KAJIAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN TAHUN 1989-2006 PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE MUARA KUBU BERDASARKAN CITRA LANDSAT Kasus di Desa Kubu, Kecamtan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat
TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Pengelolaan Lingkungan Jurusan Antar Bidang
Oleh : H E N D A R T O 07/260800/PMU/5078
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2009
PERNY YATAAN N
Dengaan ini, sayya menyaatakan baahwa dalaam Tesis ini tidak terdapat karya yangg pernah
diajukann untuk mempero m leh gelarr kesarjan naan di suuatu Perg guruan
Tingggi, dan sepanjang s g pengetah huan sayaa juga tiddak terdap pat karyaa atau pen ndapat yangg pernah ditulis d atauu diterbitk kan oleh orang o lain, kecuali yang y secaara tertuliss diacu dalam m naskah ini dan diisebutkan n dalam daaftar pustaaka.
Yoggyakarta, 30 Deseember 200 09
H ) ( Hendarto
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, shalawat serta salam penulis ucapkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Kajian Perubahan Penutupan Lahan Pada Kawasan Hutan Mangrove Muara Kubu Berdasarkan Citra Landsat. Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati Peneliti menghaturkan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Bapak Dr. Hartono. DEA., DESS, selaku pembimbing utama dan
Bapak Drs. Suharyadi, M.Sc. selaku pembimbing
pendamping yang telah memberikan dorongan dan motivasi serta petunjuk yang bermanfaat bagi peneliti selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga Peneliti haturkan kepada : 1. Rektor universitas Gadjah Mada dan Direktur Sekolah Pascasarjana beserta seluruh staf dan karyawan sekolah pascasarjana Universitas Gadjah Mada; 2. Prof. Dr. H. Totok Gunawan, M.S. selaku Ketua Pengelola Program Studi Magister Pengelolaan Lingkungan Jurusan Antar Bidang beserta staf administrasi atas segala dukungan serta sarana dan prasarana yang disediakan; 3. Bapak Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat cq. Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kalimantan Barat yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta;
iv
4. Bapak Ir. Fairus Mulia selaku Direktur Utama PT. Kandelia Alam yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di areal kerja perusahaannya, terima kasih juga kepada Bapak Ir. Gunawan, Ir. Taju Solihin, Tji Seng beserta jajarannya atas bantuan yang telah diberikan selama melakukan penelitian ini; 5. Istriku tercinta Widya Desrivinda serta anak-anakku Rizky Tirta Manggala, Tubagus Mahardhika, dan Cantya Zamzabella yang tetap sabar walaupun terpisah selama peneliti mengikuti pendidikan dan melaksanakan penelitian ini, mereka senantiasa memberikan dukungan dan doa untuk menyelesaikan penelitian tesis ini; 6. Rekan-rekan kerja khususnya Aripin, Dewi Surya, dan Bambang Ps atas segala bantuan untuk mendukung kelancaran studi dan penelitian tesis ini; 7. Rekan-rekan mahasiswa Progam Magister Pengelolaan Lingkungan, terutama Kumy Romeon, Iman Abdullah, Galih Tectona, Fian Fitri, dan Selma Sasmita atas bantuan dan motivasi yang telah mereka berikan. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan. Namun demikian peneliti berharap, bahwa tesis ini bisa bermanfaat bagi semua pihak. Yogyakarta,
Desember 2009 Peneliti
v
THE STUDY OF LANDCOVER CHANGES IN 1989-2006 BASED ON LANDSAT IMAGERY IN MUARA KUBU MANGROVE FOREST (Case in Kubu Village, Kubu Subdistrict, Kubu Raya District, West Kalimantan Province) By : Hendarto 1 , Hartono 2 , Suharyadi 3
ABSTRACT The Muara Kubu Mangrove forest is located in Kubu sub-district, Kubu Raya district, West Kalimantan Province. This forest were harvesting for pulp and charcoal industry needs. The mangrove species that can be found in this area are Rhizopora apiculata, Bruguiera gimnorrhiza, Br. parviflora, and Xyloparcapus granatum. Among of the mangrove genus, which most commercial and target of cutting mangrove are Rhizopora and Bruguiera. The aim of this research are : (1) to inventory of mangrove landcover between 1989 to 2006 with visual interpretation of Landsat imagery on 1:50.000 scale; (2) to study the spatial distribution and mangrove zoning; (3) to examine the pattern of mangrove landcover changes, which occur between 1989-2006. The research method are (1) visual interpretation of Landsat imagery to determine landcover classification of mangrove forest; (2) field survey with square sample to find out the structure and composition of mangrove vegetation. In between 1989 and 2006 should be the result, landcover was dominated by Rhizopora and consist of species Rhizopora apiculata and Bruguiera gimnorrhiza. A species which has main role in mangrove formation is Rhizopora apiculata with significant value in every growth levels are pancang, poles, little trees, and big trees; (3) horizontal transect analysis on maps of landcover change. There are few species found in the research area, so the variety of species is low. Nypa fruticans were growth in periphery research areas, and Rhizopora apiculata and Bruguiera gimnorrhiza were in inside. The largest landcover change is in baresoil class after that become Rhizopora class. Nipah class coverages were increased continuously during 1989-2006. The pattern of landcover changes are, changes from : Rhizophora to baresoil; Rhizophora to nipah; baresoil to Rhizophora; baresoil to nipah; and nipah to baresoil. Keywords : landcover change, mangrove, Rhizophora 1
Mahasiswa Magister Pengelolaan Lingkungan Pascasarjana UGM 2007/2008 Dosen Pembimbing I 3 Dosen Pembimbing II 2
KAJIAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN TAHUN 1989-2006 PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE MUARA KUBU BERDASARKAN CITRA LANDSAT (Kasus di Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat) Oleh : Hendarto , Hartono 2 , Suharyadi 3 1
INTISARI Hutan mangrove Muara Kubu terdapat di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Pada kawasan ini sudah sejak lama dilakukan eksploitasi mangrove berupa pembalakan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pulp dan arang. Jenis pohon mangrove yang terdapat dalam kawasan ini adalah Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Br. Parviflora, dan Xylocarpus granatum. Dari keempat jenis tersebut yang termasuk jenis komersial dan jadi sasaran penebangan adalah genera Rhizophora dan Bruguiera. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) inventarisasi kondisi penutupan lahan hutan mangrove pada tahun 1989-2006 melalui interpretasi visual citra Landsat dengan skala 1 : 50.000; (2) mempelajari sebaran spasial dan zonasi vegetasi mangrove di lokasi kajian; dan (3) mengkaji pola perubahan penutupan lahan hutan mangrove yang terjadi antara tahun 1989 sampai dengan 2006. Metode yang digunakan adalah : (1) analisis visual citra Landsat untuk menentukan kelas penutupan lahan hutan mangrove; (2) survey lapangan dengan metode sample kuadrat untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi mangrove; dan (3) analisis transek horisontal pada peta perubahan penutupan lahan. Penutupan lahan yang paling dominan dari tahun 1989-2006 adalah kelas Rhizophora dengan komposisi jenis penyusun vegetasi yaitu Rhizophopra apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Jenis yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan vegetasi mangrove adalah Rhizophora apiculata dengan nilai penting tertinggi pada semua tingkat pertumbuhan, yaitu tingkat pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar. Keanekaragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan sangat rendah, karena sedikitnya jumlah jenis yang terdapat di lokasi penelitian. Daerahdaerah pinggiran lokasi penelitian pada umumnya ditumbuhi oleh Nypa fruticans, sedangkan bagian dalam ditumbuhi oleh Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Perubahan penutupan lahan paling besar adalah kelas Lahan Terbuka, pada umumnya berubah menjadi kelas Rhizophora. Kelas Nipah mengalami peningkatan luas terus menerus selama periode 1989-2006. Pola perubahan penutupan lahan yang terdeteksi adalah perubahan dari : Rhizophora menjadi Lahan Terbuka; Rhizophora menjadi Nipah; Lahan Terbuka menjadi Rhizophora; Lahan Terbuka menjadi Nipah; dan Nipah menjadi Lahan Terbuka. Kata kunci: perubahan penutupan lahan, mangrove, Rhizophora 1
Mahasiswa Magister Pengelolaan Lingkungan Pascasarjana UGM 2007/2008 Dosen Pembimbing Utama 3 Dosen Pembimbing Pendamping 2
vi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv INTISARI.................................................................................................................... vi DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ....................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................. 5 1.3. Keaslian Penelitian.................................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7 1.5. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 9 2.1. Telaah Pustaka .......................................................................................... 9 2.1.1. Deteksi Perubahan........................................................................ 9 2.1.2. Penutupan Lahan ........................................................................ 10 2.1.3. Ekosistem Mangrove.................................................................. 13 2.1.4. Citra Landsat .............................................................................. 20 2.2. Penelitian Sebelumnya ............................................................................ 22 2.3. Kerangka Pemikiran................................................................................ 26 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ 29 3.1. Bahan dan Peralatan................................................................................ 29 3.2. Cara Pengumpulan Data ......................................................................... 30 3.3. Jalan Penelitian ....................................................................................... 31 3.3.1. Pengolahan Citra Landsat .......................................................... 31 3.3.2. Pengambilan Data Lapangan...................................................... 39 3.3.3. Analisis Data .............................................................................. 45 3.3.4. Zonasi Hutan Mangrove............................................................. 48 BAB IV KEADAAN UMUM LINGKUNGAN LOKASI PENELITIAN ................ 49 4.1. Letak Lokasi............................................................................................ 49 4.2. Status Fungsi dan Penggunaan Kawasan ................................................ 51 4.3. Iklim ........................................................................................................ 53 4.4. Batuan ..................................................................................................... 55 4.5. Hidrologi ................................................................................................. 59 vii
4.6. Flora dan Fauna....................................................................................... 63 4.7. Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................................... 65 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 69 5.1. Klasifikasi Penutupan Lahan .................................................................. 69 5.1.1. Reklasifikasi Penutupan Lahan Hutan Mangrove ...................... 70 5.1.2. Komparasi Citra Landsat dengan Foto Lapangan ...................... 73 5.2. Kondisi Penutupan Lahan ....................................................................... 79 5.2.1. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 1989 ...................................... 79 5.2.2. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 2002 ...................................... 82 5.2.3. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 2006 ...................................... 85 5.3. Kondisi Vegetasi Mangrove ................................................................... 88 5.3.1. Kerapatan ................................................................................... 89 5.3.2. Frekuensi .................................................................................... 94 5.3.3. Dominansi ................................................................................ 100 5.3.4. Nilai Penting ............................................................................ 105 5.3.5. Keanekaragaman ...................................................................... 110 5.4. Perubahan Penutupan Lahan ................................................................. 114 5.4.1. Analisis Perubahan Penutupan Lahan ...................................... 114 5.4.2. Analisis Pola Perubahan Penutupan Lahan .............................. 131 5.5. Zonasi Hutan Mangrove ....................................................................... 138 5.6. Strategi Pengelolaan Lingkungan ......................................................... 139 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 145 6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 145 6.2. Saran ..................................................................................................... 146 RINGKASAN .......................................................................................................... 148 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 168 LAMPIRAN-LAMPIRAN....................................................................................... 172
viii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilaksanakan ..................................................................................... 8
Tabel 2.
Satelit Landsat, Periode Operasional dan Instrumennya......................... 20
Tabel 3.
Curah Hujan Rata-rata Bulanan .............................................................. 54
Tabel 4.
Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt-Ferguson ........................................ 55
Tabel 5.
Struktur Penduduk Desa Kubu Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin .......................................................................................... 66
Tabel 6.
Hasil Reklasifikasi Penutupan Lahan Hutan Mangrove ......................... 73
Tabel 7.
Kondisi Penutupan Lahan pada Tahun 1989 .......................................... 79
Tabel 8.
Kondisi Penutupan Lahan pada Tahun 2002 .......................................... 82
Tabel 9.
Kondisi Penutupan Lahan pada Tahun 2006 .......................................... 85
Tabel 10. Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Pancang ............................. 89 Tabel 11. Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Tiang ................................. 91 Tabel 12. Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Pohon Kecil ...................... 92 Tabel 13. Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Pohon Besar ..................... 93 Tabel 14. Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Pancang ............................. 95 Tabel 15. Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Tiang.................................. 96 Tabel 16. Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Pohon Kecil ....................... 97 Tabel 17. Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Pohon Besar....................... 99 Tabel 18. Nilai Dominansi Species Mangrove Tingkat Tiang .............................. 101 Tabel 19. Nilai Dominansi Species Mangrove Tingkat Pohon Kecil ................... 102 Tabel 20. Nilai Dominansi Species Mangrove Tingkat Pohon Besar ................... 104 Tabel 21. Kelas Dominansi Vegetasi .................................................................... 105 Tabel 22. Nilai Penting Species Mangrove Tingkat Pancang ............................... 106 Tabel 23. Nilai Keanekaragaman Species Vegetasi Mangrove ............................ 111 Tabel 24. Perubahan Penutupan Lahan Periode 1989-2002 ................................. 115 ix
Tabel 25. Matrik Perubahan Kelas Penutupan Lahan Periode 1989-2002 ........... 116 Tabel 26. Kondisi Vegetasi pada Kelas Penutupan Lahan Terbuka Tahun 1989 ....................................................................................................... 123 Tabel 27. Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002-2006 ................................. 124 Tabel 28. Matrik Perubahan Penutupan Lahan Periode Tahun 2002-2006 .......... 125 Tabel 29. Kondisi Vegetasi pada Kelas Penutupan Lahan Terbuka Tahun 2002 ....................................................................................................... 130
x
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ......................................................... 28 Gambar 2. Hasil Layer-stacking Citra Landsat ......................................................... 32 Gambar 3. Komparasi Tampilan Citra Landsat Komposit RGB/543 Sebelum dan Sesudah Penajaman ........................................................... 36 Gambar 4. Digitasi Penutupan Lahan ....................................................................... 37 Gambar 5. Hasil Digitasi Penutupan Lahan .............................................................. 37 Gambar 6. Sistimatika Klasifikasi Penafsiran Citra Landsat .................................... 38 Gambar 7. Desain Plot Contoh dengan 4 Sub-plot ................................................... 44 Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian ............................................................................. 50 Gambar 9. Peta Status Fungsi Kawasan Berdasarkan Penunjukan Kawasan dan Perairan Tahun 2000 ........................................................................ 52 Gambar 10. Peta Kondisi Fisik Air ............................................................................. 64 Gambar 11. Dapur Arang di Gunung Terjun, Desa Kubu. ......................................... 67 Gambar 12. Peta Sebaran Plot Contoh ........................................................................ 70 Gambar 13. Kenampakan Rhizophora pada Citra dan Foto Lapangan....................... 74 Gambar 14. Kenampakan Nipah pada Citra dan Foto Lapangan ............................... 75 Gambar 15. Kenampakan Belukar pada Citra dan Foto Lapangan............................. 76 Gambar 16. Kenampakan Hutan Lahan Kering pada Citra dan Foto Lapangan ................................................................................................. 77 Gambar 17. Kenampakan Tambak pada Citra dan Foto Lapangan ............................ 77 Gambar 18. Kenampakan Lahan Terbuka pada Citra dan Foto Lapangan ................. 78 Gambar 19. Peta Penutupan Lahan Tahun 1989 ......................................................... 80 Gambar 20. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 ......................................................... 83 Gambar 21. Peta Penutupan Lahan Tahun 2006 ......................................................... 86 Gambar 22. Grafik INP Jenis Mangrove pada setiap Tingkat Pertumbuhan ............ 110 Gambar 23. Keanekaragaman Jenis Mangrove Pada Setiap Tingkat Pertumbuhan ......................................................................................... 113 xi
Gambar 24. Perbandingan Penutupan Lahan Tahun 1989, 2002 dan 2006 .............. 114 Gambar 25. Peta Perubahan Kelas Penutupan Lahan Rhizophora 1989-2002 ......... 118 Gambar 26. Proses Penyebaran Nipah ...................................................................... 120 Gambar 27. Kondisi Vegetasi pada Bekas Lahan Terbuka Tahun 1989 .................. 122 Gambar 28. Peta Perubahan Kelas Penutupan Lahan Rhizophora 2002-2006 ......... 126 Gambar 29. Lokasi Penebangan Rhizophora oleh Masyarakat ................................ 127 Gambar 30. Transek untuk Profil Melintang Peta Penutupan Lahan ....................... 132 Gambar 31. Posisi Transek pada Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 1989-2002 ............................................................................................. 133 Gambar 32. Posisi Transek pada Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002-2006 ............................................................................................. 133 Gambar 33. Profil Melintang Perubahan Penutupan Lahan pada Transek A-B ....... 134 Gambar 34. Profil Melintang Perubahan Penutupan Lahan pada Transek C-D ....... 135 Gambar 35. Profil Melintang Perubahan Penutupan Lahan pada Transek E-F ........ 136 Gambar 36. Proses Pergantian Jenis dari Rhizophora menjadi Nipah...................... 137
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut, banyak dijumpai di pantai yang landai dan terlindung dari gempuran ombak, tumbuh optimal di pantai yang memiliki muara sungai besar yang alirannya banyak mengandung lumpur, tetapi sulit atau bahkan tidak dapat tumbuh di wilayah pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus yang kuat karena tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Menurut Bird dan Ongkosono (1980) ekosistem pesisir selalu mengalami perubahan antara komponen darat, laut, dan iklim yang saling berinteraksi secara teratur. Proses perubahan akan selalu
meningkat
sejalan
dengan
bertambahnya
aktivitas
manusia
dalam
memanfaatkan sumberdaya alam, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keseimbangan proses yang terjadi secara alamiah. Perubahan ini akan membawa dampak positif maupun negatif bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut, sehingga keberadaannya mempunyai arti yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai biota laut, sebagai habitat satwa burung, reptilia, dan serangga. Perakaran mangrove yang kokoh memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang dan arus sehingga dapat menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi. Manfaat 1
lain dari hutan mangrove adalah sebagai sumber kayu bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, bahan baku kertas, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, dan bahan baku pewarna kulit. Dengan demikian hutan mangrove sangat bermanfaat, baik secara ekologis maupun ekonomis (Amran, 1999). Pemanfaatan hutan mangrove akhir-akhir ini semakin hari semakin memprihatinkan, terutama akibat adanya pembebasan lahan dan pengambilan kayu. Dari hasil berbagai penelitian dan pemantauan terhadap hutan mangrove terlihat kecenderungan telah terjadi perusakan dan penebangan yang tidak seimbang serta tidak memerhatikan kaidah pelestarian sumberdaya itu sendiri. Kerusakan-kerusakan hutan mangrove yang tidak terkendali ini akan menyebabkan hilangnya ekosistem serta fungsi hutan mangrove itu sendiri (Bujang et al, 1998). Kerusakan ekosistem mangrove pada suatu kawasan terutama di berbagai wilayah pesisir pantai sudah cukup serius, hal ini dapat terlihat dari jumlah luas hutan mangrove di Indonesia, negara yang mempunyai hutan mangrove terluas di Asia (dan di dunia), dengan luas hampir separuh total luas mangrove Asia. Hutan mangrove di Indonesia tersebar dari pesisir timur pulau Sumatra, pesisir pulau Kalimantan, pesisir selatan pulau Sulawesi, pesisir pulau Maluku, sampai pesisir selatan pulau Irian, menurut hasil Inventarisasi Hutan Nasional (Ditjen Intag Dephut, 1993) diperkirakan tinggal 3,74 juta hektar dari luas yang diperkirakan FAO (1982) sebesar 4,25 juta hektar (Alikodra, 1998). Menurut (FAO, 2007) mangrove yang hilang di Indonesia pada kurun waktu 1980-1990 dari total luas 4,2 juta Ha menjadi 3,5 juta Ha atau terjadi pengurangan rata-rata 70 ribu Ha per tahun, pada tahun 2000 tersisa 3,15 juta Ha atau terjadi pengurangan rata-rata 35 ribu Ha per tahun, dan pada tahun 2005 tersisa 2,9 juta Ha atau terjadi pengurangan rata-rata 50 ribu Ha per 2
tahun. Berkurangnya luas hutan mangrove tersebut antara lain disebabkan oleh eksploitasi berlebihan serta perubahan fungsi lahan menjadi tambak, sawah, dan pemukiman. Luas hutan mangrove di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan hasil penafsiran Tim Fakultas Kehutanan IPB (1999) dan RTRW Provinsi Kalimantan Barat adalah 472.365,80 Ha dimana sebagian besar yakni seluas 328.905,05 Ha (69,63%) terletak di luar kawasan hutan dan seluas 143.460,75 Ha (30,37%) terletak di dalam kawasan hutan. Ekosistem tersebut tersebar di sepanjang pantai dari utara sampai ke selatan, meliputi wilayah Kabupaten Sambas seluas 183.777,68 Ha (38,91%), Kabupaten Pontianak seluas 178.845,14 Ha (37,86%) dan Kabupaten Ketapang seluas 109.742,98 Ha (23,23%). Berdasarkan laporan akhir Bappeda Provinsi Kalimantan Barat (2002) bahwa kawasan ekosistem mangrove Muara Kubu terletak di Kabupaten Pontianak merupakan salah satu kawasan mangrove yang memiliki luas relatif besar jika dibanding dengan kawasan lainnya di Kalimantan Barat dengan luas total 43.620 Ha (9,23% dari total mangrove Provinsi Kalimantan Barat). Keberadaan hutan mangrove Batu Ampar menjadi penting dalam menjaga kelangsungan populasi biota perairan dan meningkatkan kualitas lingkungan karena berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan, kawasan yang terdapat didalamnya 12% mangrove dunia, yang saat ini terus mengalami penurunan kualitas perairan dan produktivitas perikanan akibat over fishing, polusi, dan konversi ekosistem mangrove untuk peruntukan lainnya (Santoso dan Siregar, 2006) Hutan mangrove di Desa Kubu merupakan bagian dari hutan mangrove Batu Ampar mempunyai luas lebih kurang 18.500 Ha sebagian besar masuk ke dalam 3
areal eksploitasi perusahaan HPH sejak awal tahun 1970-an hingga tahun 2002, sehingga dapat dipastikan terjadi perubahan penutupan lahan hutan mangrove akibat dari adanya kegiatan eksplotasi tersebut. Pasca berakhirnya perijinan HPH pun kawasan hutan mangrove ini tidak luput dari berbagai ancaman akibat adanya kegiatan konversi, illegal logging, dan penebangan untuk kebutuhan bahan baku chip maupun arang. Perkembangan perubahan hutan mangrove terekam dalam bentuk data penginderaan jauh, yaitu citra Landsat, namun data yang tersedia pada lokasi penelitian yaitu mulai liputan tahun 1989 sampai dengan 2006 dan tidak setiap tahun ada liputannya. Dalam kaitan dengan penebangan hutan mangrove, Miyabara (1984 dalam Atmawijaya, 1998) menerangkan bahwa penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan rumah tangga (kayu untuk bangunan dan kayu bakar) dan penebangan pohon mangrove untuk ekspor kayu dan chip yang tidak terkendali telah mengubah ekosistem mangrove secara luas di banyak daerah. Kegiatan yang tidak terkendali ini selain merusak habitat yang sangat penting untuk perikanan laut, kegiatan ini juga menyebabkan berubahnya vegetasi. Daerah-daerah yang terdegradasi cenderung untuk dikolonisasi oleh jenis-jenis pohon seperti nipah (Nypa fruticans) atau Avicennia yang menghasilkan kayu yang mutunya lebih rendah (inferior) daripada jenis pohon lain. Kajian ini mempelajari perubahan penutupan lahan hutan mangrove di lokasi kajian yang diakibatkan oleh adanya kegiatan pemanfaatan hutan mangrove dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2006. Kajian dilakukan dengan cara interpretasi visual citra satelit liputan tahun 1989, 2002, dan 2006, sedangkan peta topografi skala 1 : 50.000 buatan tahun 1972 digunakan sebagai peta dasar. 4
Kajian ini penting untuk dilakukan untuk mengetahui perkembangan penutupan lahan hutan mangrove selama kurun waktu 1989 sampai dengan 2006, sekaligus mengetahui faktor-faktor yang yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan hutan mangrove di lokasi kajian, dan juga dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang selama ini telah berjalan di lokasi kajian sehingga dapat dijadikan acuan untuk kebijakan pengelolaan hutan mangrove di masa yang akan datang. 1.2. Perumusan Masalah Keberadaan hutan mangrove Muara Kubu yang merupakan bagian dari kawasan mangrove Batu Ampar menjadi sangat penting karena mempunyai kontribusi langsung dalam menjaga kualitas perairan dan keseimbangan biota laut di kawasan tersebut bahkan secara regional sampai ke Laut Cina Selatan. Seiring dengan perkembangan jaman dari waktu ke waktu dimana populasi manusia semakin meningkat maka tekanan terhadap hutan mangrove pun semakin tinggi, sehingga keberadaan dan kelestarian hutan mangrove semakin terancam. Permasalahan utama yang terjadi pada kawasan hutan mangrove Muara Kubu adalah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berupa degradasi hutan maupun deforestasi sebagai akibat dari adanya kegiatan penebangan mangrove untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku chip dan arang bakau, selain itu terdapat juga konversi lahan menjadi tambak. Kegiatan penebangan yang tidak terkendali akan menyebabkan degradasi hutan mangrove yang cukup berat sehingga dikhawatirkan terjadi perubahan berupa penurunan luas dan pergatian komposisi jenis penyusun vegetasi. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat tercatat ada 5
dua perijinan yang melakukan konsesi untuk pengambilan kayu mangrove yaitu PT. Kalimantan Sari dengan SK HPH No. 219/Kpts/Um/6/1969 tanggal 19 Juni 1969 luas areal 229.000 Ha, ijin HPH ini berakhir pada tanggal 19 Juni 1989 dengan SK Pencabutan No. 566/Kpts-II/1990 tanggal 2 Oktober 1990 (Anonimous, 2005). Pasca pencabutan, areal eks-HPH tersebut selanjutnya dikelola oleh PT. Inhutani II dari tahun 1995-2002 dengan konsentrasi eksploitasi mangrove untuk pulp. Kerusakan ekosistem mangrove berupa perubahan penutupan lahan hutan mangrove terjadi akibat kegiatan penebangan mangrove yang dilakukan selama masa konsesi. Setelah masa konsesi berakhir, perubahan penutupan lahan hutan mangrove tidak serta merta berakhir saat itu juga, karena justru dengan status ‘areal tidak bertuan’ kawasan hutan ini menjadi areal yang open-access sehingga dengan mudah bagi berbagai pihak untuk melakukan kegiatan, terutama pengambilan kayu mangrove. Berdasarkan permasalahan seperti dikemukakan di atas, perumusan masalah dalam penelitian yang dilakukan pada kawasan hutan mangrove Muara Kubu yang terletak di Desa Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, adalah : 1. Bagaimana kondisi penutupan lahan hutan mangrove di lokasi kajian pada tahun 1989, 2002, dan 2006? 2. Bagaimana sebaran hutan mangrove dan komposisi jenis penyusun vegetasinya? 3. Seberapa besar perubahan penutupan lahan hutan mangrove yang terjadi antara tahun 1989-2002 dan 2002-2006?
6
1.3. Keaslian Penelitian Banyak sekali penelitian-penelitian yang mengambil tema tentang mangrove, baik itu yang disajikan berupa tesis maupun jurnal-jurnal. Untuk mengetahui keaslian dari penelitian ini maka dilakukan pencarian dan pengecekan terhadap penelitianpenelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Adapun beberapa penelitian untuk tesis yang sudah dilakukan dan memiliki kedekatan atau keterkaitan dengan penelitian yang
dilaksanakan, baik dari aspek lokasi maupun cara penelitian, diantaranya
seperti dapat dilihat pada Tabel 1. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan dan informasi bagi pemerintah mengenai perkembangan dan kondisi aktual hutan mangrove yang ada di wilayahnya sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai acuan bagi penelitian berikutnya yang berkaitan dengan perubahan penutupan lahan hutan mangrove. 1.5. Tujuan Penelitian 1. Inventarisasi kondisi penutupan lahan hutan mangrove pada tahun 1989-2006 melalui interpretasi visual citra Landsat dengan skala 1 : 50.000. 2. Mempelajari sebaran spasial dan zonasi vegetasi mangrove di lokasi kajian. 3. Mengkaji pola perubahan penutupan lahan hutan mangrove yang terjadi antara tahun 1989 sampai dengan 2006.
7
Tabel 1.
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilaksanakan
No
Peneliti
Judul
Tujuan
Metode
Hasil
1.
Fahrizal (1995)
Pengaruh Sistem Silvikultur Seed Tree Method terhadap Asosiasi dan Sebaran Diameter Mangrove di Areal HPH PT. Pelita Rimba Alam.
Mengetahui komposisi jenis penyusun, dominansi, asosiasi, dan sebaran diameter tumbuhan mangrove.
Pengamatan lapangan dengan jalur transek
Komposisi jenis penyusun didominasi oleh Rhizophora mucronata, R. conjugata, Bruguiera parviflora, dan B. gymnorrhiza.
2.
Akbar (2005)
Pengaruh Kerusakan Ekosistem Mangrove terhadap Sosial Ekonomi Nelayan Pesisir Kalbar.
Mempelajari struktur dan kondisi hutan mangrove, kualitas tanah dan air di lokasi kajian, kondisi sosek nelayan, dan pengaruh ekosistem mangrove terhadap abrasi pantai.
Analisis plot kuadrat
Mangrove terbaik di Peniti Luar, namun kehadiran herba mangrove sebagai bioindikator kerusakan pada ekosistem mangrove tersebut. Pengaruh ekosistem mangrove menunjukkan korelasi positif thdp berat basah tangkapan perikanan.
3.
Keremata (2003)
Kajian Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Letekonda Kabupaten Sumba Barat NTT
Mengetahui karakteristik fisik dan biotik hutan mangrove, serta karakteristik sosial masyarakat.
Pengamatan lapangan dengan jalur transek
Kondisi fisik mendukung untuk pertumbuhan mangrove, terdapat tiga jenis tumbuhan penyusun hutan mangrove.
4.
Hendarto (2009)
Kajian Perubahan Penutupan Lahan Tahun 1989-2006 pada Kawasan Hutan Mangrove Muara Kubu berdasarkan citra Landsat, kasus di Desa Kubu Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat
Mengetahui kondisi penutupan lahan hutan mangrove tahun 1989, 2002, dan 2006 serta perubahan yang terjadi selama kurun waktu 19892006.
Analisis visual citra Landsat, Survey Lapangan dengan metode Plot Kuadrat, dan Analisis Transek Horisontal
Jenis penyusun didominasi oleh Rhizophora apiculata pada semua tingkat pertumbuhan. Perubahan penutupan lahan terbesar dari Lahan Terbuka menjadi vegetasi Rhizophora.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telaah Pustaka 2.1.1. Deteksi Perubahan Yang dimaksud dengan deteksi perubahan pada sistem informasi geografis adalah suatu proses yang mengukur perubahan atribut suatu area tertentu antara dua periode
atau
lebih.
Deteksi
perubahan
biasanya
dilakukan
dengan
cara
membandingkan foto udara atau citra satelit suatu wilayah pada waktu yang berbeda. Menurut Paryono (2003), teknik-teknik untuk mendeteksi perubahan secara digital telah banyak dikembangkan dan digunakan secara operasional, antara lain tumpang-susun citra (image overlay), pembedaan citra (image differencing), penisbahan citra (image rationing), Analisis Komponen Utama (principal componen analysis – PCA), komparasi klasifikasi (classification comparison), dan Analisis Perubahan Vektor (vector change analysis – VCA). Tumpang-susun citra merupakan suatu cara termudah untuk menghasilkan suatu citra perubahan dengan membandingkan saluran-tunggal data dari dua tanggal perekaman yang berlainan. Teknik ini juga dikenal sebagai citra beda merah-hijau (red green different image). Sebagai contoh, saluran 3 Landsat t1 ditempatkan pada saluran merah (red gun) dan saluran 3 tanggal t2 ditempatkan pada saluran hijau (green gun). Pada citra perubahan yang dihasilkan, obyek-obyek yang berubah dan tidak berubah akan dapat dikenali lewat kombinasi warna yang terbentuk (Sunar, 1996).
9
Deteksi perubahan dengan teknik analisis perubahan vektor dilakukan dengan cara mengubah data raster ke dalam bentuk vektor, diantaranya dengan cara digitasi pada layar komputer. Hartono dan Danudoro (2004) melakukan deteksi perubahan dengan cara interpretasi visual citra pada layar monitor komputer berdasarkan hasil olahan citra digital multispektral, dalam hal ini fiture yang tampak pada layar langsung didelineasi sesuai dengan parameter perubahan penutupan lahan dan penggunaan lahan sehingga menghasilkan data digital penutupan lahan dan penggunaan lahan dalam format vektor. 2.1.2. Penutupan Lahan Penutupan lahan (land cover) merupakan semua kenampakan fisik dan biologis yang menutupi lahan seperti vegetasi atau unsur-unsur buatan manusia (CFS, 2003), sedangkan menurut Comber et al (2005) penutupan lahan adalah material fisik di permukaan bumi, termasuk didalamnya rumput, aspal, pepohonan, tanah terbuka, air, dan lain-lain. Ada dua metode utama untuk memperoleh informasi tentang penutupan lahan yaitu survey lapangan dan analisis citra penginderaan jauh. 1.
