15
I NF OGRAF I S
16
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
ASEAN MARITIME FORUM DAN SINERGI PENGUATAN KERJA SAMA MARITIM DI ASEAN
KERJA SAMA MARITIM DI ASEAN Kerja sama maritim bukanlah kerja sama baru di ASEAN. Jika ditarik ke belakang, kerja sama terkait maritim telah dimulai sejak awal didirikannya ASEAN pada tahun 1967 dengan dibentuknya Southeast Asia Fisheries Development Center (SEAFDEC). Dengan domain maritim sekitar 80 persen, garis pantai sepanjang 173.000km, serta jalur perdagangan penting dunia dengan puluhan ribu kapal komersial melewati perairan dan laut di kawasan setiap tahunnya, isu maritim merupakan salah satu isu penting di ASEAN. Pentingnya pembahasan isu maritim dan penguatan kerja sama maritim di ASEAN dipertegas dalam Declaration on ASEAN Concord II (Bali Concord II)tahun 2003, ASEAN Political Security Community Blueprint (2009 – 2015) dan ASEAN 2025 Forging Ahead Together. Ketiga dokumen penting tersebut menyebutkan isu maritim
bersifat lintas batas dan menyerukan agar negara-negara anggota ASEAN menanganinya secara menyeluruh, terintegrasi dan komprehensif dengan menggalang saling pengertian dan kerja sama yang lebih erat melalui forum-forum di ASEAN. Seiring berjalannya waktu, pembahasan isu maritim dan kerja sama maritim di ASEAN terus berkembang. Saat ini, sedikitnya terdapat 10 kelompok isu maritim yang di bahas oleh 12 badan sektoral ASEAN. 10 kelompok isu tersebut bersifat saling bersinggungan (cross-cutting) dan tumpang-tindih (overlapping) satu sama lain. Pembahasan isu maritim di ASEAN mencakup isu keamanan maritim (maritime security), keselamatan maritim (maritime safety), kejahatan lintas batas (transnational crime), bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana, pencarian dan penyelamatan
(SAR), lingkungan laut, konservasi, sumber daya laut, konektivitas maritim, dan lain-lain. Sebagai negara kepulauan yang memiliki potensi laut terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memandang penting isu ini. Indonesia merupakan salah satu promotor pemajuan pembahasan dan kerja sama maritim di kawasan melalui berbagai mekanisme kerja sama di ASEAN, termasuk melalui ASEAN Maritime Forum (AMF) dan Expanded ASEAN Maritime Forum (EAMF).
ASEAN MARITIM FORUM (AMF) Banyaknya pembahasan isu maritim di berbagai badan sektoral--termasuk di ASEAN Regional Forum (ARF)-yang bersifat tumpang tindih,serta semakin pentingnya pembahasan isu-isu strategis terkait maritim di kawasan, telah
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
17
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
“PENTING BAGI ASEAN UNTUK MENJAGA TRADISI DIALOG DAN KONSULTASI SEPERTI YANG DILAKUKAN MELALUI AMF DAN EAMF”
mendorong Indonesia untuk mengusulkan dibentuknya AMF. Usulan tersebut disambut baik oleh negara-negara anggota ASEAN dan dimasukkan sebagai action line dalam Vientiane Action Programme (2004-2010) dan ASEAN Political Security Community Blueprint 2015 (dalam butir A.2.5). ASEAN Maritim Forum (AMF) dibentuk pada tahun 2010 sebagai forum dialog yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi pemajuan kerja sama maritim di ASEAN. AMF bertujuan untuk mendorong kerjasama maritim; mengembangkan pemahaman bersama mengenai isu maritim kawasan dan global; serta sebagai bagian dari upaya Confidence Building Measures (CBM) and Preventive Diplomacy (PD). Pada perkembangannya, AMF lebih difokuskan untuk 2 (dua) tujuan utama, yakni untuk membahas isu-isu strategis terkait maritim dan sinergi berbagai kerja sama maritim oleh badan sektoral ASEAN dan ARF. AMF diharapkan tidak hanya membahas isu keamanan maritim saja (security centric), tetapi juga membahas dimensi lain dari isu maritim.
18
Pembahasan isu-isu maritim di AMF dilakukan dalam bentuk penyampaian pandangan (exchange of views) dan diskusi. Kerja sama dalam AMF diharapkan dapat melengkapi (complimentary)—tidak duplikasi dengan -- kerja sama maritim yang sudah ada di masing-masing badan sektoral dan ARF. Sebagai forum dialog, AMF tidak mengeluarkan suatu keputusan atau kesepakatan yang mengikat. AMF dapat mengeluarkan rekomendasi dan saran kebijakan terkait maritim yang dapat diimplementasikan oleh badan sektoral dan ARF. Meskipun AMF dihadiri oleh Track 1 dan pemangku kepentingan dari badan sektoral, namun AMF dapat mengundang Track 1,5 atau Track 2 seperti kalangan akademisi, bisnis, perwakilan organisasi regional dan internasional, sesuai dengan agenda pembahasan AMF. Hingga saat ini, AMF telah dilaksanakan 6 (enam) kali. Sebagai pemrakarsa utama terbentuknya forum tersebut, Indonesia telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan inaugurasi AMF pada tahun 2010 di Surabaya dan AMF ke-6 pada Oktober 2015 di Manado. Thailand bersedia menjadi tuan rumah
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Pertemuan AMF ke-2 di Pattaya pada tahun 2011 dan Filipina pada Pertemuan AMF ke-3 di Manila pada tahun 2012. Pertemuan AMF ke-4 telah dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada Oktober 2013, sedangkan Pertemuan AMF ke-5 telah dilaksanakan di Da Nang, Vietnam pada Agustus 2014. Meskipun dalam Concept Paper AMF disebutkan bahwa agenda pembahasan ditentukan oleh Negara Ketua ASEAN, namun pada prakteknya, agenda AMF diusulkan oleh negara tuan rumah dengan meminta masukan dari negara-negara anggota lainnya. Tidak mengherankan jika dalam beberapa pertemuan AMF, kepentingan tuan rumah terrefleksikan dalam agenda pertemuan. Misalnya pada AMF ke-6, Pertemuan membahas isu Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) yang diusung Indonesia. Pertemuan AMF ke-3 dan ke-5
KRI Banda Aceh berlayar menuju Australia dan Selandia Baru untuk mengikuti Latihan Mahi Tangaroa di Auckland, Selandia Baru, November 2016
di Manila dan Da Nang secara ekstensif membahas Laut China Selatan yang menjadi perhatian utama Filipina dan Vietnam. Selayaknya sebuah forum dialog, AMF beberapa kali juga dipakai untuk testing the water isu-isu yang menjadi perhatian bersama di kawasan, baik untuk mengetahui posisi negaranegara anggota ASEAN atau untuk membentuk suatu wacana. Sebagai contoh, pada AMF ke-5 di Vietnam, Filipina mengusulkan dibentuknya ASEAN Coast Guard Forum (ACGF). Pada AMF ke-6, Indonesia mengusulkan dibentuknya instrumen yang mengikat dalam upaya menangani IUU Fishing di kawasan. Dari sini, teridentifikasi bahwa tidak semua negara anggota ASEAN dapat mendukung ide pembentukan instrumen tersebut. Indonesia selanjutnya memutuskan
untuk membentuk instrumen mengikat mengenai IUU Fishing di luar mekanisme ASEAN. Dari ke-enam pertemuannya, AMF telah membahas isu-isu penting, diantaranya konektivitas maritim, Pencarian dan Bantuan (SAR), Sea Lines of Communication, kesadaran mengenai domain maritim, kebebasan bernavigasi, perompakan di laut, lingkungan laut, pariwisata laut, perikanan, serta bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana. Dari isu-isu tersebut, AMF telah menghasilkan berbagai rekomendasi penting dalam upaya memajukan kerja sama maritim di ASEAN, seperti melakukan stocktaking kerja sama maritim di kawasan; peningkatan konektivitas maritim; penanggulangan berbagai ancaman maritim baik tradisional maupun non-tradisional
seperti perompakan, perampokan kapal, perdagangan orang, dan terorisme; peningkatan sharing information and intelligence; peningkatan koordinasi yang efektif dengan badan sektoral ASEAN; pembahasan isu lingkungan laut dan penanganan IUU Fishing. Meskipun tidak mengikat, beberapa rekomendasi AMF telah dapat ditindaklanjuti, seperti pembentukan marine protected areas, penanganan tumpahan minyak (oil spill), stocktaking kerja sama maritim di ASEAN, peningkatan information sharing, serta peningkatan kerja sama dalam penanganan tantangan non-tradisional dan lintas batas. Namun harus diakui, beberapa rekomendasi lainnya yang lahir dari AMF belum dapat ditindaklanjuti. Hal ini diakibatkan sifat AMF sebagai forum dialog yang tidak memiliki mandat untuk ‘menugaskan’ badan sektoral
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
19
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
maritim yang telah dilakukan dan dicapai, namun kehadiran perwakilan dari masingmasing badan sektoral di AMF akan sangat bermanfaat bagi upaya sinergi kerja sama maritim di ASEAN.
