TESIS
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
WIWIN EKA EMAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
WIWIN EKA EMAWATI NIM. 1192462019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
WIWIN EKA EMAWATI NIM. 1192462019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 04 JULI 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,SH.,MH)
(Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH)
NIP. 19551126 198511 1 001
NIP. 19550306 198403 1 003
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
(Prof.Dr.I Made Arya Utama,SH.,MHum.) (Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal: 03 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana, Nomor: 1867 / UN14.4 / HK / 2014 Tanggal 20 Juni 2014
Ketua Anggota
: Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,S.H.,M.H : 1. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H 2. Dr. I Ketut Westra, S.H.,M.H 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum. 4. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa: Nama
: WIWIN EKA EMAWATI
NIM
: 1192462019
Program Studi
: Magister Kenotariatan
JudulTesis
: Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 20 Juni 2014 Yang membuat pernyataan
(Wiwin Eka Emawati)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan judul “Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan”. Dalam penulisan ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun bagi penyempurnaan tesis ini. Besar harapan penulis semoga tesis ini dapat memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH, selaku Pembimbing Utama dan terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis menyelesaikan Tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika Sp.PD KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana beserta seluruh jajaran dan staf atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku vi
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada para mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu seluruh staf karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi, serta Bapak dan Ibu Komisaris, Direksi dan kepala bagian kredit Bank Perkreditan Rakyat yang telah memberikan informasi dan arahan dalam penulisan Tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Mama tercinta yaitu I Wayan Murja, SE.MM dan Ni Wayan Armini, SE, serta saudara tersayang yaitu Dwi Ema Putra, SE., Wahyu Ema Aditya dan Novi Ema Sri Wahyuni yang dengan sabar selalu mendoakan penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini, kemudian penulis mengucapkan terima kasih kepada I Made Surya Winatha, SH., yang selalu sabar dan selalu memberikan perhatian yang besar terhadap penulis, serta seluruh teman-teman Angkatan III Mandiri Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu dan memberikan dorongan serta semangat dalam penulisan tesis ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada para sahabat, yaitu Chriss dan Gek mas serta semua pihak yang namanya vii
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak mendukung dalam proses pembuatan tesis ini. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat.
Denpasar, 6 Mei 2014
Penulis.
viii
ABSTRAK PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
Latar belakang penulisan tesis ini adalah adanya pengalihan hak milik atas tanah dengan hanya melakukan perjanjian dibawah tangan dimana status tanah sedang dibebani hak tanggungan pada bank. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji penyelesaian sengketa yang timbul dari adanya itikad tidak baik debitur dengan tidak memenuhi prestasinya, sehingga merugikan pihak bank dan pihak lain yang telah membayar lunas tanah yang telah dibelinya. Untuk itu perlu diteliti bagaimanakah penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani hak tanggungan dan bagaimana perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan kasus (case approach), Pendekatan analitis (analytical approach). Didukung dengan adanya data penunjang berupa hasil wawancara kepada para pihak terkait. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yaitu teknik telaah kepustakaan yang nantinya pembahasan dilakukan secara deskriptif, eksplanasi, kemudian dikaji (evaluasi) dan diberikan penalaranpenalaran (argumentasi) dari hasil evaluasi tersebut, sehingga dapat memperoleh kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada penelitian ini. Hasil penelitian terhadap permasalahan yang dikaji adalah penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani hak tanggungan dilakukan dengan menempuh jalur non litigasi yaitu negosiasi, sedangkan perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yaitu pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah serta pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank.
Kata Kunci : Pengalihan Hak Milik Atas Tanah, Penyelesaian Sengketa, Hak Tanggungan, Perlindungan Hukum.
ix
ABSTRACT TRANSFER OF PROPRIETARY RIGHTS OVER LAND THAT IS STILL BURDENED WITH ENCUMBRANCE RIGHT
The background of this thesis is a transfer of property rights over land by using underhand agreement only which the status of the land was still burdened by encumbrance right in a bank. This study is aimed to examine the settlement of disputes arising from the existence of debtor’s bad faith which does not meet the performance, so that it detriments the bank and the others party who have paid off the land that has been bought. For this, it’s necessary to study how the settlement of disputes arising from the land purchasing that was still burdened by encumbrance right and how the legal protection for the position of the land buyers. The type of research in this thesis is a normative legal research, which means this research done by examining the primary legal materials, secondary and tertiary, using the statute approach, case approach, and analytical approach. This is supported by the supporting data in the form of interviews results from relevant parties. The technique used for collecting legal materials is Literatures Examining Technique which this discussion will done descriptively, explanatory, and then evaluated and given reasoning ( arguments ) from the results of the evaluation, so it can reach a conclusion regarding the matters discussed in this study. The research result of the problems studied here is settlement of disputes arising from the purchasing of land that was still burdened by encumbrance right done by using non-litigation such as negotiation, whereas the legal protection of the land buyers position is the land buyers have a right to obtain the ownership of land completely and they have the right to collect from the debtor / land owner ( as unsecured creditors ) toward the debtor’s credit payments claim / land owner to the bank . Keywords : Transfer of Proprietary Rights to Land, Disputes Settlement, Encumbrance Right, Legal Protection .
x
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai pengalihan hak milik atas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Bab I, menguraikan latar belakang permasalahan yaitu terjadinya pengalihan hak milik atas tanah yang hanya dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan, dengan status tanah masih dibebani hak tanggungan pada bank, hasil pembayaran yang diperoleh dari jual beli tanah tersebut tidak dibayarkan kepada bank sebagai bentuk kewajiban pembayaran hutang debitur, sehingga kredit debitur/pemilik tanah macet, mengaharuskan bank untuk mengeksekusi objek jaminan tersebut yang notabene telah dikuasai oleh pihak lain. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan) dan ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto). Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan. Bab II menguraikan mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah dan hak tanggungan. Konsep-konsep yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah yaitu pengertian hak atas tanah, hak individu atas tanah, macam-macam hak atas tanah, dan peralihan hak atas tanah. Konsepkonsep yang berkaitan dengan hak tanggungan yaitu pengertian hak tanggungan, objek dan subjek hak tanggungan, asas-asas hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan, lahir dan berakhirnya hak tanggungan. Bab III merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan pertama yang diuraikan dalam 4 (empat) sub bab, yaitu tentang negosiasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pada kredit bermasalah dengan jaminan hak tanggungan yang telah dialihkan kepada pihak lain, hak tanggungan sebagai jaminan kredit pada bank, kedudukan kreditur dalam penjaminan dengan hak tanggungan, kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan. Hasil dari penelitian pada bab ini menunjukkan bahwa dengan ditempuhnya cara efektif yaitu negosiasi yang dilakukan oleh bank kepada debitur dan pihak lain yang terlibat, sengketa kredit macet dapat diselamatkan dan hak-hak para pihak yang berkepentingan dapat terpenuhi. Dengan demikian perjanjian kredit dan perjanjian jaminan tidak kehilangan unsur validitasnya, adanya cara-cara efektif yang dilakukan oleh pihak bank selaku kreditur sehingga kredit macet tersebut dapat diselamatkan telah membuktikan bahwa norma-norma yang terkandung dalam perjanjian kredit dan UU Hak Tanggungan adalah norma yang valid diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. Bab IV merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan kedua yang diuraikan dalam 2 (dua) sub bab, yaitu pembelian tanah yang dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan dengan membayar lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan, serta perlindungan hukum pihak pembeli tanah dengan pembelian pembayaran lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan substansi perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau xi
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maunpun dalam pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum. Perlindungan terhadap kedudukan yang dapat diperoleh pihak pembeli tanah yang telah beritikad baik berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu : Setelah dibayarnya sebagian hutang debitur, pihak pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan bukti sertifikat hak milik tanah untuk dilanjutkan dengan proses balik nama yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang; serta pihak pembeli tanah berkedudukan sebagai kreditur (layaknya kreditur konkuren karena hanya termasuk perjanjian jual beli secara umum), dalam hal menuntut pengembalian uang hasil pembayaran sebagian hutang debitur/pemilik tanah kepada bank. Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan tentang simpulan dan saran. Simpulan dari hasil penelitian ini adalah penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani hak tanggungan didasarkan pada ketentuan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, jika benda yang dijadikan objek jaminan telah dijual oleh debitur kepada pihak lain, bank tetap dapat mengeksekusi objek jaminan tersebut, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 7 UU Hak Tanggungan, cara-cara alternatif yang diambil oleh bank yakni dengan menempuh jalur non litigasi dengan cara konsultasi dan negosiasi kepada para pihak yang terkait, karena cara ini dipandang dapat menyelesaikan sengketa kredit secara efektif dan efisien dengan hasil yang memuaskan. Kemudian, perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembelian dengan pembayaran lunas tanah yang telah dibebani hak tanggungan adalah pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debeitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan. Saran yang dapat diberikan adalah alangkah sangat baik untuk menghindari praktek nakal debitur, bank secara rutin melakukan pengecekan terhadap objek jaminan, jika terjadi penyimpangan dengan tujuan pertama fasilitas kredit debitur secara cepat dapat ditindaklanjuti, dan perjanjian jual beli tanah hendaknya dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang sehingga terjaminnya kepastian terhadap kedudukan para pihak dan tidak tertipu oleh developer.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i PRASYARAT GELAR .......................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................................... iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. vi ABSTRAK ............................................................................................. ix ABSTRACT ............................................................................................ x RINGKASAN ........................................................................................ xi DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 12 1.3 Ruang Lingkup Masalah .......................................................... 12 1.4 Tujuan Penelitian a.Tujuan Umum ...................................................................... 12 b.Tujuan Khusus ..................................................................... 13 1.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 13 a.Manfaat Teoritis ................................................................... 13 b.Manfaat Praktis .................................................................... 14 xiii
1.6 Landasan Teoritis .................................................................... 14 1.7 Metode Penelitian ................................................................... 47 a. Jenis Penelitian ................................................................... 48 b. Jenis Pendekatan ................................................................ 49 c. Sumber Bahan Hukum ........................................................ 50 d. Data Penunjang ................................................................... 51 e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 51 f. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum .................. 52 BAB II TEORI DAN KONSEP-KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN HAK TANGGUNGAN ......................................................................... 53 2.1 Teori dan Konsep Tentang Pengalihan Hak Atas Tanah .......... 53 a. Pengertian Hak Atas Tanah ................................................ 53 b. Hak Individu Atas Tanah ................................................... 58 c. Macam-Macam Hak Atas Tanah ........................................ 60 d. Peralihan Hak Atas Tanah .................................................. 78 2.2 Teori dan Konsep Tentang Hak Tanggungan .......................... 89 a. Pengertian Hak Tanggungan .............................................. 89 b. Objek Dan Subjek Hukum Dalam Hak Tanggungan ........... 93 c. Asas-Asas Hak Tanggungan ............................................... 95 d. Pembebanan Hak Tanggungan ........................................... 100 e. Lahir Dan Berakhirnya Hak Tanggungan ........................... 104
xiv
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA YANG TIMBUL DARI PEMBELIAN TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN ....................................................................... 110 3.1 Negosiasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pada Kredit Bermasalah Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Telah Dialihkan Kepada Pihak Lain ....................................... 121 3.2 Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank ............ 131 3.3 Kedudukan Kreditur Dalam Penjaminan Dengan Hak Tanggungan ........................................................................... 136 3.4 Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan ................ 143 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN PIHAK PEMBELI TANAH ....................................................... 148 4.1 Pembelian Tanah Yang Dilakukan Dengan Perjanjian Dibawah Tangan Dengan Membayar Lunas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan ........................................ 149 4.2 Perlindungan
Hukum
Pihak
Pembeli
Tanah
Dengan
Pembelian Pembayaran Lunas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan .................................................................... 159 BAB V PENUTUP ................................................................................. 166 5.1 Simpulan ................................................................................ 166 5.2 Saran ...................................................................................... 167 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 168
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
: Daftar Informan
Lampiran II
: Hasil Wawancara
Lampiran III
: Perjanjian Kredit
Lampiran IV
: Surat Pemberitahuan I, II, III
Lampiran V
: Surat Panggilan
Lampiran VI
: Permohonan Lelang dan Pengantar SKPT
xvi
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dengan tanah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena kehidupan manusia tidak dapat lepas dari tanah. Tanah merupakan benda yang sangat berharga bagi manusia, karena hampir semua kebutuhan manusia pasti terkait dengan tanah, mulai manusia lahir sampai meninggalpun selalu membutuhkan tanah. Manusia mempunyai hubungan emosional dan spiritual dengan tanah. Tanah tidak hanya semata-mata dipandang sebagai komoditas yang bernilai ekonomis, tetapi hubungan tanah dengan pemiliknya mengandung nilainilai budaya, adat, ekonomis, dan spiritual tertentu. Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, karena pada umumnya tanah mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur.1 Karena begitu berharganya tanah bagi kehidupan manusia maka seringkali tanah menjadi pemicu timbulnya sengketa dalam masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah 1
Effendi Perangin, 1991.Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Rajawali Pers, Jakarta. h.9 1
2 tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.2 Jaminan kepastian hukum bagi pembeli tanah biasanya menjadi harapan setiap orang, oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah harus jelas, lebih-lebih yang berkaitan dengan debitur yang sering kali karena kelalaiannya, menimbulkan wanprestasi dengan cara tidak melunasi kewajibannya kepada kreditur. Namun, pihak debitur pada sisi lain telah menerima pembayaran atau pelunasan sebidang tanah beserta bangunan, hal ini sering menimbulkan masalah. Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, selanjutnya disingkat UU Perbankan). Secara sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga keperanataan antara kelompok orang yang untuk sementara mempunyai dana lebih (surplus spending group) dan kelompok orang yang untuk sementara pula kekurangan dana (defisit spending group).3 Terlihat dua fungsi utama bank, yakni fungsi pengerahan dana dan penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan yang lazim antara bank dan 2
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, 2013. Hak Atas Tanah Dan Peralihannya. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta. h. 7 3 Adrian Sutedi, 2010. Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi I), h.12
3 nasabah, yaitu: hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana; dan hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.4 Pada hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur, memberikan pemahaman bahwa bank merupakan lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Hubungan tersebut dimaknai sebagai hubungan nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dan nasabah yang bersangkutan.5 Tanggung jawab dalam suatu perjanjian dapat timbul apabila terjadi suatu keadaan yang dinamakan wanprestasi.6 Wanprestasi ini merupakan suatu keadaan dimana salah satu pihak, yaitu biasanya debitur tidak memenuhi kewajiban yang merupakan hak dari kreditur.7 Kaitannnya dengan kegiatan yang dilakukan oleh bank, maka akan terlihat adanya dua sisi tanggung jawab, yakni kewajiban yang terletak pada bank itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban nasabah sebagai akibat hubungan bentuk prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh bank dan nasabah adalah prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian antara bank dan nasabah terhadap produk perbankan. Pada tahap penjajakan awal terdapat kasus yang terjadi pada PT. BPR Bank Kertiawan yaitu bank memberikan kredit kepada nasabah selaku developer guna menunjang usahanya dalam pembangunan rumah-rumah, yang nantinya perumahan tersebut akan dijual kembali kepada pihak lain (sebagai pembeli 4
Ronny Sautama Hotma Bako, 1995. Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung. h.32 5 Lukman Santoso Az, 2011. Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank. Pustaka Yustisia, Yogyakarta. h. 58 6 Ibid. h.77 7 Ibid.
4 rumah), dan hasil pelunasan tanah beserta bangunan tersebut yang akan diberikan kepada bank sebagai pelunasan kredit debitur. Seiring berjalan waktu debitur wanprestasi, kemudian tanah dan rumah yang dijadikan jaminan telah dijual dan penjualannya itu dilaksanakan hanya dengan mengadakan perjanjian di bawah tangan antara developer dengan pihak lain selaku pembeli tanah dan rumah, tanpa mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank, karena sifatnya lebih mudah, cepat dan tidak terlalu banyak memakan waktu. Pada saat proses pemberian kredit, bank tidak serta merta memberikan kredit kepada nasabah, oleh sebab itu nasabah (developer) memberikan jaminan berupa sertifikat Hak Milik Atas Tanah kepada bank kemudian diikat dengan perjanjian jaminan yaitu Hak Tanggungan. Perjanjian kredit di PT.BPR Bank Kertiawan dilakukan secara tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir yang dinamakan formulir perjanjian kredit. Isi perjanjian kredit telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu bentuk tertentu (telah dibakukan) menunjukkan bahwa perjanjian kredit tersebut adalah suatu perjanjian standar. Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Adanya jaminan tersebut akan memberikan kepastian kepada bank dalam memperoleh kembali kredit yang diberika kepada debitur.
5 Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang diberikan kepada masyarakat dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan aman. Maka dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian jaminan tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit atau pinjamannya. Dengan demikian, jaminan dalam perjanjian kredit ini bertujuan untuk menjamin bahwa utang debitur (orang yang meminjam uang atau yang menerima kredit) akan dibayar lunas. Apabila di kemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit yang bersangkutan. Terkait dengan kaitannya dengan tanah sebagai barang jaminan dalam pemberian kredit, bank telah meletakkan persyaratan pembebanan Hak Tanggungan yang memberikan hak istimewa bagi pihak bank (kreditor) dalam perjanjian kredit dengan debitur. Pembebanan Hak Tanggungan dapat memberikan kepastian hak bagi kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya jika debitur wanprestasi. Hal ini tercantum pada Pasal 6 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42,
6 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disingkat UU Hak Tanggungan), bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Bank sebagai badan usaha yang wajib dikelola berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent banking) yang dikenal dengan formula 5C‟s, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition8, tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku agar dapat mengamankan dan melindungi kepentingannya. Prinsip kehati-hatian tersebut penting untuk diterapkan oleh pihak bank. Unsur collateral (jaminan) merupakan salah satu unsur penting yang harus dipenuhi oleh pihak debitur dalam pengajuan perjanjian kredit.Berkaitan dengan hal melayani anggota masyarakat yang memerlukan dana bank, masingmasing bank mempunyai berbagai skim kredit tersendiri sesuai dengan kebijakannya. Skim kredit yang ditawarkan bank kepada masyarakat memuat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh kredit yang diatur dalam skim kredit tersebut. Setelah penelitian bank (kreditor) dianggap cukup sesuai standar kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank, kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pemberian Hak 8
Kasmir, 2012.Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta, PT. Rajawali Pers. h.95
7 Tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan, pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak disertai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Pasal 6 dan Pasal 7 UU Hak Tanggungan memberikan kepastian hukum kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”. Substansi dari Pasal 6 UU Hak Tanggungan menunjukkan hak yang dipunyai pemegang Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji. Kemudian
Pasal 7 UU Hak
Tanggungan menunjukkan jaminan kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi.
8 Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata (Pasal 14 ayat (2) dan (3) berikut penjelasan UndangUndang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah).9 Hak Tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang kuat, dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti, akan tetapi dalam praktiknya banyak menimbulkan kendala-kendala. Seperti terjadi dalam hal nasabah bank (debitur) wanprestasi, dan tanah yang dijadikan jaminan oleh nasabah bank (debitur) tersebut telah dibangun rumah, kemudian dijual kepada pihak lain (pembeli tanah dan rumah) yang hasil penjualannya tidak diberikan kepada bank sebagai kewajiban pembayaran kredit debitur. Jadi dapatlah dikatakan bahwa debitur telah cidera janji sehingga Bank berhak untuk sekaligus menagih pelunasan atas seluruh sisa hutang debitur serta untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusi atas tanah dan rumah yang digunakan sebagai jaminan. Pihak bank (kreditor) kesulitan dalam mengeksekusi
9
Ardian Sutedi I, op.cit h.118
9 jaminan yang telah ditempati oleh pihak lain selaku pembeli tanah serta rumah yang tetap ingin mempertahankan tanah dan rumah yang telah dibelinya. Kondisi ini di sisi lain akan merugikan pembeli selaku pemilik tanah yang baru sebab pada dasarnya yang berhak melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut adalah orang yang namanya tercantum dalam sertipikat. Oleh karena itu meskipun secara nyata (de facto) sudah menguasai tanah tersebut tetapi secara hukum (de jure) pemilik tanah yang baru belum memenuhi ketentuan yang berlaku dan dia tidak dapat melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan penjajakan tahap awal pada kasus yang terjadi di PT. BPR Bank Kertiawan tersebut diatas maka terhambatnya proses pengeksekusian obyek Hak Tanggungan yang dikarenakan terdapatnya pihak lain yang menguasai obyek tersebut. Untuk mengetahui penyelesaiannya perlu diadakan suatu penelitian. Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi pengertian pokok/dasar ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan) dan ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto). Hasilnya dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul “Pengalihan Hak Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan. Dari penelusuran kepustakaan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan jaminan hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yaitu:
10 1. Tesis dari Ni Kadek Suninggita,SH, Nim. 0820112335, Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Bank Pada Perlawanan Pihak Ketiga Dalam Eksekusi Obyek Jaminan (Tanah) Terkait Dengan Penyelesaian Kredit Macet Dari Debitur Wanprestasi. (Studi Kasus Pada PT. Bank Sinar Harapan Bali dan Pengadilan Negeri Denpasar)”. Adapun
yang
menjadi
pokok
permasalahan
yang
diangkat
adalah
bagaimanakah perlindungan hukum terhadap bank pada perlawanan pihak ketiga dalam eksekusi objek jaminan (tanah) terkait dengan penyelesaian kredit macet dari debitur yang wanprestasi dan Apakah akibat hukum dari adanya perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi objek jaminan tanah) tersebut. 2. Tesis dari A.A Ngurah Surya Wirawan,SH, Nim. 0820112301, Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya, dengan judul “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Dengan Jaminan Yang Belum Dikuasai Oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Sentra Kredit Konsumen Denpasar.” Adapun
yang
menjadi
pokok
permasalahan
yang
diangkat
adalah
bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kredit pemilikan rumah (KPR) dengan jaminan yang belum dikuasai secara penuh atau mutlak pada BNI Sentra Kredit Konsumen (SKK) Denpasar, bagaimanakah upaya BNI untuk dapat menjamin kelangsungan pembayaran kredit debitor sebelum jaminan dikuasai Dan bagaimanakah upaya BNI apabila debitor wanprestasi sedangkan jaminan belum dikuasai.
11 3. Tesis dari I Wayan Sueden, SH, Nim. 1092461041, Magister Kenotariatan Udayana, dengan Judul “Tinjauan Pendaftaran Tanah untuk Menjamin Kepastian Hukum Hak Atas Tanah”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat adalah bagaimana prosedur pendaftaran tanah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum bagi kepemilikan hak atas tanah, dan bagaimana manfaat pendaftaran tanah dalam jaminan kepastian hukum kepemilikin hak atas tanah. 4. Tesis dari I Putu Herry Wirasuta, SH, Nim.0620112016, Magister Kenotariatan Brawijaya, dengan Judul “Peralihan Hak Milik Atas Rumah Dengan Kredit Pemilikan Rumah-Bank Tabungan Negara Yang Belum Lunas”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat adalah apa akibat hukumnya, peralihan hak milik atas rumah dengan kredit pemilikan rumah-Bank Tabkungan Negara yang belum lunas, dan bagaimanakah penyelesaian apabila angsuran kredit pemilikan rumah-Bank Tabungan Negara macet. Berdasarkan penelusuran dari beberapa tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut diatas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan” dan permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah keorisinalanannya dan keasliannya.
12 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan, terdapat suatu masalah yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembelian dengan pembayaran lunas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Masalah yang di bahas nantinya dalam tesis ini hanya terbatas pada penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan serta perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembelian dengan pembayaran lunas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian penulisan tesis ini adalah mencakup tujuan umum dan khusus, yaitu sebagai berikut : a. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam
13 penggaliannya atas kebenaran dalam bidang lembaga jaminan hak tanggungan dan untuk memahami gambaran Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Hal ini berkaiatan untuk mengetahui secara mendalam tentang Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan. b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah terurai sebagai berikut: 1. Untuk mendreskripsikan dan menganalisa penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan. 2. Untuk mendreskripsikan dan menganalisa perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik
atas pembelian
pembayaran lunas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diperoleh dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, dalam rangka pengembangan wawasan dan pengkajian tentang Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan.
14 b. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan sebagai bahan masukan bagi kreditur dan debitur yang bertujuan untuk mengurangi kendala yang selama ini dihadapi dalam proses eksekusi atas objek hak tanggungan serta memberikan gambaran mengenai penyelesaian sengketa hukum atas pembelian tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
1.6 Landasan Teoritis Berkaitan dengan landasan teori ini dikemukakan teori, konsep, dan asasasas hukum serta pandangan sarjana yang berpengaruh mengenai penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan kedudukan hukum pihak pembeli tanah atas pembelian tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Suatu teori pada hakekatnya merupakan
hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.10 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.11
10
Burhan Ashshofa, 2004. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta. h.19 11 Soerjono Soekanto, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada, Jakarta. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I). h.30
15 Menurut Snellbecker, teori adalah sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.12 Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah A Theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, andpropositions that present asystematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena. Teori adalah suatu rangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang dipresentasikan secara sistimatis dengan menspesifikasikan hubungan antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena.13 Sehingga dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controluer baar). Oleh karena itu, dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep dan asas yang berhasil diidentifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai. Analisis penulisan tesis ini mempergunakan teori-teori dan konsepkonsep, yaitu sebagai berikut: Teori Validitas dan Efektifitas Hukum, Teori Perjanjian, Teori Perlindungan Hukum, Teori Pertanggungjawaban, dan Teori Kepastian Hukum, Konsep Perbankan, Konsep Pinjam Meminjam/Kredit, Konsep Prestasi dan Wanprestasi, Konsep Jaminan Kredit.
12
Nasution Bahder Johan, 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Mandar Maju, Bandung. h.140. 13 Ibid.