Kerusakan Hutan Mangrove Gangguan terhadap hutan mangrove yang sering terjadi di berbagai tempat
pada umumnya disebabkan oleh perombakan hutan dan penebangan secara liar, pelanggaran pelaksanaan pengusahaan dan sedimentasi. Sebagai dampak dari penebangan liar adalah tegakan hutan mangrove menjadi berkurang atau lahan menjadi terbuka sehingga dapat menimbulkan perubahan terhadap penyinaran, temperatur, kelembaban, dan perubahan terhadap keadaan lingkungan lain. Menurut Hamzah (1988) hutan mangrove yang tersisa itu dapat digolongkan menjadi empat 10
yaitu : (1) Hutan mangrove normal yaitu hutan mangrove dimana susunan tegakan dan zonasinya masih lengkap; (2) Hutan mangrove rusak yaitu hutan mangrove yang masih didapatkan tegakan-tegakan induk yang terpencar-pencar; (3) Hutan mangrove devastasi yaitu hutan yang jenis-jenis penyusunnya sudah punah dan hanya tinggal jenis semak (Acrostichum, Achantus, dll); dan (4) Hutan mangrove konversi yaitu hutan yang diubah untuk keperluan pertanian, pertambakan, pemukiman, dan industri. 2.
Zonasi Hutan Mangrove Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang saling
mempengaruhi, baik di dalam maupun di luar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut dengan nama jenis-jenis vegetasi yang mendominasi (Arief, 2003). Watson (1928) mengemukakan adanya korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air. Korelasi tersebut menghasilkan lima klasifikasi genangan air pasang berdasarkan sifat-sifat pasang suatu tempat, yaitu : 1. Kelas I : Tempat digenangi oleh setiap air pasang (all high tide), genangan per bulan terjadi 56-62 kali. Pada tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup kecuali bakau (Rhizopora mucronata) yang tumbuh di tepi sungai. 2. Kelas II : Tempat digenangi oleh air pasang agak besar (medium high tide), genangan per bulan terjadi 45-56 kali. Pada tempat seperti ini tumbuh jenis Avicennia dan Sonneratia. Pada tempat yang berbatasan dengan sungai didominasi oleh bakau (R. apiculata). 11
3. Kelas III : Tempat digenangi oleh air pasang rata-rata (normal high tides), genangan per bulan terjadi 20-45 kali. Tempat ini mencakup sebagian besar hutan bakau yang ditumbuhi oleh R. mucronata, R. apiculata, Ceriops tagal, dan Bruguiera parviflora. 4. Kelas IV : Tempat digenangi oleh air pasang perbani (spring tide), genangan per bulan terjadi 2-20 kali. Pada tempat seperti ini Rhizopora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras B. cylindrical membentuk tegakan murni sedangkan di tempat dengan drainase lebih baik tumbuh B. parviflora terkadang B. sexangulata. 5. Kelas V : Tempat kadang-kadang digenangi oleh air pasang (exceptional or eguenoctial tides), genangan per bulan kurang dari 2 kali. Pada tempat seperti ini B. gymnorrhiza berkembang dengan baik bersama-sama dengan pakis, kadangkadang dengan R. apiculata. Ke arah darat sering ditumbuhi oleh tegakan Oncosperma filementosa. Mall et. al. (1982) menyebutkan tiga zona yang terdapat pada kawasan mangrove, yang disebabkan oleh terjadinya perbedaan penggenangan yang juga berakibat pada salinitas, yaitu (1) zona proksimal, yaitu kawasan yang terdekat dengan laut. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Sonneratia alba. (2) zona midle, yaitu kawasan yang terletak diantara laut dan darat. Pada zona ini bisanya ditemukan jenis-jenis S. caseolaris, R. alba, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, A. officinalis, dan Ceriops tagal. (3) zona distal, yaitu kawasan yang terjauh dari laut. Pada zona ini biasanya ditemukan jenis-jenis Heritiera littoralis, Pongamia, Pandanus spp, dan Hibiscus tiliaceus. 12
Nybakken (1992) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove (zona vegetasi) yaitu: (a) tipe tanah keras atau lunak, berpasir atau berlumpur; (b) salinitas yang berkaitan dengan frekwensi dan lama penggenangan; dan (c) ketahanan terhadap arus dan ombak. Bengen (2001) mengatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di hutan mangrove adalah sifat tanah (keadaan mineralogi dan fisik). Berikut adalah salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia. (1) Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp, pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. (2) Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp, pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. (3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. (4) Zona transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh tumbuhan Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya. 2.1.3. Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut (Anonimous, 1978 dalam Mulia, 2000). Menurut Mac Nae (1968, dalam Arief, 2003), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh diantara batas air tertinggi saat air pasang dan batas air terendah sampai diatas rata-rata permukaan laut. Sebenarnya, kata mangrove digunakan untuk menyebut masyarakat tumbuhtumbuhan dari beberapa species yang mempunyai perakaran Pneumatophores dan 13
tumbuhan diantara garis pasang surut, sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang” (Steenis, 1978 dalam Arief, 2003). Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No 60/Kpts/Dj./I/1978, hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang tinggi dan bebas genangan pada waktu pasang rendah. 1.
Lingkungan Tempat Tumbuh Ekosistem hutan bakau dapat dibedakan dalam tiga tipe utama; bentuk
pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna, dan bentuk pulau. Ketiga tipe tersebut terwakili di Pulau Kalimantan dan tempat-tempat lain di Borneo (Ong, 1982 dalam Mackinnon et al, 2000). Ciri-ciri ekologik hutan mangrove menurut Bujang et al (1998) yaitu : (a) Jenis tanahnya berlumpur, berlempung, atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang. (b) Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi mangrove hutan itu sendiri. (c) Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air, atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur. (d) Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt. Persyaratan tumbuh mangrove biasanya di wilayah dengan curah hujan ratarata antara 1.500 – 3.000 mm/tahun (Arksonkoae, 1993). Menurut Saenger et al. (1983) ada beberapa syarat fisikokimia air laut yang diperlukan bagi pertumbuhan mangrove, yaitu : (1) Air pasang yang antara lain berfungsi memasok unsur hara/nutrien bagi pertumbuhannya; (2) Salinitas yaitu tingkat kadar garam NaCl di 14
dalam air laut; (3) Arus permukaan air laut, karena diduga arus permukaan memperkaya pasokan unsur hara dan menjaga keseimbangan kadar oksigen perairan; (4) Suhu air laut antara 27oC – 34oC. Menurut Mahmad (2001) penyebaran alami dari jenis-jenis pohon mangrove umumnya di pantai berdekatan dengan muara-muara sungai, namun komposisi dan jenisnya berbeda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove berkaitan dengan salinitas, lama dan frekuensi penggenangan oleh air laut, dan tekstur tanah. Mackinnon et al (2000) menyatakan bahwa hutan bakau khususnya yang sering tergenang berbeda nyata dengan hutan lahan kering dan sebagian hutan rawa, karena tidak ada tumbuhan pemanjat dan tumbuhan pembentuk vegetasi bawah. Hutan bakau hanya memiliki satu tingkat yaitu pohon-pohon yang tingginya tidak melebihi 25 meter dan vegetasi bawahnya jarang, kecuali pertumbuhan semai baru dari jenisjenis yang sama. Hal ini merupakan akibat penggenangan pasang surut yang teratur dan bukan karena perbedaan toleransi terhadap tanah. 2.
Kondisi Tanah Struktur hutan mangrove adalah sederhana dan hampir semua pohon-pohonnya
tumbuh dalam suatu jenjang tunggal. Epifit pada umumnya langka terjumpai dan semak-semak bawahan hanya kadang-kadang ada dalam hutan mangrove. Susunan flora yang miskin jenis itu menunjukkan bahwa tanah mangrove mempunyai khuluk (nature) yang sangat khas. Hutan mangrove terdiri atas pohon-pohon halofil (suka garam) yang berdaun sklerofil (berkutikula tebal dan kaku) dan berakar khas yang berkesesuaian dengan lingkungan lumpur dan langka udara (Tejoyuwono, 1978). 15
1).
Kadar Garam Kadar garam yang tinggi dalam tanah, ditambah dengan struktur lumpur,
memperburuk watak kelengasan tanah karena tegangan lengas tanah yang meningkat tinggi. Semua ciri-ciri morfologi dan anatomi pohon-pohon mangrove tersebut tidak lain daripada tanggapan fisiogenetik tumbuhan demi pertahanan diri terhadap keadaan lingkungan akar yang serba berat, khususnya dalam segi kelengasan dan kehawaan yang berada pada aras (level) tepian (marginal), bahkan mungkin sudah berada pada aras bawah-tepian (submarginal). Dengan demikian tanah mangrove, dilihat dari segi edafologi umum, termasuk dalam golongan tanah-tanah yang beraras produksi rendah sekali. Ini tidak berarti bahwa potensinya juga harus rendah (Tejoyuwono, 1978). Kadar garam terlarutkan yang tinggi merupakan salah satu persoalan edafologi pada tanah mangrove. Kadar garam terlarutkan secara cepat dapat dihitung atas dasar daya hantar listrik (DHL) ekstrak-jenuh tanah dalam satuan mili-Siemens (mS). Kadar garam yang terlalu tinggi dalam tanah akan sangat mengganggu penyerapan hara dan lengas tanah oleh akar tanaman, karena menimbulkan tegangan lengas tanah yang berlebihan. Tanah garaman juga mempunyai pengaruh kimiawi terhadap pertumbuhan tanaman, salah satunya adalah yang berhubungan dengan kadar borium. Unsur ini bersifat sangat meracun (Tejoyuwono, 1978). 2).
Keasaman (pH) Reaksi tanah adalah sifat keasaman dan kebasaan tanah atau sifat pH tanah
(Mintarjo dkk, 1984). Intensitas keasaman tanah ditunjukkan melalui nilai pH yaitu konsentrasi Hidrogen (H+) dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ dalam tanah 16
maka tanah semakin asam. Di dalam tanah selain ion H+ ditemukan juga ion OHyang jumlahnya berbanding terbalik dengan jumlh ion OH+. Tanah asam banyak mengandung ion H+ yang dapat ditukar sedangkan pada tanah alkalis kaya akan unsur-unsur OH- yang dapat ditukar (Darmawijaya, 1997) Dalam tanah mangrove yang lumpuran (muddy) dan langka udara, terdapat sulfat yang terendapkan dari air laut yang secara berangsur akan mengalami reduksi menjadi sulfida. Proses reduksi ini akan dipercepat oleh ketersediaan bahan organik yang mudah teroksidasikan dalam jumlah banyak, yang dihasilkan oleh masyarakat mangrove. Dalam sedimen-sedimen muda, besi sulfida sering berada dalam bentuk butiran-butiran sangat halus berwarna hitam. Selama berlangsung konsolidasi dan penuaan sedimen, senyawa sulfida tersebut berangsur berubah menjadi sulfida besi kristalin berupa pirit atau markasit, yaitu dua macam mineral dimorfisma dengan rumus kimia umum FeS2. Endapan-endapan sulfida secara berangsur akan mengalami oksidasi menjadi sulfat, sebagian dari ion-ion sulfat ini bereaksi dengan mineral-mineral besi sehingga membentuk mineral jarosit berwarna coklat kekuningan yang mengendap. Endapan ini akan memberikan corak berloreng-loreng coklat kekuningan pada tubuh tanah sehingga sering disebut “cat clay”. Akibat dari adanya ion-ion sulfat bebas dalam jumlah banyak, larutan tanah menjadi masam luar biasa sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat hidup pada tanah ini (Tejoyuwono, 1978). 3).
Bahan Organik Menurut Tejoyuwono (1978) bahwa ada tanda-tanda kuat pH tanah berkorelasi
negatif dengan kadar bahan organik (C-organik). Bahan organik dalam tanah 17
mangrove juga berperan sebagai sumber kemasaman tanah. Dalam suasana anaerob bahan organik mengalami proses perombakan yang kurang sempurna sehingga menghasilkan asam-asam organik, khususnya asam-asam asetat dan butiran beracun. 4).
Tekstur Tekstur tanah merupakan sifat kehalusan atau kekasaran tanah yang berkenaan
dengan perbandingan berat antara fraksi-fraksi tanah (kasar halusnya ukuran butir tanah). Fraksi tanah merupakan kelompok zarah tanah yang berukuran diantara batas-batas tertentu. Menurut Tejoyuwono (1979) pada lahan mangrove Tabunanem – Tanjung Barapun, antara kadar lempung dan pasir ada hubungan yang cukup jelas. Kalau di dalam suatu profil tanah kadar lempung meningkat kea rah atas, kadar pasir meningkat ke arah bawah, dan sebaliknya. Kisaran kadar lempung rata-rata berimbang untuk profil tanpa gambut ialah 21,3 – 76,2%, sedang untuk bergambut 18,7 – 66,6%. Ini merupakan bukti bahwa gambut lebih berhubungan dengan tanahtanah mineral yang bertekstur lebih kasar. Kenyataan ini merupakan suatu keuntungan, karena tanah yang bertekstur lebih kasar lebih memerlukan perbaikan kemampuan dengan bahan organik. 3.
Kondisi Air
1).
Pasang Surut Pasang surut sangat berperan dalam pengangkutan, pertukaran dan penyebaran
unsur hara di ekosistem mangrove. Dengan adanya proses pasang surut ini maka terjadi pula perpindahan akumulasi karbondioksida, sampah organik dan sulfur yang bersifat racun yang mengendap di lantai hutan dan perairan mangrove. Selain itu 18
pasang surut berperan dalam memperbaiki dan menjaga keseimbangan kadar garam tanah serta membantu penyebaran bibit-bibit atau propagule mangrove (FAO, 1994). 2).
Salinitas Air Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988).
Salinitas menggambarkan padatan total didalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg, ppt (part per thousand) atau promil (‰). Nilai salinitas perairan air tawar biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau antara 0,5‰ - 30‰, dan perairan laut 30‰ - 40‰. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40‰ - 80‰. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi, 2003). Secara umum salinitas permukaan laut rata-rata perairan Indonesia berkisar antara 32‰ – 34‰. Mangrove biasanya berada dan tumbuh dengan subur di daerah estuari dengan kisaran salinitas antara 28‰ - 34‰ (Keremata, 2003). 3).
Gelombang dan Arus Gelombang dan arus di daerah mangrove dapat merubah langsung dan tidak
langsung karakteristik struktur dan fungsi dari ekosistem mangrove. Gelombang dan arus memiliki pengaruh langsung pada distribusi dari spesies tanaman. Selain itu gelombang dan aurs juga mempengaruhi kelangsungan hidup organisme akuatik, membawa transport nutrisi yang bermanfaat dari area mangrove ke laut terbuka (Keremata, 2003).
19
4).
Temperatur Air Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi proses fisiologi tumbuhan
yaitu proses fotosintesis dan respirasi. Beberapa spesies mangrove seperti Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20oC, Rhizophora stylosa, Ceriops spp, Excoecaria agallocha dan Lumnitzera spp dapat tumbuh optimal pada suhu antara 26-28oC. Sehingga suhu optimal yang baik untuk pertumbuhan mangrove adalah suhu di daerah tropis yang berkisar antara 20-28oC (Arksonkoae, 1993) 2.1.4. Citra Landsat Perkembangan teknologi dapat memantau perubahan lahan di permukaan bumi dengan cepat dan tepat. Wahana yang paling tepat untuk memantau perubahan lahan yang terjadi di permukaan bumi adalah citra penginderaan jauh satelit. Salah satu satelit sumberdaya yang ada sekarang adalah satelit sumberdaya bumi Landsat (Sutanto, 1987). Satelit Landsat pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama Earth Resources Technology Satellite (ERTS-1). Riwayat singkat satelit Landsat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
Satelit Landsat, Periode Operasional dan Instrumennya
Nama Satelit
Peluncuran
Berakhir
Instrumen
Landsat-1 (ERTS-1)
23 Juli 1972
Januari 1978
RBV, MSS
Landsat-2
22 Januari 1975
Juli 1983
RBV, MSS
Landsat-3
5 Maret 1978
September 1983
RBV, MSS
Landsat-4
16 Juli 1982
Juni 2001
MSS, TM
Landsat-5
1 Maret 1984
-
MSS, TM
Landsat-6
5 Oktober 1993
5 Oktober 1993
ETM
Landsat-7
15 April 1999
-
ETM+
Sumber : NASA (2009)
20
Satelit Landsat berorbit pada ketinggian 705 km, dengan arah orbit dari utara ke selatan, hampir poler, dan sinkron matahari. Ada tiga jenis sensor yang ada pada satelit Landsat yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (Multi Spectral Scanner) dengan resolusi spasial 79m x 79m dan TM (Thematic Mapper) dengan resolusi spasial 30m x 30m (Sabins, 1978 dalam Widagdo, 1995). Landsat-7 mempunyai resolusi temporal 16 hari dan resolusi spasial 30 m x 30 m untuk saluran 1-5 dan 7, 60 m x 60 m untuk saluran 6, dan 15 m x 15 m untuk saluran 8. Pada jalur lintasannya Landsat-7 meliput permukaan bumi sebesar 185 km, sensor yang digunakan yaitu sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus). Karakteristik dan kegunaan dari setiap saluran menurut Sabins (1987) adalah : saluran-1 (biru) berguna untuk membedakan kejernihan air dan juga membedakan antara tanah dengan tanaman; saluran-2 (hijau) berguna untuk mendeteksi tanaman; saluran-3 (merah) berguna untuk membedakan tipe tanaman; saluran-4 (reflected IR) berguna untuk meneliti biomass tanaman, dan membedakan batas tanah-tanaman dan daratan-air; saluran-5 (reflected IR) menunjukkan kandungan air tanaman dan tanah, berguna untuk membedakan tipe tanaman dan kesehatan tanaman, dapat juga digunakan untuk membedakan antara awan, salju, dan es; saluran-6 (thermal IR) berguna untuk mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan kelembaban tanah; dan saluran-7 (reflected IR) berhubungan dengan mineral, rasio saluran-5 dan saluran-7 berguna untuk mendeteksi batuan dan deposit mineral. Saluran-8 (pankromatik) merupakan saluran beresolusi tinggi, berfungsi untuk meningkatkan resolusi citra Landsat saluran 1, 2, 3, 4, 5 dan 7 dari semula 30 meter x 30 meter menjadi 15 meter x 15 meter. 21
2.2. Penelitian Sebelumnya Penelitian untuk mengkaji perubahan penutupan lahan hutan mangrove, baik dengan atau tanpa menggunakan citra landsat, sudah banyak dilakukan. Penelitian terdahulu yang berkaitan erat dengan rencana penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut : Fahrizal (1995) melakukan penelitian yang berkaitan dengan Sistem Silvikultur Seed Tree Method di Areal HPH PT. Pelita Rimba Alam Kalimantan Barat, dengan hasil menunjukkan bahwa komposisi jenis penyusun didominasi oleh Rhizophora mucronata, R. conjugata, Bruguiera parviflora, dan B. gymnorrhiza, yang merupakan jenis penyusun utama mangrove serta jenis-jensi lainnya, yaitu Excoecaria agallocha, Xylocarpus granatum, Hibiscus tiliaceus, C. decandra. Antara jenis-jenis penyusun utama terjadi asosiasi positif yaitu antara R. mucronata dengan R. conjugata, R. mucronata dengan B. gymnorrhiza, R. mucronata dengan B. parviflora, B. gymnorrhiza dengan R. conjugata, dan B. gymnorrhiza dengan B. parviflora. Henki Mainarto (2002) melakukan penelitian tentang zonasi hutan mangrove berdasarkan Citra Landsat TM paduan warna 542. Metode yang dilakukan dengan cara melakukan penyiaman (scanning) hardcopy dari citra Landsat paduan warna 542, kemudian dilakukan interpretasi visual pada layar monitor komputer. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa citra Landsat hasil penyiaman tidak dapat digunakan dengan baik untuk pembedaan dan zonasi vegetasi mangrove. Jadi dari penelitian ini dengan metode klasifikasi multispektral hanya dapat menunjukkan dan membedakan obyek vegetasi mangrove dan obyek non mangrove yang secara karakteristik spektral mempunyai pola dan nilai kecerahan piksel yang berbeda cukup tajam. Peta akhir 22
berupa zonasi vegetasi mangrove hanya bisa didapatkan dengan bantuan data kerja lapangan. Akbar (2005) melakukan penelitian tentang kerusakan ekosistem mangrove di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian difokuskan untuk mempelajari kemelimpahan dan distribusi vegetasi mangrove, perubahan garis pantai, dan dampak kerusakan mangrove terhadap sosial ekonomi nelayan. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan kualitas kehadiran vegetasi mangrove dari yang kondisinya baik sampai rusak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 12 spesies mangrove, terdiri dari 7 spesies pohon, 1 palma, 2 herba, dan 2 paku mangrove. Kehadiran spesies mangrove tersebut tersebar tidak merata di seluruh lokasi kajian. Kondisi mangrove terbaik di Desa Penitiluar dengan densitas spesies pohon dan anak pohon per 1000 m2 sebanyak 186 individu. Akan tetapi meskipun kondisi mangrove Penitiluar ini yang terbaik, kehadiran herba mangrove yaitu Acanthus ilicifolius di lokasi tersebut merupakan bioindikator kerusakan ekosistem mangrove. Pengaruh luas kanopi dan basal area menunjukkan korelasi positif terhadap penurunan lebar abrasi pantai. Pengaruh ekosistem mangrove terlihat positif terhadap berat basah tangkapan perikanan. Ratanasermpong et. al. (2000), melakukan penelitian tentang perubahan penggunaan lahan dari tahun 1973-1998 di Thung Khla, Thailand. Kajian dilakukan dengan cara : (1) Penilaian penggunaan lahan hutan pada tahun 1973, 1987, 1993, dan 1998 berdasarkan penafsiran secara visual terhadap citra satelit dengan skala 1 : 50.000; (2) mengevaluasi luasan penggunaan lahan hutan dan perubahannya menggunakan GIS; dan (3) membuat rencana untuk kelestarian penggunaan lahan hutan dengan tambahan data tematik yang terkait. Analisis dilakukan dengan menggunakan aplikasi GIS vektor yaitu PC Arc/Info, dimana hasilnya dikompilasi 23
dan diekstrak kedalam bentuk file database yaitu : (1) penggunaan lahan dan penutupan lahan tahun 1973,1987, 1993 dan 1998; (2) sebaran hutan tahun 1973, 1987, 1993 dan 1998; dan (3) perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan antara 1987-1993 dan 1993-1998. Kategori penggunaan lahan dan penutupan lahan pada tahun 1987, 1993 dan 1998 diekstraksi secara interpretasi visual dari citra satelit pada skala 1 : 50.000. Kategori yang dihasilkan yaitu (1) agriculture area; (2) builtup area; (3) forest area; (4) water bodies; (5) wasteland; (6) wetland, and (7) shrimp farms. Untuk penggunaan lahan dan penutupan lahan pada tahun 1973 langsung diambil dari hasil interpretasi yang terdapat pada peta topografi pada skala 1: 50.000 yang terdiri dari (1) agriculture area (2) built-up area (3) forest area (4) water bodies (5) wasteland, and (6) wetland. Sebaran hutan dibuat berdasarkan hasil interpretasi visual citra satelit pada skala 1 : 50.000, kawasan hutan diklasifikasikan ke dalam tiga kelas berdasarkan karakteristik dan kenampakan pada citra, yaitu hutan mangrove, hutan evergreen, dan hutan rawa air tawar. Khusus hutan mangrove masih dibedakan lagi ke dalam tiga kelas berdasarkan penutupan tajuk, yaitu mangrove dengan penutupan >75%, 50%-75%, dan <50%. Wang et al (2003) melakukan penelitian tentang perubahan mangrove di Pesisir Tanzania menggunakan citra Landsat liputan antara tahun 1988 dan 1990 serta tahun 2000 sebagai data primer, proyeksi koordinat peta Universal Transverse Mercator (UTM). Penafsiran citra dilakukan secara visual dengan cara digitasi oncomputer-screen, menggunakan software ERDAS Imagine dan ESRI ArcInfo & ArcEditor 8.1. Alasan menggunakan cara penafsiran manual karena mangrove selalu bercampur dengan air disekelilingnya, sehingga ekstraksi visual merupakan cara yang paling akurat untuk mendelineasi vegetasi mangrove. Pasca interpretasi 24
dilakukan pengecekan lapangan dengan bantuan GPS untuk menentukan lokasi pengamatan sebagai bahan penilaian akurasi hasil penafsiran citra. Untuk menambah informasi lapangan dibuat hardcopy citra Landsat dan dilaminating selanjutnya dibawa ke daerah untuk meminta informasi dari
instansi-instansi pengelola
sumberdaya alam setempat. Hasilnya dari 340 sampel yang terdiri dari 138 mangrove, 128 tanah, dan 74 air diperoleh akurasi kecocokan hasil interpretasi dengan pengecekan lapangan sebesar 98,53%. Hartono dan Danudoro (2004) melakukan penelitian perubahan penggunaan lahan atau penutupan lahan di beberapa wilayah di Indonesia Kajian dilakukan dengan cara interpretasi visual citra pada layar monitor komputer berdasarkan hasil olahan citra digital multispektral, dalam hal ini fiture yang tampak pada layar langsung didelineasi sesuai dengan parameter perubahan penutupan lahan dan penggunaan lahan sehingga menghasilkan data digital penutupan lahan dan penggunaan lahan dalam format vektor. Hasil yang diperoleh diantaranya adalah penurunan kualitas penutupan hutan yang disebabkan konversi hutan menjadi lahan pertanian terjadi di Sulawesi Selatan, Seram, dan Merauke. Akan tetapi di tempat lain ditemukan peningkatan kualitas penutupan lahan, khususnya dari penutupan densitas rendah pada bekas penebangan atau perladangan berpindah, menjadi vegetasi hutan dengan densitas lebih tinggi. Pada lahan hutan mangrove, deforestasi terjadi karena budidaya pertanian dan tambak ikan. Lahan yang tidak dikelola berupa lahan terbuka ditutupi dengan rumput, semak, dan belukar. Perbedaan penelitian ini dengan semua penelitian di atas adalah tidak ada satu pun yang secara spesifik melakukan kajian di lokasi penelitian yaitu di Muara Kubu, Provinsi Kalimantan Barat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian 25
terdahulu terletak pada metode deteksi perubahan yaitu dengan teknik analisis perubahan vektor yang dilakukan dengan cara digitasi pada layar komputer, seperti dilakukan oleh Hartono dan Danudoro (2004) lokasi penelitian di Majene - Provinsi Sulawesi Selatan, Seram Timur - Provinsi Maluku, Merauke - Provinsi Papua Barat, dan Vanimo - New Guinea; Ratanasermpong et. al. (2000) lokasi penelitian di Thailand; dan Henki Mainarto (2002) lokasi penelitian di Balikpapan-Provinsi Kalimantan Timur. 2.3. Kerangka Pemikiran Permintaan kayu mangrove untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku chip, arang bakau, dan rumah tangga tidak pernah surut, bahkan terus meningkat seiring dengan perkembangan jaman dan pertambahan jumlah penduduk. Di sisi lain kebutuhan akan lahan untuk tempat aktivitas manusia, baik itu untuk pemukiman, pertanian maupun budidaya, juga terus meningkat. Pada kawasan pesisir yang bermangrove, kebutuhan-kebutuhan tersebut akan secara langsung memengaruhi hutan mangrove akibat adanya kegiatan pemanfaatan hutan mangrove berupa eksploitasi hutan baik itu untuk mengambil kayu mangrove maupun mendapatkan lahan untuk budidaya. Efek langsung yang terlihat dari kegiatan tersebut adalah terjadinya degradasi hutan mangrove dan deforestasi sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan penutupan lahan hutan mangrove. Di lain sisi dilakukan juga upaya-upaya untuk melakukan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove. Setiap perubahan penutupan lahan yang terjadi di permukaan bumi dapat dimonitor dengan menggunakan citra satelit, salah satunya adalah dengan citra Landsat. Satelit Landsat melakukan penyiaman permukaan bumi pada lokasi yang 26
sama setiap 16 hari, sehingga diperoleh citra Landsat multiwaktu. Pemanfaatan citra Landsat multiwaktu ini biasanya digunakan untuk pemantauan perubahan penutupan lahan dengan cara interpretasi, baik digital maupun visual. Dalam penelitian ini dilakukan kajian perubahan penutupan lahan dengan menggunakan citra Landsat liputan tahun 1989, 2002, dan 2006. Sebagai peta dasar digunakan peta Topografi skala 1 : 50.000 buatan tahun 1972. Semua citra Landsat di koreksi geometrik dengan metode registrasi-geometric terhadap peta Topografi. Selanjutnya citra disusun dalam komposit menggunakan saluran 543 dan dilakukan juga penajaman citra menggunakan metode Histogram Equalize. Selanjutnya tampilan citra pada layar monitor di digitasi dengan skala tampilan 1 : 50.000 sehingga diperoleh data digital dalam format vektor. Untuk meningkatkan akurasi hasil interpretasi dilakukan pengecekan lapangan (ground truth) dan menggunakan data sekunder sebagai referensi. Hasil dari kegiatan interpretasi diperoleh layer peta tentang kondisi penutupan lahan hutan mangrove pada tahun 1989, 2002, dan 2006. Selanjutnya layer-layer tersebut di overlay sesuai dengan urutan waktu, yaitu layer tahun 1989 dan 2002 untuk mendapatkan data perubahan antara 1989-2002; serta layer tahun 2002 dan 2006 untuk mendapatkan data perubahan antara 2002-2006. Sehingga dari semua periode perubahan diperoleh data perubahan penutupan lahan hutan mangrove antara tahun 1989-2006. Data perubahan diekstrak ke dalam format database, diolah dalam bentuk tabular, dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan peta sehingga terlihat pola perubahan penutupan lahan mangrove dari tahun 1989 sampai dengan 2006. Selain itu hasil interpretasi juga menghasilkan data sebaran jenis dan zonasi mangrove berdasarkan Watson (1928). 27
Gambar 1.
Diagram Alir Kerangka Pemikiran
28
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan analisis visual citra Landsat untuk inventarisasi perubahan penutupan lahan hutan mangrove dan survey lapangan dengan metode plot kuadrat untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, serta analisis transek horisontal pada peta perubahan untuk mengetahui pola perubahan penutupan lahan selama periode 1989-2006. Sejumlah teknik pengolahan citra dilakukan untuk mengenali parameter perubahan lahan yang dipadu dengan data sekunder dan data lapangan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi serta faktor penyebab terjadinya perubahan penutupan lahan hutan mangrove di lokasi kajian. 3.1. Bahan dan Peralatan 1.
Bahan-bahan
•
Citra Landsat TM Path/Row 121/060 liputan tanggal 29 Juni 1989.
•
Citra Landsat ETM+ Path/Row 121/060 liputan tanggal 28 Agustus 2002.
•
Citra Landsat ETM+ Path/Row 121/060 liputan tanggal 16 Maret 2006.
•
Peta Topografi skala 1:50.000 Tahun 1972 helai 10/VII-t Padang Tikar
•
Peta Topografi skala 1:50.000 Tahun 1972 helai 11/VII-n Batu Ampar.
•
Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1982.
•
Peta Penunjukan Kawasan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000.
•
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2004.
•
Larutan H2O2 10% untuk identifikasi kadar BO dalam tanah. 29
2.
Peralatan
•
Komputer dengan Prosesor Intel, RAM 2 GB, dan OS Windows XP.
•
Aplikasi ArcView GIS versi 3.3 beserta extension-nya.
•
GPS (Global Positioning System) merk Garmin GPSMap 60CSx.
•
Kompas Suunto.
•
Haga hypsometer untuk mengukur tinggi pohon.
•
Phiband untuk mengukur diameter pohon.
•
Tali tambang 50 meter.
•
Salintest untuk mengukur salinitas air.
•
pH meter untuk mengukur keasaman air dan tanah.
•
Termometer air untuk mengukur suhu air.
•
Kamera digital untuk dokumentasi.
•
Alat tulis dan buku.
3.2. Cara Pengumpulan Data Untuk mengetahui gambaran mengenai kondisi penutupan lahan, kondisi lingkungan, serta kondisi vegetasi di lokasi penelitian diperlukan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan cara pengukuran atau pengecekan langsung terhadap variabel penelitian pada daerah penelitian, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi pemerintah terkait, studi literatur, maupun hasil wawancara. Data primer dalam penelitian ini meliputi : 1. Penutupan lahan yang menggambarkan kondisi dan jenis penutupan lahan di lokasi penelitian, diambil dari citra Landsat dengan cara interpretasi visual secara 30
on-screen digitizing; 2. Variabel fisik lahan yang mencakup kondisi tanah (tekstur, bahan organik, pH), kondisi air (salinitas, suhu, pH); 3. Variabel vegetasi yaitu kerapatan (density), frekuensi (frequency), dominansi (dominance), nilai penting (importance), dan keanekaragaman (diversity) pada tiap tingkat pertumbuhan yaitu pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar. Data sekunder berupa peta topografi, peta-peta tentang status dan penggunaan kawasan (TGHK, RTRWP, dan Penunjukan Kawasan), data kisaran pasang surut air laut, iklim (curah hujan dan temperatur), serta informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 3.3. Jalan Penelitian 3.3.1. Pengolahan Citra Landsat Terdapat tiga kegiatan utama dalam tahapan pengolahan citra Landsat yaitu persiapan, digitasi, dan klasifikasi penutupan lahan. Tahapan persiapan meliputi kegiatan penyeragaman data sehingga memudahkan dalam perolehan data; selanjutnya digitasi merupakan proses pengunduhan informasi yang terdapat pada citra landsat dari format raster untuk disimpan ke dalam format vektor; dan klasifikasi penutupan lahan merupakan tahapan pengelompokan data hasil digitasi ke dalam kelas-kelas penutupan lahan yang sudah dipersiapkan. 1.