EXPANDED ASEAN MARITIME FORUM (EAMF)
ASEAN merealisasikan rekomendasi AMF. Rekomendasi yang dihasilkan dalam AMF disampaikan kepada badan sektoral namun keputusan untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut sepenuhnya merupakan wewenang badan. Selain itu, banyak pihak merasakan bahwa tujuan AMF untuk mensinergikan berbagai kerja sama maritim di ASEAN belum sepenuhnya tercapai. Tidak semua perwakilan dari badan sektoral ASEAN dapat hadir dalam AMF untuk membahas perkembangan kerja sama dari sektor masing-masing. Kehadiran perwakilan badan sektoral ASEAN dalam AMF masih minimal, dimungkinkan karena banyaknya pertemuan ASEAN pada saat yang bersamaan. Tidak semua delegasi dari masing-masing negara anggota ASEAN mewakili badan sektoralnya. Stocktaking yang dilakukan Sekretariat ASEAN memang sangat membantu dalam pemberian update mengenai kerja sama
20
EAMF merupakan forum dialog mengenai maritim dengan perluasan peserta dialog, yakni dengan kehadiran 8 (delapan) negara Mitra Wicara ASEAN yang notabene adalah anggota East Asia Summit (EAS): Amerika Serikat, Australia, RRT, India, Jepang, Korea (RoK), Rusia, dan Selandia Baru. Berbeda dengan AMF yang merupakan forum dialog antar pemangku kepentingan (Track 1), EAMF diputuskan menjadi forum dialog untuk Track 1.5, yakni perpaduan antar unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah seperti akademisi, think tank dan lainnya. Pembentukan EAMF diawali dengan usulan Jepang untuk membentuk Forum Maritim Asia Timur (East Asia Maritime Forum) yang melibatkan negara-negara anggota EAS dan diselenggarakan secara back-to-back dengan AMF. Usulan untuk menjalin kerja sama maritim dengan Mitra Wicara juga mengemuka dalam Pertemuan AMF ke-2 di Pattaya, Thailand dan pada KTT ke-19 di Bali pada tahun 2011. Usulan ini kemudian dapat disetujui pada AMM Retreat di Siam Reap pada Januari 2012. Filipina sebagai tuan rumah bersedia menyelenggarakan Pertemuan EAMF ke-1 secara back-to-back dengan AMF ke-3 pada Oktober 2012 di Manila. Dialog mengenai maritim dengan Mitra Wicara melalui EAMF dilakukan dengan mengedepankan sentralitas ASEAN dan
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang berlaku di ASEAN. Selain sebagai forum dialog untuk membahas isu-isu maritim yang menjadi perhatian bersama di kawasan, EAMF juga mendorong berbagai kerja sama praktis dan menjajaki berbagai upaya capacity building terkait isu maritim di kawasan. EAMF mengadopsi mekanisme pengusulan agenda yang sama dengan AMF dimana negara tuan rumah mengusulkan draft agenda dan meminta masukan dari negara EAMF. Karena itu, pada prakteknya, seringkali sebagian agenda pertemuan EAMF senada dengan agenda pertemuan AMF. Sejauh ini, EAMF telah melaksanakan 4 kali pertemuan. Isu-isu strategis yang mengemuka dalam EAMF di antaranya; Laut China Selatan, respon kemanusiaan terhadap bencana dan kecelakaan di laut, Pencarian dan Bantuan (SAR), kebebasan bernavigasi, the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), berbagai inisiatif maritim di kawasan, konservasi dan lingkungan laut, keamanan maritim dan lain-lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Mitra Wicara serta format Track 1.5 yang lebih loose memberikan warna tersendiri dalam EAMF. Perbedaan pandangan dan argumen dalam diskusi khususnya antara AS, RRT, Rusia, India dan negara-negara anggota ASEAN seringkali menjadi dinamika yang menarik. Isu Laut China Selatan tentunya menjadi isu yang paling menarik perhatian. Tidak hanya dialog mengenai isu strategis, EAMF telah melahirkan kerja sama konkrit, di antaranya adalah penyelenggaraan sejumlah pelatihan bagi para pelaut/
Asrena Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muda TNI Achmad Taufiqoerrochman di KRI Banda Aceh-593 yang sandar di Dermaga Queens Wharf, Auckland, Selandia Baru, November 2016.
seafarers untuk menghadapi bahaya perompakan. Amerika Serikat dan Australia termasuk negara-negara yang menginisiasi pelatihan seafarer dalam kerangka EAMF.