16 a. Teori Validitas dan Efektivitas Hukum Permasalahan pertama mengenai penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan, teori validitas dan efektivitas hukum dapat dijadikan landasan berpijak untuk menjawabnya. Ketika ingin mengetahui efektivitas dari hukum, maka terlebih dahulu harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum ditaati atau tidak ditaati, jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, maka aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.14 Seseorang menaati atau tidak menaati suatu aturan hukum, tergantung pada kepentingannya, agar dapat diberlakukan terhadap masyarakat maka suatu kaidah hukum haruslah merupakan hukum valid atau legitimate. Dari kaidah hukum yang valid tersebutlah baru kemudian timbul konsep-konsep tentang “perintah (command), larangan (forbidden), kewenangan (authorized), paksaan (force), hak (right), dan kewajiban (obligation).15 Untuk memastikan bahwa suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, maka hal yang harus ditempuh adalah memeriksa validitas dari perjanjian tersebut. “A valid contract is one that meets all of the legal requirements for a binding contract”.16 Artinya, suatu perjanjian dapat mengikat para pihak, tergantung kepada sah atau tidak sahnya kontrak yang dibuat oleh para pihak
14
Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (JudicialPrudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) ; Volume 1 Pemahaman awal. Kencana, Jakarta. h.375 15 Munir Fuady, 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Kencana, Jakarta. h. 116 16 Jane P.Mallor, et.al, 2007. Business Law; The Ethical, Global, And ECommerce Environment. McGraw Hill Companies,Inc., New York. h.279
17 tersebut. Sah atau tidak sahnya suatu kontrak dapat dipastikan dengan menggunakan instrumen hukum yang menguji standar keabsahan perjanjian yang mereka buat. Suatu kaidah hukum yang valid belum tentu merupakan suatu kaidah hukum yang efektif. Dalam hal ini, validitas suatu norma merupakan hal yang tergolong ke dalam “yang seharusnya” (das sollen), sedangkan “efektivitas” suatu norma merupakan sesuatu dalam kenyataannya (das sein). Dalam bukunya Reine Rechtslehre (edisi pertama terbit dalam tahun 1934), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Pure Theory of Law (Teori Hukum Murni), Hans Kelsen menjelaskan sebagai berikut: A legal norm becomes valid before becomes effective, that is, before it is applied and obeyed; a law court that applies a statute immediately after promulgation-therefore before the statute had a chance to become “efective”-applies a valid legal norm. But a legal norm is no longer concidered to be vallid, if it remains permanently ineffective. Effectiveness is a condition of validity in the sense that effectiveness has to join the positing of a legal norm if the norm is not to lose is validity.17 Jadi, menurut Hans Kelsen,18 suatu aturan hukum harus dalam keadaan valid terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi efektif. Jika setelah diterapkan ternyata peraturan yang sebenarnya sudah valid tersebut ternyata tidak dapat diterapkan atau tidak dapat diterima oleh masyarakat secara meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid. Validitas dalam konteks penulisan tesis ini adalah peraturan yang terdapat pada perjanjian kredit dan UU hak tanggungan, dan efektifitasnya adalah bagaimana suatu norma itu apakah telah dilaksanakan dengan baik dan benar atau tidak. Dalam permasalahannya pada pelaksanaan perjanjian kredit dengan adanya
17 18
Munir Fuady, op.cit. h.117 Munir Fuady, op.cit. h.117
18 perjanjian jaminan yaitu hak tanggungan yang telah dilaksanakan dengan baik dan benar, apabila debitur wanprestasi yang pada akhirnya menimbulkan sengketa antara para pihak yang terkait, maka terdapat cara-cara yang efektif dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa sesuai apa yang telah diperjanjikan para pihak dalam perjanjian kredit tersebut. Terdapat dua cara di dalam penyelesaian sengketa, yaitu cara penyelesaian sengketa secara litigasi (Pengadilan) dan cara penyelesaian sengketa secara non litigasi (di luar Pengadilan).19 Penyelesaian secara litigasi pada umumnya hanya digunakan untuk memuaskan hasrat emosional dalam mencari kepuasan pribadi dengan harapan pihak lawan dinyatakan kalah oleh putusan pengadilan. Pada umumnya orang mengajukan gugatan tidak memperhitungkan apakah nilai yang disengketakan itu sebanding atau tidak dengan pengorbanan yang dikeluarkan selama menjalani proses persidangan yang begitu panjang. Secara teori, proses litigasi memang lebih memberikan kepastian hukum, karena diputuskan berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki dan putusannya dapat dilaksanakan dengan kekuatan eksekusi (executie power), namun kenyataan dilapangan justru eksekusi yang dianggap sebagai ujung tombak dalam meraih hak atas suatu kemenangan tidak bisa memberikan kenyamanan dalam menikmati hasil kemenangan itu, bahkan pada beberapa kasus eksekusi tidak mampu dijalankan (non eksekutable), karena
19
Jimmy Joses Sembiring, 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan. Visimedia, Jakarta. h. 5
19 adanya halangan dan ganggungan yang serius dari pihak termohon eksekusi dan masyarakat luas.20 Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan.21 Eksekusi sebagai “pelaksanaan putusan”, yaitu pihak yang dimenangkan putusan dapat memohon “pelaksanaan putusan” kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa (execution force).22 Menurut Herowati Poesoko menyatakan bahwa eksekusi tidak hanya berkaitan dengan putusan pengadilan dan groose acte melainkan istilah eksekusi terdapat di bidang hukum jaminan, eksekusi objek jaminan yang adalah pelaksanaan hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan untuk pelunasan piutangnya.23 Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan, dimulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai tingkat Mahkamah Agung, hal ini sudah tentu membutuhkan biaya yang cukup besar serta dapat mengganggu hubungan pihak-
20
D.Y. Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Alfabeta, Bandung. h.8 21 Retnowulan Sutantio, 1979, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Iskandar Oeripkantawinato, Bandung. h.111 22 Ibid. 23 Herowati Poesoko, op.cit. h.128
20 pihak yang bersengketa.24 Sebaliknya melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative, menyelesaikan masalah
secara komprehensif
dalam
kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.25 Penyelesaian sengketa secara non litigasi terdiri atas berbagai macam cara yakni : konsultasi (consultation), negosiasi (negotiation), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), dan penilai ahli.26 Masing-masing cara penyelesaian sengketa tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Para pihaklah yang harus menentukan penyelesaian sengketa yang akan ditempuh dan siap menerima konsekuensi atas pemilihan cara penyelesaian sengketa yang telah disepakati bersama, sehingga tidak menguranginya unsur validitas perjanjian kredit dan UU Hak Tanggungan tersebut. b. Teori Perjanjian Tahap awal terjadinya hubungan hukum antara para pihak yaitu pada saat terjadinya perjanjian dengan jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh kreditur dan debitur (selaku developer), dan juga perjanjian pembelian tanah dan rumah yang dilakukan oleh developer dengan pihak ketiga. Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan.
24
Rachmadi Usman, 2012. Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik. Sinar Grafika, Jakarta. (selanjtnya disingkat Rachmadi Usman I). h.9 25 Ibid. h.10 26 Ibid.
21 Salah satu teori dari hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu: a. Ajaran Kehendak (Wilsleer), dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subyektif para calon kontrakan; b. Pandangan Normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikit pun tidak memainkan peranan; apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantung pada suatu penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama; c. Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan.27 Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Gr. Van der Burght bahwa dengan
adanya kehendak para pihak untuk mengikatkan diri dalalm suatu
perjanjian, maka timbullah perjanjian utang piutang (perjanjian kredit). Kemudian, dengan adanya pemikiran bahwa apabila para pihak menyatakan sepakat dan berjanji mengikatkan diri yang dituangkan suatu perjanjian kredit tersebut akan memenuhi kebutuhan para pihak itu, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Selanjutnya bahwa adanya kesepakatan kedua belah pihak mengikat diri dalam suatu perjanjian kredit, disertai pemberian jaminan timbullah suatu kepercayaan kreditur, sehingga kredit dapat diberikan kepada debitur. Perjanjian diatur dalam buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) tentang perikatan yaitu Pasal 1313 27
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern. PT. Refika Aditama, Bandung. h.40
22 yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara mereka suatu persetujuan. Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties, price, subject matter, and time for performance”28. (Terjemahan bebasnya: Persyaratan-persyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah, terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu pelaksanaannya). Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan anatara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksaaan janji itu.29 Dalam hal pemberian kredit pada PT.BPR Bank Kertiawan, terlebih dahulu membuat suatu perjanjian kredit yang telah disepakati dan ditandatangani oleh pihak debitur dengan kreditur (Bank) dengan berakibat timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi para pihak.
28
Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, h. 4 29 Wirjono Prodjodikoro, 1985. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu. Cet.VIII, Sumur, Bandung. h.11
23 Perjanjian juga dapat dipersamakan dengan kontrak. Menurut Catherine Elliott dan Frances Quinn, bahwa:30 Normally a contract is formed when a effective acceptance has been communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it indicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (such as the price of the goods for sale), and gives a clear indication that the offeror intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree. Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that offer. (Terjemahan bebasnya: Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran. Komunikasi akan dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebut membuat persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan untuk membuat sebuah kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual), dan memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkan bermaksud untuk terikat dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabila persyaratan-persyaratan tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran. Penerimaan suatu penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semua persyaratan yang ditawarkan tersebut). Menurut Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi bahwa perjanjian adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi) sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan bertanggungjawab atas prestasi itu.31 Hak dan kewajiban yang timbul dari diadakannya suatu perjanjian kredit yaitu debitur berkewajiban untuk membayar kredit yang telah diberikan, apabila debitur lalai, kreditur berhak untuk menuntut pelunasan kredit yang telah diberikan. Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak 30
Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England, h. 10 31 Bacshan Mustafa, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, 1982. Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Edisi Pertama, Armico, Bandung. h.53
24 maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan Haftung).32 Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum perikatan, dimana setiap orang yang memberikan hutang kepada seseorang percaya bahwa debitur akan memenuhi prestasinya dikemudian hari, setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh pembentuk Undang-Undang dikuatkan sebagai norma hukum.33 Berdasarkan peristiwa ini, muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam perjanjian yang dibuat oleh nasabah dengan bank yang dinamakan perjanjian kredit dan telah sepakat mengikatkan hak milik atas tanah yang dimiliki oleh nasabah selaku debitur menjadi jaminan, meskipun tanah tersebut telah dibangun rumah-rumah yang telah ditempati pihak ketiga, terdapat hubungan hukum diantara kesemuanya tersebut. Akibat hukumnya bagi masing-masing para pihak selain terikat kepada janjinya, juga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak secara timbal balik, maka perjanjian demikian itu termasuk kategori perjanjian obligatoir dan karenanya melahirkan hak perorangan yang diatur dalam Buku III Burgelijk Wetboek (selanjutnya disingkat B.W.).34
32
Mariam Darus Badrulzaman, 1997. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional.Alumni, Bandung. (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman I), h.85 33 Ibid. 34 Herowati Poesoko, 2007. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT). LaksBang PRESSindo. Yogyakarta. h.84
25 Tujuan ditetapkan terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak akan dapat menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang menyalahi kontrak, sehingga perselisihan itu dapat dipecahkan. Menurut R.Subekti, dalam bukunya: “The debtor has done something what is in contravention of the contract, it is obvios that he is default. Also when in the contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is clear that the debtor is in default”.35 (Terjemahan bebasnya: Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit waktu tersebut, maka debitur dinyatakan bersalah). Bahwa debitur wanprestasi dengan tidak melaksanakan kewajiban sampai pada batas waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit, maka dari itu pihak kreditur (Bank) berhak mengeksekusi benda yang telah dijadikan jaminan untuk pelunasan hutang debitur.Begitu pula perjanjian antara developer dengan pembeli tanah dan rumah, apabila setelah pembayaran lunas tanah dan rumah maka developer diharuskan menyerahkan sertipikat hak milik atas tanah tersebut ke pembeli tanah. Umumnya, suatu perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata debuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian undangundang menentukan bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti 35
R. Subekti, 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies. Third Edition, Jakarta. h.55
26 maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi merupakan syarat untuk adanya bestnwaarde perjanjian itu. c. Teori Perlindungan Hukum Permasalahan kedua mengenai perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembayaran lunas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan, teori perlindungan hukum dapat dijadikan landasan berpijak untuk menjawabnya. Fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antara sesama warga masyarakat tersebut agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah hukum yang berlaku umum agar terciptanya suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka kaidah dimaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.36 Dengan adanya kepastian hukum tersebut dengan sendirinya warga masyarakat senantiasa akan mendapatkan perlindungan hukum karena mereka sudah mendapatkan kepastian tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan persoalan hukum, bagaimana mereka menyelesaikan perselisihan yang terjadi dan sebagainya.
36
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 15
27 Menurut Fitzgerald, menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.37 Hukum dalam artiannya adalah perjanjian kredit yang dibuat para pihak menimbulkan adanya hak dan kewajiban, tujuan dari adanya perjanjian untuk menfasilitasi kepentingan debitur, dengan syarat adanya pengikatan jaminan demi mendapatkan perlindungan akan pemenuhan prestasi dari pihak debitur. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.38 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan msyarakat. Menurut Philipus M. Hadjon dalam bukunya “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Indonesia”
kepustakaan
37
hukum
berbahasa
bahwa Belanda
perlindungan dikenal
hukum
dengan
dalam sebutan
Satjipto Raharjo, 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
h.53 38
mengemukakan
Ibid. h.69
28 “rechtbescherming van de burgers”.39 Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Kata perlindungan mengandung pengertian terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Dengan pembebanan hak tanggungan maka perlindungan pihak kreditur akan terjamin, terbukti apabila debitur cidera janji, maka kreditur dapat langsung mengeksekusi jaminan tersebut untuk pelunasan utang debitur. Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan penguasa yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal yang berlaku telah melanggar kepentingan dalam masyarakat yang harus diperhatikannya. Philipus M. Hadjon membagi dua macam bentuk perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan.40
39
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h. 25 40 Ibid. h.15
29 Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa : “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”. Hal tersebut menunjukkan bahwa siapapun yang karena perbuatan menimbulkan kerugian bagi orang lain, menurut hukum untuk mengganti kerugian itu, bahkan oleh penguasa (badan atau pejabat tata usaha negara) sekalipun. Unsur-unsur
perbuatan
melanggar
hukum
menurut
R.
Soetojo
Prawirohamidjojo dan J.H Nieuwenhuis dalam buku “Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat” karangan Johanes Usfunan, menyatakan : pengertian dan unsurunsur overheidsdaad adalah : Suatu kelakuan atau sebagai suatu kelalaian yang menimbulkan kerugian. Unsur-unsurnya meliputi: 1. 2. 3. 4.
Harus ada perbuatan; Perbuatan itu harus “onrechtmatige”; Pelaku harus mempunyai kesalahan; Unsur yang ditambah dari yurisprudensi yakni norma yang dilanggar bermaksud untuk melindungi kepentingan pihak yang terkena.41 Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang
diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.
41
Johanes Usfunan, 2002. Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat. Djambatan, Jakarta. h. 122-123
30 Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Kemudian berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Kaitannya pada aktifitas perbankan dalam memberikan kredit dengan debiturnya yang bertujuan untuk membangun rumah untuk dijual kembali, perlindungan hukum dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit dan perjanjian pengikatan jaminan. Dalam perjanjian kredit tersebut telah tercantum hak dan kewajiban para pihak harus menjalankan dan menaati isi perjanjian yang telah disepakati. Akan jelas bahwa bentuk perlindungan hukum yang akan diterima oleh debitur adalah terjamin hak-haknya untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank demikian pula sebaliknya bagi bank selaku kreditur akan terjamin pula untuk mendapatkan hak-haknya kembali atas kredit yang telah diberikan kepada debitur sesuai dengan jangka waktu diperjanjikan. Kaitannya dengan aktivitas Jual-Beli rumah perlindungan hukum dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian jual-beli, perjanjian ini dapat dibuat dibawah tangan atau secara otentik.Telah tercantum pula hak dan kewajiban para pihak yang harus dijalankan dan ditaati bersama. Pembeli akan terjamin hak-haknya mendapatkan bukti kepemilikan tanah dan rumah yang telah dibelinya, dan penjual akan terjamin pula untuk mendapatkan pembayaran pembelian tanah beserta rumah yang telah dijualnya.
31 Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang takbergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Disini Undang-Undang memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam keududukan yang sama. Dari Pasal 1131 KUHPerdata dapat disimpulkan asas-asas hubungan ekstern kreditur sebagai berikut: 1. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harta kekayaan debitur; 2. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditur; dan 3. Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, tidak dengan “person debitur”.42 Sesuai ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) menentukan “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Dalam hal seorang debitur mempunyai beberapa kreditur, maka kedudukan para kreditur ini adalah sama, namun jika kekayaan debitur tidak mampu untuk dipergunakan melunasi hutang debitur dengan sempurna, maka para kreditur ini dibayar berdasarkan asas keseimbangan, yang masing-masing memperoleh piutangnya seimbang dengan piutang kreditur lain (asas nonpondspondsgewijs).43 Para kreditur mempunyai hak dan kedudukan yang sama terhadap seluruh harta kekayaan debitur, tidak ada yang didahulukan dalam pemenuhan
42
J. Satrio, 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. h.4-5 43 Herowati Poesoko. op.cit. h.81
32 piutanganya atau disebut dengan kreditur konkuren, kecuali kreditur mempunyai hak istimewa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1133 KUHPerdata. Hak Istimewa ini diatur dalam UU No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. d. Teori Pertanggungjawaban Teori untuk menjawab permasalahan kedua mengenai perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik dapat juga digunakan teori pertanggungjawaban sebagai landasannya. Prinsip tentang tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perbankan. Di dalam kaitannya dengan pemberian kredit dalam bidang perbankan diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Istilah tanggungjawab negara dalam Liability Convention 1972 dan Deklarasi Stockholm 1972dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu ; Responsibility: lebih menunjuk kepada idikator penentu lahirnya tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus diataati serta lahirnya suatu tanggungjawab, serta Liability: lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggungjawab yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu pemulihan (legal redress).44 Berdasarkan sifat itu, menurut Soldie, istilah responsibility dan istilah liability harus dibedakan, karena yang satu menunjuk standar perilaku, dan kegagalan pemenuhan standar itu, sedangkan yang lainnya menunjuk pada
44
Ida Bagus Wyasa Putra, 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung. h.54
33 kerusakan atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu, termasuk cara untuk memulihkan kerusakan atau kerugian itu.45 Menurut teori pertanggungjawaban dalam membahas rumusan masalah kedua adalah lebih cenderung kepada tanggungjawab dalam istilahnya Liability, karena teori ini akan membantu dalam menjawab mengenai tanggung jawab dari pihak debitur (nasabah bank) apabila tanah dan rumah dijual kepada pihak pembeli tanah dan rumah dan penjualannya tersebut tidak diberikan kepada bank sehingga debitur wanprestasi dan tanah dan rumah yang menjadi objek jaminan akan dieksekusi bank. Mengenai persoalan pertanggung jawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasi, yaitu :46 a. Teori Fautes Personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang
karena tindakannya itu telah
menimbulkan kerugian. Menurut teori ini, beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. Dalam hal seperti ini pada perjanjian kredit, bahwa debitur lalai yang mengakibatkan munculnya kerugian bagi pihak ketiga dipikul oleh Debitur. Debitur dituntut bertanggungjawab atas pemenuhan prestasi oleh pihak kreditur (Bank) dan juga dituntut bertanggungjawab atas penjualan tanah dan rumah yang telah dibayar lunas oleh pihak pembeli tanah dan rumah.
45
Ibid. Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 365 46
34 b. Teori Fautes de Servuces yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung. jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. Dalam hal perjanjian kredit, apabila debitor dalam jabatannya selaku developer lalai, jabatan debitor tersebut tidak dapat dibebankan atas kerugian yang dipikul oleh kreditor (Bank), pribadi debitorlah yang dibebani tanggungjawab untuk pemenuhan prestasinya tersebut. Dalam penulisan tesis ini menekankan pada keadaan dimana dikuasainya objek jaminan yang telah diikat Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit bank oleh pihak lain (sebagai pembeli tanah), pada saat tenggang waktu perjanjian Hak Tanggungan ini masih berlangsung, namun objek jaminan yang telah diikat Hak Tanggungan tersebut kemudian dialihkan ke penguasaan pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur dan debitur wanprestasi kepada bank, maka berdasarkan atas teori tanggungjawab debitur memiliki tanggungjawab untuk melunasi pembayaran hutangnya kepada bank sehingga bukti kepemilikan tanah tersebut dapat diberikan kepada pihak lain yang telah melakukan pembelian dengan membayar lunas tanah dan rumah yang dijadikan objek jaminan.
35 e. Teori Kepastian Hukum Permasalahan kedua mengenai perlindungan hukum terhadap kedudukan hukum pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembayaran lunas tanah yang yang telah dibebani Hak Tanggungan, teori kepastian hukum dapat pula dijadikan landasan untuk menjawabnya. Kepastian hukum yang dimaksud dalam teori ini, agar setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak kreditur dan debitur dapat menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang terkait. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.47 Bahwa kepastian hukum pada pengertian pertama; yaitu dengan adanya pengaturan dalam KUHPerdata Pasal 1234 bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
47
Peter Mahmud Marzuki, 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), h.137
36 sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian pada pengertian kedua; untuk bank adalah dengan adanya perjanjian kredit dengan diikuti dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian acssesoir (perjanjian tambahan). Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Teori kedaulatan hukum menurut Krabbe48 : bahwa hukumlah memiliki kedaulatan tertinggi. Bahwa hukum dalam konteks kredit adalah Perjanjian Kredit yang telah dibuat oleh para pihak (Kreditur-Debitur), sehingga para pihak terikat dan tunduk dalam suatu perjanjian yang telah mereka buat. Supremasi hukum tersebut secara konsepsional sama artinya dengan asas legalitas dalam konsep negara hukum (rechtstaat) yang dikembangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Asas ini mensyaratkan agar setiap tindakan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Atas dasar tersebut, pengaturan yang jelas mengenai jaminan kepastian hukum atas pembelian tanah sangatlah penting bagi masyarakat. Pelaksanaan perjanjian-perjanjian sehingga melahirkan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara para pihak tersebut haruslah memberikan kepastian hukum yang seimbang diantara mereka yang membuat perjanjian agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga yang terkait. f. Konsep Perbankan Bank sebagai lembaga keuangan diatur dalam UU Perbankan. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Perbankan dinyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
48
Soehino, 1998. Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta. h.156
37 menyalurkannya kepada masyarakat, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini berarti dalam kegiatan sehari-hari bank pada umumnya selalu berusaha menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan kemudian mengelola dana tersebut untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit.Ada tiga macam nasabah dalam praktik-praktik perbankan: Pertama, nasabah deposan yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan misalnya kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk-in costumer). Secara umum pihak-pihak yang terkait di dalam perjanjian kredit adalah debitur (nasabah)
dan kreditur (Bank). Pihak-pihak (debitur, kreditur) selalu
dibebani hak dan kewajiban. Suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut : sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh pihak lain, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.49 Dilihat dari segi fungsi dan tujuan usahanya, dikenal ada empat jenis bentuk bank, yaitu Bank Sentral, Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank Pembangunan. Dan dilihat dari jenisnya dapat dibedakan antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 1 angka 3 UU Perbankan menyebutkan “Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip 49
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subekti I), h. 29
38 syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Pada Pasal 1 angka 4 UU Perbankan menyebutkan bahwa “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan atau usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah tidak melayani lalu lintas pembayaran tetapi melayani kredit untuk usaha kecil dan rakyat biasa”. g. Konsep Pinjam Meminjam/Kredit Pasal 1 angka 11 UU Perbankan dinyatakan, bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Pasal 1754 KUHPerdata).50 Perjanjian kredit mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama, demikian pula dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.51 Jadi, untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu persetujuan atau perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan
50
Subekti, R., 1991, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. (selanjutnya disingkat Subekti II), h.3 51 Kasmir, op.cit, h. 93
39 nasabah penerima kredit sebagai kreditor yang dinamakan perjanjian kredit.52 Dalam perjanjian kredit terdapatnya jaminan yang bertujuan untuk menjamin bahwa piutang kreditur akan dibayar oleh debitur. h. Konsep Prestasi dan Wanprestasi Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, menyatakan tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Ditinjau dari sifat prestasi yang harus dilakukan, secara teoritis dikenal dua macam prestasi, yaitu: 1.
2.
Prestasi yang hanya dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitor sendiri. Prestasi ini bersifat spesifik, dan pada umumnya merupakan kewajiban atau prestasi yang lahir dari perikatan untuk melakukan sesuatu, yang terbitnya semata-mata digantungkan pada keahlian diri pribadi debitor. Prestasi yang sepenuhnya dapat dilakukan tanpa kehadiran debitor atau prestasi yang tidak perlu dilaksanakan sendiri oleh debitor sendiri. Pada jenis prestasi kedua, meskipun keberadaannya bergantung pada keberadaan debitur tertentu, namun demikian pelaksanaannya dapat dilakukan tanpa kehadiran atau tanpa bantuan debitur sendiri. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu misalnya dalam perikatan jual beli, kewajiban pembayaran oleh pembeli tidak harus dilakukan sendiri oleh pembeli, melainkan dapat dilakukan oleh pihak lain untuk kepentingan dan atas nama pembeli. Pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak lain tersebut demi hukum menghapuskan kewajiban pembeli untuk melakukan pembayaran (kembali) kepada penjual. Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1241 KUH Perdata bahwa “Apabila perikatan itu tidak dilaksanakannya, kreditor boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanakannya atas biaya debitor”. Dalam hal ini perlu dicatat dan diperhatikan bahwa meskipun prestasi tersebut tidak dilakukan sendiri oleh pihak yang berkewajiban (debitor), dan bahwa pelaksanaanya oleh pihak ketiga menghapuskan demi hukum kewajiban atau prestasi yang wajib dilaksanakan oleh pihak yang berkewajiban tersebut, pelaksanaan oleh pihak ketiga atau kreditor tersebut adalah dilakukan untuk dan atas nama debitor, dengan tidak menutup
52
Kasmir,op.cit. h.12
40 kemungkinan lahirnya hubungan hukum baru antara pihak ketiga dengan debitor yang tidak melaksanakan sendiri kewajibannya tersebut.53 Dapat disimpulkan bahwa sesuai penjelasan tersebut diatas, prestasi dapat dikatakan tidak terpenuhi, apabila:54 1. Dalam perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu serta perikatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu: a) Dalam hal ditetapkannya suatu waktu, dengan lewatnya waktu tersebut, debitor belum juga melaksanakan kewajibannya; b) Dalam hal tidak telah ditentukan suatu waktu tertentu, setalah debitor diberitahukan mengenai saat pelaksanaan kewajiban atau prestasinya dan dalam hal debitor tidak juga melaksanakannya, telah ditegur dengan pantas oleh kreditor; 2. Dalam perikatan untuk tidak berbuat atau untuk tidak melakukan sesuatu, dengan dilaksanakannya hal yang dilarang tersebut oleh debitor, maka kewajiban atau prestasi penanggung telah lahir demi hukum, dan karenanya perikatan yang diatur dalam perjanjian penanggungan menjadi jatuh waktu dan dapat ditagih oleh kreditor. Mengenai perikatan-perikatan untuk menyerahkan sesuatu, wanprestasi biasanya berakibat penggantian kerugian hanya dalam beberapa hal diizinkan oleh pembentuk Undang-Undang dilakukan oleh nele executie (eksekusi riil). Eksekusi riilartinya bahwa atas barang itu sendiri diadakan penyitaan, jadi debitur itu dipaksakan untuk menyerahkan barang tersebut, haruslah dalam Undang-Undang 53
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003. Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. h.91 54 Ibid. h.94
41 ternyata dengan tegas, bahwa eksekusi riil itu dibolehkan dalam suatu perjanjian tertentu.55 Sifat perjanjian jaminan ini lazimnya dikontruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok. Suatu perjanjian jaminan tidak akan ada apabila tidak ada perjanjian pokok, tetapi sebaliknya perjanjian pokok tidak selalu menimbulkan perjanjian jaminan. Dengan demikian, perjanjian jaminan kredit ini dibuat atau ada, karena adanya perjanjian yang mendahului, yaitu perjanjian kredit. Konsekuensi hukumnya adalah apabila suatu perjanjian kredit telah dinyatakan tidak berlaku atau gugur, akibatnya perjanjian jaminan kredit sebagai perjanjian ikutan secara otomatis menjadi gugur. Jadi, kedudukan perjanjian jaminan kredit sebagai perjanjian accesseoir itu akan menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor.56 i. Konsep Jaminan Kredit Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat berkaitan dengan kepentingan bank yang menyalurkan dananya kepada debitur yang sering dikatakan mengandung resiko. Dengan adanya jaminan kredit yang dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat debitur ingkar janji. Hakhak jaminan kredit itu tidak berdiri sendiri, melainkan terkait kepada hak lain, yang menjadi hak utamanya. Oleh karena itu, sifat hak-hak jaminan ini adalah 55
R. Soeroso, SH, 2010. Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. h.28 56 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta. h.32
42 accessoir, yaitu mengikuti perikatan utamanya.57 Hal ini berarti apabila perikatan utamanya telah musnah hak jaminannya musnah pula. Sifat ini melekat pada semua hak jaminan kredit. Pengertian jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.58 Menurut Lord Moulton dalam konsepnya mengenai jaminan dalam kontrak menyatakan bahwa : It is evident, both on principle and on authority, that there may be a contract the consideration for which is the making of some other contract, „if you will make such and such a contract, I will give you one hundred pounds‟, is in every sense of the word a complete legal contract. It is collateral to the main contract, but each has a independent existence, and they do not differ in respect of their possessing to the full the character and status of a contract.59 (Terjemahan bebasnya: Jelas, baik pada prinsip dan otoritas, bahwa kemungkinan adanya pertimbangan uang dalam pembuatan beberapa kontrak, „jika anda akan membuat perjanjian saya akan memberikan seratus pounds‟, adalah ada dalam setiap kontrak hukum yang lengkap. Itu adalah jaminan untuk kontrak, tetapi masing-masing pihak memiliki keberadaan atau kekuatan tersendiri dan mereka tidak membedakan kehormatan/posisi mereka dalam proses untuk memiliki penuh karakter dan status dalam sebuah kontrak.) Menjaminkan suatu benda berarti melepaskan kekuasaan atas benda tersebut, kekuasaan yang dilepaskan itu adalah kekuasaan untuk menjamin hutangnya.60 Penjaminan merupakan pengalihan hak atas benda jaminan dari debitur ke kreditur hanya sementara sepanjang piutang kreditur belum lunas,
57
Ardian Sutedi I, op.cit. h. 115 Mariam Darus Badrulzaman, 2000, “Permasalahan Hukum Hak Jaminan” dalam Hukum Bisnis, volume 11, (selanjutnya disebut Mariam Darus badrulzaman II). h. 12 59 Paul Richards, 2004. Law Of Contract. Pearson Education Limited. England. h.113 60 Herowati Poesoko, op.cit, h. 147 58
43 apabila piutang tersebut lunas maka posisi hak tersebut kembali kepada debitur, namun sebaliknya apabila debitur wanprestasi kreditur diberi hak untuk menjual benda jaminan itu guna pelunasan hutang debitur.61 Jaminan kebendaan bergerak adalah meliputi gadai dan fidusia. Sedangkan jaminan kebendaan tidak bergerak adalah hipotik dengan hak tanggungan atas tanah. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan adalah untuk memberikan hak vershaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada kreditor, terhadap hasil penjualan dari benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya.62 Hak kreditur yang bentuknya prestasi sebagai kewajiban debitur dalam menyerahkan pengembalian uang beserta bunganya kepada kreditur, masih menunggu realisasinya dikemudian hari sesuai waktu yang disepakati, apabila debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya, maka posisi kreditur menjadi rawan akan kerugian yang diderita, terlebih lagi perjanjian kredit hanya sebagai suatu perikatan yang hanya melahirkan hak perseorangan, yang sifatnya relatif dan kedudukan kreditur sekedar sebagai kreditur konkuren.63 Hak tanggungan merupakan salah satu lembaga hak jaminan kebendaan yang lahirnya dari perjanjian, dalam hak tanggungan terdapat benda tertentu yaitu hak-hak atas tanah yang dijanjikan secara khusus sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, sehingga hak tanggungan merupakan hak jaminan khusus pula.64
61
Herowati Poesoko, op.cit. h.148 Adrian Sutedi I, op.cit, h. 25 63 J. Satrio I, op.cit. h.84 64 J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung. h.278 62
44 Menurut Steven Emanuel : The mortgage is generally in the form of an outright conveyance, together with a defeasance clause which provides that if the mortgagor pays the principal and meets all other obligation of the note, the conveyance to the mortgage will become void. The mortgage follows the debt, so that sale of the note results in an automatic transfer of the mortgage.65 Artinya : penjaminan adalah sebentuk pengalihan hak, dengan kondisi apabila si terjamin telah membayar si berpiutang sesuai dengan kewajiban tertulisnya, maka pengalihan haknya secara otomatis menajdi nihil. Penjaminan ini mengikuti utangnya, sehingga jika piutangnya diperjual belikan, maka otomatis hak pertanggungannya juga beralih ke pihak yang mendapatkan pengalihan hak tagih.66 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan, sepanjang
dalam
perjanjian
kredit
sudah
ditentukan
(tertentu)
jumlah
pinjamannya, maka hak tanggungan dapat menjamin utang yang belum ada, tetapi sudah diperjanjikan dalam perjanjian kredit, yang kemudian hari akan melahirkan perjanjian utang piutang secara riil.67 Jaminan dengan hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Akte Pemberian Hak Tanggungan ini wajib untuk didaftarkan. Setelah didaftarkan pada Kantor Pertanahan, terbitlah Sertifikat Hak Tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan. Hak tanggungan atas tanah dalam Pasal 1 angka 1
65
M. Khoidin, 2005. Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan. LaksBang, Yogyakarta. h.35 66 Ibid. 67 Rachmadi Usman, 2009. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta. (selanjutnya disingkat Rachmadi Usman II), h.413
45 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabernda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.68 Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.69 Dalam Pasal 4 UU Hak Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Hak milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan; 5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Oleh sebab itu hak tanggungan merupakan bagian dari hak jaminan yang khusus tertuju pada hak atas tanah, maka unsur-unsur pokok dari hak tanggungan, sebagaimana termuat di dalam defenisi dari pada hak tanggungan. Unsur-unsur pokok hak tanggungan tersebut adalah : 1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk perlunasan utang tertentu;Maksud untuk perlunasan utang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan menyelesaikan pembayaran utang-utang debitur yang ada pada kreditur. 68 69
Adrian Sutedi I, op.cit, h. 49-50 Ibid, h. 51
46 2. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). 3. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. 4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Maksudnya memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan itu ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi : Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil perlunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.70 Unsur-unsur pokok dari hak tanggungan termuat di dalam defenisi dari pada hak tanggungan tersebut diatas. Unsur-unsur pokok itu adalah : Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk perlunasan utang tertentu maksud untuk perlunasan utang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan menyelesaikan pembayaran utang-utang debitur yang ada pada kreditur, Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain lazimnya disebut droit de preference.