Persiapan Sebelum Proses (Pre-processing) Data citra Landsat yang diperoleh tidak dapat langsung digunakan begitu
saja, untuk dapat memperoleh informasi yang terkandung di dalamnya diperlukan 31
beberapa perlakuan sesuai dengan prosedur, diantaranya adalah layer-stacking, koreksi geometrik, cropping, penyusunan komposit, dan penajaman citra. 1).
Layer-stacking Data citra yang diperoleh masih dalam format GeoTIFF single band, sehingga
terdapat tujuh file untuk citra tahun 1989 terdiri dari saluran 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Citra Landsat tahun 2002 dan 2006 masing-masing sebanyak sembilan file terdiri dari saluran 1, 2, 3, 4, 5, 6.1, 6.2, 7, dan 8. Tujuan dari proses ini adalah menyusun saluran-saluran tersebut di atas sesuai dengan urutan saluran pada setiap tahun liputan, sehingga dapat digunakan pada saat pengaturan komposit warna. Saluran-saluran yang digunakan tidak semuanya digunakan melainkan hanya saluran tertentu saja sesuai dengan keperluan, dalamm penelitian ini saluran yang diperlukan yaitu saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Proses penyusunan layer-layer dalam penelitian ini menggunakan software ArcViewGIS dengan cara layer-stacking.
a. Single-Band (sebelum) Gambar 2.
b. Multi-Band (sesudah)
Hasil Layer-stacking Citra Landsat
32
2).
Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dilakukan dengan tujuan untuk membetulkan kesalahan
geometris suatu obyek pada citra, sehingga tidak terjadi pergeseran obyek pada saat dilakukan tumpang-susun. Koreksi geometrik pada penelitian ini mengacu pada peta Topografi skala 1 : 50.000 buatan Jantop tahun 1972 dengan metode Image to Image Registration, dimana pada tahap pertama salah satu citra Landsat (Liputan Tahun 1989) dikoreksi terhadap peta Topografi. Citra Landsat yang lainnya yaitu liputan Tahun 2002 dan 2006 dikoreksi terhadap citra Landsat Tahun 1989 yang sudah dikoreksi. Hasil koreksi geometrik dari citra Landsat Tahun 1989 terhadap peta Topografi menunjukkan tidak terjadi banyak perubahan bentuk antara sebelum dan sesudah dilakukan koreksi, dengan total RMS Error sebesar 1,376788. Berdasarkan Manual ArcViewGIS, RMS Error yang akurat mempunyai nilai kurang dari satu (<1). RMS Error yang cukup besar ini terjadi karena perbedaan posisi obyek pada peta dengan obyek pada citra Landsat, sebagaimana dapat dilihat pada rincian GCP berikut.
33
Koreksi geometrik antara citra Landsat dengan citra Landsat hasilnya lebih akurat daripada koreksi geometrik antara citra Landsat dengan peta Topografi. Hasil koreksi geometrik antara citra Landsat Tahun 2002 terhadap citra Landsat 1989 termasuk akurat dengan total RMS Error: 0,070998. Rincian GCP-nya adalah sebagai berikut : Base X 161.00 1012.50 149.00 983.50 1228.25
Y 206.00 55.50 591.25 807.00 309.00
Warp X Y 156.25 200.25 980.00 54.00 145.00 572.25 952.50 781.00 1188.75 299.25
Predict X Y 156.27 200.24 979.92 54.06 145.01 572.24 952.46 781.03 1188.84 299.18
Error X Y 0.02 -0.01 -0.08 0.06 0.01 -0.01 -0.04 0.03 0.09 -0.07 Total RMSE
RMS Error 0.02 0.10 0.01 0.05 0.11 0.070998
Hasil koreksi geometrik antara citra Landsat Tahun 2006 terhadap citra Landsat Tahun 1989 termasuk akurat dengan total RMS Error: 0.442519. Rincian GCP-nya sebagai berikut : Base X 161.00 148.00 1012.50 983.75 1228.50
3).
Y 206.00 591.50 56.25 806.75 309.50
Warp X Y 155.00 202.50 143.50 574.75 979.50 57.00 952.00 782.75 1187.75 302.75
Predict X Y 155.09 202.41 143.54 574.70 979.09 57.43 951.78 782.97 1188.25 302.24
Error X Y 0.09 -0.09 0.04 -0.05 -0.41 0.43 -0.22 0.22 0.50 -0.51 Total RMSE
RMS Error 0.13 0.06 0.59 0.31 0.71 0.442519
Cropping Cropping dilakukan dengan tujuan untuk mencuplik citra hanya pada daerah
tertentu sesuai yang diinginkan, dalam hal ini hanya pada daerah penelitian saja. Cropping juga dilakukan sebelum koreksi geometrik dengan tujuan untuk mengambil data sesuai keperluan sehingga dapat mempercepat dan meringankan pengolahan data, luasan wilayah yang di crop sebelum koreksi geometrik lebih besar dari wilayah penelitian untuk mengantisipasi jika terjadi pergeseran sehingga data masih mencakup seluruh wilayah penelitian.
34
4).
Penyusunan Komposit Warna Citra komposit warna merupakan paduan dari citra beberapa saluran yang
berbeda dengan maksud untuk memperoleh gambara visual yang lebih baik sehingga memudahkan dalam pengenalan obyek dan pemilihan sampel. Pembuatan citra komposit warna dilakukan dengan memberi warna dasar merah (R), hijau (G), dan biru (B) pada tiga saluran spektral yang dipilih. Perpaduan antara ketiga saluran tersebut akan menghasilkan citra baru dengan tampilan warna yang merupakan perpaduan dari ketiga warna dasar. Penyusunan komposit warna RGB/543 disesuaikan dengan keperluan dalam penelitian ini yaitu untuk dapat membedakan jenis-jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian, dimana berdasarkan penelitian Sato (1987) bahwa jenis-jenis mangrove dapat dibedakan dengan menggunakan saluran merah dan infra merah dekat. 5).
Penajaman Citra Tampilan normal citra biasanya masih bersifat umum dimana terkadang
interpreter mendapat kesulitan untuk membuat garis pembeda antara unsur satu dengan lainnya, oleh karena itu untuk memperoleh tampilan dengan batas yang jelas terlebih dahulu harus dilakukan penajaman citra. Penajaman citra dilakukan dengan tujuan untuk merentang kontras sehingga sebuah citra secara visual menjadi tinggi kekontrasannya sehingga memudahkan kegiatan penafsiran dan digitasi. Tampilan warna menjadi lebih jelas batas antar unsur setelah melalui proses perentangan seperti dapat dilihat pada Gambar 3.
35
a. Sebelum Penajaman Gambar 3.
b. Setelah Penajaman
Komparasi Tampilan Citra Landsat Komposit RGB/543 Sebelum dan Sesudah Penajaman
Pada gambar di atas tampak jelas perbedaan tampilan warna antara citra Landsat sebelum dan sesudah dilakukan penajaman. Pada Gambar 3.a. baru dapat dibedakan antara tubuh air (A), lahan terbuka (E), dan lahan bervegetasi (B, C, D, F) sedangkan pada Gambar 3.b. selain obyek yang sudah dapat dibedakan pada Gambar 3.a. yaitu tubuh air dan lahan terbuka, juga dapat dibedakan antara mangrove primer (B), belukar rawa (C), mangrove sekunder (D), dan nipah (F). 2.
Digitasi Digitasi dilakukan dalam upaya interpretasi visual citra Landsat sesuai
tampilan citra pada layar komputer menggunakan perangkat lunak ArcView GIS versi 3.3 pada skala 1 : 50.000. Digitasi dimaksudkan untuk mendapatkan batas sebagai pemisah antar kelas penutupan lahan, dilakukan dengan cara membuat garis batas pada setiap kenampakan yang berbeda sehingga membentuk poligon tertutup. Proses digitasi dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
36
Gambar 4. 4
Digitaasi Penutup pan Lahan
Gambar 5. 5
Hasil D Digitasi Peenutupan Lahan L
Keterangaan :
A = tubuh air,, B = vegeetasi Rhizo ophora spp campuran dengan Brugguiera spp, C = belukaar, D = Niipah, E = lahan terbukka/bekas tebanngan dan S = spot-spot lahan terbu uka/bekas teebangan. 37
3.
Klasifikasi Penutupan Lahan Hutan Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah delineasi kelas liputan lahan
pada citra dengan komposit warna saluran RGB/543 dengan penajaman citra menggunakan metode ekualisasi histogram. Klasifikasi liputan lahan merupakan gambaran tentang kondisi penutupan lahan pada daerah penelitian yang dikelompokkan berdasarkan tipe vegetasi yaitu vegetasi lahan kering, vegetasi lahan basah, dan vegetasi mangrove. Selanjutnya dari masing-masing tipe vegetasi tersebut dibagi lagi ke dalam kelompok hutan primer, hutan sekunder, lahan terbuka, belukar, dan pertanian. Sistimatika klasifikasi dapat dilihat pada diagram berikut.
Gambar 6.
Sistimatika Klasifikasi Penafsiran Citra Landsat
Berdasarkan sistimatika klasifikasi di atas maka diperoleh kelas liputan lahan dengan deskripsi unsur obyek sebagai berikut. 1. Mangrove Pionir, merupakan asosiasi dari jenis Avicennia spp., dan Sonneratia spp. 38
2. Rhizophora, merupakan asosiasi dari jenis Rhizophora spp. 3. Bruguiera, merupakan asosiasi dari jenis Bruguiera spp. dan Lumnitzera spp. 4. Nipah, merupakan asosiasi dari jenis Nypa spp dan Acrostichum spp. 5. Hutan Rawa, merupakan vegetasi pada lahan rawa. 6. Hutan Lahan Kering, merupakan vegetasi pada lahan kering. 7. Lahan Terbuka, merupakan lahan tidak berhutan bekas tebangan. 8. Tambak, merupakan lahan budidaya perikanan air payau. 9. Belukar, merupakan lahan dengan penutupan berupa tumbuhan kecil/perdu. 10. Ladang, merupakan lahan budidaya pertanian. 11. Pemukiman, merupakan lahan tempat tinggal/aktivitas masyarakat. Hasil digitasi dan klasifikasi ini merupakan pedoman dan dijadikan dasar dalam pengambilan data lapangan, terutama dalam hal penentuan lokasi sample plot. 3.3.2. Pengambilan Data Lapangan Data yang diambil di lapangan berupa kondisi fisik lingkungan yaitu tanah dan air, serta kondisi vegetasi. 1.
Kondisi Tanah Data yang diambil dari kondisi tanah adalah sifat fisiknya yang meliputi: (1)
tekstur tanah guna mengetahui kandungan lempung dalam tanah; (2) bahan organik guna mengetahui kandungan bahan organik dalam tanah; dan (3) keasaman (pH) tanah untuk mengetahui tingkat keasaman atau kebasaan tanah yang ditunjukkan oleh nilai pH tanah.
39
1).
Tekstur Tekstur tanah merupakan sifat kehalusan atau kekasaran tanah yang berkenaan
dengan perbandingan berat antara fraksi-fraksi tanah (kasar halusnya ukuran butir tanah). Fraksi tanah merupakan kelompok zarah tanah yang berukuran diantara batas-batas tertentu. Secara sederhana, identifikasi fraksi tanah dapat dilakukan dengan metode penetapan kelas tekstur tanah menurut Tejoyuwono (1983) seperti dapat dilihat pada Lampiran 1, dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tanah dipilih dengan telunjuk dan ibu jari. Apabila terasa lekat maka diidentifikasi sebagai lempung, jika terasa licin maka diidentifikasi sebagai debu, dan jika terasa kasar maka diidentifikasi sebagai pasir. 2. Pasta tanah dibuat dan diidentifikasi di lapangan secara kualitatif sebagai berikut: a. seperti pasir agak kasar: tidak menempel pada tangan (pasir), menempel pada tangan tidak dapat dibentuk bola (pasir bergeluh), dapat dibentuk bola (geluh debu); b. seperti sabun dan atau melekat: Tidak dapat dipolis (agak seperti sabun, sukar diubah bentuk; geluh debu), seperti sabun mudah diubah bentuk (geluh). Dapat dipolis (sukar diubah bentuk; geluh berlempung), (dapat diubah bentuk hanya dengan sukar; geluh berlempung), mudah diubah bentuk (lempung). 2).
Bahan Organik Identifikasi kadar bahan organik di lapangan dilakukan dengan cara menetesi
sampel tanah dengan larutan H2O2 10%, jika tidak terjadi buih (tidak ada bahan organik), sedikit berbuih nyaris tampak dan terbatas (kadar bahan organik 1,0%), berbuih putih dan percikan agak lebih merata dan lebih jelas (kadar bahan organik 40
2,0%), berbuih putih bergelembung dan percikan jelas (kadar bahan organik 5,0%), banyak berbuih dan percikan kuat dan merata (kadar bahan organik >10%) (Tejoyuwono, 1983). 3).
Keasaman (pH) Merupakan tingkat keasaman atau kebasaan tanah, yang ditunjukkan oleh nilai
pH tanah. Penentuan pH tanah secara colorimetrik dengan menggunakan indikator pH stik atau kertas lakmus dengan cara mencelupkan kertas ke dalam media H2O dengan zarah tanah, perbandingan volume tanah dengan zat pelarut 1 : 2,5, setelah terjadi perubahan warna kertas lakmus kemudian dicocokkan dengan standar pH yang ada pada kotak kertas lakmus. 2.
Kondisi Air Data kondisi air yang diambil di lapangan berupa tingkat salinitas (kadar
garam terlarut dalam air), temperatur air, dan tingkat keasaman air. 1).
Salinitas Pengukuran salinitas dilakukan untuk mengetahui kadar garam terlarut dalam
air dengan menggunakan alat yang disebut salintest. Cara pengukuran yaitu dengan cara memasukkan bagian ujung alat ke dalam air kemudian tekan tombol pembacaan sehingga angka dapat terbaca pada panel alat. Untuk mengetahui nilai salinitas, baca pada grafik, yaitu sumbu X merupakan angka yang terbaca pada alat dan sumbu Y menunjukkan nilai salinitas.
41
2).
Suhu Temperatur air menunjukkan ukuran panas atau dingin air dalam derajat
Celcius (oC). Alat yang digunakan adalah thermometer air. Pengukuran dilakukan dengan cara mencelupkan alat ke dalam air kemudian baca nilai yang diperoleh pada alat. 3).
Keasaman (pH) Keasaman suatu larutan menunjukkan aktivitas ion hydrogen (H+) dalam
larutan tersebut dinyatakan sebagai seperkonsentrasi ion hydrogen (dalam mol per liter) pada suhu tertentu atau dapat ditulis pH = - log (H+) (Mintarjo et. el. 1984). Keasaman merupakan konsentrasi ion hydrogen (H+) merupakan aktivitas ion hydrogen (H+). Air yang bersifat asam akan menunjukkan nilai pH < 7 dan yang bersifat basa akan menunjukkan nilai pH > 7, sedangkan yang bersifat netral akan menunjukkan nilai pH = 7. 3.
Kondisi Vegetasi Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi mangrove di lokasi
penelitian dilakukan invetarisasi lapangan terhadap komponen penyusun vegetasi mangrove, khususnya jenis-jenis pohon mangrove, untuk mendapatkan data berupa jenis, diamater, tinggi pohon. Data dikelompokkan berdasarkan jenis dan tingkat pertumbuhan pohon, yaitu : tingkat pancang merupakan pohon dengan tinggi lebih dari 150 cm dan diameter kurang dari 10 cm; tingkat tiang merupakan pohon dengan diameter antara 10 – 20 cm; tingkat pohon kecil merupakan pohon dengan diameter antara 20 – 35 cm; dan tingkat pohon besar merupakan pohon dengan diameter lebih dari 35 cm. 42
Dalam rangka pengambilan data kondisi vegetasi di lapangan, maka dibuat sampel plot dengan metode purposive sampling atas dasar floristik. Sampel plot berbentuk petak dengan ukuran adalah 20 meter x 125 meter untuk tingkat pohon besar, 20 meter x 20 meter untuk tingkat pohon kecil, 10 meter x 10 meter untuk tingkat tiang. Sedangkan untuk tingkat pancang dibuat plot lingkaran dengan radius 2,82 meter. Gambaran lebih rinci mengenai desain plot contoh dapat dilihat pada Gambar 7. Variabel penelitian untuk mengetahui kondisi vegetasi adalah : a. Nilai Penting (importance) b. Kerapatan (density) c. Frekuensi (frequency) d. Dominansi (dominance) e. Keanekaragaman (diversity)
43
Sumberr: Departemenn Kehutanan (2 2007) Ketterangan : Sub b-plot I
ntuk tingkat paancang; Lingkaran dengan radius 2,82 meter un
Sub b-plot II
Bujur Sangkkar dengan sissi 10 m x 10 m untuk tingkaat tiang;
Sub b-plot III
Bujur Sangkkar dengan sissi 20 m x 20 m untuk tingkkat pohon keciil;
Sub b-plot IV
5 m untuk tinggkat pohon beesar. Persegi Panjjang dengan sisi 20 m x 125
Gamb bar 7.
Deesain Plot Contoh den ngan 4 Sub--plot
44
3.3.3. Analisis Data 1.
Kondisi Tanah Analisis data mengenai sifat fisik tanah di lokasi penelitian, dilakukan dengan
membandingkan antara hasil pengukuran lapangan dengan kriteria persyaratan tumbuh mangrove. 2.
Kondisi Air Analisis data mengenai sifat fisik air di lokasi penelitian, dilakukan dengan
membandingkan antara hasil pengukuran lapangan dengan kriteria persyaratan tumbuh mangrove. 3.
Kondisi Vegetasi
1).
Nilai Penting Data yang diperoleh dari hasil inventarisasi lapangan diolah untuk
mendapatkan
nilai
kerapatan
(density),
frekuensi
(frequency),
dominansi
(dominance), dan nilai penting. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan besaran yang menunjukkan kedudukan suatu jenis terhadap jenis lain di dalam suatu komunitas. INP diturunkan dari kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dari jenis-jenis yang menyusun komunitas yang diamati (Snedakeer dan Snedakeer, 1984). Cara untuk mendapatkan nilai dari masing-masing variabel penentu nilai penting vegetasi adalah sebagai berikut : ......................................................... (1)
45
100% ................... (2) ......................................... (3) 100% ...................... (4) ........................................... (5) .................................................................... (6) dimana : π = 3,1415 atau = 0,7854 D = diameter yang diukur setinggi dada (DBH). 100% ................... (7) ................................................... (8) 2).
Keanekaragaman Keanekaragaman jenis merupakan data tentang banyaknya jenis yang
ditemukan dalam suatu petak ukur. Keanekaragaman jenis pada beberapa petak ukur menggambarkan keanekaragaman jenis suatu populasi dalam hal ini vegetasi mangrove. Keanekaragaman jenis pada suatu vegetasi merupakan salah satu faktor yang
menunjukkan tingkat stabilitas vegetasi, semakin tinggi keanekaragaman
jenisnya maka semakin tinggi pula stabilitas vegetasi tersebut. Keanekaragaman
jenis
dihitung
dengan
menggunakan
persamaan
Keanekaragaman Shannon-Wiener, yaitu : ∑
.
............................................................................................... (9)
Dengan : H’ = indeks keanekaragaman species; S = kekayaan jenis (jumlah seluruh jenis yang ada) pi = nilai proporsi tiap individu ke-i ln = logaritma natural 46
4.
Perubahan Penutupan Lahan Hutan Mangrove Untuk mendapatkan data perubahan penutupan lahan dilakukan dengan proses
tumpang-susun (overlay) antara dua kelas penutupan lahan pada tahun yang berbeda sehingga posisi dimana terjadi perubahan dapat diketahui. Informasi perubahan ini kemudian diekstrak ke dalam format database dan diolah secara tabular sehingga diketahui apakah luasan suatu kelas mengalami penambahan atau pengurangan. Selain itu dapat diketahui juga bentuk perubahannya semula dari suatu kelas menjadi kelas yang lain, selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabular dan grafik. Data perubahan penutupan lahan diperoleh dari hasil overlay peta antara hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1989 dan 2002 menghasilkan data perubahan untuk periode 1989-2002, dan hasil overlay peta antara hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2002 dan 2006 menghasilkan data perubahan untuk periode 2002-2006. Informasi perubahan penutupan lahan ini ditampilkan dalam bentuk peta. 5.
Pola Perubahan Penutupan Lahan Hutan Mangrove Pada setiap periode perubahan dikaji faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan, baik itu berdasarkan data primer maupun data sekunder. Selain itu dikaji juga pola perubahan pada setiap periode sehingga diperoleh pola perubahan penutupan hutan mangrove pada setiap periode beserta faktor-faktor penyebabnya. Analisis dilakukan dengan cara membuat profil melintang pada peta perubahan penutupan lahan. Hasil cuplikan data pada peta perubahan penutupan lahan selanjutnya ditampilkan dalam bentuk chart kemudian dianalisa lokasi-lokasi yang mengalami perubahan dan tidak mengalami perubahan.
47
3.3.4. Zonasi Hutan Mangrove Zonasi hutan mangrove dibuat berdasarkan klasifikasi Watson (1928) yang menyatakan bahwa adanya korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air. Parameter-parameter yang digunakan dalam pembuatan zonasi ini adalah data pasang-surut air laut selama satu tahun dan titik tinggi di beberapa tempat dalam wilayah penelitian. Dari data titik tinggi yang ada dibuat interpolasi sehingga terbentuk garis-garis sama tinggi dalam wilayah penelitian, selanjutnya dikelompokkan ke dalam lima kelas sebagai berikut: 1. Kelas I tergenang 56-62 kali per bulan, ketinggian di atas datum 0-8 kaki 2. Kelas II tergenang 45-56 kali per bulan, ketinggian di atas datum 8-11 kaki 3. Kelas III tergenang 20-45 kali per bulan, ketinggian di atas datum 11-13 kaki 4. Kelas IV tergenang 2-20 kali per bulan, ketinggian di atas datum 13-15 kaki 5. Kelas V tergenang <2 kali per bulan, ketinggian di atas datum >15 kaki
48
BAB IV KEADAAN UMUM LINGKUNGAN LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Lokasi Secara astronomis wilayah ekosistem mangrove yang dijadikan lokasi penelitian terletak antara 310000 mT – 352000 mT dan 9925000 mU – 9945000 mU. Secara administrasi pemerintahan berada dalam wilayah Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimatan Barat. Berdasarkan peta Administrasi Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, lokasi penelitian termasuk dalam wilayah Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. Secara administrasi di sebelah barat berbatasan dengan Desa Dabung dan Olak-olak Kubu, sebelah utara berbatasan dengan Desa Kampung Baru, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Batu Ampar, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kayong Utara (Gambar 8). Aksesibilitas, untuk mencapai lokasi penelitian dari ibukota propinsi (Pontianak) dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat dengan rute Pontianak – Rasau Jaya dapat ditempuh selama + 1 jam dengan kondisi jalan sudah diaspal. Dari pelabuhan Rasau Jaya menuju lokasi hanya dapat menggunakan kendaraan air. Sarana transportasi air yang tersedia di pelabuhan Rasau Jaya cukup banyak jenisnya, mulai dari angkutan umum reguler seperti kapal feri, kapal motor kayu, longboat 200 PK sampai dengan carteran speedboat berbagai ukuran dari mulai 25 – 60 PK. Jika menggunakan speedboat 40 PK dapat ditempuh selama + 2 jam perjalanan.
49
Gambar 8.
Peta Lokasi Penelitian
50
4.2. Status Fungsi dan Penggunaan Kawasan Fungsi kawasan berdasarkan kebijakan Tata Ruang Daerah Provinsi Kalimantan Barat tahun 2004, lokasi penelitian termasuk dalam kawasan Hutan Lindung Bakau luas 5.890,8 Ha (29,1%), Hutan Produksi Terbatas luas 10.078,2 Ha (49,8%), dan Areal Penggunaan Lain luas 5.890,8 Ha (29,1%). Berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000, lokasi penelitian terbagi dalam tiga jenis kawasan, yaitu Hutan Lindung luas 4.271,8 Ha (21,1%), Hutan Produksi Terbatas luas 15.507, 2 Ha (76,6%), dan Areal Penggunaan Lain luas 461,8 Ha (2,3%). Gambaran tentang status kawasan berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Tahun 2000 lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9. Kaitan status fungsi kawasan terhadap ekosistem mangrove adalah bahwa dengan adanya ketetapan hukum mengenai status fungsi kawasan, maka segala bentuk kegiatan di dalam dan/atau yang berkaitan dengan ekosistem mangrove harus memperhatikan dan senantiasa sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan yang telah ditetapkan. Penetapan lokasi penelitian sebagai kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas secara administratif sudah cukup, tinggal implementasi di lapangan harus senantiasa diawasi agar tidak terjadi pelanggaran. Penggunaan kawasan berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2005 tercatat ada dua perijinan yang melakukan konsesi untuk pengambilan kayu mangrove pada lokasi penelitian, yaitu PT. Kalimantan Sari dengan SK HPH No. 219/Kpts/Um/6/1969 tanggal 19 Juni 1969 luas areal 229.000 Ha, ijin HPH ini berakhir pada tanggal 19 Juni 1989 dengan SK Pencabutan No. 566/Kpts-II/1990 tanggal 2 Oktober 1990 (Anonimous, 2005). Pasca pencabutan, 51
Gambar 9.
Peta Status Fungsi Kawasan Berdasarkan Penunjukan Kawasan dan Perairan Tahun 2000
52
areal eks-HPH tersebut selanjutnya dikelola oleh PT. Inhutani II dari tahun 19952002 dengan konsentrasi eksploitasi mangrove untuk pulp. Pada saat pelaksanaan penelitian tahun 2009 diperoleh informasi dari Dinas Kehutanan bahwa terdapat perijinan baru atas nama PT. Kandelia Alam dengan SK IUPHHK-HA No. 249/Menhut-II/2008 tanggal 26 Juni 2008 luas areal 18.130 Ha, yang berlokasi di Kecamatan Kubu dan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Kaitan perijinan hak pengusahaan hutan bakau dengan ekosistem mangrove cukup besar pengaruhnya bagi kelesatrian hutan mangrove. Fakta lapangan yang terdokumentasikan pada citra Landsat menunjukkan bahwa begitu besar kerusakan akibat penebangan mangrove, namun dengan adanya ketentuan pemegang konsesi menggunakan sistem silvikultur Seed Tree Method dalam jangka beberapa tahun kemudian lahan-lahan bekas tebangan tersebut sudah tertutup kembali dengan vegetasi mangrove. 4.3. Iklim Iklim merupakan keadaan rata-rata cuaca dalam jangka panjang. Untuk mendeskripsikan tipe iklim di daerah penelitian dilakukan pengumpulan data unsurunsur iklim terutama curah hujan bulanan selama lima tahun terakhir yang diperoleh dari data sekunder. Data curah hujan rata-rata bulanan pada Stasiun Meteorologi dan Klimatologi Supadio Pontianak selama lima tahun terakhir, yaitu tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3.
53
Tabel 3.
Curah Hujan Rata-rata Bulanan
Bulan
2003
2004
2005
2006
2007
Januari
446,9
384
290,5
184
281
Pebruari
253,0
297
163,0
345
92
Maret
285,9
216
221,6
137
203
April
339,4
312
256,0
260
314
Mei
141,5
386
409,8
228
462
Juni
136,0
113
167,8
220
438
Juli
153,7
249
151,7
41
312
Agustus
164,0
19
161,7
57
142
September
155,0
132
309,0
171
215
Oktober
210,7
182
538,3
130
591
Nopember
469,0
334
351,0
297
250
Desember
184,0
257
422,0
477
366
2939,1
2881
3442,4
2547
3666
Jumlah
Sumber: Kalimantan Barat Dalam Angka (2008)
Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa curah hujan tahunan rata-rata di sekitar lokasi penelitian berkisar antara 2.547 – 3.666 mm/tahun. Menurut Arksonkoae (1993), persyaratan tumbuh mangrove biasanya di wilayah dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 – 3.000 mm/tahun. Pembagian iklim menurut Scmidt-Ferguson berdasarkan curah hujan dengan cara menghitung bulan basah dan bulan kering, kemudian menjumlahkan untuk beberapa tahun dan dirata-ratakan. Dasar penggolongan iklim ini didasarkan pada nilai Q rata-rata yang merupakan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering (BK) dibagi dengan jumlah rata-rata bulan basah (BB). Bulan basah adalah bulan 54
dengan curah hujan >100 mm/bulan dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan <60 mm/bulan. Klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson adalah seperti Tabel 4. Tabel 4.
Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt-Ferguson
Tipe Iklim
Nilai Q
Keterangan
A
0 < Q < 0,143
Sangat Basah
B
0,143 < Q < 0,333
Basah
C
0,333 < Q <0,6000
Agak Basah
D
0,600 < Q < 1,000
Sedang
E
1,000 < Q < 1,670
Agak Kering
F
1,670 < Q < 3,000
Kering
G
3,000 < Q < 7,000
Sangat Kering
H
Q > 7,000
Luar Biasa Kering
Sumber: Schmidt-Ferguson (1975)
Berdasarkan data curah hujan seperti pada Tabel 3 dan cara penghitungan nilai Q diketahui bahwa wilayah sekitar lokasi penelitian termasuk dalam tipe iklim A sangat basah. Suhu udara minimum di daerah penelitian adalah 21,1oC dan maksimum 33,5oC. Suhu udara rata-rata tahunan terendah adalah 26oC pada bulan Januari dan tertinggi 26,9oC pada bulan Mei dengan rata-rata tahunan sebesar 26,51oC. 4.4. Batuan 1.
Sistem Lahan Berdasarkan peta RePPPROT (1987) daerah penelitan hampir seluruhnya
terdiri termasuk dalam satuan sistem lahan Kajapah (KJP) dan sebagian kecil masuk sistem lahan Pakalunai (PLN), Kahayan (KHY), dan Mendawai (MDW). Satuan 55
sistem lahan KJP merupakan satuan yang berada pada lahan yang datar dan dipengaruhi pasang-surut air laut serta mempunyai vegetasi bakau dan nipah, dengan tipe batuan alluvium berbutir halus. Sedangkan satuan sistem lahan PLN merupakan perbukitan batuan bukan endapan yang tidak teratur dengan tipe batuan beku basa; sementara satuan sistem KHY merupakan satuan lahan yang tergabung dari daratan yang berasosiasi dengan sungai dan/atau laut dengan tipe batuan alluvium berbutir halus; dan satuan sistem lahan MDW merupakan tanah rawa-rawa gambut yang dangkal dengan tipe batuan endapan bahan organik. Jenis tanah di lokasi penelitian sebagian besar adalah Aluvial Hidromorf Kelabu dengan bahan induk dari bahan endapan liat debu, serta fisiografi berupa daratan pasang-surut pantai/pesisir. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah dengan drainase lambat, permeabilitas lambat, lapisan atas berlapisan bahan organik (endapan) dan sering mengandung kopal. Lapisan bawah lebih padat, berwarna kelabu tua sampai kelabu biru tua, bertekstur agak halus sampai halus, pejal dan teguh (dalam keadaan basah lekat). Jenis tanah ini agak masam, semakin ke bawah semakin netral. Berdasar pada uraian di atas diketahui bahwa sistem lahan
di lokasi
penelitian pada umumnya KJP, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daratan di daerah penelitian berupa lahan datar dan dipengaruhi pasang-surut air laut. Kondisi ini memenuhi persyaratan tumbuh bagi jenis tanaman mangrove yang memerlukan air pasang-surut yang berfungsi untuk memasok unsur hara/nutrien bagi pertumbuhan, seperti dipersyaratkan oleh Saenger et al (1983).
56
2.
Geologi Berdasarkan peta geologi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
1993), daratan wilayah penelitian terdiri atas dua jenis hamparan, yaitu : (1) Formasi Endapan Aluvial (Qa) yang mendominasi kawasan penelitian dan terbentuk pada jaman kuarter, lahan terbentuk atas dari bahan endapan aluviul sungai (tua dan muda) berupa pasir halus, lumpur, dan sisa tumbuhan. Pasir dan lumpur berasal dari daerah pedalaman, sedangkan sisa tumbuhan berasal dari hutan-hutan purba dan terbentuk pada jaman holosen, dan (2) Formasi Batuan Gunung Api Kerabai (Kuk), berada di beberapa spot kawasan, terbentuk pada jaman mesozoikum, dari bahan lava andesit, desit dan basal, breksi lava, piroklastik, dan intrusi-intrusi kecil.. Kaitan formasi geologi dengan ekosistem mangrove adalah bahwa menurut Ong (1982 dalam Mackinnon et al. 2000) ekosistem hutan bakau di Kalimantan terdiri atas tiga tipe utama, yaitu bentuk pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna, dan bentuk pulau. Ketiga tipe tersebut semuanya ada di wilayah sekitar lokasi penelitian, menurut Mulia melalui wawancara langsung, mengatakan bahwa daerah penelitian merupakan ekosistem mangrove dengan tipe delta yang terbentuk dari endapan alluvial sungai berupa pasir halus, lumpur, dan sisa tumbuhan. 3.