AMF DAN EAMF: WAY FORWARD Meskipun lebih digunakan sebagai forum untuk bertukar pandangan dan dialog mengenai isu-isu maritim, namun sangat penting bagi ASEAN untuk menjaga tradisi dialog dan konsultasi ini. Tidak hanya terkait isu maritim, dialog dan konsultasi dalam ASEAN perlu terus dilakukan khususnya dalam membahas berbagai isu sensitif yang dapat menjadi ancaman bagi stabilitas dan keamanan kawasan. Tidak adanya kesepakatan yang mengikat dalam AMF dan EAMF memberikan ruang bagi negara-negara anggota ASEAN untuk berupaya saling mengerti dan memahami posisi dan pandangan negara lain, tanpa harus melalui negosiasi yang alot. Selain itu, sebagai forum untuk testing the water dan membentuk wacana, AMF dan EAMF memberikan peluang bagi negara-negara untuk menyampaikan pandangan dan posisinya dengan
argumentasi yang meyakinkan. Hal ini dapat dilakukan secara leluasa dalam AMF dan EAMF. AMF masih dirasa belum efektif karena modalitas yang ada sekarang ini masih menempatkan peranan ketua AMF sebagai tuan rumah yang bersedia menyiapkan dan menyelenggarakan pertemuan saja, namun belum menempatkan ketua AMF sebagai koordinator untuk kerja sama maritim di ASEAN yang dapat melakukan komunikasi dengan badan sektoral. Salah satu hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peranan ketua AMF misalnya saja dengan memberlakukan masa keketuaan selama 1 (satu) tahun. Dengan demikian, upayaupaya untuk mensinergikan berbagai kegiatan dan kerja sama maritim, termasuk stocktaking dan komunikasi dengan badan sektoral dapat dilakukan sepanjang 1 tahun keketuaan tersebut. Ketua AMF dapat mengidentifikasi kekosongan atau tumpang tindih kerja sama maritim di ASEAN untuk kemudian dibahas dalam pertemuan AMF. Ketua AMF juga dapat mengawal komitmen atau rekomendasi yang telah disampaikan pada pertemuan sebelumnya untuk dapat dilaksanakan dan diimplementasikan bersama.
Untuk keketuaan EAMF, mekanisme co-chairmanship (kolaborasi antara negara anggota ASEAN dan Negara Mitra Wicara) sebenarnya layak dipertimbangkan. Mekanisme cochairmanship ini akan memberikan kesempatan untuk membangun interaksi secara intensif bagi negara anggota ASEAN dan Mitra Wicara sehingga tercipta dinamika yang baik, khususnya dalam rangka terciptanya confidence building measures dan preventive diplomacy. Co-chairmanship akan memberikan sense of ownership kepada negara Mitra Wicara, dengan harapan dapat memberikan komitmen yang lebih besar dalam membantu ASEAN memajukan kerja sama maritim di kawasan. Penyesuaian-penyesuaian tersebut, sekiranya dapat dilakukan, diharapkan akan membawa AMF dan EAMF menjadi forum yang lebih dinamis dan efektif dalam memajukan dan mensinergikan kerja sama maritim di ASEAN.
**** Dara Yusilawati // Direktorat Politik dan Keamanan ASEAN
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
21
INFOGRAFIS
22
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
23
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
EAS SEMINAR ON MARITIME SECURITY COOPERATION “ENHANCING INFORMATION SHARING AMONG COMMERCIAL VESSELS” SYDNEY, AUSTRALIA, 22-25 NOVEMBER 2016
A
sia Tenggara yang terhubung oleh Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta beberapa laut disekitarnya, merupakan perairan yang sangat penting di dunia. Perairan ini merupakan salah satu jalur laut utama bagi perdagangan global. Sebagai contoh, dalam setahun, lebih dari 94.000 kapal telah melewati Selat Malaka, sehingga jalur laut tersebut menjadi jalur laut terbesar kedua di dunia. Namun, perlu diketahui bahwa, terdapat resiko besar dan berbagai ancaman terhadap perdagangan maritim di kawasan tersebut. Berbagai kerja sama dilakukan baik secara bilateral, regional, maupun internasional untuk menghindari, mengurangi, dan mencegah ancaman-ancaman dari luar yang masuk ke suatu kawasan perairan tertentu. Hal ini pun dilakukan di bawah mekanisme kerja sama Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yaitu melalui East Asia Summit (EAS). EAS merupakan mekanisme kerja sama ASEAN yang anggotanya terdiri dari 24
10 negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) serta 8 negara mitra wicara ASEAN (RRT, Jepang, Republik Korea, India, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Rusia).
lalu, Australia dengan sangat antusias mengajak Indonesia untuk menjadi tuan rumah bersama (co-host) dalam sebuah seminar terkait kerja sama keamanan maritim dengan tema “Enhancing Information Sharing Among Commercial Vessels”.
Untuk menghindari, mengurangi, dan mencegah ancaman-ancaman yang telah dan akan terjadi di laut, serta komitmen besar para pemimpin untuk menciptakan kawasan yang damai, stabil, aman, dan makmur, maka pada tahun 2015, para Kepala Negara/Pemerintahan negara peserta EAS telah sepakat untuk mengesahkan EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation, yang merupakan prakarsa Indonesia, tepatnya pada KTT EAS ke-10 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Seminar yang didasarkan pada EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation tersebut bertujuan untuk memperkuat pemahaman tentang pemanfaatan informasi bagi kapal komersil (information sharing among commercial vessel) guna meningkatkan keamanan maritim baik regional dan domestik di beberapa kawasan jalur laut yang masih rentan terhadap ancaman. Seminar juga bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai pengaturan yang ada, praktekpraktek nasional, dan juga beberapa faktor terkait information sharing yang dapat meningkatkan keamanan maritim. Dengan memastikan adanya penguatan information sharing among commercial vessel secara nasional maupun regional,
Sejalan dengan komitmen para pemimpin EAS tersebut di atas, serta usulan Perdana Menteri Australia pada KTT ke-11 EAS di Vientiane, Laos, 8 September 2016
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
seminar dapat memberikan efek positif dari 3 (tiga) prioritas EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation yaitu; memperkuat keberlangsungan pengembangan ekonomi maritim; mendukung perdamaian, stabilitas, dan keamanan; serta mengatasi berbagai tantangan lintas batas.
pentingnya perdagangan maritim bagi kawasan, oleh sebab itu memerlukan konsekuensi dalam penegakan keamanan maritim yang efektif. Sedangkan pihak Australia secara tegas mendorong semua pihak untuk ikut mengambil bagian dalam menciptakan kawasan maritim yang aman, damai, stabil, dan makmur.
Selain dari sisi regional, negara peserta EAS perlu memperkuat maritim domestik terhadap berbagai ancaman non-tradisional yang mengancam kestabilan dalam negeri, termasuk berbagai resiko kejahatan transnasional seperti, perdagangan narkotika, senjata dan manusia, serta kegiatan-kegiatan melanggar hukum yang mungkin mengancam ekonomi dan keamanan suatu negara.
Dengan menampilkan 12 (dua belas) pembicara dari Indonesia, Jepang, Australia, Thailand, RRT, India, Selandia Baru, RECAAP, berbagai isu pun diangkat untuk dibahas dalam Seminar ini, seperti; tantangan dan ancaman maritim, informasi terkait keamanan maritim (maritime security information) dan berbagi informasi (information sharing) di tingkat nasional maupun regional.