70
H. Salim, HS.,2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. h.96-97
47 Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.71 Artinya apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil perlunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur maka kreditur dapat mengajukan actio pauliana, yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan debitur yang dianggap merugikan.72
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan penelitian yang menyajikan bagaimana cara atau prosedur maupun langkah-langkah yang harus diambil dalam suatu penelitian secara sistematis dan logis sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.73 Metode penulisan tesis adalah uraian tentang cara bagaimana mengatur penulisan tesis dengan usaha yang sebaik-baiknya. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini meliputi:
71
Ibid. Adrian Sutedi I, op.cit. h.169 73 Sutrisno Hadi, 1987. Metodelogi Riset Nasional. Akmil, Magelang. h.8 72
48 a. Jenis Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asasasas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.74 Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.75 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena mencakup penelitian taraf sistematika hukum yaitu bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok/dasar hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum. Penelitian ini mengidentifikasi pengertian pokok/dasar peristiwa hukum yakni Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”. Pengertian pokok/dasar peristiwa hukum tersebut tercermin pada kasus pengalihan hak milik atas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan, yaitu Bank selaku pemegang hak
74
Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. h.25 75 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abulkadir Muhammad I), hal.52.
49 tanggungan (kreditur) berhak menjual obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji, walaupun objek hak tanggungan tersebut dikuasai oleh pihak lain. b. Jenis Pendekatan Terdapat beberapa jenis pendekatan dalam penelitian hukum, yakni pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach). 76 Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian tesis ini, peneliti menggunakan pendekatan: 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan melakukan telaah terhadap semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.77 Dalam penelitian ini undang-undang dan regulasi yang ditelaah antara lain: a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria b. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. c. Undang-Undang No.7 Tahun 1998 Tentang Perbankan d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Pendekatan kasus (case approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu, yaitu 76
Peter Mahmud Marzuki, 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada, Jakarta. (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), h.93 77 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki III), hal.93.
50 mengenai pengalihan hak milik atas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan yang terjadi di PT. BPR Bank Kertiawan. 3. Pendekatan analitis (analytical approach), yaitu pendekatan untuk menganalisis permasalahan mengenai upaya penyelesaian sengketa dan perlindungan terhadap pihak pembeli tanah dan rumah sebagai objek jaminan hak tanggungan. c. Sumber Bahan Hukum 1) Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif sehingga sumber data utamanya adalah berupa bahan-bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier sebagai berikut:Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim).78 Dalam penelitian ini bahan hukum yang diteliti antara lain: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2. Undang –Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria; 3. Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1998 Tentang Perbankan;
78
Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal.81.
51 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik).79 Dalam penelitian ini digunakan bahan hukum sekunder antara lain buku ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum perdata, hukum jaminan, hukum perbankan, termasuk jurnal dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. 3) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia).80 d. Data Penunjang Data Penunjang adalah data yang berupa hasil wawancara mendalam dari tokoh-tokoh kunci (key person) bidang hukum. Pengumpulan data penunjang dilakukan dengan pedoman wawancara kepada pihak-pihak (Direksi, Komisaris, serta Kepala Bidang Kredit PT. BPR KERTIAWAN Gianyar-Bali) yang ada kaitannya terhadap permasalahan yang diteliti. e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (Study document). Bahan hukum yang diperoleh melalui
79 80
Ibid. Ibid.
penelitian kepustakaan pertama-tama dilakukan
52 pemahaman dan mengkaji isinya secara mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan yang dikaji baik langsung maupun tidak langsung.81 f. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum yang digunakan digunakan dalam penelitian ini teknik deskripsi, teknik eksplanasi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini permasalahan akan dideskripsikan serinci mungkin sehingga dapat tergambarkan kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum yang terkait dengan permasalahan, menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan penalaran-penalaran (argumentasi) dari hasil evaluasi tersebut, sehingga dapat memperoleh kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada penelitian ini.
81
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.58
53 BAB II TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN HAK TANGGUNGAN
Hal-hal yang terkait mengenai teori dan konsep pengalihan hak atas tanah yaitu terdapat beberapa penjelasan mengenai pengertian hak atas tanah, hak individu atas tanah, macam-macam hak atas tanah serta peralihan hak atas tanah. Kemudian hal-hal yang terkait megenai teori dan konsep hak tanggungan tercantum pula beberapa penjelasan mengenai pengertian hak tanggungan, objek dan subjek hukum dalam hak tanggungan, asas-asas hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan, serta lahir dan berakhirnya hak tanggungan.
2.1 Teori dan Konsep Tentang Pengalihan Hak Atas Tanah a. Hakekat Hak Atas Tanah Hakekat hak atas tanah dapat dikaitkan dengan teori perjanjian. Dasar dari pada teori perjanjian adalah adanya suatu kepentingan untuk memiliki sesuatu hak sehingga melahirkan suatu perikatan. Hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum para pihak, perbuatan hukum inilah yang melahirkan suatu perjanjian yang dasarnya adalah kesepakatan. Terdapat beberapa teori untuk timbulnya kesepakatan, yaitu “ajaran kehendak (Wilsleer), Pandangan Normatif Van Dunne, dan Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer).82
82
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, loc.cit. 53
54 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, tanah diartikan sebagai lapisan bumi paling atas, negeri, daerah, pulau, benua dan daratan.83 Dalam kamus Hukum, tanah diartikan sebagai permukaan bumi/lapisan bumi yang diatas sekali; keadaan bumi di suatu tempat; permukaan bumi yang diberi batas; daratan.84 Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, tidak ada pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan tanah, hanya saja dari bunyi Pasal 4 ayat (1) UndangUndang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043, selanjutnya disingkat UUPA) menyatakan bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Jadi, yang dimaksud dengan tanah dalam perngertian yuridis adalah permukaan bumi. Oleh karena itu, hak atas tanah pada asasnya adalah hak atas permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.85 Artinya hak atas tanah yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah memiliki batas-batas yang telah ditentukan. Seseorang yang mempunyai hak atas tanah pada dasarnya hanya mempunyai hak atas permukaan bumi saja, tidak secara otomatis berhak juga atas tubuh bumi, air maupun ruang yang ada di atas permukaan bumi, 83
Badudu-Zain, 1996.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. h.1417 84 Sudarsono, 1999.Kamus Hukum. PT.Rineka Cipta, Jakarta. h.483 85 Boedi Harsono, 2007. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA Isi dan Pelaksanaannya. Jambatan, Jakarta. (selanjutnya disingkat Boedi Harsono I) h.18
55 hal ini dapat dilihat bahwa pemegang hak atas tanah tidak dengan sendirinya wenang untuk menggunakan tubuh bumi, air maupun ruang yang ada di atasnya.86 Bahwa setiap orang yang memiliki hak atas tanah tidak secara otomatis memiliki segala apapun yang terkait pada tanah tersebut, seperti halnya bangunan yang
terdapat diatas hak milik orang lain yang belum tentu kepemilikan
bangunan tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, melainkan dimiliki oleh pihak lain yang berstatus sebagai penyewa, begitu pula dengan air yang tidak dapat dimiliki secara otomatis tetapi hanya dapat dimanfaatkan sesuai dengan keperluan. Meskipun demikian karena tidak mungkin pemegang hak atas tanah hanya menggunakan permukaan bumi saja, maka kewenangan dari pemegang hak atas itu diperluas, tidak hanya wenang menggunakan permukaan bumi saja, akan tetapi wenang juga menggunakan tubuh bumi, termasuk wenang menggunakan air dan juga ruang yang ada di atas permukaan bumi akan tetapi penggunaannya ada syaratnya, yaitu sepanjang penggunaan tubuh bumi, air serta ruang udara yang ada diatas permukaan bumi digunakan untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan penggunaan tanahnya (dalam arti permukaan bumi) dan juga menurut batas-batas yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.87 Demikianhalnya dalam hal melangsungkan kehidupan pemegang hak atas tanah tidak mungkin hanya menggunakan permukaan bumi atau tanah saja, pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tubuh bumi atau mempergunakan apapun yang terkait dengan permukaan bumi itu, seperti air dan ruang
yang
terdapat
diatasnya
dengan
mematuhi
persayaratan
yaitu
mempergunakan untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan tanah dan juga tidak dapat melampaui batas-batas yang telah ditentukan.
86 87
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit h.38 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, loc.cit.
56 Terkait dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menentukan “hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi, air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang berhubungan langsung dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hokum yang lebih tinggi”. Sedalam berapa tubuh bumi dapat digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan, hal ini ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran perhitungan teknis kemampuan tubuh bumi serta kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundangan yang bersangkutan.88 Bahwa pemanfaatan segala yang terdapat di dalam tubuh bumi kesemuanya terdapat batasan dan perhitungan teknis mengenai penggunaanya yang harus sesuai dengan tujuan, kemampuan tubuh bumi, kemampuan pemegang hak, serta tidak melanggar peraturan yang terkait mengenai pemanfaatan tubuh bumi tersebut. Oleh karena itu, pemegang hak atas tanah tidak dapat sembarangan menggali tubuh bumi untuk mencari bahan galian, karena hal ini tidak termasuk kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah, apabila ingin menggali tanah untuk mencari bahan galian, hal ini dibutuhkan ijin tersendiri.89 Jadi terdapat batasan-batasan penggunaan tubuh bumi, pemegang hak atas tanah tidak dapat sewenang-wenang menggali apapun yang terkandung di bawah hak
88 89
Boedi Harsono I. op.cit. h.19 Boedi Harsono I. op.cit. h.38
57 milik atas tanahnya, penggalian atas apa yang terdapat pada tubuh bumi harus memiliki ijin dari pihak yang berwenang akan hal tersebut. Hak atas tanah juga tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang ada dalam tubuh bumi dibawahnya. Hal tersebut terdapat pada Pasal 8 UUPA yang menyatakan bahwa “karena menurut ketentuan Pasal 4 ayat (2) hak-hak atas tanah itu hanya memberi hakatas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya.” Hukum agraria kita menganut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding), sesuai hukum adat kita tidak menganut asas perlekatan (asas accessie) yang berarti bahwa apa yang ada atau melekat pada tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan tanah, yang berarti menjadi milik si pemilik tanah, pemilik tanah juga memiliki bangunan maupun tanaman yang ada diatas tanah tersebut.90 Dalam hukum adat tidak menganut asas perlekatan (asas accessie) yang berarti apapun yang melekat dan terkait dengan tanah secara otomatis menjadi milik pemilik tanah, seperti tanaman maupun bangunan yang terdapat diatas tanah adalah secara otomatis menjadi milik si pemilik tanah. Sedangkan asas pemisahan horizontal yaitu apa yang melekat atau ada diatas tanah tidak dengan sendirinya merupakan bagian dari tanah, pemilik tanah
90
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.39
58 tidak dengan sendirinya menjadi pemilik dari bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.91 Melainkan bahwa asas pemisahan horizontal berarti segala yang terkait dan melekat diatas tanah tidak seta merta menjadi milik atau dimiliki oleh pemilik tanah, bangunan dan tanaman yang melekat pada tanah tersebut tidak secara otomatis dimiliki oleh pemilik tanah. Bertitik tolak dari hal tersebut diatas, maka hak atas tanah tersebut adalah hak yang diberikan oleh pemegang hak atas tanah yang kepemilikan tersebut dimaksud hanya pada tanah permukaan bumi atau tanah yang secara tidak serta merta dan otomatis memiliki juga tubuh bumi atau ruang yang terdapat diatasnya, pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tubuh bumi, untuk kepentingan yang berkaitan dengan tanah dan terdapat syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh pemegang hakatas tanah, hal ini sesuai dengan asas horizontal yang dianut oleh Hukum Agraria di Indonesia.
b. Hak Individu Atas Tanah Hak individu atas tanah dapat dikaitkan dengan teori perlindungan hukum. Karena hak individu atas tanah ini memberikan perlindungan tiap-tiap individu atas kepemilikan tanah yang telah dimiliki apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hak individu atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersama maupun badan hukum) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau
91
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
59 mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.92 Artinya, hak individu atas tanah merupakan hak yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk memakai, menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari tanah tersebut. Penguasaan dan penggunaan tanah secara individual dijamin oleh undang-undang, baik dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) maupun dalam UUPA. Dalam UUD 1945 amandemen kedua pada Pasal 28 G dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang dibawah kekuasaannya.” Sedangkan pada pasal 28 H ayat 4 UUD 1945 dinyatakan bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Dalam UUPA Pasal 4 ayat (1) menyatakan “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.” Pada Pasal 4 ayat (2) menyatakan “hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.” Maka dengan hal tersebut dapat dikatakan hak seseorang baik 92
Urip Santoso, 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta. h.82
60 perorangan atau secara bersama-sama maupun badan hukum untuk memiliki sesuatu hak milik pribadi, dalam artian memiliki adalah untuk menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu dan kepemilikannya dijamin oleh Undang-Undang.
c. Macam-Macam Hak Atas Tanah Pada sub macam-macam hak atas tanah ini, dapat dikaitkan dengan teori kepastian hukum. Karena hak ha katas tanah yang dimiliki oleh individu memiliki cakupan, batasan dan aturan tersendiri yang sangat jelas dan harus dipatuhi masing-masing individu. Hal tersebutlah yang memberikan kepastian kedudukan individu pemilik ha katas tanah. Macam-macam ha katas tanah yaitu : 1. Hak Milik Pasal 20 ayat (1) UUPA menyatakan : Hak milik adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Pada dasarnya hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :93 1. Turun temurun; 2. Terkuat dan Terpenuh; 3. Hak milik dapat beralih dan dialihkan; 4. Hak milik mempunyai fungsi sosial; 5. Hak milik juga hak yang wajib daftarmenunjuk pada jangka waktu hak milik yang tidak dibatasi.
93
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.47
61 Adapun subyek Hak Milik atau yang dapat menjadi pemegang hak milik adalah: Warga Negara Indonesia (selnjutnya disingkat WNI), dan Badan Hukum Tertentu.94 Menurut penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto mengenai WNI pada Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Karena yang dapat mempunyai hak milik hanyalah WNI tunggal, maka apabila seorang Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) memperoleh hak milik karena percampuran harta yang disebabkan adanya perkawinan maka yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah diperolehnya hak milik tersebut harus melepaskan hak milik tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik (hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA). Oleh karena itu semua perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak milik kepada orang asing atau seseorang yang disamping mempunyai kewarganegaraan asing, adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada negara (diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA). Kemudian selanjutnya penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto mengenai Badan Hukum Tertentu pada Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan “oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syarat”. Pemilikan tanah hak milik oleh badan keagamaan dan badan sosial diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi.Badan-
94
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto. op.cit. h.50
62 badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”. Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No.38 Th 1963 yang memuat badan-badan hukum apa saja yang dapat mempunyai hak milik :
Bank-bank yang didirikan oleh Pemerintah; Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No.79 Th 1958; Badan badan keagamaan yang ditunjuk menteri agama; Badan-badan sosial yang ditunjuk menteri dalam negeri setelah mendengar menteri sosial. Sedangkan menurut Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Th 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tantang Negara dan Hak Pengelolaan, disebutkan bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik adalah Bank Pemerintah, Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh pemerintah. Alasan untuk tidak diperbolehkannya badan hukum mempunyai tanah dengan hak milik adalah agar dihindari penyelundupan-penyelundupan terhadap batas
maksimum
pemilikan
tanah
yang
ditentukan
dalam
Pasal
17
UUPA.Disamping itu alasan lainnya adalah bahwa badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan yang cukup bagi keperluannya yang khusus. Terjadinya Hak milik :95 a. Menurut hukum adat b. Terjadinya hak milik karena Penetapan Pemerintah c. Terjadinya hak milik karena ketentuan Undang-Undang 95
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto. op.cit. h.56
63 Menurut Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto penjelasan mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat ini berhubungan dengan hak ulayat. Dalam hukum adat, terjadinya hak milik tersebut diawali dengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Adat. Pembukaan hutan adalah pembukaan tanah (pembukaan hutan) yang dilakukan bersama-sama ketua adat melalui 3 (tiga) sistem penggarapan, yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan.96 Menurut Maria SW Soemardjono bahwa perolehan hak milik menurut hukum adat tidak dengan cara serta merta, melainkan diawali dengan pembukaan hutan oleh anggota persekutuan dengan sepengetahuan kepala persekutuan, dilanjutkan dengan pemasangan tanda batas dan pengolahan tanahnya menjadi tanah pekarangan atau pertanian, jika hubungan antara yang bersangkutan dengan tanahnya sudah bersifat menetap (terus-menerus) maka lambat laun hubungan tersebut menjadi hubungan milik.97 Bahwa menurut hukum adat, hak milik tidak dapat diperoleh secara serta merta terdapat tatacara yang harus dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama. Kemudian selanjutnya penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto mengenai terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah ini diatur dalam PMNA/KBPN No.9 Th 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak milik karena penetapan ini
dimulai
96
dengan
suatu
permohonan
hak
kepada
pejabat
yang
Urip Santoso,op.cit. h.94 Maria SW soemardjono, 2009.Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya. Kompas, Jakarta. h.144 97
64 berwenang.Sedangkan mengenai siapa yang wenang memberikan keputusan pemberian haknya hal ini diatur dalam PMNA/KBPN No.3 Th 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang adalah terjadinya hak milik karena Konversi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Konversi. Konversi disini adalah perubahan hak-hak atas tanah yang sebelum UUPA lahir (hak lama) menjadi salah satu ha katas tanah yang ada dalam UUPA.Hak lama adalah hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA lahir, yaitu baik hak barat maupun hak adat. Hak barat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum perdata barat misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, akan dikonversi menjadi hak milik apabila pemegang haknya memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik. Sedangkan hak adat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat seperti hak milik, yayasan, andarbeni, hak atas druwe atau hak golongan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap inilah yang akan dikonversi menjadi hak milik apabila pemegangnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik. Hapusnya hak milik berdasarkan Pasal 27 UUPA, hak milik atas tanah dapat hapus apabila:
Tanah jatuh pada negara: a. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA. b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya. c. Karena ditelantarkan. d. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA Tanahnya musnah.
65 2. Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha (selanjutnya disingkat HGU) diatur dalam Pasal 28-34 UUPA dan Pasal 2-18 PP No.40 Th 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dalam Pasal 28 UUPA, yang dimaksud dengan Hak “Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan”. Meskipun disebut Hak Guna Usaha, akan tetapi tidak semua bentuk usaha dapat diberikan tanah HGU. Usaha yang akan diberikan dengan HGU adalah usaha dibidang pertanian (dalam arti luas termasuk perkebunan), perikanan dan peternakan, sehingga HGU peruntukannya adalah terbatas.98Yaitu, adanya keterbatasan dalam pemberian HGU untuk usaha hanya pada bidang pertanian, perikanan, dan peternakan. Luas HGU hanya diberikan untuk usaha yang memerlukan tanah yang luas, maka HGU diberikan untuk tanah luas minimum 5 Ha dan jika luasnya 25 hektar atau lebih harus disertai investasi modal yang layak dan teknis perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.Luas maksimum HGU perorangan adalah 25 Ha, sedangkan luas maksimum untuk badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dibidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna dibidang yang bersangkutan.
98
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit.h.64
66 Pasal 4 PP No.40 Th 1996 mengatur mengenai tanah yang dapat diberikan HGU: Ayat (1)
: Tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah Tanah Negara
Ayat (2)
: Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan HGU itu adalah tanah Negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan.
Ayat (3)
: Pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun HGU hanya dapat diatas tanah Negara, akan tetapi dari
ketentuan Pasal 4 PP No.40 Th 1996 tersebut maka HGU dapat berasal dari tanah kepunyaan orang lain, atau tanah hak. Hanya saja tanah tersebut oleh pemiliknya harus dilepas dahulu kepada Negara, dengan memberikan ganti kerugian kepada bekas pemiliknya, sehingga statusnya menjadi tanah Negara. 99 Selanjutnya pemegang HGU mengajukan permohonan hak kepada Negara (Badan Pertanahan Nasional). Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Th 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dimungkinkan HGU diberikan oleh Negara diatas tanah ulayat setelah tanah
99
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.67
67 tersebut dilepas oleh masyarakat hukum adat. Meskipun diberikan diatas tanah hak ulayat, tetap saja HGU tersebut harus dengan proses pemberian hak melalui penetapan pemerintah, dalam hal ini sesuai ketentuan dalam PMNA/KBPN No.9 Th 1999 dan PMNA/KBPN No.3 Th 1999. Jangka waktu HGU dapat dirasa cukup dengan 25 tahun atau maksimum 35 tahun dan kemungkinan untuk diperpanjang 25 tahun, bahkan dapat diperbaharui (25 tahun).100 Perpanjangan dan pembaharuan HGU dapat dilakukan jika memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana termuat dalam Pasal 9 PP No.40 th 1996: a) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Subyek HGU adalah WNI, tidak disyaratkan harus WNI tunggal dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dalam hal pemegang HGU tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang HGU, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila jangka waktu tersebut HGU tidak dilepas atau dialihkan maka HGU tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh ketangan Negara.101 Yaitu jika pemegang
100
Sudargo Gautama, 1990. Tafsiran undang-undang pokok agraria. Citra aditya bakti, bandung. h.139 101 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.69
68 HGU melanggar atau tidak mematuhi syarat yang telah ditentukan maka HGU tersebut akan hapus dan tanah akan jatuh ke tangan Negara. Seperti juga hak milik, maka HGU juga dapat beralih dan dialihkan, dalam arti bahwa HGU dapat juga diwariskan maupun dialihkan kepada pihak lain dengan suatu perbuatan hukum tertentu. Peralihan HGU diatur dalam Pasal 16 UUPA: 1. HGU dapat beralih dan dialihkan; 2. Peralihan HGU dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan; 3. Peralihan HGU harus didaftar di Kantor Pertanahan; 4. Peralihan HGU karena jual beli kecuali melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; 5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang; 6. Peralihan HGU karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang. Ada beberapa cara hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA, yaitu: a. Jangka waktu berakhir, dan tidak diperpanjang atau diperbaharui oleh pemegang haknya; b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktu berakhir, karena: Tidak dipenuhinya kewajiban pemegang hak Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan (selanjutnya disingkat HGB) diatur dalam Pasal 3540 UUPA dan Pasal 19-38 PP No.40 Th 1999.Pasal 35 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah “hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu paling lama 30 tahun”.