Keasaman (pH) Reaksi tanah adalah sifat keasaman dan kebasaan tanah atau sifat pH tanah
(Mintarjo dkk, 1984). Intensitas keasaman tanah ditunjukkan melalui nilai pH yaitu konsentrasi Hidrogen (H+) dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ dalam tanah maka tanah semakin asam. Di dalam tanah selain ion H+ ditemukan juga ion OHyang jumlahnya berbanding terbalik dengan jumlh ion OH+. Tanah asam banyak 57
mengandung ion H+ yang dapat ditukar sedangkan pada tanah alkalis kaya akan unsur-unsur OH- yang dapat ditukar (Darmawijaya, 1997) Menurut Hartono (2002) bahwa pH tanah yang sesuai untuk konservasi mangrove adalah 6 – 8,5, untuk pH tanah 3 – 5,9 digolongkan agak sesuai, dan untuk pH < 3 dan > 8,5 digolongkan tidak sesuai. Hasil pengukuran lapangan terhadap contoh tanah menujukkan tanah cenderung bersifat masam dengan kisaran antara 6,2 - 6,8. Jadi berdasarkan pH tanah, lokasi penelitian ini cocok untuk konservasi mangrove. 4.
Bahan Organik Tanah pada hutan mangrove memiliki ciri-ciri selalu basah, mengandung
garam, kandungan oksigen sedikit, berbutir-butir dan kaya akan bahan organik (Idrus, 1998). Bahan organik merupakan material dalam tanah yang merupakan sisasisa tanaman yang telah mati atau hewan dan kotorannya yang telah membusuk dalam tanah yang telah lapuk dan bercampur aduk. Bahan organik tanah merupakan sumber utama Nitrogen dalam tanah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk proses metabolisme (Jamulya dan Yunianto, 1995). Makin tinggi kandungan bahan organik dalam tanah maka makin besar pula kandungan Nitrogennya (Mintarjo dkk, 1984). Menurut Hartono (2002) kadar bahan organik 1 – 5% sesuai untuk konservasi mangrove, sedangkan 0 – 1% atau 5 – 10% termasuk agak sesuai, dan apabila lebih dari 10% termasuk dalam golongan tidak sesuai. Kandungan bahan organik pada tanah berdasarkan uji tetes menggunakan larutan kimia H2O2 pada umumnya antara 1 - 5%. Dengan demikian maka di daerah
58
penelitian ini berdasarkan kandungan bahan organik dalam tanah sangat cocok untuk pertumbuhan optimal mangrove. 5.
Tekstur Tanah Tekstur tanah menurut Arsyad (1982) adalah ukuran dan proporsi kelompok
ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Butir-butir primer tanah terbagi dalam liat (clay), debu (silt), dan pasir (sand). Sedangkan menurut Darmawijaya (1997) tekstur tanah adalah perbandingan relatif tiga golongan besar partikel tanah dalam satu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi lempung (clay), debu (silt), dan pasir (sand). Tekstur tanah berdasarkan uji cepat dilapangan pada beberapa plot contoh dengan metode kesan raba pada umumnya berupa pasir geluhan dan geluh pasiran. 4.5. Hidrologi Menurut Saenger et al. (1983) ada beberapa syarat fisikokimia air laut yang diperlukan bagi pertumbuhan mangrove, yaitu : (1) Air pasang yang antara lain berfungsi memasok unsur hara/nutrien bagi pertumbuhannya; (2) Salinitas yaitu tingkat kadar garam NaCl di dalam air laut; (3) Arus permukaan air laut, karena diduga arus permukaan memperkaya pasokan unsur hara dan menjaga keseimbangan kadar oksigen perairan; (4) Suhu air laut antara 27oC – 34oC. 1.
Pasang Surut Gerakan air laut selalu berubah-ubah secara periodik akibat adanya gaya tarik
dari benda-benda ruang angkasa (bulan dan matahari) terhadap bumi. Kedua benda tersebut menimbulkan gaya yang mempengaruhi perubahan tinggi rendahnya muka 59
air laut di bumi. Keadaan pasang tertinggi akan terjadi apabila posisi bumi, bulan, dan matahari tepat berada pada satu garis lurus yakni pada bulan baru atau bulan purnama. Keadaan surut akan terjadi pada kuartal terakhir tiap bulan. Hasil analisis yang dilakukan oleh LIPI (1991) mengemukakan bahwa sifat pasang-surut yang terjadi di selatan khatulistiwa Kalimantan Barat adalah campuran dengan dominansi diurnal, yakni kejadian pasang-surut yang terjadi dalam satu hari (24 jam) hanya dua kali. Demikian juga keadaan pasang-surut di wilayah penelitian adalah pasang-surut diurnal (dua kali dalam 24 jam). Sementara perbedaan tinggi air pasang tertinggi (High Water Spring/HWS) dan surut terendah (Low Water Spring/LWS) di daerah penelitian berkisar antara 2,58 – 3,06 meter. Dengan terjadinya pasang surut di daerah penelitian maka pasokan nutrien bagi tumbuhan mangrove akan terjadi sehingga daerah ini sangat cocok untuk ekosistem mangrove. 2.
Salinitas Besarnya salinitas suatu perairan ditentukan oleh besarnya senyawa-senyawa
yang terionisasi menjadi kation dan anion dalam air. Nilai salinitas secara umum menggambarkan jumlah padatan yang terlarut dalam air, sehingga perubahan nilai salinitas dapat dipakai sebagai petunjuk adanya perubahan jumlah garam-garam terlarut dalam air. Air laut dan perairan yang dipengaruhi pasang-surut air laut nilai salinitasnya berkisar antara 5 – 34 ppt, dimana nilai tersebut merupakan kisaran nilai salinitas untuk payau sampai asin. Menurut Effendi (2003) nilai salinitas perairan payau berkisar antara 0,5 – 30 ppt, sedangkan air laut berkisar antara 30 – 40 ppt. Perairan 60
yang ada di daerah penelitian merupakan perairan dari payau, hasil pengukuran pada beberapa titik pengamatan, salinitas di daerah penelitian berkisar antara 16 – 22 ppt, yang merupakan indikasi daerah payau (Gambar 10), sehingga sangat cocok untuk ekosistem mangrove. 3.
Gelombang dan Arus Tiupan angin dipermukaan laut sebagian besar dapat mengakibatkan
terjadinya gelombang laut. Selain itu gelombang laut dapat juga diakibatkan oleh pasang-surut, gerakan tektonik, dan vulkanik. Gelombang laut yang terjadi di sekitar perairan Kalimantan Barat pada umumnya disebabkan oleh angin sehingga tinggi gelombang dan periode gelombang akan bergantung dari kekuatan dan arah angin yang bertup di sekitar perairan tersebut. Selain itu yang mempengaruhi karakter gelombang adalah kedalaman perairan dan bentuk topografi dasar perairan. Frekuensi tinggi gelombang di wilayah penelitian berkisar antara 10 – 60 cm dengan arah gelombang datang dari arah 60o pada pagi hari, dan arah 320o pada siang hari. Arus permukaan laut selain dipengaruhi olleh pasang-surut yang disebabkan oleh gaya tarik bumi, bulan, dan matahari juga dipengaruhi oleh tekanan angin. Energi yang ditimbulkan oleh angin akan memberikan energi kinetis yang dapat memberikan kesimbangan dinamis dari berbagai gaya yang mencoba mengubah distribusi energi lautan dan alirannya. Pola arus di Laut China Selatan, Laut Jawa, Laut Flores sampai dekat Laut Banda mengalami perubahan total dua kali setahun sesuai perkembangan musim. Pada bulan Desember – Pebruari arus musim barat mengalir menuju timur. Di Selat Karimata hingga laut Flores dapat dijumpai arus dengan kekuatan lebih dari 75 61
cm/dt. Pada musim pancaroba, arus ke timur ini mulai melemah bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadi pusar. Biasanya dalam musim pancaroba ini arus sudah mengalir ke barat di pantai selatan Kalimantan sedangkan di lepas pantai utara Jawa arus masih mengalir ke timur. Pada bulan Juni – Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus telah sepenuhnya berbalik arah menuju ke arah barat yang akhirnya menuju Laut China Selatan. Hasil pengukuran Bappeda Kalimantan Barat (2002), di wilayah penelitian tepatnya di muara Sungai Radak arah arus pada bulan Agustus – Nopember dominan dari arah barat laut dengan kecepatan maksimal pada kondisi pasang tinggi berkisar 0,530 – 0,769 m/dt sedangkan pada kondisi surut rendah berkisar antara 0,370 – 0,390 m/dt. Kaitan dengan ekosistem mangrove, gelombang dan arus memiliki pengaruh langsung terhadap distribusi dari species tanaman mangrove. Selain itu gelombang dan arus juga mempengaruhi kelangsungan hidup organisme akuatik, membawa transport nutrisi yang bermanfaat dari area mangrove ke laut. 4.
Suhu Air Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi proses fisiologi
tumbuhan yaitu proses fotosintesis dan respirasi. Beberapa spesies mangrove seperti Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20oC, Rhizophora stylosa, Ceriops spp, Excoecaria agallocha dan Lumnitzera spp dapat tumbuh optimal pada suhu antara 26-28oC. Sehingga suhu optimal yang baik untuk pertumbuhan mangrove adalah suhu di daerah tropis yang berkisar antara 20-28oC (Arksonkoae, 1993), sedangkan
62
menurut Saenger et al (1983) suhu air laut yang cocok untuk pertumbuhan mangrove berkisar antara 27-34oC. Hasil pengamatan dan pengukuran di daerah penelitian pada beberapa titik pengamatan menunjukkan suhu perairan berkisar antara 27,5oC - 31oC (Gambar 10), dengan nilai ini maka daerah penelitian masuk dalam katagori cocok untuk pertumbuhan optimal mangrove. 5.
Keasaman (pH) Nilai pH air dapat memberi gambaran tentang keseimbangan asam dan basa
yang secara mutlak mengukur konsentrasi ion H+. Hasil pengamatan dan pengukuran pada daerah penelitian menujukkan nilai pH pada beberapa titik yang pengamatan tergolong masih baik dan masih bersifat alami, yaitu berkisar antara 6,4 – 6,8, sedangkan baku mutu untuk perairan laut berkisar antara 6 – 9 (Gambar 10). Dengan demikian daerah penelitian memiliki perairan yang masih baik dan masih bersifat alami sehingga cocok untuk pertumbuhan optimal mangrove. 4.6. Flora dan Fauna Flora adalah khazanah
segala macam jenis tanaman atau tumbuhan,
sedangkan untuk hewan disebut fauna. Flora dan fauna berarti semua khazanah kehidupan tanpa mikroba (Wikipedia). Menurut Santoso dan Siregar (2006), jika dikelompokkan dalam kelas zonasi tumbuhan dari pantai sampai dengan daratan, wilayah ekosistem mangrove Batu Ampar mempunyai 6 tipe zonasi yaitu : (1) zona Avicenia, (2) Sonneratia, (3) Rhizophora dan Bruguiera, (4) Rhizophora dan Nipah, (5), Nipah, dan (6) Pandan dan Nibung. Di wilayah ini tercatat sedikitnya 40 spesies mangrove yang terdiri dari 21 jenis mangrove sejati (true mangrove) dan 19 jenis 63
mangrove ikutan (associate mangrove). Jenis yang paling dominan ditemukan di wilayah mangrove Batu Ampar adalah jenis-jenis Rhizophora spp, Bruguiera spp. dan Nypa fruticans.
Gambar 10. Peta Kondisi Fisik Air
64
Berdasarkan hasil inventarisasi lapangan diketahui bahwa jenis-jenis pohon mangrove yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis Rhizophora apicualata, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, dan Xylocarpus granatum dengan jenis yang paling dominan adalah Rhizophora apiculata. Tumbuhan lain yang juga banyak ditemukan adalah jenis Nypa fruticans. Jenis satwa liar yang terdapat di wilayah ekosistem mangrove Batu Ampar banyak didominasi oleh jenis-jenis burung. Menurut Santoso dan Siregar (2006), di wilayah ekosistem mangrove Batu Ampar tercatat sedikitnya ada 46 jenis burung, 6 jenis reptil dan 11 spesies mamalia yang dapat dijumpai di wilayah ekosistem mangrove Batu Ampar. Dari jenis-jenis tersebut tercatat 3 (tiga) diantaranya adalah jenis spesies endemik Pulau Kalimantan, yaitu Bekantan (Nasalis larvatus), Pesut (Orcaela brevirostria) dan Brecet Kalimantan (Ptilocichla leucogrammica). Pada saat kegiatan lapangan berlangsung peneliti sempat melihat langsung empat ekor lumba-lumba sungai berwarna albino di Sungai Radak pada tanggal 3 Mei 2009 pukul 13.00 WIB pada koordinat 322609 mT dan 9937787 mU, upaya dokumentasi dilakukan namun sayang kamera yang dibawa tidak dapat mengambil gambar dengan baik. Menurut informasi dari warga setempat bahwa binatang-binatang tersebut memang sering berada diwilayah itu. 4.7. Sosial Ekonomi Masyarakat Secara administrasi Desa Kubu termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Propinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan klasifikasi desa termasuk dalam katagori desa swasembada dengan total luas 235,08 km2. Jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 4.811 jiwa (1.035 KK), terdiri dari laki-laki 65
2.415 jiwa dan perempuan 2.396 jiwa. Kepadatan penduduk Desa Kubu adalah sebesar 20 jiwa/km2 (Kecamatan Kubu Dalam Angka, 2007). Struktur penduduk berdasarkan kelompok umur berkaitan dengan tingkat ketergantungan
terhadap
produktivitas.
Tingkat
ketergantungan
merupakan
parameter yang menunjukkan prosentase penduduk yang tidak produktif ditanggung oleh penduduk yang produktif. Penduduk produktif berusia antara 15-64 tahun, sedangkan penduduk yang tidak produktif berusia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun. Prosentase penduduk produktif Desa Kubu tahun 2007 adalah sebesar 52% dengan rincian seperti pada Tabel 5. Tabel 5.
Struktur Penduduk Desa Kubu Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Kelompok Umur
Jumlah (jiwa)
Persen (%)
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
< 5 tahun
430
395
825
17,8%
16,5%
17,1%
5 – 14 tahun
394
496
890
16,3%
20,7%
18,5%
15 – 64 tahun
1.289
1.213
2.502
53,4%
50,6%
52,0%
> 64 tahun
302
292
594
12,5%
12,2%
12,3%
Jumlah
2.415
2.396
4.811
100,0%
100,0%
100,0%
Sumber : Monografi Kecamatan Kubu, 2007 Berdasarkan tabel di atas terlihat kondisi potensial tenaga kerja di wilayah kajian bahwa tenaga kerja potensial ditentukan berdasarkan asumsi bahwa usia produktif antara 15-64 tahun, sementara yang tidak produktif antara 0-14 tahun dan 65 tahun keatas. Dari tabel tersebut diketahui bahwa penduduk usia produktif sebanyak 2.502 orang (52,0%) masih lebih besar daripada usia tidak produktif, dengan rasio ketergantungan sebesar 92,3% yang berarti dari tiap 100 penduduk yang berusia produktif harus menanggung 92-93 orang yang tidak produktif.
66
Sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Kubu sebagian besar dari sektor pertanian yaitu mencapai 62,4% dari seluruh jumlah kepala keluarga. Kemudian diikuti buruh sebanyak 24,1, perdagangan, pegawai negeri, dan lain-lain sekitar 13,5%. Sarana perekonomian yang dianggap mendukung dalam kegiatan ekonomi masyarakat sekitar lokasi penelitian meliputi pemanfaatan hasil hutan yaitu industri arang, eksploitasi kayu bakau untuk chip, pemanfaatan kayu untuk ramuan rumah, pemanfaatan daun nipah, dan hasil perikanan. Dapur arang merupakan salah satu sarana perekonomian yang dipakai dalam pemanfaatan kayu bakau yang bahan bakunya berasal dari kawasan hutan mangrove di lokasi penelitian. Berdasarkan data LPP Mangrove (2002), jumlah dapur arang di Desa Kubu sebanyak 44 unit terdiri dari yang terletak di G. Terjun sebanyak 14 unit (14 unit baik) dan G. Temiang sebanyak 31 unit (15 unit baik, 16 unit rusak).
Lokasi : 320497mT, 9935596mU Tanggal : 03 Juni 2009
Gambar 11. Dapur Arang di Gunung Terjun, Desa Kubu. Sarana perekonomian masyakarat yang lainnya salah satunya adalah kegiatan perikanan tangkap sesuai dengan kondisi fisik wilayah dimana banyak terdapat 67
tubuh-tubuh air berupa selat maupun sungai air payau. Peralatan penangkapan ikan yang dimiliki masyarakat Desa Kubu berupa pukat plastik, rawai, dan jermal. Sarana transportasi yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan adalah perahu atau kapal kecil (kelotok). Pemanfaatan daun nipah yang banyak tersedia di lokasi penelitian sebagai bahan atap rumah yang murah, karena sebagian rumah atau bangunan di Desa Kubu menggunakan atap nipah.
68
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Klasifikasi Penutupan Lahan Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa telah dilakukan digitasi dan klasifikasi penutupan lahan pada setiap citra Landsat. Hasil klasifikasi (Error! Reference source not found.) ini digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan lapangan, diantaranya yaitu berupa kegiatan inventarisasi vegetasi mangrove serta pengambilan dan pengukuran parameter lingkungan. Jumlah sampel plot sebanyak 68 buah ditempatkan secara purposive Hasil inventarisasi vegetasi mangrove digunakan untuk melakukan penilaian kecocokan antara hasil klasifikasi dan kondisi riil di lapangan, dalam hal terjadi perbedaan maka dilakukan reklasifikasi. Hasil pengukuran pada ke-68 plot yang pada kondisi terakhir kelas penutupan lahan yaitu tahun 2006 berupa kelas : Rhizophora (51 plot), Nipah (9 plot), Lahan Terbuka (6 plot), Belukar (1 plot), dan Tambak (1 plot), diperoleh kecocokan antara hasil interpretasi dan keadaan lapangan dengan total 65 plot (95,6%) yang benar. Ketidakcocokan yang terjadi pada 3 (tiga) plot terjadi karena pada 2 (dua) plot telah terjadi penebangan sehingga yang pada awalnya dinyatakan sebagai kelas Rhizophora ternyata berupa Lahan Terbuka, sedangkan pada plot sisanya ketidakcocokan terjadi karena kurang akuratnya pembuatan garis batas pada saat digitasi sehingga plot yang semestinya berada pada kelas Lahan Terbuka ternyata masih pada kelas Rhizophora. Sebaran plot contoh dapat dilihat pada Gambar 12.
69
Gambar 12. Peta Sebaran Plot Contoh 5.1.1. Reklasifikasi Penutupan Lahan Hutan Mangrove Hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa jenis tumbuhan penyusun vegetasi yang terdapat dalam wilayah penelitian adalah bakau (Rhizophora apiculata), tumuk (Bruguiera gymnorrhiza), nyirih (Xylocarpus granatum), lenggadai (Bruguiera parviflora), dan nipah (Nypa fruticans). Jenis yang paling dominan adalah Rhizophora, pada vegetasi primer yang dekat dengan sungai pada umumnya terdiri dari campuran antara Rhizophora apiculata, Bruguiera spp, dan Nypa fruticans, sedangkan yang jauh lebih ke dalam berupa campuran antara Rhizophora apiculata dan Bruguiera spp. Sementara itu pada vegetasi sekunder dimana dilokasi ini sebelumnya telah terjadi penebangan, pada umumnya terdiri dari jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Jenis Xylocarpus granatum ditemukan pada daerah belukar, perbatasan antara belukar dan nipah, atau antara nipah dan Rhizophora. Pada lokasi bekas lahan terbuka tahun 1989, pada umumnya ditutupi oleh vegetasi Rhizophora pada tingkat pancang (rata-rata 2.400 individu/ha), tingkat 70
pertumbuhan tiang (rata-rata 36 individu/ha; diameter 13,6 cm) dan tingkat pohon kecil (rata-rata 20 individu/ha; diameter 24,6 cm) yang merupakan permudaan alam. Pada lokasi bekas lahan terbuka tahun 2002 ditemukan jenis Rhizophora apiculata pada tingkat pancang (rata-rata 4.000 individu/ha) dan tingkat tiang (rata-rata 1.500 individu/ha; diameter 12,1 cm) hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses regenerasi pada lahan-lahan terbuka bekas tebangan secara alami. Menurut Pratiwi et al. (1996), permudaan alam merupakan salah satu bentuk regenerasi secara alamiah yang dilakukan oleh suatu jenis. Permudaan alam dapat terjadi jika pohon dari jenisjenis penting itu tertinggal untuk beregenerasi. Sementara itu pada vegetasi primer banyak ditemukan Rhizophora pada tingkat pancang (rata-rata 2.400 individu/ha), tingkat tiang (rata-rata 400 individu/ha; diameter 14,6 cm); tingkat pohon kecil (rata-rata 125 individu/ha; diameter 24,8 cm); tingkat pohon besar (rata-rata 40 individu/ha; diameter 46,4 cm; diameter terbesar 80 cm) dan Bruguiera pada tingkat pertumbuhan pohon besar (rata-rata 12 individu/ha; diameter 46,0 cm). Mengacu pada klasifikasi sebagaimana di atas (3.3.1.3) terdapat beberapa kelas yang tidak terpakai. Dari kelompok “Berhutan” terdapat kelas yang tidak ditemukan penyusun vegetasinya, yaitu Mangrove Pionir dimana penyusun vegetasinya terdiri dari Avicennia spp dan Sonneratia spp. Ketidak-hadiran kelompok mangrove pionir ini disebabkan lokasi penelitian bukan merupakan wilayah yang berhadapan langsung dengan laut lepas, dimana Avicennia dan Sonneratia hadir sebagai pionir. Sementara itu dari kelompok “Tidak Berhutan” terdapat beberapa kelas penutupan lahan yang tidak ditemukan yaitu Ladang dan Pemukiman. 71
Khusus kelas penutupan lahan Bruguiera, berdasarkan analisa data hasil inventarisasi bahwa jenis ini menyebar hampir merata pada kelas penutupan lahan Rhizophora yaitu pada tingkat tiang dari 39 plot yang terdapat Rhizophora apiculata 16 plot (41%) terdapat Bruguiera gymnorrhiza, pada tingkat pohon kecil dari 46 plot yang terdapat Rhizophora apiculata 17 plot (37%) terdapat Bruguiera gymnorrhiza, dan pada tingkat tiang dari 37 plot yang terdapat Rhizophora apiculata 22 plot (59%) terdapat Bruguiera gymnorrhiza. Menurut Ir. Fairus Mulia, praktisi mangrove melalui wawancara langsung, mengatakan bahwa jenis Tumuk (Bruguiera gymnorrhiza) tumbuh soliter dan terpencar didalam vegetasi Rhizophora, lain halnya dengan jenis Lenggadai (Bruguiera parviflora) biasanya tumbuh berkoloni dan jarang bertahan hidup lebih lama jika sendirian. Berdasarkan fakta lapangan dan informasi yang diperoleh dari praktisi mangrove, maka diambil keputusan untuk kelas penutupan lahan Bruguiera tidak dipakai dalam klasifikasi. Selanjutnya jenis Bruguiera masuk ke dalam asosiasi Rhizophora. Mengacu pada kenyataan di lapangan, maka klasifikasi penutupan lahan pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ini dibuat berdasarkan jenis yang ditemukan dengan nama asosiasi (1) Rhizophora, (2) Nipah, dan (3) Belukar. Asosiasi Rhizophora terdiri dari Rhizophora apiculata; Bruguiera gymnorrhiza, dan B. parviflora; Asosiasi Nipah terdiri dari Nypa fruticans, dan Belukar dimana didalamnya terdapat jenis Xylocarpus granatum.
Hasil reklasifikasi ditampilkan
pada Tabel 6.
72
Tabel 6.
Hasil Reklasifikasi Penutupan Lahan Hutan Mangrove
Nama Asosiasi / Penutupan Lahan
Simbol
Keterangan
Rhizophora
RHZ
Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflora
Nipah
NPH
Nypa fruticans
Belukar
BLK
Semak / Belukar Xylocarpus granatum
Hutan Lahan Kering
HLK
Lahan kering (bukit/gunung)
Lahan Terbuka
LTB
Lahan bekas tebangan
Tambak
TBK
Lahan budidaya air payau
Sumber: Analisis data primer (2009) 5.1.2. Komparasi Citra Landsat dengan Foto Lapangan Sebagai bahan klarifikasi dari setiap kelas penutupan lahan, pada saat kegiatan di lapangan dibuat dokumentasi menggunakan kamera digital, sehingga menghasilkan data berupa foto digital lapangan. Selanjutnya beberapa foto dipilih untuk dilakukan komparasi antara tampilan citra pada layar komputer dengan foto lapangan. Namun demikian karena perbedaan waktu yang cukup jauh antara waktu peliputan citra landsat dan pelaksanaan lapangan (hampir tiga tahun), maka metode ini tidak akan memberikan hasil komparasi yang benar-benar akurat disebabkan seiring berjalannya waktu maka perubahan di lapangan pun terus terjadi baik secara alamiah maupun ulah manusia. Akan tetapi dengan komparasi ini diharapkan diperoleh gambaran yang hampir sesungguhnya kondisi riil di lapangan, sehingga hasil interpretasi dapat dipercaya kebenarannya. Selain menggunakan foto lapangan, dalam reklasifikasi ini digunakan juga data hasil inventarisasi lapangan dengan menggunakan petak ukur yang dibuat di 73
lapangan. Reklasifikkasi merupaakan upaya memperolleh kepastiaan hasil peenafsiran dengan kondisi k sessungguhnyaa di lapanngan, salah h satunya dilakukan dengan membandiingkan tam mpilan citra dengan fotto yang dip peroleh darii lapangan. Berikut disajikan beberapa ggambar sebbagai perbaandingan antara a tamppilan citra di layar komputer dan foto lappangan, denngan penjelaasan sebagaai berikut :
RH HZ
((a)
Pos. 325 5478 mT, 99352281 mU tgl. 21--05-2009
(bb)
Pos. 325 5240 mT, 99344900 mU tgl. 211-05-2009
Pos. 3285 503 mT, 99370098 mU tgl. 22-05-2009
((c)
(dd)
Gambar 13.
Kenam mpakan Rhizzophora padda Citra dan n Foto Lapaangan
Paada gambar di atas dapat dijelaskaan bahwa gaambar (a) m merupakan tampilan t asosiasi Rhizophora R pada citraa landsat, (b) ( keberad daan Bruguuiera pada vegetasi Rhizophorra, (c) vegettasi Rhizophhora dewassa, (d) vegettasi Rhizophhora muda. Beerdasarkan keterangann diatas dapat disiimpulkan bahwa Brruguiera gymnorrhiza berada ddiantara teggakan Rhizoophora, pad da vegetasi R Rhizophoraa dewasa 74
terdapat pohon p dalam m berbagaii tingkat peertumbuhan n dari tingkkat pancangg, tiang, pohon kecil, dan poohon besar.. Sementaraa pada veg getasi Rhizoophora muuda pada umumnyaa terdapat poohon pada tiingkat tiangg dan pohon n kecil.
NPH
Pos. 344 4834 mT, 99289970 mU tgl. 23-05-2009
(a)
(bb)
Pos. 32 21460 mT, 99400514 mU tgl. 25-05-2009
Pos. 341 1673 mT, 9928108 mU tgl. 23-05-2009
Gambar 14.
(c) (dd) Kenam mpakan Nippah pada Cittra dan Foto o Lapangan
b : gaambar (a) tampilan t Beerdasarkan ppada gambaar dijelaskaan sebagai berikut asosiasi Nipah N pada citra landsaat, (b) Nipahh pada sem mpadan sunggai, (d) Nippah lebih ke dalam lagi dari seempadan sunngai, (c) Niipah yang berbatasan b ddengan Rhizzophora, tampak Rhizophora R kecil yangg tersisa daan sisa battang Rhizop ophora yang sudah tumbang. Beerdasar keterangan diattas dapat diaambil kesim mpulan bahw wa daerah berwarna b coklat tua pada citra llandsat merrupakan veggetasi Nipah h murni, dim mana tidak dijumpai d buhan lain jika suatu lahan sudahh dikuasai oleh nipah.. Pada daerrah yang jenis tumb 75
berbatasan antara vegetasi Nipah dan Rhizophora, tampak beberapa pohon Rhizophora yang masih tumbuh namun kondisinya sudah tertekan.
BLK
Pos. 328462 mT, 9939309 mU tgl. 03/05/2009
(a)
(b)
Pos. 328462 mT, 9939309 mU tgl. 03/05/2009
Pos. 328462 mT, 9939309 mU tgl. 03/05/2009
Gambar 15.
(c) (d) Kenampakan Belukar pada Citra dan Foto Lapangan
Pada gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : gambar (a) tampilan Belukar pada citra landsat, (b) koloni jenis Xylocarpus granatum, (c) Belukar yang berbatasan dengan Rhizophora, dan (d) Belukar dengan campuran Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Berdasar uraian di atas dapat ambil kesimpulan bahwa Belukar terdapat pada daerah pinggiran terutama daerah ekoton. Jenis yang ditemukan pada kelas ini diantaranya adalah Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans.
76
Citra Landsat 2002 2
Gambar 16.
Pos. 326005 3 mT, 99338311 mU tgl. 22/05/2009 2
(b) (a) Kenam mpakan Huttan Lahan Kering K pada Citra dan F Foto Lapanggan
Paada gambarr di atas, sebelah s kirii adalah tam mpilan asoosiasi Hutann Lahan Kering paada citra laandsat, dan sebelah kaanan peman ndangan Guunung Raddak yang diambil daari arah timuur.
TBK Pos. 328462 2 mT, 99393099 mU tgl. 04/05//2009
Gambar 17.
(b) (a) Kenam mpakan Tam mbak pada Citra C dan Fo oto Lapangaan
Paada gambarr di atas, sebelah s kirii adalah taampilan lahhan terbukaa berupa tambak yaang terdapaat pada lokkasi penelittian. Di seb belah kanann adalah foto fo arah masuk ke lokasi tambbak (tambakk berada diibalik tegak kan Rhizophhora yang berfungsi b sebagai bu uffer). Peneeliti tidak daapat menjanngkau lokassi tambak kkarena padaa saat itu air sedang g surut semeentara lokassi ini merupaakan beting g yang airnyya dangkal.
77
Pos. 327 7390 mT, 99363381 mU tgl. 22//05/2009
(bb)
((a)
Pos. 322 2298 mT, 99399920 mU tgl. 21//05/2009
Gambar 18.
((c) (dd) mpakan Lahhan Terbukaa pada Citraa dan Foto L Lapangan Kenam
Paada gambar di atas dappat dijelaskan sebagai berikut : ggambar (a) tampilan t Lahan Teerbuka yang luas padda citra Laandsat, (b) areal bekaas tebangann sudah ditumbuhii anakan Rhhizophora, (c) spot-sppot Lahan Terbuka T beekas tebanggan pada citra Land dsat, (d) konndisi Rhizopphora yang baru b diteban ng. Beerdasar keteerangan diaatas dapat diambil keesimpulan bbahwa padaa lahanlahan terb buka seperti tampak pada p citra Landsat, L paada saat pellaksanaan lapangan l sudah mullai ditumbuuhi oleh anaakan terutam ma dari jeniis Rhizophoora. Disisi lain pada vegetasi Rhizophoraa ditemukaan juga beeberapa po ohon Rhizoophora yanng baru ditebang.
78
5.2. Kondisi Penutupan Lahan Berdasarkan hasil reklasifikasi penutupan lahan diperoleh kondisi penutupan lahan untuk setiap tahun liputan citra Landsat yaitu tahun 1989, 2002, dan 2006. Uraian mengenai kondisi penutupan lahan pada setiap tahun liputan adalah sebagai berikut : 5.2.1. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 1989 Kelas penutupan lahan yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra Landsat tahun 1989 berupa Rhizophora, Nipah, Belukar dan Lahan Terbuka. Selain itu terdapat juga Hutan Lahan Kering, namun diabaikan karena analisis hanya konsentrasi pada hutan mangrove. Hasil klasifikasi citra Landsat liputan tahun 1989 dapat dilihat pada Tabel 7 dan peta pada Gambar 19. Tabel 7.