Seminar tersebut telah diselenggarakan di Sydney, Australia, tanggal 22-25 November 2016 lalu. Seminar dihadiri oleh 16 dari 18 negara peserta EAS (kecuali Korea Selatan dan Rusia). Selain peserta EAS, hadir pula wakil dari Sekretariat ASEAN, World Customs Organization, Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robery Against Ships in Asia (ReCAAP) Information Sharing Center. Seminar dipimpin bersama oleh Australia dan Indonesia. Dalam pembukaannya, Indonesia yang diwakili oleh Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kemlu RI, menekankan
Terkait dengan pembahasan maritime security information, sebagai salah satu dari 3 negara (Indonesia, Thailand dan Australia), yang menyampaikan praktek dan pengalaman dalam melakukan koordinasi dan information sharing di antara institusi nasional terkait dalam penanganan keamanan di laut, mempunyai pengalaman yang baik dalam jumlah dan peran institusi yang terlibat serta tantangan dalam melakukan koordinasi antar institusi nasional. Khusus Indonesia dan Thailand, isu peningkatan kapasitas penegak hukum, penguatan sistem informasi serta struktur organisasi dan koordinasi internal
masih menjadi perhatian utama. Dalam sesi ini pula, Indonesia yang diwakili oleh Asisten Deputi Bidang PolugriKemenko Polhukam menyampaikan upaya Pemri dalam mengembangkan kebijakan maritim komprehensif melalui penguatan keamanan perbatasan dan kekuatan pertahanan maritim, salah satunya dengan memperkuat peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk mendukung koordinasi penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia. Selain itu juga disampaikan upaya Bakamla untuk membangun integrated data system yang dapat dimanfaatkan semua institusi terkait secara bersama. Indonesia pun ikut ambil bagian dalam memanfaatkan beberapa rekomendasi yang dihasilkan yang berhubungan dengan keamanan maritim di level nasional, antara lain: perlunya suatu common process antar Kementerian/ Lembaga nasional; struktur yang jelas serta pembagian tanggung jawab yang tegas, misalnya dalam bidang adminstrasi, hukum, dan operasional untuk membantu proses koordinasi; untuk menghindari overlap, perlu identifikasi tugas secara spesifik; pembentukan task force yang terdiri dari berbagai Kementerian/ Lembaga dapat membantu untuk keluar dari mindset dan cara kerja sektoral, serta menumbuhkan sense of community; serta penggunaan sistem informasi dan sistem pelaporan yang sama dalam tingkat
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
25
LAPORAN UTAMA
26
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Indonesia juga harus memanfaatkan momentum ini untuk terus mendorong kerja sama maritim, terutama keamanan maritim, serta dapat mengajukan beberapa agenda baru sebagai bentuk implementasi konkret EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Security.
menumbuhkan sense of community; serta penggunaan sistem informasi dan sistem pelaporan yang sama dalam tingkat nasional akan memudahkan koordinasi antar lembaga. Sedangkan dalam konteks regional, negara peserta EAS sepakat beberapa hal, antara lain perlunya peningkatan pemahaman isu kelautan bersama, koordinasi dalam upaya melaksanakan kerja sama teknis, serta informasi yang diperlukan untuk kerja sama keamanan regional. Informasi yang diperlukan yaitu informasi personel, insiden pelanggaran lingkungan laut, laporan cuaca dan warning system. Seminar juga mendorong perlunya menciptakan rasa saling percaya antar negara agar dapat merealisasikan pertukaran informasi yang komprehensif, meskipun masih terdapat perbedaan pandangan terkait definisi maritime domain awareness di antara negaranegara. Seminar juga membahas kondisi yang ada dimana mekanisme pertukaran informasi pada umumnya bersifat sukarela sehingga tidak mudah untuk mendapatkan informasi yang utuh dari negara lain. Untuk itu, dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuan domestik dengan melakukan peningkatan capacity building serta mendorong negara di kawasan untuk ikut serta dalam keanggotaan organisasi pertukaran informasi. Jika tidak memungkinkan
bagi suatu negara untuk melakukan pertukaran informasi pada tingkat internasional dan regional, maka disarankan untuk menggunakan forum bilateral. Seminar mendorong negaranegara di kawasan untuk menunjuk focal point dalam pertukaran informasi terkait keamanan laut. Beberapa rekomendasi prinsip-prinsip bagi EAS dalam menghadapi tantangan keamanan maritim bersama yait: pemetaan kepentingan; pemetaan kapasitas negara peserta EAS; pemetaan kesiapan negara peserta EAS untuk bekerja sama dalam aturan hukum yang sama, serta interpretasi hukum yang sama antar satu negara dengan negara lain. Selain beberapa rekomendasi prinsip di atas, telah disepakati pula rekomendasi EAS Seminar on Maritimes Security Cooperation. Mengingat bahwa sebagian besar negara peserta EAS memiliki sistem nasional yang berbeda, maka diharapkan untuk dibentuk point of contacts yang dapat menjadi sumber information sharing. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Indonesia (Pemri) perlu memperkuat kapasitas institusi yang kiranya dapat dijadikan point of contact secara nasional maupun regional. Sedangkan khususnya mengenai rekomendasi Seminar, yaitu perlunya mekanisme pertukaran informasi maritim di tingkat regional; ii) perlunya
identifikasi informasi maritim yang perlu dipertukarkan secara regional; dan iii) perlunya pembentukan suatu focal point nasional untuk pertukaran informasi regional, maka diharapkan Pemri melalui institusi terkait dapat memperkuat mekanisme dimaksud di atas sehingga dapat menangani isu-isu keamanan laut secara efektif. Indonesia juga harus memanfaatkan momentum ini untuk terus mendorong kerja sama maritim, terutama keamanan maritim, serta dapat mengajukan beberapa agenda baru sebagai bentuk implementasi konkret EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Security. Indonesia juga dapat mengusulkan isu-isu seperti pengelolaan limbah sampah di laut (marine debris) dan burden sharing pada Sea Lane of Communication di wilayah Indonesia. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa kedua isu tersebut merupakan kepentingan Indonesia yang melibatkan negara peserta EAS lainnya, dan dinilai tidak mempunyai sensitivitas tinggi seperti isu pengelolaan Laut China Selatan. **** Falentino A. Mara // Direktorat Mitra Wicara dan Antar Kawasan
E ID I1S4I /1/ 4 D//E S DEE M S EBM AY SA YA EA AN N EDIS EB RE 2R0 21 06 1 /6/ // MM AS R RAAKKAATT AASSE
27 27
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
P OJ OK SOSI A LI SA SI
AMCDRR 2016:
MENGANGKAT “ONE ASEAN , ONE RESPONSE” KE TINGKAT YANG LEBIH TINGGI
Di saat negara-negara Asia lain baru mulai membicarakan, Asia Tenggara dapat berbangga memiliki One ASEAN, One Response.