69 Obyek HGB adalah hak atas tanahnya bukan bangunannya, seseorang diberi hak untuk menggunakan tanah pihak lain guna mendirikan dan mempunyai bangunan.102 HGB adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah tersebut, jadi bukan hak untuk menggunakan bangunan milik orang lain. Perbedaan antara HGB dengan Hak “Menggunakan” Bangunan, yaitu apabila seseorang diberi ijin untuk menggunakan bangunan orang lain yang sudah berdiri diatas suatu bidang tanah maka dia memperoleh Hak Menggunakan Bangunan, sedangkan apabila seseorang memperoleh suatu hak atas tanah yang penggunaannya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, maka dia memperoleh suatu Hak Atas Tanah. Jangka waktu HGB paling lama 30 tahun dapat diperpanjang 20 tahun serta dapat diperbaharui. Ciri-ciri HGB: peruntukannya hanya untuk bangunan (mendirikan dan mempunyai bangunan), sertadiatas tanah yang bukan miliknya.103 Terjadinya HGB : a. Diatas tanah Negara dengan Keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang. Kewenangan pemberian hak diatur dalam PMNA/KBPN No.3 Th 1999, sedangkan prosedur pemberian haknya diatur dalam PMNA/KBPN No.9 Th 1999. b. Diatas tanah hak pengelolaan : dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Mengenai prosedur pemberian HGB diatas tanah Hak Pengelolaan ini mengacu pada PMNA/KBPN No.9 Th 1999 c. Diatas tanah milik : dengan akta pemberian HGB diatas tanah hak milik yang dibuat oleh PPAT.104
102
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.81 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.74 104 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.75 103
70 Disamping dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan, HGB juga dapat dilaihkan kepada pihak lain. Pasal 34 PP No.40 Th 1996 menyatakan: 1. HGB dapat beralih dan dialihkan; 2. Peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan; 3. Peralihan HGB harus didaftar di Kantor Pertanahan; 4. Peralihan HGB karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; 5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang; 6. Peralihan HBG karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang; 7. Peralihan HGB atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan; 8. Peralihan HGB atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan. Jadi, Seperti halnya hak-hak atas tanah yang lain, HGB ini dapat dialihkan dengan ketentuan-ketentuan Pasal 34 PP No.40 Th 1996 tersebut diatas. Hapusnya HGB berdasar pada Pasal 40 UUPA: 1) jangka waktunya berakhir; 2) dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; 3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; 4) dicabut untuk kepentingan umum; 5) ditelantarkan; 6) tanahnya musnah; 7) ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).
4. Hak Pakai Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA dan Pasal 39-58 PP No.40 Th 1996. Hak Pakai adalah “hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang
71 memberi wewenang
dan kewajiban
yang ditentukan dalam
keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang ini”. Ciri-ciri Hak Pakai : 1. Peruntukannya Hak Pakai dapat digunakan untuk keperluan mendirikan bangunan dan dapat untuk pertanian hak ini dapat dilihat dari kata menggunakan dapat diartikan bahwa hak pakai bisa untuk bangunan sedangkan dari kata memungut hasil diartikan hak pakai bisa untuk pertanian. 2. Hak Pakai diberikan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri Dapat digunakan diatas tanah Negara, diatas tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Adapun cara terjadi Hak Pakai adalah: Hak pakai diatas tanah negara terjadinya dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang (PMNA/KBPN No.3 Th 1999 jo PMNA/KBPN No.9 Th 1999) Hak pakai diatas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang berwenang berdasarkan usulan dari pemegang hak pengelolaan, yang selanjutnya prosesnya seperti pemberian hak pakai diatas tanah negara Hak pakai diatas tanah hak milik terjadi dengan pemberian Hak Pakai oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.105 Jangka waktu Hak Pakai dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: hak pakai yang jangka waktunya ditentukan/dibatasi yaitu 25 tahun dapat diperpanjang 20 tahun serta dapat diperbaharui, dan hak pakai yang jangka waktunya tidak ditentukan yaitu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.106 Bahwa terdapat pembedaan mengenai jangka waktu hak pakai yaitu yang ditentukan/dibatasi dan tidak ditentukan sepanjang tanahnya dipergunakan untuk keperluan itu. Subyek Hak Pakai diatur dalam Pasal 42 UUPA: 105 106
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.82 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.84
72 a. Warga Negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
dan
Hak Pakai yang dapat dialihkan adalah hak pakai yang jangka waktunya ditentukan, sedangkan hak pakai atas tanah Negara yang waktunya tidak terbatas atau tidak ditentukan, yang diberikan kepada departemen, lembaga pemerintah non departemen dan pemda, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional, badan keagamaan dan badan sosial adalah hak pakai yang bersifat publikrechtelijk, yang tanpa right of disposal (tidak dapat dijual ataupun dijadikan jaminan hutang).107 Bahwa hanya hak pakai dengan jangka waktu yang ditentukan sajalah yang dapat dialihkan sedangkan hak pakai yang jangka waktunya tidak ditentukan tidak dapat dialihkan atau dijual ataupun dijadikan jaminan hutang. Pasal 54 PP No.40 Th 1996 mengatur mengenai peralihan hak pakai: 1) Hak pakai yang diberikan di atas tanah Negara untuk jangka waktu tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain; 2) Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik yang bersangkutan; 3) Peralihan hak pakai dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan; 4) Peralihan hak pakai harus didaftar di Kantor Pertanahan; 5) Peralihan hak pakai karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; 6) Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang; 7) Peralihan hak pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang;
107
Urip Santoso, op.cit. h. 118
73 8) Peralihan hak pakai di atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang; 9) Peralihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan; 10) Peralihan hak pakai atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan. Mengenai hapusnya hak pakai dalam UUPA tidak diatur. Hapusnya hak pakai ini dapat dilihat dalam Pasal 55 PP No.40 Th 1996, yang menyebutkan beberapa sebab hapusnya hak pakai, yaitu : a. Berakhirnya jangka waktu hak pakai sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir, karena: a) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai b) tidak dipenuhinya syarat-syarat dalam kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan c) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap c. Dilepas secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir d. Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961 e. Ditelantarkan f. tanahnya musnah g. pemegang haknya tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai.
5. Hak Sewa (untuk bangunan) Hak sewa yang dimaksud dalam Pasal 16 e UUPA adalah hak sewa untuk bangunan, bukan hak sewa tanah pertanian, sebab hak sewa tanah pertanian masuk sebagai hak yang bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA. Hak sewa untuk bangunan ini diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45. Pasal 44 ayat (1) menyatakan “seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa
74 atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumalah uang sebagai sewa”. Hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah milik orang lain dengan membayar sejumalah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengen pemegang hak sewa.108 Artinya, hak sewa bangunan dalam hal ini yaitu hak yang dimiliki untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah milik orang lain dengan menyewa tanah tersebut dan terdapat jangka waktu yang disepakati bersama. Ciri-ciri hak sewa: a. sebagaimana dengan hak pakai, maka tujuan penggunaannya sementara, artinya jangka waktunya terbatas b. umumnya hak sewa bersifat pribadi dan tidak diperbolehkan untuk dialihkan kepada pihak lain ataupun untuk menyerahkan tanahnya kepada pihak ketiga dalam hubungan sewa dengan pihak penyewa tanpa ijin pemilik tanah c. sewa menyewa dapat diadakan dengan ketentuan bahwa jika penyewa meninggal dunia hubungan sewanya putus d. hubungan sewa tidak terputus dengan dialihkannya hak milik yang bersangkutan kepada pihak lain e. hak sewa tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan f. hak sewa dengan sendirinya dapat dilepas oleh pihak yang menyewa g. hak sewa tidak termasuk golongan hak yang wajib didaftar menurut PP No.24 Th 1997.109 Hak sewa ini tidak dapat dilakukan di atas tanah Negara, karena Negara bukanlah berkedudukan sebagai pemilik tanah.110 Hak sewa hanya dapat di atas tanah milik orang lain. Jadi obyek hak sewa adalah tanah milik seseorang, yang
108
Urip Santoso, op.cit. h.91 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h. 92 110 Urip Santoso, op.cit. h. 126 109
75 disewakan adalah tanahnya bukan bangunannya.111 Artinya obyek dari pada hak sewa adalah tanah bangunan yang terdapat diatasnya tidak termasuk obyek hak sewa.
6. Hak Yang Bersifat Sementara i. Hak Gadai Gadai menurut Hukum Adat : adalah hak yang timbul karena adanya gadai tanah yang dilakukan pemilik tanah dengan pemegang gadai. Jual gadai adalah penyerahan tanah atau empang oleh pihak kesatu (pemilik tanah) kepada pihak kedua (yang menerima gadai) atas pembayaran sejumlah uang tunai, dengan perjanjian pihak yang menyerahkan tanah dapat menerima kembali tanah itu atas pembayaran kembali sejumlah uang yang sama sehingga merupakan pemindahan hak untuk sementara waktu.112Artinya, jual gadai adalah penjualan tanah sementara, yang nantinya tanah tersebut dapat kembali kepada pihak yang menyerahkan tanah apabila telah dapat membayar kembali sejumlah uang yang sama. Ciri-ciri dari gadai tanah menurut Hukum Adat adalah: 1. dilakukan secara lisan. Gadai tanah cukup dilakukan secara lisan antara pemilik tanah dengan penerima gadai; 2. jangka waktu gadai tidak dibatasi. Gadai menurut hukum adat akan berlangsung terus selama tanah tersebut belum dilakukan penebusan oleh pemiliknya; 3. Tanah akan dikembalikan kepada pemilik apabila ada penebusan (pengembalian pinjaman) kepada pemegang gadai; 4. Besarnya uang pengembalian adalah sejumlah uang yang pernah diterima dengan menghitung memakai harga emas/beras yang berlaku pada waktu penebusan, berapapun jangka waktu gadai telah berlangsung; 111
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit.h. 93 Eddy Ruchiyat, 1983. Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah, Berdasarkan Undang-Undang No.56 Prp Th 1990. Armico, Bandung.h.55 112
76 5. Hak menebus tanah tidak akan lenyap karena waktu. Berapapun waktu gadai sudah berlangsung, pemilik tanah masih berhak untuk meminta kembali tanahnya; 6. Pemegang gadai tidak boleh memaksa pemilik tanah untuk segera menebus tanahnya. Penebusan tanah tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah. 7. Pemegang gadai dapat mengalihkan gadai (dengan sepengetahuan pemilik tanah menggadaikan kembali tanah gadai kepada pihak lain) dan menganakkan gadai (tanpa sepengetahuan gadai menggadaikan kembali tanah gadai kepada pihak lain). 8. Penebusan tanah gadai dapat beralih kepada ahli waris.113 Gadai menurut UU No.56 Prp Th 1960: dalam Penjelasan Umum angka 9a UU No.56 Prp Tahun 1960 menjelaskan “gadai adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang kepadanya, selama uang tersebut belum dibayar lunas, maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai)”.Ciri-ciri gadai setelah berlakunya UU No.56 Prp Th 1960 : 1) jangka waktu gadai maksimun 7 tahun; 2) pemegang gadai tidak boleh memaksa pemilik tanah untuk segera menebus tanahnya; 3) pemegang gadai dapat memindahkan gadai kepada pihak lain, baik dengan sepengetahuan/seijin dan tanpa sepengetahuan/seijin pemilik tanah; 4) Penebusan gadai dapat diteruskan oleh ahli warisnya; 5) Hak gadai tidak akan berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. ii. Hak Usaha Bagi Hasil Tanah Pertanian Hak usaha bagi hasil adalah hak yang timbul karena adanya perjanjian bagi hasil dari tanah pertanian yang dilakukan antara pemilik tanah dengan penggarap. Adapun pengertian dari perjanjian bagi hasil adalah perjanjian antara seseorang yang berhak atas tanah dengan orang lain yang disebut penggarap, dimana penggarap diperkenankan untuk mengusahakan/mengerjakan tanah
113
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.97
77 dengan pembagian hasilnya menurut imbangan yang telah disetujui bersama. 114 Artinya, perjanjian yang dibuat antara pemilik tanah dengan penggarap yang isinya penggarap diperbolehkan untuk mengusahakan/mengerjakan tanah tersebut yang nantinya hasil dari garapannya dibagi menurut kesepakatan yang telah disetujui bersama. iii. Hak Sewa Tanah Pertanian Hak Sewa yang masuk sebagai hak yang bersifat sementara adalah hak sewa tanah pertanian, bukan hak sewa untuk bangunan yang disebut dalam Pasal 16 e UUPA tidak memberikan pengertian mengenai hak sewa tanah pertanian. Hak Sewa Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.115 Artinya, perjanjian sewa tanah pertanian dengan jangka waktu dan uang sewa berdasarkan kesepakatan pemilik tanah dan pihak lain. iv. Hak Menumpang Hak menumpang adalah hak untuk mempunyai bangunan diatas tanah milik orang lain. Orang yang menumpang tidak dipungut uang sewa atau pembayaran lainnya, hanya saja menjadi kewajiban bagi pihak yang menumpang untuk membantu pekerjaan atau kepentingan pemilik tanah, dalam hal demikian pemilik tanah akan membalas jasa berupa sandang pangan bagi keluarganya atau
114 115
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.103 Urip Santoso, op.cit. h.145
78 dengan perhitungan bagi hasil tetap.116 Bahwa, hak yang diberikan kepada seseorang untuk dapat menumpang dengan tidak membayar uang sewa tetapi memiliki kewajiban untuk membantu pekerjaan atau kepentingan pemilik tanah, dan pemilik tanah akan membalas jasa seseorang tersebut berupa sandang pangan atau perhitungan bagi hasil. Hak menumpang sebenarnya adalah salah satu bentuk dari hak pakai, tetapi sifatnya sangat lemah, karena setiap saat pemilik tanah dapat mengambil kembali tanahnya jika ia memerlukannya.117 Bahwa hak menumpang tidak memiliki kekuatan hukum, setiap waktu pemilik tanah dapat menagih tananhnya. Hak menumpang ini hanya mengenai tanah pekarangan saja dan merupakan hak atas tanah, karena memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, dalam arti mendirikan rumah dan mendiaminya.118 Bahwa hak menumpang hanya terbatas tanah pekarangan, merupakan hak atas tanah karena seseorang diberi kewenangan untuk menggunakan tanah tersebut.
d. Peralihan Hak Atas Tanah Peralihan hak atas tanah dapat dikaitkan dengan teori perjanjian dan juga teori
pertanggungjawaban. Dikaitkan dengan teori perjanjian karena suatu
peralihan hak atas tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum berdasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Dikaitkan dengan teori pertanggungjawaban adalah apabila tidak terpenuhinya kesepakatan tersebut, maka akibat dari pada 116
Hilman, 1990.Hukum Perjanjian Adat. Citra Aditya Bakti, Bandung.
117
Boedi Harsono I. op.cit. h.291 Ibid.
h.11 118
79 kegagalan pemenuhannya adalah adanya peralihan hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah, meliputi : 1. Jual Beli Jual beli dalam kehidupan sehari-hari, dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum dimana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela.119 Bahwa, perbuatan hukum yaitu membuat suatu perjanjian untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki dengan penyerahan uang secara sukarela.Dalam jual beli ada 2 (dua) pihak, yaitu pihak pertama sebagai penjual yang mempunyai barang untuk diserahkan dan pihak kedua sebagai pembeli yang membayar sejumlah uang untuk memperoleh barang dari penjual.120 Bahwa terdapat dua pihak di dalam jual beli, pihak penjual dan pihak pembeli. Pengertian jual beli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual. 121 Menurut Pasal 1457 KUHPerdata “Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan”. Selanjutnya dalam pasal 1458 KUHPerdata, disebutkan bahwa “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan
119
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.121 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit. 121 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit. 120
80 tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum disahkan maupun hargannya belum dibayar”. Jual beli dalam Hukum Perdata bersifat obligator artinya perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak (penjual-pembeli) yaitu meletakkan pada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan di lain pihak meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya, untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.122 Bahwa, perjanjian jual beli adalah perjanjian timbal balik yang akibatnya terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi kedua belah pihak. Menurut Soedharyo Soimin, jual beli adalah suatu persetujuan kehendak, antara penjual/pembeli mengenai suatu barang dan harga. Karena tanpa barang yang akan dijual dan tanpa harga yang dapat disetujui antara dua belah pihak, tidak mungkin ada jual beli, atau jual beli tidak pernah ada”. 123 Jadi yang dimaksud jual beli menurut hukum perdata adalah “suatu perjanjian, dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya membayar harga yang telah ditentukan.124 Bahwa, jual beli adalah suatu perjanjian yang mengikat para pihak terdapat ketentuan harga yang telah disepakati. Pada saat kedua pihak telah mencapai kata sepakat, maka jual beli telah terjadi meskipun tanah belum diserahkan atau harganya belum dibayar, meskipun jual 122
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit. Soedharyo Soimin, 2004. Status Hak Dan Pembebasan Tanah. Sinar Grafika, Jakarta. 87 124 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, op.cit. h.122 123
81 beli telah terjadi akan tetapi hak atas tanahnya belum beralih kepada pembeli.125 Bahwa terjadinya jual beli tersebut apabila kedua belah pihak telah terjadi kata sepakat, walaupun tanah belum diserahkan dan harga belum dibayar tetapi hak atas tanah tersebut belum beralih ke pembeli. Pemindahan haknya masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang berupa penyerahan (levering) yang harus dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang, jadi sebelum dilakukan “balik nama” hak atas tanah tersebut belum beralih/pindah kepada pembeli.126 Artinya, peralihan hak ke pembeli harus dilakukannya “balik nama” dengan dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang, sebelum dilakukan hal tersebut hak atas tanah belum beralih. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat: Menurut Hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hakatas tanah yang bersifat terang dan tunai.127 Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum.128 Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak.129 Bahwa terang berarti perbuatan yang akan dilakukan harus bersifat publik yaitu dilakukan di hadapan kepala adat, sedangkan tunai berarti pembayaran dilakukan bersamaan dengan peralihan haknya. 125
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit. Wntijk Saleh, 1977. Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indah, Jakarta. h.31 127 Adrian Sutedi, 2010. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Sinar Grafika, Jakarta. (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi II), h.72 128 Ibid. 129 Ibid. 126
82 Maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai), dalam hal pembeli tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.130 Bahwa apabila pembayaran dilakukan sebagian dan pada akhirnya pembeli tidak dapat membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut kembali tanahnya, melainkan dapat menuntut secara utang piutang. Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli tersebut serentak selesai dengan tercapainya persetujuan atau persesuaian kehendak (consensus) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli, dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan.131 Kemudian ciri yang kedua adalah sifatnya yang terang, berarti tidak gelap, sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala Persekutuan yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup sah menurut hukumnya.132 Bahwa ciri yang tercermin dalam jual beli adalah tunai yang dilakukan secara bersamaan dengan dibuatnya kontrak jual beli dan terang yang melibatkan Kepala Persekutuan yang ikut menilai bahwa perbuatan tersebut telah mematuhi aturan. 130
Soerjono Soekanto, 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta.(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), h.211 131 Adrian Sutedi II, op.cit. h.72 132 Adrian Sutedi II, op.cit. h.73
Rajawali,
83 Adapun prosedur jual beli tanah diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya.133 Bahwa, jual beli diawali dengan adanya kesepakatan. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer yang fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli.134 Bahwa apabila kesepakatan telah terjadi biasanya diberikan tanda jadi berupa panjer. Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar, bila yang ingkar si pemberi panjer, panjer menjadi milik si penerima panjer, begitu pula sebaliknya. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh, kemudian akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat).135 Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem Hukum Adat sebagai berikut:136 1) Yang mengakibatkan pemindahan hak milik untuk selama-lamanya; 2) Yang mengakibatkan pemindahan hak milik yang bersifat sementara:
133
Adrian Sutedi II, loc.cit. Adrian Sutedi II, loc.cit. 135 Adrian Sutedi II, loc.cit 136 Adrian Sutedi II, op.cit. h.74 134
84 a. Jual Gadai b. Jual Tahunan Selain dari 3 (tiga) bentuk jual tanah diatas, Soerjono Soekanto menambahkan bentuk jual gangsur. Menurutnya, walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap berada di tangan penjual, artinya bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai, yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.137 Jual Beli Tanah Menurut UUPA: Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. Sejak berlakunya PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).138Akta jual beli ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi perpindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. 137 138
Adrian Sutedi II, loc.cit Adrian Sutedi II, op.cit. h.77
85 Terdapat 2 (dua) syarat jual beli tanah, yaitu syarat materiil dan syarat formil:139 a. Syarat materiil Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut: i. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). ii. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu adalah kedua orang itu bersama-sama, tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.140 iii. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak dalam sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah.Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum, artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.141 b. Syarat Formal Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat akta jual beli. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh PPAT.Jual beli yang dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang kongkrit/kontan/nyata/riil. Kendatipun demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan ha katas tanah, PP No.24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan 139
Adrian Sutedi II, loc.cit. Effendi Perangin, 1994.Praktik Jual Beli Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta. (selanjutnya disingkat Effendi Perangin II), h.2 141 Ibid. 140
86 diahadapan PPAT.142 Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu: a) Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya. b) Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang mememerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli. Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya (Pasal 40 PP No.24 Tahun 1997). 2. Pewarisan Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan atau sering disingkat dengan waris, yaitu dengan meninggalnya pemegang hak atas tanah, maka hak atas tanah tersebut dengan sendirinya (karena hukum) akan beralih kepada ahli warisnya.143 Bahwa apabila pemegang hak atas tanah meninggal maka karena hukum hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak tersebut kepada ahli waris, serta berapa bagian masingmasing dan bagaimana cara pembagiannya diatur oleh Hukum Waris Almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan diatur oleh hukum tanah (hukum agraria). Hukum Agraria memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti
142
Bachtiar Effendi, 1993. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Alummi, Bandung. h.23 143 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.119
87 pemilikannya oleh para warisnya.144 Karena peralihan haknya dengan sendirinya karena hukum, maka pewarisan tanpa wasiat peralihan haknya tidak perlu dibuatkan akta dari PPAT.Hanya saja peralihan hak atas tanah karena warisan ini harus didaftarkan di Kantor Pertanahan. 3. Hibah Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup, hal inilah yang berbeda dengan wasiat yang mana wasiat diberikan sesudah si pewasiat meninggal dunia.145 Bahwa hibah dapat juga disebut sebagai hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dengan tidak terdapat imbalan dikemudian hari yang diberikan pada saat pemberi masih hidup. Dalam Pasal 1666 KUHPerdata menyatakan : Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-Undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Dalam hibah ada dua point yang hendak dicapai, yaitu :pertama, dengan memberikan harta pada orang lain akan menimbulkan suasana keakraban dan saling menyayangi antara sesama manusia; kedua, yang ingin dicapai dalam hibah adalah terbentuknya suatu kerja sama dalam berbuat baik.146 Bahwa dalam hal pemberian hibah diharapkan menimbulkan suasana keakraban dan saling 144
Boedi Harsono I,op.cit. h.329 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, 1996.Hukum Perjanjian Dalam Islam. Sinar Grafika, Jakarta. h. 113 146 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, op.cit. h.142 145
88 menyayangi serta menimbulkan kerjasama dalam berbuat baik.Akta hibah berdasarkan Pasal 1682 KUHPerdata harus dibuat dimuka Notaris. 4. Tukar Menukar Menurut Pasal 1541 KUHPerdata menyatakan tukar menukar ialah “suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain”. Definisi lain dari perjanjian tukar menukar adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar.147 Bahwa perjanjian ini dilakukan untuk adanya kesepakatan tukar menukar barang yang telah ditentukan.Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi diatas adalah:148 a) b) c) d)
Subjek hukum; Adanya kesepakatan subjek hukum; Adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak; dan Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukarmenukar. Dalam tukar menukar ini ada hak dan kewajiban yang timbul, yaitu hak
untuk menerima barang dari pihak lain dan kewajiban untuk menyerahkan barang kepada pihak lain. Tukar menukar hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional berbeda dengan tukar menukar dalam Hukum Perdata. Tukar menukar hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional termasuk peralihan hak yang bersifat tunai, terang dan riil, seperti halnya jual beli.149 Tukar menukar dalam hukum agraria
147
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. h.143 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit. 149 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit, h.144 148
89 merupakan perbuatan hukum yang tunai, tidak perlu ada perbuatan hukum khusus mengenai penyerahan hak miliknya atau lavering.Tukar menukar hak atas tanah harus dibuat dengan akta tukar menukar oleh PPAT. Akta tukar menukar yang dibuat PPAT inilah yang dipakai dasar untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah
yang
terjadi
karena
menukar
tersebut
di
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kota.150 Bahwa akta tukar menukar inilah yang dipakai dasar pendaftaran hak atas tanah.
2.2 Teori dan Konsep Tentang Hak Tanggungan a. Pengertian Hak Tanggungan Hak tanggungan dapat dikaitkan dengan teori validitas dan efektifitas hukum.Pengaturan hak tanggungan terdapat pada UU No. 4 Tahun 1996, aturan ini dapat menjadi valid apabila dalam penerapannya dapat diterima secara meluas oleh masyarakat. Jadi apabila aturan hak tanggungan ini penerapannya dapat diterima oleh masyarakat maka aturan hak tanggungan akan menjadi valid dan dapat dikatakan efektif, sebaliknya apabila aturan hak tanggungan ini penerapannya tidak dapat diterima oleh masyarakat maka aturan hak tanggungan akan kehilangan unsur validitasnya. Istilah Hak Tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di dalam hukum adat istilah Hak Tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat, juga beberapa daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal
150
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit.
90 dengan istilah jonggolan atau istilah ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat yang objeknya biasanya tanah atau rumah.151 Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang yang dijadikan jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau pinjaman yang diterima.152 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan definisi atau pengertian Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) UU Hak Tanggungan) sebagai berikut : Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan adanya unsur-unsur pokok Hak Tanggungan, yaitu : 1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA, objek Hak Tanggungan terdiri dari hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan Hak Pakai atas Hak Milik dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat disimpulkan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungan dapat juga 151
Djuhaendah Hasan, 1997. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan). Citra Aditya Bakti, Bandung. h.353 152 Ibid.
91 dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (5) UUHak Tanggungan menentukan bahwa benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu tidak terbatas hanya pada bendabenda yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan saja melainkan dapat juga meliputi benda-benda yang dimiliki oleh pihak lain. Namun pembebanannya hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. 3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tetapi juga berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut (benda-benda yang berkaitan dengan tanah) baik merupakan milik pemegang hak atas tanah tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat (5) UUHak Tanggungan). Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4)
92 UUHak Tanggungan memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada tetapi baru ada di kemudian hari. Pengertian “yang baru akan ada” adalah benda-benda yang pada dibebankan belum ada sebagai bagian dari hak atas tanah; 4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu; Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk : a) Utang yang telah ada b) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu. c) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan. Pasal ini sangat berarti bagi dunia perbankan dimana “utang, yang baru akan ada” sering terjadi dalam perjalanan pemberian suatu kredit kepada debitur.Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Menurut Pasal 3 ayat (2) UUHak Tanggungan bahwa “Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.”