Kondisi Penutupan Lahan pada Tahun 1989 Hutan Lindung
Hutan Produksi Terbatas
Areal Penggunaan Lain
Jumlah
2.886,8
8.073,2
329,6
11.289,6
-
691,9
-
691,9
Nipah
810,5
2.574,4
93,0
3.477,9
Lahan Terbuka
555,5
4.101,7
38,7
4.695,9
4.252,8
15.441,2
461,3
20.155,3
Penutupan Lahan Rhizophora Belukar
Jumlah
Sumber: Penafsiran Citra Landsat 1989
79
Gambar 19. Peta Penutupan Lahan Tahun 1989
80
Berdasar peta pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pada tahun 1989 kondisi penutupan lahan didominasi oleh Rhizophora, namun demikian terdapat lahan terbuka berupa lokasi bekas tebangan yang cukup luas terdapat pada kawasan Hutan Produksi Terbatas hampir di sepanjang sempadan Sungai Radak dan Sungai Sepada Kiri seperti dapat dilihat pada Gambar 19, sementara itu vegetasi Nipah hadir terutama dalam kawasan Hutan Lindung dan daerah ekoton dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas. Secara rinci seperti tertera pada Tabel 7 di atas dapat dijelaskan bahwa lokasi penelitian dengan total luas 20.155,3 ha, berdasarkan fungsi kawasan terbagi menjadi Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Proporsi luasan masing-masing kawasan adalah HL = 21,1%; HPT = 76,6%; dan APL = 2,3%. Kelas penutupan yang mempunyai luasan terkecil adalah Belukar (691,9 ha) dan kelas penutupan yang mempunyai luasan terbesar adalah Rhizophora (11.289,6 ha). Berdasarkan fungsi kawasan kondisi penutupan lahan tahun 1989 diuraikan sebagai berikut : 1.
Hutan Lindung Pada kawasan HL terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 2.886,8
ha, Nipah 810,5 ha, dan Lahan Terbuka 555,5 ha. Kelas yang paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 67,9% dari luas kawasan HL. 2.
Hutan Produksi Terbatas Pada kawasan HPT terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 8.073,2
ha, Lahan Terbuka 4.101,7 ha, Nipah 2.574,4 ha, dan Belukar 691,9 ha. Kelas yang
81
paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 52,3% dari luas kawasan HPT. 3.
Areal Penggunaan Lain Pada kawasan APL terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 329,6
ha, Nipah 93,0 ha, dan Lahan Terbuka 38,7 ha. Kelas yang paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 71,5% dari luas kawasan APL. 5.2.2. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 2002 Kelas penutupan lahan yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2002 berupa Rhizophora, Nipah, Belukar, Lahan Terbuka, dan Tambak. Hasil klasifikasi citra Landsat liputan tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 8 dan peta pada Gambar 20. Tabel 8.
Kondisi Penutupan Lahan pada Tahun 2002 Hutan Lindung
Hutan Produksi Terbatas
Areal Penggunaan Lain
Jumlah
3.256,8
9.959,3
351,9
13.568,0
-
490,4
29,1
519,5
Nipah
805,1
3.543,3
26,7
4.375,1
Lahan Terbuka
112,8
1.448,2
53,6
1.614,6
Tambak
78,1
-
-
78,1
Jumlah
4.252,8
15.441,2
461,3
20.155,3
Penutupan Lahan Rhizophora Belukar
Sumber : Penafsiran Citra Landsat 2002
82
Gambar 20. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002
83
Berdasar peta seperti pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa kondisi penutupan lahan di lokasi penelitian pada tahun 2002 didominasi oleh kelas Rhizophora, sementara itu lahan terbuka yang pada umumnya merupakan lokasi bekas penebangan terdapat pada beberapa lokasi dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas. Posisi vegetasi Nipah tidak banyak mengalami perubahan yaitu sebagian besar berada dalam kawasan Hutan Lindung dan daerah ekoton dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas. Data rinci seperti tertera pada Tabel 8 di atas dapat dijelaskan bahwa lokasi penelitian dengan total luas 20.155,3 ha, berdasarkan fungsi kawasan terbagi menjadi Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Proporsi luasan masing-masing kawasan adalah HL = 21,1%; HPT = 76,6%; dan APL = 2,3%. Kelas penutupan yang mempunyai luasan terkecil adalah Tambak (78,1 ha) dan kelas penutupan yang mempunyai luasan terbesar adalah Rhizophora (13.568,0 ha). Berdasarkan fungsi kawasan kondisi penutupan lahan tahun 2002 diuraikan sebagai berikut : 1.
Hutan Lindung Pada kawasan HL terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 3.256,8
ha, Nipah 805,1 ha, Lahan Terbuka 112,8 ha, dan Tambak 78,1 ha. Kelas yang paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 76,6% dari luas kawasan HL. 2.
Hutan Produksi Terbatas Pada kawasan HPT terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 9.959,3
ha,Belukar 490,4 ha, Nipah 3.543,3 ha, dan Lahan Terbuka 1.448,2 ha. Kelas yang 84
paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 64,5% dari luas kawasan HPT. 3.
Areal Penggunaan Lain
Pada kawasan APL terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 351,9 ha, Belukar 29,1 ha, Nipah 26,7 ha, dan Lahan Terbuka 53,6 ha. Kelas yang paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 76,3% dari luas kawasan APL. 5.2.3. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 2006 Kelas penutupan lahan yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2006 berupa Rhizophora,Belukar, Nipah, Lahan Terbuka, dan Tambak. Hasil klasifikasi citra Landsat liputan tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 9 dan peta pada Gambar 21. Tabel 9.
Kondisi Penutupan Lahan pada Tahun 2006
Penutupan Lahan Rhizophora
Hutan Lindung
Hutan Produksi Terbatas
Areal Penggunaan Lain
Jumlah
2.650,4
9.560,7
255,0
12.466,1
-
349,5
10,7
360,2
1.315,1
4.456,6
154,7
5.926,4
210,6
1.074,4
40,9
1.325,9
76,7
-
-
76,7
4.252,8
15.441,2
461,3
20.155,3
Belukar Nipah Lahan Terbuka Tambak Jumlah
Sumber : Penafsiran Citra Landsat 2006
85
Gambar 21. Peta Penutupan Lahan Tahun 2006
86
Berdasar peta seperti pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa kondisi penutupan lahan di lokasi penelitian pada tahun 2006 didominasi oleh Rhizophora, sementara itu lahan terbuka yang pada umumnya merupakan lokasi bekas penebangan terdapat pada beberapa lokasi dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas. Posisi vegetasi Nipah tidak banyak mengalami perubahan yaitu sebagian besar berada dalam kawasan Hutan Lindung dan daerah ekoton dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas. Data rinci seperti tertera pada Tabel 9 di atas dapat dijelaskan bahwa lokasi penelitian dengan total luas 20.155,3 ha, berdasarkan fungsi kawasan terbagi menjadi Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Proporsi luasan masing-masing kawasan adalah HL = 21,1%; HPT = 76,6%; dan APL = 2,3%. Kelas penutupan yang mempunyai luasan terkecil adalah Tambak (76,7 ha) dan kelas penutupan yang mempunyai luasan terbesar adalah Rhizophora (12.466,1 ha). Berdasarkan fungsi kawasan kondisi penutupan lahan tahun 2006 diuraikan sebagai berikut : 1.
Hutan Lindung Pada kawasan HL terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 2.650,4
ha, Nipah 1.315,1 ha, Lahan Terbuka 210,6 ha, dan Tambak 76,7 ha. Kelas yang paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 62,3% dari luas kawasan HL. 2.
Hutan Produksi Terbatas Pada kawasan HPT terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 9.560,7
ha,Belukar 349,5 ha, Nipah 4.456,6 ha, dan Lahan Terbuka 1.074,4 ha. Kelas yang 87
paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 61,9% dari luas kawasan HPT. 3.
Areal Penggunaan Lain
Pada kawasan APL terdapat penutupan lahan Rhizophora dengan luas 255,0 ha, Belukar 10,7 ha, Nipah 154,7 ha, dan Lahan Terbuka 40,9 ha. Kelas yang paling dominan pada kawasan ini adalah Rhizophora dengan cakupan 55,3% dari luas kawasan APL. 5.3. Kondisi Vegetasi Mangrove Hasil inventarisasi lapangan menunjukkan bahwa struktur dan komposisi jenis pohon mangrove pada lokasi penelitian ditemukan sebanyak 4 (empat) jenis, yaitu : Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum. Dari keempat jenis pohon tersebut dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok tingkatan pertumbuhan yaitu pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar. Tingkat pancang yaitu pohon dengan ukuran tinggi lebih dari 150 cm dan diameter kurang dari 10 cm, tingkat tiang yaitu pohon dengan ukuran diameter antara 10 – 20 cm, pohon kecil mempunyai ukuran diameter antara 20 – 35 cm, dan pohon besar mempunyai diameter lebih dari 35 cm. Dalam penelitian ini pengamatan tentang komposisi dan struktur vegetasi mangrove hanya terkonsentrasi pada jenis tumbuhan mangrove berkayu, sedangkan untuk jenis palma, herba dan lainnya tidak dilakukan penghitungan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan peneliti baik segi biaya maupun waktu untuk kegiatan penelitian ini. Oleh karena itu gambaran kondisi vegetasi mangrove yang akan dibahas hanya terbatas pada jenis-jenis seperti yang telah disebutkan di atas. 88
5.3.1. Kerapatan Untuk mengetahui kerapatan vegetasi mangrove yang terdapat di lokasi penelitian dilakukan penilaian dengan cara membagi jumlah individu suatu species dengan luas areal cuplikan. Nilai kerapatan dikelompokkan berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon, sebagai berikut : 1.
Tingkat Pancang Jumlah jenis pohon mangrove yang ditemukan sebanyak 3 (tiga) jenis, yaitu
Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Xylocarpus granatum. Luas plot untuk tingkat pancang adalah 0,0025 ha (R=2,82 m) dengan jumlah plot sebanyak 68 plot maka luas seluruh plot adalah 0,17 ha. Dengan membagi jumlah individu dalam plot dengan luas seluruh plot maka didapat nilai kerapatan species dalam satuan individu per hektar. Untuk mendapatkan nilai kerapatan relatif dilakukan dengan cara membagi nilai kerapatan species dengan jumlah kerapatan seluruh species dikalikan 100%. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10.
Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Pancang
Nama species
Jumlah Individu dlm Plot (ind/plot)
Luas Plot (ha)
Jumlah Plot (plot)
Jumlah Luas Plot (ha)
Kerapatan (ind/ha)
Kerapatan Relatif (KR)
6
0,0025
68
0,17
35,29
2,51%
Rhizophora apiculata
232
0,0025
68
0,17
1.364,71
97,07%
Xylocarpus granatum
1
0,0025
68
0,17
5,88
0,42%
239
0,0025
68
0,17
1.405,88
100,00%
Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasarkan hasil analisis tabel di atas dapat dijelaskan bahwa nilai kerapatan species mangrove di daerah penelitian untuk tingkat pancang adalah berkisar antara 89
5,88 – 1.364,71 individu/ha. Species yang mempunyai kerapatan terkecil adalah Xylocarpus granatum (5,88 batang/ha) dan yang mempunyai kerapatan terbesar adalah Rhizophora apiculata (1.364,71 batang/ha). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kerapatan species Rhizophora apiculata di lokasi penelitian berbeda jauh dengan species lainnya, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang lebih cocok untuk jenis Rhizophora apiculata, sehingga jenis tersebut pada tingkat pancang menjadi sangat banyak dan rapat. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pancang pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 1.837 batang/ha, bekas tebangan tahun 2002 adalah 2.533 batang/ha; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 1.943 batang/ha. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 1.017 batang/ha. 2.
Tingkat Tiang Jumlah jenis pohon mangrove yang ditemukan sebanyak 4 (empat) jenis,
yaitu Bruguiera parviflora, B. gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Xylocarpus granatum. Luas plot untuk tingkat pancang adalah 0,01 ha (10 x 10 m) dengan jumlah plot sebanyak 68 plot maka luas seluruh plot adalah 0,68 ha. Dengan membagi jumlah individu dalam plot dengan luas seluruh plot maka didapat nilai kerapatan species dalam satuan individu per hektar. Untuk mendapatkan nilai kerapatan relatif dilakukan dengan cara membagi nilai kerapatan species dengan jumlah kerapatan seluruh species dikalikan 100%. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 11. 90
Tabel 11.
Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Tiang
Nama species
Jumlah Individu dlm Plot (ind/plot)
Luas Plot (ha)
Jumlah Plot (plot)
Jumlah Luas Plot (ha)
Kerapatan (ind/ha)
Kerapatan Relatif (KR)
2
0,01
68
0,68
2,94
0,60%
30
0,01
68
0,68
44,12
8,93%
Rhizophora apiculata
293
0,01
68
0,68
430,88
87,20%
Xylocarpus granatum
11
0,01
68
0,68
16,18
3,27%
336
0,01
68
0,68
494,12
100,00%
Bruguiera parviflora Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasarkan hasil analisis tabel di atas dapat dijelaskan bahwa nilai kerapatan species mangrove di daerah penelitian untuk tingkat tiang adalah berkisar antara 2,94 – 430,88 individu/ha. Species yang mempunyai kerapatan terkecil adalah Bruguiera parviflora (2,94 batang/ha) dan yang mempunyai kerapatan terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan kerapatan 430,88 batang/ha.. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kerapatan species Rhizophora apiculata di lokasi penelitian berbeda jauh dengan species lainnya, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang lebih cocok untuk jenis Rhizophora apiculata, sehingga jenis tersebut pada tingkat tiang menjadi sangat banyak dan rapat. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa kerapatan tingkat tiang pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 778 batang/ha, bekas tebangan tahun 2002 adalah 567 batang/ha; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 500 batang/ha. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 296 batang/ha.
91
3.
Tingkat Pohon Kecil Jumlah jenis pohon mangrove yang ditemukan sebanyak 3 (tiga) jenis, yaitu
Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Xylocarpus granatum. Luas plot untuk tingkat pancang adalah 0,04 ha (20 x 20 m) dengan jumlah plot sebanyak 68 plot maka luas seluruh plot adalah 2,72 ha. Dengan membagi jumlah individu dalam plot dengan luas seluruh plot maka didapat nilai kerapatan species dalam satuan individu per hektar. Untuk mendapatkan nilai kerapatan relatif dilakukan dengan cara membagi nilai kerapatan species dengan jumlah kerapatan seluruh species dikalikan 100%. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 12 Tabel 12.
Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Pohon Kecil
Nama species
Jumlah Individu dlm Plot (ind/plot)
Luas Plot (ha)
Jumlah Plot (plot)
Jumlah Luas Plot (ha)
Kerapatan (ind/ha)
Kerapatan Relatif (KR)
45
0,04
68
2,72
16,54
18,22%
Rhizophora apiculata
174
0,04
68
2,72
63,97
70,45%
Xylocarpus granatum
28
0,04
68
2,72
10,29
11,34%
247
0,04
68
2,72
90,81
100,00%
Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasarkan hasil analisis tabel di atas dapat dijelaskan bahwa nilai kerapatan species mangrove di daerah penelitian untuk tingkat pohon kecil adalah berkisar antara 10,29 – 63,97 individu/ha. Species yang mempunyai kerapatan terkecil adalah Xylocarpus granatum (11,34 batang/ha) dan terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan kerapatan (63,97 batang/ha). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kerapatan species Rhizophora apiculata di lokasi penelitian berbeda jauh dengan species lainnya, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang lebih cocok untuk jenis 92
Rhizophora apiculata, sehingga jenis tersebut pada tingkat pohon kecil menjadi banyak dan rapat. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa kerapatan tingkat phon kecil pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 106 batang/ha, bekas tebangan tahun 2002 adalah 21 batang/ha; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 21 batang/ha. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 115 batang/ha. 4.
Tingkat Pohon Besar Jumlah jenis pohon mangrove yang ditemukan sebanyak 3 (tiga) jenis, yaitu
Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Xylocarpus granatum. Luas plot untuk tingkat pohon kecil adalah 0,25 ha (20 x 125 m) dengan jumlah plot sebanyak 68 plot maka luas seluruh plot adalah 17 ha. Dengan membagi jumlah individu dalam plot dengan luas seluruh plot maka didapat nilai kerapatan species dalam satuan individu per hektar. Untuk mendapatkan nilai kerapatan relatif dilakukan dengan cara membagi nilai kerapatan species dengan jumlah kerapatan seluruh species dikalikan 100%. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13.
Nilai Kerapatan Species Mangrove Tingkat Pohon Besar Jumlah Individu
Nama species
dlm Plot
Luas
Jumlah
Jumlah
Plot
Plot
Luas Plot
(ha)
(plot)
(ha)
Kerapatan (ind/ha)
Kerapatan Relatif (KR)
(ind/plot) 87
0,25
68
17
5,12
21,70%
Rhizophora apiculata
296
0,25
68
17
17,41
73,82%
Xylocarpus granatum
18
0,25
68
17
1,06
4,49%
401
0,25
68
17
23,59
100,00%
Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah
Sumber: Analisis data primer (2009)
93
Berdasarkan hasil analisis tabel di atas dapat dijelaskan bahwa nilai kerapatan species mangrove di daerah penelitian untuk tingkat pohon besar adalah berkisar antara 1,06 – 17,41 individu/ha. Species yang mempunyai kerapatan terkecil adalah Xylocarpus granatum (1,06 batang/ha) dan terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan kerapatan 17,41 batang/ha. Sementara itu Bruguiera gymnorrhiza pada tingkat pohon besar cukup banyak dengan kerapatan 5,12 batang/ha. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kerapatan species Rhizophora apiculata di lokasi penelitian berbeda jauh dengan species lainnya, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang lebih cocok untuk jenis Rhizophora apiculata, sehingga jenis tersebut pada tingkat pohon besar menjadi banyak dan lebih rapat dari jenis lainnya. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon besar pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 8 batang/ha, bekas tebangan tahun 2002 adalah 17 batang/ha; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 20 batang/ha. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 47 batang/ha. 5.3.2. Frekuensi Untuk mengetahui frekuensi (kekerapan) vegetasi mangrove yang terdapat di lokasi penelitian dilakukan penilaian dengan cara membagi jumlah plot ditemukan individu suatu species muncul dengan luas seluruh plot. Nilai jumlah plot ditemukan species diperoleh dengan cara menghitung plot-plot yang terdapat suatu species pada seluruh species yang tercatat pada data hasil inventarisasi. Jumlah seluruh plot adalah sebanyak 68 plot. Dengan membagi jumlah plot ditemukan species dengan jumlah 94
seluruh plot maka didapat nilai frekuensi. Untuk mendapatkan nilai frekuensi relatif dilakukan dengan cara membagi nilai frekuensi dengan jumlah frekuensi seluruh species dikalikan 100%. Nilai frekuensi dikelompokkan berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon, sebagai berikut : 1.
Tingkat Pancang Hasil analisis untuk mendapatkan nilai frekuensi species mangrove pada
tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14.
Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Pancang
Nama Species
Jumlah Plot Ditemukan Species
Jumlah Plot
Frekuensi (F)
Frekuensi Relatif (FR)
Bruguiera gymnorrhiza
2
68
0,03
4,65%
Rhizophora apiculata
40
68
0,59
93,02%
1
68
0,01
2,33%
43
68
0,63
100,00%
Xylocarpus granatum Jumlah Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kisaran nilai frekuensi species mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 0,01 – 0,59. Species yang mempunyai nilai frekuensi terkecil adalah Xylocarpus granatum dengan frekuensi relatif 2,33% dan species yang mempunyai nilai frekuensi terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan frekuensi relatif 93,02%. Berdasar pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pancang jenis Rhizophora apiculata mempunyai sebaran paling merata daripada jenis-jenis lainnya, hal ini ditandai dengan kehadiran species tersebut pada 93,02% dari plot-plot yang dibuat. Kondisi ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian 95
merupakan tempat yang sangat cocok untuk pertumbuhan jenis Rhizophora apiculata. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa frekuensi tingkat pancang pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 0,78, bekas tebangan tahun 2002 adalah 0,67; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 0,57. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 0,63. 2.
Tingkat Tiang Hasil analisis untuk mendapatkan nilai frekuensi species mangrove pada
tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15.
Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Tiang
Nama Species
Jumlah Plot Ditemukan Species
Jumlah Plot
Frekuensi (F)
2
68
0,03
Bruguiera gymnorrhiza
20
68
0,29
Rhizophora apiculata
44
68
0,65
5
68
0,07
71
68
1,04
Bruguiera parviflora
Xylocarpus granatum Jumlah Sumber: Analisis data primer (2009)
Frekuensi Relatif (FR) 2,82% 28,17% 61,97% 7,04% 100,00%
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kisaran nilai frekuensi species mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 0,03 – 0,65. Species yang mempunyai nilai frekuensi terkecil adalah Bruguiera parviflora dengan frekuensi relatif 2,82% dan species yang mempunyai nilai frekuensi terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan frekuensi relatif 61,97%. Berdasar pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada tingkat tiang jenis Rhizophora apiculata mempunyai sebaran paling merata daripada jenisjenis lainnya, hal ini ditandai dengan kehadiran species tersebut pada 58,21% dari 96
plot-plot yang dibuat. Kondisi ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian merupakan tempat yang sangat cocok untuk pertumbuhan jenis Rhizophora apiculata. Bruguiera gymnnorrhiza juga mempunyai sebaran yang cukup merata dengan nilai frekuensi 31,34%. Berdasarkan data hasil inventarisasi diketahui bahwa pada tingkat tiang dari 37 plot yang terdapat Rhizohpra apiculata, 22 diantaranya (59%) terdapat Bruguiera gymnorrhiza. Hal ini menandakan bahwa Bruguiera gymnorrhiza berasosiasi dengan Rhizophora apiculata. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa frekuensi tingkat tiang pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 1,37, bekas tebangan tahun 2002 adalah 0,83; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 0,71. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 1,00. 3.
Tingkat Pohon Kecil Hasil analisis untuk mendapatkan nilai frekuensi species mangrove pada
tingkat pohon kecil dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16.
Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Pohon Kecil
Nama Species
Jumlah Plot Ditemukan Species
Jumlah Plot
Frekuensi (F)
Frekuensi Relatif (FR)
Bruguiera gymnorrhiza
22
68
0,32
27,85%
Rhizophora apiculata
46
68
0,68
58,23%
Xylocarpus granatum
11
68
0,16
13,92%
Jumlah
79
68
1,16
100,00%
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kisaran nilai frekuensi species mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 0,16 – 0,68. Species 97
yang mempunyai nilai frekuensi terkecil adalah Xylocarpus granatum dengan frekuensi relatif 13,92% dan species yang mempunyai nilai frekuensi terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan frekuensi relatif 58,23%. Berdasar pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pohon kecil jenis Rhizophora apiculata mempunyai sebaran paling merata daripada jenis-jenis lainnya, hal ini ditandai dengan kehadiran species tersebut pada 56,10% dari plot-plot yang dibuat. Kondisi ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian merupakan tempat yang sangat cocok untuk pertumbuhan jenis Rhizophora apiculata. Jenis Bruguiera gymnorrhiza juga menunjukkan nilai frekuensi yang cukup tinggi dengan frekuensi relatif 29,27%, kemunculannya kebanyakan pada plotplot terdapat pada vegetasi Rhizophora. Hal ini selain menandakan keberadaan Brugguiera gymnorrhiza yang cukup merata juga menunjukkan bahwa di lokasi penelitian jenis ini berasosiasi dengan Rhizophora apiculata. Berdasarkan data hasil inventarisasi diketahui bahwa pada tingkat pohon kecil dari 46 plot yang terdapat Rhizophora apiculata, 17 diantaranya (37%) terdapat Bruguiera gymnorrhiza. Hal ini menandakan bahwa Bruguiera gymnorrhiza berasosiasi dengan Rhizophora apiculata. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa frekuensi tingkat pohon kecil pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 1,48, bekas tebangan tahun 2002 adalah 0,50; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 0,71. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 1,29.
98
4.
Tingkat Pohon Besar Hasil analisis untuk mendapatkan nilai frekuensi species mangrove pada
tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17.
Nilai Frekuensi Species Mangrove Tingkat Pohon Besar
Nama Species
Jumlah Plot Ditemukan Species
Jumlah Plot
Frekuensi (F)
Frekuensi Relatif (FR)
Bruguiera gymnorrhiza
27
68
0,40
38,03%
Rhizophora apiculata
37
68
0,54
52,11%
Xylocarpus granatum
7
68
0,10
9,86%
71
68
1,04
100,00%
Jumlah Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kisaran nilai frekuensi species mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 0,10 – 0,54. Species yang mempunyai nilai frekuensi terkecil adalah Xylocarpus granatum dengan frekuensi relatif 9,85% dan species yang mempunyai nilai frekuensi terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan frekuensi relatif 52,11%. Berdasar pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pohon besar jenis Rhizophora apiculata mempunyai sebaran paling merata daripada jenis-jenis lainnya, hal ini ditandai dengan kehadiran species tersebut pada 55,22% dari plot-plot yang dibuat. Kondisi ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian merupakan tempat yang sangat cocok untuk pertumbuhan jenis Rhizophora apiculata. Begitu juga dengan Bruguiera gymnorrhiza mempunyai sebaran yang cukup merata pada tingkat pohon besar dengan nilai frekuensi relatif 37,31%, kebanyakan muncul pada plot-plot yang terdapat pada vegetasi Rhizophora virgin. 99
Berdasarkan data hasil inventarisasi diketahui bahwa pada tingkat tiang dari 39 plot yang terdapat Rhizohpra apiculata, 16 diantaranya (41%) terdapat Bruguiera gymnorrhiza. Hal ini menandakan bahwa Bruguiera gymnorrhiza berasosiasi dengan Rhizophora apiculata. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa frekuensi tingkat pancang pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 0,67, bekas tebangan tahun 2002 adalah 0,50; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 0,86. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 1,67. 5.3.3. Dominansi Dominansi merupakan nilai untuk mengetahui seberapa luas wilayah yang dikuasai oleh suatu species. Nilai dominansi diperoleh dari luas bidang dasar atau basal area suatu jenis. Luas bidang dasar atau basal area diperoleh dari diameter pohon yang diukur pada setinggi dada, dengan persammaan LBD = ¼ π . D2 dimana LBD = Luas Bidang Dasar, π = 3,1416 atau ¼ π = 0,7854, dan D = diameter batang yang diukur pada ketinggian setinggi dada (DBH). Untuk mendapatkan nilai dominansi species mangrove pada lokasi penelitian dilakukan dengan membagi jumlah LBD suatu species dengan jumlah luas seluruh plot. Jika LBD dalam satuan m2 dan luas seluruh plot dalam satuan ha, maka nilai dominansi
diperoleh dalam satuan m2/ha. Nilai dominansi dikelompokkan
berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon, sebagai berikut : 1.
Tingkat Tiang Untuk mengetahui nilai dominansi species mangrove pada lokasi penelitian
untuk tingkat tiang, terlebih dahulu dilakukan penghitungan untuk mendapatkan 100
LBD setiap individu kemudian dijumlahkan per species sehingga menjadi LBD species. Selanjutnya jumlah LBD dibagi dengan jumlah luas plot sehingga diperoleh nilai dominansi. Luas plot untuk tingkat tiang adalah 0,01 ha, dengan jumlah plot sebanyak 68 plot maka jumlah luas plot adalah 0,68 ha. Hasil analisis seperti pada Tabel 18. Tabel 18.
Nilai Dominansi Species Mangrove Tingkat Tiang
Nama Species
Luas Plot (ha)
Jumlah Plot
Jumah Luas Plot (ha)
Jumlah LBD (m2)
Dominansi (D)
Dominansi Relatif (DR)
Bruguiera parviflora
0,01
68
0,68
0,0431
0,0634
0,89%
Bruguiera gymnorrhiza
0,01
68
0,68
0,5091
0,7487
10,48%
Rhizophora apiculata
0,01
68
0,68
4,1493
6,1019
85,42%
Xylocarpus granatum
0,01
68
0,68
0,1990
0,2927
4,10%
7,1433
100,00%
Jumlah Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kisaran nilai dominansi species mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 0,0634 – 6,1019 m2/ha. Species yang mempunyai nilai dominansi terkecil adalah Bruguiera parviflora dengan dominansi relatif 0,89% dan species yang mempunyai nilai dominansi terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan dominansi relatif 85,42%. Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa luas ruang yang terisi oleh species mangrove tingkat tiang pada lokasi penelitian sebesar 6,38 m2/ha, dari luas tersebut 5,30 m2/ha (83,16%) dari jenis Rhizophora apiculata. Hal ini menandakan bahwa jenis Rhizophora apiculata mendominasi pada tingkat tiang.
101
Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa dominansi tingkat tiang pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 11,28 m2/ha, bekas tebangan tahun 2002 adalah 6,65 m2/ha; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 5,39 m2/ha. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 4,91 m2/ha. 2.
Tingkat Pohon Kecil Untuk mengetahui nilai dominansi species mangrove pada lokasi penelitian
untuk tingkat tiang, terlebih dahulu dilakukan penghitungan untuk mendapatkan LBD setiap individu kemudian dijumlahkan per species sehingga menjadi LBD species. Selanjutnya jumlah LBD dibagi dengan jumlah luas plot sehingga diperoleh nilai dominansi. Luas plot untuk tingkat pohon kecil adalah 0,04 ha, dengan jumlah plot sebanyak 68 plot maka jumlah luas plot adalah 2,72 ha. Hasil analisis seperti dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19.
Nilai Dominansi Species Mangrove Tingkat Pohon Kecil
Nama Species
Luas Plot (ha)
Jumlah Plot
Jumah Luas Plot (ha)
Jumlah LBD (m2)
Dominansi (D)
Dominansi Relatif (DR)
Bruguiera gymnorrhiza
0,04
68
2,72
2,2883
0,8413
17,98%
Rhizophora apiculata
0,04
68
2,72
9,0196
3,3160
70,87%
Xylocarpus granatum
0,04
68
2,72
1,4185
0,5215
11,15%
4,6789
100,00%
Jumlah Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kisaran nilai dominansi species mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 0,5215 – 3,3160 m2/ha. Species yang mempunyai nilai dominansi terkecil adalah Xylocarpus 102
granatum dengan dominansi relatif 11,15% dan species yang mempunyai nilai dominansi terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan dominansi relatif 70,87%. Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa luas ruang yang terisi oleh species mangrove tingkat tiang pada lokasi penelitian sebesar 6,07 m2/ha, dari luas tersebut 3,48 m2/ha (57,37%) dari jenis Rhizophora apiculata. Hal ini menandakan bahwa jenis Rhizophora apiculata cukup mendominasi pada tingkat pohon kecil. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa dominansi tingkat pohon kecil pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 5,20 m2/ha, bekas tebangan tahun 2002 adalah 1,12 m2/ha; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 1,09 m2/ha. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 6,16 m2/ha. 3.
Tingkat Pohon Besar Untuk mengetahui nilai dominansi species mangrove pada lokasi penelitian
untuk tingkat tiang, terlebih dahulu dilakukan penghitungan untuk mendapatkan LBD setiap individu kemudian dijumlahkan per species sehingga menjadi LBD species. Selanjutnya jumlah LBD dibagi dengan jumlah luas plot sehingga diperoleh nilai dominansi. Luas plot untuk tingkat tiang adalah 0,25 ha, dengan jumlah plot sebanyak 68 plot maka jumlah luas plot adalah 17 ha. Hasil analisis seperti dapat dilihat pada Tabel 20.
103
Tabel 20.
Nilai Dominansi Species Mangrove Tingkat Pohon Besar
Nama Species
Luas Plot (ha)
Jumlah Plot
Jumah Luas Plot (ha)
Jumlah LBD 2 (m )
Dominansi (D)
Dominansi Relatif (DR)
Bruguiera gymnorrhiza
0,25
68
17
14,5638
0,8567
21,69%
Rhizophora apiculata
0,25
68
17
48,9104
2,8771
72,84%
Xylocarpus granatum
0,25
68
17
3,6717
0,2160
5,47%
Jumlah
0,25
68
17
3,9498
100,00%
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kisaran nilai dominansi species mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 0,2160 – 2,8771 m2/ha. Species yang mempunyai nilai dominansi terkecil adalah Xylocarpus granatum dengan dominansi relatif 5,47% dan species yang mempunyai nilai dominansi terbesar adalah Rhizophora apiculata dengan dominansi relatif 72,84%. Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa luas ruang yang terisi oleh species mangrove tingkatpohon besar pada lokasi penelitian sebesar 3,76 m2/ha, dari luas tersebut 2,88 m2/ha (76,70%) dari jenis Rhizophora apiculata. Hal ini menandakan bahwa jenis Rhizophora apiculata mendominasi pada tingkat pohon besar. Analisis terpisah data inventarisasi menunjukkan bahwa dominansi tingkat tiang pada lokasi-lokasi bekas tebangan tahun 1989 adalah 1,35 m2/ha, bekas tebangan tahun 2002 adalah 2,74 m2/ha; dan bekas tebangan tahun 2006 adalah 3,61 m2/ha. Sementara itu pada vegetasi primer Rhizophora diketahui kerapatannya sebesar 7,61 m2/ha.
104
Untuk mengetahui kelas dominansi species mangrove pada lokasi penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan tabel kelas dominansi vegetasi seperti pada Tabel 21. Tabel 21. No.
Kelas Dominansi Vegetasi Kelas Dominansi
Besar Dominansi (%)
Harkat
1.
Sangat Tinggi
75 – 100%
5
2.
Tinggi
50 – 75%
4
3.
Sedang
25 – 50%
3
4.
Rendah
15 – 25%
2
5.