ASIA DAN PENANGANAN BENCANA
bencana – adalah bagian penting dalam upaya mencapai ke-17 target dalam SDG. Kesadaran ini diterjemahkan dalam
Kesadaran penanganan bencana di Asia
pengadopsian Sendai Framework for
berangkat dari kesepakatan negara-
Disaster Risk Reduction 2015-2030.
negara di dunia yang telah mengadopsi
28
Sustainable Development Goals (SDG)
Lebih dari 4.000 perwakilan dari 60
dengan 17 target untuk mengentaskan
negara-negara Asia berkumpul di New
kemiskinan, melawan ketidakadilan dan
Delhi, India pada tanggal 2-5 November
ketidaksetaraan, serta mengatasi dampak
2016 untuk menghadiri Asian Ministerial
perubahan iklim pada tahun 2030. Satu
Conference on Disaster Risk Reduction
hal yang patut dicatat, bahkan sebelum
(AMCDRR). Penanganan bencana
SDG diadopsi, 187 negara di dunia
menjadi salah satu isu prioritas di
telah lebih dahulu menyadari bahwa
Asia mengingat sebagai benua terluas
penanganan bencana – yang kemudian
dan terpadat di dunia, Asia memiliki
ditingkatkan menjadi pengurangan risiko
berbagai jenis bencana alam yang
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
tidak hanya mempengaruhi kondisi
KEPEMIMPINAN INDONESIA DAN ONE ASEAN, ONE RESPONSE
could be brought to an even higher level,”
United Nations Office for Disaster Risk
Indonesia sebagai ‘miniatur’ tempat
Dua bulan sebelumnya, pada level ASEAN,
Reduction (UNISDR), negara-negara Asia
berkumpulnya bencana alam di Asia
Indonesia dan 9 negara anggota lainnya
berhasil menyepakati dua hal penting:
Tenggara dipandang sebagai salah satu
telah menyepakati sebuah deklarasi yang
New Delhi Declaration on Disaster Risk
negara dengan posisi penting dalam
menyatakan bahwa negara-negara ASEAN
Reduction dan Asia Regional Work Plan for
AMCDRR, terutama dalam upaya penerapan
memiliki mekanisme respon bersama
Implementation of Sendai Framework.
Sendai Framework guna mencapai tujuan
terhadap bencana, baik di dalam maupun
geografis namun juga kehidupan miliaran penduduknya. Dalam pertemuan yang
demikian berulangkali dikatakan Kepala BNPB dalam pertemuan bilateral.
diselenggarakan berkolaborasi dengan
SDG. Hal ini tercermin dari kepercayaan
di luar wilayah Asia Tenggara. Melalui
Dalam pertemuan AMCDRR 2016, negara-
negara-negara Asia yang menunjuk
deklarasi yang dikenal dengan One ASEAN,
negara Asia menitikberatkan pertukaran
Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam
One Response (OAOR), ASEAN telah
pengalaman dan pembahasan rencana
AMCDRR 2016, Kepala BNPB Willem
lebih dahulu melangkah mewujudkan
kerja pada elemen-elemen understanding
Rampangilei, sebagai pemimpin sesi
integrasi kebijakan penanganan bencana
disaster risk; disaster risk governance;
plenary bertema disaster risk reduction;
demi meningkatkan kerja sama yang pada
investing in disaster risk reduction; disaster
tema utama dari seluruh pertemuan.
akhirnya meminimalisir risiko terhadap
preparedness, response and recovery;
penduduknya. Melihat hal ini, dalam
review and monitoring; serta enabling
Delegasi RI di sela-sela pertemuan
pertemuan AMCDRR berikutnya yang
governance for coherence in disaster risk
juga menyambut ajakan pertemuan
diselenggarakan tahun 2018, ASEAN
reduction, sustainable development and
bilateral dari berbagai pihak, diantaranya
seharusnya dapat mengambil peran
climate change. Selain itu, India sebagai
Brunei Darussalam, Meksiko, Korea
sebagai pemimpin di saat Asia berusaha
host country berulang kali menegaskan
Utara, dan Utusan Khusus Sekjen PBB
menyatukan respon terhadap bencana alam.
perlunya Asia memiliki respon bersama
(SRSG); semuanya memandang penting
untuk bencana alam.
pengalaman Indonesia secara nasional ****
maupun kepemimpinan Indonesia di ASEAN. “Indonesia would be happy to help, and we believe that our cooperation
Bayu P. Oktavriyanto // Direktorat Kerja Sama Fungsional ASEAN
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
29
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
P OJ OK SOSI A LI SA SI
ASEAN CADET SEMINAR:
MENJAGA MASA DEPAN INTEGRITAS KAWASAN ASEAN
ASEAN Cadet Seminar, yang merupakan bagian dari ASEAN Cadet Sail 2016, mempertemukan 51 kadet angkatan laut dari Indonesia, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam untuk menjalin persahabatan sekaligus meningkatkan kemampuan dalam semangat kebersamaan ASEAN.
A
kademi Angkatan Laut (AAL)
Universitas Indonesia, Andi Widjajanto;
Surabaya pada 9 September
dan Direktur Kerja Sama Fungsional
2016 dimeriahkan oleh
ASEAN Kemlu, J. S. George Lantu.
kehadiran puluhan pemuda dari delapan negara ASEAN. Mereka adalah para
“ASEAN Cadet Seminar diharapkan dapat
kadet angkatan laut yang ikut serta
mempererat, menjalin persahabatan
dalam kegiatan confidence building
angkatan laut negara-negara peserta,
measure bertajuk ASEAN Cadet Seminar:
serta menjadi sarana pertukaran
Strengthening the Young Generation
pengetahuan yang komprehensif untuk
Brotherhood of ASEAN”.
generasi muda dalam menghadapi tantangan isu-isu terkini,” kata Kepala
30
Kegiatan seminar berlangsung sehari
Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana
dengan menghadirkan pembicara-
TNI Ade Supandi dalam keynote speech-
pembicara yang kompeten di bidangnya,
nya, sebagaimana dikutip dari Dinas
yaitu ahli hukum laut internasional, Duta
Penerangan Angkatan Laut. “Generasi
Besar Hasjim Djalal; pakar ilmu politik
muda menghadapi tantangan dan isu baru
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Para kadet peserta dari delapan negara ASEAN
(kiri ke kanan) Duta Besar Hasjim Djalal, Andi Widjajanto, Gubernur AAL, Direktur Kerja Sama Fungsional ASEAN, Tantri Moerdopo (moderator).
seiring dengan perkembangan teknologi
ASEAN. Kebersamaan dalam seminar
dan ritual di atas kapal diharapkan
dan kondisi sosial-budaya di kawasan,”
dan ASEAN Cadet Sail 2016 ini
menjalin dan mempererat persahabatan
lanjutnya.
merupakan langkah awal dan investasi
di antara para kadet,” kata ketua panitia
bagi kerja sama yang lebih signifikan di
kegiatan, Kapten Angkatan Laut
masa depan.”