Jadi
undang-undang
memungkinkan
pemberian
Hak
93 Tanggungan untuk beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian utang piutang atau beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditur dengan debitur yang bersangkutan. 5. Hak tanggungan memberikan hak preferent atau hak diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
b. Objek dan Subjek Hukum dalam Hak Tanggungan Objek dan Subjek hukum dalam hak tanggungan dapat dikaitkan dengan teori perjanjian. Dalam suatu perjanjian terdapat para pihak yang bersepakat untuk melakukan suatu perbuatan hukum sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang mengikat para pihak tersebut. Dalam hal pinjam-meminjam pada konteks hak tanggungan para pihak dapat disebut sebagai pihak kreditur dan debitur: Objek Hak Tanggungan: Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat: 1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang; 2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi asas publisitas; 3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan 4. Memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang.153
153
Salim HS, 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. h. 104
94 Dalam UU Hak Tanggungan pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, telah ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang. Ada 5 jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Hak Milik; Hak Guna Usaha (HGU); Hak Guna Bangunan (HGB) Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas tanah negara; Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
Subjek Gak Tanggungan: Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UU Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan: Dalam Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.” Pemberi hak tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan. Biasanya dalam praktik pemberi hak tanggungan disebut dengan debitur, yaitu orang yang meminjam uang di lembaga perbankan,kewajiban pemberi hak tanggungan adalah sebagai berikut : a. Utangnya wajib dibayar; b. Sebagai jaminan pembayaran, debitur menyerahkan benda tertentu untuk dibebani dengan hak tanggungan yang jika pemberi hak tanggungan ingkar janji benda itu dapat dijual sebagai pelunasan piutangnya;
95 c. Benda yang diperuntukkan sebagai hak tanggungan sudah ada, pada saat pendaftaran.154 Pemegang Hak Tanggungan: Dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Pemegang hak tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima hak tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
c. Asas-Asas Hak Tanggungan Di dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas tersebut disajikan sebagai berikut : 1) Hak tanggungan memberikan hak preferent (droit de preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur lain (Pasal 1 ayat (1); 2) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2); 3) Hak Tanggungan mempunyai sifat Droit de Suite (Pasal 7); 4) Hak Tanggungan mempunyai sifat accesoir; 5) Hak tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada; 6) Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang; 7) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah saja; 8) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda diatasnya dan dibawah tanah; 9) Hak Tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan benda jaminan dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan; 10) Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial; 11) Hak Tanggungan mempunyai sifat spesialitas dan publisitas.155 154
Mariam Darus Badrulzaman, 2009. Serial Hukum Perdata Buku Kedua; Kompilasi Hukum Jaminan. Mandar Maju, Bandung. (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman III), h.51 155 H. Salim, HS.,2004. op.cit. h.102
96 Menurut pandangan sarjana H. Salim H.S penjelasan asas-asas dari pada hak tanggungan tersebut adalah hak preferent yang artinya bila debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya maka seorang kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk menjual jaminan dan kreditur pemegang jaminan diutamakan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil penjualan jaminan tersebut. Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek hak tanggungan dari beban hak tanggungan, melainkan hak tanggungan itu tetap membebani seluruh objek hak tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Kemudian Sifat droit de suite disebut juga zaaksgelovg artinya pemegang hak tanggungan mempunyai hak mengikuti objek hak tanggungan meskipun objek hak tanggungan telah berpindah dan menjadi milik pihak lain. Contoh objek hak tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual dan menjadi milik pihak lain, maka kreditur sebagai pemegang jaminan tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan tersebut jika debitur cidera janji meskipun tanah dan bangunan telah beralih dari milik debitur menjadi milik pihak lain. Sifat droit de suite berasal dari perwujudan Pasal 7 yang menegaskan Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.Artinya bendabenda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada.156
156
Boedi Harsono, 1997. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cet. Ketujuh, Djambatan, Jakarta. (selanjutnya disingkat Boedi Harsono II), h.15
97 Seperti perjanjian jaminan lainnya, hak tanggungan bersifat accesoir artinya hak tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya, atau eksistensinya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya. Dengan kata lain kelahiran dan adanya hak tanggungan ditentukan oleh piutang yang dijamin pelunasannya. Demikian juga hak tanggungan menjadi hapus otomatis kalau perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan utang piutang hapus yang disebabkan karena lunasnya kredit atau lunasnya utang atau sebab lain. Sifat ikutan (accesoir) hak tanggungan ini memberikan konsekuensi dalam hal piutang beralih kepada kreditur lain maka hak tanggungan yang menjaminnya demi hukum ikut beralih kepada kreditur baru tersebut. Pencatatan peralihan hak tanggungan tidak memerlukan akta PPAT tetapi cukup didasarkan pada akta beralihnya piutang yang dijamin. Pencatatan peralihan itu dilakukan pada buku tanah dan sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan. Selanjutnya Fungsi hak tanggungan adalah untuk menjamin utang yang besarnya diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin hak tanggungan harus memenuhi syarat Pasal 3 ayat (1) UUHT yaitu : a) Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit biasanya merupakan jumlah maksimum atau plafond. b) Utang yang akan ada telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya dimasa akan datang tetapi jumlahnya sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar Bank Garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajiban kepada penerima Bank Garansi.
98 c) Utang yang akan ada tetapi jumlahnya pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang. Pasal 3 ayat (2) UUHT menegaskan bahwa hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Dengan pasal ini maka pemberian hak tanggungan dapat diberikan untuk : a. Satu atau lebih kreditur yang memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan perjanjian masing-masing secara bilateral antara krediturkreditur dengan debitur. b. Beberapa kreditur secara bersama-sama memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian. Kemudian hak tanggungan memiliki asas sebagai perwujudan dari sistem hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas pemisahan horisontal. Dengan asas pemisahan horisontal ini maka dalam kaitan dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dianggap bukan merupakan bagian dari tanah bersangkutan.Dengan demikian setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda yang ada di atas tanah tersebut.Meskipun hukum tanah nasional menganut asas pemisahan horisontal namun tidak berlaku mutlak. Untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat pembebanan hak tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada di atas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan di bawah permukaan tanah.
99 Bangunan atau tanaman tersebut boleh ada pada saat pembebanan hak tanggungan atau yang akan ada dikemudian hari. Asas ini selanjutnya menurut pandangan sarjana tersebut diatas yaitu sesuai tujuan hak tanggungan yaitu untuk menjamin pelunasan utang apabila si berutang atau debitur cidera janji dengan mengambil dari hasil penjualan benda jaminan itu, bukan untuk dimiliki kreditur sebagai pemegang hak tanggungan. Ketentuan ini juga untuk melindungi kepentingan debitur dari tindakan sewenangwenang kreditur sebagai pemegang hak tanggungan. Kemudian
kreditur
sebagai
pemegang
hak
tanggungan
pertama
mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan jika debitur cidera janji. Dasar hukum untuk mengajukan eksekusi adalah Pasal 6 UUHT dan penjelasan yang menegaskan “Apabila debitur cidera janji,
pemegang hak tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dapat melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan kantor lelang negara tanpa perlu persetujuan pemilik benda jaminan dan tidak perlu meminta fiat eksekusi dari pengadilan. Hanya pemegang hak tanggungan pertama yang mempunyai hak Parate Eksekusi bila terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Penjualan benda jaminan yang dilakukan langsung oleh kreditur dengan bantuan Kantor Lelang Negara tanpa persetujuan pemilik benda jaminan dan tidak perlu meminta fiat pengadilan disebut Parate Eksekusi. Sifat hak tanggungan yang memberikan hak preferent
100 dan memberikan kemudahan dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi adalah sifatsifat yang kuat dari hak tanggungan sebagai lembaga jaminan yang disukai di lingkungan perbankan/kreditur. Selanjutnya disebutkan Asas spesialitas atau disebut juga pertelaan adalah uraian yang jelas dan terinci mengenai obyek hak tanggungan yang meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah misalnya hak atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha, tanggal penerbitannya, tentang luasnya, letaknya, batas-batasnya dan lain sebagainya. Jadi dalam akta Hak Tanggungan harus diuraikan secara spesifik mengenai hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Hak Tanggungan mengadopsi sifat specialiteit yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHak Tanggungan yang menentukan “Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan adalah uraian mengenai sertifikat hak atas tanah seperti disebutkan diatas.” Sifat publisitas adalah Akta Hak Tanggungan harus didaftarkan di Kantor Pertanahan dimana tanah yang dibebani hak tanggungan berada.
d. Pembebanan Hak Tanggungan Pembebanan hak tanggungan dapat dikaitkan dengan teori kepastian hukum. Dalam proses pemberian kredit dengan jaminan hak atas tanah, diwajibkan untuk melakukan pembebanan hak tanggungan, hal ini disebabkan agar para pihak mendapatkan kepastian akan kedudukannya dalam hukum
101 mengenai hak dan kewajiban yang diperoleh dan apabila nantinya terjadi suatu sengketa. Dalam kaitannya dengan tanah sebagai barang jaminan dalam pemberian kredit, Bank Pemerintah telah meletakkan persyaratan pembebanan hak tanggungan yang memberikan hak istimewa bagi pihak bank (kreditor) dalam perjanjian kredit dengan debitur. Proses yang dijalani dalam pembebanan hak tanggungan antara lain157: 1. Perjanjian Kredit Dalam hal ini para pihak, yaitu kreditur (bank) dan debitur membuat perjanjian kredit. Perjanjian kredit ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : a) Perjanjian kredit di bawah tangan, yaitu perjanjian kredit yang dibuat antara debitur sebagai peminjam dengan kreditur sebagai pemberi pinjaman atau kredit. b) Perjanjian kredit notariil, yaitu perjanjian kredit yang dibuat dihadapan Notaris. Hal ini perlu dilakukan apabila jumlah pinjaman yang diberikan sangat besar. 2. Pembebanan Hak Tanggungan Keberadaan Hak Tanggungan tersebut ditentukan melalui pemenuhan tata cara pembebanannya yang meliputi dua tahap kegiatan, yaitu : 1) Tahap Pemberian Hak Tanggungan:
157
Adrian Sutedi I. op.cit. h.91-93
102 a. Untuk keperluan pembebanan hak tanggungan, pertama debitur harus menyerahkan kepada bank sertifikat hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah Negara) yang akan dibebani hak tanggungan. Sertifikat hak atas tanah tersebut dapat atas nama debitur sendiri atau atas nama pihak ketiga. b. Di samping harus menyerahkan sertifikat hak atas tanah debitur atau pemilik tanah juga harus mengusahakan atau menyerahkan kepada bank, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan setempat, dapat pula langsung dimintakan oleh bank kepada Kantor Pertanahan. Adapun yang dimaksud dengan SKPT adalah Surat Keterangan yang memuat keterangan mengenai : i.
Keabsahan dari sertifikat hak atas tanah;
ii.
Status tanah tersebut dalam sengketa atau diletakkan sita oleh pengadilan atau tidak;
iii.
Tanah sudah atau belum dibebani hak tanggungan, dan lain-lain yang berkaitan dengan pendaftaran tanah.
c. Demi menjamin keamanan, selain informasi yang diperoleh dari SKPT, kreditur (bank) seharusnya mencari informasi lainnya, antara lain dengan cara :
Melihat rencana tanah kota, untuk melihat peruntukkan tanah tersebut di masa yang akan datang.
103
Memeriksa lokasi tanah.
d. Setelah penelitian kreditur (bank) dianggap cukup, kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke PPAT yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pemberian hak tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan Aka Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu Akta Pemeberian Hak Tanggungan itu ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan, yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri. 2) Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan: a) Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut
selanjutnya
didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani hak tanggungan itu terletak. Disamping Akta Pemberian Hak Tanggungan itu, untuk keperluan pendaftaran harus pula disertakan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Pasal 13 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 telah memberikan ketentuan bahwa PPAT wajib mengirimkan
Akta
Pemberian
Hak
Tanggungan
yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
104 Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. b) Kantor pertanahan tersebut kemudian akan melakukan hal-hal sebagai berikut :
Membuat buku tanah hak tanggungan
Mencatat di buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan
Mencatat pembebanan hak tanggungan tersebut dalam sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
Mendaftar dalam daftar buku tanah hak tanggungan Menurut Pasal 13 ayat (4) UU No. 4 Tahun 1996, tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya, yang merupakan saat lahirnya sertifikat hak tanggungan.
c) Sertifikat hak tanggungan dan sertifikat hak atas tanah kemudian diserahkan kepada kreditur selaku pemegang hak tanggungan untuk disimpan.
e. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan Lahir dan berakhirnya hak tanggungan dapat dikaitkan dengan teori kepastian hukum. Lahirnya hak tanggungan memberikan kepastian akan kedudukan para pihak dalam perjanjian yaitu kreditur memiliki hak untuk
105 memperoleh pelunasan hutang serta kedudukannya diutamakan dengan kreditur yang lain, dan debitur mendapatkan kewajiban untuk memenuhi pembayaran hutang tersebut. Berakhirnya hak tanggungan dengan adanya pencoretan (roya) memberikan kepastian bahwa tidak ada lagi hal yang mengikat para pihak. Lahirnya Hak Tanggungan: Hak Tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal buku tanah hak tanggungan yaitu pada hari ketujuh setelah Kantor Pertanahan menerima secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Hari dan tanggal lahirnya hak tanggungan menandai atau membuktikan lahirnya hak preferent atau hak diutamakan bagi kreditur sebagai pemegang hak tanggungan sehingga kreditur yang memegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atas jaminan yang dipegangnya. Kreditur sebagai pemegang hak tanggungan yang telah memiliki hak preferent tidak perlu khawatir pemilik jaminan akan mengalihkannya seperti menjual, menyewakan, menjaminkan kembali atau disita pihak lain atas jaminan tersebut karena undang-undang memberikan perlindungan dan kekuatan hukum bagi pemegang hak tanggungan yang memberikan hak preferent.Pada saat kreditur membebankan hak tanggungan, kreditur harus mengemukakan kepada PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan agar nilai hak tanggungan yang ditetapkan kreditur dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Penetapan besarnya nilai hak tanggungan pada umumnya lebih tinggi dari jumlah hutang pokok yang tercantum dalam perjanjian kredit.
106 Pencantuman nilai hak tanggungan yang lebih tinggi dari jumlah hutang pokok karena dalam menentukan nilai hak tanggungan kreditur memperhitungkan jumlah hutang pokok, ditambah besarnya bunga selama jangka waktu kredit dan biaya lain yang dikeluarkan kreditur. Sebagai tanda bukti ada atau lahirnya hak tanggungan, Kantor Pertanahan setempat menerbitkan sertifikat hak tanggungan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUHak Tanggungan. Dengan kata lain, sertifikat hak tanggungan merupakan bukti ada tau lahirnya hak tanggungan, yang kelahirannya ditentukan pada saat pendaftaran benda yang menjadi objek hak tanggungan tersebut dalam buku tanah hak tanggungan. Menurut ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHak Tanggungan, bahwa Sertifikat Hak Tanggungan dimaksud memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Berakhirnya Hak Tanggungan: Hapusnya hak tanggungan diatur Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 UU Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak berlakunya lagi hak tanggungan. Ada empat sebab hapusnya hak tanggungan: 1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan; 2. Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan; 3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; 4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
107 Terdapat enam cara berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan, yaitu : 1. Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh debitur. Disini tidak terjadi cidera janji atau sengketa. 2. Debitur tidak memenuhi tepat pada waktunya, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan sukarela, sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir. 3. Debitur cidera janji. Dengan adanya cidera janji tersebut, maka debitur dapat melakukan parate executie dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir. 4. Debitur cidera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat hak tanggungan ke pengadilan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi utang hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Di sini tidak terjadi gugatan. 5. Debitur cidera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur. Putusan tersebut dapat dieksekusi secara sukarela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian utang piutang berakhir. 6. Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang mengalahkannya dan dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.158 Setelah hak tanggungan hapus, dilakukan pencoretan catatan atau roya hak tanggungan. Pencoretan catatan atau roya hak tanggungan ini dilakukan demi ketertiban administrasi dan tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap hak tanggungan yang bersangkutan yang sudah hapus. Sehubungan dengan itu sekaligus dalam UU Hak Tanggungan ditetapkan prosedur dan jadwal yang jelas
158
Sudikno Mertokusumo, 1996, Eksekusi Objek Hak Tanggungan Permasalahan dan Hambatan,Yogyakarta, h. 35
108 mengenai pelaksanaan pencoretan dan kepada Kantor Pertanahan diberi
hak
tanggungan itu. Menurut Pasal 22 UU Hak Tanggungan setelah hak tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Adapun sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Jika sertifikat sebagaimana dimaksud diatas karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah hak tanggungan. Pencoretan hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar sebagai berikut: 1. Permohonan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan : a) Sertifikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur bahwa hak tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan itu sudah lunas, atau b) Pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan telah dihapus karena piutang yang dijamin perlunasannya dengan hak tanggungan itu telah lunas, atau c) Pernyataan tertulis dari kreditur bahwa kreditur telah melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan. 2. Perintah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat hak tanggungan yang bersangkutan didaftar dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan yang memerintahkan pencoretan hak tanggungan, berhubung kreditur tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud di atas, atau permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa nyang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain.159 Atas dasar itu Kepala Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan hak tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
159
Adrian Sutedi I, op.cit. h. 84
109 undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan pencoretan hak tanggungan tersebut. Pada buku tanah hak tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertifikatnya ditiadakan. Pencatatan serupa dilakukan juga pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut, diserahkan kembali kepada pemegang haknya.160 Bahwa apabila sertifikat hak atas tanah telah dicatat maka akan diserahkan kepada pemegang haknya. Bertitik tolak pada hal tersebut maka mengenai Hak Tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal buku tanah hak tanggungan yaitu pada hari ketujuh setelah Kantor Pertanahan menerima secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Sedangkan mengenai hapusnya hak tanggungan diatur Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 UU Hak Tanggungan.
160
Adrian Sutedi I, op.cit, h. 84-85
110 BAB III PENYELESAIAN SENGKETA YANG TIMBUL DARI PEMBELIAN TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
Penguraian Bab III ini pada hakekatnya untuk menjawab isu hukum pertama. Karena itu penguraiannya sebagai berikut : Terdapat analisis kasus dalam hasil wawancara yang dilakukan tanggal 3 Februari 2014 tentang penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Ada 2 (dua) alternatif penyelesaian sengketa yaitu jalur litigasi dan non litigasi. Penyelesaian sengketa yang dibahas disini adalah penyelesaian sengketa pada jalur non litigasi yaitu proses pengeksekusian objek jaminan pada tahap negosiasi. Pertama, analisis kasus dipecahkan dengan pembenaran teoritik mengenai negosiasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pada kredit bermasalah dengan jaminan hak tanggungan yang dialihkan kepada pihak lain. Kedua, analisis kasus diperkuat dengan pembenaran teoritik mengenai kedudukan hak tanggungan sebagai jaminan kredit pada bank. Ketiga, kemudian analisis kasus tersebut diperjelas dengan pembenaran teoritik
mengenai
kedudukan
kreditur
dalam
perjanjian
dengan
hak
tanggungan.Keempat, selanjutnya analisis kasus didasarkan dengan pembenaran teoritik mengenai kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan. Hasil pembenaran teoritik tersebut disebutkan dalam literature dari Adrian Sutedi, Mariam Darus Badrulzaman, Effendi Perangin, J. Satrio, Herowati
110
111 Poesoko, Subekti, M. Khoidin, Retnowulan Sutantio, Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Kasmir, Achmad Ali, serta Boedi Harsono. Dalam penelitian ini ditemukan data dalam bentuk wawancara yang pada dasarnya mendukung dan melengkapi penelitian yang berkaitan dengan “Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan.” Kasus mengenai penjualan objek jaminan yang dilakukan oleh debitur yang wanprestasi kepada pihak lain pernah terjadi di PT. BPR Bank Kertiawan. Hasil wawancara pada tanggal 3 Februari 2014 mengenai hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Menurut I Wayan Murja, SE., MM selaku Komisaris pada PT. BPR Bank Kertiawan : 1. Bahwa pada tanggal 18 September 2008 telah terjadi suatu kesepakatan perjanjian antara PT. BPR Bank Kertiawan (Kreditur) dengan Developer (Debitur), dalam hal ini perjanjian kredit atas fasilitas kredit berupa kredit Konsumtif sebesar Rp. 400.000.000,- selama jangka waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal 18 September 2008 sampai dengan 18 Desember 2008. Agunan yang dijaminkan adalah 2 bidang tanah milik debitur. Adapun pihak yang terkait dalam perjanjian kredit tersebut adalah : a) PT. BPR BANK KERTIAWAN memberikan pinjaman dana (kredit) sebagai pihak kreditur selanjutnya disebut pihak I. b) Pihak kedua yakni debitur (seorang developer) dengan memberikan agunan yaitu jaminan 2 sertifikat kepemilikan hak atas tanah milik debitur.
112 Alasan debitur meminjam dana (kredit) adalah untuk membangun rumah di atas tanah-tanah milik debitur dengan tujuan nantinya akan di jual kembali kepada pihak lain (user/nasabah/pembeli usaha debitur), sehingga dana hasil penjualan usaha debitur tersebut nantinya akan digunakan untuk melunasi pinjaman kredit debitur. 2. Bahwa Bank telah melakukan penilaian analisis standar kelayakan pemberian kredit sesuai kriteria bank dan memeriksa SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah), guna memeriksa keabsahan sertifikat kepemilikan atas tanah yang diberikan oleh debitur. Hasil analisis dinyatakan permohonan kredit tersebut adalah layak untuk diberikan, maka terlaksanalah pelepasan kredit tersebut berdasarkan perjanjian dan juga pada saat itu dua (2) sertifikat kepemilikan atas tanah dibuatkan menjadi satu Akte Pemberian Hak Tanggungan sehingga menjadi satu sertifikat hak tanggungan,
yang ditandatangani oleh debitur selaku
pemilik tanah, bank selaku pemegang hak tanggungan, dua orang saksi dan juga PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)pada kantor notaris yang wewenangnya meliputi dimana tanah tersebut terletak, atas nama bank dan didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. 3. Bahwa Fasilitas kredit telah didapatkan oleh debitur dan telah dibuatkannya 2 rumah diatas tanah tersebut sesuai alasan perjanjian kredit dan telah dijual kepada pihak lain. Akan tetapi debitur tidak dapat memenuhi kewajiban pelunasan utang kredit sampai pada saat jatuh tempo (wanprestasi). Pihak bank telah mengingatkan debitur dengan cara
113 melakukan pendeketan secara kekeluargaan, via telpon, dan bersamaan dengan itu memberikan Surat Pemberitahuan/SP (Somasi) sesuai dengan koletibitas kredit debitur. Sampai pada akhirnya bank menyatakan bahwa fasilitas pembiayaan kredit yang diberikan kepada debitur adalah Non Perfoming Loan (bermasalah), sehingga mengharuskan melakukan tindakan pengeksekusian terhadap benda jaminan. Menurut Ni Made Sumartini, SE selaku Direktur Utama pada PT. BPR Bank Kertiawan : 1. Bahwa pada kenyataannya tanah-tanah tersebut telah dibebankan hak tanggungan atas nama kreditur (PT. BPR Bank Kertiawan) berdasarkan perjanjian kredit tanggal 18 September 2008 dan sertifikat hak tanggungan yang dimiliki oleh bank. 2. Bahwa bank telah meyatakan pembiayaan fasilitas kredit yang diberikan kepada debitur adalah Non Perfoming Loan (bermasalah) karena tidak memenuhi kewajiban pembayaran sampai saat jatuh tempo berturut-turut 3x (Pasal 5 angka 1 huruf e Ketentuan Perjanjian Kredit Bank). 3. Bahwa dalam Ketentuan Perjanjian Kredit Bank Pasal 6 angka 3 menyatakan “Apabila debitur tidak menyelesaikan kreditnya sebagaimana tersebut, bank berhak mengambil tindakan-tindakan hukum berupa apapun yang dianggap baik atau diharuskan oleh ketentuan bank dan atau Bank Indonesia dan atau ketentuan Undang-Undang / pemerintah yang berlaku. 4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU No. 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun
114 objek tersebut berada. Dalam pasal 7 UU No. 4 Tahun 1996 mencerminkan sifat droit de suite disebut juga zaaksgelovg artinya pemegang hak tanggungan mempunyai hak mengikuti objek hak tanggungan meskipun objek hak tanggungan telah berpindah dan menjadi milik pihak lain. Contoh objek hak tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual dan menjadi milik pihak lain, maka kreditur sebagai pemegang jaminan tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan tersebut jika debitur cidera janji meskipun tanah dan bangunan telah beralih dari milik debitur menjadi milik pihak lain. Menurut I Ketut Sadiasa, Amd selaku Kepala Bidang Kredit pada PT. BPR Bank Kertiawan : 1. Bahwa debitur tidak melakukan pembayaran kredit pada bulan pertama pembayaran tersebut jatuh tempo, sehingga pinjaman atas nama debitur digolongkan masuk dalam kolektibilitas 2 (perhatian khusus). 2. Bahwa bank tidak serta merta melakukan pengeksekusian atas objek jaminan, melainkan mengambil tindakan dalam upaya penyelamatan kredit debitur terlebih dahulu. 3. Atas kondisi tersebut Bank Kertiawan memberikan kebijakan yaitu perubahan (addendum) perjanjian kredit untuk penyelamatan kredit debitur dengan masa laku 1 bulan (18 November 2008 sampai dengan 18 Desember 2008). 4. Bahwa debitur pernah mengajukan restrukturisasi atas pinjaman debitur tersebut dengan cara melakukan pembayaran pokok sekali sebesar Rp.
115 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan perubahan (addendum) atas perjanjian kredit debitur dengan fasilitas kredit sebesar Rp. 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah) masa laku 3 (tiga) bulan yaitu 26 Desember 2008 – 26 Maret 2009. 5. Permohonan perubahan (addendum) atas perjanjian kredit debitur dilakukan kembali karena debitur tidak dapat membayar kewajiban hutangnya dengan masa laku 3 (tiga) bulan yaitu 31 Maret 2009 sampai dengan 30 Juni 2009. Permohonan ini terus dilakukan sampai pada kali terakhir perubahan (addendum) perjanjian kredit dengan masa laku 6 (enam) bulan yaitu 31 Desember 2009 sampai dengan 30 Juni 2010, debitur tidak juga membayar sisa hutang tersebut kepada Bank Kertiawan. 6. Selama masa addendum terakhir tersebut tunggakan atas kewajiban dari debitur sudah menjadi besar dan masuk dalam kolektibilitas kurang lancar. Atas kondisi tersebut Bank Kertiawan telah beberapa kali memberikan surat pemberitahuan kepada debitur mengenai tunggakan yang harus diselesaikan dan suku bunga yang dikenakan. 7. Bahwa sampai pada surat pemberitahuan ketiga debitur tetap tidak mengindahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Bank dengan tetap tidak membayar hutangnya sehingga bank mengambil keputusan untuk mengeksekusi benda jaminan tersebut. Pada saat ini pinjaman debitur masuk pada kolektibilitas diragukan. 8. Sebelum bank hendak melaksanakan permohonan proses pelelangan, ternyata salah satu pihak lain yang telah membeli tanah dan rumah milik
116 debitur, melaporkan debitur sebagai pemilik tanah kepada pihak kepolisian dengan dugaan tindak pidana penggelapan uang pembayaran tanah/rumah. 9. Dengan adanya pelaporan tersebut proses pelelangan terhadap tanah dan rumah yang dijadikan objek jaminan di Bank Kertiawan menjadi terhambat, oleh karena sertifikat hak milik tanah tersebut harus dijadikan barang bukti dalam perkara tersebut, sehingga status tanah dapat digolongkan bersengketa yang berakibat apabila tanah pada posisi bersengketa, maka tidak dapat dilaksanakannya proses pelelangan. 10. Selama menunggu proses penyidikan kepolisian hingga dikembalikannya sertifikat hak milik atas tanah tersebut kepada bank, dalam upaya penyelesaian kredit Bank Kertiawan mengambil tindakan dengan tidak melalui jalur litigasi, tetapi melalui jalur non litigasi yaitu terlebih dahulu bernegosiasi kepada debitur dan kedua pihak lain yang telah membeli tanah dan rumah tersebut. 11. Tindakan Bank Kertiawan tidak hanya pada sebatas bernegosiasi kepada para pihak yang terkait, juga disertai dengan pengajuan permohonan bantuan lelang kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), apabila nantinya penyelesaian kredit macet ini menemui jalan buntu maka objek jaminan dapat langsung dilelang. Kasus pengeksekusian objek hak tanggunganini telah ditangani oleh lembaga lelang berdasarkan permohonan eksekusi No.095/Krd.Adm/X.01/2010 dari Bank Kertiawan yang di dalamnya menyatakan : bahwa fasilitas kredit pembiayaan atas nama debitur tersebut telah dikatagorikan sebagai kredit bermasalah
117 (macet) Non Performing Loan (NPL); bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Pembiayaan maupun syarat-syarat umum Perjanjian Pembiayaan, Bank akan mengupayakan penyelesaian nasabah dengan melakukan penjualan agunan secara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dengan ketentuan hukum yang berlaku; Sehubungan dengan penjualan/pelelangan agunan vide butir 2 diatas, dengan ini PT. BPR BANK KERTIAWAN bertanggungjawab apabila terjadi gugatan perdata atau tuntun pidana yang diajukan oleh pihak manapun. 12. Bank Kertiawan juga meminta TIM Aprrasial terjun ke lapangan untuk menilai harga pasar tanah dan rumah tujuannya adalah menentukan nilai pasar yang wajar dari benda jaminan, dimana nilai pasar yang wajar tersebut terdiri dari nilai yang rendah dan tertinggi. Nilai tersebut nantinya akan dijadikan dasar untuk menjual benda jaminan kepada pihak-pihak yang ikut di dalam pelelangan. Sehingga apabila proses di kepolisian telah selesai dan sertifikat dikembalikan kepada bank, bank dapat langsung melaksanakan pelelangan. Selama proses ini pinjaman debitur masuk pada kolektibilitas kredit macet. 13. Bahwa keputusan tindakan yang diambil oleh Bank Kertiawan dengan menempuh jalur non litigasi yaitu dengan bernegosiasi, mendapatkan hasil salah satu pihak lain bersedia membayar sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah, dengan syarat apabila ia telah membayar hutang debitur/pemilik tanah, tanah dan rumah yang telah dibelinya tidak
118 diikutsertakan di dalam pelelangan dan diberikan bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut kepadanya. 14. Bahwa dengan adanya itikad baik salah satu pihak lain dengan membayar sebagian hutang debitur demi terpenuhinya hak dari pihak lain tersebut, maka tindakan Bank Kertiawan adalah melakukan pengRoyaan terhadap 2 (dua) sertifikat hak milik yang diikat menjadi satu hak tanggungan tersebut, dan membuat perjanjian kredit baru dengan membebankan hak tanggungan pada 1 (satu) sertifikat hak milik atas tanah. Perjanjian baru tersebut tetap mengikat debitur, apabila di dalam perjalanannya debitur tidak dapat kembali membayar hutangnya, maka proses pengeksekusian akan tetap dilakukan. Kemudian wawancara juga dilakukan pada 3 (tiga) Bank Perkreditan Rakyat yang berbeda, guna mendukung jawaban pada isu hukum penelitian ini, yaitu pada PT. BPR Kanti, PT. BPR Bank Padma, PT. BPR Udary: 1. Menurut I Made Arya Amitaba, SE.MM selaku Direktur Utama PT. BPR Kanti, bahwa sependapat mengenai penyelesaian kredit bermasalah diharapkan menempuh jalur non litigasi terlebih dahulu, dengan diadakannya pendekatan secara persuasif (kekeluargaan) kepada para pihak yang terkait. Di samping bertujuan agar kredit macet tersebut dapat cepat teratasi dan tidak berbelit-belit, pihak bank dapat juga mengetahui bagaimana karakteristik nasabah, sehingga menjadi pembelajaran untuk kedepannya agar lebih berhati-hati di dalam memberikan kredit.