Sangat Rendah
< 15%
1
Sumber : Analisis data primer (2009)
Dengan berdasar pada kriteria kelas dominansi pada tabel di atas maka dapat diketahui kelas dominansi species dari seluruh tingkat pertumbuhan, yaitu jenis Bruguiera parviflora dominansinya sangat rendah, Bruguiera gymnorrhiza dominansinya rendah, Xylocarpus granatum dominansinya sangat rendah, dan Rhizophora apiculata domiansinya tinggi. 5.3.4. Nilai Penting Untuk mengetahui nilai penting vegetasi mangrove pada masing-masing tingkat pertumbuhan maka dilakukan penilaian, yaitu dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif, nilai frekuensi relatif, dan nilai dominansi relatif sepecies. Hasil analisis data lapangan adalah seperti pada Tabel 22.
105
Tabel 22.
Nilai Penting Species Mangrove Tingkat Pancang
Tingkat
Kerapatan
Frekuensi
Dominansi
Indeks Nilai
Relatif
Relatif
Relatif
Penting
(KR)
(FR)
(DR)
(INP)
Pertum-
Nama Species
buhan Pancang
Bruguiera gymnorrhiza
2,51%
4,65%
-
7,16%
Rhizophora apiculata
97,07%
93,02%
-
190,09%
0,42%
2,33%
-
2,74%
100,00%
100,00%
-
200,00%
Bruguiera parviflora
0,60%
2,82%
0,89%
4,30%
Bruguiera gymnorrhiza
8,93%
28,17%
10,48%
47,58%
Rhizophora apiculata
87,20%
61,97%
85,42%
234,60%
3,27%
7,04%
4,10%
14,41%
100,00%
100,00%
100,00%
300,00%
Bruguiera gymnorrhiza
18,22%
27,85%
17,98%
64,05%
Rhizophora apiculata
70,45%
58,23%
70,87%
199,55%
Xylocarpus granatum
11,34%
13,92%
11,15%
36,41%
100,00%
100,00%
100,00%
300,00%
Bruguiera gymnorrhiza
21,70%
38,03%
21,69%
81,41%
Rhizophora apiculata
73,82%
52,11%
72,84%
198,77%
4,49%
9,86%
5,47%
19,82%
100,00%
100,00%
100,00%
300,00%
Xylocarpus granatum Jumlah Tiang
Xylocarpus granatum Jumlah Pohon Kecil
Jumlah Pohon Besar
Xylocarpus granatum Jumlah Sumber: Analisis data primer (2009)
106
Berdasarkan hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa nilai penting vegetasi mangrove pada masing-masing tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut : 1.
Tingkat Pancang Nilai penting vegetasi mangrove tingkat pancang pada lokasi penelitian
adalah berkisar antara 2,74 – 190,09%. Species yang memiliki nilai penting terkecil adalah jenis Xylocarpus granatum dan species yang memiliki nilai penting terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa nilai penting masing-masing species mangrove di lokasi penelitian pada tingkat pancang berbedabeda, bahkan dengan perbedaan yang sangat jauh antara nilai tertinggi dan terendah. Perbedaan nilai penting tersebut terjadi karena nilai kerapatan relatif yang merupakan indikator banyaknya individu species dan nilai frekuensi relatif yang merupakan indikator kemerataan sebaran species di lokasi penelitian juga mempunyai perbedaan yang mencolok antara nilai tertinggi dan terendah. Jenis Rhizophora apiculata dengan nilai penting tertinggi (190,09% dari total 200%) menunjukkan bahwa jenis ini merupakan jenis terpenting dalam vegetasi mangrove di lokasi penelitian. Hal ini terjadi karena lingkungan tempah tumbuh yang cocok untuk jenis ini, ketersediaan pohon induk penghasil bibit, dan ketersediaan ruang untuk tumbuh. 2.
Tingkat Tiang Nilai penting vegetasi mangrove tingkat tiang pada lokasi penelitian adalah
berkisar antara 4,29 – 233,84%. Species yang memiliki nilai penting terkecil adalah 107
jenis Bruguiera parviflora dan species yang memiliki nilai penting terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa nilai penting masing-masing species mangrove di lokasi penelitian pada tingkat tiang berbedabeda, bahkan dengan perbedaan yang sangat jauh antara nilai tertinggi dan terendah. Perbedaan nilai penting tersebut terjadi karena nilai kerapatan relatif yang merupakan indikator banyaknya individu species dan nilai frekuensi relatif yang merupakan indikator kemerataan sebaran species serta dominansi realtif yang merupakan indikator luas penutupan ruang oleh species di lokasi penelitian juga mempunyai perbedaan yang mencolok antara nilai tertinggi dan terendah. Jenis Rhizophora apiculata dengan nilai penting tertinggi (233,84% dari total 300%) menunjukkan bahwa jenis ini merupakan jenis terpenting dalam vegetasi mangrove di lokasi penelitian. Hal ini terjadi karena lingkungan tempah tumbuh yang cocok untuk jenis ini serta ketersediaan tempat tumbuh dan pohon induk. 3.
Tingkat Pohon Kecil Nilai penting vegetasi mangrove tingkat pancang pada lokasi penelitian
adalah berkisar antara 36,41 – 199,55%. Species yang memiliki nilai penting terkecil adalah jenis Xylocarpus granatum dan species yang memiliki nilai penting terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa nilai penting masing-masing species mangrove di lokasi penelitian pada tingkat pohon kecil berbeda-beda, bahkan dengan perbedaan yang sangat jauh antara nilai tertinggi dan terendah. Perbedaan nilai penting tersebut terjadi karena nilai kerapatan relatif yang 108
merupakan indikator banyaknya individu species dan nilai frekuensi relatif yang merupakan indikator kemerataan sebaran species di lokasi penelitian juga mempunyai perbedaan yang mencolok antara nilai tertinggi dan terendah. Jenis Rhizophora apiculata dengan nilai penting tertinggi (199,55% dari total 300%) menunjukkan bahwa jenis ini merupakan jenis terpenting dalam vegetasi mangrove di lokasi penelitian. Hal ini terjadi karena lingkungan tempah tumbuh yang cocok untuk jenis ini serta ketersediaan ruang untuk tumbuh dan pohon induk penghasil anakan. 4.
Tingkat Pohon Besar Nilai penting vegetasi mangrove tingkat pancang pada lokasi penelitian
adalah berkisar antara 19,82 – 198,77%. Species yang memiliki nilai penting terkecil adalah jenis Xylocarpus granatum dan species yang memiliki nilai penting terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa nilai penting masing-masing species mangrove di lokasi penelitian pada tingkat pohon besar berbeda-beda, bahkan dengan perbedaan yang sangat jauh antara nilai tertinggi dan terendah. Perbedaan nilai penting tersebut terjadi karena nilai kerapatan relatif yang merupakan indikator banyaknya individu species dan nilai frekuensi relatif yang merupakan indikator kemerataan sebaran species di lokasi penelitian juga mempunyai perbedaan yang mencolok antara nilai tertinggi dan terendah. Jenis Rhizophora apiculata dengan nilai penting tertinggi (198,77% dari total 300%) menunjukkan bahwa jenis ini merupakan jenis terpenting dalam vegetasi
109
mangrove di lokasi penelitian. Hal ini terjadi karena lingkungan tempah tumbuh yang cocok untuk jenis ini. Untuk melihat perbandingan besaran nilai INP dari masing-masing tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 22 233,84
250
199,55
190,09
200
198,77
150 100 47,49
50 ‐
7,16
36,41 14,38
2,74 4,29
81,41
64,05
‐
19,82 ‐
0 Pancang
Gambar 22.
Tiang
Pohon Kecil
Bruguiera parviflora
Bruguiera gymnorrhiza
Rhizophora apiculata
Xylocarpus granatum
Pohon Besar
Grafik INP Jenis Mangrove pada setiap Tingkat Pertumbuhan
Berdasarkan grafik di atas dapat dijelaskan bahwa nilai penting jenis Rhizophora apiculata merupakan nilai tertinggi pada setiap tingkat pertumbuhan, kondisi ini menujukkan bahwa fungsi jenis Rhizophora apiculata dalam menyusun vegetasi mangrove di lokasi penelitian sangatlah penting keberadaannya, hal ini terjadi karena faktor lingkungan yang cocok untuk tempat tumbuh optimal species Rhizophora apiculata. 5.3.5. Keanekaragaman Untuk mengetahui nilai Keanekaragaman vegetasi mangrove di lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan, dilakukan penilaian dengan menggunakan rumus: H’ = -∑ pi ln pi dengan pi = n/N; n = nilai penting suatu jenis; 110
dan N = total nilai penting semua jenis. Hasil analisis data lapangan adalah seperti pada Tabel 23. Tabel 23. Tingkat Pancang
Nilai Keanekaragaman Species Vegetasi Mangrove Nama Species
pi
ln(pi)
7,16%
3,58%
-3,3296
-0,1192
Rhizophora apiculata
190,09%
95,05%
-0,0508
-0,0483
Xylocarpus granatum
2,74%
1,37%
-4,2889
-0,0588
200,00%
100,00%
H’ =
0,2264
4,30%
1,43%
-4,2452
-0,0608
47,58%
15,86%
-1,8414
-0,2920
Rhizophora apiculata
234,60%
78,20%
-0,2459
-0,1923
Xylocarpus granatum
14,41%
4,80%
-3,0356
-0,1458
300,00%
100,00%
H’ =
0,6910
64,05%
21,35%
-1,5442
-0,3297
Rhizophora apiculata
199,55%
66,52%
-0,4077
-0,2712
Xylocarpus granatum
36,41%
12,14%
-2,1090
-0,2559
300,00%
100,00%
H’ =
0,8568
81,41%
27,14%
-1,3042
-0,3539
Rhizophora apiculata
198,77%
66,26%
-0,4116
-0,2727
Xylocarpus granatum
19,82%
6,61%
-2,7173
-0,1795
300,00%
100,00%
H’ =
0,8062
Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah Tiang
Bruguiera parviflora Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah Pohon Kecil
Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah Pohon Besar
Bruguiera gymnorrhiza
Jumlah
INP
H
Sumber: Analisis data primer (2009)
111
Berdasar hasil analisis pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa nilai keanekaragaman vegetasi mangrove pada masing-masing tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut: Tingkat Pancang, nilai keanekaragaman vegetasi mangrove di lokasi penelitian pada tingkat pancang adalah sebesar H’ = 0,2264. Hal ini terjadi karena jumlah jenis ditemukan pada tingkat pancang hanya tiga jenis yaitu Bruguiera gymnorrhiza,
Rhizophora
apiculata,
dan
Xylocarpus
granatum.
Nilai
keanekaragaman vegetasi yang rendah menunjukkan bahwa vegetasi tersebut tidak stabil. Tingkat Tiang, nilai keanekaragaman vegetasi mangrove di lokasi penelitian pada tingkat tiang adalah sebesar H’ = 0,6923. Hal ini terjadi karena jumlah jenis ditemukan pada tingkat tiang hanya tiga jenis yaitu Bruguiera parviflora, Bruguiera gymnorrhiza,
Rhizophora
apiculata,
dan
Xylocarpus
granatum.
Nilai
keanekaragaman vegetasi yang rendah menunjukkan bahwa vegetasi tersebut tidak stabil. Tingkat Pohon Kecil, nilai keanekaragaman vegetasi mangrove di lokasi penelitian pada tingkat pohon kecil adalah sebesar H’ = 0,8568. Hal ini terjadi karena jumlah jenis ditemukan pada tingkat pohon kecil hanya tiga jenis yaitu Bruguiera parviflora, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Xylocarpus granatum. Nilai keanekaragaman vegetasi yang rendah menunjukkan bahwa vegetasi tersebut tidak stabil. Tingkat Pohon Besar, nilai keanekaragaman vegetasi mangrove di lokasi penelitian pada tingkat pancang adalah sebesar H’ = 0,8062. Hal ini terjadi karena jumlah jenis ditemukan pada tingkat tiang hanya tiga jenis yaitu Bruguiera 112
parviflora, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Xylocarpus granatum. Nilai keanekaragaman vegetasi yang rendah menunjukkan bahwa vegetasi tersebut tidak stabil. Untuk membandingkan nilai keanekaragaman jenis mangrove pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 23. 0,9
0,857 0,806
0,8 0,692
0,7 0,6 0,5 0,4 0,3
0,226
0,2 0,1 0 Pancang
Tiang
Gambar 23. Keanekaragaman
Jenis
Pohon Kecil
Mangrove
Pada
Pohon Besar
Setiap
Tingkat
Pertumbuhan Berdasar gambar di atas dapat dijelaskan bahwa keanekaragaman jenis mangrove pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar secara berturut-turut adalah H’ = 0,226, 0,692, 0,857, dan 0,806. Indeks keanekaragaman pada semua tahap pertumbuhan tergolong rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa vegetasi mangrove pada lokasi penelitian dapat dikategorikan ke dalam komunitas yang tidak stabil, karena indeks keanekaragamannya rendah. 113
5.4. Perubahan Penutupan Lahan 5.4.1. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Berdasarkan
kondisi
penutupan
lahan
pada
masing-masing
tahun
sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, dapat dibuat perbandingan antara kondisi penutupan lahan yang satu dengan lainnya seperti dapat dilihat pada Gambar 24. 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Rhizophora
Belukar
Nipah
Lahan Terbuka
Tambak
1989
11.289,6
691,9
3.477,9
4.695,9
0
2002
13.568,0
519,5
4.375,1
1.614,6
78,1
2006
12.466,1
360,2
5.926,4
1.325,9
76,7
Sumber: Analisis data primer (2009)
Gambar 24. Perbandingan Penutupan Lahan Tahun 1989, 2002 dan 2006 Berdasar pada grafik di atas dapat dijelaskan bahwa luasan penutupan lahan Rhizophora mengalami kenaikan pada tahun 2002 akan tetapi penurunan lagi pada tahun 2006, namun secara keseluruhan mengalami kenaikan. Sementara itu penutupan lahan Nipah mengalami penambahan terus menerus, kejadian sebaliknya
114
terjadi pada Lahan Terbuka yang terus menerus mengalami penurunan. Tambak baru teridentifikasi pada tahun 2002 dan mengalami kenaikan pada tahun 2006. Untuk mengetahui rincian perubahan yang terjadi diantara ketiga kondisi penutupan lahan tersebut, dilakukan analisis berdasarkan periode yaitu periode tahun 1989-2002 dan periode tahun 2002-2006, dengan uraian sebagai berikut : 1.
Perubahan Penutupan Lahan Periode 1989-2002 Untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian pada
periode tahun 1989-2002 dibuat perbandingan luasan masing penutupan lahan antara kondisi tahun 1989 dan 2002. Analisis dilakukan dengan cara mengurangi luas masing-masing penutupan lahan pada tahun 2002 dengan luas penutupan lahan tahun 1989, sehingga diperoleh nilai perubahan baik itu penambahan maupun pengurangan. Penambahan luas ditandai dengan nilai positif pada kolom perubahan, sedangkan pengurangan ditandai dengan nilai negatif pada kolom perubahan. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24.
Perubahan Penutupan Lahan Periode 1989-2002
Penutupan Lahan
1989
2002
11.289,6
13.568,0
2.278,4
691,9
519,5
-172,4
Nipah
3.477,9
4.375,1
897,2
Lahan Terbuka
4.695,9
1.614,6
-3.081,3
-
78,1
78,1
20.155,3
20.155,3
Rhizophora Belukar
Tambak Jumlah
Perubahan (+/-)
Sumber: Analisis data primer (2009)
115
Berdasarkan pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa perubahan penutupan lahan pada periode 1989-2002 terjadi pada seluruh kelas penutupan lahan. Perubahan paling besar terjadi pada kelas penutupan Lahan Terbuka berupa penurunan luasan dengan total penurunan sebanyak 3.081,3 ha, diikuti berturut-turut dengan perubahan pada kelas penutupan lahan Rhizophora berupa penambahan sebanyak 2.278,4 ha, Nipah berupa penambahan sebanyak 897,2 ha, Belukar berupa penurunan sebanyak 172,4 ha, dan kemunculan Tambak seluas 78,1 ha. Perubahan secara rinci pada setiap kelas penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. PL 2002 PL 1989
Matrik Perubahan Kelas Penutupan Lahan Periode 1989-2002 Rhizophora
Rhizophora
Belukar
Nipah
Lahan Terbuka
Tambak
Grand Total
9.221,2
23,4
940,8
1.068,5
35,7
11.289,6
Belukar
181,1
180,3
327,8
2,7
-
691,9
Nipah
208,8
293,1
2.831,8
114,9
29,3
3.477,9
3.956,9
22,7
274,7
428,5
13,1
4.695,9
13.568,0
519,5
4.375,1
1.614,6
78,1
20.155,3
Lahan Terbuka Grand Total
Sumber: Pengolahan data primer (2009)
Berdasar pada matrik di atas dapat dijelaskan bahwa perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian selama periode 1989-2002 adalah sebagai berikut : 1).
Rhizophora Pada periode ini Rhizophora mengalami penambahan luas dari sebelumnya
seluas 11.289,6 ha pada tahun 1989 menjadi 13.568,0 ha pada tahun 2002. Penambahan ini terjadi karena adanya perubahan dari Lahan Terbuka (3.956,9 ha), Nipah (208,8 ha) dan Belukar (181,1 ha), dengan total penambahan sebanyak 4.346,8 116
ha. Di sisi lain terjadi juga pengurangan luas Rhizophora yang terjadi karena perubahan menjadi Belukar (23,4 ha), Nipah (940,8 ha), Lahan Terbuka (1.068,5 ha), dan Tambak (35,7 ha), dengan total pengurangan sebanyak 2.068,4 ha. Jadi perubahan Rhizophora pada periode 1989-2002 adalah 4.346,8 ha - 2.068,4 ha = 2.278,4 ha berupa penambahan luas. Perubahan paling besar berupa penambahan berasal dari perubahan pada Lahan Terbuka, berdasarkan pengamatan di lapangan pada lahan-lahan terbuka bekas tebangan ternyata telah tumbuh vegetasi Rhizophora dengan sangat baik. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya : (1) kondisi lingkungan yang cukup luas dan kompak serta relatif jauh dari pemukiman, membuat kawasan hutan mangrove ini relatif aman dari gangguan, terutama aktivitas manusia; (2) penggunaan sistem silvikultur Seed Tree Method dalam melakukan penebangan, yaitu sistem tebang habis dengan meninggalkan beberapa pohon induk pada setiap luasan tertentu. Diharapkan dari setiap pohon tinggal ini akan dihasilkan anakan yang akan melakukan regenerasi secara alami pada lokasi-lokasi bekas tebangan; (3) kondisi fisik lingkungan juga mendukung untuk pertumbuhan Rhizophora, dimana berdasarkan hasil pengukuran sampel kualitas fisik air dan tanah menunjukkan kondisi fisik tanah dan air di lokasi penelitian ini berada pada taraf cocok untuk pertumbuhan Rhizophora; dan (4) kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan hutan mangrove terutama adalah pembuatan arang bakau secara tradisional dan jumlah yang tidak terlalu banyak menyebabkan relatif rendahnya pengambilan bakau dari hutan. Untuk mengetahui sebaran spasial perubahan kelas penutupan lahan Rhizophora dapat dilihat pada Gambar 25. 117
Gambar 25. Peta Perubahan Kelas Penutupan Lahan Rhizophora 1989-2002 Pada peta di atas dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud “Masuk” pada keterangan peta di atas adalah penutupan lahan yang semula bukan sebagai kelas penutupan lahan Rhizophora pada tahun 1989 telah berubah menjadi kelas penutupan lahan Rhizophora pada tahun 2002, sehingga dinyatakan sebagai penambahan bagi kelas Rhizophora. Sebaliknya yang dimaksud “Keluar” pada keterangan peta di atas adalah penutupan lahan yang semula berupa kelas penutupan lahan Rhizophora selama periode 1989-2002 telah mengalami perubahan menjadi kelas selain Rhizophora. 2).
Belukar Pada periode ini mengalami penurunan dari semula pada tahun 1989 seluas
691,9 ha menjadi 519,5 ha pada tahun 2002. Penyebab terbesar penurunan adalah 118
terjadi perubahan menjadi Nipah seluas 327,8 ha, akan tetapi dilain pihak terjadi juga perubahan dari Nipah menjadi Belukar seluas 293,1 ha. Sehingga total pengurangan bersih kelas penutupan lahan Belukar selama periode 1989-2002 adalah sebesar 172,4 ha. Terjadinya
pertukaran/perubahan
antara
Belukar
dan
Nipah
sangat
dimungkinkan terjadi karena posisinya di lapangan antara kedua kelas ini hampir selalu berhimpitan, sehingga secara alami antara satu dengan lainnya saling mempengaruhi. 3).
Nipah Nipah mengalami peningkatan luas dari 3.477,9 ha pada tahun 1989 menjadi
4.375,1 ha pada tahun 2002, hal ini terjadi karena adanya perubahan dari Rhizophora (940,8 ha), Belukar (327,8 ha), dan Lahan Terbuka (274,7 ha) sehingga total penambahan sebanyak 1.543,3 ha. Di sisi lain terjadi pengurangan berupa perubahan dari Nipah menjadi Belukar (293,1 ha), Rhizophora (208,8 ha), Lahan Terbuka (114,9 ha) dan Tambak (29,3 ha) sehingga total pengurangan sebanyak 646,1 ha. Jadi total perubahan kelas penutupan lahan Nipah selama periode 1989-2002 adalah 1.543,3 ha – 646,1 ha = 897,2 ha berupa penambahan. Sumbangan terbesar atas penambahan luas kelas penutupan Nipah diperoleh dari kelas penutupan lahan Rhizophora yaitu sebesar 940,8 ha, sedangkan kondisi sebaliknya yaitu perubahan dari Nipah menjadi Rhizophora hanya sebesar 208,8 ha saja. Kondisi ini harus mendapat perhatian serius karena ada kemungkinan telah terjadi invasi jenis Nipah terhadap vegetasi Rhizophora, yang apabila dibiarkan
119
dalam waktu lama bukan tidak mungkin lama kelamaan okupasi Nipah akan semakin luas di lokasi penelitian ini. Pada umumnya nipah tumbuh disepanjang sempadan sungai dan alur-alur yang terdapat di lokasi penelitian, hal ini terjadi karena proses penyebaran nipah pada umumnya menggunakan media air sebagai alat transportasi. Gambaran rangkaian proses penyebaran nipah di lokasi penelitian berdasarkan pengamatan di lapangan dapat dilihat pada Gambar 26.
a. Tandan buah nipah
b. Tunas nipah terapung-apung di air
c. Tunas nipah tumbuh pada tepi sungai di bawah vegetasi Rhizophora
d. Nipah tumbuh terus secara horisontal dan vertikal
Gambar 26. Proses Penyebaran Nipah Pada gambar
di atas dapat dijelaskan bahwa proses penyebaran nipah
berawal dari jatuhnya buah nipah yang
sudah tua dari tandannya, kemudian
bertunas. Selanjutnya tunas nipah yang jatuh di air mengapung dan terbawa arus pasang surut air laut serta terdorong oleh hembusan angin, sehingga tunas nipah 120
dapat menjangkau jarak yang cukup jauh dari lokasi semula sesuai dengan kekuatan arus air dan hembusan angin. Selanjutnya tunas nipah menyangkut di lantai tegakan Rhizophora dan mendapatkan tempat untuk menancapkan akar sehingga tumbuhlah tunas tersebut di lokasi yang baru dibawah naungan vegetasi Rhizophora. Pada akhirnya nipah tumbuh secara vertikal untuk mendapatkan cahaya matahari, dan berkembang secara horizontal untuk memperluas akupasi di lingkungan barunya. Dari hasil pengamatan di lapangan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan luasan vegetasi Nipah, diantaranya adalah : (1) daya sebar benih nipah jangkauannya cukup tinggi dimana buah nipah dapat mengapung di air, dengan memanfaatkan pasang-surut air dan angin cukup untuk menjangkau daerahdaerah yang lebih jauh dari lokasi semula dimana buah tersebut jatuh; (2) kondisi bawah tegakan Rhizophora dewasa mempunyai lebih banyak ruang, apalagi ditambah dengan penebangan pada daerah sekitar sempadan sungai, semakin memberikan ruang yang mendukung sebagai jalan masuk bagi tunas nipah untuk kemudian tumbuh dan berkembang; dan (3) kondisi lingkungan fisik tanah dan air di daerah penelitian cocok untuk pertumbuhan nipah. 4).
Lahan Terbuka Lahan terbuka mengalami perubahan paling banyak pada periode ini, yaitu
berupa pengurangan luas dari semula seluas 4.695,9 ha pada tahun 1989 menjadi tersisa 1.614,6 ha pada tahun 2002, hal ini terjadi karena adanya perubahan dari Lahan Terbuka menjadi Rhizophora (3.956,9 ha), Belukar (22,7 ha), Nipah (274,7 ha) dan Tambak (13,1 ha), dengan total pengurangan sebanyak 4.267,4 ha. Selain itu sebenarnya terjadi lahan terbuka baru yaitu dari Rhizophora (1.068,5 ha), Belukar 121
(2,7 ha), dan Nipah (114,9 ha), dengan total penambahan sebanyak 1.186,1 ha. Jadi perubahan kelas penutapan Lahan Terbuka selama periode 1989-2002 adalah 4.267,4 ha - 1.186,1 ha = 3.081,3 ha berupa pengurangan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada lokasi-lokasi dimana pada tahun 1989 berupa lahan terbuka, pada umumnya sudah tertutup dengan vegetasi Rhizophora, salah satu fotonya seperti dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Kondisi Vegetasi pada Bekas Lahan Terbuka Tahun 1989 Pada gambar di atas terlihat bahwa anakan Rhizophora pada umumnya sudah mencapai ukuran pohon tingkat tiang dan pohon kecil, sementara pohon induk yang dahulunya sebagai pohon tinggal sudah mencapai ukuran pohon tingkat pohon besar. Hasil analisis data lapangan terhadap plot-plot yang berada pada kelas penutupan Lahan Terbuka tahun 1989 seperti dapat dilihat pada Tabel 26.
122
Tabel 26.
Kondisi Vegetasi pada Kelas Penutupan Lahan Terbuka Tahun 1989
Tingkat Pertumbuhan
Nama Species
Jumlah (ind/ha)
Diameter Rata‐rata
Diameter Maksimum
1.837
Pancang
Rhizophora apiculata
Tiang
Bruguiera gymnorrhiza
63
13,91
19
Rhizophora apiculata
681
13,23
19
Xylocarpus granatum
33
15,00
18
Pohon Kecil
Bruguiera gymnorrhiza
13
24,21
30
Rhizophora apiculata
72
24,74
34
Xylocarpus granatum
21
24,91
34
Pohon Besar
Bruguiera gymnorrhiza
2
48,59
65,5
Rhizophora apiculata
5
44,52
58
Xylocarpus granatum
1
52,88
63
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar pada tabel diatas dapat dijelaskan bahwa di lokasi penelitian pada lokasi-lokasi Lahan Terbuka pada tahun 1989 telah mengalami perubahan menjadi tertutup oleh vegetasi mangrove dengan struktur tingkat pertunbuhan lengkap mulai dari mulai tingkat pancang sampai pohon besar. Jenis paling dominan yang ditemukan pada lahan-lahan bekas tebangan tahun 1989 adalah Rhizophora apiculata. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lokasi penelitian memiliki karakteristik lingkungan yang sangat cocok untuk mangrove, terutama jenis Rhizophora. Lahan terbuka pada tahun 1989 pada umumnya terjadi akibat kegiatan penebangan. Keberadaan pohon besar pada lahan bekas tebangan diduga merupakan pohon induk yang ditinggalkan pada saat kegiatan penebangan dengan sistem silvikultur Seed Tree Method dan masih hidup sampai dengan saat penelitian lapangan. 123
2.
Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002-2006 Untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian pada
periode tahun 2002-2006 dibuat perbandingan luasan masing penutupan lahan antara kondisi tahun 2002 dan 2006. Analisis dilakukan dengan cara mengurangi luas masing-masing penutupan lahan pada tahun 2006 dengan luas penutupan lahan tahun 2002, sehingga diperoleh nilai perubahan baik itu penambahan maupun pengurangan. Penambahan luas ditandai dengan nilai positif pada kolom perubahan, sedangkan pengurangan ditandai dengan nilai negatif pada kolom perubahan. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27.
Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002-2006
Penutupan Lahan
2002
2006
13.568,0
12.466,1
-1.101,9
519,5
360,2
-159,3
Nipah
4.375,1
5.926,4
1.551,3
Lahan Terbuka
1.614,6
1.325,9
-288,7
78,1
76,7
-1,4
20.155,3
20.155,3
Rhizophora Belukar
Tambak Jumlah
Perubahan (+/-)
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasarkan pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa perubahan penutupan lahan pada periode 2002-2006 terjadi pada seluruh kelas penutupan lahan. Perubahan paling besar terjadi pada kelas penutupan Nipah berupa penambahan luasan sebesar 1.551,3 ha, diikuti berturut-turut oleh perubahan pada kelas penutupan Rhizophora berupa penurunan sebesar 1.101,9 ha, Lahan Terbuka berupa penurunan sebesar 288,7 ha, Belukar berupa penurunan sebesar 159,3 ha, dan Tambak berupa penurunan sebesar 1,4 ha. 124
Untuk mengetahui perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian selama periode tahun 2002-2006, dibuat matrik antara kondisi penutupan lahan tahun 2002 dan 2006 seperti dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. PL 2006 PL 2002
Matrik Perubahan Penutupan Lahan Periode Tahun 2002-2006 Rhizophora
Rhizophora
Belukar
Nipah
Lahan Terbuka
Tambak
Grand Total
11.301,8
38,1
1.758,2
459,7
10,2
13.568,0
22,3
169,2
298,5
29,5
-
519,5
Nipah
602,1
103,5
3.564,9
101,4
3,2
4.375,1
Lahan Terbuka
529,3
49,4
300,6
735,3
-
1.614,6
10,6
-
4,2
-
63,3
78,1
12.466,1
360,2
5.926,4
1.325,9
76,7
20.155,3
Belukar
Tambak Grand Total
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar pada matrik di atas dapat dijelaskan bahwa perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian selama periode 2002-2006 adalah sebagai berikut : 1).
Rhizophora Rhizophora mengalami pengurangan luas dari semula 13.568,0 ha pada tahun
2002 menjadi 12.466,1 ha pada tahun 2006, hal ini terjadi karena adanya perubahan menjadi Nipah (1.758,2 ha), Lahan Terbuka (459,7 ha), Belukar (38,1 ha) dan Tambak (10,2 ha), dengan total pengurangan sebesar 2.266,2 ha. Di sisi lain sebenarnya terjadi penambahan sebagai akibat adanya perubahan dari Nipah (602,1 ha), Lahan Terbuka (529,3 ha), Belukar (22,3 ha), dan Tambak (10,6 ha), dengan total penambahan sebesar 1.164,3 ha. Jadi total perubahan kelas penutupan lahan Rhizophora selama periode 2002-2006 adalah 2.266,2 ha - 1.164,3 ha = 1.101,9 ha berupa penurunan. 125
Berdasar uraian di atas maka Rhizophora mengalami penurunan luas terutama perubahan menjadi Nipah yaitu sebesar 1.758,2 ha yang pada umumnya terjadi pada vegetasi Rhizophora primer di bagian barat lokasi penelitian yang merupakan daerah terdekat dengan lokasi pemukiman. Untuk mengetahui sebaran spasial perubahan kelas penutupan lahan Rhizophora dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Peta Perubahan Kelas Penutupan Lahan Rhizophora 2002-2006 Pada peta di atas dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud “Masuk” pada keterangan peta di atas adalah penutupan lahan yang semula bukan sebagai kelas penutupan lahan Rhizophora pada tahun 2002 telah berubah menjadi kelas penutupan lahan Rhizophora pada tahun 2006, sehingga dinyatakan sebagai penambahan bagi kelas Rhizophora. Sebaliknya yang dimaksud “Keluar” pada keterangan peta di atas adalah penutupan lahan yang semula berupa kelas penutupan lahan Rhizophora 126
selama periode 2002-2006 telah mengalami perubahan menjadi kelas selain Rhizophora. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan luasan Rhizophora adalah adanya pola penyebaran jenis mangrove seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu (Halaman 120) dan terjadinya penebangan baik yang dilakukan oleh pemegang HPH maupun masyarakat. Untuk membedakan bekas penebangan yang dilakukan oleh pemegang HPH dengan masyarakat, diantaranya dengan cara : (1) melihat luasan areal yang terbuka, biasanya pemegang HPH melakukan penebangan pada blok tebangan dengan cara tebang habis (dengan pohon tinggal) sehingga areal yang terbuka kelihatan luas, sementara itu penebangan yang dilakukan oleh masyarakat berupa spot-spot dengan luasan kecil karena hanya beberapa pohon saja yang ditebang. Contoh lokasi penebangan oleh masyarakat yang ditemukan saat kegiatan lapangan seperti dapat dilihat pada Gambar 29. Keterangan: Vegetasi Rhizophora Tunggak Rhizophora Biomass yang ditinggalkan penebang Alur
Gambar 29. Lokasi Penebangan Rhizophora oleh Masyarakat
127
Pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa penebangan Rhizophora yang dilakukan oleh masyarakat untuk keperluan bahan baku arang dilakukan pada alur dengan tujuan untuk memudahkan mengeluarkan hasil tebangan keluar hutan. Biasanya pengangkutan dilakukan dengan menggunakan sampan pada saat air pasang dimana alur sedang digenangi air. Jumlah pohon yang diambil dalam satu lokasi antara 2-5 batang. 2).