Andyseno di sela-sela kegiatan seminar
Sementara itu, Direktur Kerja Sama Fungsional ASEAN, J. S. George Lantu, menyampaikan bahwa seminar ini
ASEAN Cadet Seminar merupakan
merupakan sebuah contoh people-to-
pembukaan untuk ASEAN Cadet Sail
people contact di kawasan ASEAN yang
2016 yang berlangsung selama satu bulan
tidak hanya dimanfaatkan sebagai sarana
penuh sampai dengan 10 Oktober 2016.
pertukaran pengetahuan, namun juga
Dalam kurun waktu tersebut, para kadet
menguatkan solidaritas dan persahabatan
dari negara-negara peserta berlayar di atas
di antara para pesertanya. “Diharapkan
kapal layer tiang tinggi KRI Dewaruci,
people-to-people contact semacam ini
menyusuri rute Surabaya-Mataram-Bali-
dapat membantu meningkatkan kerja
Makassar-Balikpapan-Semarang-Surabaya.
sama sekaligus integritas kawasan di
“Kebersamaan dalam berbagai kegiatan
**** Bayu P. Oktavriyanto // Direktorat Kerja Sama Fungsional ASEAN
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
31
POJOK SOSIALISASI
GALERI
INFOGRAFIS
PERESMIAN PSA UNS MEMPERLUAS JEJARING KEMLU MEMASYARAKATKAN ASEAN
K
ementerian Luar Negeri RI meresmikan Pusat Studi ASEAN (PSA) Universitas Sebelas Maret (UNS) pada tanggal 26 Oktober 2016 di Surakarta, Jawa Tengah. PSA UNS menandai berdirinya PSA ke-21 di Indonesia yang diresmikan melalui Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN (Ditjen KSA), Kementerian Luar Negeri RI dengan Universitas Sebelas Maret mengenai “Kerja Sama Bidang Pendidikan, Penelitian/Pengkajian Ilmiah, dan Pengabdian kepada Masyarakat”. Penandatanganan Nota Kesepahaman dimaksud dilakukan langsung oleh Duta Besar Jose Tavares,
32
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kemlu RI dan Prof. Dr. H. Ravik Karsidi. M.S., Rektor UNS. Peresmian PSA UNS adalah bagian dari Rangkaian Kegiatan Ditjen KSA, Kemlu RI di Kota Batik yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan seminar umum dan working dinner. Dua seminar umum yang diselenggarakan bertemakan “Perkembangan Terkini ASEAN” dan “Pemanfaatan Peluang Masyarakat ASEAN bagi Peningkatan Kesejahteraan Daerah”. Dua seminar tersebut menghadirkan narasumber dari Kemlu RI, UNS, Pemkot Surakarta dan Kadin setempat. Pada malam harinya, Ditjen KSA, Kemlu RI juga bertemu dengan Pemkot Surakarta dan
media massa lokal dalam acara working dinner untuk saling bertukar informasi dan pandangan mengenai isu-isu terkini ASEAN. Dubes Jose Tavares menegaskan banyak manfaat yang diperoleh kedua belah pihak pasca penandatanganan nota kesepahaman. Manfaat dimaksud antara lain, pemerintah mendapatkan rekomendasi kebijakan dari penelitian ilmiah yang “out of the box” yang dilakukan oleh PSA. Institusi penelitian ini juga akan membantu pemerintah mendiseminasikan informasi
perkembangan Masyarakat ASEAN ke akademisi, mahasiswa, dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan bagi UNS, kerja sama dengan Kemlu RI dapat meningkatkan akses universitas terhadap informasi perkembangan Masyarakat ASEAN dan memperluas jejaring UNS dalam Masyarakat ASEAN. PSA UNS akan mendapatkan akses kepada pejabat pemerintah yang tergabung dalam Sekretariat Nasional ASEAN, akademisi dari PSA lain di Indonesia dan PSA negara anggota ASEAN lainnya. PSA yang dibentuk oleh UNS merupakan implikasi wajar dari
semakin berkembangnya ASEAN, terutama dalam upaya berpartisipasi secara aktif dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). PSA yang telah terbentuk secara mandiri sejak Januari 2016 ini telah melakukan beberapa kegiatan PSA, antara lain studi mengenai media Islam di Indonesia, kajian tentang wilayah perbatasan, Masyarakat ASEAN, dan isu Laut China Selatan (LCS). Selain itu, PSA UNS juga telah berkontribusi menyelenggarakan sosialisasi konsep MEA ke aparatur negara pada tingkat kelurahan di Kota Surakarta.
PSA MITRA HANDAL KEMLU Sejak diluncurkannya Masyarakat ASEAN pada tanggal 31 Desember 2015, para pemimpin ASEAN semakin mengintensifkan upaya bersama mewujudkan ASEAN sebagai organisasi yang rules-based, people-centered, dan people-oriented. ASEAN semakin dituntut untuk dapat memberikan manfaat konkret bagi masyarakat umum. Dalam usaha pencapaian dimaksud, diperlukan pemahaman dan rasa kepemilikan bersama di antara semua pemangku kepentingan dan anggota masyarakat mengenai arti penting dan manfaat Masyarakat
ASEAN. Pusat Studi ASEAN (PSA) adalah suatu inisiatif dari Kementerian Luar Negeri RI dalam memasyarakatkan Masyarakat ASEAN di tingkat nasional. Melalui kegiatan peresmian PSA di UNS yang dirangkaikan dengan beberapa kegiatan lainnya, diharapkan masyarakat Surakarta dan sekitarnya dapat memperoleh informasi dan pemahaman yang benar mengenai ASEAN serta mampu memanfaatkan peluang integrasi Masyarakat ASEAN. Negeri RI dalam memasyarakatkan Masyarakat ASEAN di tingkat nasional.
Melalui kegiatan peresmian PSA di UNS yang dirangkaikan dengan beberapa kegiatan lainnya, diharapkan masyarakat Surakarta dan sekitarnya dapat memperoleh informasi dan pemahaman yang benar mengenai ASEAN serta mampu memanfaatkan peluang integrasi Masyarakat ASEAN. ***** Fajar Arianto // Direktorat Mitra Wicara dan Antar Kawasan
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
33
POJOK SOSIALISASI
34
GALERI
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
INFOGRAFIS
PERKUAT PERAN PUSAT STUDI ASEAN SEBAGAI MITRA PEMERINTAH DI ERA MASYARAKAT ASEAN, KEMLU SELENGGARAKAN RAPAT KONSOLIDASI
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
35
POJOK SOSIALISASI
GALERI
INFOGRAFIS
Wakil Menteri Luar Negeri RI dan Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN berfoto bersama dengan para peserta Rapat Konsolidasi dari berbagai Pusat Studi ASEAN (PSA) di Indonesia.