119 2. Menurut Cokorda Gede Mahadewa, SE.,MBA.,MM, selaku Direktur Utama PT. BPR Bank Padma, bahwa membenarkan dengan tindakan yang diambil yaitu dengan menempuh cara pendekatan terlebih dahulu. Adanya pendekatan-pendekatan kepada para pihak, menjadikan bank mengetahui bagaiamana duduk permasalahan yang sebenarnya. Walaupun bank pada posisi yang kuat, melihat itikad baik pihak lain tersebut, pihak bank juga memiliki rasa perikemanusiaan dengan tidak melakukan eksekusi secara langsung melainkan mempertimbangkan kembali pemecahan kredit bermasalah tersebut agar tidak merugikan bank terutama, dan tidak juga merugikan pihak-pihak lain yang terkait karena adanya itikad baik tersebut. 3. Menurut Drs. I Made Suarja selaku Direktur PT. BPR Udary, bahwa apabila terjadi permasalahan dalam perkreditan tentunya pihak bank tidak ingin diselesaikan pada jalur pengadilan. Bank mengupayakan sebisa mungkin untuk diselesaikan secara kekeluargaan, karena apabila permasalahan diselesaikan pada jalur pengadilan, selain memakan biaya yang
cukup
banyak,
waktu
yang
cukup
lama
mengakibatkan
bertambahnya kerugian yang dialami bank, serta yang juga menjadi alasan mengapa bank kami setuju untuk menempuh jalur non litigasi terlebih dahulu dalam menangani kredit macet adalah masalah reputasi (nama baik) bank, walaupun kredit macet diketahui murni kesalahan debitur, namun yang dinamakan kredit macet adalah masalah yang timbul pada
120 bank yang bersangkutan, dampaknya tidak sehatnya bank tersebut di mata masyarakat. Berdasarkan kasus yang terjadi di PT. BPR Bank Kertiawan tersebut tedapat suatu hambatan pengeksekusian terhadap objek hak tanggungan dikarenakan debitur yang wanprestasi menjual objek jaminan kepada pihak lain dan pihak lain yang merasa telah membayar lunas tanah dan rumah tersebut tetap ingin mempertahankannya. Tindakan pengeksekusian yang dilakukan oleh bank adalah dengan jalur non litigasi yaitu secara negosiasi terlebih dahulu. Dengan demikian konsekuensi dari pembelian tanah dan rumah yang statusnya masih terbebani hak tanggungan dengan cara hanya membuat perjanjian di bawah tangan walaupun pembelian tersebut telah dilakukan secara lunas, menyebabkan tidak dimilikinya kepastian akan status kepemilikan tanah dan rumah tersebut bagi pihak pembeli, dikarenakan bukti kepemilikan hak atas tanah masih terbebani hak tanggungan pada kreditur (bank). Konsekuensi hukum mengenai hal tersebut adalah berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, yaitu bank berhak untuk mengeksekusi jaminan tersebut apabila debitur tidak membayar hutangnya sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Akan tetapi apabila pihak lain sebagai pembeli tanah dan rumah ingin menyelamatkan tanah dan rumah yang telah dibeli secara lunas agar tidak dieksekusi bank, pihak pembeli dapat membayar lunas hutang debitur sehingga hak tanggungan akan hapus dengan hapusnya hutang tersebut (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan).
121 Mengenai pihak lain yang turut andil dalam pembayaran hutang debitur diatur dalam ketentuan Pasal 1382 ayat (2) KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang”.
3.1 Negosiasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kredit Bermasalah Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Dialihkan Kepada Pihak Lain Penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan perundingan atau pertemuan langsung yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.Para pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar, sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama.Para pihak yang bersengketa tentunya telah berdiskusi atau bermusyawarah sedimikian rupa agar kepentingankepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan atau kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa.Inti sari dari pada kredit adalah kepercayaan, maka menurut falsafah perkreditan yang asli dimana unsur kepercayaan itu sebagai benang merah melintasi pertimbangan perkreditan, maka jaminan kredit bukan merupakan syarat mutlak dalam perkreditan. Konsekuensi adanya perikatan yang dibuat oleh para pihak (kreditur dan debitur), maka hak dan kewajiban sebagai hasil kesepakatan akan mengikat pada pihak kreditur dan debitur, selama masing-masing pihak memenuhi hak dan
122 kewajiban maka perikatan akan berjalan dengan lancar, namun manakala debitur tidak memenuhi kewajibannya dan sampai dapat dikategorikan bahwa debitur wanprestasi/ingkar janji, tentu pihak kreditur akan dirugikan kepentingannya. Bahwa dalam perikatan yang konsekuensinya menimbulkan hak dan kewajiban maka para pihak haruslah memenuhinya, apabila tidak dipenuhi maka akan merugikan salah satu pihak dan akan menimbulkan sengketa. Menurut Gr. Van der Burght, menyatakan dalam teori kehendak yang dapat menimbulkan suatu kesepakatan, yaitu :Ajaran Kehendak (Wilsleer), Pandangan Normatif Van Dunne, Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer).161 Berdasarkan teori tersebut tepatnya teori ajaran kepercayaan, menyatakan bahwa kepercayaan tersebut timbul dari debitur yang sepakat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian kredit dengan kreditur, dan memenuhi segala persyaratan demi terwujudnya suatu perjanjian kredit tersebut, maka timbullah hak dan kewajiban bagi para pihak tersebut. Arti dari kepercayaan tersebut timbul dari pihak debitur, dikarenakan perjanjian kredit ini adalah perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang berlaku dan akan mengikat antara pihak yang saling berkepentingan dan yang isinya dituangkan dalam suatu bentuk tertentu yang dijadikan tolak ukur oleh pihak yang satu tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu dengan pihak lain, tetapi para pihak dianggap telah menyetujuinya. Praktek hukum di masyarakat, untuk menentukan sejak kapan seorang debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam
161
Johanes Ibrahim, loc.cit
123 perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu yang tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi, agar ia memenuhi kewajibannya,
debitur
harus
lebih
dahulu
diberi
teguran
(sommatie/ingebrekestelling).162 Dalam hal perjanjian timbal balik debitur dapat dikategorikan wanprestasi dalam pemenuhan prestasinya, maka kreditur dapat memberikan suatu surat teguran mengenai kewajibannya sebagai peringatan agar debitur dapat segera memenuhi kewajibannya tersebut. Perjanjian kredit telah tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama, demikian pula dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.163 Bahwa dalam suatu perjanjian telah disepakati bersama mengenai nominal kredit, bunga, serta jangka waktu, apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya terdapat sanksi yang harus dipikul oleh debitur. Sebelum kredit diberikan, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya maka bank terlebih dahulu mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman. Pemberian kredit tanpa dianalisis terlebih dahulu akan sangat membahayakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan datadata fiktif sehingga kredit tersebut sebenarnya tidak layak untuk diberikan. Akibatnya jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan akan sulit 162 163
Herowati Poesoko, loc.cit Kasmir, loc.cit
124 untuk ditagih alias macet. Namum faktor salah analisis ini bukanlah merupakan penyebab utama kredit macet. Istilah kredit macet umumnya muncul setelah pihak debitur macet dan gagal melakukan pelunasan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Di dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/267/KEP/DIR jo Surat Edaran Bank Indonesia No.30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif ditetapkan secara tegas penggolongan kualitas kredit, yaitu : a. Lancar (pass), apabila memenuhi kriteria : 1) Pembayaran angsuran pokok dan atau bunga tepat waktu, dan 2) Memiliki mutasi rekening yang aktif, atau 3) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral) b. Dalam perhatian khusus (special mention), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 hari, atau 2) Kadang-kadang dapat cerukan, atau 3) Mutasi rekening relatif aktif, atau 4) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan, atau 5) Didukung oleh pinjaman baru c. Kurang lancar (substandard), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari, atau 2) Terjadi cerukan, atau 3) Frekuensi rekening relatif rendah, atau 4) Terjadi pelanggaran kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari, atau 5) Terdapat indikasi masalah keuangan debiur, atau 6) Dokumentasi pinjaman lemah d. Diragukan (doubtful), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari, atau 2) Terjadi cerukan yang bersifat permanen, atau 3) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari, atau 4) Terjadi kapitalisasi bunga, atau 5) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan
125 e. Macet (loss), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari, atau 2) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau 3) Dari segi hukum kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Berkaitan dengan kasus yang terjadi, pada awalnya kredit debitur termasuk pada golongan kedua tersebut, ciri-cirinya debitur menunggak pembayaran hutang pokok dan/atau bunga berturut-turut selama 3 (tiga) kali. Pada golongan ini tindakan Bank untuk penyelamatan kredit debitur yaitu melalukan pendekatan-pendekatan via telpon dan surat teguran mengenai pembayaran kredit debitur.Pendekatan-pendekatan tersebut tidak diindahkan oleh debitur sehingga kredit debitur masuk pada golongan kurang lancar, didasarkan dengan adanya pelanggaran perjanjian debitur dengan adanya pengalihan objek jaminan tanpa sepengetahuan Bank dan hasil penjualan tersebut tidak diberikan untuk pelunasan hutangnya. Pada tahap selanjutnya, kredit tetap berjalan dan debitur tetap tidak melakukan pembayaran hutangnya, maka kredit memasuki golongan diragukan. Hal ini didasarkan dengan tidak dibayarnya hutang debitur, pihak lain yang telah membeli rumah ingin tetap mempertahankan tanah dan rumah yang menjadi objek jaminan pada Bank, serta terhambatnya proses eksekusi dikarenakan tanah tersebut berstatus sengketa, karena dalam proses penyidikan oleh kepolisian dengan adanya pelaporan tindak pidana penggelapan uang pembelian rumah. Kemudian pada akhirnya kredit debitur ini ditetapkan masuk pada kriteria penggolongan kredit macet. Bank atau lembaga keuangan/pembiayaan manapun tentunya tidak mengharapkan bahwa fasilitas kreditnya kepada nasabah (debitur)
126 akan menjadi kredit yang macet dan diselesaikan melalui pengadilan. Idealnya bagi bank pengembalian fasilitas kredit tersebut dilakukan nasabah debitur dengan lancar dan tepat waktu sesuai dengan apa yang telah dijanjikan. Berdasarkan teori validitas dan efektifitas hukum menurut Achmad Ali yaitu “ketika ingin mengetahui efektivitas dari hukum, maka terlebih dahulu harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum ditaati atau tidak ditaati, jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, maka aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.”164 Dalam perjanjian kredit dan UU Hak Tanggungan telah secara tegas memuat sanksi-sanksi yang diberikan apabila debitur melakukan hal-hal yang tidak sesuai dalam perjanjian.Segala aturan yang termuat dalam perjanjian kredit dan perjanjian jaminan (UU Hak Tanggungan) telah disepakati dan diterima oleh para pihak, kreditur mengharapkan debitur dapat memenuhi prestasinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Namun demikian hal tersebut pada kenyataannya tidak selamanya dapat ditemui. Situasi yang dihadapi kadang sebaliknya dimana fasilitas yang telah diberikan ternyata tidak dapat atau tidak mampu dikembalikan oleh debitur dengan lancar dan tepat waktu, sehingga fasilitas kredit tersebut menjadi macet. Sebagai pihak yang menghadapi masalah, bank memiliki kebebasan untuk menentukan lembaga mana yang akan dipilih untuk penyelesaian sengketa kredit macet dengan nasabahnya. Pihak bank akan mempertimbangkan lembaga
164
Achmad Ali, loc.cit
127 penyelesaian sengketa yang dipandang dapat menyelesaikan secera efektif dan efisien dengan hasil memuaskan. Untuk mengantisipasi kredit macet ini terdapat cara-cara yang efektif agar perjanjian kredit dan perjanjian jaminan tetap terjaga unsur validitasnya. Terdapat 2 (dua) cara yaitu litigasi dan non litigasi. Kreditur sangat mengupayakan agar penyelesaian kredit macet ini tidak sampai pada jalur litigasi, maka upaya efektif yang ditempuh pertama kali adalah jalur non litigasi yaitu negosiasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi pada umumnya hanya digunakan untuk memuaskan hasrat emosional dalam mencari kepuasan pribadi dengan harapan pihak lawan dinyatakan kalah oleh putusan pengadilan. Pada umumnya orang mengajukan gugatan tidak memperhitungkan apakah nilai
yang
disengketakan itu sebanding atau tidak dengan pengorbanan yang dikeluarkan selama menjalani proses persidangan yang begitu panjang. Secara teori, proses litigasi memang lebih memberikan kepastian hukum, karena diputuskan berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki dan putusannya dapat dilaksanakan dengan kekuatan eksekusi (executie power), namun kenyataan dilapangan justru eksekusi yang dianggap sebagai ujung tombak dalam meraih hak atas suatu kemenangan tidak bisa memberikan kenyamanan dalam menikmati hasil kemenangan itu, bahkan pada beberapa kasus eksekusi tidak mampu dijalankan (non eksekutable), karena adanya halangan dan ganggungan yang serius dari pihak termohon eksekusi dan masyarakat luas.
128 Penyelesaian
sengketa
secara
litigasi
di
pengadilan
biasanya
membutuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan, dimulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai pada tingkat Mahkamah Agung, hal ini sudah tentu juga membutuhkan biaya yang cukup besar serta dapat menganggu hubungan pihak-pihak yang bersengketa.165 Berdasarkan hal tersebutlah apabila terjadi persengketaan dalam bidang hukum jaminan, akan ditempuh terlebih dahulu jalur non litigasi atau di luar pengadilan, apabila tidak dapat memecahkan masalah langkah akhir yang dapat dilakukan adalah menempuh jalur pengadilan (litigasi). Tindakan bank yang termasuk cara negosiasi dilakukan pertama kali untuk
mengantisipasi
adanya
kredit
macet
yaitu
melakukan
pengelolaan/pembinaan kredit (credit management) oleh bank pemberi kredit, dengan tujuan untuk mencegah agar kredit yang diberikan oleh bank tidak menjadi macet atau walaupun kredit tersebut menjadi macet masih bisa diupayakan untuk diselamatkan atau dibayar kembali oleh debitur. Dengan kata lain bahwa pengelolaan kredit oleh bank adalah melakukan upaya-upaya preventif agar kredit tidak menjadi macet dan bila kredit akhirnya menjadi macet masih dapat dilakukan upaya-upaya represif agar kredit tersebut dapat diselamatkan atau dibayar kembali oleh debitur. Fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada debitur telah dikatagorikan sebagai kredit bermasalah (macet) atau yang biasa bank menyebutkan sebagai Non Performing Loan (NPL). Karena debitur sama sekali tidak memenuhi
165
Rachmadi Usman, loc.cit
129 kewajibannya hingga melampaui batas waktu kredit jatuh tempo (bank selaku kreditur telah menganggap debitur nonkooperatif) maka bank melakukan tindakan yaitu dengan mengeksekusi benda jaminan dengan cara melelang jaminan tersebut dengan bantuan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Pada kasus ini, Bank tidak langsung membawa kasus ini ke lembaga lelang, melainkan sebelumnya telah dilakukan tindakan–tindakan seperti pendekatan secara persuasif (kekeluargaan), penerbitan edaran surat sesuai dengan tingkat kolektibitas kredit debitur (somasi) tetapi tetap saja debitur tidak mengindahkannya sehingga jalan terakhir yang dapat dilakukan adalah pengeksekusian terhadap benda jaminan. Proses pelaksanaan pengeksekusian dimulai dengan bank meminta bantuan apprasial untuk memohon penilaian terhadap benda jaminan. Apprasial merupakan pihak independen yang dicari oleh bank untuk terjun langsung menilai harga dari pada benda jaminan tersebut yang tujuannya adalah menentukan nilai pasar yang wajar dari benda jaminan, dimana nilai pasar yang wajar tersebut terdiri dari nilai yang rendah dan tertinggi. Nilai tersebut nantinya akan dijadikan dasar untuk menjual benda jaminan kepada pihak-pihak yang ikut di dalam pelelangan. Kedatangan apprasial untuk menilai jaminan, menyebabkan pihak lain (A dan B) merasa terancam tanah beserta rumah yang telah dibelinya kepada debitur akan diambil oleh bank. Sehingga menurut keterangan yang diberikan pihak lain tersebut kepada apprasial, mereka telah melakukan pendekatan kepada debitur, tetapi debitur tidak menanggapi secara positif, sehingga salah satu pihak lain (B) mengambil tindakan untuk melaporkan debitur ke pihak kepolisian berdasarkan
130 Surat Laporan No. LP/376/VI/2010/Dit Reskrim, dalam perkara dugaan tindak pidana penggelapan uang pembayaran tanah/rumah. Sedangkan pihak lain yang satu lagi (A), menyatakan bersedia untuk membayar setengah dari pinjaman debitur kepada bank (latar belakangnya adalah pihak lain di sini merasa hak tanggungan yang dimiliki oleh bank adalah sangat kuat sehingga pihak lain (B) tersebut memilih jalur aman agar tidak mengalami kerugian total). Data dari penilaian jaminan yang didapat appraisal tersebut menjadi salah satu persyaratan yang diajukan kepada lembaga lelang. Setelah data tersebut diajukan tim dari lembaga lelang melakukan pendekatan ke lapangan, tidak serta merta melakukan pelelangan. Hasil dari pendekatan yang dilakukan lembaga lelang inilah, menghasilkan salah satu pihak lain (A) bersedia membayar setengah kewajiban debitur. Apabila kedua pihak lain bersedia memenuhi kewajiban debitur, maka pengeksekusian akan dibatalkan. Mengingat tidak keduanya bersedia memenuhi kewajiban debitur, maka bank tetap menjalankan proses eksekusi walaupun benda jaminan telah dialihkan kepada pihak lain. Hal ini dapat dilakukan karena berdasarkan ketentuan Pasal 7 UndangUndang No. 4 tahun 1996 dengan tegas menyatakan bahwa “Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.Artinya bendabenda yang dijadikan objek Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada tetap terbeban Hak Tanggungan.166 Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah
166
Boedi Harsono II, loc.cit
131 kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat. Dapat dibuktikan bahwa dengan ditempuhnya cara efektif yaitu negosiasi yang dilakukan oleh bank kepada debitur dan pihak lain yang terlibat, sengketa kredit macet dapat diselamatkan dan hak-hak para pihak yang berkepentingan dapat terpenuhi. Dengan demikian perjanjian kredit dan perjanjian jaminan tidak kehilangan unsur validitasnya, adanya cara-cara efektif yang dilakukan oleh pihak kreditur sehingga kredit macet tersebut dapat diselamatkan telah membuktikan bahwa norma-norma yang terkandung dalam perjanjian kredit dan UU Hak Tanggungan adalah norma yang valid diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
3.2 Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Bank adalah lembaga keuangan yang diperlukan yang dapat memberikan dana berupa pinjaman kepada masyarakat untuk pengembangan usahanya. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga keperanataan antara kelompok orang yang untuk sementara mempunyai dana lebih (surplus spending group) dan kelompok orang yang untuk sementara pula kekurangan dana (defisit spending group).167 Arti dari perantaraan menurut Adrian Sutedi tersebut adalah bank menghimpun dana masyarakat dari masyarakat yang untuk sementara kelebihan dana, melalui piranti-pirantinya yaitu giro, tabungan, dan deposito, selanjutnya bank menyalurkan dana masyarakat yang telah terhimpun itu, dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang untuk sementara memerlukan dana. Bahwa bank
167
Adrian Sutedi, loc.cit
132 berposisi sebagai lembaga tempat penyimpanan dana bagi masyarakat yang mempunyai kelebihan dana dan lembaga tempat dimana masyarakat yang membutuhkan dana bank dapat menyalurkan dana yang telah terhimpun dalam bentuk kredit. Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyatakan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat, dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 dinyatakan bahwa “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dalam hal memberikan kredit kepada masyarakat, harus adanya keyakinan dari pihak bank bahwa dana yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya beserta bunganya dan dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama oleh bank dan nasabah yang oleh bank dan nasabah yang bersangkutan di dalam perjanjian kredit.Untuk mengetahui kemampuan dan kemauan nasabah mengembalikan pinjaman dengan tepat waktu,di dalam permohonan kreditbank perlu mengkaji permohonan kredit, yaitu : Character (Kepribadian), Capacity (Kemampuan), Capital (Modal), Collateral (Agunan) Condition Of Economy (Kondisi
133 Ekonomi).168 Bahwa dalam hal pemberian kredit, bank harus mengadakan penilaian terhadap calon debitur, apakah calon debitur tersebut layak untuk diberikan kredit atau tidak, standarisasi penilaian kelayakan pemberian kredit pada bank dapat dilihat dari kepribadian calon debitur, kemampuan akan membayar kewajiban setiap bulannya, penghasilan yang diperoleh calon debitur, jaminan yang akan diberikan, serta kondisi dan keadaan calon debitur. Di antara kelima tersebut diatas, salah satunya adalah Collateral yaitu berupa barang-barang yang diserahkan oleh debitur kepada bank selaku kreditur sebagai
jaminan
terhadap
pembayaran
kembali
atas
kredit
yang
diterimanya.Jaminan adalah suatu tanggungan untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur.169 Bahwa jaminan adalah tanggungan yang fungsinya sebagai pengamanan pelunasan kredit kepada bank, apabila terjadi kredit macet, jaminan inilah yang akan dijual oleh bank untuk pelunasan hutang debitur. Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, sebab tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur.170 Bahwa dengan memberikan tanah sebagai jaminan untuk pemberian kredit, akan menjadikan posisi bank semakin aman, karena tanah tidak dapat berpindah-pindah, dan mempunyai tanda bukti hak yang sulit untuk
168
Kasmir, loc.cit Mariam Darus Badrulzaman II, loc.cit 170 Effendi Perangin, loc.cit 169
134 digelapkan serta apabila dibebani hak tanggungan akan memberikan kedudukan kreditur yang diutamakan untuk mendapatkan pelunasan hutang jika terjadi kredit macet. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa: Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda tidak bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan kreditur lainnya. Ciri-ciri yang menonjol dari hak tanggungan yang menyebabkan memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat berupa pinjaman kredit adalah:Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference);Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada;Hak Tanggungan bersifat mutlak;Mudah dan pasti dalam eksekusinya.171 Hak tanggungan yang lahirnya dari perjanjian merupakan salah satu lembaga hak jaminan kebendaan, hak tanggungan merupakan hak jaminan 171
Adrian Sutedi I, loc.cit
135 khusus, karena dalam hak tanggungan terdapat benda tertentu yaitu hak-hak atas tanah yang dijanjikan secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang tertentu.172 Bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang diberikan oleh debitur sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Kreditur-kreditur yang tidak memperjanjikan hak jaminan khusus, seperti kreditor konkuren, yang pada asasnya berkedudukan sama tinggi, mereka harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pelunasan atas hasil eksekusi harta debitur, sedangkan kreditur yang memperjanjikan hak jaminan memberikan suatu kedudukan yang lebih baik kepada kreditor yang memperjanjikannya.173 Apabila kreditur tidak membuat perjanjian jaminan maka kreditur akan berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang akibatnya jika terjadi kredit macet posisinya sejajar dengan kreditur yang lainnya, sebaliknya apabila kreditur memperjanjikan hak jaminan maka kedudukannya akan kuat dan diutamakan dengan kreditur lainnya. Hak jaminan kebendaan juga memberikan kemudahan kepada kreditur yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan, karena kepada krediturdiberikan hak parate eksekusi.174 Bahwa apabila terjadi kemacetan terhadap kredit debitur, kreditur diberikan kemudahan untuk menjual dengan perantara lelang objek jaminan untuk mengambil pelunasan hutang debitur serta berkedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya.Jadi, hak tanggungan disini adalah bentuk dari perjanjian jaminan setelah perjanjian kredit disepakati, dapat diartikan
172
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung. (Selanjutnya disingkat dengan J. Satrio II) h.278 173 Ibid 174 J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya sisingkat J. Satrio III). h.7
136 sebagai bentuk keyakinan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur di dalam pelunasan hutangnya dikemudian hari.
3.3 Kedudukan Kreditur Dalam Penjaminan Dengan Hak Tanggungan Kedudukan kreditur dalam hal penjaminan dengan hak tanggungan dapat diartikan sebagai jaminan hukum yang diberikan kepada kreditur dari krediturkreditur lainnya, mengajukan hak untuk didahulukan dalam pelunasan hutang yang menjadi prioritas hak dari kreditur yang ingin didahulukan dengan kreditur lainnya.Pada asasnya janji menimbulkan perikatan, terutama adanya kesepakatan kehendak yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak tersebut. Perjanjian yang disepakati oleh para pihak akan menimbulkan hubungan hukum yang mengikat para pihak, serta menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Perjanjian termasuk kategori perjanjian obligatoir dan karenanya melahirkan hak perorangan yang diatur dalam Buku III Burgelijk Wetboek (selanjutnya disingkat B.W.), menimbulkan akibat hukum bagi masing-masing para pihak selain terikat kepada janjinya, juga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak secara timbal balik.175 Bahwa konsekuensi dari perjanjian yang telah disepakati menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan mengikat para pihak sampai batas waktu yang telah disepakati bersama.