Belukar Belukar mengalami pengurangan luas dari 519,5 ha pada tahun 2002 menjadi
360,2 ha, hal ini terjadi karena adanya perubahan menjadi Rhizophora (22,3 ha), Nipah (298,5 ha), dan Lahan Terbuka (29,5). Disisi lain terjadi penambahan karena adanya perubahan dari Rhizophora (38,1 ha), Lahan Terbuka (49,4 ha) dan Nipah (103,5 ha). Dengan demikian selama periode tahun 2002-2006 terjadi penurunan luas kelas penutupan lahan Belukar sebanyak 159,3 ha, dengan penurunan terbanyak sebagai akibat perubahan menjadi kelas penutupan Nipah seluas 298,5 ha. Perubahan dari Belukar ke Nipah sangat memungkinkan terjadi mengingat posisi di lapangan hampir selalu berdampingan dimana banyak daerah perbatasan yang merupakan campuran antara nipah dan belukar, keduanya bersaing dan tumbuh secara alami sesuai dengan daya survival dan kondisi lingkungannya. 3).
Nipah Nipah mengalami penambahan luas dari 4.375,1 ha pada tahun 2002 menjadi
5.926,4 ha pada tahun 2006, hal ini terjadi karena adanya perubahan dari Rhizophora (1.758,2 ha), Lahan Terbuka (300,6 ha), Belukar (298,5 ha) dan Tambak (4,2 ha), dengan total penambahan sebanyak 2.361,5 ha. Disisi lain terjadi penambahan karena 128
adanya menjadi Rhizophora (602,1 ha), Lahan Terbuka (101,4 ha), Belukar (103,5 ha), dan Tambak (3,2 ha), dengan total pengurangan sebanyak 810,2 ha. Jadi perubahan kelas penutupan lahan Nipah selama periode tahun 200-2006 adalah 2.361,5 ha - 810,2 ha = 1.551,3 ha. Penambahan paling banyak berupa perubahan dari Rhizophora menjadi Nipah terjadi di wilayah barat lokasi penelitian. Beberapa faktor terjadinya peningkatan Nipah di wilayah tersebut diantaranya adalah vegetasi Rhizophora primer yang mempunyai banyak ruang di lantai hutannya, ditambah lagi dengan penebangan pada sempadang sungai dan alur, membuat lancanya jalan masuk bagi tunas nipah yang terapung-apung di air masuk ke dalam vegetasi Rhizophora. Selain itu angin yang bertiup dari arah Tenggara menuju Barat Laut ikut mendorong laju pergerakan tunas-tunas nipah yang terapung-apung di air. 4).
Lahan Terbuka Lahan terbuka mengalami pengurangan luas dari semula 1.614,6 ha pada
tahun 2002 menjadi 1.325,9 ha pada tahun 2006, hal ini terjadi karena adanya perubahan menjadi Rhizophora (529,3 ha), Nipah (300,6 ha), dan Belukar (49,4 ha), dengan total pengurangan sebesar 879,3 ha. Disisi lain terjadi penambahan karena adanya perubahan dari Rhizophora (459,7 ha), Belukar (29,5 ha) dan Nipah (101,4 ha), dengan total penambahan sebesar 590,6 ha. Jadi total perubahan kelas penutupan Lahan Terbuka selama periode tahun 2002-2006 adalah 879,3 ha - 590,6 ha = 288,7 ha berupa pengurangan. Berdasar uraian di atas maka Lahan Terbuka mengalami pengurangan luas dengan pengurangan terbanyak berupa perubahan menjadi Rhizophora yaitu 529,3 129
ha, hal ini menandakan telah terjadi regenerasi Rhizophora pada lahan-lahan bekas tebangan. Perubahan ini didukung dengan data hasil inventarisasi lapangan yang membuktikan kebenaran perubahan ini. Hasil analisis data terhadap plot-plot yang berada pada kelas penutupan Lahan Terbuka tahun 2002 seperti dapat dilihat pada. Tabel 29.
Kondisi Vegetasi pada Kelas Penutupan Lahan Terbuka Tahun 2002
Tingkat
Nama Species
Pertumbuhan
Jumlah
Diameter
Diameter
(ind/ha)
Rata‐rata
Maksimum
Pancang
Rhizophora apiculata
2.533
Tiang
Bruguiera gymnorrhiza
33
12,5
15
Rhizophora apiculata
533
12,0
19
Pohon Kecil
Bruguiera gymnorrhiza
4
30,0
30
Rhizophora apiculata
8
25,0
27
Xylocarpus granatum
8
25,0
25
Pohon Besar
Bruguiera gymnorrhiza
1
52,5
60
Rhizophora apiculata
15
44,2
65
Sumber: Analisis data primer (2009)
Berdasar pada tabel diatas dapat dijelaskan bahwa di lokasi penelitian pada lokasi-lokasi Lahan Terbuka pada tahun 2002 telah mengalami perubahan menjadi tertutup dengan vegetasi mangrove. Jenis yang paling dominan adalah Rhizophora apiculata pada semua tingkat pertumbuhan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lokasi penelitian memiliki karakteristik lingkungan yang sangat cocok untuk mangrove, terutama jenis 130
Rhizophora ditandai dengan banyaknya jumlah pohon per hektar pada tingkat pancang. Lahan terbuka pada tahun 2002 pada umumnya terjadi akibat kegiatan penebangan. Keberadaan pohon besar pada lahan bekas tebangan diduga merupakan pohon induk yang ditinggalkan pada saat kegiatan penebangan dengan sistem silvikultur Seed Tree Method dan masih hidup sampai dengan saat penelitian lapangan. 5.4.2. Analisis Pola Perubahan Penutupan Lahan Pola perubahan perlu diketahui terutama untuk kepentingan analisis faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Untuk mengetahui pola perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian dari sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2006, dilakukan analisis dengan menggunakan metode profil melintang peta. Dengan metode ini diharapkan perubahan penutupan lahan antara tahun yang satu dengan lainnya dapat dilihat dengan jelas dan mudah dicerna. Analisis dilakukan dengan cara membuat transek pada peta lokasi penelitian sesuai dengan keperluan sehingga informasi penting bisa didapatkan dengan transek tersebut. Pengambilan kesimpulan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, namun tidak menutup kemungkinan jika ditemukan pola lain yang tidak ditemukan dengan metode ini untuk diambil sebagai suatu kesimpulan. Pertama-tama untuk mendapatkan data kondisi penutupan lahan pada setiap transek, dilakukan dengan mencuplik informasi area yang terlintasi oleh transek pada setiap kondisi penutupan lahan yaitu tahun 1989, 2002 dan 2006. Agar memiliki keterwakilan terhadap seluruh areal, transek dibuat sebanyak tiga buah dengan , yaitu transek A-B, C-D, dan E-F seperti dapat dilihat pada Gambar 30. 131
Gambar 30. 3 Transek untuk Profil P Melin ntang Peta Penutupan n Lahan Traansek A-B dimaksudkkan untuk mengetahu ui pola peruubahan lahan yang terjadi di lokasi peneelitian, darii wilayah perairan p meenuju darataan yang beerbatasan C dimaksuudkan untu uk mengetahhui pola peerubahan dengan peemukiman. Transek C-D lahan di lokasi penellitian, dari wilayah daaratan yang jauh dari ppemukimann menuju d n untuk menngetahui daratan yaang dekat deengan pemuukiman. Traansek E-F dimaksudkan pola peru ubahan yangg terjadi di d lokasi peenelitian, dari d wilayah perairan menuju daratan yaang jauh darri pemukiman. Keetiga transeek di atass selanjutnnya dioverrlay dengann peta peerubahan penutupan n lahan perriode 19899-2002 dan periode 2002-2006 2 sebagaimanna dapat dilihat pad da Gambar 31 dan Gam mbar 32 unttuk dilakukaan pencupliikan inform masi pada daerah seepanjang yaang dilalui oleh transek. Hasil cuplikan c innformasi peerubahan penutupan n lahan yangg diperoleh selanjutnyaa diekstrak sedemikiann rupa sehinngga bisa dibaca oleeh aplikasi spreadsheeet untuk dibbuat profil melintang m ddari masingg-masing transek. 132
Gambar 31. 3 Posisi Transek pada p Peta Perubahan n Penutupaan Lahan Periode 1989-22002
Gambar 32. 3 Posisi Transek pada p Peta Perubahan n Penutupaan Lahan Periode 2002-22006
133
1.
Perubahan Penutupan Lahan pada Transek A-B Transek A-B sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 31 dan Gambar 32
memiliki 67 titik cuplikan dengan jarak antar titik 200 meter, titik 1 - 45 berada kawasan HL dan sisanya (titik 46 – 67) berada pada kawasan HPT. Hasil pencuplikan informasi perubahan penutupan lahan sepanjang transek A-B seperti pada Gambar 33. Tahun 1989
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 61 63 65 67 Tahun 2002
Periode 1989‐2002
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
Sungai
Tahun 2002
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 61 63 65 67 Tahun 2006
Periode 2002‐2006
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
SUN
Gambar 33. Profil Melintang Perubahan Penutupan Lahan pada Transek A-B Keterangan : •
Perubahan pada Periode Tahun 1989-2002 Dari Menjadi Lokasi / Titik Rhizophora Lahan Terbuka 33, 37-38, 55 Lahan Terbuka Rhizophora 23, 25-27, 32-33, 51, 57 Nipah Rhizophora 7
•
Perubahan pada Periode Tahun 2002-2006 Dari Menjadi Lokasi / Titik Rhizophora Lahan Terbuka 44 Rhizophora Nipah 1, 3, 5, 7, 11, 33, 45, 51, 67 Lahan Terbuka Rhizophora 55 134
2.
Perubahan Penutupan Lahan pada Transek C-D Transek C-D sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 31 dan Gambar 32 di
atas mempunyai 83 titik dengan jarak antar titik di lapangan 200 meter, semua titik berada dalam kawasan HPT. Hasil pencuplikan informasi perubahan penutupan lahan sepanjang transek C-D seperti pada Gambar 34. Tahun 1989
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 Tahun 2002
Periode 1989‐2002
Hutan Lahan Kering
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
Sungai
Tahun 2002
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 Tahun 2006
Periode 2002‐2006
Hutan Lahan Kering
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
Sungai
Gambar 34. Profil Melintang Perubahan Penutupan Lahan pada Transek C-D Keterangan : •
Perubahan pada Periode Tahun 1989-2002 Dari Menjadi Lokasi / Titik Rhizophora Lahan Terbuka 6-7, 9-11, 28 Rhizophora Nipah 3-5, 83 Lahan Terbuka Rhizophora 15-19, 21-25, 29, 31-34, 36, 39-42, 4750, 68-69 Lahan Terbuka Nipah 2
•
Perubahan pada Periode Tahun 2002-2006 Dari Menjadi Lokasi / Titik Rhizophora Lahan Terbuka 8, 12 Rhizophora Nipah 67, 70-71 Lahan Terbuka Rhizophora 6, 28 Nipah Lahan Terbuka 2-5 135
3.
Perubahan Penutupan Lahan pada transek E-F Hasil pencuplikan informasi penutupan lahan sepanjang transek A-B
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 31 dan Gambar 32 disajikan dalam bentuk chart seperti dapat dilihat pada Gambar 35. Tahun 1989
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 Tahun 2002
Periode 1989‐2002
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
Sungai
Tahun 2002
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 Tahun 2006
Periode 2002‐2006
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
Sungai
Gambar 35. Profil Melintang Perubahan Penutupan Lahan pada Transek E-F Keterangan : •
Perubahan pada Periode Tahun 1989-2002 Dari Menjadi Lokasi / Titik Rhizophora Lahan Terbuka 25-27, 39-40, 42, 51-53, 55, 59-60 Rhizophora Nipah 10 Lahan Terbuka Rhizophora 28-36, 43-44, 46-50, 54, 57-58 Nipah Rhizophora 5
•
Perubahan pada Periode Tahun 2002-2006 Dari Menjadi Lokasi / Titik Rhizophora Lahan Terbuka 14, 22, 54 Rhizophora Nipah 5, 7-8, 16 Lahan Terbuka Rhizophora 25 Lahan Terbuka Nipah 59 Lahan Terbuka Belukar 60
136
Berdasarkan analisis dan uraian data dari masing-masing pada ketiga gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa pola-pola perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian, diantaranya adalah : (1) Penebangan Rhizophora yang mengakibatkan timbulnya lahan terbuka pada lokasi yang semula berupa vegetasi Rhizophora; (2) Regenerasi Rhizophora pada lahan-lahan bekas tebangan yang mengakibatkan tertutup kembalinya lahan-lahan terbuka bekas tebangan dengan vegetasi Rhizophora; (3) Pergantian jenis dari Rhizophora menjadi Nipah, terjadi karena adanya kegiatan penebangan Rhizophora pada vegetasi campuran antara Rhizophora dan Nipah. Pada lokasi seperti ini setelah penebangan tidak menjadi lahan terbuka karena secara umum tanah sudah tertutup oleh Nipah, hal ini mengakibatkan anakan Rhizophora tidak mampu bersaing dengan Nipah yang sudah lebih dulu eksis dibawah tegakan Rhizophora sebelum kegiatan penebangan (Gambar 36); (4) Tumbuhnya Nipah pada lokasi lahan terbuka disebabkan oleh sudah hadirnya Nipah pada lokasi tersebut, setelah penebangan Nipah tumbuh lebih cepat karena mendapat sinar matahari lebih banyak dari sebelumnya; dan (5) Perubahan dari Nipah menjadi Lahan Terbuka untuk pembukaan lahan budidaya.
a. Vegetasi Rhizophora yang bercampur dengan Nipah.
b. Vegetasi Nipah terbentuk setelah Rhizophora ditebang.
Gambar 36. Proses Pergantian Jenis dari Rhizophora menjadi Nipah 137
5.5. Zonasi Hutan Mangrove Dalam pembuatan zonasi mangrove ini sedianya
menggunakan metode
Watson yaitu dengan cara menghitung waktu genangan pada lokasi penelitian. Parameter yang diperlukan dalam zonasi ini adalah data pasang surut air laut minimal satu tahun dan data ketinggian tempat. Data pasang surut untuk mengetahui tinggi rendahnya air laut serta frekuensi dalam setiap bulan selama satu tahun, sementara itu data ketinggian tempat untuk mengetahui tinggi tempat pada beberapa titik di lokasi penelitian. Kombinasi penggunaan kedua data ini akan diperoleh daerah-daerah mana saja yang sering dan jarang tergenang sesuai dengan tinggi air pasang dan ketinggian tempat. Data pasang surut air laut sudah peneliti peroleh berupa data sekunder selama dua tahun terakhir yaitu tahun 2007 dan 2008 dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Maritim Pontianak, namun sayang data ketinggian tempat yang diambil langsung di lapangan mengalami kendala alat berupa data yang diperoleh tidak valid sehingga data ketinggian tempat tidak didapatkan. Berdasarkan keadaan seperti diuraikan di atas maka pembuatan zonasi mangrove berdasarkan metode Watson tidak dapat dilaksanakan. Namun demikian menurut Bengen (2001) bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di hutan mangrove adalah sifat tanah (keadaan mineralogi dan fisik). Berikut adalah salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : (1) Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp, pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. (2) Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp, pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. 138
(3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. (4) Zona transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh tumbuhan Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya. Berdasarkan sistem zonasi di atas maka zonasi mangrove di lokasi penelitian adalah sebagai berikut : (1) Tidak ada zona mangrove pionir, karena lokasi penelitian tidak berhadapan langsung dengan laut lepas dan tidak ditemukan jenis-jenis seperti Avicennia spp, Sonneratia spp. (2) Pada daerah-daerah tepi lokasi penelitian yaitu daerah yang menghadap selat, berbatasan dengan lahan budidaya, dan ekoton pada umumnya ditumbuhi dengan tumbuhan palma dari jenis Nypa fruticans dan kadang-kadang tumbuh juga jenis Xylocarpus granatum. (3) Pada daerah tengah lokasi penelitian ditumbuhi dengan jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan B. parviflora. 5.6. Strategi Pengelolaan Lingkungan Strategi pengelolaan lingkungan kawasan hutan mangrove Muara Kubu dilakukan dengan cara harmonisasi antara ekonomi dan ekologis sehingga akan terwujud sistem pengelolaan lingkungan yang integratif (terpadu) dan berwawasan lingkungan, sebagai upaya menjaga kestabilan dan kelestarian sumberdaya, mengurangi kerusakan lingkungan, dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penentuan strategi pengelolaan lingkungan kawasan hutan mangrove Muara Kubu juga tidak terlepas dari Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No 23 Th 1997) yang berisi upaya terpadu untuk melestarikan fungsi 139
lingkungan hidup yang meliputi aspek kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan,
dan
pengendalian
lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan utama yang terjadi di kawasan hutan mangrove Muara Kubu adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan yang apabila tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian hutan, akan menimbulkan kerusakan atau degradasi hutan mangrove dalam skala besar. Dalam ketentuan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada kenyataannya di lapangan sumberdaya hutan dianggap sebagai ladang tidak bertuan yang setiap orang berhak untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan, sehingga kawasan hutan mangrove Muara Kubu menjadi open access property dan hal tersebut berdampak negatif terhadap lingkungan hutan yaitu kerusakan lingkungan biofisik dengan berkurangnya kualitas hutan yang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap lingkungan biotik maupun sosial ekonomi masyarakat. Bagian wilayah kawasan hutan mangrove Muara Kubu yang mempunyai potensi degradasi hutan cukup serius adalah wilayah sebelah barat yang posisinya berdekatan dengan kawasan budidaya atau pemukiman. Pada bagian wilayah ini komposisi vegetasi mangrove pada umumnya berupa campuran antara jenis Rhizophora, Bruguiera, dan Nipah. Sementara itu terdapat sebagian masyarakat setempat yang mata pencahariannya adalah membuat arang bakau. Berdasarkan analisis pola perubahan penutupan lahan jika pada vegetasi seperti ini dilakukan penebangan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku arang bakau, maka anakan 140
Rhizophora akan sulit untuk melakukan regenerasi karena kondisi lahan sudah dikuasai oleh Nipah. Kita semua maklum bahwa nipah itu memiliki beberapa potensi untuk pemanfaatannya, namun jika dibandingkan dengan Rhizophora atau Bruguiera tentu nilainya lebih kecil. Dikhawatirkan jika vegetasi Rhizophora pada bagian wilayah ini rusak dan yang tersisa hanya berupa vegetasi Nipah, bukan tidak mungkin akan berpengaruh langsung khususnya terhadap perekonomian masyarakat dan umumnya terhadap kualitas lingkungan ekosistem mengrove. Pada bagian wilayah lain tepatnya pada kawasan hutan lindung terdapat kegiatan konversi lahan hutan mangrove untuk budidaya ikan payau (tambak). Kegiatan ini ilegal karena berada pada kawasan hutan lindung dimana pada kawasan tersebut tidak boleh ada kegiatan yang dapat mengganggu fungsi dan peruntukan kawasan. Arahan dan strategi pengelolaan lingkungan dari faktor penyebab kerusakan lingkungan dan dampak yang terjadi dilakukan dengan pendekatan sosial ekonomi, yang ditekankan pada pendekatan kelembagaan yang melibatkan tiga komponen pokok yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta yang saling terpadu. Fungsi masingmasing komponen tersebut dalam pengelolaan lingkungan hutan mangrove Muara Kubu adalah sebagai berikut: 1.
Pemerintah Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat (Dinas Kehutanan, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan Perikanan), dan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya (Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Bappeda, Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan 141
Perikanan) bekerjasama secara sinergi dalam pembuatan kebijakan dalam rangka pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yang sesuai dengan kaidah kelestarian dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan, yaitu dengan cara : 1).
Identifikasi dan Inventarisasi •
Mengidentifikasi, menginventarisasi, dan memetakan bentuk kerusakan lingkungan baik biofisik maupun sosial ekonomi yang terjadi di kawasan hutan mangrove.
•
Mengadakan program inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang bertujuan meningkatkan jumlah dan mutu informasi sumberdaya alam untuk mengetahui dan menjamin sediaan sumber alam yang berkelanjutan yang dilakukan secara terpadu.
2).
Hukum dan Perundang-undangan •
Merancang kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas lahan pertanian dan pengelolaan areal konservasi.
•
Memperkuat mekanisme pengawasan dan memformulasikan perundangundangan yang secara dinamis mampu menjawab tantangan permasalahan kerusakan lingkungan.
•
Meninjau kembali keberadaan mekanisme penegakan hukum, dengan maksud memperkuat dan membiasakan aparat dengan peraturan baru, mekanisme ini harus mencakup aspek ekonomi, hukum, dan sosial seperti menambah jumlah petugas keamanan hutan.
142
•
Memberlakukan dan menerapkan sanksi hukum yang berat terhadap setiap pelanggaran dalam pengelolaan hutan.
3).
Pengawasan •
Melakukan pengawasan secara berkala terhadap para pelaku usaha yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan mangrove.
•
Melakukan survey dan analisis secara berkala untuk menilai status dan kondisi kerusakan yang terjadi dalam kawasan hutan mangrove serta kemungkinan perbaikannya.
4).
Perbaikan dan Pemeliharaan •
Melakukan perencanaan terpadu dan melaksanakan program-program yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya hutan.
•
Menerapkan program pembayaran langsung tunai bagi masyarakat yang mau memindahkan, menyebarkan, dan menanam anakan Rhizophora yang banyak ditemukan di sekitar pohon induk ke ke lahan-lahan kosong.
2.
Masyarakat Keterlibatan masyarakat sekitar kawasan hutan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan ikut andil dalam proses terjadinya degradasi hutan. Strategi pendekatan yang dilakukan adalah : o Melibatkan masyarakat dalam merancang peraturan yang sesuai dan memastikan peran serta dalam penegakan hukum; o Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program rehabilitasi hutan; 143
o Meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka pengawasan setiap kegiatan yang berkaitan dengan hutan mangrove; o Meningkatkan keahlian masyarakat sekitar hutan tentang produksi hasil hutan non-kayu dan tumbuhan obat-obatan serta cara pembuatannya. 3.
Swasta Peran swasta dalam pengelolaan lingkungan sangat besar, dimana salah satu perannya sebagai mitra pemerintah dalam menggerakkan roda pembangunan dan perekonomian. Strategi yang bisa dilaksanakan oleh swasta yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, diantaranya adalah : o Pengembangan teknologi budidaya perikanan air payau yang ramah lingkungan dengan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat setempat; o Pengembangan jasa pariwisata berwawasan lingkungan pada kawasan hutan mangrove, serta pengelolaan dan perlindungan keanekaagaman hayati darat dan perairan yang ada dalam kawasan hutan mangrove dan sekitarnya; o Pengakuan kelembagaan adat dan lokal dalam kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam, serta perlindungan hak-hak adat dan ulayat dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam; o Pengembangan
kelembagaan
pendanaan
pengelolaan
ekosistem
mangrove, serta pengembangan pola kemitraan dengan lembaga masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam.
144
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Penutupan lahan pada kawasan hutan mangrove Muara Kubu didominasi oleh kelas penutupan lahan Rhizophora dengan komposisi penyusun vegetasi dari jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera spp. Lahan-lahan terbuka bekas tebangan pada umumnya sudah tertutup kembali dengan vegetasi Rhizophora. 2. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Jenis Rhizophora apiculata merupakan jenis penting dalam vegetasi mangrove, ditunjukkan dengan INP tertinggi pada semua tingkat pertumbuhan, yaitu tingkat pancang (190,09%), tingkat tiang (233,84%), tingkat pohon kecil (199,55%), dan tingkat pohon besar (198,77%). 3. Kondisi sebaran spasial jenis mangrove di lokasi penelitian adalah sebagai berikut : (1) karena lokasi penelitian tidak berhadapan langsung dengan laut lepas, maka tidak ditemukan jenis-jenis mangrove pionir seperti Avicennia spp, Sonneratia spp; (2) pada daerah-daerah tepi lokasi penelitian yaitu daerah yang menghadap selat, berbatasan dengan lahan budidaya, dan ekoton pada umumnya ditemukan Nypa fruticans dan kadang ditemukan juga Xylocarpus granatum; (3) pada bagian wilayah tengah lokasi penelitian ditemukan jenis-jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan B. parviflora. 4. Perubahan penutupan lahan paling menonjol pada periode 1989-2002 adalah perubahan dari kelas penutupan Lahan Terbuka menjadi Rhizophora seluas 145
3.956,9 ha (84,3%) dari total luas 4.695,9 ha pada tahun 1989, yang menandakan bahwa proses regenerasi berjalan dengan baik. Pada periode 2002-2006 perubahan paling besar adalah perubahan dari kelas penutupan lahan Rhizophora menjadi Nipah seluas 1.758,2 ha, sebagai akibat dari tidak berjalannya proses regenerasi anakan Rhizophora pasca penebangan karena kondisi vegetasi merupakan campuran antaran Rhizophora dan Nipah. 5. Pola perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian selama tahun 1989-2006 adalah sebagai berikut : (1) Perubahan dari kelas Rhizophora menjadi Lahan Terbuka, akibat kegiatan eksploitasi hasil hutan bakau oleh swasta dan masyarakat; (2) Perubahan dari kelas Lahan Terbuka menjadi Rhizophora, akibat dari suksesnya proses regenerasi anakan Rhizophora pada lahan-lahan bekas tebangan; (3) Perubahan dari kelas Rhizophora menjadi Nipah, terjadi karena kegiatan penebangan Rhizophora pada vegetasi campuran Rhizophora dan Nipah, dimana pasca penebangan, anakan Rhizophora tidak mampu bersaing dengan Nipah yang sudah eksis lebih dulu; (4) Perubahan dari kelas Lahan Terbuka menjadi Nipah, terjadi karena anakan Rhizophora tidak mampu bersaing dengan Nipah yang sudah eksis lebih dulu. 6.2. Saran 1) Pada vegetasi Rhizophora bercampur Nipah sebaiknya tidak dilakukan penebangan, sampai ditemukan metode yang menjamin tumbuh kembali anakan Rhizophora di lokasi tersebut.
146
2) Harus ada sanksi yang tegas terhadap setiap pelaku pelanggaran penyebab kerusakan hutan/lingkungan, termasuk tambak yang berada pada kawasan hutan lindung. 3) Sebaiknya dibentuk lembaga khusus yang mengawasi dan mengelola kawasan hutan mangrove Muara Kubu dan sekitarnya, serta menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, dan ekowisata.
147
RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut, banyak dijumpai di pantai yang landai dan terlindung dari gempuran ombak, tumbuh optimal di pantai yang memiliki muara sungai besar yang alirannya banyak mengandung lumpur. Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut, sehingga keberadaannya mempunyai arti yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai biota laut, sebagai habitat satwa burung, reptilia, dan serangga. Pemanfaatan hutan mangrove akhir-akhir ini semakin hari semakin memprihatinkan, terutama akibat adanya kegiatan yang tidak memerhatikan kaidah pelestarian sumberdaya. Kerusakan hutan mangrove yang tidak terkendali ini akan menyebabkan hilangnya ekosistem serta fungsi hutan mangrove itu sendiri (Bujang et al, 1998). Dalam kaitan dengan penebangan hutan mangrove, Miyabara (1984 dalam Atmawijaya, 1998) menerangkan bahwa penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan rumah tangga (kayu untuk bangunan dan kayu bakar) dan penebangan pohon mangrove untuk ekspor kayu dan chip yang tidak terkendali telah mengubah ekosistem mangrove secara luas di banyak daerah. Kegiatan yang tidak terkendali ini selain merusak habitat yang sangat penting untuk perikanan laut, kegiatan ini 148
juga menyebabkan berubahnya vegetasi. Daerah-daerah yang terdegradasi cenderung untuk dikolonisasi oleh jenis-jenis pohon seperti nipah (Nypa fruticans) atau Avicennia yang menghasilkan kayu yang mutunya lebih rendah (inferior) daripada jenis pohon lain. Kajian ini mempelajari perubahan penutupan lahan hutan mangrove di lokasi kajian yang diakibatkan oleh adanya kegiatan pemanfaatan hutan mangrove dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2006. Kajian dilakukan dengan cara interpretasi visual citra satelit liputan tahun 1989, 2002, dan 2006. Kajian ini penting untuk dilakukan untuk mengetahui perkembangan penutupan lahan hutan mangrove selama kurun waktu 1989 sampai dengan 2006, sekaligus mengetahui faktor-faktor yang yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan hutan mangrove di lokasi kajian. 2. Tujuan Penelitian 1) Inventarisasi kondisi penutupan lahan hutan mangrove pada tahun 19892006 melalui interpretasi visual citra Landsat dengan skala 1 : 50.000. 2) Mempelajari sebaran spasial dan zonasi vegetasi mangrove di lokasi kajian. 3) Mengkaji pola perubahan penutupan lahan hutan mangrove yang terjadi antara tahun 1989 sampai dengan 2006. II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Deteksi Perubahan Yang dimaksud dengan deteksi perubahan pada sistem informasi geografis adalah suatu proses yang mengukur perubahan atribut suatu area tertentu antara dua periode atau lebih. Deteksi perubahan biasanya dilakukan 149
dengan cara membandingkan foto udara atau citra satelit suatu wilayah pada waktu yang berbeda. Menurut Paryono (2003), teknik-teknik untuk mendeteksi perubahan secara digital telah banyak dikembangkan dan digunakan secara operasional, antara lain tumpang-susun citra (image overlay), pembedaan citra (image differencing), penisbahan citra (image rationing), Analisis Komponen Utama (principal componen analysis – PCA), komparasi klasifikasi (classification comparison), dan Analisis Perubahan Vektor (vector change analysis – VCA). Deteksi perubahan dengan teknik analisis perubahan vektor dilakukan dengan cara mengubah data raster ke dalam bentuk vektor, diantaranya dengan cara digitasi pada layar komputer. 2. Penutupan Lahan Penutupan lahan (land cover) merupakan semua kenampakan fisik dan biologis yang menutupi lahan seperti vegetasi atau unsur-unsur buatan manusia, menurut Comber et al (2005) penutupan lahan adalah material fisik di permukaan bumi, termasuk didalamnya rumput, aspal, pepohonan, tanah terbuka, air, dan lain-lain. 3. Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut (Anonimous, 1978 dalam Mulia, 2000). Menurut Mac Nae (1968, dalam Arief, 2003), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh diantara batas air tertinggi saat air pasang dan batas air terendah sampai diatas rata-rata permukaan laut. Sebenarnya, 150
kata mangrove digunakan untuk menyebut masyarakat tumbuh-tumbuhan dari beberapa species yang mempunyai perakaran Pneumatophores dan tumbuhan diantara garis pasang surut, sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang” (Steenis, 1978 dalam Arief, 2003). Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No 60/Kpts/Dj./I/1978, hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang tinggi dan bebas genangan pada waktu pasang rendah. Persyaratan tumbuh mangrove biasanya di wilayah dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 – 3.000 mm/tahun (Arksonkoae, 1993). Menurut Saenger et al. (1983) ada beberapa syarat fisikokimia air laut yang diperlukan bagi pertumbuhan mangrove, yaitu : (1) Air pasang yang antara lain berfungsi memasok unsur hara/nutrien bagi pertumbuhannya; (2) Salinitas yaitu tingkat kadar garam NaCl di dalam air laut; (3) Arus permukaan air laut, karena diduga arus permukaan memperkaya pasokan unsur hara dan menjaga keseimbangan kadar oksigen perairan; (4) Suhu air laut antara 27oC – 34oC. III. METODE PENELITIAN 1. Cara Pengumpulan Data Untuk mengetahui gambaran mengenai kondisi penutupan lahan, kondisi lingkungan, serta kondisi vegetasi di lokasi penelitian diperlukan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan cara pengukuran atau pengecekan langsung terhadap variabel penelitian pada daerah penelitian, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi pemerintah terkait, studi literatur, maupun hasil wawancara. 151
Data primer dalam penelitian ini meliputi : •
Penutupan lahan yang menggambarkan kondisi dan jenis penutupan lahan di lokasi penelitian, diambil dari citra Landsat dengan cara interpretasi visual secara on-screen digitizing;
•
Variabel fisik lahan yang mencakup kondisi tanah (tekstur, bahan organik, pH), kondisi air (salinitas, suhu, pH);
•
Variabel vegetasi yaitu kerapatan (density), frekuensi (frequency), dominansi (dominance), nilai penting (importance), dan keanekaragaman (diversity) pada tiap tingkat pertumbuhan yaitu pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar. Data sekunder berupa peta topografi, peta status kawasan, data kisaran
pasang surut air laut, iklim (curah hujan dan temperatur), serta informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 2. Jalan Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu pengolahan citra Landsat, pengambilan data lapangan, dan analisis data. 1) Pengolahan citra Landsat a. Pre-processing, meliputi rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan penyiapan citra Landsat agar data yang diperlukan di dalamnya dapat diunduh sesuai dengan yang diinginkan. Kegiatan-kegiatan dalam pre-processing diantaranya adalah layer-stacking, koreksi geometrik, cropping, penyusunan komposit warna, dan penajaman citra. b. Digitasi, dilakukan dalam upaya interpretasi visual citra Landsat sesuai tampilan citra pada layar komputer menggunakan perangkat 152
lunak ArcView GIS versi 3.3 pada skala 1 : 50.000 untuk mendapatkan peta bentuk lahan dan penutupan lahan. c. Klasifikasi Penutupan Lahan, merupakan gambaran tentang kondisi penutupan lahan pada daerah penelitian yang dikelompokkan berdasarkan tipe vegetasi yaitu vegetasi lahan kering, vegetasi lahan basah, dan vegetasi mangrove. Selanjutnya dari masing-masing tipe vegetasi tersebut dibagi lagi ke dalam kelompok hutan primer, hutan sekunder, lahan terbuka, belukar, dan pertanian. Klasifikasi Penutupan Lahan serta deskripsi unsur obyeknya adalah sebagai berikut : Nama Asosiasi / Penutupan Lahan
Keterangan / Unsur Obyek
Rhizophora
Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflora
Belukar
Semak / belukar Xylocarpus granatum
Nipah
Nypa fruticans
Lahan Terbuka
Lahan bekas tebangan
Tambak
Lahan budidaya air payau
Sumber: Analisis Data Primer (2009)
2) Pengambilan Data Lapangan a. Kondisi Tanah, data yang diambil dari kondisi tanah adalah sifat fisiknya yang meliputi: (1) tekstur tanah guna mengetahui kandungan lempung dalam tanah; (2) bahan organik guna mengetahui kandungan bahan organik dalam tanah; dan (3) keasaman (pH) tanah untuk mengetahui tingkat keasaman atau kebasaan tanah.