W
akil Menteri Luar Negeri, Duta Besar A.M Fachir, pada tanggal 1 Desember 2016 membuka Rapat Konsolidasi Ditjen Kerja Sama ASEAN dengan Pusat Studi ASEAN seluruh Indonesia dengan tujuan utama memperkuat peran Pusat Studi ASEAN sebagai mitra Pemerintah di era Masyarakat ASEAN. Dalam sambutan kuncinya, Wakil Menteri Luar Negeri antara lain menegaskan kembali posisi Pemerintah Indonesia yang menempatkan ASEAN sebagai soko guru politik luar negeri Indonesia dengan terus berpartisipasi aktif dalam kerja sama ASEAN dalam tiga pilar kerjasamanya yaitu politikkeamanan, ekonomi dan sosial budaya. Dikatakan pula kiprah ASEAN semakin diakui dunia sebagai organisasi regional yang sangat dinamis dimana sukses yang saat ini memasuki tahapan
36
yang sangat penting dalam proses integras kawasan, melalui pemberlakukan Masyarakat ASEAN pada akhir 2015. Sementara itu Dirjen Kerja Sama ASEAN, Duta Besar Jose Tavares, dalam sambutannya menyatakan, berlakunya Masyarakat ASEAN 2015 dan Visi ASEAN 2025 perlu menjadi pemicu bagi pihak-pihak terkait, termasuk Pusat Studi ASEAN, untuk mewujudkan agar Masyarakat ASEAN memberikan manfaat bagi masyarakat kita. Dirjen Kerja Sama ASEAN juga menggarisbawahi bahwa para pemangku kepentingan terkait memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkannya. Acara pembukaan dilanjutkan dengan upacara pendirian 12Pusat Studi ASEAN baru yang ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
(MOU) Tentang Kerja Sama Bidang Pendidikan, Penelitian/Pengkajian Ilmiah dan Pengabdian Kepada Masyarakat antara Ditjen Kerja Sama ASEAN dengan berbagai Perguruan Tinggi. Dengan demikian, saat ini terdapat 34 Pusat Studi ASEAN yang tersebar di bebargai perguruan tinggi yang menjalin kerja sama dengan Ditjen Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri. Rapat Konsolidasi antara Ditjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri dengan Pusat Studi ASEAN berlangsung pada 1 - 2 Desember 2016 di Ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri. Ditargetkan Rapat Konsolidasi tersebut akan dapat menghasilkan saran rekomendasi dalam rangka implementasi dan memanfaatkan peluan pemberlakuan
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN menandatangani Nota Kesepahaman untuk membentuk PSA dengan salah satu perwakilan Universitas, disaksikan oleh Wakil Menteri Luar Negeri RIdengan PSA.
Masyarakat ASEAN, khususnya bagi daerah asal masing-masing Pusat Studi ASEAN. Terkait hal ini, Pusat Studi ASEAN memiliki peran penting untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menghadapi dan memanfaatkan peluang Masyarakat ASEAN. Selama ini telah terlaksana berbagai kegiatan bersama yang dilaksanakan Ditjen Kerja Sama ASEAN dengan Pusat Studi ASEAN, khususnya terkait dengan pelaksanaan sosialisasi, edukasi, konsultasi dan advokasi publik tentang Masyarkat ASEAN, antara lain dalam bentuk kuliah umum, seminar, forum diskusi, pameran foto, dialog interaktif di media massa, simulasi sidang, lomba debat dan public speaking tingkat pelajar/mahasiswa. pilar kerjasamanya yaitu politikkeamanan, ekonomi dan sosial budaya. Dikatakan pula kiprah ASEAN semakin diakui dunia sebagai organisasi regional yang sangat dinamis dimana sukses yang saat ini memasuki tahapan yang sangat penting dalam proses integrasi kawasan, melalui pemberlakukan Masyarakat ASEAN pada akhir 2015.
Wakil Menteri Luar Negeri RI memberikan sambutan kunci pada pembukaan Rapat Konsolidasi Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN dengan PSA.
Sementara itu Dirjen Kerja Sama ASEAN, Duta Besar Jose Tavares, dalam sambutannya menyatakan, berlakunya Masyarakat ASEAN 2015 dan Visi ASEAN 2025 perlu menjadi pemicu bagi pihak-pihak terkait, termasuk Pusat Studi ASEAN, untuk mewujudkan agar Masyarakat ASEAN memberikan manfaat bagi masyarakat kita. Dirjen Kerja Sama ASEAN juga menggarisbawahi bahwa para pemangku kepentingan terkait memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkannya. Acara pembukaan dilanjutkan dengan upacara pendirian 12 Pusat Studi ASEAN baru yang ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) Tentang Kerja Sama Bidang Pendidikan, Penelitian/Pengkajian Ilmiah dan Pengabdian Kepada Masyarakat antara Ditjen Kerja Sama ASEAN dengan berbagai Perguruan Tinggi. Dengan demikian, saat ini terdapat 34 Pusat Studi ASEAN yang tersebar di berbagai perguruan tinggi yang menjalin kerja sama dengan Ditjen Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri. Rapat Konsolidasi antara Ditjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri dengan Pusat Studi ASEAN
berlangsung pada 1 - 2 Desember 2016 di Ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri. Ditargetkan Rapat Konsolidasi tersebut akan dapat menghasilkan saran rekomendasi dalam rangka implementasi dan memanfaatkan peluang pemberlakuan Masyarakat ASEAN, khususnya bagi daerah asal masing-masing Pusat Studi ASEAN. Terkait hal ini, Pusat Studi ASEAN memiliki peran penting untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menghadapi dan memanfaatkan peluang Masyarakat ASEAN. Selama ini telah terlaksana berbagai kegiatan bersama yang dilaksanakan Ditjen Kerja Sama ASEAN dengan Pusat Studi ASEAN, khususnya terkait dengan pelaksanaan sosialisasi, edukasi, konsultasi dan advokasi publik tentang Masyarakat ASEAN, antara lain dalam bentuk kuliah umum, seminar, forum diskusi, pameran foto, dialog interaktif di media massa, simulasi sidang, lomba debat dan public speaking tingkat pelajar/mahasiswa. **** Hikmat Moeljawan Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
37
INFOGRAFIS
38
SERBA SERBI
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
39
INFOGRAFIS SERBA SERBI
SERBA SERBI
KONEKTIVITAS, INFRASTRUKTUR DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
L
aporan tahunan investasi ASEAN 2015 yang dikeluarkan oleh Sekretariat ASEAN dan UNCTAD berfokus pada investasi infrastruktur dan konektivitas yang menjadi poin penting dalam menunjang pertumbuhan kawasan. Peran kedua faktor tersebut dapat meningkatkan efisiensi biaya logistik, transaksi bisnis dan penunjang aliran perdagangan dan investasi yang semakin besar. Konektivas yang berperan penting dalam pembangunan Masyarakat ASEAN digambarkan tidak hanya dari aspek fisik, tetapi juga kerja sama antar lembaga, sistem, manusia, dan aspek lainnya yang berhubungan peningkatan
40
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
aktifitas ekonomi kompetitif termasuk perbaikan lingkungan investasi, kawasan produksi dan perdagangan. Di dalamnya termasuk, kemudahan lalu lintas orang dan barang, mengurangi waktu tempuh perjalanan, memungkinkan akses jaringan pasokan listrik yang diandalkan serta memberikan keuntungan bisnis di hilir. Sedangkan Infrastuktur fisik berperan penting sebagai tulang punggung dan motor penggerak ekonomi, sosial, lingkungan dan konektivitas ASEAN dengan tahapan pembangunan pada tingkat nasional, sub kawasan dan kawasan.
“Untuk itu, selaras dengan komitmen ASEAN, kebijakan pembangunan infrastruktur Indonesia diintegrasikan pada rencana pembangunan negara-negara ASEAN dalam Master Plan for ASEAN Connecitivity (MPAC) 2025.”