175
Herowati Poesoko, loc.cit
137 Dalam Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan “segala benda pihak yang berutang, baik yang bergerak maupun yang takbergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.” Undang-Undang memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam keududukan yang sama, dari Pasal 1131 KUHPerdata dapat disimpulkan asas-asas hubungan ekstern kreditur sebagai berikut: 1. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harta kekayaan debitur; 2. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditur; dan 3. Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, tidakdengan “person debitur”.176 Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan Haftung).177 Bahwa asas ini menitikberatkan kepada tanggungjawab debitur apabila tidak dapat memenuhi pembayaran kewajibannya, debitur harus memberikan benda harta kekayaan untuk melunasi kewajibannya tersebut. Asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum perikatan, dimana setiap orang memberikan hutang kepada seseorangpercaya, bahwa ia akan memenuhi prestasinya dikemudian hari, setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh pembentuk Undang-Undang dikuatkan sebagai norma hukum.178 Bahwa asas ini sangat penting bagi hukum perikatan, adanya
176
J. Satrio I, loc.cit Mariam Darus Badrulzaman, loc.cit 178 Mariam Darus Badrulzaman, loc.cit 177
138 tanggungjawab berupa kewajiban yang harus dipenuhi debitur untuk memenuhi prestasi setelah ia diberikan suatu hak yaitu kredit. Pada Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Apabila dalam perjanjian terdapat seorang debitur yang mempunyai beberapa kreditur, maka kedudukan para kreditur ini adalah sama, para kreditur ini dibayar berdasarkan asas keseimbangan, yang masing-masing memperoleh piutangnya seimbang dengan piutang kreditur lain (asas nonpondspondsgewijs), jika kekayaan debitur tidak mampu untuk dipergunakan melunasi hutang debitur dengan sempurna. Bahwa apabila dalam perjanjian terdapat beberapa kreditur maka kedudukan para kreditur adalah sama, dalam hal kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi hutang seluruhnya maka pembayaran pelunasan hutang kepada para kreditur akan dibagi berdasarkan asas keseimbangan, sehingga masing-masing mendapatkan pelunasan hutang yang seimbang. Adapun dimaksud perkecualian dalam Pasal 1132 KUHPerdata adalah bahwa undang-undang mengadakan penyimpangan terhadap asas keseimbangan ini, jika ada perjanjian atau jika undang-undang menentukan.Penyimpangan yang terjadi melalui perjanjian ialah jika ada perjanjian jaminan kebendaan sedangkan penyimpangan karena undang-undang dinamakan privilege yaitu bukan merupakan hak kebendaan, hanya merupakan hak untuk mendahulukan dalam
139 pelunasan/pembayaran piutang.179 Bahwa penyimpangan yang dimaksud karena perjanjian yaitu adanya perjanjian jaminan, sedangkan penyimpangan karena undang-undang yaitu adanya kedudukan istimewa kreditur terhadap kreditur lainnya.Landasan bagi sahnya hak didahulukan dari pada kreditur-kreditur yang lain yaitu adanya hak didahulukan, hak ini dapat diperoleh dengan adanya perjanjian khusus antara debitur dan kreditur.180 Artinya perjanjian khusus disini adalah perjanjian jaminan yang memastikan atau memberikan kedudukan istimewa mendahului kepada kreditur dengan kreditur-kreditur lainnya. Hak kreditur yang bentuknya prestasi sebagai kewajiban debitur dalam menyerahkan pengembalian uang beserta bunganya kepada kreditur, masih menunggu realisasinya dikemudian hari sesuai waktu yang disepakati, apabila debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya, maka posisi kreditur menjadi rawan akan kerugian yang diderita, terlebih lagi perjanjian kredit hanya sebagai suatu perikatan yang hanya melahirkan hak perseorangan, yang sifatnya relatif dan kedudukan kreditur sekedar sebagai kreditur konkuren.181 Bahwa kreditur dalam hal ini bank tentunya bertindak hati-hati dan menghindar sebagai kreditur konkuren, maka perlu mendayagunakan ketentuan-ketentuan tentang lembaga jaminan, untuk mengantisipasi resiko manakala debitur tidak memenuhi prestasinya yang akan merugikan kreditur. Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Dengan demikian perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan kreditur penerima tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi 179
Herowati Poesoko, loc.cit Herowati Poesoko, loc.cit 181 J. Satrio III, op.cit. h.84 180
140 tanggungan.Menurut Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996 bahwa Hak Tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap krediturkreditur lain. Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:182 1) Dapat dinilai dengan uang; 2) Harus memenuhi syarat publisistas; 3) Mempunyai sifat droit de suite apabila debitur cidera janji; 4) Memerlukan penunjukkan menurut UU.
Berkaitan dengan hal di atas yang dapat dijadikan objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan menurut ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrariaadalah : hak milik (Pasal 25), hak guna usaha (Pasal 33), hak guna bangunan (Pasal39), hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan (Pasal 41).
182
Salim HS, loc.cit
141 Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitur dengan kreditur. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditur dan debitur, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitur, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya, maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya. Kredit yang diberikan oleh kreditur mengandung resiko, dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Maka dari itu diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitur melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan. Para pihak (debitur, kreditur) selalu dibebani hak dan kewajiban. Suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut : sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hakhak atau manfaat, yang diperoleh oleh pihak lain, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.183 Dalam suatu perikatan yang menimbulkan hubungan hukum berkonsekuensi dengan adanya
183
Subekti I, loc.cit
142 hak dan kewajiban yang dipikul oleh para pihak, keduanya harus dipenuhi sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama. Jadi, hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Maksud dari kreditur diutamakan dari kreditur lainnya, yaitu apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitur. Kedudukan diutamakan tersebut tidak mempengaruhi pelunasan utang debitur terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (objek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitur cidera janji. Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut, kemudian hak tanggungan juga tetap membebani objek hak tanggungan di tangan siapa pun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, walaupun telah dipindahtangankan haknya kepada pihak lain (droit de suite).Bahwa kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan ini sangat istimewa yaitu dengan diberinya kedudukan yang diutamakan serta dilindungi oleh adanya
143 sifat droit de suite yaitu hak tanggungan tetap melekat pada objek hak tanggungan dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Kreditur dapat mengajukan actio pauliana, yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan debitur yang dianggap merugikan dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur.184 Bahwa apabila terjadi kenakalan yang dilakukan oleh debitur dengan pengalihan tanpa sepengetahuan kreditur, maka kreditur memperoleh hak untuk membatalkan segala tindakan hukum debitur yang dianggap merugikan kreditur. Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditur tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkan dari praktik-praktik nakal debitur atau kelalaian debitur.Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian tanggungan seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditur dapat pula mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitur tanpa izin kreditur.
3.4 Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan Kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan dapat dikatakan sebagai tanda bukti suatu hak atas tanah yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang sama seperti putusan pengadilan, memiliki daya paksa apabila debitur wanprestasi siap untuk dilakukannya pelaksanaan putusan layaknya putusan pengadilan.
184
Adrian Sutedi, loc.cit
144 Kekuatan eksekutorial tercermin dari adanya irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Jaminan adalah hak suatu benda yang diberikan oleh debitur (berhutang) dan atau pihak ketiga kepada kreditur (berpiutang) sebagai tanggungan yang diberikan debitur untuk menjamin pembayaran hutang debitur
dalam suatu
perjanjian.Perjanjian jaminan timbul karena adanya perjanjian pokok, perjanjian jaminan tidak dapat terlepas dari perjanjian pokok (sifat asessoir).Adanya perjanjian pokok antara kreditur dan debitur maka kegunaan perjanjian jaminan adalah untuk mengamankan kreditur manakala debitur wanprestasi, benda yang dijadikan jaminan itulah sebagai penjaminnya. Penjaminan adalah sebentuk pengalihan hak, dengan kondisi apabila si terjamin telah membayar si berpiutang sesuai dengan kewajiban tertulisnya, maka pengalihan haknya secara otomatis menajdi nihil.185 Penjaminan ini mengikuti utangnya, sehingga jika piutangnya diperjual belikan, maka otomatis hak pertanggungannya juga beralih ke pihak yang mendapatkan pengalihan hak tagih.Menjaminkan suatu benda berarti melepaskan kekuasaan atas benda tersebut.Kekuasaan
untuk
menjamin
hutangnya
yang
akan
dilepaskan.
Penjaminan merupakan pengalihan hak atas benda jaminan yang hanya sementara sepanjang piutang kreditur belum lunas, pengalihan dilakukan dari debitur ke kreditur, apabila debitur wanprestasi kreditur diberi hak untuk menjual benda jaminan itu guna pelunasan hutang debitur, namun sebaliknya apabilapiutang
185
M. Khoidin, loc.cit
145 tersebut lunas maka posisi hak tersebut kembali kepada debitur. 186 Bahwa pemberian hak atas suatu benda kepada kreditur hanya sebatas memberikan jaminan bahwa kredit yang telah diberikan kreditur akan dibayar oleh debitur sesuai waktu yang telah disepakati, apabila kredit tersebut telah lunas, maka hak tersebut akan kembali menjadi milik debitur, namun sebaliknya apabila debitur wanprestasi maka benda tersebut dapat dijual oleh kreditur untuk pelunasan hutang debitur. Pihak kreditur mempunyai hak untuk menuntut agar debitur memenuhi kewajibannya dan dimungkinkan menggunakan daya paksa sebagaimana yang diatur oleh hukum apabila terjadi hal bahwa debitur wanprestasi/ingkar janji.187 Berarti
apabila
debitur
wanprestasi/ingkar
janji
terhadap
pembayaran
kewajibannya maka kreditur dapat mengeksekusi objek jaminan tanpa memerlukan izin debitur. Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau mejalankan keputusan pengadilan.188 Retnowulan Sutantio mengartikan eksekusi sebagai “pelaksanaan putusan”, yaitu pihak yang dimenangkan putusan dapat
memohon “pelaksanaan putusan” kepada pengadilan
yang akan
melaksanakannya secara paksa (execution force).189 Bahwa pengeksekusian dapat dilakukan secara paksa oleh pihak pengadilan hal tersebut berdasarkan hasil putusan pengadilan yang dimenangkan oleh para pihak tersebut. Sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang 186
Herowati Poesoko, loc.cit Herowati Poesoko, loc.cit 188 Retnowulan Sutantio, loc.cit 189 Retnowulan Sutantio, loc.cit 187
146 Maha Esa”. Sepanjang mengenai hak atas tanah, sertifikat hak tanggungan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek.190 Kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan didasari dengan adanya irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UU Hak Tanggungan. Eksekusi objek jaminan yang adalah pelaksanaan hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan, apabila debitur cidera janji dengan cara penjualan objek jaminan untuk pelunasan piutangnya,maka dari itu dapat dikatakan eksekusi tidak hanya berkaitan dengan putusan pengadilan dan groose acte melainkan istilah eksekusi terdapat di bidang hukum jaminan. Bahwa dalam hal terjadinya cidera janji oleh debitur, maka kreditur dapat mengeksekusi dengan menjual objek jaminan yang digunakan untuk pelunasan piutangnya. Dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Hal ini menegaskan bahwa kreditur diberikan hak khusus untuk menjual atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji. Hak kreditur pertama untuk menjual barangbarang tertentu milik debitur secara lelang tanpa terlebih dahulu mendapatkan fiat
190
Adrian Sutedi I, loc.cit
147 pengadilan disebut Parate Executie. Hak adalah hak khususyang diberikan oleh kreditur pertama, secara pertama diberikan hak untuk
melakukan penjualan
secara lelang tanpa mendapatkan fiat pengadilan terhadap objek jaminan untuk pemenuhan pembayaran hutang debitur. Maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sertifikat hak tanggungan sebagai perjanjian jaminan ini memberikan perlindungan terhadap kedudukan kreditur apabila terjadi sengketa serta memberikan hak khusus yaitu hak pertama kreditur untuk menjual barang yang dijadikan jaminan oleh debitur melalui lelang karena sertifikat hak tanggungan ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan tanpa terlebih dahulu mendapatkan fiat pengadilan.
148 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN PIHAK PEMBELI TANAH
Pada bab ini, akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik. Pembelian tanah walaupun dilakukan dengan perjanjian di bawah tangan yang dilakukan oleh pihak pembeli dengan penjual/pemilik tanah, telah menimbulkan suatu perbuatan hukum yang berakibat adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi diantara kedua pihak tersebut.Dalam hal ini pihak pembeli telah memberikan prestasi kepada penjual dalam bentuk pembayaran lunas tanah beserta rumah, tetapi penjual/pemilik tanah belum memberikan sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Pada kenyataannya sertifikat tanah tersebut telah dibebankan hak tanggungan pada PT. BPR Bank Kertiawan.Pemilik tanah berkedudukan sebagai debitur pada Bank Kertiawan tidak dapat melunasi kewajiban hutangnya, sehingga mengharuskan bank untuk melakukan pelelangan untuk melunasi hutang debitur. Melihat kondisi tersebut pembeli tanah beritikad baik dengan membayar sebagian hutang debitur. Adanya itikad baik pembeli tanah mengakibatkan tidak dilakukannya proses pelelangan dan pihak pembeli tanah mendapatkan perlindungan terhadap kedudukannya. Adanya pembenaran teoritik sebagaimana disebutkan dalam literature Soedharyo Soimin, Rachmadi Usman, D.Y Witanto. Deskripsi selanjutnya sebagai berikut :
148
149 1. Pembelian tanah yang dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan dengan membayar lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Pembelian tanah dan rumah secara lunas dan perjanjiannya dilakukan di bawah tangan tidak memberikan kekuatan kepastian hukum mengenai status kepemilikan tanah bagi pihak pembeli, terlebih lagi status tanah sedang menjadi jaminan dan pada proses sengketa dikarenakan debitur/pihak pemilik tanah wanprestasi kepada kreditur/bank. 2. Perlindungan hukum pihak pembeli tanah dengan pembelian pembayaran lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan. Adanya itikad baik pihak pembeli untuk membayar hutang debitur/pemilik tanah kepada kreditur/bank, maka perlindungan hukum pihak pembeli tanah yaitu sebagai kreditur layaknya kreditur konkuren dari piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank.
4.1 Pembelian Tanah Yang Dilakukan Dengan Perjanjian Dibawah Tangan Dengan Membayar Lunas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan Pengantar : 1. Jual Beli hak atas tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah; 2. Atas Dasar tersebut menjadikan bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah kemudian dibuatkannya dalam bentuk Akta Perjanjian Jual Beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;
150 3. Jual beli hak atas tanah yang dibuat hanya dalam bentuk perjanjian di bawah tangan akan berakibat tidak dimilikinya kepastian hukum mengenai status kepemilikan tanah bagi pihak pembeli. 4. Jika perjanjian jual beli hak atas tanah yang dilakukan di bawah tangan dihadapkan dengan sertifikat hak tanggungan yang dimiliki oleh bank, maka perjanjian jual beli tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sebagai pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Suatu perbuatan dimana seorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela sering disebut dengan istilah jual beli.Terdapat 2 (dua) pihak dalam jual beli, yaitu pihak penjual (pemilik barang) dan pihak pembeli (yang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang dari penjual). Dalam ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan “jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Terdapatnya hak dan kewajiban masing-masing yang diperoleh para pihak dalam jual beli tersebut.Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual, sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual. Jual beli adalah suatu persetujuan kehendak, antara penjual/pembeli mengenai suatu barang dan harga, karena tidak mungkin terjadi jual beli tanpa barang yang akan dijual dan tanpa harga yang dapat disetujui antara dua belah pihak.191 Apabila tidak tercapainya kesepakatan, maka
191
Soedharyo Soimin, loc.cit
151 jual beli tidak akan pernah ada atau tidak akan terlaksana karena awal adanya perbuatan hukum jual beli ini adalah dengan tercapainya persetujuan kehendak untuk menjual barang yang dimiliki penjual, dan menentukan harga yang akan diberikan oleh pembeli untuk mendapatkan barang tersebut. Jual beliini hanya bersifat obligatoir, termasuk dalam perikatan yang dianut di dalam Hukum Perdata. Perjanjian jual beli meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui, dan di sebelah lain meletakkan kewajiban kepeda si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya, hal tersebut merupakan suatu hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak, penjual dan pembeli.192 Pasal 19 UU Hak Tanggungan menentukan bahwa “jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT).” Artinya, jual beli hak atas tanah harus dilakukan di hadapan PPAT.Hal demikian sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah, dan selanjutnya PPAT membuat akta jual beli. Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akte dibuatnya.” Jadi, yang membuat akta jual beli adalah pejabat umum.Pejabat ini ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.
192
Soedharyo Soimin, loc.cit
152 Benda-benda yang diperjualbelikan adalah harus benda-benda yang berwujud saja.193 Dengan kata lain segala sesuatu yang dapat dijadikan objek jual beli itu adalah harta benda atau harta kekayaan, atau segala sesuatu yang bernilai kekayaan, termasuk pula misalnya perusahaan dagang, warisan, atau segala benda yang dapat bernilai harta kekayaan. Ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.” Dengan demikian objek suatu persetujuan dapat dijadikan objek jual beli, jual beli terjadi setelah hak milik itu berpindah sesudah barang yang dibeli itu diserahkan.Sebelum dilakukan “balik nama” hak atas tanah tersebut belum beralih/pindah kepada pembeli, hal ini berarti pemindahan hak atas tanah masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang berupa penyerahan (levering) yang harus dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang.194 Terdapat penyimpangan dari aturan ini, yaitu adanya itikad tidak baik yang dilakukan debitur/pemilik tanah dengan pihak kreditur/bank serta pihak lain selaku pembeli tanah. Jual beli hak atas tanah hanya dilakukan dengan membuat perjanjian di bawah tangan, dan keteledoran pihak pembeli tanah telah memberikan pelunasan harga tanah dan rumah tersebut.Hasil pembayaran yang diberikan kepada pihak pembeli tanah tidak diberikan kepada bank untuk pelunasan kredit debitur/pemilik tanah yang pada akhirnya tanah dan bangunan haruslah dieksekusi guna untuk melunasi kredit debitur/pemilik tanah. Peralihan hak atas tanah, pemerintah telah mengaturnya untuk harus dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat 193 194
Soedharyo Soimin,loc.cit Wntijk Saleh, loc.cit
153 PPAT) karena peralihan hak atas tanah tidak sama dengan peralihan benda-benda lainnya, yang biasa secara dibawah tangan bahkan secara lisan.195 Dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang masih melakukan peralihan hak, seperti jual beli hanya di bawah tangan tidak dilakukan dengan akta PPAT. Jual beli tersebut hanya dilakukan dengan cara membayar lunas harga tanah dan diserahkan sertifikatnya dengan bukti pembayaran berupa kuitansi. Pembeli merasa telah cukup dengan menerima sertifikat dan tanah dikuasai, meskipun dalam sertifikat tersebut masih tercantum nama pemilik lama. Jual beli yang hanya dilakukan di bawah tangan demikian tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran peralihan hak untuk balik nama atas nama pembeli. Agar jual beli dimaksud dapat dilakukan pendaftaran peralihannya di Kantor Pertanahan, maka jual beli tersebut harus dibuat dengan akta jual beli oleh PPAT, termasuk perbuatan hukum peralihan lainnya. Pada kasus yang terjadi, Perjanjian Jual Beli yang dibuat dibawah tangan dan bukti pembayaran lunas tanah dan rumah yang dimiliki pihak pembeli tanah, tidaklah memiliki kekuatan hukum yang kuat bagi kedudukan pembeli tanah sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah apabila dihadapkan dengan sertifikat hak tanggungan yang dimiliki oleh bank, karena pada kenyataannya sebelum dibangunnya rumah pada tanah milik debitur/pemilik tanah, debitur memberikan agunan 2 sertifikat hak milik tanah tersebut pada bank untuk dijadikan jaminan atas fasilitas kredit yang telah diberikan oleh bank dan mengikatnya menjadi satu hak tanggungan.
195
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, loc.cit
154 Pemberian hak tanggungan terjadi bilamana sebelumnya didahului adanya perjanjian pokok berupa perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan, sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan hak tanggungan. Perjanjian pokok yang telah dilakukan antara kreditur (bank) dan debitur (pemilik tanah) untuk memperoleh fasilitas kredit ini adalah perjanjian kredit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak kemudian diikuti dengan pengikatan jaminan yaitu pembebanan hak tanggungan atas jaminan yang diberikan debitur/pemilik tanah. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan bahwa “utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.” Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan, sepanjang dalam perjanjian kredit sudah ditentukan (tertentu) jumlah pinjamannya, maka hak tanggungan dapat menjamin utang yang belum ada, tetapi sudah diperjanjikan dalam perjanjian kredit, yang kemudian hari akan melahirkan perjanjian utang piutang secara riil. Bahwa hak tanggungan juga mencakup hutang yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan dalam perjanjian kredit, seperti jumlah bunga yang akan dibayar setiap bulannya. Dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
155 objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Hal ini menegaskan bahwa kreditur diberikan hak khusus untuk menjual atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji. Kemudian pada Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang menegaskan “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.” Artinya benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbebani Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada.Pasal 20 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa “apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditur lain.” Sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sertifikat hak tanggungan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.196 Kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan didasari dengan adanya irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan
196
Adrian Sutedi, loc.cit
156 pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UU Hak Tanggungan. Dengan adanya ketentuan tersebut diatas kreditur (bank) sebagai pemegang hak tanggungan, apabila debitur wanprestasi dapat melakukan eksekusi dengan penjualan benda jaminan secara langsung melalui kantor lelang negara tanpa perlu persetujuan pemilik jaminan.Perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh debitur lambat laun pasti akan menyebabkan kredit bermasalah pada bank. Apabila kredit bermasalah tidak ditangani secara tuntas, dikhawatirkan dapat menjadi salah satu penghambat pertumbuhan kredit perbankan yang pada gilirannya dapat mengganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi. Kredit bermasalah harus secepatnya diselesaikan agar kerugian yang lebih besar dapat dihindari. Apabila kredit tetap tidak dapat diselamatkan untuk menjadi lancar kembali, maka bank akan mengambil tindakan untuk mengeksekusi benda jaminan. Pada saat ini bank kami sedang dihadapkan dengan kredit bermasalah yang diakibatkan oleh debitur wanprestasi, juga dihadapkan dengan permasalahan didalam mengeksekusi benda jaminannya karena telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain. Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, bank memang memiliki hak untuk mengeksekusi jaminan tersebut apabila debitur tidak membayar lunas hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dan apabila objek jaminan telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain dalam hal ini bank akan terlindungi dengan adanya Pasal 7 UU Hak Tanggungan, yakni benda-benda yang menjadi objek hak tanggungan akan selalu terbebani hak tanggungan walaupun di tangan siapapun
157 objek tersebut berada. Akan tetapi apabila pihak pembeli tanah ingin menyelamatkan tanahnya, pihak pembeli tanah dapat melalukannya dengan cara membayar lunas hutang debitur sehingga hak tanggungan tersebut hapus karena hapusnya utang piutang tersebut (pasal 18 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1382 ayat 2 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau, jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang”. Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan Haftung).197 Asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum perikatan, dimana adanya kepercayaan dari setiap orang yang memberikan hutang kepada seseorang,yakni percaya debitur akan memenuhi prestasinya dikemudian hari, setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh pembentuk Undang-Undang dikuatkan sebagai norma hukum. Pada dasarnya yang menyebabkan kredit macet, sebernarnya murni dari debitur itu sendiri karena melalaikan kewajibannya dan debiturlah yang seharusnya bertanggungjawab atas kelalaian yang telah dilakukannya. Istilah tanggungjawab negara dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu ; Responsibility: lebih menunjuk kepada idikator penentu lahirnya tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu 197
Mariam Darus Badrulzaman, loc.cit
158 dalam bentuk kewajiban yang harus diataati serta lahirnya suatu tanggungjawab, serta Liability: lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggungjawab yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu pemulihan (legal redress).198 Oleh sebab debitur/pemilik tanah melepas tanggungjawabnya, pihak pembeli tanah yang merasa posisinya terdesak bersedia untuk memikul sebagian tanggungjawab debitur/pemilik tanah. Melihat dari adanya itikad baik pembeli tanah, maka bank memberikan kebijakan dengan adanya penggantian perjanjian kredit lama dengan yang baru kemudian diikuti dengan peng-royaan terhadap sertifikat hak tanggungan dan diikat kembali dengan hak tanggungan untuk 1 (satu) bidang tanah yang tersisa, dengan konsekuensi pihak pembeli tanah yang bersedia membayar hutang debitur sebagian, akan mendapatkan haknya yaitu diberikan sertifikat kepemilikan tanah untuk menjalankan proses balik nama, dan untuk sebagian hutang debitur/pemilik tanah bank akan tetap menjalankan proses eksekusi apabila dalam perjalanannya sebagian hutang debitur yang baru nantinya mengalami kemacetan seperti kredit yang sebelumnya. Bertitik
tolak
mengenai
hal
tersebut
dapat
dikatakan
bahwa
debitur/pemilik tanah tidak dapat terlepas begitu saja dengan tanggungjawabnya. Tindakan diam debitur/pemilik tanah pada saat proses pengeksekusian menimbulkan tanggung jawab baru bagi debitur/pemilik tanah. Debitur/pemilik tanah pada saai ini memiliki tanggung jawab (liability) tambahan yakni : 1. Tanggung jawab terhadap bank untuk melanjutkan sebagian hutang yang belum terlunasi; 198
Ida Bagus Wyasa Putra, loc.cit
159 2. Tanggung jawab mengenai pengembalian uang dari pihak pembeli tanah yang timbul karena 1 (satu) pihak pembeli tanah bersedia membayar hutang debitur sebagian; 3. Tanggung jawab dalam ranah hukum pidana, yang timbul dikarenakan pihak pembeli tanah ke-2 (dua) mengambil tindakan melaporkan kepada pihak kepolisian berdasarkan Surat Laporan No. LP/376/VI/2010/Dit Reskrim, dalam perkara dugaan tindak pidana penggelapan uang pembayaran tanah/rumah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembelian tanah dengan perjanjian di bawah tangan dengan membayar lunas tanah yang sedang dibebani hak tanggungan, berakibat pembeli tanah tidak dapat menggunakan jalur hukum memaksa untuk menyelamatkan tanah dan rumah yang telah dibelinya, karena pihak pembeli tanah ini berada pada posisi yang sangat lemah, disebabkan tidak dimilikinya kepastian terhadap status kepemilikan tanah yang kuat, yang hanya dapat menggunakan jalur hukum memaksa debitur untuk membayar hutangnya berdasarkan perjanjian utang piutang hanyalah bank dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
4.2 Perlindungan Hukum Pihak Pembeli Tanah Dengan Pembelian Pembayaran Lunas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan Pengantar : 1. Sengekta yang ditimbulkan dari adanya itikad tidak baik salah satu pihak (debitur/pemilik tanah) dalam perjanjian dapat diselesaikan dengan melalui jalur litigasi (pengadilan) atau non litigasi (di luar pengadilan).