153
b. Kondisi Air, data kondisi air yang diambil di lapangan berupa tingkat salinitas (kadar garam terlarut dalam air), temperatur air, dan tingkat keasaman air. c. Kondisi Vegetasi, dalam rangka pengambilan data kondisi vegetasi di lapangan dibuat sampel plot dengan metode purposive sampling atas dasar floristik. Sampel plot berbentuk petak dengan ukuran adalah 20 meter x 125 meter untuk tingkat pohon besar, 20 meter x 20 meter untuk tingkat pohon kecil, 10 meter x 10 meter untuk tingkat tiang. Sedangkan untuk tingkat pancang dibuat plot lingkaran dengan radius 2,82 meter. 3) Analisis Data a. Kondisi Tanah dan Air, analisis data mengenai sifat fisik tanah dan air di lokasi penelitian dilakukan dengan membandingkan antara hasil pengukuran lapangan dengan kriteria persyaratan tumbuh mangrove. b. Kondisi Vegetasi, data hasil inventarisasi lapangan diolah dan dianalisis untuk mendapatkan nilai kerapatan (density), frekuensi (frequency), dominansi (dominance), dan nilai penting. Indeks Nilai Penting (INP)
merupakan besaran yang menunjukkan kedudukan
suatu jenis terhadap jenis lain di dalam suatu komunitas. Cara untuk mendapatkan nilai dari masing-masing variabel penentu nilai penting vegetasi adalah sebagai berikut :
100% 154
100%
dimana : π = 3,1415 atau = 0,7854 D = diameter yang diukur setinggi dada (DBH). 100%
Keanekaragaman jenis dihitung dengan menggunakan persamaan Keanekaragaman Shannon-Wiener, yaitu : . Dengan : H’ = indeks keanekaragaman species; S = kekayaan jenis (jumlah seluruh jenis yang ada) pi = nilai proporsi tiap individu ke-i ln = logaritma natural c. Perubahan Penutupan Lahan, untuk mendapatkan data perubahan penutupan lahan dilakukan dengan proses tumpang-susun (overlay) antara dua kelas penutupan lahan pada tahun yang berbeda sehingga posisi dimana terjadi perubahan dapat diketahui. Data perubahan penutupan lahan diperoleh dari hasil overlay peta antara hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1989 dan 2002 menghasilkan data perubahan untuk periode 1989-2002, dan hasil overlay peta antara
155
hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2002 dan 2006 menghasilkan data perubahan untuk periode 2002-2006. d. Pola Perubahan Penutupan lahan, analisis dilakukan dengan cara membuat profil melintang pada peta perubahan penutupan lahan. Hasil cuplikan data pada peta perubahan penutupan lahan selanjutnya ditampilkan dalam bentuk chart kemudian dianalisa lokasi-lokasi yang mengalami perubahan dan tidak mengalami perubahan. 4) Zonasi Hutan Mangrove, dibuat berdasarkan klasifikasi Watson (1928) yang menyatakan bahwa adanya korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air. Parameter-parameter yang digunakan dalam pembuatan zonasi ini adalah data pasang-surut air laut selama satu tahun dan titik tinggi di beberapa tempat dalam wilayah penelitian. Dari data titik tinggi yang ada dibuat interpolasi sehingga terbentuk garis-garis sama tinggi dalam wilayah penelitian, selanjutnya dikelompokkan ke dalam lima kelas sebagai berikut: Frekuensi Tergenang
Ketinggian di atas
(per bulan)
datum (kaki)
I
56 – 62
0–8
II
45 – 56
8 – 11
III
20 – 45
11 – 13
IV
2 – 20
13 – 15
V
<2
> 15
Kelas
Sumber: Watson (1928)
156
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Penutupan Lahan Kondisi penutupan lahan di lokasi penelitian berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat tahun 1989, 2002, dan 2006 dikelompokkan dalam kelas penutupan Rhizophora, Belukar, Nipah, Lahan Terbuka, dan Tambak. Luasan dari masing-masing kelas penutupan lahan seperti pada tabel berikut. Tabel 1.
Kondisi Penutupan Lahan pada Tahun 1989
Penutupan Lahan
1989
2002
2006
11.289,6
13.568,0
12.466,1
691,9
519,5
360,2
Nipah
3.477,9
4.375,1
5.926,4
Lahan Terbuka
4.695,9
1.614,6
1.325,9
-
78,1
76,7
20.155,3
20.155,3
20.155,3
Rhizophora Belukar
Tambak Jumlah Sumber: Penafsiran Citra Landsat 1989
Berdasar pada tabel di atas diketahui kondisi penutupan lahan di lokasi penelitian di dominasi oleh kelas penutupan Rhizophora. Kelas Nipah mempunyai kecenderungan luasannya terus meningkat, sebaliknya kelas Lahan Terbuka luasannya semakin menurun. 2. Kondisi Vegetasi Mangrove Hasil inventarisasi lapangan menunjukkan bahwa struktur dan komposisi jenis pohon mangrove pada lokasi penelitian ditemukan sebanyak 4 (empat) jenis, yaitu : Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum. Dari keempat jenis pohon tersebut dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok tingkatan pertumbuhan yaitu pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar. Tingkat pancang yaitu pohon dengan 157
ukuran tinggi >150 cm dan diameter <10 cm, tingkat tiang yaitu pohon dengan ukuran diameter antara 10 – 20 cm, pohon kecil mempunyai ukuran diameter antara 20 – 35 cm, dan pohon besar mempunyai diameter lebih dari 35 cm. Kerapatan Kerapatan jenis merupakan nilai yang menyatakan banyaknya individu setiap jenis yang terdapat dalam satuan luas tertentu (individu/ha). Hasil analisis kerapatan jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon seperti dapat dilihat pada Tabel . Tabel 2.
Kerapatan Jenis Mangrove Berdasarkan Tingkat Pertumbuhan Kerapatan (individu/ha)
Nama species Pancang
Tiang
Pohon kecil
Pohon Besar
-
2,94
-
-
Bruguiera gymnorrhiza
35,29
44,12
16,54
5,12
Rhizophora apiculata
1.364,71
430,88
63,97
17,41
5,88
16,18
10,29
1,06
1.405,88
494,12
90,81
23,59
Bruguiera parviflora
Xylocarpus granatum Jumlah
Sumber: Analisis data primer (2009) Berdasarkan pada tabel di atas diketahui bahwa jenis Rhizophora apiculata mempunyai kerapatan paling tinggi daripada jenis-jenis lainnya. Sedangkan berdasarkan tingkat pertumbuhan, yang paling banyak secara berurutan adalah tingkat pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar. Kerapatan berdasarkan tingkat pertumbuhan dari pohon muda ke dewasa membentuk piramida, hal ini menandakan bahwa vegetasi mangrove di lokasi penelitian mempunyai struktur yang kuat. Kondisi vegetasi di lapangan dapat dilihat pada foto-foto berikut. 158
Frekuensi Frekuensi merupakan nilai yang menunjukkan kemerataan sebaran suatu jenis di lokasi penelitian, diperoleh dengan cara menghitung plot-plot dimana suatu jenis muncul. Hasil analisis frekuensi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan seperti pada tabel berikut. Tabel 3.
Frekuensi Jenis Mangrove Berdasarkan Tingkat Pertumbuhan Frekuensi
Nama species Pancang
Tiang
Pohon kecil
Pohon Besar
-
0,03
-
-
Bruguiera gymnorrhiza
0,03
0,29
0,32
0,40
Rhizophora apiculata
0,59
0,65
0,68
0,54
Xylocarpus granatum
0,01
0,07
0,16
0,10
Jumlah
0,63
1,04
1,16
1,04
Bruguiera parviflora
Sumber: Analisis data primer (2009) Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebaran jenis Rhizophora apiculata mempunyai nilai frekuensi paling tinggi daripada jenis-jenis lainnya pada setiap tingkat pertumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Rhizophora apiculata mempunyai sebaran paling merata daripada jenis-jenis lainnya, sedangkan berdasarkan tingkat pertumbuhan yang paling merata adalah tingkat pohon kecil. Dominansi Dominansi merupakan nilai yang menyatakan luas ruang yang terisi oleh basal area suatu jenis dalam satuan luas tertentu (m2/ha). Hasil analisis dominansi jenis di lokasi penelitian berdasarkan tingkat pertumnbuhan seperti pada tabel berikut. 159
Tabel 4.
Dominansi Jenis Mangrove Berdasarkan Tingkat Pertumbuhan Dominansi (m2/ha)
Nama species Pancang
Tiang
Pohon kecil
Pohon Besar
Bruguiera parviflora
-
0,0634
-
-
Bruguiera gymnorrhiza
-
0,7487
0,8413
0,8567
Rhizophora apiculata
-
6,1019
3,3160
2,8771
Xylocarpus granatum
-
0,2927
0,5215
0,2160
Jumlah
-
7,1433
4,6789
3,9498
Sumber: Analisis data primer (2009) Berdasar pada tabel di atas, jenis yang paling dominan adalah Rhizophora apiculata dengan nilai dominansi tertinggi daripada jenis-jenis lainnya di setiap tingkat pertumbuhan, sementara itu tingkat pertumbuhan yang paling dominan adalah tingkat tiang. Hal ini menandakan bahwa vegetasi mangrove di lokasi penelitian di dominasi oleh jenis Rhizophora apiculata, terutama pada tingkat tiang. Nilai Penting Indeks Nilai Penting (INP) merupakan besaran yang menunjukkan kedudukan suatu jenis terhadap jenis lain di dalam suatu komunitas. INP diturunkan dari kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dari jenis-jenis yang menyusun komunitas yang diamati (Snedakeer dan Snedaker, 1984). Hasil analisis nilai penting jenis mangrove berdasarkan tingkat pertumbuhan, seperti pada Gambar 22.
160
233,84
250
199,55
190,09
200
198,77
150 100
81,41 64,05 47,49
50 0
‐ 7,16 Pancang
Gambar 1.
36,41 14,38
2,74 4,29 Tiang
19,82 ‐
‐ Pohon Kecil
Bruguiera parviflora
Bruguiera gymnorrhiza
Rhizophora apiculata
Xylocarpus granatum
Pohon Besar
Grafik INP Jenis Mangrove pada setiap Tingkat Pertumbuhan
Berdasarkan grafik di atas dapat dijelaskan bahwa jenis Rhizophora apiculata merupakan nilai tertinggi pada setiap tingkat pertumbuhan, kondisi ini menujukkan bahwa fungsi jenis Rhizophora apiculata dalam menyusun vegetasi mangrove di lokasi penelitian sangatlah penting. Hal ini menandakan bahwa kondisi lingkungan di lokasi penelitian cocok untuk tempat tumbuh optimal species Rhizophora apiculata. Keanekaragaman Keanekaragaman jenis merupakan data tentang banyaknya jenis yang menggambarkan keanekaragaman jenis suatu populasi dalam hal ini vegetasi mangrove. Keanekaragaman jenis pada suatu vegetasi merupakan salah satu faktor yang akan menunjukkan tingkat stabilitas vegetasi, semakin tinggi keanekaragaman jenisnya maka
semakin tinggi pula stabilitas vegetasi
tersebut.
161
Hasil analisis keanekaragaman jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan seperti dapat dilihat pada Gambar 23. 0,857
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
0,806
0,691
0,226
Pancang
Gambar 2.
Tiang
Keanekaragaman
Pohon Kecil
Jenis
Mangrove
Pada
Pohon Besar
Setiap
Tingkat
Pertumbuhan Berdasar gambar di atas dapat dijelaskan bahwa keanekaragaman jenis mangrove pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang, pohon kecil, dan pohon besar secara berturut-turut adalah H’ = 0,226, 0,691, 0,857, dan 0,806. Indeks keanekaragaman pada semua tahap pertumbuhan tergolong rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa vegetasi mangrove di lokasi penelitian berdasarkan keanekaragaman jenisnya dapat dikategorikan ke dalam komunitas yang tidak stabil. 3. Perubahan Penutupan Lahan Berdasarkan kondisi penutupan lahan pada masing-masing tahun sebagaimana
telah
diuraikan
pada
bagian
terdahulu,
dapat
dibuat
perbandingan antara kondisi penutupan lahan yang satu dengan lainnya seperti dapat dilihat pada Gambar 24.
162
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Rhizophora
Belukar
Nipah
Lahan Terbuka
Tambak
1989
11.289,6
691,9
3.477,9
4.695,9
0
2002
13.568,0
519,5
4.375,1
1.614,6
78,1
2006
12.466,1
360,2
5.926,4
1.325,9
76,7
Sumber: Analisis data primer (2009)
Gambar 3.
Perbandingan Penutupan Lahan Tahun 1989, 2002 dan 2006
Berdasar pada grafik di atas dapat dijelaskan bahwa luasan penutupan lahan Rhizophora mengalami kenaikan pada tahun 2002 akan tetapi penurunan lagi pada tahun 2006, namun secara keseluruhan mengalami kenaikan. Penutupan lahan Nipah mengalami peningkatan luas terus menerus, sebaliknya pada Lahan Terbuka terus menerus mengalami penurunan. Tambak baru teridentifikasi pada tahun 2002. 4. Pola Perubahan Penutupan Lahan Pola perubahan penutupan lahan yang terjadi selama kurun waktu 1989-2006 dianalisis menggunakan profil melintang peta penutupan lahan dengan menggunakan transek. Salah satu transek dalam rangka analisis pola penutupan lahan dari tahun 1989-2006 seperti pada gambar berikut.
163
Tahun 1989
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59
Tahun 2002
Periode 1989‐2002
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
Sungai
Tahun 2002
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 Tahun 2006
Periode 2002‐2006 Gambar 4.
Lahan Terbuka
Nipah
Rhizophora
Sungai
Profil Melintang Transek Perubahan Kelas Penutupan Lahan
Berdasarkan analisis dan uraian data pada gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa pola-pola perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian, diantaranya adalah : (1) Penebangan Rhizophora yang mengakibatkan timbulnya lahan terbuka pada lokasi yang semula berupa vegetasi Rhizophora; (2) Regenerasi Rhizophora pada lahan-lahan bekas tebangan yang mengakibatkan tertutup kembalinya lahan-lahan terbuka bekas tebangan dengan vegetasi Rhizophora; (3) Pergantian jenis dari Rhizophora menjadi Nipah, terjadi karena adanya kegiatan penebangan Rhizophora pada vegetasi campuran antara Rhizophora dan Nipah. Pada lokasi seperti ini setelah penebangan tidak menjadi lahan terbuka karena secara umum tanah sudah tertutup oleh Nipah, hal ini mengakibatkan anakan Rhizophora tidak 164
mampu bersaing dengan Nipah yang sudah lebih dulu eksis dibawah tegakan Rhizophora sebelum kegiatan penebangan (Gambar 36); (4) Tumbuhnya Nipah pada lokasi lahan terbuka disebabkan oleh sudah hadirnya Nipah pada lokasi tersebut, setelah penebangan Nipah tumbuh lebih cepat karena mendapat sinar matahari lebih banyak dari sebelumnya; dan (5) Perubahan lainnya, seperti Nipah menjadi Lahan Terbuka oleh kegiatan pembukaan lahan untuk budidaya 5. Zonasi dan Sebaran Spasial Jenis Mangrove Menurut Bengen (2001) bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di hutan mangrove adalah sifat tanah (keadaan mineralogi dan fisik). Berdasarkan salah satu tipe zonasi yang ada di Indonesia, maka zonasi mangrove di lokasi penelitian adalah sebagai berikut : a) Tidak ada zona mangrove pionir, karena lokasi penelitian tidak berhadapan langsung dengan laut lepas dan tidak ditemukan jenis-jenis seperti Avicennia spp, Sonneratia spp. b) Pada daerah-daerah tepi lokasi penelitian yaitu daerah yang menghadap selat, berbatasan dengan lahan budidaya, dan ekoton pada umumnya ditemukan jenis Nypa fruticans dan kadang-kadang terdapat Xylocarpus granatum. c) Pada daerah tengah lokasi penelitian ditemukan jenis-jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan B. parviflora.
165
V. KESIMPULAN DAN SARAN 1) Penutupan lahan pada kawasan hutan mangrove Muara Kubu didominasi oleh kelas penutupan lahan Rhizophora dengan komposisi penyusun vegetasi dari jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera spp. Lahan-lahan terbuka bekas tebangan pada umumnya sudah tertutup kembali dengan vegetasi Rhizophora. 2) Jenis-jenis mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Jenis Rhizophora apiculata merupakan jenis penting dalam vegetasi mangrove, ditunjukkan dengan INP tertinggi pada semua tingkat pertumbuhan, yaitu tingkat pancang (190,09%), tingkat tiang (233,84%), tingkat pohon kecil (199,55%), dan tingkat pohon besar (198,77%). 3) Kondisi sebaran spasial jenis mangrove di lokasi penelitian adalah sebagai berikut : (1) karena lokasi penelitian tidak berhadapan langsung dengan laut lepas, maka tidak ditemukan jenis-jenis mangrove pionir seperti Avicennia spp, Sonneratia spp; (2) pada daerah-daerah tepi lokasi penelitian yaitu daerah yang menghadap selat, berbatasan dengan lahan budidaya, dan ekoton pada umumnya ditemukan Nypa fruticans dan kadang ditemukan juga Xylocarpus granatum; (3) pada bagian wilayah tengah lokasi penelitian ditemukan jenis-jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan B. parviflora. 4) Perubahan penutupan lahan paling menonjol pada periode 1989-2002 adalah perubahan dari kelas penutupan Lahan Terbuka menjadi Rhizophora seluas 3.956,9 ha (84,3%) dari total luas 4.695,9 ha pada tahun 1989, yang menandakan bahwa proses regenerasi berjalan dengan baik. Pada periode 166
2002-2006 perubahan paling besar adalah perubahan dari kelas penutupan lahan Rhizophora menjadi Nipah seluas 1.758,2 ha, sebagai akibat dari tidak berjalannya proses regenerasi anakan Rhizophora pasca penebangan karena kondisi vegetasi merupakan campuran antaran Rhizophora dan Nipah. 5) Pola perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian selama tahun 1989-2006 adalah sebagai berikut : (1) Perubahan dari kelas Rhizophora menjadi Lahan Terbuka, akibat kegiatan eksploitasi hasil hutan bakau oleh swasta dan masyarakat; (2) Perubahan dari kelas Lahan Terbuka menjadi Rhizophora, akibat dari suksesnya proses regenerasi anakan Rhizophora pada lahan-lahan bekas tebangan; (3) Perubahan dari kelas Rhizophora menjadi Nipah, terjadi karena kegiatan penebangan Rhizophora pada vegetasi campuran Rhizophora dan Nipah, dimana pasca penebangan, anakan Rhizophora tidak mampu bersaing dengan Nipah yang sudah eksis lebih dulu; (4) Perubahan dari kelas Lahan Terbuka menjadi Nipah, terjadi karena anakan Rhizophora tidak mampu bersaing dengan Nipah yang sudah eksis lebih dulu.
167
DAFTAR PUSTAKA Cases Akbar, A. A. 2005. Pengaruh Kerusakan Ekosistem Mangrove terhadap Sosial Ekonomi Nelayan Pesisir Kalimantan Barat. Program Studi Ilmu Lingkungan. Jurusan Antar Bidang. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Alikodra, H. S. 1998. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Dilihat dari Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove: 33-43 Amran, M.A. 1999. Karakteristik Pantulan Spektral Tumbuhan Mangrove pada Citra Digital Landsat TM. Tesis Program Studi Penginderaan Jauh. Jurusan Ilmuilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Anonimous. 1978. Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No 60/Kpts/Dj./I/1978 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau. Departemen Pertanian. Jakarta. Anonimous. 2003. Modul Pelatihan Fire Danger Rating System. Canadian Forestry Services (CFS). Canada Anonimous. 2005. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2005. Pontianak Anonimous. 2007. Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2007 tanggal 24 Agustus 2007. Departemen Kehutanan. Jakarta Arief, A. 2003. Hutan Mangrove: Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Arksonkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN. Bangkok. Thailand. Bappeda Kalbar. 2002. Laporan Akhir : Identifikasi Potensi dan Permasalahan Ekosistem Mangrove di Kubu dan Sekitarnya. Proyek Pengembangan Kawasan Pesisir. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (MCRMP). Pontianak Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 168
Bird, E. C. F and O. S. R. Ongkosono. 1980. Environmental Changes on The Coast of Indonesia. UNU. Tokyo Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Pond. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. USA. Bujang, J. S., E. Kamal, S. Othman, dan M. Rahman. 1998. Mangrove: Fungsi, Manfaat dan Pengelolaannya. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove 15-18 September 1998:288-292 Darmawijaya, I. M. 1997. Klasifikasi Tanah. Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fahrizal. 1995. Pengaruh Sistem Silvikultur Seed Tree Method terhadap Asosiasi dan Sebaran Diameter Mangrove di Areal HPH PT. Pelita Rimba Alam Kalimantan Barat”. Program Studi Ilmu Kehutanan. Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta FAO. 2007. The World's Mangrove 1980-2005 : a thematic study prepared in the framework of the Global Forest Resources Assessment 2005. Food and Agricultural Organization of The United Nations. Rome Hartono dan P. Danudoro. 2004. Analysis of Land-cover/Land-use Changes Based on Remotely Sensed Image Interpretation: Examples from Selected Sites in Indonesia. Sains Informasi Geografis. Jurusan Kartografi dan Pengideraan Jauh. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Hartono. 2002. Materi Kuliah Sistem Informasi Lingkungan. Magister Pengelolaan Lingkungan. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Henki Mainarto. 2002. Zonasi Hutan Mangrove Berdasarkan Citra Landsat TM Paduan Warna 542. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Idrus, A. A. 1998. Struktur Komunitas Mangrove dan Pengaruh Lingkungan terhadap Pola Agihan dan Mintakat di Gili Sulat Lombok. Tesis Fakultas Biologi. Pascasarjana Univesitas Gadjah Mada. Yogyakarta Keremata, F. A. P. B. 2003. Kajian Ekosistem Mangrove di Desa Letekonda Kabupaten Sumba Barat NTT. Tesis Program Studi Magister Pengelolaan Lingkungan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Mackinnon, K. G. Hatta, H. Halim, A. Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia Buku III. Prenhallindo. Jakarta. 169
Mahmad, A. 2001. Ekologi Mangrove. Makalah Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Denpasar 30 Oktober - 2 Nopember 2002 Mall, L.P; Billoro; dan D. Amritphalee. 1982. "Cortain Ecological Observation on Mangrove of the Andarman Island." dalam: Tropical Ecology 23(27) : 225233. Mintarjo, dkk. 1984. Persyaratan Tanah dan Air. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan Dr H. M. Eidman, dkk., PT. Gramedia. Jakarta. Paryono, P. 2003. Pemodelan Citra Digital Perubahan Lingkungan Biogeofisik Wilayah Pesisir Menggunakan Citra Landsat Thematic Mapper. Suatu telaah analitik dan fisik lingkungan atas kegiatan pertambangan di Kabupaten Mimika Papua. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pratiwi, C. Anwar, dan Y. Sumarna. 1996. Perkembangan regenerasi alam dan buatan hutan mangrove Cilacap. Buletin Penelitian Hutan 482: 1-9. Ratanasermpong, S. D. Disbunchong, T. Charuppat, dan S. Ongsomwang. 2000. Coastal Zone Environment Management With Emphasis On Mangrove Ecosystem, A Case Study Of Ao-Sawi Thung Khla, Chumphon, Thailand. Sabins, F.F. Jr. 1987. Remote Sensing : Principles and Interpretation. Third Edition. W.H. Freeman and Co. San Francisco. Saenger, P. E. J. Hegerland and J. D. S. Davie (eds). 19 83. Global Status of Mangrove Ecosystem IUCN-UNEP & WWF Santoso, N. dan Siregar, A.F. 2006. Demosite Batu Ampar : Sejarah terpilihnya Ekosistem Mangrove Batu Ampar sebagai Demosite dalam Proyek UNEP/GEF South China Project. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Bogor Sato. Kazuhiro, T Hoshi and S. Baba 1987 : Spectral Reflectance of a Leaf of Some Mangrove Species in Okinawa., Proceedings of the 8th Asian Conference on Remote Sensing, Oct. 22-27, 1987, Jakarta Snedakeer, S.C dan J.G. Snedakeer. 1984. The Mangrove Ecosystem. Research Method. New York: UNESCO. Sunar, F. 1996. An analysis of changes in a multi-date data set: a case study in the Ikitelli area, Istanbul, Turkey. International Journal of Remote Sensing. Vol 19, No. 2, pp. 225-235. Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh. Jilid 2. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. 170
Tejoyuwono, N. 1978. Tanah Estuarin: Watak, Sifat, Kelakuan dan Kesuburannya. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Tejoyuwono, N. 1983. Selidik Cepat Ciri Tanah di Lapangan. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta Tim Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Laporan Akhir. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Mangrove di 5 (lima) Propinsi. Kerjasama Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Wang, Y. G. Bonynge, J. Nugranad, M. Traber, A. Ngusaru, J. Tobey, L. Hale, R. Bowen, V. Makota. 2003. Remote Sensing of Mangrove Change along the Tanzania Coast. Marine Geodesy. 26:1-14 Watson, J. G. 1928. Mangrove Forest of the Malay Peninsula. Published by Permission of the Federated Malay States Goverment, and Printed by Fraser & Neave, Ltd. Singapore Widagdo, Y. B. 1995. Penggunaan Data Satelit Landsat Multi Waktu Guna Pemantauan Perubahan Hutan di KPH Randublatung Tahun 1983-2000. Tesis Program Studi Penginderaan Jauh. Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Unversitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
171
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Penetapan Kelas Tekstur Tanah
Sumber: Tejoyuwono, 1983
173
Lampiran 2. Rekapitulasi Jumlah Individu Ditemukan NO PLOT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
PANCANG TIANG BG RA XG BP BG RA ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 1 3 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 4 ‐ ‐ 1 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 5 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 2 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 2 ‐ 1 ‐ ‐ 3 ‐ ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 4 ‐ ‐ ‐ 1 2 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 2 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 1 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1 ‐ ‐ 1 ‐ ‐ 1 ‐ ‐ 2 4 ‐ 1 ‐ ‐ 1 8 ‐ ‐ ‐ 1 ‐ 2 ‐ 1 ‐ ‐ 2 5 ‐ 1 ‐ ‐ 1 10 ‐ 1 ‐ ‐ 1 10 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1 ‐ ‐ 1 3 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 24 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 6 ‐ ‐ ‐ ‐ 2 5 1 1 ‐ ‐ 2 6 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 8 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 4 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 4 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 3 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 10 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 14 ‐ ‐ ‐ ‐ 1 2 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 17 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1 ‐ ‐ 1 13
XG ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
POHON KECIL BG RA XG 1 5 ‐ ‐ 3 ‐ ‐ 6 ‐ ‐ 4 ‐ 1 4 ‐ ‐ 2 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 5 ‐ ‐ 1 ‐ 5 1 1 ‐ 5 ‐ ‐ 6 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 4 ‐ 1 6 ‐ 2 3 ‐ ‐ 4 ‐ 3 2 ‐ ‐ 7 ‐ 8 4 ‐ 1 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 1 4 ‐ 1 1 ‐ 1 1 ‐ ‐ 1 ‐ ‐ 3 ‐ ‐ 11 ‐ ‐ 2 ‐ ‐ 2 ‐ ‐ 3 ‐ ‐ ‐ 1 1 4 ‐ ‐ 13 ‐ 1 ‐ ‐ 1 ‐ 2 ‐ ‐ ‐ 1 1 3 ‐ 2 ‐
POHON BESAR TOTAL BG RA XG 3 8 ‐ 19 5 10 ‐ 22 3 12 ‐ 25 ‐ 4 ‐ 10 3 7 3 23 5 4 ‐ 13 2 2 ‐ 6 ‐ 5 ‐ 14 5 16 ‐ 24 6 3 1 17 ‐ 4 ‐ 13 1 24 ‐ 34 1 5 ‐ 6 8 18 ‐ 33 ‐ 17 ‐ 26 1 18 ‐ 25 ‐ 4 ‐ 10 2 2 ‐ 16 ‐ 1 ‐ 18 2 9 ‐ 26 ‐ ‐ ‐ 10 ‐ 7 ‐ 19 ‐ ‐ ‐ 17 5 33 ‐ 41 ‐ 1 ‐ 9 ‐ ‐ ‐ 26 ‐ ‐ ‐ 10 ‐ 1 ‐ 19 1 2 ‐ 15 ‐ ‐ ‐ 10 ‐ 15 ‐ 23 ‐ ‐ ‐ 5 4 1 ‐ 14 ‐ 2 ‐ 26 ‐ ‐ ‐ 16 ‐ ‐ ‐ 6 ‐ ‐ ‐ 18 ‐ ‐ ‐ 5 ‐ ‐ ‐ 17
174
PANCANG TIANG NO PLOT BG RA XG BP BG RA 40 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 3 41 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 5 42 ‐ 1 ‐ ‐ 2 10 43 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 44 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 45 ‐ 1 ‐ ‐ 2 13 46 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 4 47 ‐ 1 ‐ ‐ 1 ‐ 48 ‐ 1 ‐ ‐ 2 ‐ 49 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 3 50 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 51 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 12 52 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 4 53 ‐ 1 ‐ ‐ 1 3 54 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 55 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 56 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 57 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 12 58 1 1 ‐ ‐ ‐ 4 59 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 60 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 8 61 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 15 62 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 14 63 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 64 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 65 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 66 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 67 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 68 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ TOTAL 2 40 1 2 30 293
XG ‐ ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 2 5 ‐ ‐ ‐ 2 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 11
POHON KECIL BG RA XG ‐ 1 ‐ ‐ 3 ‐ 1 2 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1 2 ‐ ‐ 9 ‐ ‐ 8 3 2 2 6 ‐ 3 6 ‐ ‐ ‐ ‐ 3 ‐ ‐ 7 1 1 3 3 5 ‐ ‐ 5 ‐ ‐ 1 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 3 ‐ ‐ 5 ‐ ‐ 2 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 45 174 28
POHON BESAR TOTAL BG RA XG 1 ‐ ‐ 6 2 1 2 14 ‐ 9 ‐ 27 1 ‐ ‐ 2 1 23 ‐ 24 ‐ ‐ ‐ 19 ‐ ‐ ‐ 13 2 ‐ ‐ 15 ‐ 5 1 21 ‐ ‐ ‐ 18 ‐ ‐ ‐ 1 ‐ 1 ‐ 17 ‐ 13 ‐ 26 2 6 2 24 9 1 ‐ 15 6 2 ‐ 13 4 ‐ 5 11 ‐ ‐ ‐ 13 ‐ ‐ ‐ 6 2 ‐ 4 6 ‐ ‐ ‐ 12 ‐ ‐ ‐ 21 ‐ ‐ ‐ 17 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 87 296 18 1,027
Keterangan : A. JENIS POHON BG ......................... = Bruguiera gymnorrhiza BP .......................... = Bruguiera parviflora RA ......................... = Rhizophora apiculata XG ......................... = Xylocarpus granatum B. TINGKAT PERTUMBUHAN PANCANG ........... = Diameter < 10 dan Tinggi > 150 cm TIANG ................... = Diameter 10 – 20 cm POHON KECIL ..... = Diamater 20 – 35 cm POHON BESAR .... = Diameter > 35 cm 175
Lampiran 3. Dokumentasi Pengambilan Data Lapangan
Kendaraan yang digunakan untuk mencapai titik terdekat ke lokasi sampel plot
Pengukuran sifat fisik air
Pengukuran sifat fisik tanah
176
Lampiran 4. Pohon-pohon Rhizophora Tingkat Pohon Besar
Posisi: 320500 mT, 9940075 mU Tanggal: 25‐05‐2009
Pohon besar dengan diameter > 50 cm banyak ditemukan di lokasi penelitian, terutama pada vegetasi primer. Kedua pohon Rhizophora di atas ditemukan pada sampel plot Nomor 2. 177