Keterbatasan ketersediaan infrastruktur menghambat laju pembangunan ekonomi di beberapa negara anggota seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Indonesia. Namun jika infrastruktur yang tersedia memadai pertumbuhan Indonesia memungkinkan untuk dapat tumbuh antara 7%-9% per tahun dibanding pertumbuhan saat ini, yakni sebesar 6% - 6,5%. Penumpukan bongkar muat di pelabuhan dan konektivitas yang buruk antar pulau membebani 24% PDB berbanding 16% PDB di Thailand. Jika biaya logistik dapat diturunkan menjadi 16% dari PDB dan perbaikan logistik pelabuhan serta konektivitas infrastuktur transportasi nasional ditingkatkan, maka dunia usaha, pemerintah dan rumah tangga dapat memangkas sekitar USD 70 milyar sampai USD 80 milyar per tahun. Hasil studi dari McKinsey Global Institute, sebuah lembaga riset internasional menyebutkan bahwa jika Indonesia dapat mengalihkan 50% saja pola distribusi barang Intra Pulau Jawa dan Jawa-Sumatera dari angkutan darat ke angkutan laut maka akan ada penghematan biaya logistik sekitar Rp 300 triliun yang artinya sama dengan membantu menurunkan biaya logistik sebesar 3.69% dari PDB.
Masalah infrastruktur berdampak pada kinerja daya saing global Indonesia seperti tercermin pada Global Competitiveness Report (GCR) 2016 yang menunjukan penurunan peringkat Indonesia dari 37 menjadi peringkat ke-41. Oleh karena itu, selaras dengan komitmen ASEAN, kebijakan pembangunan infrastruktur Indonesia diintegrasikan pada rencana pembangunan negaranegara ASEAN dalam Master Plan for ASEAN Connecitivity (MPAC) 2025. Perwakilan Tetap RI untuk ASEAN, Dubes Rahmat Pramono, berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur merupakan keniscayaan dan mendasar dalam meningkatkan taraf hidup suatu masyarakat. Dengan perencanaan dan pembangunan yang sinergis, pertumbuhan ekonomi kita bisa bergerak naik. Indonesia dalam hal ini mengedepankan pembangunan pelabuhan, dan pembangunan jalan tol maupun non tol seperti jalan trans Sumatra, dan jalan tol Manado. Dalam 15 tahun ke depan, anggaran pembangunan infrastruktur MPAC mencapai hingga 3,3 triliun dolar AS. Porsi paling besar didedikasikan untuk
infrastruktur transportasi sebesar 1,2 triliun dolar AS, kemudian listrik 1 triliun dolar AS, dan air bersih 600 miliar dolar AS. Kebijakan pemerintah meningkatkan infrastuktur mendapat apresiasi masyarakat. Hal ini terlihat dari hasil Litbang harian Kompas yang menunjukan antusiasme publik dengan upaya pemerataan antar wilayah yang sedang digenjot pemerintah, antara lain lewat pembangunan infrastruktur. Jika kepuasan publik terhadap pemerataan di sejumlah daerah hanya 49,4 persen pada Januari 2015, maka pada Juli 2016 meningkat menjadi 61,2 persen. Dari berbagai aspek penilaian bidang ekonomi yang diukur dalam survei ini, terlihat bahwa program-program yang langsung menjangkau kepentingan rakyat bawah lebih banyak mendapat apresiasi. Lembaga the Institute for Ecosoc Rights menilai upaya percepatan pembangunan infrastruktur dan investasi yang dilakukan pemerintah berjalan sistematis dan terintegrasi dari pusat hingga daerah. Namun tidak demikian adanya dengan upaya pengentasan kemiskinan. Ekspetasi lembaga sebenarnya sudah menjadi tujuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yakni tercapainya wilayah
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
41
SERBA SERBI
42
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6
ASEAN yang aman dengan tingkat dinamika pembangunan yang lebih tinggi dan terintegrasi, pengentasan masyarakat ASEAN dari kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran yang merata dan berkelanjutan.
Kedua, pentingya ASEAN untuk dapat memastikan keterlibatan dan kemajuan UMKM melalui pengembangan teknologi. Ketiga, inovasi dan perluasan akses keuangan dan pasar dengan harapan ASEAN sebagai organisasi yang peduli akan masyarakatnya.
Di lain pihak, ukuran tingkat kemiskinan masih berbeda-beda. Laporan OECD 2015, mengatakan, pendapatan atau penghasilan bukanlah satu-satunya tolak ukur menentukan kesejahteraan penduduk miskin. Akses terhadap air bersih hanya dimiliki oleh kurang dari separuh jumlah penduduk miskin di desa, hanya tiga perempat dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki akses terhadap listrik, dan hanya 55% anak penduduk miskin yang menyelesaikan sekolah menengah pertama.
Pesan Presiden menunjukan keinginan agar seluruh masyarakat terutama masyarakat bawah untuk giat terlibat dalam proses integrasi Masyarakat ASEAN. Implementasi pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan sangat berpengaruh pada keterhubungan dan keterbukaan daerah- daerah terpencil, terluar atau pun terisolasi menjadikan masyarakat lebih berperan dengan berbagai kegiatan ekonomi dan non ekonomi. Hal ini dapat memacu peningkatan kapasitas level of services sehingga produktivitas lebih meningkat pada sektor angkutan laut dalam rangka menunjang kapasitas maritim serta meningkatkan keseimbangan pelabuhan di belahan Barat dan Timur Indonesia.
Data statistik yang dikeluarkan BPS menunjukkan penurunan kemiskinan nasional antara 2010 – 2016 turun secara perlahan, rata-rata dibawah 1% per tahun dan posisi pada Maret 2016 masih berada di tingkat 10,86%. Upaya pemerintah untuk mengangkat kemiskinan terus dilakukan dimana dalam periode tiga dasawarsa terakhir, rata-rata pertumbuhan PDB per kapita mencapai sekitar 3,5% per tahun. Jika dikombinasikan dengan berbagai program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan maka pemerintah telah berhasil mengurangi jumlah orang miskin dengan pendapatan sebesar USD 2 per hari (standar PBB) dari 85% penduduk menjadi 43% sejak tahun 1980. Presiden Joko Widodo juga telah menyampaikan tiga poin penting yang harus dipastikan oleh masyarakat ASEAN, pertama, memastikan kerja sama ekonomi yang dapat dinikmati oleh masyarakat ASEAN secara merata.
Terbentuknya Masyarakat ASEAN melalui ASEAN Connectivity 2025 ke depan akan semakin membuka peluang seperti yang disebut pepatah Cina, “untuk menghapus kemiskinan bangunlah prasarana jalan/ perhubungan” (to end poverty, build a road). Kesuksesan Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan konektivitasnya diharapkan mampu memberikan daya pemicu untuk menekan tingkat kemiskinan nasional secara signifikanapabila tidak dapat menghapusnya sama sekali di 2025. **** Doddie Herado Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN
E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6 // M A S Y A R A K A T A S E A N
43
44
M A S Y A R A K A T A S E A N // E D I S I 1 4 // D E S E M B E R 2 0 1 6