160 2. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak, baik dalam pembuatan ataupun pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapatkan perlindungan. 3. Itikad baik yang dilakukan oleh pihak pembeli tanah dengan membayar sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah kepada bank, mendapatkan perlindungan dalam hal penanggungan (Pasal 1491 dan 1492 KUH Perdata) dan ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). Terjadinya sengketa yang timbul karena adanya itikad tidak baik dari debitur yaitu wanprestasi terhadap bank dan wanprestasi terhadap pembeli tanah yang telah membayar lunas tanah dan rumah tersebut, dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun luar pengadilan, yang lazim disebut Alternative Dispue Resolution (ADR) (Alternatif Pengelesaian Sengketa). Pembuatan perjanjianperjanjian sehingga melahirkan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara para pihak tersebut haruslah memberikan kepastian hukum diantara mereka yang membuat perjanjian agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkait.Berdasarkan teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu: Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.199 Pada perjanjian kredit dengan penjaminan hak tanggungan antara kreditur dan debitur, telah tercantum jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak 199
Peter Mahmud Marzuki, loc.cit
161 yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Mengenai kepastian dalam keamanan hukum, kreditur sebagai pemegang hak tanggungan mendapatkan kepastian terhadap kedudukannya di dalam pengambilan pelunasan piutangnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa: Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur lainnya. Pemegang hak tanggungan berkedudukan sebagai kreditur preferent dan dengan sendirinya mempunyai hak preferensi terhadap kreditur-kreditur lain (doit de preference).200 Kedudukan sebagai kreditur preferent berarti kreditur yang bersangkutan didahulukan di dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi benda pemberi jaminan tertentu yang dalam hubungannya dengan hak tanggungan secara khusus diperikatkan untuk menjamin tagihan kreditur.201 Dengan demikian kedudukan sebagai kreditur preferent baru mempunyai peranannya dalam suatu eksekusi. Pada sisi lain pada perjanjian Jual Beli yang dilakukan oleh debitur sebagai pemilik tanah dengan pembeli tanah A dan B dilakukannya dengan perjanjian di bawah tangan dan terdapat kwitansi bukti lunas pembayaran sejumlah uang atas pembelian tanah dan rumah. Kepastian mengenai perbuatan
200 201
Rachmadi Usman, loc.cit J. Satrio, loc.cit
162 apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan tersebut telah tercantum di dalam perjanjian yang mereka buat. Tetapi pada kenyataannya tanah tersebut masih terbebani hak tanggungan pada bank dan debitur/pemilik tanah tidak menyerahkan
hasil
penjualan
tanah
tersebut
kepada
bank,
sehingga
debitur/pemilik tanah wanprestasi pada bank. Karena perjanjian jual beli hanya dilakukan dengan dibuatnya perjanjian di bawah tangan dengan tidak terjadi dihadapan pejabat yang berwenang mengenai hal tersebut, maka hal ini tidak termasuk di dalam jual beli benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak yang pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli (Pasal 19 UU Hak Tanggungan). Sehingga tidak memberi kepastian hukum mengenai kedudukan pihak pembeli tanah (dapat dikatakan dilanggarnya hak pembeli tanah).Berdasarkan hal tersebut, mengenai kepastian keamanan, pembeli tanah yang telah membayar lunas tanah dan rumah berdasarkan perjanjian di bawah tangan tidak memiliki kepastian hukum di dalam kedudukannya mempertahankan status tanah dan rumah yang telah dibelinya. Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan substansi perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maunpun dalam
163 pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum. Adanya itikad baik pihak pembeli tanah yang bersedia membayar sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah kepada bank, maka dalam perlindungannya tercantum dalam Pasal 1491 KUHPerdata memberikan perlindungan berupa penanggungan bahwa “penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacad-cacad barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya.” Kemudian pada Pasal 1492 KUHPerdata menyatakan bahwa “meskipun pada waktu penjualan dilakukan tiada dibuat janji tentang penanggungan, namun si penjual adalah demi hukum diwajibkan menanggung si pembeli terhadap suatu penghukuman untuk menyerahkan seluruh atau sebagian benda yang dijual kepada seorang pihak ketiga, atau terhadap beban-beban yang menurut keterangan seorang pihak ketiga dimilikinya atas benda tersebut dan yang tidak diberitahukan sewaktu pembelian dilakukan.” Kemudian terhadap pembeli tanah yang beritikad baik atau karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian maka dapat menerima ganti kerugian sesuai ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yaitu bahwa “pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
164 Perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescheming van de burgers”.202 Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Kata perlindungan mengandung pengertian terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Philipus M. Hadjon membagi dua macam bentuk perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif.203 Preventif artinya perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Terpecahkannya permasalahan kredit pada PT. BPR Bank Kertiawan ini dikarenakan adanya itikad baik pihak bank, dengan melakukan cara represif guna menyelesaikan persengketaan dengan menempuh jalur kekeluargaan yaitu pendekatan-pendekatan dengan para pihak yang terkait, sehingga muncul itikad baik dari pihak pembeli tanah yang bersedia membayar hutang debitur sebagian, dan tidak dilanjutkannya proses pengeksekusian yang mengakibatkan hilangnya tanah dan rumah yang telah dibeli pihak pembeli tanah. Dengan demikian perlindungan terhadap kedudukan yang dapat diperoleh pihak pembeli tanah yang telah beritikad baik berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu : Setelah dibayarnya sebagian hutang debitur, pihak pembeli tanah memiliki hak untuk 202 203
Philipus M.Hadjon, loc.cit Philipus M.Hadjon, loc.cit
165 mendapatkan bukti sertifikat hak milik tanah untuk dilanjutkan dengan proses balik nama yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang; serta pihak pembeli tanah berkedudukan sebagai kreditur (layaknya kreditur konkuren karena hanya termasuk perjanjian jual beli secara umum), dalam hal menuntut pengembalian uang hasil pembayaran sebagian hutang debitur/pemilik tanah kepada bank.
166 BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini, yakni : 1. Penyelesaian sengketa yang timbul dari pembelian tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan didasarkan pada ketentuan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, “apabila debitur cidera janji pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Jika benda yang dijadikan objek jaminan telah dijual oleh debitur kepada pihak lain, bank tetap dapat mengeksekusi objek jaminan tersebut, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 7 UU Hak Tanggungan yakni “Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada”. Cara penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh bank yakni dengan menempuh jalur non litigasi dengan cara konsultasi dan negosiasi kepada para pihak yang terkait. 2. Perlindungan hukum terhadap kedudukan pihak pembeli tanah yang beritikad baik atas pembelian dengan pembayaran lunas tanah yang telah dibebani hak tanggungan, adalah pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat
166
167 hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debeitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan.
5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, terdapat beberapa saran yang penulis dapat berikan, yaitu : 1. Kepada masyarakat disarankan agar perjanjian jual beli atas tanah dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang yaitu Notaris/PPAT, sehingga dapat terjaminnya kepastian hukum terhadap kedudukan para pihak (pihak pemilik tanah dan pihak pembeli tanah), dari sengketa atas jual beli tanah yang bersangkutan dapat diminimalisir. 2. Kepada masyarakat disarankan agar bersikap lebih selektif dan lebih berhati-hati, sehingga tidak tertipu oleh developer dengan langsung memberikan pembayaran lunas terhadap tanah dan rumah sebelum terjadinya penyerahan bukti kepemilikan tanah.
168 DAFTAR PUSTAKA
BUKU : Ali, Achmad, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (JudicialPrudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) ; Volume 1 Pemahaman awal. Kencana, Jakarta Ali, Zainuddin, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ashshofa, Burhan, 2004. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta. Spagnola, A., Linda, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States. Badudu-Zain, 1996.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Bahder Johan, Nasution, 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Mandar Maju, Bandung. Darus
Badrulzaman, Mariam, 1997. Nasional.Alumni, Bandung.
Mencari
Sistem
Hukum
Benda
, 2000, “Permasalahan Hukum Hak Jaminan” dalam Hukum Bisnis, volume 11. ,2009,Serial Hukum Perdata Buku Kedua; Kompilasi Hukum Jaminan. Mandar Maju, Bandung. Effendi, Bachtiar, 1993.Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Alummi, Bandung. Elliott, Catherine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England. Fuady, Munir, 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Kencana, Jakarta. Gautama, Sudargo, 1990. Tafsiran undang-undang pokok agraria. Citra aditya bakti, bandung.
168
169 Harsono, Boedi, 1997. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukkan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cet. Ketujuh, Djambatan, Jakarta. , 2007. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA Isi dan Pelaksanaannya. Jambatan, Jakarta. Hasan, Djuhaendah, 1997. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan). Citra Aditya Bakti, Bandung. Hadi, Sutrisno, 1987. Metodelogi Riset Nasional. Akmil, Magelang. ,2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Ibrahim, Johanes., dan Lindawaty Sewu, 2004. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern. PT. Refika Aditama, Bandung. Joses Sembiring, Jimmy, 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan. Visimedia, Jakarta. Kasmir, 2012.Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Rajawali Pers, Jakarta. Khoidin, M., 2005.Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan. LaksBang, Yogyakarta. Mahmud Marzuki, Peter, 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada, Jakarta. , 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. , 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1996, Eksekusi Objek Hak Tanggungan Permasalahan dan Hambatan,Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Mustafa, Bacshan.,Ragawino, Bewa., Priatna, Yaya, 1982. Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Edisi Pertama, Armico, Bandung. Hadjon, M.,Philipus, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.
170 Pasaribu, Cahiruman., dan Suhrawardi K.Lubis, 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Sinar Grafika, Jakarta. Perangin, Effendi, 1991. Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Rajawali Pers, Jakarta. , 1994. Praktik Jual Beli Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Poesoko, Herowati, 2007. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT). LaksBang PRESSindo.Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 1985. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu. Cet.VIII, Sumur, Bandung. Putra, Ida Bagus Wyasa, 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung. Mallor, P.,Jane, et.al, 2007.Business Law; The Ethical, Global, And E-Commerce Environment. McGraw Hill Companies,Inc., New York. Raharjo, Satjipto, 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Richards, Paul, 2004. Law Of Contract. Pearson Education Limited. England. Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ruchiyat, Eddy, 1983. Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah, Berdasarkan Undang-Undang No.56 Prp Th 1990. Armico, Bandung. Saleh, Wntjik, 1977. Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indah, Jakarta. Salim,HS., H2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta.
PT. Raja
Santoso Az, Lukman, 2011. Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank. Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Santoso, Urip, 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta. Satrio, J., 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
171 , 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung , 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sautama Hotma Bako, Ronny, 1995.Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung. Soedewi Masjchoen Sofwan, Sri,Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta. Soehino, 1998. Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono, 1983,Hukum Adat Indonesia. Rajawali, Jakarta , 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung. , 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemardjono, SW.,Maria, 2009.Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya. Kompas, Jakarta. Soeroso, R., 2010. Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Soimin, Soedharyo, 2004. Status Hak Dan Pembebasan Tanah. Sinar Grafika, Jakarta. Subekti, R., 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies. Third Edition, Jakarta. , 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. , 1991, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sudarsono, 1999.Kamus Hukum. PT.Rineka Cipta, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2010. Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika, Jakarta. , 2010. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Sinar Grafika, Jakarta. Sri Wibawanti, Erna, dan R.Murjiyanto, 2013. Hak Atas Tanah Dan Peralihannya. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
172 Usfunan, Johanes, 2002. Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat. Djambatan, Jakarta. Usman, Rachmadi, 2009. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta. , 2012. Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik. Sinar Grafika, Jakarta. Widjaja, Gunawan, dan Kartini Muljadi, 2003. Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Witanto, D.Y, 2011, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Alfabeta, Bandung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum (BW) Terjemahan R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Cetakan XXXX, Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
DAFTAR INFORMAN
1. Nama Jabatan Tempat/ Tanggal Lahir Alamat
2. Nama Jabatan Tempat/Tanggal Lahir Alamat
3. Nama Jabatan Tempat/Tanggal Lahir Alamat
: I Wayan Murja, SE., MM : Komisaris PT. BPR Bank Kertiawan Gianyar-Bali : Gianyar, 25 September 1961 : Jl. Buana Raya Gang Buana Kartika No.23
: Ni Made Sumartini, SE : Direktur Utama PT. BPR Bank Kertiawan Gianyar-Bali : Tabanan, 22 Maret 1967 : Perum. Taman Krisna Permai No. 18 Dalung-Kuta-Badung
: I Ketut Sadiasa, Amd : Kepala Bidang Kredit PT. BPR Bank Kertiawan Gianyar-Bali : Singaraja, 1 Januari 1971 : Jl. Akasia XVI Gang Markisa No. 10 Denpasar
4. Nama Jabatan Tempat/Tanggal Lahir Alamat
: I Made Arya Amitaba, SE., MM : Direktur Utama PT. BPR Kanti :Gianyar, 25 April 1972 :Br. Palak Sukawati Gianyar
5. Nama Jabatan Tempat/Tanggal Lahir Alamat
: Cokorda Gede Mahadewa, SE.,MBA.,MM : Direktur Utama PT. BPR Bank Padma : Gianyar, 28 Februari 1965 : Jl. Tukad Badung XII No.20P Denpasar
6. Nama Jabatan Tempat/Tanggal Lahir Alamat
: Drs. I Made Suarja : Direktur Utama PT. BPR Udary : Gianyar, 31 Oktober 1969 : Jl. Pertukala No. 3 Denpasar
HASIL WAWANCARA
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR BANK KERTIAWAN, KABUPATEN GIANYAR NAMA INFORMAN : I WAYAN MURJA, SE., MM (KOMISARIS UTAMA) 1. Menurut bapak, bagaimana awal proses terjadinya kesepakatan mengenai perjanjian kredit yang dilakukan antara bank dengan debitur? Jawab : Bahwa pada tanggal 18 September 2008 telah terjadi suatu kesepakatan perjanjian antara PT. BPR Bank Kertiawan (Kreditur) dengan Developer (Debitur), dalam hal ini perjanjian kredit atas fasilitas kredit berupa kredit Konsumtif sebesar Rp. 400.000.000,- selama jangka waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal 18 September 2008 sampai dengan 18 Desember 2008. Agunan yang dijaminkan adalah 2 bidang tanah milik debitur. Adapun pihak yang terkait dalam perjanjian kredit tersebut adalah : a. PT. BPR BANK KERTIAWAN memberikan pinjaman dana (kredit) sebagai pihak kreditur selanjutnya disebut pihak I. b. Pihak kedua yakni debitur (seorang developer) dengan memberikan agunan yaitu jaminan 2 sertifikat kepemilikan hak atas tanah milik debitur. Alasan debitur meminjam dana (kredit) adalah untuk membangun rumah di atas tanah-tanah milik debitur dengan tujuan nantinya akan di jual kembali kepada pihak lain (user/nasabah/pembeli usaha debitur), sehingga dana hasil penjualan usaha debitur tersebut nantinya akan digunakan untuk melunasi pinjaman kredit debitur
2. Apakah sebelum memberikan fasilitas kredit yang dimohon oleh debitur, bank melakukan penilaian terhadap standar kelayakan pemberian kredit kepada debitur? Jawab : Bank telah melakukan penilaian analisis standar kelayakan pemberian kredit sesuai kriteria bank (dengan standar 5C yaitu : (character, capital, capacity, collateral, condition) dan memeriksa SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah), guna memeriksa keabsahan sertifikat kepemilikan atas tanah yang diberikan oleh debitur. Hasil analisis dinyatakan permohonan kredit tersebut adalah layak untuk diberikan, maka terlaksanalah pelepasan kredit tersebut berdasarkan perjanjian dan juga pada saat itu dua (2) sertifikat kepemilikan atas tanah dibuatkan menjadi satu Akte Pemberian Hak Tanggungan sehingga menjadi satu sertifikat hak tanggungan, yang ditandatangani oleh debitur selaku pemilik tanah, bank selaku pemegang hak tanggungan, dua orang saksi dan juga PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) pada kantor notaris yang wewenangnya meliputi dimana tanah tersebut terletak, atas nama bank dan didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. 3. Cara-cara atau tindakan apakah yang dilakukan bank untuk pertama kali, setelah mengetahui bahwa debitur wanprestasi dan tanah yang dijadikan objek jaminan telah dialihkan oleh pihak lain?
Jawab : Tindakan yang ditempuh bank untuk pertama kali adalah mengingatkan tunggakan
kredit
debitur
dengan
melakukan
pendeketan
secara
kekeluargaan, via telpon, dan bersamaan dengan itu memberikan Surat Pemberitahuan/SP (Somasi) sesuai dengan koletibitas kredit debitur serta mengupayakan adanya penyelamatan kredit debitur. Sampai pada akhirnya bank menyatakan bahwa fasilitas pembiayaan kredit yang diberikan kepada debitur adalah Non Perfoming Loan (bermasalah), dan debitur tidak kooperatif di dalam menyelesaikan masalah, mengharuskan bank melakukan tindakan pengeksekusian terhadap benda jaminan walaupun tanah yang dijadikan jaminan telah dikuasai oleh pihak lain.
NAMA INFORMAN : NI MADE SUMARTINI, SE (DIREKTUR UTAMA) 1. Menurut Ibu, bagaimanakah posisi bank pada saat itu serta atas dasar apa debitur tersebut dikategorikan Non Perfoming Loan? Jawab : Bahwa pada kenyataannya tanah-tanah tersebut telah dibebankan hak tanggungan atas nama kreditur (PT. BPR Bank Kertiawan) berdasarkan perjanjian kredit tanggal 18 September 2008 dan sertifikat hak tanggungan yang dimiliki oleh bank. Bank telah meyatakan pembiayaan fasilitas kredit yang diberikan kepada debitur adalah Non Perfoming Loan (bermasalah) karena tidak memenuhi kewajiban pembayaran sampai saat jatuh tempo
berturut-turut 3x (Pasal 5 angka 1 huruf e Ketentuan Perjanjian Kredit Bank). Jadi, berdasarkan ketentuan dalam Perjanjian Kredit Bank Pasal 6 angka 3 menyatakan “Apabila debitur tidak menyelesaikan kreditnya sebagaimana tersebut, bank berhak mengambil tindakan-tindakan hukum berupa apapun yang dianggap baik atau diharuskan oleh ketentuan bank dan atau Bank Indonesia dan atau ketentuan Undang-Undang / pemerintah yang berlaku. Mengenai penguasaan benda jaminan yang dilakukan pihak lain, bank terlindungi oleh Pasal 7 UU Hak Tanggungan.
NAMA INFORMAN : I KETUT SADIASA, AMD (KEPALA BIDANG KREDIT) 1. Bagaimanakah kronologisnya serta upaya-upaya penyelesaian apakah yang ditempuh bank? Jawab : Debitur tidak melakukan pembayaran kredit pada bulan pertama pembayaran tersebut jatuh tempo, sehingga pinjaman atas nama debitur digolongkan masuk dalam kolektibilitas 2 (perhatian khusus). Bank tidak serta merta melakukan pengeksekusian atas objek jaminan, melainkan mengambil tindakan dalam upaya penyelamatan kredit debitur terlebih dahulu, yaitu dengan cara : a. Bank
Kertiawan
memberikan
kebijakan
yaitu
perubahan
(addendum) perjanjian kredit untuk penyelamatan kredit debitur
dengan masa laku 1 bulan (18 November 2008 sampai dengan 18 Desember 2008). b. Bahwa debitur pernah mengajukan restrukturisasi atas pinjaman debitur tersebut dengan cara melakukan pembayaran pokok sekali sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan perubahan (addendum) atas perjanjian kredit debitur dengan fasilitas kredit sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) masa laku 3 (tiga) bulan yaitu 26 Desember 2008 – 26 Maret 2009. c. Permohonan perubahan (addendum) atas perjanjian kredit debitur dilakukan kembali karena debitur tidak dapat membayar kewajiban hutangnya dengan masa laku 3 (tiga) bulan yaitu 31 Maret 2009 sampai dengan 30 Juni 2009. Permohonan ini terus dilakukan sampai pada kali terakhir perubahan (addendum) perjanjian kredit dengan masa laku 6 (enam) bulan yaitu 31 Desember 2009 sampai dengan 30 Juni 2010, debitur tidak juga membayar sisa hutang tersebut kepada Bank Kertiawan. d. Selama masa addendum terakhir tersebut tunggakan atas kewajiban dari debitur sudah menjadi besar dan masuk dalam kolektibilitas kurang lancar. Atas kondisi tersebut Bank Kertiawan telah beberapa kali memberikan surat pemberitahuan kepada debitur mengenai tunggakan yang harus diselesaikan dan suku bunga yang dikenakan.
e. Bahwa sampai pada surat pemberitahuan ketiga debitur tetap tidak mengindahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Bank dengan tetap tidak membayar hutangnya sehingga bank mengambil keputusan untuk mengeksekusi benda jaminan tersebut. Pada saat ini pinjaman debitur masuk pada kolektibilitas diragukan. f. Sebelum
bank
hendak
melaksanakan
permohonan
proses
pelelangan, ternyata salah satu pihak lain yang telah membeli tanah dan rumah milik debitur, melaporkan debitur sebagai pemilik tanah kepada pihak kepolisian dengan dugaan tindak pidana penggelapan uang pembayaran tanah/rumah. g. Dengan adanya pelaporan tersebut proses pelelangan terhadap tanah dan rumah yang dijadikan objek jaminan di Bank Kertiawan menjadi terhambat, oleh karena sertifikat hak milik tanah tersebut harus dijadikan barang bukti dalam perkara tersebut, sehingga status tanah dapat digolongkan bersengketa yang berakibat apabila tanah pada posisi bersengketa, maka tidak dapat dilaksanakannya proses pelelangan. h. Selama
menunggu
proses
penyidikan
kepolisian
hingga
dikembalikannya sertifikat hak milik atas tanah tersebut kepada bank, dalam upaya penyelesaian kredit Bank Kertiawan mengambil tindakan dengan tidak melalui jalur litigasi, tetapi melalui jalur non litigasi yaitu terlebih dahulu bernegosiasi kepada debitur dan kedua pihak lain yang telah membeli tanah dan rumah tersebut.
i. Tindakan Bank Kertiawan tidak hanya pada sebatas bernegosiasi kepada para pihak yang terkait, juga disertai dengan pengajuan permohonan bantuan lelang kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), apabila nantinya penyelesaian kredit macet ini menemui jalan buntu maka objek jaminan dapat langsung dilelang. Kasus pengeksekusian objek hak tanggungan ini telah ditangani oleh lembaga lelang berdasarkan permohonan eksekusi No.095/Krd.Adm/X.01/2010
dari
Bank
Kertiawan
yang di
dalamnya menyatakan : bahwa fasilitas kredit pembiayaan atas nama
debitur
tersebut
telah
dikatagorikan
sebagai
kredit
bermasalah (macet) Non Performing Loan (NPL); bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Pembiayaan maupun syaratsyarat umum Perjanjian Pembiayaan, Bank akan mengupayakan penyelesaian nasabah dengan melakukan penjualan agunan secara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dengan ketentuan hukum yang berlaku; Sehubungan dengan penjualan/pelelangan agunan vide butir 2 diatas, dengan ini PT. BPR BANK KERTIAWAN bertanggungjawab apabila terjadi gugatan perdata atau tuntun pidana yang diajukan oleh pihak manapun. j. Bank Kertiawan juga meminta TIM Aprrasial terjun ke lapangan untuk menilai harga pasar tanah dan rumah tujuannya adalah menentukan nilai pasar yang wajar dari benda jaminan, dimana
nilai pasar yang wajar tersebut terdiri dari nilai yang rendah dan tertinggi. Nilai tersebut nantinya akan dijadikan dasar untuk menjual benda jaminan kepada pihak-pihak yang ikut di dalam pelelangan. Sehingga apabila proses di kepolisian telah selesai dan sertifikat dikembalikan kepada bank, bank dapat langsung melaksanakan pelelangan. Selama proses ini pinjaman debitur masuk pada kolektibilitas kredit macet. k. Bahwa keputusan tindakan yang diambil oleh Bank Kertiawan dengan menempuh jalur non litigasi yaitu dengan bernegosiasi, mendapatkan hasil salah satu pihak lain bersedia membayar sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah, dengan syarat apabila ia telah membayar hutang debitur/pemilik tanah, tanah dan rumah yang telah dibelinya tidak diikutsertakan di dalam pelelangan dan diberikan bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut kepadanya. l. Bahwa dengan adanya itikad baik salah satu pihak lain dengan membayar sebagian hutang debitur demi terpenuhinya hak dari pihak lain tersebut, maka tindakan Bank Kertiawan adalah melakukan pengRoyaan terhadap 2 (dua) sertifikat hak milik yang diikat menjadi satu hak tanggungan tersebut,
dan membuat
perjanjian kredit baru dengan membebankan hak tanggungan pada 1 (satu) sertifikat hak milik atas tanah. Perjanjian baru tersebut tetap mengikat debitur, apabila di dalam perjalanannya debitur
tidak
dapat
kembali
membayar
pengeksekusian akan tetap dilakukan.
hutangnya,
maka
proses
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR KANTI NAMA INFORMAN : I MADE ARYA AMITABA, SE.,MM
(DIREKTUR
UTAMA) 1. Apakah di PT. BPR Kanti ini, pernah terjadi kasus debitur wanprestasi dan tanah yang dijadikan objek jaminan telah dijual (dialihkan) kepada pihak lain? Jawab : Tidak Pernah. 2. Menurut bapak, apabila pada PT. BPR Kanti mengalami kasus tersebut, cara penyelesaian bagaimana yang akan ditempuh? Jawab : Apabila bank kami mengalami hal serupa, kami sependapat mengenai penyelesaian kredit bermasalah diharapkan menempuh jalur non litigasi terlebih dahulu, dengan diadakannya pendekatan secara persuasif (kekeluargaan) kepada para pihak yang terkait. Di samping bertujuan agar kredit macet tersebut dapat cepat teratasi dan tidak berbelit-belit, pihak bank dapat juga mengetahui bagaimana karakteristik nasabah, sehingga menjadi pembelajaran untuk kedepannya agar lebih berhati-hati di dalam memberikan kredit.
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR UDARY NAMA INFORMAN : DRS. I MADE SUARJA (DIREKTUR)
1. Apakah di PT. BPR Udary ini, pernah terjadi kasus debitur wanprestasi dan tanah yang dijadikan objek jaminan telah dijual (dialihkan) kepada pihak lain? Jawab : Tidak Pernah. 2. Menurut bapak, apabila pada PT. BPR Udary mengalami kasus tersebut, cara penyelesaian bagaimana yang akan ditempuh? Jawab : Jika bank kami menghadapi kasus yang sama, kami membenarkan dengan tindakan yang diambil yaitu dengan menempuh cara pendekatan terlebih dahulu dan apabila pendekatan tersebut tidak dihiraukan debitur, barulah menempuh jalan terakhir yaitu dengan pengeksekusian benda jaminan. Adanya pendekatan-pendekatan kepada para pihak, menjadikan bank mengetahui bagaiamana duduk permasalahan yang sebenarnya. Walaupun bank pada posisi yang kuat, melihat itikad baik pihak lain tersebut, pihak bank juga memiliki rasa perikemanusiaan dengan tidak melakukan eksekusi
secara
langsung
melainkan
mempertimbangkan
kembali
pemecahan kredit bermasalah tersebut agar tidak merugikan bank terutama, dan tidak juga merugikan pihak-pihak lain yang terkait karena adanya itikad baik tersebut
HASIL WAWANCARA – LOKASI : PT. BPR BANK PADMA NAMA INFORMAN : COKORDA GEDE MAHADEWA, SE.,MBA.,MM, (DIREKTUR UTAMA) 1. Apakah di PT. BPR Bank Padma ini, pernah terjadi kasus debitur wanprestasi dan tanah yang dijadikan objek jaminan telah dijual (dialihkan) kepada pihak lain? Jawab : Tidak Pernah. 2. Menurut bapak, apabila pada PT. BPR Bank Padma mengalami kasus tersebut, cara penyelesaian bagaimana yang akan ditempuh? Jawab : Apabila terjadi permasalahan dalam perkreditan tentunya pihak bank tidak ingin diselesaikan pada jalur pengadilan. Bank mengupayakan sebisa mungkin untuk diselesaikan secara kekeluargaan, karena apabila permasalahan diselesaikan pada jalur pengadilan, selain memakan biaya yang
cukup
banyak,
waktu
yang
cukup
lama
mengakibatkan
bertambahnya kerugian yang dialami bank, serta yang juga menjadi alasan mengapa bank kami setuju untuk menempuh jalur non litigasi terlebih dahulu dalam menangani kredit macet adalah masalah reputasi (nama baik) bank, walaupun kredit macet diketahui murni kesalahan debitur, namun yang dinamakan kredit macet adalah masalah yang timbul pada bank yang bersangkutan, dampaknya tidak sehatnya bank tersebut di mata masyarakat.